Osphronemus gouramy

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan biologi ikan gurame
Ikan gurame (Osphronemus gouramy) (Gambar 1) merupakan salah satu
ikan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia khususnya di daerah
Jawa Barat. Taksonomi ikan gurame adalah sebagai berikut:
Kelas
:
Pisces
Sub Kelas :
Teleostei
Ordo
Labyrinthici
:
Sub Ordo :
Anabantoidae
Famili
:
Anabantidae
Genus
:
Osphronemus
Species
:
Osphronemus gouramy (Lacepede)
Gambar 1. Ikan gurame
Panjang dan bobot tubuh ikan gurame konsumsi sangat bergantung
terhadap lamanya waktu pembesaran. Pemanenan hasil pembesaran ikan gurame
minimal mencapai umur dua tahun. Ikan gurame yang berumur dua tahun
memiliki panjang dan bobot tubuh yaitu 25 cm dan 0,3 kg/ekor, umur tiga tahun
memiliki panjang dan bobot tubuh yaitu 35 cm dan 0,7 kg/ekor, empat tahun
mencapai panjang dan bobot tubuh yaitu 40 cm dan 1,5 kg/ekor. Pertumbuhan
yang lambat ini merupakan salah satu masalah besar dalam usaha pembesaran
gurame, di samping pencapaian matang gonad pertama kali yang relatif lama,
yakni sekitar 3-4 tahun.
2.2. Klasifikasi dan biologi ikan nila
Berdasarkan klasifikasi, ikan nila (Gambar 2) adalah ikan yang tergolong
ke dalam famili Cichlidae, genus Oreochromis dan memiliki nama ilmiah
Oreochromis niloticus (Trewavas 1983). Secara lengkap, klasifikasi ikan nila
adalah sebagai berikut:
Filum
:
Chordata
Kelas
:
Pisces
Ordo
:
Percomorphi
Sub ordo :
Percoidea
Famili
:
Cichlidae
Genus
:
Oreochromis
Spesies
:
Oreochromis niloticus
Gambar 2. Ikan nila
Ikan nila (Oreochromis niloticus) juga merupakan salah satu ikan yang
banyak ditemukan di sungai dan telah dibudidaya lebih dari tiga ratus tahun.
Sekarang ini, ikan nila merupakan salah satu ikan air tawar yang cukup penting,
dikarenakan telah banyak digunakan sebagai model pada berbagai penelitian
budidaya, di antaranya aplikasi metode molekuler untuk mendeteksi evolusi
struktur dan taksonomi dari berbagai jenis, studi diferensiasi seks, dan kinetik sel
germinal (Nóbrega et al. 2009). Selain itu, ikan nila memiliki rasa dan daging
yang enak, sehingga menjadi ikan air tawar ekonomis penting. Pertumbuhan ikan
nila yang cepat, resisten terhadap kondisi perubahan air, dapat mencapai
kematangan gonad pertama kali sekitar 4-6 bulan, dan bereproduksi pada umur
dua bulan jika kondisi air sekitar 25oC (Stickney 2000). Karakteristik-karakteristik
inilah yang menjadikan ikan nila sebagai model ikan yang menarik untuk studi
biologi perkembangan (developmental biology) pada kondisi laboratorium,
termasuk yang berhubungan dengan biologi reproduksi (Lacerda et al. 2006). Di
samping itu, ikan nila juga banyak digunakan untuk penelitian fisiologi (Wright &
Land 1998), endokrinologi (Melamed et al. 1998), genetika molekuler, dan
transgenik (Fujimura & Okada 2007; Kobayashi et al. 2007).
Ikan nila memiliki ciri-ciri seperti adanya garis vertikal yang berwarna
gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut
juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal. Keunikan lain dari ikan nila
ditunjukkan dari bentuk telurnya yang lonjong serta perkembangan embrionya
yang mencapai 90-110 jam pasca pembuahan, seperti yang dilaporkan oleh
Fujimura & Okada (2007).
2.3. Transplantasi sel germinal
Transplantasi merupakan suatu proses pemindahan organ, jaringan, atau
sel dari spesies donor ke spesies resipien. Teknologi transplantasi telah digunakan
dalam penelitian yang berhubungan dengan biologi reproduksi dan preservasi
organisme yang memiliki ekonomis tinggi atau terancam punah. Dalam
hubungannya dengan reproduksi, transplantasi dilakukan menggunakan sel
germinal. Sel germinal yang memindahkan informasi genetik dari generasi ke
generasi berikutnya, berdiferensiasi pada awal embriogenesis dari sejumlah kecil
sel yakni sel bakal gonad (Primordial Germ Cells, PGCs). PGC merupakan sel
germinal awal diferensiasi seksual gonad, yang memiliki kemampuan menjadi
oogonia dan spermatogonia di dalam masing-masing ovari dan testis (Yoshizaki et
al. 2002).
Teknlogi transplantasi sel germinal pertama kali dikembangkan pada ikan
rainbow trout oleh Yoshizaki dan kolega di Tokyo University of Marine Science
and Technology. Sebagai tahap awal, aplikasi teknologi ini menggunakan sel
PGC sebagai materialnya. Sel PGC rainbow trout ditransplantasikan ke ikan
salmon masu sebagai resipien (induk “semang”), dan ternyata sel tersebut
mengalami gametogenesis secara normal pada gonad ikan salmon masu (Takeuchi
et al. 2004). Akan tetapi, jumlah sel PGC pada ikan relatif sedikit misalnya hanya
berkisar 20-30 sel per embrio ikan rainbow trout, dan pengambilan sel PGC pada
larva yang baru menetas umumnya relatif sulit (Yoshizaki et al. 2008). Untuk
menanggulangi
masalah
pengadaan
sel
PGC,
pengembangan
teknologi
transplantasi selanjutnya adalah menggunakan sel testikular yang di dalamnya
mengandung sel stem spermatogonia (spermatogonial tipe A).
Transplantasi sel testikular telah dilakukan pada ikan rainbow trout
(Okutsu et al. 2006) dan pada ikan nila (Lacerda et al. 2006). Berdasarkan
penelitian Okutsu et al. (2006) bahwa sekitar 10.000 sel testikular ikan rainbow
trout yang ditransplantasikan dapat terinkorporasi di dalam genital ridge resipien
dalam waktu 20 hari setelah transplantasi. Penelitian tersebut juga menyimpulkan
bahwa sel testikular dapat berkolonisasi dalam gonad embrio dan dapat
berdiferensiasi menjadi sel germinal jantan atau betina.
2.4. Marka molekuler
Sel germinal donor yang terinkorporasi pada gonad resipien, diidentifikasi
dengan suatu marka/penanda. Pada awalnya, marka sebagai sistem visualisasi sel
germinal dikembangkan secara biokimia. Pada mamalia, PGC dapat dibedakan
dari sel somatik menggunakan fosfat alkalin, sedangkan pada burung
menggunakan kandungan glycogen (Eddy 1975, diacu dalam Yoshizaki et al.
2000). Akan tetapi, pada ikan, tidak ada indikator biokimia yang bisa
membedakan PGC.
Awalnya, PGC ikan dapat dikenali dengan histologi berdasarkan karakter
morfologinya, seperti ukuran, rasio nukleositoplasmik, granular nuclear
chromatin (Patino & Takashima 1995, diacu dalam Yoshizaki et al. 2000).
Berdasarkan penelitian Moore (1937, diacu dalam Yoshizaki et al. 2000) bahwa
secara histologi, PGC ikan rainbow trout dapat diidentifikasi pada tahap
mesoderm ketika mendekati blastopore, sembilan hari setelah fertilisasi. Akan
tetapi, tidak diketahui mekanisme molekuler yang mengatur penentuan dan
perkembangan PGC ikan tersebut, sehingga diperlukan analisa secara molekuler
untuk mengidentifikasi sel germinal ikan.
Pengembangan marka molekuler untuk identifikasi sel germinal ikan
diawali dengan penelitian kloning dan isolasi gen vasa (RtVLG) pada ikan
rainbow trout (Yoshizaki et al. 2000). Penelitian tersebut menghasilkan RtVLG,
yang dapat digunakan sebagai marka untuk PGC embrio ikan rainbow trout
karena ekspresi gen tersebut hanya pada sel germinal. Selanjutnya, Wolke et al.
(2002, diacu dalam Takeuchi et al. 2002) menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan gen GFP sebagai reporter, diketahui daerah pengatur ekspresi gen
RtVLG. Pengatur ekspresi (promoter) gen yang terletak di ujung 5’ dan sekuens
ujung 3’ serta intron pertama gen RtVLG yang mengandung cis-element yang
esensial bagi vasa disambungkan dengan gen GFP untuk mengetahui pola
ekspresinya pada PGC secara spesifik dan ikan rainbow trout hidup. Ekspresi
RtVLG hanya dideteksi pada populasi sel/PGC yang mengandung gen GFP.
Gen GFP adalah gen yang mengkodekan protein berpendar hijau. Gen
GFP dapat terekspresi apabila PGC diisolasi dari ikan transgenik. Takeuchi et al.
(2002) menyimpulkan bahwa beberapa strain ikan rainbow trout transgenik yang
membawa pvasa-GFP, dapat mengekspresikan sel sama baiknya dengan distribusi
mRNA RtVLG (Yoshizaki et al. 2000); dan morfologi sel dengan pewarnaan
antibodi spesifik GFP konsisten dengan PGC ikan rainbow trout transgenik.
Aplikasi GFP menggunakan ikan transgenik dapat memberi hasil yang
cukup baik dalam perkembangan sistem transplantasi sel germinal ikan, akan
tetapi dikarenakan keterbatasan ikan transgenik, yakni tidak dapat dilepaskan
secara bebas di alam, sehingga diperlukan visualisasi sel germinal menggunakan
ikan
bukan
transgenik.
Dengan
demikian,
Yoshizaki
et
al.
(2005)
mengembangkan sistem visualisasi sel germinal menggunakan RNA GFP-vasa
dengan metode injeksi kimera mRNA. Metode visualisasi ini memiliki
keuntungan yakni durasi waktu pendek dalam memproduksi benih melalui
teknologi induk “semang” (Takeuchi et al. 2003). Namun demikian, sifat mRNA
yang mudah terdegradasi sehingga injeksi kimera mRNA untuk melabeli PGC
bersifat sementara (Yoshizaki et al. 2005).
Baru-baru ini telah dikembangkan sistem identifikasi sel germinal
transplan gen tertentu menggunakan metode PCR dengan primer spesifik. Dari
penelitian Okutsu et al. (2008) dilaporkan bahwa sel germinal donor ikan rainbow
trout dapat diidentifikasi menggunakan primer spesifik berdasarkan sekuen gen
vasa, yang diamplifikasi dengan metode PCR, sehingga hanya DNA dari sel
germinal ikan rainbow trout saja yang dideteksi oleh primer tersebut.
2.5 PCR
PCR merupakan salah satu teknik amplifikasi daerah spesifik DNA,
ditetapkan oleh dua primer, pada saat sintesis DNA yang dimulai dengan
penstabilan suhu DNA polimerase. Biasanya, paling sedikit bagian spesifik
molekul DNA yang dapat dihasilkan adalah sampai satu juta copy dan produk
PCR dapat dideteksi dalam gel agarosa menggunakan etidium bromida. Daerah
yang diamplifikasi biasanya mencapai panjang antara 150-3000 pasang basa (bp)
(McPherson et al. 1991, diacu dalam Altinok & Kurt 2003).
Proses amplifikasi DNA secara cepat merupakan metode trial and error
dengan optimalisasi PCR (Rasmussen 1992). Optimalisasi suatu amplifikasi
dipengaruhi oleh tiga kondisi penting yaitu templet, suhu annealing bagi primer,
dan suhu dan waktu yang cukup untuk ekstensi. Kesalahan saat penggabungan
kondisi-kondisi tersebut merupakan penyebab kegagalan saat amplifikasi,
khususnya pada suhu annealing dan konsentrasi garam akan mempengaruhi
kestabilan DNA duplex. Komponen-komponen yang
mendukung reaksi
amplifikasi adalah primer, DNA templet, dNTP, konsentrasi Mg, buffer, enzim,
volume reaksi, waktu siklus dan suhu (Rasmussen 1992).
Primer merupakan hal yang penting untuk mencapai sensitivitas dan
spesivitasnya yang lebih tinggi. Reaksi PCR termasuk DNA templet
yang
bentuknya dapat beragam, primer, buffer, enzim polimerase untuk mengkatalis
copy DNA baru, dan dNTP untuk membentuk copy DNA yang baru. Proses yang
berlangsung dari reaksi thermocycling adalah DNA templet didenaturasi, primer
menempel pada daerah komplemennya dan enzim polimerase mengkatalis
penambahan nukleotida pada masing-masing primer, kemudian membuat copy
baru dari daerah targetnya (Dale & Schantz 2002).
Disain primer sangat mempengaruhi keberhasilan amplifikasi.
Primer
yang memiliki fleksibilitas saat seleksi primer, adalah primer terbaik yang dapat
mengoptimalisasi dan memaksimalkan hasil dan spesifisitas produk amplifikasi.
Agar primer dapat bekerja secara optimal, maka primer yang didisain sebaiknya
memiliki panjang 20-30 nukleotida dengan kandungan GC sekitar 30-70%.
Pembentukan primer dimer terjadi apabila ujung basa 3’ merupakan komplemen
(Rasmussen 1992). Primer akan mengikat pada untai DNA yang berlawanan,
dengan ujung titik 3’ pada ujung 5’. Penambahan enzim polimerase pada primer,
dan proses polimerisasi bolak-balik dari belakang ke depan, membentuk suatu
jumlah pertambahan secara eksponensial dari molekul untai ganda DNA (Griffith
et al. 2005).
Awal PCR ini dimulai dengan suatu pembuatan larutan yang mengandung
DNA templet, primer, keempat basa deoksiribonukleat trifosfat (dNTP), dan DNA
polimerase (Griffith et al. 2005). Proses PCR dimulai dengan tahap denaturasi,
yaitu pemisahan untai ganda (double strand) DNA templet menjadi untai tunggal
(single strand), yang dilakukan pada suhu 94°C. Kemudian dilanjutkan dengan
annealing, yaitu penempelan primer pada sekuen target yang dilakukan dengan
menurunkan suhu sekitar 54oC sehingga kedua primer dapat berikatan pada untai
DNA yang berlawanan/komplemennya. Diakhiri dengan proses ekstensi yaitu
pemanjangan sekuen nukleotida yang berlangsung pada suhu sekitar 72oC. Ketiga
tahap proses tersebut merupakan satu siklus PCR yang akan terjadi berulangulang hingga 30-40 siklus, bergantung pada target produk PCR yang diharapkan.
(Gambar 3)
Gambar 3. Tahapan kerja PCR; 1. Tahap denaturasi; 2. Tahap annealing; 3.Tahap
ekstensi (P: Polimerase); 4. Perkembangan pada siklus selanjutnya
(Erlich, 1989)
Komponen primer pada pereaksi PCR sangat menentukan keberhasilan
suatu reaksi amplifikasi, yang pada dasarnya merupakan DNA atau RNA untai
tunggal pendek yang berfungsi sebagai titik inisiasi proses amplifikasi DNA
target.
Menurut
Erlich
(1989)
bahwa
primer
dapat
didisain
dengan
mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:
a. Distribusi basa acak dan kandungan GC yang mirip dengan fragmen-fragmen
yang akan diamplifikasi. Menghindari primer dengan sekuen polipurin,
polipirimidin, atau sekuen lain yang unusual seperti palindrome.
b. Menghindari sekuen dengan struktur kedua (secondary structure) dalam
bentuk loop, khususnya pada ujung 3’ primer.
c. Sekuen primer tidak saling complemen.
Kebanyakan primer memiliki panjang 20-30 basa, yang disintesis sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Primer akan bekerja dengan tingkatan suhu
yang
berbeda-beda
berdasarkan target
yang
diharapkan (Erlich 1989).
Penempelan primer pada sekuen-sekuen komplemennya yakni pada molekul DNA
untai tunggal terjadi pada suhu sekitar 54oC. Proses ini dikenal dengan annealing.
Enzim polimerase yang digunakan dalam proses PCR biasanya dikenal
dengan sebutan Taq polimerase. Enzim ini berperan sebagai katalis dalam reaksi
reaksi penambahan mononukleotida pada primer sesuai dengan sekuen DNA yang
berada di sebelahnya. Proses ini dikenal dengan ekstensi yang terjadi umumnya
pada suhu 72oC
Download