DINAMIKA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN

advertisement
DINAMIKA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN
MAHASISWA FISIP USU DALAM MENJAGA HARMONISASI
Fipit Novita Sari
100904099
ABSTRAK
Skripsi ini berisi penelitian mengenai bagaimana dinamika komunikasi
antarbudaya di kalangan mahasiswa dalam menjaga harmonisasi. Mahasiswa
disini adalah mahasiswa FISIP USU. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian
deskriptif yang kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk
mengetahui bagaimana dinamika komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa
FISIP USU, apa saja yang menjadi hambatan-hambatannya serta upaya apa yang
dapat dilakukan dalam menjaga harmonisasi di kalangan mahasiswa FISIP USU
tersebut. Setelah melakukan penelitian terhadap 96 orang mahasiswa yang
menjadi responden, peneliti mendapati bahwa mahasiswa FISIP USU sudah
cukup baik menjalani kehidupan antarbudaya dan menjaga hubungan harmonis
dengan teman yang berbeda budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi
antarbudaya sangat penting dipahami di tengah lingkungan yang memiliki
berbagai suku bangsa yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda
seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan kampus FISIP USU.
Kata Kunci: Dinamika, Komunikasi Antarbudaya, Mahasiswa, FISIP USU
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural. Multikulturalisme
adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan
menggunakan lebih dari satu kebudayaan (KBBI online).
Multikulturalisme yang dimiliki bangsa Indonesia ini merupakan satu
faktor yang tidak dapat dihindari. Keberagaman tersebut dapat menimbulkan
kesalahpahaman dalam kegiatan berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Sementara itu banyak penelitian yang menggambarkan dinamika
komunikasi antarbudaya dalam beberapa konteks yang berbeda-beda. Seperti
halnya bahasa, budaya yang berbeda, gaya hidup yang berbeda, makanan hingga
pada hambatan-hambatan yang mereka alami ketika berbeda budaya dengan orang
lain di sekitarnya. Hal tersebut pastinya pernah dihadapi oleh hampir semua orang
tanpa terkecuali, dan cara menghadapi situasi seperti ini pastinya berbeda pada
diri satu individu dengan individu lainnya.
Penelitian Iswari dan Pawito (2012), yang berjudul “Komunikasi
Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa : Studi tentang Komunikasi Antarbudaya di
Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di Universitas
Sebelas Maret Surakarta” menyatakan bahwa “Pertama, hambatan-hambatan
yang ditemukan dalam proses komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa
etnis Batak dengan etnis Jawa yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta
adalah stereotipe, keterasingan (strangershood), dan ketidakpastian (uncertainty)
1
yang dialami oleh mahasiswa etnis Batak. Kedua, efektivitas komunikasi di antara
mahasiswa etnis Batak dan etnis Jawa dapat dicapai dengan mengatasi hambatan
dan perbedaan latar belakang budaya yang ada dengan sikap terbuka, empati dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri.”
Penelitian Henny, Rochayanti, dan Isbandi (2011) yang berjudul
“Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Korea Selatan di Yogyakarta”
menyatakan bahwa “Mahasiswa Korea cenderung tertutup terlebih dengan orang
asing. Mereka cenderung melindungi diri dari orang asing, pendiam, dan
berbicara yang penting-penting saja. Mereka bersedia berkomunikasi dengan
orang yang baru jika dikenalkan oleh orang yang sudah dikenal (melalui
perantara).
Penelitian Lubis (2012) yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Etnis
Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan” menyatakan bahwa “masyarakat etnis
Tionghoa di kota Medan banyak di antaranya masih menganut kepercayaan
Sinkretisme yang telah diwariskan turun temurun. Namun disebabkan perkawinan
antara etnis maka terjadinya perpindahan agama, khususnya kepada agama islam
bukanlah suatu hal yang mudah bagi etnis Tionghoa.Penemuan data wawancara
mendapati bahwa etnis Tionghoa mualaf telah dipinggirkan dari keluarga inti
maupun keluarga besar karena dianggap sial dan bahkan ada yang tidak dianggap
anak lagi setelah bertukar ke agama Islam dan menikah dengan salah satu etnis
pribumi.
Sebagai mahasiswa yang berkuliah di kampus FISIP USU, peneliti banyak
melihat bagaimana hidup berinteraksi dengan teman yang berbeda budaya.
Banyak yang mengalami kesalahpahaman ketika berkomunikasi satu dengan yang
lainnya. Hal tersebut akhirnya membuat peneliti tertarik untuk meneliti
Komunikasi antarbudaya dari aspek dinamika dalam kaitannya dengan menjaga
harmonisasi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan tersebut, peneliti
merumuskan permasalahan adalah:
1. “Bagaimanakah Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan
Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi?”
2. “Apa saja hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang terjadi di
kalangan mahasiswa FISIP USU?”
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dinamika komunikasi antarbudaya di kalangan
mahasiswa FISIP USU.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang
terjadi di kalangan mahasiswa FISIP USU.
2
KAJIAN LITERATUR.
Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi Antarbudaya merupakan bentuk kegiatan yang berkaitan erat
dengan bagaimana aktivitas kebudayaan dan komunikasi saling berkaitan.
Komunikasi mempengaruhi aktivitas kebudayaan dan aktivitas kebudayaan dapat
berjalan dengan baik melalui komunikasi.
Komunikasi antarbudaya memiliki beberapa prinsip yang penting untuk
dipahami ketika kita berkomunikasi dengan orang lain. Tiga prinsip penting
dalam komunikasi antarbudaya yang dikemukakan oleh Sarbaugh (Tubbs dan
Moss, 2005:240) , yaitu: 1). Sistem sandi bersama, 2). Kepercayaan dan perilaku
yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi, 3). Tingkat mengetahui
dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain.
Prinsip komunikasi antarbudaya tersebut menjelaskan apa-apa saja yang
menjadi dasar ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Dengan
memahami prinsip-prinsip tersebut, akan menjelaskan hal apa saja yang dapat
menjadi hambatan ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dan
apa sebabnya. Ketika kita memahami prinsip tersebut, maka kita akan lebih
memahami bagaimanakah komunikasi antarbudaya itu dan apa yang dapat
dilakukan supaya komunikasi antarbudaya berjalan dengan baik (efektif).
Dinamika Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda latar
belakang budaya mengalami banyak hambatan yang disadari atau tidak disadari,
sehingga terlihat adanya dinamika antara peserta yang berkomunikasi tersebut.
Oleh karena itu, ada beberapa karakter yang perlu diperhatikan dalam dinamika
komunikasi antarbudaya (Lubis, 2012:45-52), yaitu:
1. Komunikasi Bersifat Dinamis
Komunikasi bersifat dinamis maksudnya ialah komunikasi merupakan
aktivitas orang-orang yang berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi
dan mengalami perubahan pola-pola, pesan dan saluran.
2. Komunikasi Bersifat Interaktif
Komunikasi tidak hanya melibatkan 2 atau 3 orang, melainkan melibatkan
beberapa kelompok, organisasi, publik maupun massa.
3. Komunikasi Bersifat Irreversibel
Komunikasi bersifat irreversibel maksudnya pesan tidak dapat ditarik
kembali setelah disampaikan. Sekali penerima telah dipengaruhi oleh pesan
pertama, pengaruh dari pesan tersebut tidak dapat ditarik kembali meskipun
dilakukan koreksi melalui penyampaian pesan yang baru.
4. Komunikasi Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial
Faktor lingkungan fisik dianggap mempengaruhi proses komunikasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konteks sosial menjadi sangat dominan
dalam kehidupan paternalistik dan tradisional seperti Jawa dan Asia pada
umumnya. Konteks sosial ini agak melemah ketika berada dalam masyarakat
egaliter dan demokrasi yang tinggi seperti Amerika Serikat.
3
Harmonisasi dalam Komunikasi Antarbudaya
Secara sederhana, kata Harmonisasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan
dimana tercapai keselarasan dan kedamaian tanpa ada perselisihan dan
ketidaksepahaman. Sebuah tatanan masyarakat sangat memerlukan sebuah
harmonisasi struktur, baik struktur norma maupun struktur lembaga. Dua hal yang
menjadi kata kunci adalah faktor suprastruktur dan infrastruktur. DeVito
mengemukakan beberapa faktor yang menjadi penentu efektivitas komunikasi
antarpribadi (Liliweri, 2001:173-174), yakni:
1. Keterbukaan. Secara ringkas, keterbukaan ialah: 1). Sikap seorang
komunikator yang membuka semua informasi pribadinya kepada komunikan
dan menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan
dalam rangka interaksi antarpribadi, 2). Kemauan seseorang sebagai
komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari
komunikan, dan 3). Memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan
seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan
dalam suatu situasi tertentu
2. Sikap Empati. Sikap empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk
menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri, jadi
ia berpikir, berasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir,
berasa, dan berbuat terhadap dirinya sendiri.
3. Perasaan Positif. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa
pribadinya, komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat
mendukung (terbebas dari ancaman, tidak dikritik dan tertantang).
4. Memberikan Dukungan. Memberikan dukungn ialah suatu situasi dan kondisi
yang dialami komunikator dan komunikan terbebas dari atmosfir ancaman,
tidak dikritik dan ditantang.
5. Memelihara Keseimbangan. Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana
yang adil antara komunikator dengan komunikan dalam hal kesempatan yang
sama untuk berpikir, berasa, dan bertindak.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode
penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan suatu penelitian
dimana, teori atau paradigma teori digunakan untuk menuntun peneliti mulai dari
menemukan masalah penelitian sampai pada menemukan alat-alat analisis data.
Sedangkan, penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik alamiah maupun
buatan manusia. Fenomena ini bisa berupa bentuk aktivitas, karakteristik,
perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan fenomena yang satu dengan
fenomena yang lainnya (Sukmadinata, 2006 : 72).
Penelitian kuantitatif dengan format deskriptif, bertujuan untuk
menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai
variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan
fakta yang didapat di lapangan. Kemudian mengangkat ke permukaan karakter
atau gambaran tentang kondisi, situasi, maupun variabel tersebut (Bungin, 2011 :
4
25, 44). Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Sumatera Utara yang beralamat di Jl. Prof. A. Sofyan No.1, Padang Bulan, Medan.
Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara yang masih aktif
menjalani masa perkuliahan (angkatan 2010-2012) berjumlah 2333 orang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Taro Yamane dengan
presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90% (Bungin, 2001:105), hal ini
dikarenakan populasi penelitian ini berjumlah besar. Jadi, sampel yang digunakan
di dalam penelitian ini adalah 96 orang, untuk menentukannya digunakan teknik
Proportional Stratified Random Sampling. Teknik ini digunakan karena populasi
dalam penelitian ini menunjukkan sifat berstrata, dalam penelitian ini yaitu
adanya 8 jurusan yang ada di FISIP USU yang menjadi objek penelitian.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden. Data primer
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket (kuesioner), yaitu
suatu alat pengumpul data yang berupa serangkaian pertanyaan yang diajukan
pada responden untuk mendapat jawaban (Sumber: Depdikbud).
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari data yang telah diteliti dan
dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data
sekunder dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan ini dilakukan dengan mencari sumber referensi dari literatur
maupun bacaan yang diperoleh melalui buku-buku maupun bacaan secara
online.
Teknik Analisis Data
Untuk memudahkan penelitian, seluruh data yang diperoleh akan
dianalisis dalam analisis tabel tunggal dan analisis tabel silang. Analisis tabel
tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisis data yang terdiri dari 2
kolom yaitu sejumlah frekuensi dan kolom persentase untuk setiap kategori
(Singarimbun, 2008:273). Sedangkan analisis tabel silang merupakan salah satu
analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antar variabel.
Dengan menggunakan analisis tabel tunggal, maka penelitian ini akan
menggambarkan data yang diperoleh diuraikan apa adanya secara deskriptif. Pada
penelitian ini, analisis tabel silang digunakan untuk memperkuat hasil penelitian
nantinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan penelitian di lapangan, peneliti telah merangkum
jawaban responden dalam bentuk tabel tunggal dan tabel silang. Oleh karena itu,
didapatlah beberapa pembahasan mengenai bagaimana dinamika komunikasi
antarbudaya di kalangan mahasiswa FISIP USU dalam menjaga harmonisasi
sebagai berikut.
5
Teori Komunikasi antarbudaya dikaitkan dengan pengertiannya
menunjukkan bahwa di lingkungan FISIP USU telah berlangsung komunikasi
antarbudaya diantara para mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya
komunikasi yang berlangsung di antara para mahasiswa yang datang dari
latarbelakang budaya yang berbeda. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sarbaugh (Tubss dan Moss, 2005:240), bahwa ada tiga prinsip penting dalam
komuniksi antarbudaya, yaitu: 1). Sistem sandi bersama, 2). Kepercayaan dan
perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi, dan 3).
Tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain.
Ketiga prisip ini ketika dikaitkan dengan hasil penelitian, menunjukkan
bahwa sistem sandi bersama telah tercapai di kalangan mahasiswa FISIP USU
yang berbeda-beda budaya, meskipun dalam sistem sandi bersama dikatakan
bahwa semakin sedikit persamaan sandi yang terbentuk, maka semakin sedikit
komunikasi yang terjalin. Di lingkungan FISIP USU sendiri terdapat banyak suku
bangsa dengan bahasa dan kebudayaan yang berbeda. Agar dapat tetap saling
berkomunikasi, para mahasiswa menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa
Indonesia dan tidak menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan
teman yang berbeda budaya sehingga mengurangi ketidakpastian.
Meskipun ketika berkomunikasi, budaya di antara para mahasiswa berbeda
serta kepercayaan dan perilaku mereka berlainan sehingga menimbulkan asumsi
yang berbeda ketika memberikan respon, tidak membuat komunikasi yang terjalin
diantara mereka langsung terhambat. Keterbukaan sikap yang mereka tunjukkan
dapat menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Keterbukaan sikap
para mahasiswa juga membuat efektifitas komunikasi tetap terjaga. Selain itu,
meskipun dikatakan bahwa cara kita menilai budaya lain berdasarkan nilai-nilai
budaya yang kita miliki akan menghambat efektivitas komunikasi, hal itu tidak
terjadi di FISIP USU. Hal ini dikarenakan mahasiswa FISIP USU memandang
mahasiswa lain lebih kepada sikap individunya masing-masing bukan melihat
latarbelakang budayanya.
Ketiga prinsip komunikasi antarbudaya di atas, penting dipahami agar
komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya dapat
berjalan dengan efektif. Lubis (2012) menyatakan ada beberapa karakteristik yang
perlu diperhatikan dalam rangka mencapai efektivitas komunikasi antarbudaya
tersebut, antara lain: 1). Komunikasi bersifat dinamis, 2). Komunikasi bersifat
interaktif, 3). Komunikasi bersifat irreversibel, dan 4). Komunikasi berlangsung
dalam konteks fisik dan sosial. Karakteristik-karakteristik ini, ketika dikaitkan
dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa berkomunikasi satu
dengan yang lainnya. Tidak mungkin mereka tidak menjalin komunikasi satu
dengan yang lain. Untuk itu, mereka lebih menyesuaikan pola-pola pesan dan
salurannya agar dapat tetap berkomunikasi, seperti lebih membuka diri kepada
mahasiswa lain dan tidak memandang budayanya yang paling baik dibandingkan
budaya orang lain.
Mahasiswa, ketika berkomunikasi satu dengan yang lain lebih banyak
berkomunikasi dalam jumlah yang kecil yaitu sekitar 3-5 orang. Meskipun
demikian, ada juga responden yang berkomunikasi dalam kelompok yang lebih
besar maupun lebih kecil. Ketika seorang mahasiswa berkomunikasi dengan
6
mahasiswa lainnya, tidak mungkin tidak pernah terjadi kesalahan baik dalam
pengucapan maupun dalam sikap sehingga ia akan meralat perkataan maupun
sikapnya tersebut agar terlihat lebih baik. Namun, apa yang pertama kali
diucapkan dan sikap yang pertama kali ditunjukkanlah yang lebih melekat pada
komunikan. Hal inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman ketika
mahasiswa berkomunikasi dengan mahasiswa lain sehingga dapat menimbulkan
suasana yang canggung
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa lebih banyak
berkomunikasi di lingkungan kampus seperti ruang kuliah, taman kampus, kantin
dan lingkungan kampus lainnya. Namun, tempat yang paling sering mereka
gunakan untuk berkomunikasi adalah ruangan kuliah. Hal ini disebabkan karena
di ruangan kuliahlah mereka paling sering bertemu. Jadi, dapat dikatakan bahwa
mahasiswa berkomunikasi sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Komunikasi antarbudaya sangat erat kaitannya dengan komunikasi
antarpribadi. Ketika seorang individu melakukan komunikasi antarbudaya, maka
dia juga telah melakukan komunikasi antarpribadi. Oleh karena itu, faktor penentu
efektivitas komunikasi antarbudaya sama dengan faktor penentu efektivitas
komunikasi antarpribadi. Menurut DeVito (1978), faktor-faktor yang menjadi
penentu efektivitas komunikasi antarpribadi dalam kaitannya menjaga
harmonisasi, yaitu: 1). Keterbukaan, 2). Sikap empati, 3). Perasaan positif, 4).
Memberikan dukungan, dan 5). Menjaga keseimbangan. Keterkaitan antara
faktor-faktor tersebut dengan hasil penelitian ditunjukkan sebagai berikut.
Mahasiswa sudah bersikap terbuka akan informasi yang dibagikan maupun
yang diterima, bereaksi jujur terhadap informasi yang disampaikan komunikan,
dan memikirkn bahwa apa yang dinyatakannya merupakan tanggungjawabnya
kepada komunikan pada situasi tertentu, sehingga komunikasi yang terjalin sudah
cukup efektif dan tingkat ketidakpastian pun sudah berkurang. Mahasiswa juga
sudah mampu menerima dan memahami orang lain seperti menerima dirinya
sendiri. Mahasiswa sudah mampu untuk bersikap terbuka, sehingga tidak sulit
bagi mereka menumbuhkan sikap empati terhadap mahasiswa lain yang berbeda
budaya dengannya. Hal ini dikarenakan ia lebih mampu memahami komunikan.
Perasaan positif terbukti mampu mempengaruhi keadaan yang harmonis
dalam penelitian ini. Ketika seorang mahasiswa merasa situasi yang melibatkan
dirinya dan temannya yang berbeda budaya sangat mendukung dimana tidak ada
perasaan terancam, tidak dikritik dan tertantang , maka akan semakin mudah
baginya untuk berkomunikasi dengan temannya tersebut. Situasi terbebas dari
ancaman, tidak dikritik ataupun ditantang ini telah dicapai oleh para mahasiswa
sehingga komunikasi yang berlangsung dapat berjalan dengan baik. Selain itu,
ketika kesempatan dalam berpikir, berasa, dan bertindak seimbang, maka
komunikasi dapat berjalan dengan adil sehingga meminimalisir kemungkinan
untuk kesan negatif komunikator terhadap komunikan sehinga suasananya dapat
harmonis. Hal ini telah terlihat dari jawaban responden yang menyatakan bahwa
kesempatan mereka dalam berpikir, berasa, dan bertindak sudah cukup seimbang.
Dari penelitian yang dilakukan peneliti untuk melihat hubungan antara
tingkat keterbukaan terhadap kepahaman akan informasi yang disampaikan,
dilihat adanya hubungan yang cukup signifikan. Dimana peneliti mendapati
7
bahwa tingkat keterbukaan seorang mahasiswa ketika berkomunikasi dengan
mahasiswa lain yang berbeda budaya sangat mempengaruhi tingkat kepahaman
akan informasi yang disampaikan. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan
untuk melihat hubungan penggunaan bahasa daerah terhadap tingkat
kesalahpahaman, terlihat juga memiliki keterkaitan. Dimana dapat dilihat ketika
mahasiswa sebagai komunikator jarang menggunakan bahasa daerahnya dalam
berkomunikasi dengan mahasiswa lain, maka akan jarang terjadi kesalahpahaman.
Jadi, semakin sedikit mahasiswa menggunakan bahasa daerah maka akan semakin
kecil kemungkinannya terjadi kesalahpahaman.
Dari uraian yang telah dijelaskan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dinamika komunikasi antarbudaya yang terlihat di kalangan mahasiswa FISIP
USU sudah berjalan cukup baik (harmonis). Hal ini dapat dilihat dari kecilnya
tingkat kesalahpahaman yang terjadi ketika berkomunikasi dengan mahasiswa
yang berbeda budaya, selain itu para mahasiswa juga sudah berbaur dengan
mahasiswa yang berbeda budaya dengannya serta menjalin hubungan yang
harmonis.
PENUTUP
Dari hasil penelitian yang telah peneliti dapatkan, peneliti menyimpulkan
bahwa:
1. Komunikasi antarbudaya sangat penting dipahami di tengah lingkungan yang
memiliki berbagai suku bangsa yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berbeda seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan kampus FISIP
USU.
2. Komunikasi antarbudaya yang terjalin di lingkungan FISIP USU sudah cukup
harmonis
3. Sudah jarang terjadi kesalahpahaman yang dapat menghambat proses
komunikasi di antara mahasiswa yang berbeda
4. Ketika mahasiswa mampu untuk bersikap terbuka dan jujur ketika
berkomunikasi dengan mahasiswa lain yang berbeda budaya, maka akan lebih
mudah bagi mereka untuk mencapai hubungan yang lebih baik
Adapun saran-saran yang ingin peneliti sampaikan, adalah:
1. Agar para mahasiswa diajarkan lebih dalam mengenai komunikasi
antarbudaya karena hal tersebut sangat penting dipahami mahasiswa agar
mereka mengerti bagaimana cara untuk berinteraksi dengan teman-temannya
dari suku bangsa yang berbeda dengan dirinya.
2. Akan lebih baik jika ada sebuah wadah kelompok bagi mahasiswa di kampus
yang mengkhususkan tujuannya untuk belajar dan bertukar kebudayaan
dengan teman dari suku bangsa yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Premada
Media Group
Henny, Zuraida dkk. 2011. Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Korea Selatan
di Yogyakarta. Medan: USU Press.
8
Indria, Riska. 2012. Efektifitas Komunikasi Antarbudaya di Pasar Tradisional
(Studi Kasus Efektifitas Komunikasi Antarbudaya Antar Penjual Dan
Pembeli Di Pasar Tradisional Petisah Medan). Medan: USU Press.
Iswari, Andriana Noro dan Pawito. 2012. Komunikasi Antar Budaya di Kalangan
Mahasiswa ( Studi tentang Komunikasi Antar Budaya di Kalangan
Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa etnis Jawa di Universitas
Sebelas Maret Surakarta ). Medan: USU Press.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Lubis, Lusiana Andriani. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya.
Medan: USU Press.
____________________. 2012. Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan
Pribumi di Kota Medan. Medan: USU Press.
Lubis. Lusiana Andriani dan Pinem, Emma Violita. 2012. Culture Shock pada
Mahasiswa Asal Malaysia di Medan. Medan: USU Press.
Singarimbun, Masri. 2008. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3PS.
Sukmadinata, Nana Syacdih. 2006. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss. 2005. Human Communicatian: Konteks
Konteks Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumber Lain :
KBBI Online. Pengertian Multikulturalisme. http://kbbi.web.id/multikulturalisme.
Diakses pada tanggal 17 Januari 2014, pukul 13.03 WIB.
Depdikbud. Pengertian Angket. http://depdikbud.ac.id. Diakses pada tanggal 2
Februari 2014, pukul 21.01 WIB.
9
Download