BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mata Kering (MK) Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith, dkk., 2007). Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi, pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 6 Memahami komposisi molekular lapisan air mata dan kontribusi kelenjar meibom terhadap lapisan air mata merupakan hal yang penting untuk bisa memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal, dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1). Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008) Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes Schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm merupakan diagnostik dari aqueous tear deficiency (ATD) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Lemp, dkk., 2007; Javadi dan Feizi, 2011). Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT) yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea. Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011). Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK) Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas 65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian MK cenderung lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak berbeda bermakna baik dari faktor ras dan etnik (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45 tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun 2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007). Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi (Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991 sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith, dkk., 2007). 2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK) Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK) telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan penggunaan lensa kontak yang lama (Lemp, dkk., 2007; Gayton, 2009). Secara umum terdapat dua penyebab MK yaitu penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015) 2.1.3 Patogenesis mata kering (MK) Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata. Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar lakrimal (gambar 2.3) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015) 2.1.4 Derajat mata kering (MK) Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1. Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi konjungtiva tidak ada, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea normal, tanda pada kornea tidak ada, kondisi kelenjar meibom baik, TBUT ≥ 10 detik; dan nilai tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit (Henderson dan Madden, 2013). Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK) 1 Kriteria ketidaknyamanan, ringan berat, dan dan/atau frekuensi episodik; terjadi dalam stress lingkungan Derajat 2 episodik sedang atau kronis, stress atau tanpa stress 3 frekuensi berat atau tetap tanpa stress 4 berat dan/atau tidak aktif dan tetap mengganggu, kronik dan/atau konstan, membatasi aktifitas +/- konstan dan/atau tidak aktif Gejala penglihatan tidak ada atau episodik ringan episodik mengganggu dan/atau membatasi aktifitas Injeksi konjungtiva tidak ada atau ringan tidak ada atau ringan pewarnaan konjungtiva tidak ada atau ringan bervariasi sedang hingga jelas jelas Pewarnaan kornea tidak ada atau ringan bervariasi jelas di sentral erosi pungtata berat Tanda pada kornea/ air mata tidak ada atau ringan debris ringan, meniskus menurun Kelenjar meibom MGD bervariasi MGD bervariasi keratitis filamentosa, penggumpalan mucus, peningkatan debris air mata sering keratitis filamentosa, penggumpalan mucus, peningkatan debris air mata, ulkus trikiasis, keratinisasi, simblefaron TBUT (detik) bervariasi ≤ 10 ≤5 Segera Nilai tes schirmer (mm/5 menit) bervariasi ≤ 10 ≤5 ≤2 (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015) +/++ 2.2 Superoxide Dismutase (SOD) Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001; Cemelli, dkk., 2009). Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus, Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD) dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009). Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008). 2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD) Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn sebagai katalisatornya berperan penting dalam menstabilkan radikal bebas. Gugus Cu dan Zn masing-masing berada pada ikatan 6-histidine dan 1-aspartat. Selain itu, struktur SOD juga memiliki ikatan disulfida, N-asetilsistein dan ikatan Nasetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas (gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001). Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000) 2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD) Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran, 2008). Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Peran SOD sebagai enzim antioksidan intraseluler dalam menstabilkan radikal bebas superokside (O2-) melalui mekanisme reduksi dan oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah: M3+ + O2- M2+ + O2 M2+ + O2- + 2H+ M3+ + H2O2 SOD menetralisir O2- menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001): 2O2- + 2H+ O2 + H2O2 (oleh SOD) 2H2O2 2H2O + O2 (oleh Katalase) 2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase) Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas O2- yang mengakibatkan kerusakan membran lipid, protein esensial dan DNA sel (Kohen dan Nyska, 2002). Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000) 2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD) Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007; Rajkumar dkk., 2008). Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai berdasarkan jumlah ikatan antara antigen dengan antibodi dengan alat kolorimeter atau immunoabsorbant. Secara umum prosedur pemeriksaan ELISA secara kuantitatif adalah sebagai berikut (Rajkumar dkk., 2008): 1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro. 2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen. 3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen. 4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi primer. 5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi primer. 6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai dengan alat kolorimeter. 2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK) Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan (Nicholls dan Budd, 2000). Pemukaan bola mata merupakan daerah yang tidak terlindungi dan sering terpapar oleh berbagai faktor eksternal seperti radiasi, oksigen dan bahan kimia. Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal βoksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002). Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel dan Contran, 2008). Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008). Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008). Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Dogru, dkk., 2007). Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan dengan cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease (Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti FasAssociative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK. Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal. Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas, gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi akibat koreksi terhadap penurunan kadar SOD atau oleh karena peningkatan sekresi cairan aqueos atau peningkatkan defisiensi musin, defisiensi lipid, dan epitel. Kesimpulan sementara yang diambil dari penelitian tersebut bahwa secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan pada pasien MK. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang memediasi oksidatif stress.