Tantangan Lahirkan Wirausaha Lokal

advertisement
6
OPINI
SENIN 7 SEPTEMBER 2015
TAJUK
Pencopotan Buwas
dan Trauma Polri
da sesuatu yang tak biasa di balik mutasi Komjen Pol Budi
Waseso (Buwas) yang digeser dari posisi kabareskrim Polri ke
kepala BNN. Pencopotan Buwas ini dinilai banyak kalangan
penuh muatan politis. Langkah Buwas yang berani dan tegas
mengusut dugaan korupsi di sejumlah lembaga dianggap mengganggu kepentingan orang-orang tertentu.
Kebijakan pencopotan atas desakan pihak-pihak tertentu yang
merasa dirugikan oleh sepak terjang Buwas ini tentu akan membawa
dampak yang kurang baik dari eksistensi dan mental anggota Polri ke
depan, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Bisa jadi
langkah “membungkam” Buwas ini menyebabkan trauma di
lingkungan kepolisian. Mereka akan berpikir seribu kali untuk
menyentuh lembaga-lembaga yang selama ini ditengarai menjadi
sarang koruptor. Karena mereka akan takut di-buwas-kan jika berani
membongkar kasus korupsi kelas kakap.
Bagaimanapun harus diakui sejak Bareskrim dipegang Buwas,
wibawa kepolisian kembali sedikit terangkat. Ada secercah harapan
Polri mulai “garang” mengusut kasus korupsi yang sebelumnya
hampir nihil dilakukan korps baju cokelat tersebut. Namun apa yang
dialami Buwas ini akhirnya akan memunculkan pesimisme kembali
di masyarakat bahwa Polri akan berani berlaku “buas” lagi untuk
membongkar kasus korupsi.
Selanjutnya yang dikhawatirkan adalah prajurit Bhayangkara lebih
memilih bermain aman atau bahkan bisa saja mereka lebih memilih
melindungiataubersekutudaripadamengusutnya. Pemerintahboleh
saja mengelak disebut mengintervensi dalam pencopotan Buwas ini.
Namun kalau dari awal kita jujur mencermati, aroma intervensi
memang begitu kental. Mereka seakan takut dengan sepak terjang
Buwasinimengganggukepentingannyasehinggaharus“dimatikan”di
tengah jalan. Intervensi pemerintah ini tentu sangat kontraproduktif
bagi upaya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Kita patut menyesalkan pergantian penegak hukum dengan cara
seperti itu. Bagaimana mungkin langkah pemberantasan korupsi yang
seharusnya diapresiasi malah dinilai menimbulkan kegaduhan yang
menggangguperekonomiannegara.Akalyangsehatpastiakanberpikir
sebaliknya bahwa yang mengganggu perekonomian nasional adalah
masih bercokolnya para koruptor yang tak tersentuh hukum. Logika ini
yang seharusnya menjadi kepedulian kita semua agar di kemudian hari
kejadian serupa tak terulang. Kini, Bareskrim Polri memiliki nakhoda
yang baru, Anang Iskandar, yang sebelumnya memimpin BNN.
Semoga saja Bareskrim di bawah Anang bisa meneruskan
keberanian yang dimulai Buwas dalam menghajar para koruptor.
Tentunya Anang bisa mencontoh Buwas dari kebijakannya yang
baik-baik saja. Karena ada juga kebijakan Buwas yang kontroversial
yang tak perlu diteruskan Anang.
Banyak kalangan menanti gebrakan Polri untuk ikut dalam
pemberantasan korupsi yang memang sudah sangat membudaya di
negaraini.KarenaselamainiPolridankejaksaandinilaimanduldalam
memberangus para koruptor. Itu mengapa KPK akhirnya menjadi
primadona di masyarakat karena lembaga antirasuah tersebut aktif
dalam menjebloskan koruptor ke terali besi. Memang akhir-akhir ini
KPKsempatdidugaadapimpinannyaterseretikutaruspolitikpraktis.
Ini bisa kita lihat dari sejumlah kasus yang bermuatan politis dalam
penetapantersangkanya.Akibatnya,adapengusutankasusyangbaru
dilakukan setelah lebih dari setahun dari waktu penetapan tersangka.
Dampak lainnya, KPK kalah setelah dipraperadilankan oleh
tersangka. Semoga kekeliruan ini bisa menjadi pelajaran berharga
bagi para pimpinan KPK ke depan bahwa jangan sampai penegak
hukum dijadikan alat politik pihak tertentu.
Bareskrim di bawah Anang pun diharapkan nanti mampu bersinergi
dengan kejaksaan dan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Janganlah kasus “cicak versus buaya” (KPK vs Polri) terulang untuk keempatkalinya.KPKyangdinilailebihmumpunidalampemberantasan
korupsi harus melakukan supervisi terhadap Polri dan kejaksaan. Hal
inipentingdilakukanagarpemberantasankorupsibenar-benarefektif
untuk melenyapkan para koruptor dari bumi Indonesia. ●
A
Tantangan Lahirkan Wirausaha Lokal
melahirkan banyak usaha yang
justru mengalami kemajuan
yang tinggi.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan
Koordinator Program S-3 Ilmu
Ekonomi Unand
ikanalkomunikasimana
pun kekhawatiran akan
pelemahan nilai rupiah
kian kuat, terlebih di media
sosial. Banyak yang percaya
pelemahan nilai rupiah adalah
masalahkredibilitaspemerintah.
Sebaliknya, ada yang mampu
mengaitkannya dengan posisi
Indonesia yang masih lebih baik
dibandingkan negara lain sekalipun rupiah melemah. Ada juga
yang menyatakan bahwa bukan
pemerintah yang perlu disalahkan, tetapi Bank Indonesia mesti
jauh lebih agresif dan jangan
menganggap bahwa harga pasar
rupiah masih pada kisaran
RP13.400. Apa pun yang terjadi,
yang jelas memasuki dua kuartal
tahun ini tentunya tidak usah
kita ratapi. Amal terbaik adalah
berusaha sekeras mungkin melihatmasalahyangadadanmembalikkannya menjadi kesempatan. Sebab, pada masa krisis,
penurunan ekonomi itu juga
D
Tantangan dan
Keberpihakan
Ekonomi Indonesia jelas
ekonomiskalakecil.Usahamikro,
kecil dan menengah (UMKM)
mendominasi lebih kurang 99%
dari struktur bisnis yang ada.
Mereka pada umumnya kuat
menghadapi krisis karena
sasaran struktur produksi sederhana, beroperasi di mana
tersedia potensi permintaan
yang besar, maka eksistensi
mereka justru perlu lebih diperbesar dan berkeadilan.
Ketika penulis menyiapkan
sebuah buku Minang Entrepreneur, jelas contoh-contoh
kasus yang diperlihatkan adalah mereka yang justru menjadi
ujung tombak bisnis ritel yang
berasaldaridarahMinangseperti
rumah makan dan pedagang
pakaian. Mereka justru pada
umumnya terlatih menghadapi
masalah dan cepat menyesuaikan bisnis. Mereka bukanlah
sebagai karyawan “anak mama”
yang menunggu tanggal gajian.
Mereka terasah mempunyai
naluri dan segera mengambil
tindakan dengan risiko yang
tinggi.
Mengingat proses melahirkan wirausaha itu penting, keberpihakan terhadap wirausaha
lokal sangatlah diperlukan. Dua
hal yang sangat menonjol untuk
mengubah wawasan berpikir
para wirausaha lokal menjadi
sangat urgen dilahirkan.
Pertama, sekalipun Indonesia
memerlukan investor untuk
membiayai infrastruktur, keberpihakan terhadap wirausaha
lokal sangat diperlukan. Indonesia adalah salah satu negara
sasaran investasi. Data menunjukkan ada kecenderungan
proses pembentukan investasi
periode 1995-2008 lebih dikuasai oleh China, Korea
Selatan, Vietnam, dan berbagai
negara Eropa Timur. Nilai investasi mereka bisa mencapai di atas
34% dari GNP (The World Bank,
Atlas of Global Development,
2011).
Pada periode 2008-2015,
Indonesia akan menjadi salah
satu tujuan investasi. Hal ini
terlihat pada kenyataan bahwa
akhir-akhir ini banyak sekali
proyek investasi mulai dikuasai
China. Katakan proyek-proyek
model Turnkey Projects di sektor
kelistrikan dan infrastruktur
sebagai pemenang tender.
Wirausaha lokal mesti dilahirkan untuk membidik
pekerjaan turunan dari proses
investasi itu. Jika tidak, foreign
direct investment (FDI) dengan
sistem sejalan antara pemenangan proyek dengan penyediaan tenaga kerja hanyalah
menguntungkan kesempatan
kerja akibat China kelebihan
suplai tenaga kerja berketerampilan khusus. Pada analisis sebelumnya penulis sudah mengusulkan ini dapat dilakukan
dengan mengakomodasi pihak
yayasan dalam membuat
program-program pelatihan
tenaga kerja besertifikasi.
Kedua, Indonesia ini bukan
Jakarta (Jawa). Namun terdiri
dari banyak suku bangsa yang
tersebar luas dengan capaian
pembangunannya yang berbeda-beda. Daerah-daerah
mesti didorong untuk aktif
mencari alternatif investasi
dengan inovasi agar tumbuh
dan berkembang.
Untuk membuat agar munculnya efek sebar dari ekonomi,
para wirausaha lokal justru jauh
lebih penting dilahirkan. Jika
tidak, kemajuan pendidikan
akan menyebabkan terjadinya
arus migrasi yang tinggi ke
pusat pemerintahan. Misalnya
selama ini arus migrasi yang
tinggi justru dari pulau-pulau
utama
menuju
daerah
Jabodetabek.
Data migrasi internasional
sepertiMeksiko,China,Pakistan,
IndiadanFilipinaadalah5negara
yang menikmati remittances dan
akan menjadi salah satu sumber
pengganti FDI. Indonesia tidak
sebesar negara itu nilai
remittance internasionalnya
walau remittance lokalnya masih besar dan diharapkan sebagai sumber pembiayaan
bisnis di daerah-daerah.
Selama ini proyek pemerintah memang sudah mulai
mengarah kepada memajukan
sektor perdesaan. Berbagai
skema program pemerintah
antara lain program PNPM,
program perdesaan, program
prioritas pertanian, dan
sejenisnya.
Akan tetapi untuk mendukung pertumbuhan sektor
perdesaan, persoalan yang
muncul adalah semakin terbatasnya jumlah anak muda
yang mau menjadi wirausaha di
sektor pertanian atau mulai
menginisiasi untuk membuka
usaha-usaha yang baru yang
selama ini belum kelihatan.
Sebagaimana persoalan pertama, persoalan kedua sangat
diperlukan dengan kembali
mendorong agar dapat kemudahan dalam menghasilkan
usaha baru, startup business.
Salah satunya adalah skema
pembiayaan yang merangsang
agar anak muda berani memulai
usaha. Laporan American
Economic Review (April 2015)
menemukan jumlah entrepreneur berkurang pada tahun
2010 sebagai akibat Pemerintah AS mengurangi pembiayaan pada usaha-usaha startup
business pada 2000. ●
Mengantisipasi Gempuran Tenaga Kerja Asing
DZULFIAN
SYAFRIAN
Ekonom Indef
ontras dengan kebijakan
negara-negara di Eropa
yang memproteksi pekerjaan kasar (low-skilled jobs)
untuk warganya, kita justru
mulai membuka keran tersebut
seluas-luasnya. Pascakrisis keuangan global 2008, isu imigrasi
di Eropa memang semakin
santer didengungkan. Partaipartai yang mengusung pengetatan pintu imigrasi sering
mendapat perhatian publik dan
meraih tambahan suara yang
cukup signifikan.
Salah satu contoh yang paling
menarik adalah melonjaknya
perolehan suara Partai UKIP (UK
Independence Party) di Inggris
Raya (the United Kingdom/UK)
yang terkenal sebagai partai yang
paling tegas dalam menentang
arus imigrasi di negeri mereka.
Konsisten mengusung isu ini,
padaPemiluInggrisRayaterakhir
(2015), UKIP menjelma menjadi
partai ketiga terbesar setelah
Partai Konservatif (36,9%) dan
Buruh (30,4%) dengan perolehan
12,6% suara populer (popular
votes) atau naik empat kali lipat
dibanding pemilu sebelumnya.
Inilah gambaran nyata
bahwa isu imigrasi dapat mengubah peta politik suatu negara
secara signifikan.
K
Melindungi Buruh Lokal
Untuk menopang biaya
hidup ketika melanjutkan studi
magister di Inggris Raya tahun
lalu, penulis menyempatkan
diri bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran (waiter).
Teman-teman Indonesia lainnya juga banyak yang bekerja
paruh waktu sebagai cleaning
service, penjaga perpustakaan,
atau pelayan restoran/toko.
Setiap mahasiswa di sana
memang diperbolehkan untuk
bekerja paruh waktu maksimal
20 jam dalam seminggu.
Namun, terhitung tahun ini,
Pemerintah Inggris Raya telah
mencabut peraturan ini sehingga tidak hanya mahasiswa,
para pendamping mahasiswa
(dependent) yang awalnya
bahkan dapat bekerja full time,
kini hanya dapat bekerja sesuai
dengan keahliannya masingmasing atau dengan kata lain
para mahasiswa ini sudah tidak
dapat lagi bekerja sebagai
pekerja kasar. Inilah salah satu
cara Pemerintah Inggris Raya
melindungi lapangan pekerjaan kasar bagi rakyatnya.
Meskipun tergolong memiliki performa ekonomi yang
baik relatif terhadap negaranegara Eropa lainnya, Inggris
Raya memang sedang gencargencarnya mengontrol ketat
imigrasi mereka, khususnya
imigrasi dari orang-orang nonEropa dan Eropa Timur.
Pengetatan imigrasi ini sebagai
salah satu cara Pemerintah
Inggris Raya untuk menekan
dampak negatif yang ditimbulkan para imigran seperti turunnya tingkat upah, naiknya harga
sewa rumah, jebolnya anggaran
negara akibat klaim jaminan
sosial (social benefits) oleh para
imigran, dan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan (kasar)
bagi masyarakat menengah
bawah.
Di sisi lain, Pemerintah
Inggris Raya juga sangat membuka keran pekerjaan yang
membutuhkan keahlian tinggi
(high-skilled jobs). Kehadiran
para tenaga kerja asing (TKA)
berkeahlian tinggi memang
secara agregat, sebagaimana
dibuktikan oleh banyak studi,
memiliki dampak positif (net
benefit) terhadap perekonomian Inggris Raya itu sendiri
karena para pekerja ini memiliki
produktivitas yang tinggi, menambah lapangan pekerjaan,
menciptakan inovasi, berujung
pada peningkatan nilai tambah
(added value) perekonomian.
Kebijakan semacam ini tidak
hanya diterapkan di Inggris
Raya, tetapi juga negara-negara
maju lainnya seperti Eropa dan
Amerika Serikat. Secara
sederhana, kebijakan imigrasi
mereka didasarkan pada dua
pertimbangan utama. Pertama,
mereka membuka pintu seluasluasnya bagi para TKA yang memiliki keahlian tinggi. Kedua, di
sisi lain, pekerjaan kasar dibuka
untuk para TKA ketika pekerjaan tersebut tidak diminati
oleh para penduduk asli negara
tersebut (native people).
Persyaratan Bahasa
Kontras dengan negaranegara maju yang mensyaratkan para pekerja imigran dapat
berbahasa lokal, kita justru
mencabut aturan tersebut. Berdasarkan Peraturan Kementerian Tenaga Kerja/Permenaker
Nomor 16 Tahun 2015 yang
merevisi Permenaker Nomor
12 Tahun 2013, pemerintah
telah mencabut syarat bahwa
setiap TKA tidak wajib dapat
berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia jika ingin bekerja di
sini. Kebijakan ini jelas sangat
pro-TKA dan merugikan para
tenaga kerja Indonesia (TKI).
Pemerintah berargumen
bahwapenghapusanpersyaratan
kemahiran berbahasa Indonesia
lantaran permintaan para
investor yang merasa kesulitan
untuk memenuhi persyaratan
ini ketika melakukan investasi
di Indonesia. Dengan menghilangkan persyaratan ini, pemerintah berharap tingkat
investasi (asing) di Indonesia
dapat naik signifikan.
Faktanya, hambatan utama
investasi di Indonesia bukanlah
kendala kewajiban berbahasa
Indonesia atau tidak. Menurut
studi dari LPEM FEUI (2007),
hambatan utama melakukan
bisnis(doingbusiness)diIndonesia
dari perspektif para pelaku usaha
adalah instabilitas makroekonomi,buruknyainfrastruktur
(energi, listrik, jalan, pelabuhan),
korupsi, dan inkonsistensi kebijakan pemerintah. Inilah pekerjaan utama pemerintah yang
seharusnya segera diselesaikan
terlebih dahulu, bukan justru
menggadang-gadang persoalan
penguasaan bahasa Indonesia
semata.
Penghilangan persyaratan
kemahiran berbahasa Indonesia
ini semakin mengakomodasi
ekspansi imigran, khususnya
dari China, yang bekerja kasar
(low-skilled labours) di negeri kita
yang makin masif. Tidak heran
jika pada Selasa, 1 September
2015,paraburuhmenggelaraksi
besar-besaran mengkritik kebijakan ngawur ini di seluruh
Indonesia, khususnya Jakarta.
Wajar jika para buruh semakin khawatir akan masa
depan mereka ketika tren
imigrasi TKA ini semakin masif.
Konsekuensi yang paling jelas
adalah semakin terbatasnya
lapangan pekerjaan bagi para
TKI akibat infiltrasi TKA ini.
Belum lagi, di tengah kondisi
perekonomian yang sedang
memburuk, gelombang PHK
yang terus bertambah dan biaya
hidup yang semakin meningkat. Hal ini semakin membuat
nasib TKI Indonesia bertambah
kelabu dan sulit.
Gelombang protes terhadap
kebijakan ini tidak hanya
berasal dari para buruh, namun
juga dari para politisi baik dari
partai oposisi maupun koalisi
pemerintah. Beberapa politisi
dari partai penguasa (PDIP)
juga menolak kebijakan ini.
Dalam konteks Indonesia
yang memiliki begitu banyak
kelebihan tenaga kerja (labour
surplus) atau masih tingginya
angka pengangguran, sangatlah tidak bijak jika pemerintah
membuka keran TKA di level
pekerjaan kasar. Para buruh di
level ini akan semakin sulit
mendapatkan pekerjaan lantaran kompetisi yang semakin
ketat. Secara teoritis, layaknya
di pasar lainnya, meningkatnya
kompetisi di sektor ini akan
mendorong efisiensi ekonomi.
Buruh-buruh akan didorong
untuk memiliki keahlian lebih
mahir dan produktivitas lebih
tinggi.
Namun,
pertanyaannya
adalah apakah pemerintah
sudah memberikan bekal yang
cukup kepada para buruh kita
untuk bersaing? Apakah sistem
pendidikan dan sistem perburuhan kita sudah mencetak
tenaga kerja yang mampu berdaya saing? Jika jawaban dari
kedua pertanyaan tersebut
adalah tidak, tidak adil rasanya
bagi para buruh kita menghadapi
gempuran ini, bak diminta berperang tanpa senjata. ●
Download