SEMINAR REGIONAL KFGama TEKNOLOGI RADIOGRAFI

advertisement
SEMINAR REGIONAL KFGama
TEKNOLOGI RADIOGRAFI DIGITAL,
PELUANG DAN TANTANGANNYA
Oleh:
Prof. Dr. Susilo, M.S
DISAMPAIKAN PADA SEMINAR REGIONAL
KOMUNITAS FISIKA GAJAGMADA (KFGama)
Fakultas Matematika dan IPA
Universitas gajahmada YOGYAKARTA
21 MEI 2016
TEKNOLOGI RADIOGRAFI DIGITAL,
PELUANG DAN TANTANGANNYA
1. Pendahuluan
Sinar-X dihasilkan oleh tabung timbal kedap cahaya yang dikenal dengan nama
tabung sinar-X. Di dalam tabung tersebut terdapat katoda (filament pemanas) dan anoda
sebagai logam target. Jika arus dialirkan ke katoda, akan mengakibatkan panas pada katoda
dan elektron yang ada mudah melepaskan diri karena labil. Saat antara katoda dan anoda
diberikan tegangan tinggi, maka elektron pada katoda akan tertarik dan menumbuk anoda.
Tumbukan ini akan menimbulkan sebagian besar panas dan sebagian kecil sinar-X, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema Tabung Sinar-X (Hendee WR & Ritenour ER, 2002)
Sinar-X banyak digunakan diberbagai aspek kehidupan manusia selama lebih dari
satu dekade. Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Rontgen pada tahun 1895 yang melakukan
penelitian mengenai keberadan sinar yang tidak tampak secara kasat mata dan dapat
menembus suatu objek seperti plastik, tulang dan benda-benda lainnya. Penggunaan sinar-X
pada bidang medis diawali ketika secara tidak sengaja Wilhelm Rontgen mendapati gambar
telapak tangan istrinya yang dihasilkan dari sinar-X, atau yang dikenal dengan radiograf.
Untuk mendapatkan film radiograf organ tulang (obyek) biasanya perlu datang di
bagian Radiologi suatu RS Daerah misalnya atau ada di lab Fisika Medik Unnes, yang
dikenal sebagai sistem radiografi konvensional (RK). Sistem RK ini terdiri dari unit tabung
sinar-X dan unit meja kendali (control table). Tabung sinar-x yang ada dalam lab fisika ini
adalah tabung sinar-x yang dilengkapi dengan sistem pendingin sehingga dapat dioperasikan
secara kontinyu. Meja kendali tabung terletak pada ruang yang sama. Untuk menghindari
paparan radiasi, dipasang penyekat timbal yang dilengkapi dengan kaca timbal sehingga
terhindar dari paparan sinar-X yang tidak diinginkan pada operator. Parameter unit kendali
yang diintegrasikan dengan sistem radiografi adalah tegangan (kV), waktu paparan (t) dan
arus tabung sinar-x (mA), serta jarak sumber ke film.
Sinar-X yang menembus objek (organ tubuh manusia) kemudian mengenai
penangkap citra (detektor). Bagian organ tubuh manusia mempunyai densitas yang berbeda,
sehingga ketika sinar-X melewati suatu organ tertentu, akan mengalami atenuasi yang
berbeda-beda pula. Perbedaan atenuasi ini mengakibatkan perbedaan intensitas yang
ditangkap oleh detektor, dan perbedaan intensitas inilah yang divisualisasikan sebagai citra
dari organ tersebut. Detektor disini dapat menggunakan film, image intensifier ataupun flat
panel detector.
Sampai saat ini di RS Daerah atau Puskesmas masih menggunakan sistem RK, sedang
RS besar sudah menggunakan RD, biasanya menggunakan jenis Computed Radiography
(CR). Terdapat beberapa masalah penggunaan RK dibanding dengan RD.
Dari sisi pasien, untuk mendapatkan film radiograf tersebut biasanya ada beberapa
masalah, antara lain masalah pemborosan waktu, yaitu: menunggu beberapa saat untuk
pencetakan radiograf film, mengirimkan film radiograf kepada radiolog, mengirim hasil
analisa (expertise) kepada dokter perujuk. Sedang pada bagian Radiologi suatu RS, masalah
yang perlu ditangani adalah diperlukan biaya yang cukup besar untuk pembuatan radiograf
film, bahan kimia pembuatan film, jasa pengiriman film, ruang penyimpanan, ruang kedap
cahaya, juga perlu penanganan khusus dengan adanya limbah kimia atau limbah B3.
Berdasar pada masalah yang ada pada sistem RK, maka perlu difikirkan untuk
berpindah ke sistem RD dengan pertimbangan: mengurangi subyektifitas diagnosa, efisiensi
waktu untuk mendistribusikan radiograf, mengurangi biaya pencetakan radiograf,
memudahkan pengarsipan radiograf, menghilangkan ruangan penyimpanan film dan
memudahkan pencarian gambar, mengurangi resiko kehilangan film (dengan adanya backup),
tidak memerlukan bahan kimia pencuci film, mengurangi tingkat polusi, lebih ramah
lingkungan (tanpa limbah), kwalitas gambar digital tidak menurun dari waktu ke waktu
(konsisten), fleksibel, dapat dihubungkan dengan data-data teks, dapat dikemangkan dengan
sistem teleradiologi.
Berdasarkan keunggulan sistem radiografi dan pencitraan digital serta melihat
keadaan di lapangan dimana di RS pada umumnya masih menggunakan sistem radiografi
kovensional, maka dicoba modifikasi sistem radiografi kovensional yang telah ada menjadi
sistem radiografi digital.
2. Perkembangan Radiografi
Prinsip radiografi relatif tidak berubah sejak tahun 1895, yaitu ketika Wilhem C.
Roentgen menyadari eksistensi sinar-X. Aplikasi filmless radiography dapat ditempuh
dengan beberapa cara. Pertama dengan teknik digitisasi film radiograf berdasar prinsip
densitas optik (optical densitometry) hingga ke bentuk digital menggunakan flatbed scanner.
Kedua, dengan melakukan proses konversi citra fluoroskopi langsung dengan suatu perangkat
kamera yang dihubungkan dengan suatu perangkat pendigital. Ketiga, dengan melakukan
proses konversi menggunakan tabung kedap cahaya berbasis X-ray intensifying screen yang
dihubungkan dengan suatu perangkat pendigital, dalam penelitian ini dinamakan sistem
Radiografi Digital (RD). Keempat, dengan menggunakan media penyimpan berbahan fosfor
(phosfor storage) yang diikuti pembacaan berbasis pendaran melalui proses scanning oleh
sinar laser, kemudian dikenal dengan system Computed Radiography (CR). Kelima, dengan
menggunakan flat detektor yang dilengkapi dengan sistem konversi digital.
Perkembangan teknologi detektor digital telah banyak diminati dan teknologi digital
baru tersedia untuk praktek klinis. Tabel 1 menunjukkan perkembangan teknologi digital
sejak awal 1980-an. Sistem radiografi digital pertama menggunakan prinsip dasar konversi
energi sinar-X menjadi sinyal digital menggunakan scanning laser stimulated luminescence
(SLSL) dikembangkan oleh Fuji (Tokyo, Jepang) dan diperkenalkan di pasar pada awal tahun
1980-an (Lanca L dan Silva A, 2013).
Tabel 1. Perkembangan detektor dalam teknologi digital (Lanca L dan Silva A, 2013)
Tahun
Digital technology availability
1980
Computed radiography (CR), storage phosphors
1987
Amorphous selenium-based image plates
1990
Charge-coupled device (CCD) slot-scan direct radiography (DR)
1994
Selenium drum DR
1995
Amorphous silicon–cesium iodide (scintillator) flat-panel detector
1997
2001
2001
2006
2009
Selenium-based flat-panel detector
Gadolinium-based (scintillator) flat-panel detector
Gadolinium-based (scintillator) portable flat-panel detector
Dynamic flat-panel detector fluoroscopy–digital subtraction angiography
Digital tomosynthesis
Wireless DR (flat-panel detector)
Prinsip kerja pada radiografi digital tidak jauh beda dengan prinsip film radiografi.
Perbedaannya dengan film radiografi tersebut di mana film berfungsi sebagai kedua detector
dan media penyimpanan, sedangkan detektor digital hanya digunakan untuk menghasilkan
gambar digital, yang kemudian disimpan pada media digital. Pencitraan digital terdiri dari
empat langkah yang terpisah: pengambilan gambar, pengolahan, pengarsipan, dan
penampilan gambar. Detektor digital yang terpapar sinar-x oleh tabung standar
mengakibatkan energy diserap oleh detektor diubah dalam besaran listrik, yang kemudian
direkam menjadi digital dan terukur dalam skala keabuan yang merupakan jumlah energi xray disimpan pada setiap locus digitalisasi untuk menghasilkan sebuah gambar. Setelah
proses pengambilan gambar, software postprocessing dibutuhkan untuk mengorganisir data
mentah menjadi gambar klinis. Setelah proses tersebut didapatkan gambar akhir kemudian
dikirim ke arsip penyimpanan digital. Sebuah pusat file digital yang berisi informasi
demografis pasien terkait dengan masing-masing gambar. Meskipun dimungkinkan untuk
mencetak foto digital dengan film hard copy, keuntungan radiografi digital dapat dilihat
secara digital pada workstation komputer. Gambar digital dapat dimanipulasi ketika
ditampilkan dengan fungsi seperti panning, zooming, inverting skala abu-abu, mengukur
jarak dan sudut, dan windowing. Gambar memungkinkan distribusikan melalui jaringan area
lokal. Gambar digital dan laporan yang terkait dengan catatan pasien secara digital dapat
diakses sebagai data diagnostik (Körner, et.al., 2007)
Radiografi digital dapat dibagi menjadi CR dan DR seperti pada Gambar 2. Sistem CR
menggunakan penyimpanan image plat fosfor dengan proses pembacaan gambar terpisah; DR
adalah cara mengkonversi sinar-x menjadi muatan listrik yang bisa memproses pembacaan
langsung.
Gambar 2. Grafik gambaran sistematis berbagai jenis detektor digital. CCD = Charge
Coupled Device, FPD = Flat Panel Detector, TFT = Thin Film Transistor (Körner, et.al.,
2007).
3. Sistem Radiografi Digital di Llab Fisika UNNES
Lewat Riset Unggulan PT bidang Sains dan Teknologi Hijau – Dikti tahun 2013 riset
dengan topik “Rancang bangun sistem pencitraan radiografi digital mobile untuk
pengembangan lab fisika medik dalam mendukung program konservasi Unnes” dilakukan.
Pada sistem RD berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu menggunakan sensor CMOS
yang terdapat pada kamera DSLR. Hasilnya diperoleh radiograf digital dengan resolusi lebih
baik.
Upaya modifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini, ditunjukkan pada Gambar 3.
Dengan membangun tabung kedap cahaya (light tight tube) dibelakang intensifying screen
maka bayangan obyek bisa ditangkap oleh sensor CMOS dari kamera DSLR untuk
ditampilkan pada layar monitor PC (radiograf), sehingga pemrosesan film pada sistem
radiografi konvensional juga tidak diperlukan lagi.
Gambar 3. Diagram alir Sistem Pencitraan Radiografi Digital modifikasi
dari Sistem Radiografi Konvensional
Operasional peralatan radiografi akan menghasilkan suatu foto atau radiograf digital
yang dapat diinterpretasi oleh dokter atau radiolog. Apabila ada indikasi kelainan anatomi
pada foto rontgen, hasil analisis atas foto tersebut dapat dijadikan landasan bagi upaya untuk
menegakkan diagnosis, sehingga kualitas pemeriksaan medis dapat ditingkatkan dan
dampaknya dapat meningkatkan uji laboratorium menggunakan sinar-X.
Radiogafi digital dalam penelitian adalah radiografi hasil inovasi menggunakan
kamera digital sebagai penangkap citra dari pendaran layar sintilasi screen yang biasa
digunakan pada kaset konvesional. Secara skematis, sistem Radiografi Konvensional (RK)
yang akan dimodifikasi menjadi sistem Radiografi Digital (RD) berbasis Intensifying Screen
dengan mode Radiografi sebagai suatu unit pencitraan seperti yang ada di rumah sakit. Upaya
modifikasi dilakukan dengan membangun tabung kedap cahaya (light tight tube) dibelakang
intensifying screen, maka bayangan obyek bisa ditangkap oleh kamera DSLR untuk
ditampilkan pada layar monitor PC (radiograf), sehingga pemrosesan film radiografi konvensional tidak diperlukan lagi. Citra X-ray diagnostik diperoleh ketika sinar-X memapari obyek
(tubuh phantom) sehingga sebuah citra terbentuk pada Intensifying Screen pada tabung kedap
cahaya. Sebuah citra diagnostik tubuh phantom diperoleh melalui proses digitisasi citra
radiograf yang ditangkap oleh kamera DSLR dalam tabung kedap cahaya melalui perangkat
kamera yang terprogram. Citra hasil digitisasi tersimpan atau tervisualisasikan di layar
monitor kamera. Citra digital tersebut kemudian disimpan dalam memori penyimpan pada PC
sebagai file citra radiograf digital (Susilo, et.al., 2013). Konsep sistem radiografi digital
ditunjukkan seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Konsep sistem radiografi digital menggunakan kamera digital
Upaya modifikasi yang dilakukan dalam penelitian sebelumnya ini adalah
membangun tabung kedap cahaya (light tight tube) dibelakang intensifying screen agar
bayangan obyek bisa ditangkap oleh kamera DSLR untuk ditampilkan pada layar monitor PC
(radiograf) (Gambar 5). Dengan sistem Radig ini maka pemrosesan film radiografi
konvensional tidak diperlukan lagi
Gambar 5. Unit tabung penangkap gambar dalam sistem RD
Membangun sistem RD telah dilakukan melalui penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi tahun 2013, sedang implementasi di RS dilakukan lewat penelitian tahun 2014. Hasil
sistem RD yang dibangun tahun 2013 dan 2014 berupa hardware dan software. Hardware
berupa model prototipe tabung kedap cahaya berbasis intensifying screen dan detector CMOS
sebagai penangkap gambar. Sedang software berupa pemrograman GUI dari Matlab yang
dapat digunakan untuk perbaikan kontras citra radiograf digital serta sekaligus menghitung
dan menampilkan histogram, MSE (Mean Square Error) dan PSNR (Peak Signal to Noise
Ratio). Tampilan citra asli dari paparan obyek, citra yang mengalami perbaikan kontras,
histogram dan nilai parameternya ditunjukkan pada Gambar 6.
.
Gambar 6. Tampilan citra asli dan hasil, histogram, MSE dan PSNR.
Detail radiograf dapat juga ditunjukkan dengan serat-serat yang tampak pada citra yang
diamati (region of interest – ROI), sedang resolusi citra dapat ditunjukkan dengan
menentukan ROI tertentu (crop) kemudian di perbesar (zoom) sampai luasan tertentu, tetapi
citra tetap tidak pecah. Ini menunjukkan bahwa file citra radiograf resolusi yang cukup tinggi,
hasilnya lebih baik bila dibandingkan dengan hasil radiograf sebelumnya (Susilo dkk, 2007)
Software yang dibangun mempunyai tampilan yang menarik, dan dapat menghitung
perbandingan antara kontras dan noise dari citra yang diperoleh atau Contras to Noise Ratio
(CNR), dimana CNR adalah ukuran nilai kontras citra secara kunatitatif.
Berdasarkan studi tentang file radiograf terhadap riset sebelumnya didapat perbaikan
kualitas radiograf. Dari studi sebelumnya tersebut, sistem RD 2013 berbasis sensor CMOS
menggunakan kamera DSLR efisien dan ekonomis, sehingga mempunyai potensi untuk
dikembangkan. Ini sejalan dengan maksud pemerintah untuk mengurangi ketergantungan
produk medik impor dan mendorong perkembangan industri peralatan medik dalam negeri
(UU No 18 Tahun 2002).
Sejak itu group riset fisika medik Unnes terus mengembangkan sistem RD, sampai
dengan 2013 telah bisa dibuat prototipe sistem penangkap gambar RD. Kemudian dilanjutkan
pada awal 2014 telah dibuat model sistem penangkap gambat RD untuk pemulihan fraktur
dalam skala lab. Sekarang sudah dicoba dalam skala yang lebih luas (stack holder), yiatu di
bagian Radiologi RS Paru Ariowirawan Salatiga, RSUD Ungaran (Gambar 7 dan Gambar 8),
untuk meyakinkan pada pengguna (user).
Gambar 7. Persiapan dalam pengambilan
data di RSUD Ungaran
Gambar 8. Radiograf humerus dextra kanan
hasil pemotretan di RSUD Ungaran.
Dengan pemrograman GUI dari Matlab ini dapat digunakan untuk perbaikan kontras
citra radiograf digital serta sekaligus menghitung dan menampilakn histogram, MSE (Mean
square error) dan PSNR (Peak signal to noise ratio). Tampilan citra asli dari paparan obyek,
citra yang mengalami perbaikan kontras, histogram dan nilai parameternya. Sedang citra
radiograf model sistem RD sebagai metal detector untuk mendeteksi logam di dalam koper
tertutup ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Model sistem RD sebagai metal detector untuk
mendeteksi logam di dalam koper tertutup.
Berdasarkan studi ini diperoleh pemahaman bahwa proses digitisasi dapat dilakukan
dengan komponen yang tersedia dan mudah diperoleh di pasar domestik. Hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai landasan rekomendasi untuk memperhatikan, memelihara dan
meningkatkan kinerja fasilitas radiografi digital yang terdapat di berbagai rumah sakit di
Indonesia sebelum rumah sakit tersebut mempertimbangkan untuk melakukan investasi
berupa pengadaan perangkat radiografi digital yang mahal. Selain itu model sistem pencitraan
berbasis kamera digital itu telah dimanfaatkan sebagai wahana riset skripsi dan tesis
mahasiswa S1 dan S2, pengembangan uji tak merusak (Non distruction test – NDT)
menggunakan sinar-X, kerjasama dengan poliklinik hewan dalam uji diagnostik hewan
piaraan (Gambar 10), pengabdian masyarakat bagi guru-guru MGMP Fisika kota dan
kabupaten Semarang (Gambar 11).
Gambar 10. Radiograf kelinci dalam kegiatan skripsi
mahasiswa
Gambar 11. Radiograf tulang
ekstrimitas bawah, faktor eksposi 55
kV, 2 mAs
4. Peluang dan Tantangan
Salah satu dari 4 grand strategi yang dicanangkan Departemen Kesehatan adalah
meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat (Kep. Menkes RI No.
HK. 02.02/Menkes/52/2015). Untuk menunjang hal tersebut diperlukan SDM kesehatan yang
berkualitas yang mampu bekerja secara profesional. Salah satu SDM kesehatan yang
profesional tersebut adalah Fisikawan Medis yang ditetapkan berdasarkan SK Menkes Nomor
048/Menkes/SK/I/2007 sebagai tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok
Keteknisian Medis. Hal ini juga diperkuat oleh PP No. 33 tahun 2007 dan Perka dari
BAPETEN yang mengatur bahwa setiap Rumah Sakit yang memiliki Unit Radiologi wajib
menyediakan Fisikawan Medis. Untuk itulah Group Riset Fisika Medik Jurusan Fisika
FMIPA UNNES mencoba untuk menjawab tantangan tersebut dengan membuka bidang
peminatan Fisika Medik.
Pekerjaan Fisikawan medis meliputi: Pelayanan keselamatan radiasi, radiodiagnostik,
pencitraan medik, radioterapi, kedokteran nuklir, pelaksanaan pembinaan teknis, serta
monitoring dan evaluasi pelayanan Fisika Medik.
5. SIMPULAN
Pencitraan radiografi sinar-X di lab fsisika medik Unnes merupakan usaha inovatif,
untuk menyediakan alternatif mesin radiografi digital yang mahal, sehingga belum terjangkau
oleh keuangan RS Daerah maupun institusi pendidikan radiografi. Hilangnya peran film
dalam sistem pencitraan RD ini menjadikan radiografi tanpa penglolaan limbah kimia, tanpa
limbah lab, tanpa limbah B3, serta mendukung kebijakan nir kertas.
Daftar Pustaka
Helen Fan, Heather L. Durko, Stephen K. Moore, Jared Moore, Brian W. Miller, Lars R.
Furenlida, Sunil Pradhan, and Harrison H. Barretta. 2010. DR with a DSLR: Digital
Radiography with a Digital Single-Lens Reflex camera. Proc Soc Photo Opt Instrum
Eng. 2010 February 15; 7622(Poster session:Systems): 76225E. doi: 10.1117/12.844
056.
Ida Bagus Manuaba. 2010. Engukuran Entrance Surface Dose (ESD) Pada
Pemeriksaan Dada Computed Radiography (CR) dengan Bebeberapa Metoda
Pengukuran. Tesis FMIPA UI Jakarta.
Ko¨rner M., Christof W.H., Wirth S., Pfeifer K.J., Maximilian F. Reiser, Treitl M. 2007.
Advances in Digital Radiography: Physical Principles and System Overview.
RadioGraphics; volume 27 Number 3:675–686.
Lanca L, Silva A. 2009. Digital radiography detectors - A technical overview: Part 1.
Radiography 2009;15:58-62.
Lanca L, Silva A. 2009. Digital radiography detectors - A technical overview: Part 2.
Radiography 2009;15:134-138.
Lanca L, and Silva A. 2013. Digital Imaging Systems for Plain Radiography, DOI
10.1007/978-1-4614-5067-2_2, © Springer Science+Business Media New York
Nicola M. Winch and Andrew Edgar. 2012. X-ray imaging using digital cameras. Medical
Imaging: Physics of Medical Imaging, edited by Norbert J. Pelc, Robert M.
Nishikawa, Bruce R. Whiting, Proc. of SPIE Vol. 8313, 83135E · © 2012 SPIE ·
CCC code: 1605-7422/12/$18 · doi: 10.1117/12.911146
N.M. Winch, A. Edgar. 2011. X-ray imaging using a consumer-grade digital camera.
Nuclear Instruments and Methods in Physics Research A 654 (2011) 308–313. 01689002. Elsevier B.V. All rights reserved. doi:10.1016/j.nima.2011.06.087
P. Sudiharto. 2009. Pengembangan Teknologi Kesehatan Untuk Menjawab Tantangan dan
Kebutuhan Masa Depan Demi Kemandirian Bangsa. Orasi Penerima Anugerah
Hamengku Buwono IX Tahun 2009.
Wahyu Setia Budi. 2013. Pendidikan dan Peran Fisikawan Medik dalam Pelayanan
Kesehatan. Prosiding Seminar Nasional Sains dn Pendidikan sains VIII. FSM
UKSW Salatiga, 15-6-2013. Vol 2 No 1, ISSN 20187-0922.
Download