11/11/2010 .:: POS KUPANG | Media Menuju Masa … Print Close Kesetaraan Gender dan Bahaya Feminisme Liberal Senin, 8 Maret 2010 | 11:58 WIB Konstruksi sosial budaya Berbicara tentang hal ini, sudah pasti berawal dari persoalan tentang gender. Sementara itu, ketika berbicara tentang gender, kita harus juga berbicara tentang seks. Dr. Mansour Fakih, dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2001) menjelaskan tentang gender dengan mengutip beberapa pendapat berikut. Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society memandang gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sementara gender adalah behavioral differences antara lelaki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perbedaan gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) sesungguhnya tidak menimbukan masalah. Persoalannya adalah bahwa ternyata peran gender perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran gender lelaki. Selain itu, asumsi gender yang saling terkait dan secara dialektika saling mempengaruhi menimbulkan berbagai ketidakadilan. Pertama, terjadi marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis seks, yang umumnya pada kaum perempuan. Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama terhadap kaum perempuan. Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan. Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik yang lebih banyak dan lebih lama (burden). Feminisme Kesadaran terhadap berbagai bentuk ketidakadilan tersebut melahirkan gerakan feminisme, baik bersifat humanistis belaka maupun teologis. Seperti dikatakan Dr. Benyamin Bria (2003), gerakan feminisme ini sama-sama mempertanyakan sebab-sebab ketidakadilan yang diderita perempuan dan mengupayakan agar semuanya dapat berakhir. Sementara itu, Valerie Bryson (2001), dalam Contemporary Political Ideologies, mengutarakan bahwa awal semua pemikiran feminis adalah keyakinan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Kondisi tersebut tidak bersifat alami dan bukan karena perbedaan biologis (baca: seks), tetapi karena sesuatu yang dapat dipersoalkan dan diubah (baca: gender). Berbeda dengan teori dan ideologi politik tradisional, feminisme menawarkan cara pandang atas dunia yang melihat situasi perempuan dan ketimpangan antara laki dan perempuan sebagai inti persoalan politik. Feminisme memberikan penentangan mendasar terhadap asumsi-asumsi dominan tentang cakupan dan hakikat poltik. Namun, ada banyak ketidaksepakatan tentang perihal hakikat, penyebab, dan jalan keluar bagi ketimpangan, subordinasi, dan penindasan sebab feminisme bukanlah ideologi yang tunggal, melainkan mempunyai banyak aliran. Kesetaraan gender Dalam hubungannya dengan gerakan feminisme, Pemerintah Indonesia telah menempuh berbagai strategi. Pertama, adalah dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan yang dikenal dengan pendekatan WID (Women in Development) yang berlangsung pada tahun 1970-an. Dalam praktiknya, kebijakan ini mendapat banyak tantangan karena mendatangkan masalah. Mansour Fakih (2001), menyebutkan bahwa WID yang diletakkan dalam diskursus pembangunan bukan merupakan sebuah privilese dan bukan karena keadaan nyata akibat underdevelopment, tetapi sekadar untuk mengonseptualisasikan dan mengidentifikasi sehingga membuat Dunia Ketiga tergantung pada Dunia Pertama. WID dianggap sebagai bias kaum feminis liberal, kelas menengah kulit putih. Penelitiannya hanya terbatas pada reproduksi kekuasaaan yang ada yang menyingkirkan perempuan dari partisipasi aktif mereka dalam kehidupan umum. Pendekatan ini melahirkan pendekatan pengentasan kemiskinan dan pendekatan efisiensi. Kedua pendekatan tersebut pos-kupang.com/printnews/artikel/44320 1/2 11/11/2010 .:: POS KUPANG | Media Menuju Masa … menjadi mainstream dalam usaha memecahkan masalah-masalah perempuan. Pengaruh sangat nyata dirasakan secara global maupun secara nasional seperti pemikiran organisasi-organisasi internasional dan sebagian besar kalangan LSM di Indonesia yang sering mempergunakan gagasan ini. Kemudian disadari bahwa usaha kaum feminis liberal untuk mendidik kaum perempuan agar setara dan mampu bersaing dengan kaum lelaki hanya akan menghasilkan perubahan praktis jangka pendek. Setelah WID dilaksanakan selama satu dekade sejak dekade pertama pembangunan perempuan PBB, ternyata berbagai program peningkatan peran perempuan dianggap gagal untuk mengubah nasib jutaan perempuan dan banyak program pembangunan yang berdampak berbeda pada lelaki dan perempuan. Diperoleh sebuah kesadaran bahwa pendekatan WID atau pendekatan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan telah gagal membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan. Hak kaum perempuan yang perlu disejajarkan dengan kaum laki-laki sangat erat berkaitan dengan pemikiran kaum feminis liberal. Kaum feminis ini menganggap bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Ketidakadilan terjadi karena tingkah laku perempuan sendiri. Oleh karenanya, seperti telah disebutkan sebelumnya, ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki-laki. Yang positif adalah feminisme ini menghargai perkembangan dan kesamaan pribadi antara laki-laki dan perempuan. Namun bahayanya adalah feminisme ini tidak menyadari kalau di antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan yang bahkan perlu dibiarkan untuk ditumbuhkembangkan tanpa mengakibatkan ketidakadilan. * Pengajar Ilmu Politik Undana, Research Manager pada The A-letheia Foundation, Kupang Dapatkan artikel ini di URL: http://www.pos-kupang.com/44320/Kesetaraan Gender dan Bahaya Feminisme Liberal pos-kupang.com/printnews/artikel/44320 2/2