Peran Penting Dokter Keluarga Senin, 2 Maret 2015 Salah satu target Millenium Development Goals (MDG’s) 2015 adalah penurunan angka kematian pada anak. Akan tetapi harapan untuk mewujudkan satu target dari MDG’s ini sepertinya tidak akan tercapai tanpa usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait. Di Aceh sendiri ternyata angka kematian bayi juga masih sangat tinggi. Bahkan tiap tahunnya cenderung terjadi peningkatan. Sangat ironis memang, disaat begitu banyaknya dana yang disediakan oleh pemerintah untuk memberikan effort bagi pelayanan kesehatan di Aceh, akan tetapi belum seberapa memberikan kontribusi yang maksimal bagi penurunan morbidity (kesakitan) dan mortality rate (angka kematian) pada anak. Tingginya kematian anak di Aceh ini dapat disebabkan antara lain oleh karena masih tingginya kasus gizi buruk dan banyaknya anak yang tidak diimunisasi. Berdasarkan data Riskesdas 2013 terdapat 19,8% anak umur 12-23 bulan di Aceh yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Dan patut disayangkan, karena Aceh berada di posisi ke-3 setelah Papua (36,6%) dan Maluku (21,7%). Di antara 33 provinsi di Indonesia, Aceh menempati peringkat tujuh besar dengan kasus gizi buruk/kurang terbanyak. Padahal jika kita tinjau dari aspek perekonomian, pertumbuhan ekonomi kita jauh lebih tinggi dari provinsi lain seperti Papua maupun Jambi. Namun ternyata kasus gizi buruk/kurang yang terjadi pada balita di provinsi kita jauh di atas kedua provinsi tadi. Hal ini merupakan tamparan keras bagi provider pelayanan kesehatan. Fakta ini sungguh membuat kita terhenyak dan berfikir dimanakah letak permasalahannya? Apakah dari provider pelayanan kesehatan? Ataukah dari sistemnya? Atau bahkan faktor dari pasien sendiri? Namun sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk mencari pihak manakah yang patut dipersalahkan atas fenomena yang terjadi, saatnya kita mencari solusi guna menuntaskan permasalahan gizi buruk-kurang pada balita mengingat untuk mencapai sasaran MDG’s 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4,1% dalam periode 2013-2015. Menjaga tetap sehat Penulis kali ini mencoba untuk mengurai simpul satu penghambat tercapainya target MDG’s 2015 melalui peran Dokter Keluarga (DK). Pelayanan DK sangat bermanfaat untuk menyehatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan konsep DK yang bekerja jauh ke hulu, yaitu menjaga masyarakat yang sehat agar tetap sehat dan tidak jatuh sakit. Kalaupun masyarakat jatuh sakit sakit, maka diagnosis awal berjalan dengan baik, dan angka pelayanan kedokteran di strata kedua dan ketiga dapat dikurangi. Mungkin banyak di antara pembaca yang saat ini sering mendengar istilah dokter keluarga, apalagi saat program BPJS Kesehatan yang berlaku sejak 1 Januari 2014 silam mulai diimplementasikan. Akan tetapi banyak di antara kita yang masih bingung, apakah dokter keluarga itu sama seperti Dokter Praktik Umum (DPU)? Jangankan masyarakat, stakeholder kita pun juga masih kurang begitu memahami apakah perbedaan diantara keduanya, baik itu secara definitif, sifat dan cakupan pelayanan, cara pelayanan, peran keluarga serta jenis pelayanan yang diberikan. Dokter Keluarga (DK) adalah dokter yang menyelenggarakan pelayanan medis kepada individu dan keluarga secara kontinyu, komprehensif, koordinatif, tanpa memandang jenis kelamin, golongan usia, penyakit, ataupun sistem organ. Jika kita tinjau dari berbagai aspek, maka akan semakin jelaslah perbedaan antara DK dengan DPU. DK memiliki sifat dan cakupan pelayanan yang lebih luas, menyeluruh dan paripurna serta tidak terbatas pada apa yang dikeluhkan oleh pasien saja. Sementara DPU, sifat dan cakupan pelayanannnya lebih terbatas dan hanya berdasar dengan apa yang dikeluhkan oleh pasien saja. Misalkan pada kasus seorang ibu yang datang membawa anaknya dengan keluhan demam, batuk dan pilek. Berbeda dengan DPU, DK tidak hanya mengatasi apa yang dikeluhkan pasien itu, namun ia juga akan melihat dari segala aspek, melihat dan mengukur berat badan, tinggi badan, untuk menentukan status gizi si anak, apakah termasuk normal, kurus atau gemuk. Masalah kurus dan gemuk merupakan hal yang esensial karena berdasarkan Teori Baker, kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa nanti. Sehingga dari awal, DK sudah dapat melakukan upaya deteksi dini dengan melakukan screening, sehingga dapat menegakkan diagnosa awal, sebelum permasalahan kesehatan itu menjadi kronik dan berakibat kurang baik bagi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan. Apapun ceritanya, jika suatu penyakit dapat diketahui secara dini, maka akan lebih mudah untuk diobati, dan tentunya akan berefek pada hematnya dana kesehatan yang harus digelontorkan oleh pemerintah di masa depan (menyangkut cost effectiveness). Jika ditinjau dari cara pelayanannya, DK bersifat berkesinambungan sepanjang hayat, sementara DPU pengamatannya hanya sesaat saja. Ibaratnya DK memiliki peran dalam mengawal kesehatan pasien-pasiennya mulai dari “ayunan hingga ke liang lahat”. Misalkan DK telah menemukan kasus gizi kurang pada pasiennya, maka ia akan melakukan serangkaian upaya medis agar anak tersebut tidak masuk kedalam tingkatan gizi buruk dikemudian hari. Namun bila setelah ditangani beberapa waktu tidak ada perbaikan yang cukup berarti, maka DK hendaknya melakukan koordinasi dengan merujuk kepada dokter spesialis di pelayanan kesehatan sekunder. Tetap bertanggung jawab Berbeda dengan DPU ketika selesai merujuk si pasien kepada pusat layanan kesehatan sekunder, maka selesai sudah tanggung jawabnya kepada pasien dan keluarga. Namun lain halnya dengan DK, meskipun ia merujuk kepada dokter spesialis di layanan sekunder, ia juga tetap bertanggung jawab untuk mengawal kondisi si pasien tersebut. Tugas dan tanggung jawabnya tidak berhenti sampai disini saja, namun terkadang DK bila dibutuhkan dapat berperan juga dalam menjembatani komunikasi antara pihak keluarga dengan dokter spesialis. Bahkan ikut memberikan saran terhadap modalitas terapi yang ditawarkan oleh dokter spesialis kepada pihak pasien. Apabila dipandang dari aspek jenis pelayanannya, maka DK tidak hanya menitikberatkan pelayanannya pada kuratif (mengobati) dan rehabilitasi saja, melainkan lebih ke arah usaha promotif dan preventif serta melibatkan peran keluarga dalam usaha penanganan pasien. Sementara DPU hanya lebih bersifat kuratif saja dan tanpa melibatkan peran keluarga. Meninjau data gizi buruk/kurang dan imunisasi di awal tulisan ini, sesungguhnya disinilah peran DK dalam upaya pengentasan masalah kesehatan ini. DK hendaknya melakukan usaha penyuluhan terhadap pentingnya imunisasi diberikan pada pasien-pasiennya baik secara perorangan maupun kelompok, serta ikut dalam mengingatkan orang tua pasien agar tidak lupa membawa anaknya untuk diimunisasi di tengah kesibukannya bekerja. Selain itu juga berkewajiban untuk menghapus stigma di masyarakat bahwa imunisasi lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, dengan jalan memberi pencerahan dengan disertai bukti dari literatur terpercaya yang dapat mencegah dan menangkal berkembangnya “kesesatan” dalam menilai imunisasi. Untuk kasus gizi buruk/kurang, DK selain giat memberikan promosi kesehatan baik tentang upaya perbaikan gizi di masyarakat, serta upaya preventif dengan screening agar anak yang status gizinya baik jangan sampai jatuh kepada gizi kurang, dan supaya anak dengan status gizi kurang jangan sampai jatuh kepada status gizi buruk. Ia berperan aktif di wilayah kerjanya. Bukan hanya menunggu pasien saja dengan kasus seperti ini, tapi dapat dengan upaya “jemput bola” dengan melakukan home visit, melihat langsung gaya hidup pasien dan keluarganya, serta melibatkan keluarganya dan memberdayakan masyarakat sekitar untuk membantu menuntaskan masalah gizi ini. * dr. Tita Menawati Liansyah, M.Kes., Konsultan kedokteran keluarga dan staf pengajar pada bagian Family Medicine, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. [email protected]