37 Menyediakan Infrastruktur Yang Aksesibel untuk Difabel 37

advertisement
Menyediakan Infrastruktur Yang Aksesibel untuk Difabel
dan alam.
Di samping itu, yang lebih krusial lagi, ruang pedestrian
yang semestinya diperuntukkan semua warga kota, kini ada
kelompok masyarakat yang seolah-olah tidak diizinkan untuk mengakses dan memakainya. Mereka adalah penyandang
difabel, khususnya kelompok tunadaksa (difabel fisik), yang
terdiri dari pengguna kursi roda, orang yang jalannya timpang
tanpa memakai alat bantu, serta mereka yang bisa jalan sendiri
tapi membutuhkan alat bantu, seperti tongkat jalan dan kruk
(crutches).
Umumnya infrastruktur kota dirancang dan dibangun berdasarkan pengguna yang memenuhi standar normal dan sehat.
Asumsi ini tidak bisa dipertahankan bila kehidupan di kota
memegang asas persamaan hak dan kesempatan bagi semua
kelompok masyarakat. Kebutuhan khusus penyandang difabel
perlu diindahkan agar mereka bisa memanfaatkan infrastruktur publik dengan mudah dan mandiri.
Dari pengalaman penyandang difabel serta pemerhati disabilitas, mobilitas, dan aksesibilitas, ketinggian permukaan tanah dan
lantai merupakan rintangan yang paling melumpuhkan. Tangga
(staircase) dan satu undakan (one step) membuat mobilitas penyandang difabel terhenti. Padahal, hampir semua infrastruktur
di kota besar dibangun dengan tangga dan satu undakan, baik ruang terbuka publik maupun bangunan umum. Kondisi ketinggian
lantai lebih memperparah mobilitas, bila tangga tidak dilengkapi
pegangan rambatan (handrail) pada kedua sisi.
Kondisi ini mendorong difabel untuk tidak berada di jalan.
Kalaupun ada orang difabel di jalan, mereka biasanya menjadi
pengemis yang mencari nafkah. Kondisi seperti ini masih terjadi di kota besar, seperti Bandung, di mana orang difabel dari
golongan masyarakat berpenghasilan rendah “menjual” kedifabelannya untuk mendapatkan sedekah. Di sini fungsi ruang terbuka menjadi tempat mencari nafkah bagi penyandang difabel.
Berikut sebuah kasus mengenai seorang perempuan tunadaksa yang tinggal di Bandung. Tadinya ia memakai alat penopang
kaki (leg brace) dan kruk untuk jalan, tapi kini ia menggunakan
kursi roda. Beberapa tahun lalu, penulis mewawancarainya tentang riwayat kedifabelan dan kendala yang dialaminya berupa
kegagalan perempuan tunadaksa ini meneruskan dan menamatkan studi di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Penyebabnya
adalah bangunan yang bertingkat dan tidak ada lift. Transportasi juga menjadi problem karena lokasi tempat kuliah jauh dari
rumahnya sehingga biaya kendaraan menjadi mahal. Atas saran
ayahnya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studi walaupun semangat belajarnya masih tinggi.
Hasil observasi terhadap bangunan dan ruang terbuka di
Bandung mengindikasikan bahwa pembangun dan pemakai
sama-sama menyukai tangga atau satu undakan. Dimanamana dibuat ketinggian lantai, bahkan pada ambang pintu
pun ada kenaikan lantai. Meskipun tingginya tiga sentimeter,
tetapi berpotensi membuat orang tersandung. Ke depan akan
bermanfaat bila masalah tangga dan satu undakan diteliti dengan pertanyaan, “Mengapa tangga dan satu undakan perlu
dibuat dalam bangunan? Apa sebabnya orang tidak mengarahkan suatu pembangunan kepada permukaan datar?”
KIPRAH Volume 51 th XIII | Juli-Agustus 2012
Prinsip desain universal mendukung permukaan yang
datar dan berupaya tidak menciptakan undakan, melainkan
membuat permukaan rata. Kalaupun diperlukan tangga, maka
di dekatnya ada ramp (tangga landai) yang landai dengan pegangan rambatan pada kedua sisi. Desain universal tidak
mengganggu keindahan arsitektural bila dirancang secara profesional.
Tidak hanya penyandang difabel, tetapi semua orang dengan mobilitas fisik terbatas memerlukan infrastruktur kota
yang aksesibel. Khususnya infrastruktur jalan, pelataran, dan
taman banyak didatangi publik. Namun infrastruktur-infrastruktur ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Permukiman yang dulu asri, seperti Jalan Dago, Bandung,
telah berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Kondisi ruang terbuka seperti ini mengeksklusikan keberadaan penyandang difabel dan orang lansia. Dibandingkan dengan ruang terbuka publik di negara maju (Barat), jalan, pelataran, dan taman
di Indonesia relatif kurang ramah.
Solusi terhadap problem rintangan fisik ini adalah menerapkan desain universal. Prinsip ini menginklusikan perubahan yang terjadi pada kemampuan fisik dan mental orang
semasa hidupnya. Center for Universal Design, North Carolina
State University di Amerika Serikat mendefinisikan desain
universal sebagai desain produk dan lingkungan yang dapat
dipakai semua orang sejauh ia bisa melakukan sendiri tanpa
perlu ada penyesuaian atau desain khusus.
Desain universal merupakan perkembangan dari desain aksesibilitas atau desain bebas hambatan yang memang
ditujukan kepada penyandang cacat. Desain universal dapat
digunakan semua orang, baik yang menyandang cacat maupun
tidak karena tidak ada diskriminasi dalam pemakaian ruang.
Infrastruktur bebas hambatan akan mendorong orang nondifabel memilih jalan kaki daripada naik kendaraan motor.
Orchard Road di Singapura merupakan model infrastruktur
publik yang mendorong orang memilih untuk jalan kaki, yang
juga dibarengi dengan perbaikan sistem transportasi publik.
Dengan demikian, keberlanjutan penghijauan dipertahankan.
Sejalan dengan ini, ruang terbuka publik dibuat menjadi mudah diakses. Ketika membangun lingkungan binaan, developer
diharapkan menerapkan “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan” yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1998.
Contoh nyata adalah ramp yang panjang dan landai pada
entrance ( jalan masuk). Di sebuah rumah sakit di Bandung,
tepat di sebelah ramp ada tangga. Kita tentu sepakat bahwa
ramp ini amat berguna bagi pasien, pemakai kursi roda, dan
perawat yang mendorong usungan di mana pasien berbaring.
Yang menarik adalah ram tidak saja digunakan oleh mereka
dengan problem mobilitas, tapi juga oleh pengunjung pasien,
tim medik, dan pegawai rumah sakit yang tanpa sengaja melewati ram ini alih-alih tangga disebelahnya. Inilah contoh baik
dari desain universal yang tidak membedakan pemakai. Contoh lainnya bisa kita lihat di gedung baru Kementerian PU di
Jakarta yang mengakomodasi penyandang difabel dengan adanya kamar kecil khusus difabel dan ram. n
37
Download