Menyediakan Infrastruktur Yang Aksesibel untuk Difabel dan alam. Di samping itu, yang lebih krusial lagi, ruang pedestrian yang semestinya diperuntukkan semua warga kota, kini ada kelompok masyarakat yang seolah-olah tidak diizinkan untuk mengakses dan memakainya. Mereka adalah penyandang difabel, khususnya kelompok tunadaksa (difabel fisik), yang terdiri dari pengguna kursi roda, orang yang jalannya timpang tanpa memakai alat bantu, serta mereka yang bisa jalan sendiri tapi membutuhkan alat bantu, seperti tongkat jalan dan kruk (crutches). Umumnya infrastruktur kota dirancang dan dibangun berdasarkan pengguna yang memenuhi standar normal dan sehat. Asumsi ini tidak bisa dipertahankan bila kehidupan di kota memegang asas persamaan hak dan kesempatan bagi semua kelompok masyarakat. Kebutuhan khusus penyandang difabel perlu diindahkan agar mereka bisa memanfaatkan infrastruktur publik dengan mudah dan mandiri. Dari pengalaman penyandang difabel serta pemerhati disabilitas, mobilitas, dan aksesibilitas, ketinggian permukaan tanah dan lantai merupakan rintangan yang paling melumpuhkan. Tangga (staircase) dan satu undakan (one step) membuat mobilitas penyandang difabel terhenti. Padahal, hampir semua infrastruktur di kota besar dibangun dengan tangga dan satu undakan, baik ruang terbuka publik maupun bangunan umum. Kondisi ketinggian lantai lebih memperparah mobilitas, bila tangga tidak dilengkapi pegangan rambatan (handrail) pada kedua sisi. Kondisi ini mendorong difabel untuk tidak berada di jalan. Kalaupun ada orang difabel di jalan, mereka biasanya menjadi pengemis yang mencari nafkah. Kondisi seperti ini masih terjadi di kota besar, seperti Bandung, di mana orang difabel dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah “menjual” kedifabelannya untuk mendapatkan sedekah. Di sini fungsi ruang terbuka menjadi tempat mencari nafkah bagi penyandang difabel. Berikut sebuah kasus mengenai seorang perempuan tunadaksa yang tinggal di Bandung. Tadinya ia memakai alat penopang kaki (leg brace) dan kruk untuk jalan, tapi kini ia menggunakan kursi roda. Beberapa tahun lalu, penulis mewawancarainya tentang riwayat kedifabelan dan kendala yang dialaminya berupa kegagalan perempuan tunadaksa ini meneruskan dan menamatkan studi di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Penyebabnya adalah bangunan yang bertingkat dan tidak ada lift. Transportasi juga menjadi problem karena lokasi tempat kuliah jauh dari rumahnya sehingga biaya kendaraan menjadi mahal. Atas saran ayahnya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studi walaupun semangat belajarnya masih tinggi. Hasil observasi terhadap bangunan dan ruang terbuka di Bandung mengindikasikan bahwa pembangun dan pemakai sama-sama menyukai tangga atau satu undakan. Dimanamana dibuat ketinggian lantai, bahkan pada ambang pintu pun ada kenaikan lantai. Meskipun tingginya tiga sentimeter, tetapi berpotensi membuat orang tersandung. Ke depan akan bermanfaat bila masalah tangga dan satu undakan diteliti dengan pertanyaan, “Mengapa tangga dan satu undakan perlu dibuat dalam bangunan? Apa sebabnya orang tidak mengarahkan suatu pembangunan kepada permukaan datar?” KIPRAH Volume 51 th XIII | Juli-Agustus 2012 Prinsip desain universal mendukung permukaan yang datar dan berupaya tidak menciptakan undakan, melainkan membuat permukaan rata. Kalaupun diperlukan tangga, maka di dekatnya ada ramp (tangga landai) yang landai dengan pegangan rambatan pada kedua sisi. Desain universal tidak mengganggu keindahan arsitektural bila dirancang secara profesional. Tidak hanya penyandang difabel, tetapi semua orang dengan mobilitas fisik terbatas memerlukan infrastruktur kota yang aksesibel. Khususnya infrastruktur jalan, pelataran, dan taman banyak didatangi publik. Namun infrastruktur-infrastruktur ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Permukiman yang dulu asri, seperti Jalan Dago, Bandung, telah berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Kondisi ruang terbuka seperti ini mengeksklusikan keberadaan penyandang difabel dan orang lansia. Dibandingkan dengan ruang terbuka publik di negara maju (Barat), jalan, pelataran, dan taman di Indonesia relatif kurang ramah. Solusi terhadap problem rintangan fisik ini adalah menerapkan desain universal. Prinsip ini menginklusikan perubahan yang terjadi pada kemampuan fisik dan mental orang semasa hidupnya. Center for Universal Design, North Carolina State University di Amerika Serikat mendefinisikan desain universal sebagai desain produk dan lingkungan yang dapat dipakai semua orang sejauh ia bisa melakukan sendiri tanpa perlu ada penyesuaian atau desain khusus. Desain universal merupakan perkembangan dari desain aksesibilitas atau desain bebas hambatan yang memang ditujukan kepada penyandang cacat. Desain universal dapat digunakan semua orang, baik yang menyandang cacat maupun tidak karena tidak ada diskriminasi dalam pemakaian ruang. Infrastruktur bebas hambatan akan mendorong orang nondifabel memilih jalan kaki daripada naik kendaraan motor. Orchard Road di Singapura merupakan model infrastruktur publik yang mendorong orang memilih untuk jalan kaki, yang juga dibarengi dengan perbaikan sistem transportasi publik. Dengan demikian, keberlanjutan penghijauan dipertahankan. Sejalan dengan ini, ruang terbuka publik dibuat menjadi mudah diakses. Ketika membangun lingkungan binaan, developer diharapkan menerapkan “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan” yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1998. Contoh nyata adalah ramp yang panjang dan landai pada entrance ( jalan masuk). Di sebuah rumah sakit di Bandung, tepat di sebelah ramp ada tangga. Kita tentu sepakat bahwa ramp ini amat berguna bagi pasien, pemakai kursi roda, dan perawat yang mendorong usungan di mana pasien berbaring. Yang menarik adalah ram tidak saja digunakan oleh mereka dengan problem mobilitas, tapi juga oleh pengunjung pasien, tim medik, dan pegawai rumah sakit yang tanpa sengaja melewati ram ini alih-alih tangga disebelahnya. Inilah contoh baik dari desain universal yang tidak membedakan pemakai. Contoh lainnya bisa kita lihat di gedung baru Kementerian PU di Jakarta yang mengakomodasi penyandang difabel dengan adanya kamar kecil khusus difabel dan ram. n 37