BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Penetapan Presiden RI Nomor 1 tahun 1965). Setiap agama memiliki sebutan tersendiri bagi pemimpin agamanya. Dalam agama Kristen, menjadi pemimpin atau yang memiliki tugas khusus berarti menjadi pelayan. Pelayan di gereja disebut juga sebagai pelayan khusus. Menurut Dahlenburg (1999) pelayan khusus merupakan seorang hamba yang diutus Tuhan, merasakan tugas panggilan dari hati untuk melayani dan bertanggung jawab dengan apa yang Tuhan percaya untuk menyampaikan injil kepada semua orang. Dalam memaknai tugas panggilan, tentu akan berbeda setiap individu. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap Pelayan di gereja yang berada di Toraja, Sulawesi Selatan (Eslianti, 2016) mengungkapkan bahwa menjadi seorang pemberi pelayanan di gereja merupakan suatu tanggung jawab hidup dan panggilan pelayanan menjadi alasan untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Di samping itu, menjadi seorang pelayan di gereja memberikan kebahagiaan, menemukan makna dan arah kehidupan berdasarkan pengalaman pribadi dan untuk menyusun tujuan hidupnya sebagai bentuk pelayanan. Sebagai pelayan khusus di gereja, tentunya memiliki banyak tuntutan, seperti tuntutan kerja dalam gereja, lingkungan, dukungan sosial dan juga religuisitas (Pinquart, 2001). Dahlenburg (1999) mengatakan bahwa orang 1 Universitas Sumatera Utara 2 yang hidupnya berorientasi dengan Tuhan mampu merasakan kenyamanan, damai, bahagia, dan juga kesejahteraan secara psikologis (psychological wellbeing) berdasarkan apa yang diperoleh dari pengalaman hidup selama melayani. Hal tersebutlah yang mendorong seseorang untuk memilih pekerjaan-pekerjaan tertentu, termasuk menjadi seorang pelayan khusus di gereja. Terlebih lagi bekerja sebagai pelayan khusus tidak diberi imbalan (gaji). Menjadi seorang pelayan khusus dapat memberikan pengalaman yang positif dan membantu untuk menemukan makna hidupnya ketika melakukan pelayanan di gereja (Karina, 2015). Hal ini senada dengan yang diungkapkan Ryff (dalam Binarti, 2012) mengatakan bahwa psychological well-being seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman hidup seta pemaknaan hidup orang tersebut. Psychological well-being dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup (Handayani, 2010). Hal ini didukung oleh pernyataan seorang pelayan khusus di gereja. “bibi mau melayani di gereja karena panggilan hati. Karena kan sebagai orang kristen ada 3 tugas gereja yaitu bersekutu, bersaksi dan melayani. Jadi sewaktu bibi terpilih jadi pekerja di gereja ada rasa tanggung jawab melaksanakan kewajiban walaupun itu lebih banyak pengorbanan, korban perasaan, korban waktu, tenaga dan juga materi. Melayani harus dibarengi dengan kerja kita di gereja. Meskipun gitu, dalam menjalani pekerjaan di gereja bibi merasa senang dan membawa hal yang lebih positif ke bibi, karena semua pelayanan yang dilakukan itu untuk Tuhan.” (Wawancara personal, 20 Juli 2017) Universitas Sumatera Utara 3 Narasumber menambahkan lebih rinci terkait hal-hal yang mereka dapatkan ketika melakukan pelayanan di gereja. Dari beberapa narasumber yang diwawancarai, diperoleh informasi bahwa mereka dapat menemukan kesejahteraan secara psikologis dan dapat memenuhi kelima aspek dari psychological well-being. Menurut Ryff psychological well-being memiliki beberapa aspek, yaitu (dalam Setyawati, 2015) penerimaan kondisi seseorang termasuk kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), dan kemampuan untuk menemukan tindakan sendiri (autonomy). Adapun pernyataan-pernyataan narasumber yang menunjukkan hal tersebut akan ditampilkan di bawah ini. Pertama, dari aspek self-acceptance yang mengindikasikan adanya penerimaan kondisi seseorang termasuk kehidupannya dimasa lalu. Narasumber mendukung adanya peningkatan aspek ini sebagai berikut: “gimana ya nakku, bibi sebagai pekerja di gereja ini banyak kali yang kurasakan. Apalagi kami jadi pekerja ini, kami bisa jadi lebih positif dalam hidup kami biar kami pun bisa melayani dengan baik, terutama kami menjadikan Alkitab sebagai pedoman hidup kami. Jadi kalo di diri bibi sendiri, apapun kondisi bibi sekarang, bibi bisa terima, percaya aja Tuhan selalu menopang kita apapun kondisi kita.” (Wawancara personal, 25 Juli 2017) Kedua, untuk aspek personal growth, pernyataan narasumber yang mendukung adanya aspek ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut. Universitas Sumatera Utara 4 “setelah mama (paman) menjabat sebagai Pendeta di gereja, banyak perubahan yang mama terima. Ternyata setelah mama jadi pendeta, mama jadi pribadi yang lebih baik lagi, mama bisa lebih positif lagi. Darimana mama dapat itu semua, ketika mama meresapi isi alkitab yang mama baca. Terkhusus melayani di gereja, ketika mama melakukan pelayan dengan tulus, mama merasakan lebih banyak berkat yang mama terima.” (Wawancara personal, 25 Juli 2017) Dari aspek purpose in life, narasumber memberikan pernyataan yang mendukung adanya pengaruh menjadi pelayan khusus di gereja terhadap aspek ini. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut: “jadi pekerja di gereja pasti ada pengaruhnya sama kami. Dengan kami melayani ini, kami bisa merasakan perasaan orang yang kami layani, mereka merasa nyaman dengan kedatangan kami. Nah, dari situ kami merasakan ternyata kami bisa bawa manfaat untuk orang lain. Dari situ kami merasakan ternyata inilah tujuan hidup kami, untuk ini kami hidup, untuk melayani orang-orang.” (Wawancara personal, 25 Juli 2017) Sedangkan aspek positive relationship with others, narasumber memberikan pernyataan yang mendukung aspek ini, sebagai berikut. “namanya juga pelayan, melayani orang banyak. Tentunya kami harus bisa berteman dengan baik, membuka komunikasi yang baik, berinteraksi dengan baik. Kalo ga punya hubungan yang baik dengan orang lain, pelayanan kita pun ga jalanlah. Kadang meskipun mereka ga merespon, ya tetap kita senyumi saja. Anggap saja lagi sakit giginya hahaha.” (Wawancara personal, 25 Juli 2017) Dan untuk aspek yang terakhir, autonomy, narasumber memberikan pernyataan yang mendukung adanya pengaruh menjadi pelayan khusus terhadap aspek ini. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 5 “kalo itu, sama kayak inisiatif sendiri kan nakku. Taulah kam orang karo kan, jamnya jam karet semua. Kadang kalo ke pesta orang ninggallah kita, belum kumpul semua teman tadi disitu, tapi kerjaan sudah ada. Ya harus ambil inisiatif sendirilah untuk bekerja duluan, ga hanya nunggu-nunggu teman yang lama datang.” (Wawancara personal, 25 Juli 2017) Ryff (dalam Setyawati, 2015) mengatakan bahwa kelima aspek tersebut berorientasi kepada diri individu. Lebih lanjut, Handayani (2010) mengatakan bahwa psychological well-being berfokus kepada tugas perkembangannya sebagai manusia, dapat dipengaruhi oleh hubungan dan dukungan sosial. Namun, menurut Ryff dari kelima aspek tersebut, yang paling dominan dalam mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah positive relation with others. Hubungan sosial yang positif (positive relation with others) dapat diciptakan dengan banyak hal, salah satunya dengan menerima persamaan dan perbedaan orang lain dan juga memiliki keterikatan pada orang lain. Tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus di gereja dalam melakukan pelayanan, tak terlepas dari tindakan menolong (perilaku prososial). Menurut Ryff (dalam Karina, 2015) ketika seseorang memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka akan mendorong munculnya perilaku prososial. Menurut Sears dan Freedman (1991) tindakan menolong orang lain merupakan tindakan yang memberikan kepuasan, yang dapat meningkatkan perasaan mereka sendiri. Seseorang yang memberikan pertolongan apabila menyaksikan orang lain membutuhkan pertolongan sering membangkitkan emosi yang kuat dan tercapainya psychological well-being. Universitas Sumatera Utara 6 Pelayanan yang menjadi tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus di gereja, antara lain: pelayanan kunjungan ke orang sakit, berkunjung ketika dukacita dan sukacita, memasuki rumah baru, mendoakan orang yang memiliki masalah, memberi bantuan sumbangan kepada yang membutuhkannya, melakukan pastoral konseling, dan kegiatan lainnya untuk menaungi jemaat yang ada di gereja tersebut. Perilaku prososial ini sangat diperlukan di berbagai jenis pekerjaan, seperti di rumah sakit, panti asuhan, panti sosial, panti jompo, lembaga sosial masyarakat dan juga lembaga gereja. Khususnya di gereja, pelayanan pada masyarakat terutama yang berfokus kepada jemaat yang ada di gereja disebut sebagai pelayanan diakonia (dalam Karina, 2015). Namun, dalam kenyataannya harapan yang demikian belum terjadi. Para pelayan khusus masih belum menunjukkan pelayanan atau gembala bagi jemaat, dimana salah satu butir tugas para pelayan khusus seperti yang tertera dalam Tata Gereja yaitu mampu melayani dan menaungi jemaat yang ada dalam gereja. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa jemaat yang ada di gereja, para pelayan khusus kutang menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan khusus dalam gereja, sehingga membuat jemaat masih merasa kurang puas terhadap pelayanan mereka. Dimana, para pelayan khusus yang memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi sudah seharusnya mampu menunjukkan pelayanan di gereja (Dahlenburg, 2011). Perilaku prososial biasanya dilakukan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Perilaku prososial merupakan perilaku yang bertujuan memberi Universitas Sumatera Utara 7 keuntungan pada penerima bantuan tanpa adanya kompensasi timbal balik (seperti imbalan berupa materi maupun pujian) yang jelas atas perilaku tersebut. Carlo dan Randal (2002) mengemukakan 6 aspek perilaku prososial, yaitu altruism (perilaku sukarela untuk menolong orang lain), compliant (menolong orang lain dikarenakan ada permintaan baik verbal maupun nonverbal), emotional (menolong orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi), public (menolong di depan orang lain demi mencapai suatu tujuan), anonymous (menolong tanpa diketahui oleh sipenerima pertolongan), dan dire (perilaku menolong yang muncul dalam keadaan krisis atau situasi darurat). Dalam penelitian ini, sampel penelitian ini adalah pelayan khusus di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Dalam GBKP memiliki 3 pelayan khusus, yaitu Pendeta (Pdt), Pertua (Pt), dan Diaken (Dk). Alasan diambilnya sampel penelitian dari gereja ini ialah karena GBKP memiliki program khusus untuk para pelayan yang ada di gereja yang dilakukan sekali seminggu untuk pendalaman alkitab dan sharing mengenai kendala dan hambatan yang mereka dalam melakukan pelayanan guna meningkatkan kesejahteraan mereka secara psikologis sebagaimana dijelaskan dalam buku Katekisasi GBKP (2016). Selain itu, GBKP marupakan gereja kesukuan, yaitu suku Karo yang masih memegang teguh prinsip adat. Suku Karo memiliki tiga karakteristik yang sangat menonjol, yaitu mehamat (sikap hormat), metenget (kepedulian dan empati), dan metami (penyayang dan pengasih) (Katekisasi GBKP, 2016). Maka sudah seharusnya karakteristik tersebut menjadi salah satu pendorong untuk melakukan pelayanan dalam gereja. Universitas Sumatera Utara 8 Ketika seorang pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka mereka akan lebih mampu melakukan pelayanan di gereja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus. Berdasarkan fenomena yang terjadi, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada Pendeta, Pertua dan Diaken selaku pelayan khusus di dalam gereja. Inilah alasan peneliti untuk meneliti tentang “Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Pelayan Khusus di GBKP”. 1.2 PERTANYAAN PENELITIAN “Apakah ada hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada pelayan khusus di GBKP?” 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada pelayan khusus di GBKP. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk membuktikan ada tidaknya hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being; Universitas Sumatera Utara 9 b. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Sosial; c. Dapat menjadi referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti fenomena yang sama yakni terkait perilaku prososial dengan psychological well-being. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sudut pandang yang baru terutama bagi mahasiswa ataupun pihak GBKP dalam meningkatkan pelayanan dan kesadaran mengenai tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus di gereja. 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah : BAB I : PENDAHULUAN Berisikan Latar Belakang, Pertanyaan Penelitan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI Berisikan pengertian perilaku prososial, dimensi perilaku prososial, type perilaku prososial, pengertian psychological well-being, dimensi psychological well-being, faktor yang mempengaruhi psychological well-being, serta mengenai pendeta dan pertua dan diaken di GBKP. Universitas Sumatera Utara 10 BAB III : METODE PENELITIAN Berisikan Metodologi Penelitian Kuantitatif, Metode Pengumpulan Data, Lokasi Penelitian, Subjek Penelitian, Alat Bantu Pengumpulan Data, Tahap Prosedur Pelaksanaan Penelitian, Metode Analisis Data, dan Kredibilitas Penelitian. BAB IV: ANALISA DAN PEMBAHASAN Berisikan Gambaran Umum Subjek Penelitian, Hasil Penelitian, Hasil Utama Penelitian, Hasil Analisa Tambahan, dan Pembahasan. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Berisikan Kesimpulan, Saran Metodologis, dan Saran Praktis Universitas Sumatera Utara