Skripsi - Uji Aktivitas Antiplatelet Ekstrak Piper Cubeba

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada
tahun 2012, penyakit jantung iskemik dan stroke menyebabkan kematian berturutturut 7,4 juta dan 6,7 juta orang di dunia (World Health Organization, 2014).
Aktivasi dan agregasi platelet memegang peran penting dalam proses hemostasis,
namun aktivasi platelet yang berlebihan dapat menjadi penyebab penyakit
kardiovaskular seperti infark miokardial, penyakit aterotrombotik, dan penyakit
arteri koroner (Kim, 2010).
Aspirin merupakan obat antiinflamasi non-steroid yang telah digunakan secara
luas sebagai terapi pencegahan penyakit kardiovaskular, namun penggunaannya
dalam jangka panjang dapat menyebabkan perdarahan lambung, dan tidak ada bukti
bahwa penurunan dosis atau modifikasi formulasi dapat mengurangi risiko tersebut
(Derry, 2000). Oleh karena itu diperlukan alternatif agen pencegah penyakit
kardiovaskular yang lebih aman.
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan biodiversitas. Tumbuhtumbuhan telah turun-temurun digunakan sebagai obat tradisional dan dikenal
dengan nama jamu. Meskipun obat sintetik semakin dibutuhkan di Indonesia, obat
tradisional masih sangat populer di berbagai kalangan masyarakat. Saat ini jamu
sedang banyak dikembangkan sebagai bentuk terapi yang rasional berdasarkan
kegunaan tradisionalnya (Woerdenbag & Kayser, 2014). Karena khasiat yang
1
2
diklaim produk jamu sebagian besar masih berdasarkan data empiris, lebih banyak
penelitian diperlukan untuk mendapatkan bukti saintifik tentang efek farmakologi
dan toksisitas bahan-bahan dalam jamu.
Sebelumnya tim kami yang terdiri atas empat orang telah melakukan penelitian
pendahuluan berupa skrining aktivitas antiplatelet 149 ekstrak tumbuhan asal
Indonesia dengan metode Pimentel, et al. (2003) yang dimodifikasi, yaitu uji
microplate terhadap platelet yang diinduksi CaCl2 (Lampiran 1). Eksperimen
tersebut menunjukkan bahwa terdapat 13 jenis ekstrak yang berpotensi memiliki
efek antiplatelet (Tabel 1). Namun penelitian ini hanya bersifat kualitatif sehingga
informasi dosis hambat 50% (IC50) belum dapat diperoleh. Untuk mendapatkan
gambaran kemampuan ekstrak sebagai antiplatelet, perlu dilakukan uji aktivitas
antiplatelet secara kuantitatif.
Tabel 1. Ekstrak-ekstrak yang aktif pada uji aktivitas antiplatelet dengan metode microplate
Konsentrasi
Bagian yang
uji (mg/mL)
No. Kode Ekstrak
Nama Spesies
Penyari
Dipakai
10
2 0,5
1
03 sbk 10-12 I
Tetracera maingayi
herba
metanol
+
+
-
2
03 sbk 10-12 I
Tetracera maingayi
herba
kloroform
+
+
-
3
03 sbk 10-22 IV Leea aquata
herba
metanol
+
+
-
4
03 sbk 10-31 I
Pandorea sp.
herba
metanol
+
+
+
5
03 sbk 10-42 II
Cissus sp.
herba
metanol
+
+
-
6
03 sbk 10-68 III Cinnamomum sintoc Bl. kulit batang
metanol
+
+
-
7
04 ku 01-09
8
04 ku 01-13
9
14 nf 06-30
Ficus sp.
Rubus chrysophyllus
Reinw. Ex Miq.
batang, daun
metanol
+
+
-
batang, daun
metanol
+
+
-
Garcinia mangostana
kulit buah
etanol
n.a.
+
-
10 15 sle 01-04
Piper cubeba L. f.
buah
etanol
+
+
-
11 15 sle 01-06
Physalis angulata
kelopak buah
etanol
+
+
-
12 15 sle 01-06
Physalis angulata
kelopak buah
diklorometan
+
+
-
13 15 sle 01-12
Averrhoa bilimbi
daun
etanol
+
+
-
3
Ekstrak etanolik buah kemukus dipilih untuk dijadikan fokus dalam penelitian
ini karena buah kemukus belum diteliti aktivitasnya terhadap platelet, serta
merupakan tumbuhan asli Indonesia yang potensial untuk dikembangkan sebagai
obat antiplatelet.
B. Perumusan Masalah
Apakah ekstrak etanolik buah kemukus mampu menghambat agregasi platelet
yang diinduksi asam arakidonat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui
kemampuan ekstrak etanolik buah kemukus dalam menghambat agregasi platelet
yang diinduksi asam arakidonat.
D. Tinjauan Pustaka
Platelet
Platelet merupakan sel kecil tidak berinti yang dibentuk dari megakaryosit
dalam sumsum tulang (Frayn & Stanner, 2005). Setiap megakaryosit melepaskan
sekitar 4000 platelet dalam proses maturasi. Jumlah platelet dalam darah umumnya
antara 150 ×109 hingga 400 ×109 per liter. Rata-rata umur platelet adalah sekitar 7
– 10 hari. Platelet memiliki fungsi penting dalam proses hemostasis, dan fungsi
tersebut diaktivasi oleh sejumlah agonis, khususnya trombin, kolagen, ADP, serta
adrenalin dan serotonin. Aktivasi ini terjadi karena pendudukan reseptor pada
membran plasma platelet oleh agonis-agonis tersebut, yang dilepaskan ketika
4
dinding pembuluh darah terluka. Aktivasi platelet menyebabkan perubahan bentuk,
agregasi, dan pengeluaran kandungan granul.
Morfologi platelet
Dalam kondisi istirahat, platelet berbentuk bulat pipih, namun bervariasi dalam
ukuran dan kandungan granulnya (Hartwig, 2013). Permukaannya rata, sedikit
memiliki pori-pori yang merupakan jalan masuk molekul-molekul kecil ke kanalkanal dalam membran internal yang disebut sistem kanalikular terbuka. Pada
platelet yang aktif, sistem kanal ini berfungsi sebagai saluran di mana granul-granul
melepaskan kandungannya.
Di dalam sitoplasma platelet terdapat granul-granul dan organel sel pada
umumnya seperti mitokondria, lisosom, dan residual membran retikulum
endoplasma (Hartwig, 2013). Granul-granul platelet terdiri dari dua jenis yaitu
granul α dan granul padat. Granul α berdiameter 0,2 – 0,4 µm, mengandung protein
adhesif matriks, dan mempunyai reseptor glikoprotein yang memicu adhesi platelet
dengan matriks. Khususnya P-selektin yang tidak diekspresikan oleh platelet dalam
kondisi istirahat, serta sebagian reseptor utama dalam adhesi platelet yaitu GPIbIX-V dan integrin αIIbβ3, terdapat pada membran granul α. Komponen adhesif lain
dalam granul α yaitu fibrinogen, fibronektin, trombospondin, vitronektin, dan VonWillebrand Factor (VWF). Granul rapat berdiameter sekitar 0,15 µm, memiliki
inti-inti elektron, dan membawa agen aktivasi yang larut yaitu ADP dan serotonin,
serta kation-kation dwivalen. Sebagian kecil P-selektin juga disimpan dalam
membran granul padat.
5
Aktivasi dan agregasi platelet
Ketika terjadi luka, reaksi awal yang memicu penggumpalan darah diperantarai
terutama oleh platelet dan perubahan dinding pembuluh darah. Pada luka operasi,
dinding pembuluh darah yang rusak mengeluarkan kolagen subendotelial, mengikat
faktor von Willebrand dalam plasma, kemudian mengubah struktur dinding
pembuluh darah sehingga platelet dapat melekat. Proses ini dinamakan adhesi
platelet dan diperantarai reseptor glikoprotein Ib dan IIb/IIIa pada membran
platelet. Setelah proses tersebut, platelet teraktivasi. Saat aktivasi, platelet berubah
bentuk dari bulat pipih menjadi bulat utuh dan mempunyai kaki semu yang
kemudian menyebar ke jaringan-jaringan yang luka. Proses inilah disebut agregasi
platelet. Setelah terjadi agregasi, platelet melepaskan granul-granul melalui sistem
kanalikularnya. ADP memicu lepasnya kandungan granul dari platelet-platelet di
sekitarnya dan membuat platelet lekat satu sama lain sehingga membentuk sumbat
hemostatis.
Selain ADP, banyak pula senyawa lain yang dapat memicu agregasi platelet dan
juga mengaktivasi fosfolipase A2 pada membran platelet, yang berakibat lepasnya
asam arakidonat dari membran fosfolipid, yang kemudian diubah menjadi
tromboksan A2 yang juga menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan Platelet
Growth Factor.
Selain tromboksan dan ADP, mekanisme lain yang menyebabkan agregasi
platelet dan pelepasan granul platelet diinduksi oleh adanya trombin. Dengan tiga
mekanisme aktivasi platelet ini, sumbat yang terbentuk dari agregasi platelet dapat
meluas untuk menghentikan perdarahan. (Everts et al., 2006)
6
Asam arakidonat
Gambar 1. Struktur molekul asam arakidonat (National Center for Biotechnology
Information, 2015b)
Asam arakidonat memiliki rumus molekul C20H32O2 dengan berat molekul
304,46688 gram/mol dan berupa cairan kental tidak berwarna hingga kekuningan.
Asam arakidonat merupakan asam lemak esensial tidak jenuh. Ditemukan dalam
lemak hewan dan manusia, juga dalam hati, otak, dan organ kelenjar, dan
merupakan penyusun dari fosfatida hewan. Asam arakidonat terbentuk dari sintesis
dari asam linoleat pada makanan dan merupakan prekursor dalam biosintesis
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien (National Center for Biotechnology
Information, 2015b).
7
Gambar 2. Jalur aktivasi platelet yang menjadi target obat antiplatelet (Franchi &
Angiolillo, 2015)
Asam arakidonat dan beberapa garamnya menyebabkan agregasi platelet dalam
platelet-rich plasma (Silver et al., 1973). Asam lemak lainnya tidak menyebabkan
agregasi ketika diuji dalam kondisi yang sama. Agregasi platelet yang diinduksi
oleh asam arakidonat dihambat oleh adenosin, β naftol, agen antiinflamasi nonsteroid, asam lemak tidak jenuh, dan albumin. Pada konsentrasi yang terlalu rendah
untuk menyebabkan agregasi, asam arakidonat meningkatkan agregasi yang
diinduksi oleh kolagen, ADP, dan epinefrin. Asam arakidonat akan dikonversi
menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklooksigenase-1 (COX-1)
kemudian diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) oleh tromboksan sintase yang
terdapat dalam platelet (Patrono, 2013; Hayward & Moffat, 2013). TXA2 akan
8
menstimulasi reseptor tromboksan pada platelet sehingga terjadi agregasi. Namun,
asam arakidonat tidak mampu menginduksi sintesis prostaglandin ataupun agregasi
platelet dalam platelet-rich plasma yang diambil satu jam setelah mengkonsumsi
dosis terapeutik aspirin (Silver et al., 1973). Efek aspirin tersebut bertahan selama
beberapa hari.
Obat-obat antiplatelet
a. Aspirin
Gambar 3. Struktur molekul aspirin (National Center for Biotechnology Information, 2015a)
Asam asetilsalisilat pertama kali diperdagangkan tahun 1899 sebagai pereda
nyeri, demam, dan inflamasi. Mekanisme aksinya sebagai antiplatelet adalah
dengan blokade jalur siklooksigenase COX melalui asetilasi residu serin (Ser529
pada COX-1 manusia, Ser516 pada COX-2 manusia) yang menghalangi akses
substrat ke bagian katalitik enzim COX (Roth & Majerus, 1975; Loll et al., 1995).
Platelet manusia dan sel endotelial vaskuler memproses prostaglandin H 2
(PGH2) terutama untuk memproduksi tromboksan A2 (TXA2) dan prostasiklin
(PGI2). TXA2 menginduksi agregasi platelet sedangkan PGI2 menghambat agregasi
platelet (Smith et al., 1996). COX-1 merupakan enzim konstitutif platelet yang 50
hingga 100 kali lebih sensitif daripada COX-2 terhadap aspirin (Tricoci &
Harrington, 2007). TXA2 merupakan produk turunan COX-1 (sebagian besar
9
berasal dari platelet) dan karena itu sangat sensitif terhadap penghambatan oleh
aspirin, sedangkan PGI2 vaskuler dapat diturunkan dari COX-1 maupun dalam
jumlah lebih besar lagi dari COX-2 (McAdam et al., 1999).
Aspirin telah digunakan secara luas sebagai terapi pencegahan penyakit
kardiovaskular, namun penggunaannya dalam jangka panjang dapat menyebabkan
perdarahan lambung, dan tidak ada bukti bahwa penurunan dosis atau modifikasi
formulasi dapat mengurangi risiko tersebut (Derry, 2000). Oleh karena itu
diperlukan alternatif agen pencegah penyakit kardiovaskular yang lebih aman.
b. Tienopiridin
Golongan tienopiridin, di antaranya adalah klopidogrel dan tiklopidin,
merupakan agonis reseptor adenosin difosfat (ADP) yang selektif dan ireversibel,
sehingga dapat menghambat agregasi platelet yang diinduksi ADP (Tricoci &
Harrington, 2007). Kedua obat tersebut dapat menjadi alternatif aspirin, namun
karena mekanisme komplementernya dalam menghambat agregasi platelet, aspirin
dan tienopiridin sering digunakan sebagai kombinasi dalam beberapa kasus
penyakit kardiovaskular.
Tiklopidin merupakan senyawa tienopiridin yang pertama tersedia secara klinis.
Obat ini, pada kaitannya dengan aspirin, diindikasikan untuk terapi pencegahan
terjadinya trombosis pada pemasangan stent. Tiklopidin memiliki efek samping
pada sumsum tulang yang jarang terjadi namun dapat berakibat fatal. Neutropenia
merupakan efek samping tiklopidin yang paling parah. Aplasia sumsum tulang dan
thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) juga dapat terjadi pada pasien yang
10
mengkonsumsi tiklopidin. Selain itu, efek samping gastrointestinal seperti diare,
nausea, dan muntah, juga terjadi pada 30% hingga 50% pasien.
Klopidogrel yang lebih aman telah banyak menggantikan tiklopidin. Sebagian
besar studi klinik mengkaji klopidogrel dalam bentuk kombinasi dengan aspirin.
Klopidogrel dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan sekunder pada pasien
yang intoleran terhadap aspirin. Namun berdasarkan percobaan klinik Clopidogrel
for High Atherothrombotic Risk and Ischemic Stabilization, Management, and
Avoidance (CHARISMA), penggunaan klopidogrel bersama aspirin tidak
direkomendasikan untuk mencegah iskemik pada pasien dengan aterosklerosis
kronis atau dengan resiko aterotrombosis.
c. Inhibitor Glikoprotein (GP) IIb/IIIa
Inhibitor GP IIb/IIIa merupakan obat antiplatelet yang paling poten karena
dapat memblokade reseptor GP IIb/IIIa platelet yang merupakan jalur utama
agregasi platelet. Obat ini masih diteliti secara luas dan saat ini hanya tersedia
sebagai obat intravena yaitu abciximab, eptifibatid, dan tirofiban (Tricoci &
Harrington, 2007).
Metode uji agregasi platelet
Agregometri merupakan metode yang paling umum digunakan untuk
eksperimen yang melibatkan agregasi platelet. Metode agregometri secara
turbidimetri dikembangkan oleh Born dan Cross sejak tahun 1960an (Born & Cross,
1963). Prinsip turbidimetri adalah mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
melalui suspensi platelet yang diaduk konstan. Adanya platelet dalam suspensi
menyebabkan cahaya yang ditransmisikan tersebar sehingga mengurangi proporsi
11
cahaya yang lurus melewati suspensi. Dengan penambahan stimulus agregasi,
platelet membentuk gumpalan-gumpalan atau agregat sehingga cahaya yang
tersebar menjadi lebih sedikit dan akhirnya hampir semuanya dapat melewati cairan
tanpa terhalang. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur agregasi platelet
dalam cairan yang dapat dilalui cahaya, seperti platelet-rich plasma, washed
platelets, atau gel-fltered platelet. Untuk mendeteksi agregasi platelet dalam darah
(whole blood) digunakan Whole Blood Aggregometer yang mengukur tingkat
agregasi bukan berdasarkan transmisi cahaya melainkan berdasarkan impedansi.
Kekurangan metode agregometri adalah volume sampel yang besar (setidaknya
250 µL platelet-rich plasma untuk metode turbidimetri) dan diperlukannya waktu
5 – 10 menit setiap kali uji, sehingga tidak efisien untuk diaplikasikan pada uji skala
besar atau yang bersifat skrining. Oleh karena itu akhirnya dikembangkan metode
uji agregasi platelet menggunakan 96-well microplate (Fratantoni & Poindexter,
1990; Salmon, 1996). Metode microplate memungkinkan terlaksananya uji
aktivitas agregasi platelet yang melibatkan banyak sampel atau perlakuan dalam
waktu yang lebih singkat. Namun, metode microplate terdahulu masih
menggunakan metode deteksi berdasarkan transmisi cahaya seperti halnya
agregometer, sehingga membutuhkan alat-alat berupa microplate reader, serta
agitator atau shaker.
Metode Pimentel, et al. (2003) merupakan modifikasi dari metode microplate
terdahulu, yang didesain untuk menguji secara kualitatif kemampuan bahan-bahan
atau senyawa-senyawa dalam menghambat agregasi platelet. Microplate tidak
memerlukan pembacaan dalam microplate reader karena menggunakan deteksi
12
visual dengan cat Giemsa dan tidak memerlukan pencatatan data yang sensitif
terhadap waktu karena data yang diperoleh bukan merupakan kurva respons
agregasi platelet terhadap waktu, melainkan data kualitatif berupa ada atau tidaknya
respons agregasi platelet yang irreversible. Metode Pimentel digunakan dalam
penelitian ini sebagai pendahuluan, yaitu untuk mengeliminasi sampel-sampel yang
tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan agregasi platelet, sedangkan
sampel-sampel yang aktif memerlukan uji lanjutan menggunakan agregometer
untuk memperoleh data kuantitatif mengenai kemampuan penghambatannya, serta
konfirmasi mengenai kemungkinan hasil positif palsu dalam microplate assay.
Dengan kombinasi metode microplate dan agregometri, volume platelet dan sampel
yang diperlukan untuk uji aktivitas antiplatelet dapat diperkecil secara signifikan,
sehingga penelitian lebih efisien.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan campuran berbagai senyawa dengan
memanfaatkan perbedaan kelarutan masing-masing senyawa pada suatu pelarut
(Watson, 1999; Kealey & Haines, 2002). Ekstraksi dari bahan alami yaitu
pemisahan komponen yang memiliki aktivitas farmakologis dari jaringan tumbuhan
atau hewan dari bagian inaktif atau inertnya menggunakan pelarut selektif dalam
prosedur ekstraksi standar (Handa, 2008). Produk yang dihasilkan adalah cairan,
semipadat, atau serbuk, yang tidak murni dan hanya ditujukan untuk penggunaan
oral atau eksternal. Produk tersebut meliputi jenis-jenis sediaan yang disebut
sebagai dekokta, infus, ekstrak cair, tingtur, ekstrak kental, dan ekstrak serbuk.
Sediaan yang demikian disebut sediaan galenik.
13
Tumbuhan mengandung banyak senyawa bioaktif, dan penting untuk
mendapatkan seluruh senyawa tersebut dengan metode ekstraksi terbaik yang cepat
dan efektif dengan pelarut sesedikit mungkin. Ekstraksi yang baik hendaknya juga
murah dan sederhana (Wang & Weller, 2006). Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan metode ekstraksi adalah rendemen yang tinggi, reprodusibilitas,
batas deteksi yang rendah dan otomatisasi (Raynie, 2004).
Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi menurut Voigt (1994) adalah:
1. Jangka waktu kontak sampel dengan cairan pengekstraksi
2. Perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah cairan pengekstraksi
3. Ukuran bahan dan suhu ekstraksi
Adapun beberapa metode ekstraksi yang umum antara lain (Handa, 2008):
a. Maserasi
Dalam proses ini, bahan yang telah diserbukkan ditempatkan dalam kontainer
bersumbat bersama solven dan didiamkan selama sedikitnya tiga hari dengan
pengadukan berkala hingga bagian yang dapat larut telah terlarut. Campuran
tersebut disaring, ampasnya diperas, dan cairan yang dihasilkan digabungkan
kemudian disaring kembali atau didekantir setelah didiamkan.
Maserasi merupakan teknik ekstraksi paling sederhana, namun prosesnya
membutuhkan banyak pelarut sehingga diperlukan metode tertentu untuk
meminimalisasi jumlah pelarut yang terbuang (Azwanida, 2015). Pengaturan suhu
dan pemilihan pelarut dapat meningkatkan proses ekstraksi serta mengurangi
volume pelarut yang dibutuhkan, dan dapat dilakukan selama tidak merusak
senyawa atau menyebabkan kerugian lainnya.
14
b. Infundasi
Infusa segar dipreparasi dengan maserasi bahan obat dalam waktu singkat
dengan air dingin atau air mendidih.
c. Digesti
Digesti adalah bentuk maserasi di mana digunakan panas sedang dalam proses
ekstraksinya. Metode ini digunakan jika peningkatan temperatur tidak dilarang.
Dengan cara digesti, efisiensi solven dapat ditingkatkan.
d. Dekoksi
Dalam proses ini, bahan obat direbus dalam sejumlah tertentu air dalam waktu
tertentu, kemudian didinginkan dan disaring. Prosedur ini sesuai untuk
mengekstraksi konstituen yang tahan panas dan larut dalam air. Metode dekoksi
biasa digunakan untuk preparasi ekstrak Ayurveda yang disebut quath atau kawath.
Perbandingan awal bahan obat dan air ditentukan. Selanjutnya volume tersebut
diperkecil menjadi seperempatnya dengan pendidihan selama proses ekstraksi.
Kemudian ekstrak yang telah pekat disaring dan langsung digunakan atau diproses
lebih lanjut.
e. Perkolasi
Metode ini paling sering digunakan untuk pembuatan tingtur ataupun ekstrak
cair. Alatnya dinamakan perkolator, berupa silinder panjang mengerucut dan
terbuka di kedua ujungnya. Bahan padat dibasahi dengan pelarut kemudian dipak
ke dalam perkolator. Campuran ini dibiarkan termaserasi selama 24 jam dalam
perkolator tertutup. Keran perkolator kemudian dibuka dan cairannya dibiarkan
menetes perlahan. Ke dalam perkolator kembali ditambahkan pelarut hingga
15
perkolat mencapai tiga perempat dari volume yang diinginkan. Ampasnya
kemudian diperas dan hasil perasannya digabungkan dengan perkolat. Volume
disesuaikan dengan menambahkan pelarut, kemudian perkolat dijernihkan dengan
penyaringan atau didekantir.
f. Soxhletasi
Metode ini merupakan penyarian kontinu yang melibatkan pemanasan sehingga
cocok untuk menyari bahan aktif yang termostabil. Keuntungan metode ini adalah
komponen bahan dalam jumlah yang besar dapat tersari dengan pelarut yang lebih
sedikit, sehingga penyarian lebih ekonomis.
Kemukus (Piper cubeba L.f.)
Gambar 4. Buah kemukus (Lim, 2012)
a. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
16
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper cubeba
(Anonim, 2013)
b. Deskripsi
Kemukus merupakan tumbuhan perdu memanjat dan melilit dengan tinggi
mencapai 15 meter. Kemukus memiliki akar serabut, batangnya berkayu, memiliki
cabang-cabang licin tidak berambut, berbuku-buku. Pada pangkal buku dapat
tumbuh tunas cabang baru, atau bunga yang kelak menjadi buah. Tebal batangnya
dapat mencapai 2 cm. Daunnya berbentuk bundar telur agak lonjong, dengan ujung
runcing, mirip daun sirih dan berwarna hijau gelap. Bunganya berbentuk bulir, yang
biasanya “bersila” berhadap-hadapan dengan daun yang muncul pada buku daerah
pucuk cabang, dengan panjang 3 – 10 cm. Buahnya berupa buah buni yang
bertangkai dan bertandan, berwarna cokelat atau hitam berbentuk bulat. Ujung buah
berbentuk memanjang seperti ekor, berbau agak manis dan bereaksi asam belerang.
Buah kemukus memiliki rasa pedas, berbiji tunggal yang berwarna putih, keras dan
berminyak. (Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, 2013)
c. Kegunaan secara Tradisional
Kemukus digunakan sebagai bumbu yang memberikan rasa khas pada masakan
di Asia selatan dan tenggara serta di Afrika Barat (Lim, 2012). Di Indonesia,
kemukus digunakan sebagai bumbu khas pada gulai. Kubebol, salah satu komponen
dalam minyak buah kemukus, diperdagangkan oleh sebuah perusahaan di Swiss
17
sebagai bahan penyegar dan digunakan dalam bermacam-macam produk seperti
permen karet, minuman, sorbet, makanan berbasis gelatin, dan pasta gigi. Kemukus
juga digunakan sebagai perasa dalam minuman beralkohol maupun non alkohol.
Pertsovka, vodka dari Rusia, dibuat dari infusa kemukus dan Piper capsicum.
Selain itu kemukus dapat ditemukan dalam produk sabun, parfum dan rokok.
Buah kemukus telah digunakan sebagai obat tradisional di Eropa sejak abad
pertengahan, juga di banyak negara lainnya seperti Arab, India, Indonesia,
Malaysia, dan Maroko (Lim, 2012). Di Indonesia, buah kemukus telah lama
digunakan untuk mengatasi disentri, sifilis, nyeri perut, gonorrhea, diare, enteritis
dan asma (Anonim, 1995; Sastroamidjojo, 2001).
d. Kandungan Metabolit Sekunder
Menurut Bos et al. (2007) distilasi air terhadap buah kemukus menghasilkan
11,8% (b/b) minyak atsiri. Kandungan utama dari minyak atsiri buah kemukus
adalah sabinena, β-elemena, β-kariofilena, epi-kubebol dan kubebol. Kemukus juga
mengandung lignan dalam buah, daun dan batangnya. Komponen lignan kemukus
yang paling banyak yaitu kubebin, hinokinin, yatein dan isoyatein. Lignan yang
terkandung dalam buah kemukus yaitu kubebininolida, kubebinon, thujaplikatin
trimetileter, kubebinin, klusin, 5-metoksiklusin, 5’-metoksihinokinin, 2-(3”,4”metilendioksibenzil)-3-(3’,4’-dimetoksibenzil) butirolakton, ashantin, sesamin,
dihidrokubebin, hemiarensin, dihidroklusin, β-O-etilkubebin, α-O-etilkubebin,
heterotropan, magnosalin, dan 4-dihidrokubebinon (Elfahmi et al., 2007). Selain itu
ditemukan pula senyawa neolignan dalam kemukus yaitu (−)-kadsurin A dan (−)-
18
piperenon. Kandungan lain dalam kemukus meliputi alkaloid piperin, senyawasenyawa terpena dan sikloheksana (Lim, 2012).
e. Efek Farmakologis
Kemukus telah teruji memiliki efek antiinflamasi (Choi & Hwang, 2003; Yam
et al., 2008), antiasma (Wahyono, 2005), antioksidan, antialergi, dan analgesik
secara in vivo (Choi & Hwang, 2005). Senyawa lignan kemukus yang memiliki efek
antiinflamasi yaitu kubebin (Bastos et al., 2001) dan hinokinin yang dapat disintesis
secara parsial dari kubebin (Da Silva et al., 2005). Aktivitas antiinflamasi erat
hubungannya dengan agregasi platelet, karena keterlibatan enzim siklooksigenase
dalam mekanisme terjadinya inflamasi maupun agregasi platelet (Smith et al.,
1996; Vane & Botting, 1998). Beberapa senyawa lignan yang telah diteliti dan
memiliki aktivitas antiplatelet antara lain O,O-demetilenhinokinin yang terdapat
dalam Piper philippinum (Chen et al., 2007); pregomisin dan gomisin N yang
diisolasi dari buah Schisandra chinensis (Kim, 2010); serta likarin A, asam
dihidroguaiaretat, dan likarin B dari Saururus chinensis (Qu et al., 2014). Oleh
karena itu kemukus yang banyak mengandung senyawa lignan berpotensi memiliki
khasiat antiplatelet. Beberapa tumbuhan lain dalam genus Piper juga memiliki
aktivitas antiplatelet, antara lain Piper philippinum, Piper futokadsura, Piper betle
atau sirih, Piper longum, dan Piper arborescens (Chen et al., 2007; Chen et al.,
1993; Lei et al., 2003; Park et al., 2007; Tsai et al., 2005)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi adalah proses pemisahan komponen-komponen dari campuran
(solute) yang terdistribusi di antara fase diam dan fase gerak yang mengalir,
19
berdasarkan kecepatan komponen-komponen tersebut bergerak melalui fase diam
(Kealey & Haines, 2002). Kecepatan tiap komponen tergantung pada afinitas
relatifnya terhadap fase diam dan fase gerak.
Terdapat empat mekanisme pemisahan pada kromatografi, yaitu absorpsi,
partisi, pertukaran ion, dan eksklusi (Kealey & Haines, 2002). Pada hakikatnya,
teknik kromatografi yang sesungguhnya adalah kromatografi adsorpsi (Hurtubise,
2005). Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode kromatografi
adsorpsi. KLT adalah teknik kromatografi planar dengan fase diam berupa serbuk
halus yang dilapiskan di atas lempeng penyangga datar yang berbahan plastik,
aluminium, atau kaca (Kealey & Haines, 2002). Silika adalah fase diam yang paling
sering digunakan pada kromatografi adsorpsi (Knox et al., 1978; Cazes, 2010).
Fase gerak sangat berpengaruh terhadap kualitas pemisahan. Setiap pelarut
memiliki kekuatan solven (solvent strength atau ɛ0) yang berbeda-beda. Biasanya
campuran dua atau lebih pelarut dengan kepolaran yang berbeda digunakan sebagai
fase gerak untuk mendapatkan kekuatan solven yang diinginkan (Hurtubise, 2005).
Untuk mengubah selektivitas, perbandingan komposisi campuran fase gerak
dimodifikasi.
Setelah proses pemisahan, akan muncul bercak-bercak senyawa pada lempeng
KLT. Jika senyawa tidak berwarna atau berfluoresens, dan tidak menyerap sinar
UV 254 nm sehingga tidak dapat terdeteksi sebagai bercak padam pada lempeng
yang mengandung indikator fluoresens di bawah sinar UV 254, dapat dilakukan
derivatisasi menggunakan reagen tertentu dengan cara disemprot atau dicelup
(Kowalska et al., 2008). Derivatisasi dapat menggunakan reagen derivatisasi
20
universal seperti asam sulfat atau uap yodium, atau menggunakan reagen yang
mendeteksi gugus senyawa tertentu.
Metode KLT sangat luas penggunaannya untuk analisis kualitatif senyawa
organik, isolasi senyawa, analisis kuantitatif, dan isolasi pada skala preparatif
(Kowalska et al., 2008). KLT sangat sesuai bagi analisis kimia ekstrak tumbuhan
yang merupakan campuran kompleks berbagai senyawa dengan struktur yang
berbeda-beda (Kowalska et al., 2008). KLT dapat memberikan profil sidik jari
suatu ekstrak tumbuhan, yang sangat penting untuk tujuan identifikasi, dengan foto
lempeng KLT dicantumkan dalam bukti analisis (Wagner & Bladt, 1996), serta
memungkinkan pemisahan ekstrak tumbuhan tanpa pemurnian terlebih dahulu
(Kowalska et al., 2008). Beberapa kelebihan KLT antara lain tiap lempeng hanya
digunakan satu kali sehingga tidak ada kesalahan deteksi yang disebabkan oleh
senyawa yang tertinggal pada fase diam seperti yang dapat terjadi pada
kromatografi cair kinerja tinggi atau kromatografi gas; pengerjaan lebih efisien
karena dapat menganalisis beberapa sampel dalam sekali elusi; dengan berbagai
macam lempeng KLT yang tersedia serta banyaknya kombinasi fase gerak,
memungkinkan dirancangnya bermacam-macam sistem optimalisasi kromatografi;
bercak dalam satu lempeng dapat dideteksi dengan berbagai cara; serta
memungkinkan proses pemurnian dan isolasi senyawa dari ekstrak tumbuhan
(Kowalska et al., 2008).
E. Landasan Teori
Piper cubeba merupakan tumbuhan yang termasuk dalam famili piperaceae dan
genus Piper. Beberapa tumbuhan dalam genus ini telah teruji memiliki aktivitas
21
antiplatelet (Chen et al., 1993; Lei et al., 2003; Tsai et al., 2005; Chen et al., 2007;
Park et al., 2007). Tumbuhan yang berasal dari satu genus memiliki kekerabatan
dekat secara genetik. Tumbuhan yang memiliki kekerabatan dekat umumnya
memiliki karakteristik fisiologis dan biokimia yang mirip, sehingga sering kali
memiliki kandungan metabolit sekunder yang serupa (Huang, 2013). Oleh karena
itu tumbuh-tumbuhan tersebut berpotensi memiliki efek farmakologi yang sama.
Piper cubeba telah teruji memiliki aktivitas antiinflamasi (Choi & Hwang,
2003; Yam et al., 2008). Tumbuhan yang memiliki aktivitas antiinflamasi
berpotensi dapat menghambat agregasi platelet, karena dalam mekanisme
terjadinya inflamasi maupun agregasi platelet terdapat keterlibatan enzim
siklooksigenase yang menjadi target obat antiinflamasi (Smith et al., 1996; Vane &
Botting, 1998).
Salah satu kandungan dalam buah Piper cubeba adalah golongan senyawa
lignan (Elfahmi et al., 2007). Beberapa senyawa lignan yang diisolasi dari berbagai
tumbuhan telah menunjukkan aktivitas antiplatelet (Qu et al., 2014; Kim, 2010;
Chen et al., 2007). Dengan demikian Piper cubeba berpotensi memiliki aktivitas
antiplatelet.
F. Hipotesis
Ekstrak etanolik buah kemukus mampu menghambat agregasi platelet yang
diinduksi asam arakidonat.
Download