BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, dalam pesan komunikasi tersebut adanya suatu makna pada tanda-tanda kepada pesan yang disampaikan, dimana komunikasi bekerja dalam suatu proses penyampaian pesan yang terus berlangsung. Tanpa disadari kita tidak bisa tanpa berkomunikasi (we cannot not communicate).1 Komunikasi dianggap berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, tanpa disadari prilaku manusia berpotensi menjadi aktivitas komunikasi karena setiap orang selalu memaknai perilaku yang di tampilkan yang diprediksi oleh peserta komunikasi.2 Setiap gerak gerik seseorang secara sadar atau tidak telah melakukan suatu komunikasi yang diprediksi tidak selalu dalam keadaan sadar, dan sering berlangsung cepat. Secara tidak sadar manusia bergantung pada komunikasi nonverbal. Sebenarnya komunikasi nonverbal ini lebih tua dari pada komunikasi verbal, karena bentuk awal komunikasi ini mendahului evolusi bagian otak (neocortex) yang berperan dalam penciptaan dan pengembangan bahasa manusia. Pesan nonverbal merupakan suatu isyarat yang bukan kata-kata, baik disengaja maupun tidak disengaja sebagai peristiwa komunikasi mencakup keseluruhan dalam 1 2 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2000), hal.54 Farid Hamid, Disertasi S3, (Bandung : Univ. Padjajaran, 2010), hal. 2 1 pengiriman banyak pesan nonverbal yang tanpa disadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.3 Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi, salah satunya dari cara kita berpakaian. Pakaian mu adalah komunikasi, istilah ini sering di ungkapkan para ahli komunikasi. Secara tidak langsung pakaian melakukan suatu komunikasi yang dapat ditafsirkan oleh peserta komunikasi, dan dari pakaian ini berhubungan erat dengan tutunan pencitraan diri yang menyangkut identitas seseorang melalui penampilannya. Penampilan suatu fase sosial yang mengidentitaskan si pengguna. Pakaian bisa menampilkan berbagai fungsi sosial, dan fungsi kesopanan (modesty function). Walaupun ada kasus penentangan terhadap kesopanan sebagai fungsi utama pakaian dengan jelas dibuat oleh Brown dalam Roach dan Eicher. ”Di sini,”katanya,”...tak ada hubungan hakiki antara pakaian dan kesopanan karena setiap masyarakat memiliki konsepsinya masingmasing tentang prilaku dan pakaian yang sopan”.4 Menurut Desmond Morris, dalam Menwatching: A Field Guide to Human Behavior . Pakaian juga menampilkan sebagai pajangan budaya (cultural display) karena sering kali kita tak akan terlalu sulit megenal negara atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang meraka kenakan. Dengan kata lain baik fashion maupun pakaian merupakan suatu komunikasi fenomenal kultural yang didalamnya terdapat budaya tertentu yang bisa dipahami sebagai satu sistem penandaan.5 3 Deddy mulyana, Op.cit., hal 308 Malcom Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi,(Yogyakarta : Jalasutra), hal. 76 5 Ibid, hal. 54 4 2 Pakaian dipergunakan untuk menunjukkan posisi sosial atau status.6 Dengan kata lain orang kerap melakukan penilaian terhadap nilai sosial dan status orang lain berdasarkan pakaian sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan manusia yang sudah menyoroti peran dan makna pakaian dalam tindakan sosial. Pakaian merupakan ekspresi identitas pribadi, oleh karena ”memilih pakaian, baik ditoko maupun dirumah, berarti mengidentifikasikan dan menggambarkan diri kita sendiri”. Gambaran identitas seseorang merupakan representasi dan gambaran identitas berdasarkan pada simbol-simbol yang kita pakai, tidak hanya pakaian, semua yang melekat pada tubuh kita merupakan suatu representasi diri. Penampilan yang menunjukan status identitas sosial. Orang memiliki status kerap dihubungkan dengan gaya hidup, yaitu suatu penggambaran menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang, misalnya seperti dalam fashion, mobil, rekreasi dan sebagainya. Dimana dari penampilan menunjukan status seseorang yang mengarah pada posisi yang dimiliki seseorang di dalam sejumlah kelompok atau oraganisasi dan prestise melekat pada posisi tersebut. Status berarti berhubungan dengan peran seseorang. Pakaian merupakan proses set of reprentasions,7 yang mampu mempresentasikan diri, baik atau buruk suatu buasana, fashion, maupun yang dipakai, merupakan ideologi tersendiri, dimana seseorang menilai atau memberikan makna terhadap apa yang digunakannya. Penampilan yang mengkomunikasikan status serta peran seseorang, sehingga berbagai rancangan 6 7 ibid Malcom Barnard, op.cit., hal. 39 3 pakaian yang sengaja dirancang untuk merancang cita rasa dan memikat perhatian segmen konsumen. Oleh karena itu, fashion sebagai komunikasi menyuguhkan pandangan yang elegan untuk membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang pesan dan makna busana atau pakaian bagi pemakai dan orang yang memandangnya. Jadi, fashion dan pakaian adalah ideologis dalam artian fashion dan pakaian pun merupakan bagaian dari proses yang didalamnya kelompokkelompok sosial membangun, menopang dan mereproduksi posisi kekuasaan, serta relasi dominasi dan didominasi.8 Berbagai jenis fashion dan pakaian yang mampu mengkomunikasikan identitas, peran seseorang, dan fenomena cultural. Dandanan dan penampilan fisik juga bersifat simbolik seperti mengenakan T-shirt (kaos).9 Kaos asal kata dalam bahasa Inggris adalah “shirt”. Kata imbuhan “T”, dikarenakan oleh bentuknya yang menyerupai huruf “T”. Maka jadilah “T-shirt”. Di Indonesia, kata “T-shirt” diterjemahkan menjadi “kaos oblong”. Terjemahan ini pun tidak terlepas dari sejarah perjalanan kaos itu sendiri. Dalam Kamus Indonesia-Inggris Hassan Shadily menyamakatakan “kaos oblong” dengan kata “kaos dalam”, “singlet”, dan “undershirt”. T-shirt atau kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. Kaos berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada waktu itu penonton langsung berdecak kagum dan terpaku. 8 9 Malcom Barnard, Ibid, hal. 59 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi,(Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2000), hal.86 4 Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Sehingga, munculah polemik seputar kaos oblong. Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.10 Polemik menyebabkan citra kaos oblong menjadi melanjak, mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode. Kaos tidak terlepas dari pengaruh budaya. Mungkin perlu di sadari, kaos tidak terlepas dari budaya yang erat dengan nilai estetis dan estetika. Parahnya, masyarakat sering lebih menerima kultur luar yang lebih memberi hormat pada kaos dari pada orang berjas dan berdasi. Padahal, belum tentu orang yang memakai kaos oblong lebih buruk kelihatannya dari pada mereka yang mengenakan jas. Oleh karena itu pakaian bisa dikatakan sebagai cerminan status sosial seseorang yang tidak lagi melihat dari penampilan, tetapi apa yang ia 10 www.kaos-oblong.blogspot.com 5 kenakan. Akhirnya, kaos oblong sering diidentikkan dengan perlawanan akan aturan dan tatanan yang menekankan kesopanan.11 Kaos dapat menunjukan identitas diri. Dengan kata lain pakaian sebagai komunikasi, misalnya pada golongan kelas bawah merasa tertekan dan tertindas, golongan indie atau underground mengenakan kaos sebagai lambang perlawanan terhadap budaya barat yang mungkin terkesan menomorsatukan jas dan dasi.12 Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekitar tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana. Tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong sudah menjadi media berekspresi. Dimana kaos oblong pada saat itu sempat menjadi suatu tren atau mode dikalangan anak muda indonesia.13 Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi gambar vinyet, tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang berwarna-warni. Tekniknya seperti sablon. Kaos dengan desain, gambar dan tulisan-tulisan juga menjadi media penyampaian aspirasi masyarakat kelas bawah, dimana desaindesain tersebut merupakan representasi diri yang dilandasi ideologi, yang mempunyai arti dan makna tersendiri. Kaos tidak terbatas pada fungsinya sebagai penutup tubuh tetapi adanya syarat dengan pesan dan makna. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa (kaos) oblong akhirnya mengalami pergeseran makna. Tidak dipungkiri pula bahwa saat 11 Ibid. http://yainal.web.id/kreatif/politik-si-oblong-oleh-oleh-dari-oblong-klangenan/ 13 Harian Kompas, 14 Januari 1978 12 6 koas beredar di tangan konsumen, terjadi bentrokan makna. Artinya, pesan yang disampaikan oleh pembuat pesan tidak diterima atau diserap sepenuhnya oleh sang konsumen. Hal tersebut ditengarai oleh manusia yang memiliki kebebasan. Manusia bebas menciptakan makna sesuai kebebasannya. Inilah yang disebut komunikasi sebagai suatu proses simbolik, yang menggunakan lambang yang diberi makna. Simbol yang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenangwenang.14 Bergantung pada kesepakatan bersama atau tidak mempunyai arti apaapa sebelum diberi makna oleh orang, makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Kaos oblong dicerminkan sebagai kaos yang kurang sopan, terkesan mainmain, dan selalu menekankan kesederhanaan, serta hal-hal yang bersifat keseharian. Namun dari kekurangan tersebut dijadikan suatu kelebihan bagi anak muda Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, dalam mengembangkan bisnis kaos oblong. Keunikan sekaligus kekuatan dari produk ini, yang tidak terlepas dari estetika yang bersifat keseharian dan kesederhanaan membuat kaos Dagadu Djogja bisa disebut sebagai kaos fenomena, karena oblong Dagadu Djogja menggunakan pendekatan budaya yang berhasil mengangkat ikon-ikon visual yang ada di seantero kota Yogyakarta sebagai label bisnisnya. Setiap desain yang tertuang pada kaos oblong Dagadu Djogja merupakan suatu penggambaran terhadap unsur budaya, yang mampu memerankan status sosial si-pemakainya. Penggambaran serta desain-desain yang unik yang tertuang pada kaos Dagadu Djogja 14 merupakan suatu dialog yang Deddy Mulyana, op.cit., hal. 85 7 secara tidak langsung mampu mengkomunikasikan seseorang yang mengenakannya. Setiap visual maupun tipografi yang tertuang pada Kaos Oblong Dagadu merupakan bentuk komunikasi nonverbal, apakah bisa diperlakukan sebagai analog dengan bahasa lisan dan tertulis. Ketika Umberto Eco menyatakan “Berbicara melalui” pakaiannya misalnya, agaknya yang dia maksud bahwa dia menggunakan pakaian-nya untuk melakukan apa yang dilakukan dengan menggunakan kata–kata lisan dalam konteks lain.15 Oblong Dagadu, produk yang sudah lama keluar dengan karya dan strategi promosi yang unik, yang dikenal dengan karya dan desain-desain yang mudah di pahami, desain yang mengedepankan unsur humor, parody, plesetan sebagai unique selling preposition dari produk Kaos Oblong Dagadu membuat produk ini begitu dikenal khususnya di Indonesia, jawa tengah Yogyakarta. Menurut mas juno sebagai orang marketing oblong Dagadu, oblong Dagadu menunjukkan keaslian dagadu dalam versi dagadu yang membicarakan suatu realitas kota Yogyakarta tanpa dilebih-lebihkan maupun dikurangi, selain itu oblong Dagadu bisa dikatakan sebagai representasi ideologi Yogyakarta walaupun hanya beberapa dari sekian banyaknya desain oblong Dagadu, namun setidaknya keberhasilan Dagadu dalam menceritakan kota Yogyakarta dalam visual nya telah diakui sebagai cindera mata (oleh-oleh) dari Jogja. Adapun yang membedakan oblong Dagadu dengan oblong (kaos) lainnya, oblong Dagadu mengedepankan konten atau isi dari desain visual yang bersifat keseharian atau kebiasaan sebagian warga Jogja, tanpa disadari visual tersebut merupakan suatu strategi kreatif 15 Malcom Barnard, Fashion Sebagai Komuniasi, (Yogyakarta : Jalasutra), hal. 39 8 dimana si kreatornya mendepankan konten dari visual desain Dagadu, sedangkan strategi pemasaran yang digunakan Dagadu menggunakan word of mouth dalam memerkenalkan produknya yang mampu menempatkan positioning di benak konsumen. Adapun alasan yang melatar belakangi peniliti memilih oblong Dagadu sebagai bahan penelitian. Peneliti tertarik dengan setiap pesan visual yang digambarkan yang disampaikan dengan komunikasi non-verbal dalam memperkenalkan kota Yogyakarta yang menggunakan sudut pandang yang nyata (real), apa adanya sesuai dalam versi Dagadu sendiri. Untuk itu, dengan alasan inilah peneliti akan membongkar beberapa tanda untuk mengetahui makna yang tersembunyi pada desain Oblong Dagadu sebagai representasi Yogyakarta dari desain visual sebagai daya tariknya yaitu semiotika atau semiologi, studi tentang tanda dan bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja. Pada latar belakang ini, peneliti ingin mengkaji secara mendalam mengenai berbagai kemungkinan mengenai penggunaan tanda dan makna yang tersembunyi dibalik tanda desain visual oblong Dagadu dalam merepresentasikan kota Yogyakarta, baik keadaan kota maupun pola hidup warga Jogja. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan peneliti, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana representasi kota Yogyakarta pada hasil karya desain humor kaos oblong Dagadu?” 9 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: Untuk mengetahui representasi kota Yogyakarta pada desain humor kaos oblong Dagadu? 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu wawasan dalam bidang studi, khusunya pada bidang analisa tanda yaitu ilmu semiotika. Dimana dalam penelitian ini terkait dalam pembentukan suatu makna yang didasari oleh suatu kreatifitas, pada pembuatan suatu ide kreatif baik dalam bentuk media cetak, fashion dan pakaian, maupun TVC, dan sebagainya. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi peneliti dan pembahasan khususnya mengenai desain visual dalam menggunakan unsur budaya sebagai kunci dalam penelitian. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian baik bagi para desainer fashion dan pakaian, pengiklan, maupun para seni lainnya sebagai masukan dalam mendesain suatu produk terutama dalam menggunakan suatu unsur budaya didalamnya. Dengan harapan dapat menggunakan suatu ide kreatif yang mampu 10 membawa suatu citra budaya sebagai unik selling point yang membedakan dengan produk lain. Selain itu mengurangi adanya suatu kompetitor, karena memiliki ciri khas tersendiri pada produk atau desain yang di buat. 11