BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Drama Tradisional Istilah drama berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, berekreasi. (Harymawan, 1993 : 1). Sedang menurut Henry Guntur Tarigan (1984: 69), mengacu pada Morris (1964), istilah drama berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata dran yang berarti berbuat. Dengan demikian, pada dasarnya dalam istilah drama terkandung makna yang artinya adalah berbuat sesuatu. Lebih lanjut Harymawan (1993: 2) menyatakan bahwa drama diartikan sebagai cerita tentang konflik manusia yang dipentaskan di depan penonton dengan dialog-dialog dan aksi. Menurut Japi Tambayong (1981: 15) drama adalah jenis sastra yang tersendiri dan istimewa, cerita yang unik, yang merupakan perenungan akal dan perasaan pengarang, yang bukan sekedar untuk dibaca tetapi dipertunjukkan untuk ditonton. Istilah lain dari drama yang sering dipergunakan ialah lakon. Menurut Seno Sastroamidjojo (1964: 98), kata lakon tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu laku yang sering diturunkan menjadi mlaku atau lumaku yang berarti artinya adalah jalan atau berjalan. Kata lakon mengacu pada sesuatu yang sedang berjalan atau suatu peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari. Kemudian dalam Kamus Istilah Sastra (1986: 46), kata lakon berarti karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud untuk dipentaskan. Selain kata lakon, istilah lain dalam kata drama adalah teater. Menurut Brahim (1968:60), unsur pokok seni drama ada empat, yaitu: lakon, pemain, tempat dan penonton. Dalam Kamus Istilah Sastra tertulis bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi Universitas Darma Persada 10 lewat lakuan dan dialog, lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung (Sudjiman, 1986: 20). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan. 2.2 Entertainment Entertainment adalah segala sesuatu baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda maupun perilaku yang dapat menjadi penghibur. Hiburan bersifat subjektif, bergantung pada penikmatnya. Apabila subjek tersebut merasa terhibur terhadap sesuatu hal, maka hal itu dapat dikatakan suatu hiburan. Berdasarkan pengertian entertainment di atas, dapat disimpulkan bahwa hiburan mencakup banyak hal diantaranya adalah musik, film, opera, permainan, olahraga, dan lain sebagainya. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya. Hiburan atau entertainment didefinisikan oleh Schrum (2004) dalam bukunya The Psychology of entertainment: concepts & application adalah sebagai suatu aktivitas yang dirancang untuk memberi kesenangan dan relaksasi kepada orang lain, dimana penonton bersifat pasif (one way communication). Dengan demikian, segala sesuatu yang bersifat menyenangkan dan membuat rileks secara subyektif termasuk sebagai hiburan atau entertainment (http://blog2pa19.blogspot.co.id/2015/10/entertainment.html). 24-05-16 Universitas Darma Persada 11 2.3 Modernisasi dalam sebuah Kesenian Tradisional Modernisasi kontemporer ditandai dengan fenomena mengglobalnya dunia (R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, (Jakarta: Depdikbud, 1998). Globalisasi sering dicurigai akan memperlemah budaya dan tradisi masyarakat Dunia Ketiga. Hubungan antar entitas kebudayaan dalam konteks global sering dianggap tidak berimbang. Negara-negara maju akan memproduksi budaya baru dan menyebarkannya ke negara-negara berkembang dengan perantaraan kemudahan teknologi informasi. Hal-hal yang sifatnya informatif akan dengan mudah membanjiri negara-negara yang belum maju. Hal yang sebaliknya, yaitu masuknya informasi dari negara yang belum maju ke negara maju justru tidak terjadi atau terjadi tetapi sangat rendah. Arus informasi pada era global tidak terjadi secara berimbang, akibatnya negara-negara Dunia Ketiga seperti tenggelam dalam arus budaya asing. Kesenian tradisional adalah produk budaya yang rentan terhadap gempuran budaya asing. Mengetahui bahwa kesenian pada awalnya lahir sebagai media untuk hiburan. Kesenian tradisional adalah hiburan bagi masyarakat kelas bawah. Para petani yang sudah selesai menggarap ladang dan sawahnya mereka kemudian menunggu saat-saat memanen hasil kerja mereka. Di sela-sela menunggu itulah mereka melahirkan kesenian rakyat seperti jathilan/kuda kepang, reog, tari-tarian, dan sebagainya. Orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan proses kreatif tersebut memposisikan diri sebagai penonton. Kesenian tradisional pada akhirnya lahir sebagai hiburan. Orang-orang yang butuh hiburan akan berbondongbondong menghadiri pentas-pentas kesenian tradisional, sehingga tidak mengherankan, setiap kali diadakan pentas kesenian tradisional, ratusan orang akan berkumpul untuk menontonnya (R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 233). Universitas Darma Persada 12 2.4 Kabuki Kabuki (歌舞伎) merupakan salah satu dari empat drama yang ada di Jepang, yaitu Noh, Kyougen, dan Ningyo Joruri. Pada masa pemerintahan Tokugawa di zaman Edo (1603-1867) kabuki lahir. Pemerintahan Bakufu hanya berlangsung selama 265 tahun, namun kesenian kabuki yang lahir pada masa pemerintahan tersebut ada dan populer sampai sekarang. Kabuki adalah drama yang dibuat oleh rakyat dan dinikmati oleh rakyat pada masa itu. Penontonnya berasal dari kalangan samurai dan pendeta, tetapi pada umumnya peminat kabuki pun ada dari masyarakat pedagang (chonin) (Adi Sudijiono, pengantar kesusastraan Jepang, grasindo, 1992, hal. 118). Kata Kabuki berasal dari kata Kabuku atau Kabuki mono yang artinya suatu kebiasaan baru dimana masyarakat Jepang mulai memakai pakaian yang berlebihan atau memakai sesuatu yang mencolok, disertai dengan tingkah laku yang tidak biasa. Asal kata Kabuki adalah kabusu (歌舞) yang ditulis dengan karakter kanji dengan ditambahkan akhiran す yang mempunyai arti bernyanyi dan menari. Kemudian menjadi kata kabuki(歌舞伎)yang ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta (歌) yang berarti lagu, mai (舞) yang berarti tarian, dan ki (伎) yang berarti teknik. Tetapi terdapat pendapat lain tentang asal kata dari kabuki yang berawal dari kata katamuku (傾く) yang berasal dari kosakata kanji, yang dalam bahasa Indonesia berarti miring atau condong. Kesenian tradisional kabuki bermula pada abad ke-17, dimana saat itu negara Jepang dihancurkan oleh perang antar penduduk yang tiada hentinya. Beberapa saat sebelum adanya kabuki, seni panggung sudah muncul yaitu noh sebuah drama serius dan estetik. Perang tersebut membuat masyarakat pada umumnya menjadi bosan, karena mereka tidak dengan mudah menyaksikan pertunjukan kesenian noh. Drama ini merupakan hiburan untuk kalangan tertentu saja. Bersamaan dengan kesenian noh muncul kesenian lainnya yaitu kyougen. Kyougen adalah komedi klasik Jepang yang mulai dikenal akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 yang berkaitan erat dengan kesenian noh. Diantara pertunjukan Universitas Darma Persada 13 noh biasanya diselingi komedi kyougen. Komedi kyougen dimainkan di luar istana yang diperuntukan untuk masyarakat umum. Komedi ini juga dimainkan oleh wanita-wanita cantik yang mempunyai kemampuan akting yang tinggi, wanita pemain kyougen dan pemain noh membantu masyarakat dalam melupakan kebosanan saat peperangan. Kemudian bentuk dari kesenian ini dikenal dengan sebutan kabuki. 2.4.1 Sejarah Drama Kabuki Sejarah kabuki dimulai tahun 1603-1867 pada zaman Edo dengan pertunjukan drama tari yang dibawakan oleh seorang wanita bernama Okuni (奥に) di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Izumo no Okuni (出雲の奥に) adalah pendiri dari seni drama kabuki. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono. Miko ( 巫 女 ) adalah seorang gadis yang tinggal di kuil, sementara kawaramono (瓦もの) adalah sebutan untuk menghina orang yang berkasta rendah yang tinggal di tepi sungai. Tari yang dibawakan oleh Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh yang disebut dengan kabukimono (歌舞伎者), sehingga lahir suatu bentuk kesenian yang dikenal sebagai kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang digunakan oleh okuni pada saat pertunjukkan adalah panggung drama Noh ( 能 ). Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga pada saat itu banyak bermunculan suatu kelompok pertunjukan kabuki yang imitasi atau dapat dikatakan Kabuki palsu. Pada zaman Edo (1603-1867), muncul sebuah pertunjukan kabuki yang digelar oleh sekelompok wanita penghibur yang disebut dengan Onna-kabuki (女歌舞伎) atau kabuki wanita (Jepang Dewasa ini, 1989:147). Kemudian muncul pula kabuki yang dibawakan oleh remaja laki-laki yang disebut dengan Wakashu kabuki (和歌集歌 舞伎). Universitas Darma Persada 14 Kemudian keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan oleh sekelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral yang berlaku, sehingga pada tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang untuk dipentaskan oleh pemerintah Jepang (Jepang Dewasa ini, 1989:147). Pertunjukan kabuki laki-laki yang dilakukan oleh daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk prostitusi yang terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki (野郎歌舞伎) atau kabuki pria yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna kabuki dan Wakashu kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang pada zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang. Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki odori (kabuki tarian) dan Kabuki geki (kabuki sandiwara). Kabuki odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan oleh Okuni hingga pada masa kepopuleran Wakashu kabuki, yaitu remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan. Kabuki geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota pada zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang dikeluarkan oleh Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk habishabisan meniru kyōgen yaitu dengan seluruhnya mempertunjukan sebuah pertunjukan sandiwara. Hal tersebut dilakukan dengan alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama merupakan prostitusi yang terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Aktor yang bermain dalam seni drama kabuki akan melakukan apa saja demi memuaskan minat rakyat yang ingin hiburan dari melihat Universitas Darma Persada 15 pertunjukan drama kabuki. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki. Salah satu gedung teater yang menyediakan pertunjukan khusus kabuki adalah Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan. Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki kyogen melahirkan banyak kreasi baru yang diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki kyogen mengambil unsur cerita dari Ningyo Jōruri yang menjadi khas dari daerah Kamigata. Salah satu Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, kota Edo semakin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata semenjak pertengahan zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki kyogen juga disebut sebagai seni sandiwara (shibai). Pada zaman Meiji (1868-1912), kabuki semakin menjadi bentuk drama klasik, dan hanya sedikit karya baru dihasilkan. Pada zaman ini kabuki menikmati popularitas yang jauh lebih besar dari semua bentuk teater klasik yang lainnya. 2.4.2 Unsur Drama Kabuki Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki kyogen dari semua karya yang dihasilkan pada zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki kyogen disebut dengan Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu kyōgen, tapi Gidayu kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono, yang menjadikan berbeda adalah pada Gidayu kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar terdapat dari arah penonton yang terletak di sisi kanan panggung), kemudian terdapat penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan Universitas Darma Persada 16 oleh Tayu. Sementara pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung). Unsur pementasan yang terdapat didalam drama kabuki terdiri dari lima unsur. Unsur tersebut adalah cerita, pemain, panggung, penonton, dan sutradara. Berikut adalah penjelasan tentang unsur-unsur drama yang terdapat dalam seni drama kabuki, yaitu : 2.4.2.1 Cerita Kabuki memiliki banyak jenis cerita diantaranya adalah jidaimono (時代 物)、sewamono (世話物)、dan shosagoto (所作事). Ketiga jenis cerita di dalam kabuki ini masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut terkandung di dalam pengertian dari masing-masing kata tersebut. Jidaimono adalah jenis cerita di dalam kabuki yang banyak menceritakan tentang para samurai dan orang-orang kelas atas sebelum zaman Edo. Kostum yang digunakan didalam pementasan jidaimono biasanya terlihat mewah dan berlebihan. Selain kostum, gaya bicara dan gerak-gerik para tokohnya juga meniru kaum samurai dan kaum aristokrat. Inti dari cerita jidaimono biasanya menunjukan sifat kepahlawanan, kesetiaan, dan kebangsawanan. Sewamono adalah jenis cerita didalam kabuki yang bercerita mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, terutama masyarakat kota atau pedagang yang mayoritas merupakan konsumen pertumbuhan kabuki pada sekitar abad ke17. Sewamono dibagi lagi kedalam dua jenis yaitu shiranami-mono (白波物) dan kaidan-mono (怪談物). Shiranami-mono merupakan jenis cerita yang bercerita tentang pencuri, sedangkan kaidan-mono bercerita tentang cerita hantu. Pementasan drama kabuki “Shiranami Gonin Otoko” merupakan salah satu drama berjenis sewamono dan shiranami-mono yang terkenal. Universitas Darma Persada 17 Shosagoto adalah jenis cerita kabuki yang mengutamakan tarian di dalam pementasannya. Pada awal kemunculannya, kabuki mengedepankan tarian sebagai salah satu elemen didalam pementasannya. Salah satu judul pementasan kabuki yang didalamnya terdapat jenis cerita seperti ini adalah sagi musume, musume dojoji, dan kanjincho. (Ronald, 1998:28) 2.4.2.2 Pemain Pemain merupakan unsur utama yang sangat penting di dalam pertunjukan (Padmodarmaya, 1988). Pendapat ini diperkuat oleh Tatsuji (1969: 96) yang mengatakan bahwa :「歌舞伎は、俳優を中心に育って来た演劇も ある。」Artinya : Kabuki juga merupakan sebuah drama yang menekankan pada membesarkan aktor. Pernyataan Tatsuji ini semakin memperjelas bahwa manusia bukan saja menjadi unsur yang penting di dalam pertunjukan drama secara umum, namun juga penting di dalam pertunjukan drama kabuki. Tata penunjang pementasan yang terkait secara langsung dengan aktor adalah tata gerak dan tata suara. Tata ini tidak hanya menjadi unsur utama di dalam pementasan saja, namun juga menjadi unsur yang memunculkan banyak kreativitas di dalam dunia kabuki. Haiyuu「俳優」di dalam bahasa indonesia adalah aktor atau aktris. Akan tetapi, di dalam dunia kabuki kata Haiyuu berarti aktor saja. Pada awalnya, kabuki diperankan oleh wanita, namun pemerintah Jepang melarang pertunjukan tersebut karena dianggap memunculkan praktek prostitusi yang terselubung di dalam seni drama kabuki. Kabuki terus mengalami perkembangan hingga akhirnya hanya dipertunjukan oleh seorang laki-laki dewasa saja yang dapat memerankan peran cerita pada drama kabuki, baik peran laki-laki maupun peran wanita di dalam pertunjukan drama kabuki. Walaupun aktor laki-laki memerankan peran wanita, keindahan kabuki tidak memudar hanya karena diperankan oleh seorang laki-laki dewasa. Mereka tetap dengan lemah gemulai dan lembut memerankan peran wanita Universitas Darma Persada 18 yang terdapat dalam cerita tersebut. Hal ini menjadi sebuah ciri khas yang tersendiri bagi seni drama kabuki dan membuat seni drama kabuki tetap bertahan hingga saat ini. Kemudian Nogami (2003), menambahkan bahwa :「女は舞台 に上がれない。;男が演じしてこそ花なのだ。」 Artinya :Wanita tidak boleh naik ke panggung kabuki. Justru karena peran wanita tersebut sudah digantikan oleh peran laki-laki maka drama kabuki menjadi menarik. Aktor kabuki memiliki ciri khas khusus yang membedakan dirinya dengan aktor lain pada saat memainkan sebuah peran di atas panggung yaitu Kata (型) yang merupakan gaya berakting yang khas dari seorang aktor kabuki. Setiap aktor memiliki gaya dan seni tersendiri. Gaya khas ini dapat disamakan dengan hak cipta yang dimiliki oleh seorang aktor, dimana tidak ada seorang pun yang boleh menirunya. Kata ini hanya ada di dalam dunia seni drama kabuki saja. Selain kata (型), terdapat pula istilah kesenian milik keluarga ( 家の芸) didalam dunia kabuki. Makna dari kata ( 家の芸) di dalam bahasa Indonesia adalah kesenian yang dimiliki oleh seorang aktor di dalam memerankan seorang tokoh, yang kemudian diwariskan secara turun temurun kepada generasi penerusnya. Ini merupakan salah satu ciri khas kabuki selain gaya khas dalam berakting, yang membuat seni pertunjukan drama kabuki tetap menarik hingga saat ini. Ilmu di dalam tata cara berakting menjadi rahasia keluarga secara turun temurun dan terus berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu, kata juga turut berkembang dan mengalami penyempurnaan dari masa ke masa. Perkembangan dan penyempurnaan kata ini membedakan pementasan drama kabuki dengan pementasan drama lainnya karena di dalam drama lainnya kata tidak diturunkan secara turun temurun. 2.4.2.3 Panggung Panggung kabuki sebenarnya merupakan perkembangan dari panggung noh dan kyougen. Seiring dengan perkembangan zaman, panggung kabuki mengalami berbagai macam penemuan dan penyempurnaan. Salah satu contoh bagian Universitas Darma Persada 19 panggung kabuki yang diadopsi dari noh adalah hanamichi. Hanamichi ini merupakan perkembangan dari hashigakari yang ada dalam noh. Pada awalnya, keduanya memiliki persamaan, yaitu sebagai jembatan. Akan tetapi, jembatan pada noh berfungsi untuk menjembatani dunia roh dan dunia nyata. Sedangkan fungis hanamichi telah mengalami banyak perkembangan sebagaimana dalam kutipan berikut : “花道は舞台への通路であると同時に、もう一つの舞台でも あり、街道、川、海、空中、大奥の廊下 等々、変幻 自在に 変わる空間で、歌舞伎の大きな魅力である.” Artinya : Hanamichi merupakan sebuah jalan menuju panggung. Bersamaan dengan itu, hanamichi juga dapat menjadi salah satu panggung dan menjadi sebuah ruang yang dapat berubah secara bebas seperti jalan raya, sungai, laut, udara, ruangan para istri shogun, dan lain-lain. Hanamichi merupakan salah satu daya tarik yang besar di dalam kabuki (Nogami, 2003). 2.4.2.4 Penonton Penonton merupakan aspek yang penting dalam setiap seni pertunjukan, termasuk dalam pementasan drama. Tanpa penonton, tujuan dari seni pertunjukan, yaitu untuk mempertunjukkan karya seni yang telah mereka persiapkan, tidak akan tercapai. Kabuki termasuk ke dalam seni pertunjukan, oleh karena itu penonton merupakan hal yang sangat penting dalam pertunjukannya. Pada zaman dahulu, kabuki hanya boleh ditonton oleh orang-orang kelas bawah. Apabila kita melihat kembali sejarah kabuki, sempat terdapat larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar kabuki tidak boleh dipentaskan. Larangan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah larangan bagi orang-orang kelas atas untuk menyaksikan pertunjukan kabuki. Orang-orang kelas atas pada zaman Edo tidak boleh mengonsumsi kabuki sebagai hiburan pada zaman tersebut. Seni pertunjukan yang boleh mereka Universitas Darma Persada 20 konsumsi hanya noh saja. Akan tetapi, karena kabuki memiliki pesona yang begitu dahsyat, bahkan hingga golongan atas pun tergoda untuk mengonsumsinya, maka orang-orang dari golongan atas datang untuk menonton pertunjukan kabuki. Tentu saja dengan menanggalkan atribut-atribut yang dapat membuat mereka dikenali sebagai orang golongan atas. Keindahan yang terdapat di dalam dua pementasan tersebut sebenarnya berbeda. Keindahan dalam noh lebih mengarah kepada filosofinya, sedangkan keindahan dalam kabuki lebih dirasakan kepada secara material dengan semua kemewahan dalam kostum, tata rias, dan tata panggungnya. Kabuki sempat kehilangan pamornya pada saat bunraku sedang berada dipuncaknya. Kehilangan pamor berarti kehilangan jumlah penonton. Kabuki juga sempat tidak bisa melakukan pementasan karena adanya larangan yang dibuat oleh pemerintah. Pada akhirnya, kabuki bisa kembali muncul ke permukaan berkat penemuan-penemuan baru seperti seri besar yang berada di panggung kabuki dan berhasil memperoleh kembali penontonnya hingga saat ini. Penikmat kabuki saat ini terdiri dari berbagai kalangan, baik di Jepang dan di luar Jepang sekalipun. Walaupun dikatakan demikian, tidak sedikit orang Jepang yang kurang mengenal kesenian ini secara mendalam. Sebuah hal yang menarik di dalam kabuki adalah penonton setia kabuki dapat berpartisipasi di dalam pertunjukan kabuki. Akan tetapi, tidak sembarang penonton dapat bergabung dalam pementasan. Keterlibatan penonton itu sendiri tidak langsung berada di samping aktor pada saat permainan, akan tetapi penonton memiliki peran meneriakkan yagou (屋号) atau nama panggung dari seorang aktor. Penonton yang memiliki hak istimewa ini dikenal dengan sebutan kakegoe ( 掛 け 声 ) dan tidak sembarang orang dapat menjadi seorang kakegoe. Hak istimewa yang dimiliki oleh kakegoe adalah ia dapat masuk ke dalam ruang ganti aktor kabuki. Tidak hanya itu, ia juga dapat bebas untuk keluar masuk panggung. Selain itu, kakegoe biasanya dikenal baik oleh aktor kabuki. Seorang kakegoe harus Universitas Darma Persada 21 mengetahui kapan ia harus berteriak. Penempatan waktu yang buruk dianggap akan merusak pementasan seperti yang dijelaskan dalam kutipan di bawah ini, yaitu : 「掛け声も舞台を構成する音の重要な要素になっているこ とである。間の悪い掛け声は芝居をぶち殺しにするし、観 客に不快感も与える。」 Artinya : kakegoe juga merupakan salah satu elemen suara yang penting, yang membentuk sebuah pementasan. Penempatan waktu kakegoe yang buruk akan menghancurkan pementasan. Selain itu dapat juga mengganggu penonton lainnya (Nogami, 2003). 2.4.2.5 Sutradara Dalam pertunjukan kabuki sebenarnya tidak dikenal istilah sutradara. Tanggung jawab sutradara untuk mengarahkan pemain diserahkan kepada zagashira. Zagashira merupakan aktor sekaligus pemimpin dari sebuah za atau tempat pertunjukan kabuki. Aktor yang dapat menjadi seorang zagashira merupakan aktor terpilih yang memiliki kemampuan di atas aktor-aktor lain. Selain kemampuan, hal lain yang harus dimiliki oleh seorang zagashira adalah wibawa dan popularitas. Tanpa wibawa, aktor lain tidak akan mendengarkan arahan zagashira. Namun, tanpa popularitas, ia tentu tidak akan terpilih sebagai seorang zagashira. Pekerjaan seorang zagashira merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Zagashira tidak hanya bertanggung jawab mengarahkan pemain saja, namun ia juga bertanggung jawab untuk hal lain yang masih berhubungan dengan pementasan seperti tata panggung, tata lampu, tata bunyi, dan lain-lain. Wewenang zagashira dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini : 「座頭の権限は大変なものだった。 一座の役者を;統率 し、舞台と楽屋の一切を仕切る権利と責任を 持 ち、座元と 作者とともに経営にも参加し、そして演出家も 兼 ねてい た。」 Universitas Darma Persada 22 Artinya : Wewenang zagashira merupakan pekerjaan yang berat. Ia harus dapat memimpin para aktor dalam sebuah grup. Ia memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur seluruh panggung dan belakang panggung, ikut serta dalam pengelolaan bersama dengan pemilik gedung pertunjukan dan penulis naskah, kemudian sekaligus menjadi sutradara (Nogami, 2003). Selain itu, zagashira juga dituntut untuk memiliki kreativitas yang tinggi untuk memunculkan berbagai inovasi baru dalam teknik pementasan dan menyempurnakan teknik-teknik yang sudah ada sebelumnya. Apabila seorang zagashira berhasil menemukan atau menyempurnakan sebuah enshutsu (penyutradaraan) di dalam sebuah pertunjukan dan penonton menyukai perubahan tersebut, maka perubahan pada enshutsu tersebut akan diturunkan secara turun temurun oleh zagashira kepada penerusnya atau kepada muridnya yang unggul dalam kreativitas dalam penyutradaraan cerita seni drama kabuki. Universitas Darma Persada