Bab 1 Pendahuluan

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling
membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis
atau melakukan hubungan romantis kepada orang lain. Hubungan yang akrab dengan
lawan jenis yang dijalani pada masa remaja berkembang menuju proses pacaran yang
intim memasuki usia dewasa muda, karena pada tahap ini merupakan tahap transisi dari
proses remaja menuju tahap dewasa muda. Menurut Erickson (dalam Hurlock, 1999) tahap
dewasa muda dimulai pada saat usia 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun. Sedangkan masa
dewasa muda menurut Papalia et al (2007) dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Dimana
pada saat usia tersebut individu memiliki cinta yang dewasa yang berarti memiliki
komitmen, hasrat seksual, kerja sama, kompetensi sekaligus sahabat (Feist & Feist, 2008).
Pada usia dewasa muda ditandai oleh krisis psikososial intimacy vs isolation.
Menurut Erickson (dalam Howe, 2012) intimasi adalah kemampuan untuk menyatukan
identitas diri dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitas diri itu sendiri.
Jika seorang dewasa membentuk persahabatan yang sehat dan sebuah hubungan yang
intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, jika tidak hasilnya adalah isolation
(Santrock, 2002). Menurut Stanberg (dalam Carrol, 2005) keintiman dengan lawan jenis
melibatkan perasaan yang dekat, terikat dan saling berhubungan.
Keintiman yang melibatkan perasaan dekat, terikat tersebut menumbuhkan
perasaan cinta yang di akui sebagai pacaran pada pasangan. Tujuan yang ingin dicapai
dalam berpacaran yaitu keintiman dengan lawan jenis dan berbagi dengan orang lain
(Gembeck & Patherick, 2006). Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran itu
muncul semenjak pernikahan menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga
dan sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita
mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Hubungan pacaran yang dilakukan
oleh dewasa muda mengacu pada berbagai acara-acara romantis yang dijalani oleh
individu misalnya makan malam romantis, menghadiri accara hiburan, atau melakukan
liburan akhir pekan. Ini dilakukan sebagai awal penghubung yang memungkinkan orang
untuk mengenal satu sama lain dalam rangka untuk memutuskan apakah mereka ingin
mengejar hubungan yang lebih serius (Howe, 2012). Menurut Tucker (2004) dating
dimulai dari berkenalan, berteman, dan kemudian pacaran.
Masa pacaran (dating) penting untuk dilalui karena tujuan dari pacaran itu sendiri
adalah saling mengenal pasangan lebih lanjut, agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan setelah menikah (Cate & Lloyd, dalam DeGenova 2008). Hubungan pacaran
mengacu pada tahap awal hubungan romantis yang berfungsi sebagai dasar untuk
membangun hubungan yang berpotensi sebagai sebuah komitmen. Pentingnya komitmen
pada suatu hubungan untuk ke tahap yang lebih serius, memungkin individu untuk
berusaha mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik demi masa depan dan
kelangsungan hidup. Ini termasuk dalam salah satu tugas dari perkembangan dewasa
muda, namun kadang dampaknya membuat hubungan yang dijalani harus dihadapkan
pada perpisahan secara geografis yang cukup jauh. Pacaran jarak jauh atau Long-distance
relationship merupakan pacaran yang dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak
memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu (Hampton, 2004).
Salah satu responden yang diwawancarai, kenapa memilih hubugan jarak jauh?
“Karena tidak ada pilihan lain, kami berpisah karena pacar saya harus bekerja di luar
kota. Begitu dia diterima di suatu perusahaan pacar saya langsung di tugaskan di luar
kota”
Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan jarak untuk
mengkategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh. Berdasarkan informasi
demografis dari partisipan penelitian yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga
kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu
pertemuan (seminggu sekali, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga
kategori jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone
(dalam Kidenda, 2002) ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan
berdasarkan ketiga faktor tersebut.
Skinner (2005) mendefinisikan tentang hubungan jarak jauh telah sangat bervariasi
antara studi-studi sebelumnya. Sebagian besar studi sebelumnya menggunakan kriteria
“miles separated” atau keterpisahan jarak, namun jumlah pasti jaraknya sangat bervariasi.
Misalnya, ada yang menggunakan jarak 50 mil atau lebih, ada yang menggunakan 200 mil
atau lebih, dan menggunakan penjelasan bahwa “pasangan saya tinggal tidak jauh dari
saya, bahwa saya bisa melihat dia setiap hari jika saya menginginkannya”. Dari definisi
yang berbeda ini menandakan bahwa banyak faktor yang berperan dalam menentukan
apakah suatu hubungan termasuk jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis
hubungan jarak jauh (Skinner, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Dainton dan Aylor (2001) tentang hubungan jarak
jauh, mengatakan bahwa hubungan jarak jauh yang dijalani dengan komunikasi yang baik
atau adanya kontak face to face akan memiliki kepercayaan dan tidak mengalami
ketidakpastian pada hubungannya dibandingkan dengan hubungan jarak jauh yang tidak
melakukan komunikasi atau kontak face to face.
Hubungan yang dijalani tanpa melakukan komunikasi yang baik akan
memunculkan aspek kecemburuan secara kognitif dan emosional yang membuat tidak
adanya kebahagiaan atau kesejahteraan pada hubungan tersebut. Hubungan dengan tidak
adanya kebahagiaan akan mengurangi kesejahteraan secara psikologis, ini dibuktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Escriba-Agüir and Tenias-Burillo (dalam Wells,
2010). Pada penelitian ini menjelaskan bahwa hubungan yang baik dengan pasangan akan
meningkatkan kesejahteraan psikologis sesorang.
Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan atau Psychological Well-being(PWB)
sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
dan orang lain, mampu dalam membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain,
Memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha dan
mengeksplorasi dirinya.
Salah satu dalam dimensi Psychological Well-Being menurut Ryff dan Singer
(dalam Wells, 2010) adalah kemampuan untuk mempertahankan hubungan positif dengan
orang lain. Orang-orang perlu memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki temanteman yang mereka percaya. Bahkan, banyak penelitian yang dilakukan selama beberapa
tahun terakhir Berkman (dalam Wells, 2010); Davis, Morris and Grausda (dalam Wells,
2010) telah menemukan bahwa isolasi sosial, kesepian dan kehilangan dukungan sosial
yang terkait dengan peningkatan resiko penyakit atau mengurangi harapan untuk hidup.
Kesejahteraan jelas mempengaruhi kontak sosial dan hubungan interpersonal (Wells,
2010).
Penjelasan
diatas
menunjukan
bahwa
kesejahteraan
atau
kebahagiaan
mempengaruhi hubungan interpersonal dan kontak sosial pada sesorang. Dengan memiliki
hubungan yang baik akan meningkatkan kesejahteraan seseorang. Jika pada hubungan
jarak jauh yang dilakukan oleh individu jarang melakukan kontak face to face akan
menimbulkan
kekurang
percayaannya
pada
pasangan
dan
akan
mengurangi
kesejahteraannya atau kebahagiannya karena tidak adanya kesenangan atau suasana hati
yang positif. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti dampak dari hubungan jarak
jauh pada psyhcological well-being pada dewasa muda. Dampak ini dilihat dengan
meneliti perbedaan pyschological well-being hubungan long-distance relationship dengan
non long distance relationship.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka permasalahan yang dibahas
pada penelitian ini adalah:
“Apakah terdapat perbedaan Psychological Well-Being dewasa muda dengan
hubungan Pacaran Long distance dan Pacaran non-Long distance di kalangan Dewasa
Muda?”
1.3
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan
Psychological Well-Being pacaran Long-distance dengan pacaran yang tidak Long
distance relationship.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dari segi teoritis dan praktis ialah:
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
referensi yang dapat digunakan untuk perkembangan ilmu psikologi,
khususnya dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya, terutama
mengenai Psychological Well-being.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pasangan
jarak jauh agar dengan memiliki hubungan yang baik maka individu
dapat mencapai kesejahteraan pada dirinya dan tidak memiliki
pemikiran-pemikiran yang negatif.
Download