BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Mata Kering (MK)
Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan
permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan
kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan
pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK
juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan
pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith,
dkk., 2007).
Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional
Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan
okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi
air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin
dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi,
pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan
terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular
dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan
penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting
dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology,
2014-2015).
6
Memahami komposisi molekular lapisan air mata dan kontribusi kelenjar
meibom terhadap lapisan air mata merupakan hal yang penting untuk bisa
memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea
normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang
dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal,
dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1).
Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air
mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau
tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes
mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang
berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah
sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien
dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena
air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes
Schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm
merupakan diagnostik dari aqueous tear deficiency (ATD) (American Academy of
Ophthalmology, 2014-2015; Lemp, dkk., 2007; Javadi dan Feizi, 2011).
Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah
dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan
kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy
of Ophthalmology, 2014-2015).
Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada
MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT)
yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata
kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu
diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea.
Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American
Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011).
Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa
pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi
dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang
konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat
subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK)
Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka
kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas
65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian MK cenderung lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak berbeda bermakna baik
dari faktor ras dan etnik (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK
sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45
tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee
dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara
usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan
data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun
2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika
Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007).
Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat
dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan
analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban
yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi
(Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan
sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991
sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith,
dkk., 2007).
2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK)
Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK)
telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi
estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan
penggunaan lensa kontak yang lama (Lemp, dkk., 2007; Gayton, 2009).
Secara umum terdapat dua penyebab MK yaitu penurunan cairan aqueus
dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology,
2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan
oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan
Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena
gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek
kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan
oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan
produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan
reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan
vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2)
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK)
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
2.1.3 Patogenesis mata kering (MK)
Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang
mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata.
Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel
konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam
air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet
dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan
ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang
ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata
dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular
akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata.
Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar
lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan
hiperosmolaritas
sekresi
kelenjar
lakrimalis
(American
Academy
of
Ophthalmology, 2014-2015).
Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan
peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak
pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan
hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena
adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan
penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering
disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar
lakrimal (gambar 2.3) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK)
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
2.1.4 Derajat mata kering (MK)
Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of
the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye
workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit
menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat
kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi
konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi
kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan
frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi
konjungtiva tidak ada, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea normal, tanda
pada kornea tidak ada, kondisi kelenjar meibom baik, TBUT ≥ 10 detik; dan nilai
tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit (Henderson dan Madden, 2013).
Tabel 2.1
Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)
1
Kriteria
ketidaknyamanan, ringan
berat, dan
dan/atau
frekuensi
episodik;
terjadi
dalam
stress
lingkungan
Derajat
2
episodik
sedang atau
kronis,
stress atau
tanpa stress
3
frekuensi
berat atau
tetap tanpa
stress
4
berat dan/atau
tidak aktif dan
tetap
mengganggu,
kronik
dan/atau
konstan,
membatasi
aktifitas
+/-
konstan
dan/atau tidak
aktif
Gejala
penglihatan
tidak ada
atau
episodik
ringan
episodik
mengganggu
dan/atau
membatasi
aktifitas
Injeksi
konjungtiva
tidak ada
atau ringan
tidak ada
atau ringan
pewarnaan
konjungtiva
tidak ada
atau ringan
bervariasi
sedang hingga
jelas
jelas
Pewarnaan
kornea
tidak ada
atau ringan
bervariasi
jelas di sentral
erosi pungtata
berat
Tanda pada
kornea/ air mata
tidak ada
atau ringan
debris
ringan,
meniskus
menurun
Kelenjar meibom
MGD
bervariasi
MGD
bervariasi
keratitis
filamentosa,
penggumpalan
mucus,
peningkatan
debris air
mata
sering
keratitis
filamentosa,
penggumpalan
mucus,
peningkatan
debris air
mata, ulkus
trikiasis,
keratinisasi,
simblefaron
TBUT (detik)
bervariasi
≤ 10
≤5
Segera
Nilai tes schirmer
(mm/5 menit)
bervariasi
≤ 10
≤5
≤2
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
+/++
2.2 Superoxide Dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas
superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD
memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain
Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001;
Cemelli, dkk., 2009).
Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti
Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus,
Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD)
dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty
dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).
Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide
Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di
kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya
MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar
lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008).
2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat
molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada
manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul
sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn
sebagai katalisatornya berperan penting dalam menstabilkan radikal bebas. Gugus
Cu dan Zn masing-masing berada pada ikatan 6-histidine dan 1-aspartat. Selain
itu, struktur SOD juga memiliki ikatan disulfida, N-asetilsistein dan ikatan Nasetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas
(gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001).
Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000)
2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan
radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan
mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia
organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan
kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran,
2008).
Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah
satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme
oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang
stabil yaitu H2O. Peran SOD sebagai enzim antioksidan intraseluler dalam
menstabilkan radikal bebas superokside (O2-) melalui mekanisme reduksi dan
oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa
dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah:
M3+ + O2-  M2+ + O2
M2+ + O2- + 2H+  M3+ + H2O2
SOD menetralisir O2- menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida
(H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase
dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation
peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah
sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001):
2O2- + 2H+

O2 + H2O2
(oleh SOD)
2H2O2

2H2O + O2
(oleh Katalase)
2GSH + H2O2 
GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase)
Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada
gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel,
seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal
β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk
selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida
(H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh
enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun
apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas
O2- yang mengakibatkan kerusakan membran lipid, protein esensial dan DNA sel
(Kohen dan Nyska, 2002).
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam
Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000)
2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD)
Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan
menggunakan
teknik
Enzyme-Linked
Immunosorbent
Assay
(ELISA).
Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik.
Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan
perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007;
Rajkumar dkk., 2008).
Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau
negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan
atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai
berdasarkan jumlah ikatan antara antigen dengan antibodi dengan alat kolorimeter
atau immunoabsorbant. Secara umum prosedur pemeriksaan ELISA secara
kuantitatif adalah sebagai berikut (Rajkumar dkk., 2008):
1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.
2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan
untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen.
3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen.
4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi
primer.
5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan
warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi
primer.
6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat
perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai
dengan alat kolorimeter.
2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering
(MK)
Mata
Kering
(MK)
merupakan
penyakit
multifaktorial
yang
etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang
etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres
oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas
dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal
bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan
antioksidan (Nicholls dan Budd, 2000).
Pemukaan bola mata merupakan daerah yang tidak terlindungi dan sering
terpapar oleh berbagai faktor eksternal seperti radiasi, oksigen dan bahan kimia.
Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai
bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti
metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal βoksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan
pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).
Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya
penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy
of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata
menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi
dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi
berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen
dan
Nyska,
2002).
Adanya
kerusakan
epitel
tersebut
mengakibatkan
ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu
terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat
merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak
nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada
permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris
dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik
pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan
dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel
dan Contran, 2008).
Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan
radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem
pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD
melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas
yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas
superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD
menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen
peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation
peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).
Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak
terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan
air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan
menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan
terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).
Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua
mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme
pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi,
seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6),
Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth
factor-β
(TGF-β).
Berbagai
sitokin
pro
inflamasi
neurogenik
tersebut
mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar
lakrimalis sehingga terjadilah MK (Dogru, dkk., 2007).
Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan
dengan cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease
(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses
apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian
kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c
dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan
reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor
Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi
dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang
diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti FasAssociative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan
kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik
dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses
proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis
sehingga terjadilah MK.
Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa
pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal.
Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas,
gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian
tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi
akibat koreksi terhadap penurunan kadar SOD atau oleh karena peningkatan
sekresi cairan aqueos atau peningkatkan defisiensi musin, defisiensi lipid, dan
epitel. Kesimpulan sementara yang diambil dari penelitian tersebut bahwa
secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan
pada pasien MK.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa
penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada
MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar
pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar
penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada
mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan
suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan
permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan
pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan
konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata
meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan
jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan
permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh
peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang
menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang
memediasi oksidatif stress.
Download