BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia (Iskandar & Erdelen, 2006). Kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk di antaranya tumbuhan obat. Salah satu jenis tumbuhan obat di Indonesia adalah awar-awar (Ficus septica Burm. f.). Awar-awar adalah salah satu tumbuhan obat yang telah digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam mengatasi berbagai penyakit. Awar-awar digunakan dalam pengobatan tradisional radang usus buntu, bisul, gigitan racun, dan penyakit kulit (Heyne, 1987). Studi terhadap awar-awar melaporkan bahwa kandungan senyawa alkaloid di awar-awar menjadikannya potensial sebagai agen sitotoksik poten (Lansky et al., 2008). Di Indonesia, studi mengenai efek sitotoksik daun awar-awar terhadap sel kanker payudara sudah dilakukan. Ekstrak etanolik daun awar-awar serta hasil fraksinasinya terbukti memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D (Nugroho et al., 2011; Pratama, 2010; Nurcahya, 2007). Adapun kombinasi subfraksi larut etil asetat dari ekstrak etanolik daun awar-awar dengan 1 2 doxorubicin diketahui dapat meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin (Nugroho et al., 2012). Hingga saat ini, dari berbagai penelitian mengenai efek sitotoksik daun awar-awar yang sudah dilakukan belum ada yang mengkaji profil senyawa alkaloidnya. Profil alkaloid di daun awar-awar penting untuk diketahui karena alkaloid di daun awar-awar diketahui memiliki efek sitotoksik (Wu et al., 2002). Apabila profil senyawa alkaloidnya telah diketahui, maka tidak menutup kemungkinan bahwa alkaloid di daun awar-awar dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai leading compound dalam penemuan dan desain obat antikanker. Alkaloid di daun awar-awar diketahui memiliki efek sitotoksik. Alkaloid perlu disari dari daun awar-awar untuk dapat dianalisis profilnya. Semakin banyak kandungan alkaloid yang tersari dalam sampel, maka semakin tinggi efek sitotoksik yang dihasilkan sampel tersebut. Alkaloid dalam jumlah banyak dapat tersari ke dalam fraksi dari ekstrak daun awar-awar yang telah difiltrasi dengan Al2O3 dan difraksinasi dengan etil asetat. Fraksi etil asetat memiliki kandungan alkaloid dalam jumlah banyak karena alkaloid terlarut ke dalam pelarut organik apabila didahului dengan ekstraksi asam basa (Siwon, 1982). Penelitian sebelumnya yang menggunakan subfraksi etil asetat melaporkan bahwa fraksi tersebut memiliki efek sitotoksik yang tinggi (Nugroho et al., 2012). Maka dari itu, fraksi etil asetat komponen larut air (FEAKLA) digunakan sebagai larutan uji pada penelitian ini. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penelitian mengenai profil senyawa alkaloid daun awar-awar sangat penting untuk dilakukan. Data 3 yang diperoleh dapat menguatkan bukti ilmiah mengenai kandungan alkaloid daun awar-awar dan efek sitotoksiknya. Penelitian ini menitikberatkan pada identifikasi profil senyawa alkaloid daun awar-awar dengan metode KLT serta menelusuri efek sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan menggunakan metode [3-(4,5dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida] (MTT). Dari uji sitotoksisitas tersebut diperoleh data persentase viabilitas sel setelah diberi perlakuan dengan FEAKLA pada berbagai seri konsentrasi. Data persentase viabilitas sel dapat menggambarkan efek sitotoksik dari FEAKLA. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil senyawa alkaloid daun awar-awar dan efek sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar? 2. Apakah FEAKLA dari esktrak etanolik daun awar-awar memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar. 2. Mengetahui efek sitotoksik FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar terhadap sel kanker payudara T47D. 4 D. Pentingnya Penelitian Dilakukan Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan obat di Indonesia. Tumbuhan obat telah digunakan oleh masyarakat Indonesia secara empiris sejak dahulu. Dalam bidang farmasi tumbuhan obat banyak dimanfaatkan terutama untuk membuktikan khasiatnya secara ilmiah sehingga senyawa aktifnya dapat diisolasi dan digunakan sebagai leading compound dalam desain dan sintesis obat. Awar-awar banyak tumbuh di berbagai dataran rendah. Aktivitas ekstrak maupun fraksi dari daun awar-awar telah banyak diteliti sitotoksisitasnya dan memiliki hasil yang baik. Aktivitas sitotoksik dari ekstrak maupun fraksi daun awar-awar diperantarai oleh senyawa alkaloid di dalamnya. Guna mengembangkan zat aktif awar-awar sebagai obat antikanker maka perlu dilakukan penelitian mendalam mengenai profil alkaloidnya. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi dan bukti ilmiah mengenai profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dan aktivitas sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D. Data yang diperoleh diharapkan dapat berguna sebagai referensi untuk penelitian mengenai pemanfaatan awar-awar terutama alkaloid daun awar-awar sebagai bahan obat antikanker. E. 1. Tinjauan Pustaka Awar-awar (Ficus septica Burm. f.) Awar-awar merupakan tumbuhan yang memiliki habitat di dataran rendah dan terdistribusi di berbagai negara seperti Indonesia, Jepang, Taiwan, Malaysia, 5 Filipina, Papua Nugini, dan Australia (Lansky & Paavilainen, 2010). Awar-awar dikenal sebagai tumbuhan obat karena secara tradisional masyarakat telah memanfaatkannya untuk mengobati berbagai penyakit, di antaranya infeksi karena jamur, inflamasi, batuk, dan sebagai pencahar (Lansky & Paavilainen, 2010). Di Indonesia sendiri, telah diketahui bahwa awar-awar merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di Bali (Sukadana, 2010). Awar-awar (Gambar 1) dikenal dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Kiciyat (Sunda); Awarawar (Jawa Tengah, Belitung); Barabar (Madura); Sirih popar (Ambon); Bei; Loloyan (Minahasa); Tobotobo (Makasar); Dausalo (Bugis); Bobulutu (Halmahera Utara) dan Tagalolo (Ternate) (Heyne, 1987). 1. Klasifikasi Tumbuhan Subkingdom: Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Dilleniidae Bangsa : Urticales Suku : Moraceae Marga : Ficus Jenis : Ficus septica Burm. f. (Backer & Van den Brink, 1965) 6 Gambar 1. Awar-awar 2. Deskripsi Tumbuhan Awar-awar tumbuh tegak seperti pohon atau semak tinggi dengan ketinggian 1-5 m (Lampiran 2). Batangnya bengkok-bengkok, lunak, bulat berongga, dan mengeluarkan getah berwarna bening. Batangnya berwarna cokelat muda dan memiliki cabang dengan ranting bulat silindris (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991; Sudarsono et al., 2002). Awar-awar memiliki daun jenis tunggal yang tumbuh berseling atau berhadapan. Helaian daun berbentuk bulat telur atau elips, mempunyai pangkal membulat dan ujung menyempit cukup tumpul. Ukuran tepi daun rata-rata memiliki panjang 9-30 cm dan lebar 9-16 cm. Jika dilihat dari atas daun berwarna hijau tua mengkilat, dengan banyak bintik-bintik yang pucat. Jika dilihat dari bawah daun berwarna hijau muda dengan 6-12 tulang daun ke arah samping (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991; Sudarsono et al., 2002). 7 Bunga awar-awar adalah jenis majemuk dan bertangkai pendek. Pada pangkalnya terdapat tiga daun pelindung berwarna hijau muda atau hijau keabuan yang memiliki diameter ± 1,5 cm. Buahnya merupakan tipe periuk (Sudarsono et al., 2002). Buahnya berdaging dan memiliki diameter 1,5-2 cm. Warna buah saat muda adalah hijau dan akan berubah menjadi hitam saat tua (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991). 3. Kandungan Kimia Awar-awar termasuk ke dalam marga Ficus dan suku Moraceae. Tumbuhan anggota marga Ficus mengandung senyawa flavonoid, kumarin, alkaloid, steroid, seramida, dan triterpen (Simo et al., 2008). Kandungan kimia yang khas yang dapat ditemukan di tumbuhan anggota suku Moraceae antara lain (Hegnauer, 1969): 1. Getah Getah terdapat di beberapa tumbuhan anggota marga Ficus seperti Ficus alba, Ficus callosa, Ficus cardifolia, Ficus elastica Roxb., dan Ficus glomerata. 2. Senyawa fenolik a. Turunan kumarin dan asam hidroksi sinamat Senyawa-senyawa ini terbukti ditemukan di beberapa tumbuhan marga Ficus, contohnya Ficus elastica dan Ficus carica L. 8 b. Flavonoid Flavonoid yang banyak ditemukan di daun adalah flavonoid dalam bentuk glikosida. Flavonoid yang ditemukan di marga Ficus antara lain kuersetin, kaempferol, dan mirisitin. Senyawa-senyawa turunan leukoantosian juga banyak terdapat di tumbuhan anggota marga Ficus. c. Benzofenon dan xanton Senyawa-senyawa ini banyak ditemukan di bagian kayu dari tumbuhan Moraceae. d. Stilben Jenis senyawa ini belum ditemukan di marga Ficus. e. Zat samak Zat samak terdapat di bagian kayu dan kulit kayu tumbuhan, contoh senyawa yang termasuk zat samak adalah asam galat. 3. Triterpen, sterin, dan lilin Senyawa-senyawa sterin seperti β-sitosterin dan lupeol dapat ditemukan di daun tumbuhan anggota marga Ficus. 4. Saponin Saponin merupakan bentuk larut air dari triterpen dan dapat ditemukan di beberapa tumbuhan anggota suku Moraceae. 9 5. Kardenolid Senyawa kardenolid yang dapat diidentifikasi salah satunya adalah glikosida jantung, namun belum ditemukan keberadaannya di tumbuhan marga Ficus. 6. Alkaloid Senyawa alkaloid yang telah ditemukan antara lain pseudopeletierin, fisin, isofisin, tilokrebrin, tiloforin, dan septisin. Alkaloid-alkaloid tersebut ditemukan di marga Ficus termasuk Ficus septica Burm. f. (Hegnauer, 1969). Septisin, suatu alkaloid indolisidin, merupakan prekursor pembentuk tiloforin dan tilokrebrin. Struktur fisin dan isofisin memiliki cincin pirolidin dan kerangka flavonoid (Gambar 2). Fisin dan isofisin termasuk jenis alkaloid yang langka karena terdapat kerangka flavonoid pada strukturnya (Leete, 1982). (1) (2) (3) Gambar 2. Septisin, Fisin, dan Isofisin Alkaloid septisin (1) memiliki cincin indolisidin. Gambar (2) dan (3) adalah alkaloid fisin dan isofisin yang merupakan alkaloid bercincin pirolidin dan memiliki kerangka flavonoid. 7. Lendir Lendir terdapat pada buah. 10 8. Karbohidrat Karbohidrat dapat ditemukan di buah. Tumbuhan dalam satu suku memiliki kandungan kimia yang sama. Kandungan kimia awar-awar sama dengan kandungan kimia tumbuhan suku Moraceae namun berbeda pada kadar setiap senyawa. Studi terhadap awar-awar melaporkan bahwa kandungan kimia awar-awar terdiri dari triterpen, tannin, basa kuarterner, flavonoid, lignan, asetofenon dan turunannya, steroid, senyawa alifatik rantai panjang, dan alkaloid (Damu et al., 2005; Vital et al., 2010). Sampai saat ini jenis alkaloid yang ditemukan dalam awar-awar namun tidak menutup kemungkinan terdapat jenis alkaloid lain adalah alkaloid fenantroindolisidin, indolisidin, pirolidin, dan caprophenone (Hegnauer, 1969; Gellert, 1982; Ueda et al., 2009). Alkaloid fenantroindolisidin, suatu subkelompok alkaloid indolisidin ditemukan di daun dan batang awar-awar (Damu et al., 2005; Lansky & Paavilainen, 2010). Akar awar-awar diketahui mengandung senyawa sterol dan polifenol (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991), flavonoid, dan triterpenoid (Sukadana, 2010). Penelitian Nastiti (2013) melaporkan bahwa terdapat alkaloid bercincin indol atau turunannya di dalam fraksi dari ekstrak daun awar-awar. Secara keseluruhan kandungan kimia awar-awar dapat dirangkum pada Tabel I. 11 Tabel I. Kandungan Kimia Awar-awar Bagian Tumbuhan Daun Daun dan batang Batang Nama Senyawa Golongan Senyawa Antofin Alkaloid Fenantroindolisidin 10S,13αR-antofin N-oksida Dehidrotiloforin 4,6-Bis-(4-metoksifenil)-1,2,3trihidroindolizidinium klorida Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Ficuseptin A Alkaloid Fenantroindolisidin 14α-hidroksiisotilokrebrin Noksida Genistein Kaempferitrin (5-asetil-2-hidroksifenil)- β-Dglukopiranosid Asam vanilat Urasil β-sitosterol-β-D-glikosida Skualen Ficuseptamin A Ficuseptamin B Ficuseptamin C Filosteron Norruspolin β-sitosterin α-amirin Lupeol Kaempferol Kuersetin Mirisitin Fisin Isofisin Alkaloid Fenantroindolisidin Referensi Baumgartner et al., (1990) dan Wu et al. (2002) Damu et al. (2005) Yang et al. (2006) Baumgartner et al. (1990) Wu et al. (2002) dan Yang et al. (2006) Alkaloid Fenantroindolisidin Wu et al. (2002) Flavonoid Flavonoid Wu et al. (2002) Wu et al. (2002) Fenolik, lain-lain Wu et al. (2002) Fenolik, lain-lain Pirimidin Sterol Triterpenoid Alkaloid Caprophenone Alkaloid Caprophenone Alkaloid Pirolidin Alkaloid Pirolidin Alkaloid Pirolidin Sterin Sterin Sterin Flavonoid Flavonoid Flavonoid Alkaloid Pirolidin Alkaloid Pirolidin Wu et al. (2002) Wu et al. (2002) Wu et al. (2002) Wu et al. (2002) Ueda et al. (2009) Ueda et al. (2009) Ueda et al. (2009) Ueda et al. (2009) Ueda et al. (2009) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Hegnauer (1969) Wu et al. (2002) dan Damu et al. (2005) Wu et al. (2002) dan Damu et al. (2005) Wu et al. (2002) dan Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Tiloforin Alkaloid Fenantroindolisidin Isotilokrebrin Alkaloid Fenantroindolisidin Tilokrebrin Alkaloid Fenantroindolisidin Ficuseptin B Ficuseptin C Ficuseptin D 10S,13αR-isotilokrebrin Noksida 10S,13αS-isotilokrebrin Noksida 10R,13αR-tilokrebrin N-oksida 10S,13αR-tilokrebrin N-oksida 10R,13αR-tiloforin N-oksida Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Alkaloid Fenantroindolisidin Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) Damu et al. (2005) 12 4. Kegunaan Awar-awar umum digunakan dalam pengobatan tradisional. Di Indonesia daun awar-awar digunakan untuk obat penyakit kulit, radang usus buntu, mengatasi bisul, gigitan ular berbisa dan sesak nafas (Heyne, 1987). Akarnya digunakan untuk penawar racun dan penanggulangan asma. Getahnya dimanfaatkan untuk mengatasi bengkak dan kepala pusing. Buahnya digunakan sebagai pencahar (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991). Selain di Indonesia, awar-awar juga digunakan dalam pengobatan tradisional di Taiwan untuk mengobati penyakit demam, infeksi jamur, dan infeksi bakteri (Damu et al., 2005). Beberapa jenis dari marga Ficus telah diketahui memiliki aktivitas biologis sebagai antikanker sejak abad ke-17 di Timur Tengah dan Eropa. Beberapa bagian awar-awar juga telah dikenal memiliki aktivitas biologis. Daun segarnya dapat digunakan untuk pengobatan nyeri somatik dengan cara merebus daunnya sampai hangat lalu ditempelkan di dahi atau bagian tubuh lainnya sebagai kompres (Lansky et al., 2008). Berdasarkan pada penggunaan tradisional di masyarakat, berbagai penelitian telah dilakukan untuk menelusuri potensi efek sitotoksiknya serta mempelajari mekanisme aktivitasnya. Alkaloid fenantroindolisidin dari awar-awar yaitu tiloforin dan ficuseptin terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan enzim 13 Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) (Yang et al., 2006). Regulasi kanker seringkali melibatkan enzim COX-2 dan iNOS, sehingga daun awar-awar berpotensi memiliki aktivitas antikanker. COX-2 berperan sebagai jembatan molekuler antara kejadian inflamasi dan kanker. Peningkatan ekspresi COX-2 yang tidak normal dapat diamati di berbagai jenis kanker manusia. COX-2 berpengaruh dalam karsinogenesis dengan menstimulasi proliferasi sel, menekan apoptosis, menginduksi angiogenesis, dan meningkatkan sifat invasif (Kundu & Surh, 2012). Ekspresi COX-2 yang tinggi juga dapat menginduksi angiogenesis salah satu caranya adalah dengan meningkatkan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) (Kundu & Surh, 2012). iNOS merupakan suatu enzim penghasil radikal bebas NO dalam jumlah banyak ketika inflamasi terjadi. Kadar NO yang tinggi memiliki sifat yang genotoksik karena dapat memodifikasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) atau protein yang bertugas untuk memperbaiki DNA (Wink et al., 2008). Pada kanker yang mengalami mutasi pada p53 seperti kanker payudara, iNOS mampu meningkatkan ekspresi VEGF dan pertumbuhan tumor (Wink et al., 2008). Keterkaitan antara molekul yang berperan dalam inflamasi dan sifat kanker di dalam tubuh memungkinkan pengembangan senyawa yang 14 memiliki sifat antiinflamasi seperti tiloforin dan ficuseptin pada awarawar sebagai antikanker. Ficuseptin, tiloforin, serta campuran tilokrebrin dan isotilokrebrin terbukti sitotoksik terhadap sel kanker kolon HCT-9, sel kanker lambung NUGC, dan sel kanker nasofaring HONE-1 dengan nilai rentang IC50 pada level mikromolar (Damu et al., 2009). Penelitian lain melaporkan bahwa tiloforin mampu menghambat pertumbuhan sel kanker hati HepG2 dan sel kanker lambung NUGC-3 dengan mempengaruhi siklus sel fase G1 (Wu et al., 2009). Alkaloid antofin menghambat proliferasi sel kanker A549 dan HCT 116 dengan mekanisme aksi pada siklus sel fase G0/G1 (Min et al., 2010). Pada sel kanker Col2 antofin memiliki efek sitotoksik dengan mekanisme menginduksi berhentinya siklus sel pada fase G2/M (Sang et al., 2003). Ekstrak larut etanol daun awar-awar memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D dengan nilai IC50 sebesar 13 μg/ml serta mampu menginduksi apoptosis sel tersebut melalui penekanan ekspresi protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2) (Pratama, 2010). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa subfraksi larut etil asetat dari ekstrak larut etanol daun awar-awar memiliki aktivitas sitotoksik yang poten terhadap sel kanker payudara T47D dengan nilai IC50 sebesar 13,7 μg/ml (Nugroho et al., 2012). Kombinasinya dengan doxorubicin dapat meningkatkan efek 15 sitotoksik doxorubicin secara sinergis melalui pemacuan apoptosis sel T47D dengan mekanisme aksi meningkatkan ekspresi Cleaved Poly (ADP-ribose) polymerase (cPARP) dan mempengaruhi siklus sel (Nugroho et al., 2012). 2. Golongan Senyawa Alkaloid Tumbuhan dalam usaha pertahanan dirinya mampu memproduksi senyawa kimia yang beragam, yang dikenal dengan istilah metabolit sekunder. Ada sekitar lebih dari 100.000 macam metabolit sekunder yang telah berhasil diidentifikasi dalam tumbuhan (Wink, 2008). Di antara metabolit sekunder yang diproduksi oleh tumbuhan, alkaloid adalah golongan senyawa yang paling menonjol dalam rangka pertahanan diri terhadap herbivora dan patogen. Lebih dari 27.000 jenis struktur alkaloid dari 21.900 tumbuhan telah berhasil diidentifikasi (Dewick, 2009). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, definisi alkaloid terus berkembang. Hegnauer (1963) mendefinisikan alkaloid sebagai senyawa yang disintesis pada sebagian tumbuhan dari suatu asam amino atau turunannya dan memiliki sifat toksik, basa, serta mempunyai atom nitrogen. Sedangkan menurut Ziegler & Facchini (2008), alkaloid didefinisikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari beragam senyawa dengan bobot molekul kecil dan mempunyai atom nitrogen pada struktur kimianya. Karena aktivitas biologisnya yang poten, banyak senyawa alkaloid yang telah dimanfaatkan sebagai sediaan farmasi, stimulan, narkotika, dan racun. 16 Beberapa alkaloid dari tumbuhan telah digunakan secara klinis diantaranya morfin dan kodein sebagai analgesik, vinblastin dan taxol sebagai antikanker, (+)turbokurarin sebagai relaksan otot, dan sanguinarin sebagai antibiotik (Facchini, 2001). Dapat dilakukan beberapa cara guna mengidentifikasi alkaloid di dalam sampel, salah satunya dengan metode reaksi pengendapan. Reaksi pengendapan bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan alkaloid di dalam sampel. Selain itu reaksi pengendapan dilakukan untuk mengonfirmasi bahwa ekstraksi alkaloid yang dilakukan sudah tuntas dilakukan (Lieu, 2012). Sampel yang diuji direaksikan dengan suatu pereaksi tertentu. Keberadaan alkaloid ditinjau dari endapan yang terbentuk dari reaksi tersebut. Sampel yang umumnya digunakan adalah ekstrak kasar dari bahan tumbuhan, alkaloid dalam bentuk garam kristalin yang terbentuk dari reaksi dengan asam, atau alkaloid dalam bentuk garam metalik yang terbentuk dari reaksi dengan merkuri klorida (Hashimoto et al., 1990; Lieu, 2012). Pereaksi yang dapat digunakan sangat beragam dan banyak jumlahnya. Terdapat 68 pereaksi yang dapat dipilih berdasarkan mekanisme reaksinya dengan alkaloid (Stephenson, 1921). Pereaksi-pereaksi tersebut dapat dikelompokkan menjadi (Setiawan, 2013): 1. Golongan I, yaitu pereaksi yang membentuk garam tidak larut dengan alkaloid. Contoh: asam silikowolframat, asam fosfomolibdat, dan asam fosfowolframat. 17 2. Golongan II, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk senyawa kompleks bebas yang kemudiam membentuk endapan. Contoh: pereaksi Bouchardat, pereaksi Wagner. 3. Golongan III, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk senyawa adisi yang tidak larut. Contoh: pereaksi Mayer dan pereaksi Dragendorff. 4. Golongan IV, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk ikatan asam organik. Contoh: pereaksi Hager. Jika terjadi reaksi negatif (tidak terbentuk endapan), dapat dikatakan bahwa sampel tidak mengandung alkaloid. Namun, jika reaksi positif belum dapat dipastikan keberadaan alkaloid di dalam sampel karena kemungkinan ada senyawa lain yang memiliki atom nitrogen di dalam sampel yang dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan. Senyawa-senyawa tersebut misalnya purin dan protein (Lieu, 2012). Maka dari itu, sampel dikatakan mengandung alkaloid jika terjadi sekurang-kurangnya dua reaksi positif yang membentuk endapan pada dua reaksi dari golongan reaksi pengendapan yang dilakukan (Setiawan, 2013). 3.1 Alkaloid Indol Biosintesis alkaloid pada tumbuhan melibatkan banyak tahap katalisis yang diperantarai oleh enzim. Asam amino yang menjadi prekursor biosintesis alkaloid indol adalah triptofan (Gambar 3). Oleh karena itu pada struktur molekul alkaloid indol terdapat dua atom nitrogen, dimana salah satu atom nitrogen tersebut masuk ke dalam sistem cincin indol. 18 O H2N CH C OH CH2 HN Gambar 3. Asam Amino Triptofan Asam amino triptofan adalah suatu asam amino aromatik yang mempunyai cincin indol dan berasal dari jalur biosintesis sikimat melalui asam antranilat. Triptofan berperan sebagai prekursor dari berbagai alkaloid indol (Dewick, 2009). Pada jalur biosintesis alkaloid indol, triptofan diubah menjadi triptamin oleh enzim triptofan dekarboksilase (TDC) (Ziegler & Facchini, 2008). Alkaloid indol adalah golongan alkaloid yang memiliki sistem cincin indol di dalam struktur molekulnya. Cincin indol merupakan suatu sistem aromatik heterosiklik yang terdiri dari benzen yang terikat pada gugus cincin pirol (Gambar 4). N R Gambar 4. Cincin Indol Aktivitas farmakologis dari alkaloid indol telah diketahui dari beberapa waktu yang lalu. Vinblastin dan vinkristin adalah alkaloid bisindol berasal dari Catharanthus roseus yang memiliki aktivitas antikanker 19 pada leukemia dan beberapa kanker lain. Alkaloid indol lain yang memiliki aktivitas antikanker adalah elliptisin dan kamptothesin (Houghton, 2008). Keberadaan alkaloid indol dalam suatu sampel ekstrak tumbuhan dapat dideteksi dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pereaksi penampak bercak disemprotkan pada lempeng KLT untuk menghasilkan warna bercak yang khas dan mempermudah identifikasi alkaloid indol (Tabel II). Tabel II. Pereaksi Penampak Bercak Spesifik Alkaloid Indol (Houghton, 2008) No. 1 Nama Umum Pereaksi Dragendorff 3 Pereaksi Van UrkSalkowski 4 Serium (IV) sulfat 5 Besi (III) klorida/asam perklorat Formula Larutan A: 0,85 g bismuth nitrat basa dilarutkan dengan pemanasan di dalam 10 ml asam asetat glasial dan 40 ml air. Larutan B: 8,0 g potassium iodide dilarutkan di dalam 30 ml air. Campur larutan A dan B (1:1) lalu tambahkan ke dalam asam asetat glasial dan air dengan perbandingan 1:2:10 (v/v/v) 0,2 g 4dimetilaminobenzaldehid dilarutkan di dalam 100 ml HCl 25% dan ditambahkan 1 tetes larutan besi (III) klorida 10% b/v 1 g amonium serium (IV) sulfat dilarutkan di dalam 100 ms asam fosfor 85% 5,8 g besi (III) klorida heksahidrat di dalam 100 ml asam perklorat 25% Perlakuan Setelah Disemprotkan Diamati di bawah sinar tampak Keterangan Berbagai macam alkaloid akan membentuk bercak berwarna jingga Diamati di bawah sinar tampak Warna bercak bervariasi dari kuning sampai biru Dipanaskan pada 1050C selama 10 menit; diamati di bawah sinar tampak Dipanaskan pada 1050C selama 10 menit; diamati di bawah sinar tampak Ada beberapa variasi formula Sangat korosif dan kemungkinan merusak bahan secara oksidatif 20 3.2 Alkaloid Indolisidin Alkaloid indolisidin termasuk ke dalam golongan alkaloid yang diturunkan dari asam amino lisin bersama dengan alkaloid piperidin dan quinolisidin. Lisin (Gambar 5) adalah homolog dari asam amino ornitin yang juga merupakan prekursor alkaloid. Gugus metilen pada struktur molekul lisin menunjukkan bahwa lisin terlibat dalam pembentukan cincin beranggota enam (piperidin) pada struktur cincin indolisidin (Gambar 6) (Dewick, 2009). HO2C NH2 NH2 Gambar 5. Asam Amino Lisin Cincin indolisidin dapat ditemukan di struktur senyawa-senyawa alkaloid dari tumbuhan. Sebagian alkaloid yang memiliki cincin indolisidin dikelompokkan ke dalam golongan alkaloid lain karena pertimbangan kedekatan biogenesis dan strukturnya dengan sistem cincin heterosiklik yang lain. Ciri khas dari struktur molekul alkaloid indolisidin adalah terdapat sistem cincin indolisidin (Gambar 6) yang merupakan gabungan antara cincin beranggota enam (piperidin) dan cincin beranggota lima (pirolidin) dan terdapat suatu atom nitrogen pada gabungan kedua cincin tersebut (Dewick, 2009; Gellert, 1982). 21 8 9 7 1 2 N 6 5 4 3 Gambar 6. Cincin Indolisidin Alkaloid indolisidin dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu fenantroindolisidin dan indolisidin sederhana. Senyawa alkaloid indolisidin umumnya dapat ditemukan di tumbuhan anggota suku Asclepiadaceae, Moraceae, Convolvulaceae, dan Orchidaceae. Alkaloid fenantroindolisidin terdapat di tumbuhan anggota suku Asclepiadaceae dan Moraceae, sedangkan alkaloid indolisidin sederhana ada pada tumbuhan anggota suku Convolvulaceae dan Orchidaceae (Gellert, 1982). Keberadaan alkaloid fenantroindolisidin telah dibuktikan pada beberapa jenis tumbuhan dari marga Tylophora, Cynanchum, Vincetoxicum, Pergularia, Antitoxicum, dan Ficus (Gellert, 1982). Usaha mengisolasi alkaloid fenantroindolisidin dari tumbuhan telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Senyawa tiloforin berhasil diisolasi dari tumbuhan Tylophora indica, Vinvetoxicum officinale Moench., Cynanchum vincetoxicum, dan Ficus septica. Suatu alkaloid fenantroindolisidin yaitu tilokrebrin berhasil diisolasi untuk pertama kalinya dari Tylophora crebriflora pada tahun 1962. Tiloforin, tilokrebrin, septisin, dan antofin dapat ditemukan pada tumbuhan suku Moraceae yaitu Ficus septica (Gellert, 1982). Struktur dasar dari alkaloid fenantroindolisidin dapat dilihat pada Gambar 7 yang menunjukkan bahwa alkaloid fenantroindolisidin termasuk 22 alkaloid yang memiliki atom nitrogen tersier (Staerk et al., 2002). Tiga komponen utama penyusun struktur alkaloid fenantroindolisidin adalah cincin indolisidin, cincin fenantren, dan cincin pirolidin (Gambar 7). fenantren 2 3 14 4 13a 4a 12 4b pirolidin N 8a 6 13 8 9 11 indolisidin 7 Gambar 7. Struktur Dasar Alkaloid Fenantroindolisidin (diadaptasi dari Chemler, 2009) Ditinjau dari strukturnya, dapat dikatakan bahwa senyawa alkaloid fenantroindolisidin memiliki sifat yang semipolar (Pratama, 2012). Beberapa contoh dari alkaloid fenantroindolisidin yaitu antofin dan tilokrebrin diketahui memiliki logP sebesar 4,80 dan 4,63 (Anonima, 2014; Anonimb, 2014). LogP adalah logaritma dari koefisien partisi (P) yang menggambarkan kemampuan suatu senyawa untuk dapat terlarut ke dalam pelarut organik. Semakin besar nilai logP suatu senyawa maka kemampuan senyawa tersebut larut dalam pelarut organik semakin tinggi. Harga logP antofin dan tilokrebrin yang mendekati 5 menunjukkan bahwa kedua senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk larut dalam pelarut organik. Alkaloid fenantroindolisidin sudah lama dikenal dengan aktivitas sitotoksiknya, selain itu juga memiliki aktivitas antiinflamasi, antiasma, dan antianafilaksis (Yang et al., 2006). Mengacu pada hubungan struktur dan aktivitasnya, telah diketahui bahwa diperlukan substituen hidroksi dan 23 alkoksi pada cincin fenantren untuk memunculkan aktivitas biologisnya (Chemler, 2009). Senyawa-senyawa alkaloid fenantroindolisidin yang telah diidentifikasi memiliki ketersediaan alami yang rendah (Chemler, 2009). 3. Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses perpindahan zat aktif dari dalam sel kemudian ditarik oleh cairan penyari dan terlarut didalamnya (Ditjen POM, 1986). Ekstraksi melibatkan pemisahan zat aktif dalam jaringan tumbuhan dari zat inert atau inaktif dengan menggunakan pelarut yang selektif (Handa, 2008). Tujuan dari ekstraksi dalam pembuatan obat adalah untuk mendapatkan zat aktif yang memiliki aktivitas terapeutik dan menghilangkan zat inert. Ekstrak yang diperoleh dapat digunakan langsung dalam bentuk tingtur atau ekstrak cair, atau dapat diproses lebih lanjut menjadi sediaan farmasi seperti tablet atau kapsul. Ekstrak juga dapat difraksinasi untuk mengisolasi senyawa kimia tunggal dan dibuat menjadi obat modern (Handa, 2008; Singh, 2008). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan salah satunya dengan metode maserasi. Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan. Prosedur maserasi secara umum dimulai dari meletakkan simplisia atau serbuk simplisia di dalam suatu bejana tertutup kemudian pelarut tertentu ditambahkan ke dalam bejana tersebut. Sistem yang terdiri dari bahan dan pelarut tersebut dibiarkan selama tujuh hari yang disertai dengan pengadukan. Pada akhir masa 24 maserasi, cairan pelarut dipisahkan dari bahan simplisia dengan cara menyaring bahan simplisia menggunakan saringan dengan kerapatan tertentu (Singh, 2008). Proses ekstraksi berlangsung dengan mekanisme difusi molekuler dan sangat lambat. Pengadukan yang dilakukan secara rutin akan membantu difusi dan menjamin pemerataan pelarut di sekitar permukaan partikel. Pengadukan akan memecah kondisi kesetimbangan yang terjadi di antara sel pada simplisia dan pelarut sehingga proses ekstraksi dapat terus berlangsung (Singh, 2008). Ekstraksi untuk memperoleh senyawa alkaloid dapat dilakukan dengan metode ekstraksi asam basa. Menurut Siwon (1982), alkaloid yang memiliki gugus amin tersier dan kuarterner dapat diekstraksi dari crude extract (ekstrak kasar) menggunakan suatu metode yang mendasarkan pada sifat asam dan basa alkaloid. Pertama bahan dilarutkan dengan air asam kemudian ditambahkan pereaksi Mayer untuk mengendapkan alkaloid. Kompleks endapan dilarutkan kembali ke dalam air asam, lalu dibasakan untuk membuat alkaloid ke dalam bentuk bebasnya. Alkaloid yang memiliki gugus amin tersier dapat disari dengan pelarut organik, sementara alkaloid yang memiliki gugus amin kuarterner akan berada di fase air. Guna meningkatkan efektivitas ekstraksi, menurut Handa (2008), ada halhal yang perlu diperhatikan selama proses esktraksi yaitu: a. menggunakan tumbuhan yang benar yang telah dibuktikan dengan determinasi tumbuhan, b. menggunakan bagian tumbuhan yang benar, 25 c. pengecilan ukuran simplisia harus dilakukan dengan teknik yang spesifik, d. pemilihan pelarut yang menyesuaikan dengan sifat kandungan senyawa simplisia, e. serbuk simplisia diayak dengan ukuran ayakan tertentu guna menghasilkan ukuran serbuk yang homogen, f. lama proses ekstraksi yang optimal, g. kualitas pelarut yang digunakan. Menurut Handa (2008), ekstraksi zat aktif dari bahan tumbuhan melibatkan beberapa tahap. a. Pengecilan ukuran bahan Pengecilan ukuran bahan umumnya dilakukan dengan melewatkannya pada suatu alat yang dapat memotong sekaligus mengayak serbuknya. Tujuan dari pengecilan ukuran bahan dengan melakukan penyerbukan adalah untuk menghancurkan struktur organ tumbuhan, jaringan, dan sel sehingga senyawa aktifnya mudah tersari ke dalam pelarut ekstraksi. Ukuran bahan yang lebih kecil juga akan memperbesar luas permukaan bahan yang kontak dengan pelarut sehingga meningkatkan transfer massa senyawa aktif dari bahan ke pelarut. 26 b. Ekstraksi Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode yang ada. Pelarut dipilih berdasarkan sifat dan kelarutan dari senyawa aktif yang ingin disari. c. Peningkatan konsentrasi ekstrak Ekstrak yang telah diperoleh umumnya diuapkan pelarutnya untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak yang lebih pekat. Pelarut perlu diuapkan untuk menghindari sifat ekstrak yang toksik maupun untuk meningkatkan kadar senyawa aktif di dalam ekstrak. d. Pengeringan Ekstrak yang sudah kental dapat dikeringkan untuk diproses menjadi sediaan farmasi seperti kapsul atau tablet. Ekstrak yang sudah dalam bentuk kering dapat juga dimanfaatkan untuk analisis kandungan kimia ekstrak, isolasi senyawa aktif, maupun uji aktivitas farmakologis ekstrak. 4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Metode KLT adalah salah satu bentuk kromatografi planar selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Prinsip kerja metode KLT adalah sampel diaplikasikan pada fase diam kemudian dikembangkan dengan fase gerak. Pengembangan dimulai ketika fase gerak mulai meresap naik sepanjang fase diam pada lempeng dan akan memisahkan campuran senyawa berdasarkan polaritas 27 komponen senyawa-senyawa yang ada dalam sampel tersebut (Spangenberg et al., 2011; Rohman, 2007). Pada KLT, fase diamnya berupa lapisan yang difiksasi pada permukaan bidang datar (lempeng kaca, plat aluminium, atau plat kaca). Serbuk yang umum dipakai sebagai fase diam antara lain: silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kieselgur (tanah diatom), dan selulosa. Lempeng yang sudah difiksasi dengan fase diam kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi berisi pelarut pengembang (Stahl, 1985). Fase gerak atau yang disebut juga dengan pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam. Pergerakan fase gerak sepanjang fase diam dipengaruhi oleh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). Sistem fase gerak yang paling sederhana adalah menggunakan campuran dari dua macam pelarut. Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda dalam suatu sistem bisa diatur sedemikian rupa untuk mencapai pemisahan senyawa yang optimal. Selama fase gerak dikembangkan, senyawa yang ingin dipisahkan terdistribusi di antara fase diam dan fase gerak. Jarak yang umumnya digunakan dalam pengembangan sederhana adalah 10 cm (Spangenberg et al., 2011; Rohman, 2007; Stahl, 1985). Bercak-bercak hasil pemisahan senyawa yang nampak setelah pengembangan umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Berbagai cara dapat dilakukan untuk memudahkan identifikasi bercak, antara lain menggunakan pereaksi yang disemprotkan pada lempeng atau fluoresensi oleh sinar ultra violet. Fluoresensi sinar ultra violet digunakan terutama untuk memperjelas pengamatan 28 bercak senyawa yang dapat berfluoresensi. Jika senyawa tidak dapat (Spangenberg et al., 2011). Persamaan untuk menghitung harga Rx adalah: senyawa lain yang sebelumnya telah dipisahkan pada sistem pengembangan menggunakan KLT adalah Rx atau Rst. Rx merupakan faktor retardasi untuk Parameter lain yang dapat digunakan dalam evaluasi kualitatif (Spangenberg et al., 2011). reprodusibel maka semua kondisi selama pemisahan harus dikendalikan Rf akurat dan reprodusibel. Guna mendapatkan harga Rf yang akurat dan desimal (Stahl, 1985). Rf dapat digunakan untuk keperluan identifikasi jika harga Harga Rf berada pada rentang 0,00 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua berfluoresensi, maka bahan fase diamnya dapat diberi indikator yang berfluoresensi sehingga bercak akan terlihat hitam sementara latar belakangnya berfluoresensi (Rohman, 2007). Identifikasi senyawa dalam KLT dapat dilakukan berdasarkan kecepatan rambatnya menggunakan parameter Retardation factor (Rf). Rf merupakan parameter evaluasi kualitatif suatu pemisahan senyawa menggunakan KLT. Harga Rf ditentukan dari jarak migrasi suatu senyawa pada sampel dari titik awal elusi dan jarak migrasi fase gerak. Rf adalah hasil bagi dari jarak migrasi bercak sampel dari titik awal dan jarak migrasi fase gerak (Spangenberg et al., 2011). Persamaan untuk menghitung harga Rf adalah sebagai berikut: 29 Bercak yang dihasilkan dari totolan sampel pada umumnya tidak berwarna dan untuk mengidentifikasinya dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia dan biologi. Cara fisika dilakukan dengan melihat bercak yang ada pada plat KLT dibawah sinar ultraviolet maupun dengan pencacahan radioaktif (Rohman, 2007). Sementara itu, cara kimia dilakukan dengan menyemprotkan berbagai macam pereaksi seperti: a. Besi (III) klorida (FeCl3) FeCl3 adalah pereaksi semprot yang digunakan untuk mendeteksi senyawa fenolik pada lempeng KLT. Pengamatan dilakukan di bawah sinar tampak. Hasil bercak yang positif merupakan senyawa fenolik akan berwarna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam (Harborne, 1973). b. Dragendorff Pereaksi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa alkaloid maupun heterosiklik nitrogen. Adanya senyawa alkaloid akan memberikan bercak berwarna jingga sampai merah dengan latar belakang berwarna kuning. Pengamatan dilakukan di sinar tampak (Spangenberg, 2008). c. Van Urk-Salkowski Van Urk-Salkowski adalah pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi senyawa yang memiliki cincin indol pada strukturnya. Van Urk-Salkowski dapat digunakan untuk senyawa alkaloid indol maupun turunannya. Hasil yang positif akan timbul bercak dengan variasi warna 30 dari kuning sampai biru pada lempeng KLT di bawah sinar UV 366 nm setelah disemprot (Ehmann, 1977). d. Pereaksi Folin-Ciocalteu Pereaksi Folin-Ciocalteu adalah pereaksi yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa-senyawa fenolik pada berbagai sampel (Vermerris & Nicholson, 2006). Penyemprotan lempeng KLT dengan pereaksi Folin-Ciocalteu akan menghasilkan bercak berwarna biru tua-kehitaman pada bercak senyawa fenolik (Stahl, 1969). Analisis bercak secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan dengan teknik densitometri. Densitometri adalah teknik yang bisa mengukur konsentrasi bercak hasil pengembangan pada lempeng KLT tanpa mengganggu pemisahan senyawa. Prinsip dari teknik ini adalah sinar dari radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang UV sampai tampak (190-800 nm) bergerak sepanjang area pengembangan pada lempeng KLT. Instrumen densitometri dapat diatur untuk melakukan scanning pada panjang gelombang yang bervariasi serta melakukan scanning menyeluruh pada semua track yang ada pada lempeng (Wall, 2005). Hasil scanning adalah berupa kromatogram yang memperlihatkan deretan puncak. Absorbansi yang terukur adalah hasil radiasi yang diserap oleh larutan pada lempeng dan proporsional dengan konsentrasinya. Pemisahan yang baik pada pengembangan kemungkinan besar akan menunjukkan kromatogram dengan puncak-puncak yang terpisah dengan baik. Aplikasi sampel ketika pengembangan tidak boleh terlalu besar luas area penotolannya maupun konsentrasinya (Wall, 2005). 31 5. Kanker, Sel Kanker, dan Kanker Payudara 5.1 Kanker Kanker adalah sekelompok penyakit yang memiliki ciri khas terjadinya pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran dari sel-sel yang abnormal (American Cancer Society, 2014). Sel-sel abnormal tersebut memiliki karakteristik khusus yaitu terjadi gangguan dalam diferensiasi sel dan terjadi hubungan yang tidak normal dengan lingkungan di sekitar sel. Kontrol yang ketat dari lingkungan sekitar sel terhadap proliferasi suatu sel tidak ditemukan pada sel kanker (Pusztai et al., 1995). Serangkaian mutasi genetik akan menghasilkan sel yang mampu berproliferasi lebih cepat daripada sel normal. Sel dengan kemampuan ini dikenal dengan istilah tumor. Sel tumor bisa saja berfungsi seperti sel normal dan proliferasinya hanya terjadi di satu jaringan lokal tempat tumor bermula. Tumor yang terdiri dari sel-sel dengan ciri tersebut disebut dengan tumor benign. Pada beberapa kasus, sel dari tumor primer bisa bermigrasi ke lokasi baru di dalam tubuh (bermetastasis) dan membentuk tumor sekunder. Tumor yang sel-selnya mampu membentuk sekumpulan sel tumor sekunder di jaringan lain disebut dengan tumor malignant atau disebut juga kanker (Lodish et al., 2007). Sel normal membutuhkan suatu proses untuk menjadi sel kanker. Proses berubahnya fungsi sel normal sehingga menyebabkan pertumbuhan abnormal yang tidak terkontrol di jaringan atau organ disebut karsinogenesis (Pusztai et al., 1995). Perubahan fungsi sel normal selama karsinogenesis 32 diinduksi oleh zat fisika atau kimia (Martinez et al., 2003). Karsinogenesis bersifat multistep dan memiliki perjalanan alami yang melibatkan perubahan sekuensial dalam jangka waktu tertentu. Tiga tahap dalam karsinogenesis adalah: 1. Inisiasi Tahap ini melibatkan mutasi yang irreversible pada satu atau beberapa gen sel normal sehingga menjadi rentan terhadap transformasi menuju sifat-sifat sel kanker (Pusztai et al., 1995). Ketika gen mengalami mutasi yang irreversible, maka perbaikan tidak dapat dilakukan untuk menjadi seperti sedia kala. Mutasi genetik tersebut dipicu oleh zat kimia, fisika, maupun biologi yang selanjutnya disebut dengan karsinogen. Karsinogen ataupun metabolit reaktifnya harus bersifat genotoksik untuk dapat menyebabkan mutasi pada gen yang berperan penting dalam pengaturan pertumbuhan (Martinez et al., 2003). Tiga hal penting yang terlibat di dalam proses inisiasi adalah metabolisme karsinogen, perbaikan DNA, dan proliferasi sel. Banyak zat kimia yang harus dimetabolisme terlebih dahulu untuk menjadi karsinogen yang aktif. Kebanyakan karsinogen maupun metabolit aktifnya merupakan elektrofil kuat yang bisa berikatan dengan DNA. Perbaikan DNA penting untuk melepas ikatan tersebut dan mencegah kerusakan DNA yang diakibatkannya. Kegagalan dalam memperbaiki 33 DNA akan berakibat pada terjadinya proliferasi sel yang gennya telah mengalami mutasi (Martinez et al., 2003). 2. Promosi Tahap ini merupakan suatu proses yang melibatkan perubahan morfologi seluler yang tidak normal dan pertumbuhan secara terus menerus pada sel yang telah terinisiasi. Tahap promosi adalah suatu proses yang reversible dan disebabkan oleh paparan jangka panjang dan berulang suatu agen promoter terhadap sel terinisiasi (Pusztai et al., 1995; Martinez et al., 2003). Agen promoter tidak selalu menyebabkan mutasi atau kerusakan pada DNA tetapi mampu menstimulasi proliferasi sel. Suatu sel yang terpapar secara terus menerus oleh agen promoter tidak berkembang menjadi sel tumor jika sebelumnya tidak mengalami inisiasi. Oleh karena itu, mutasi genetik yang disebabkan oleh karsinogen adalah suatu langkah yang esensial bagi perkembangan sel menjadi sel tumor. Contoh agen promoter adalah zat kimia dan faktor pertumbuhan sel (Pusztai et al., 1995; Martinez et al., 2003). 3. Progresi Ciri khas pada tahap ini adalah dapat terdeteksinya perubahan fenotip sel menjadi malignant, yaitu mempunyai kemampuan untuk invasi, metastasis, dan kecenderungan untuk tumbuh sendiri tanpa dikontrol (Pusztai et al., 1995). Selama tahap progresi, sel mengalami 34 mutasi genetik tambahan yang bisa mentransformasi sel menjadi ganas. Beberapa zat kimia yang bersifat genotoksik dapat ditemukan di lingkungan tempat tinggal organisme. Karsinogen tersebut ada yang perlu dimetabolisme terlebih dahulu untuk menjadi aktif. Maka dari itu metabolisme fase I dan II dalam tubuh menjadi penting dalam rangka mencegah mutasi genetik yang diakibatkan karsinogen. Enzim pada metabolisme fase I berfungsi untuk menambahkan gugus fungsi pada substrat sedangkan enzim pada fase II melakukan detoksifikasi dan eksresi pada karsinogen (Martinez et al., 2003). Gen yang berkaitan dengan karsinogenesis adalah gen-gen regulator proliferasi sel, baik regulator positif (oncogene) maupun negatif (tumor suppressor gene). Contoh-contoh oncogene adalah gen faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan, cyclin, dan ras. Contoh dari suatu tumor suppressor gene adalah p53 (King, 2000). Oncogene yang termutasi akan mengalami peningkatan ekspresi protein atau aktivitasnya meningkat sehingga akan memacu proliferasi sel. Sedangkan gen regulator negatif seperti halnya p53 jika termutasi akan mengalami penurunan level ekspresi, protein fungsionalnya menjadi inaktif, sehingga sel kehilangan kontrol untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel yang abnormal (King, 2000). Aktivitas proliferasi yang berlebih pada sel yang telah termutasi akan meningkatkan laju kerusakan gen sehingga 35 tingkat mutasi akan terus bertambah dan sel akan tertransformasi menjadi sel kanker seiring dengan waktu (King, 2000). 5.2 Sel Kanker Setelah melewati serangkaian proses, sel normal yang telah bertransformasi menjadi sel kanker memiliki perbedaan dengan sel normal. Ciri-ciri khusus sel kanker antara lain: 1. sel kanker tidak tergantung terhadap sinyal pertumbuhan dari luar sel. Sinyal pertumbuhan tersebut berada di lingkungan luar sel dan ditransmisikan ke dalam sel melalui reseptor transmembran. Sel normal membutuhkan sinyal pertumbuhan untuk berproliferasi. Pada sel kanker, banyak oncogene yang bisa meniru sinyal pertumbuhan sehingga sel kanker bisa berproliferasi tanpa adanya sinyal pertumbuhan dari luar. Sel kanker mampu menghasilkan sinyal pertumbuhannya sendiri dan menjadi tidak tergantung terhadap rangsangan sinyal dari lingkungan ekstraseluler (Hanahan & Weinberg, 2000). 2. sel kanker kehilangan sensitivitas terhadap sinyal antipertumbuhan. Berbagai sinyal antiprolferatif berfungsi untuk mengontrol sel. Sinyal antipertumbuhan dapat menghentikan proliferasi dengan dua mekanisme. Mekanisme tersebut adalah sel dipaksa memasuki fase istirahat (G0) pada siklus sel atau melepaskan potensi proliferasinya. Pada sel kanker terjadi gangguan dalam siklus sel terutama pada pathway pRb sehingga sel tidak sensitif terhadap sinyal antipertumbuhan. Oleh karena itu sel kanker dapat melaju menuju fase G1 pada siklus sel dan 36 mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali (Hanahan & Weinberg, 2000). 3. sel kanker mampu menghindari kematian sel terprogram (apoptosis). Hal ini menjadi ciri khas dari hampir semua jenis sel kanker. Inaktivasi dari p53, suatu tumor suppressor protein yang terlibat di dalam pengaturan sinyal apoptosis, adalah salah satu mekanisme dari sel kanker untuk terus bertumbuh secara cepat (Hanahan & Weinberg, 2000). 4. sel kanker memiliki kemampuan tidak terbatas dalam memperbanyak diri. Sel kanker mengalami gangguan dalam program intrinsik sel yang bertugas membatasi kemampuan replikasi sel. Oleh karena itu tidak ada yang membatasi proliferasinya meskipun jumlahnya sudah melebihi kebutuhan sinyal pertumbuhan (Hanahan & Weinberg, 2000). 5. sel kanker mampu membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis). Sel kanker perlu nutrisi untuk terus hidup. Salah satu cara sel kanker mendapat asupan nutrisi yang mudah adalah dengan membentuk pembuluh darah baru di sekitarnya, yang disebut dengan angiogenesis. Terdapat lebih dari 24 faktor penginduksi angiogenesis dan beberapa protein penghambat angiogenesis. Contoh penginisiasi sinyal pada proses angiogenesis adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblast Growth Factor (FGF). Salah satu contoh penghambat angiogenesis adalah trombospondin-1. Sel kanker bisa melakukan angiogenesis dengan mengubah keseimbangan antara faktor penginduksi dan penghambat angiogenesis, 37 misalnya dengan peningkatan ekspresi VEGF dan/atau FGF yang disertai dengan penurunan ekspresi trombospondin-1. Meskipun demikian, jenis sel kanker yang berbeda mempunyai aksi molekuler yang berbeda untuk melakukan angiogenesis (Hanahan & Weinberg, 2000). 6. sel kanker memiliki kemampuan invasif dan metastasis. Sel kanker mampu menyerang jaringan di sekitarnya (invasif), merusak jaringan tersebut, kemudian tumbuh di jaringan lain untuk membentuk koloni sel kanker baru (metastasis). Sel kanker mampu membentuk koloni sel baru di tempat lain yang memenuhi kebutuhan ruang dan nutrisinya (Hanahan & Weinberg, 2000). Banyak model sel kanker payudara yang digunakan dalam penelitian mengenai kanker payudara. Penelitian menggunakan kultur sel kanker payudara telah banyak berkontribusi dalam kemajuan pemahaman mengenai aspek biologis dari kanker payudara. Keuntungan utama menggunakan kultur sel dalam penelitian kanker adalah ketersediaan populasi sel yang relatif homogen yang bisa bereplikasi di dalam media kultur sel standar (Holliday & Speirs, 2011). Salah satu kultur sel yang digunakan dalam penelitian mengenai kanker payudara adalah sel T47D (Gambar 8). Sel T47D merupakan kultur sel kanker payudara manusia yang diisolasi dari jaringan metastasis duktus payudara seorang wanita berumur 54 tahun (Burdall et al., 2003). Berdasarkan 5 subtipe sel kanker payudara, sel T47D termasuk ke dalam subtipe luminal A. Subtipe luminal A memiliki ciri-ciri antara lain terdapat reseptor estrogen (ER), tidak ada Human 38 Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2), dan dapat menerima terapi hormon (Holliday & Speirs, 2011). Sel T47D merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan caspase-3 wildtype, caspase-7 wildtype dan p53 mutan. Missense mutation terjadi pada residu 194 (dalam zinc-binding domain, L2) sehingga p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA. Hal ini mengakibatkan berkurang atau bahkan hilangnya kemampuan p53 untuk regulasi siklus sel (Schafer et al., 2000). Gambar 8. Morfologi Sel T47D (diadaptasi dari ATCC, 2009) Sel T47D mempunyai morfologi seperti sel epitel (Gambar 8). Sifat dari kultur sel ini adalah menempel di dasar wadah yang berisi media dan tidak membentuk suspensi dalam kultur sel. Sel ini termasuk ke dalam sel yang sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri et al., 2002). 5.3 Kanker Payudara Payudara tersusun atas jaringan kulit, jaringan adiposa subkutan, duktus, lobules, dan stroma. Gambar 9 menunjukkan bahwa payudara terbagi menjadi beberapa lobes yang tersusun atas 15-20 lobules. Ujung 39 saluran-saluran (duktus) dari tiap lobes berdilatasi kemudian terhubung membentuk satu lactiferuous sinus. Lactiferous sinus merupakan saluran keluarnya ASI dari payudara (Martini et al., 2012). Kanker payudara terjadi ketika sel-sel di organ payudara tumbuh tidak terkendali dan menyerang jaringan tubuh yang lain yang dekat dengan organ tersebut maupun jaringan tubuh yang letaknya berjauhan (bermetastasis). Kanker payudara dapat bermula dari saluran (duktus) maupun kelenjar (glands) pada payudara (Dolinsky, 2002). Gambar 9. Anatomi Payudara Manusia (Martini et al., 2012) Sebagian besar kanker payudara bersifat hormone-dependent, yang berarti pertumbuhannya ditentukan oleh keberadaan hormon. Sel kanker payudara di bawah kendali estrogen mampu mensintesis faktor pertumbuhan yang bisa menstimulasi sel kanker payudara secara otomatis (Lippman et al., 1987). Pada sel kanker payudara yang mempunyai reseptor estrogen (ER), ekspresi dan sekresi dari beberapa faktor pertumbuhan seperti TGF-α dan IGF-2 distimulasi oleh estrogen dan dihambat oleh 40 antiestrogen (Osborne & Arteaga, 1990). Estrogen juga sangat berperan dalam mengatur mitosis dan siklus sel (Osborne et al., 1983). Beberapa faktor risiko kanker payudara adalah: 1. Mutasi pada gen BRCA1, BRCA2, dan p53 Breast Cancer Type 1 Susceptibility Gene (BRCA1) dan Breast Cancer Type 2 Susceptibility Gene (BRCA2) adalah salah satu tumor suppressor gene pada manusia dan berfungsi memproduksi tumor suppressor protein. Protein tersebut dibutuhkan untuk melakukan perbaikan DNA pada saat sintesis DNA di siklus sel. Ketika BRCA1 dan BRCA2 mengalami mutasi maka protein tidak dapat diproduksi atau tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya dapat terbentuk sel yang memiliki DNA yang rusak karena tidak adanya protein yang mengendalikan sintesis DNA (Check, 2006; Ko & Prives, 1996). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang memiliki BRCA1 dan BRCA2 termutasi karena faktor keturunan dapat mengalami peningkatkan risiko terkena kanker payudara dan kanker rahim. Mutasi pada BRCA1 dan BRCA2 terjadi pada 20-25% kanker payudara karena faktor keturunan dan 5-10% pada seluruh tipe kanker payudara (Easton, 1999; Campeau et al., 2008). p53 adalah salah satu tumor suppressor gene yang bertanggungjawab dalam melindungi sel dari perubahan yang bersifat tumorigenik (Ko & Prives, 1996). Gen p53 yang tidak aktif karena mengalami mutasi sering ditemukan di berbagai sel kanker. Gen p53 41 mengkode protein p53 yang bertugas menghentikan pembelahan sel pada sel abnormal (Panno, 2005). 2. Paparan estrogen yang tinggi Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa paparan estrogen berkaitan langsung dengan risiko berkembangnya kanker payudara (Martin & Weber, 2000). Estrogen adalah hormon yang bertanggungjawab dalam menstimulasi payudara sebagai fisiologi sistem reproduksi yang normal. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, paparan estrogen yang tinggi mampu mentransformasi sel duktus payudara (Panno, 2005). 3. Usia saat menarche dan menopause Menarche adalah saat wanita mengalami menstruasi untuk pertama kalinya (Cancer Research UK, 2014). Wanita yang mengalami menstruasi pertamanya pada usia dini atau yang terlambat mengalami menopause memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker payudara. Penelitian Collaborative Group on Hormonal Factors in Breast Cancer (2012) menyatakan bahwa ada peningkatan risiko terkena kanker payudara sebesar 5% untuk setiap usia menarche yang lebih muda. Penelitian McPherson et al. (2000) mengemukakan bahwa wanita yang mengalami menopause setelah usia 55 tahun memiliki risiko dua kali lipat untuk terkena kanker payudara dibandingkan wanita yang mengalami menopause sebelum usia 45 tahun. 42 4. Melahirkan pada usia lanjut Wanita yang melahirkan anak pertamanya pada usia lanjut atau wanita yang tidak pernah melahirkan dapat meningkatkan insidensi kanker payudara selama hidupnya. Risiko terkena kanker payudara pada wanita yang melahirkan setelah usia 30 tahun adalah dua kali lipat daripada wanita yang melahirkan sebelum usia 20 tahun (McPherson et al., 2000). Kanker payudara dapat diklasifikasikan menurut profil molekulernya. Kanker payudara terdiri dari lima subtipe molekuler yang diklasifikasikan menurut profil dan ekspresi imunohistokimia reseptor estrogen α (ERα), reseptor progesteron (PR), dan Human Epidermal Growth Factor Receptor (HER)-2 (Guarneri & Conte, 2009). Kelima subtipe tersebut memiliki ciriciri yang berbeda (Tabel III). Tabel III. Klasifikasi Molekuler Kanker Payudara (Holliday & Speirs, 2011) Klasifikasi Luminal A Profil Imunologi ER+, PR+/-, HER2- Luminal B ER+, PR +/-, HER2+ Basal ER-, PR-, HER2- Claudinlow ER-, PR-, HER2- HER2 ER-, PR-, HER2+ Karakteristik Lain Ki67 rendah, endokrin responsif, seringkali responsif terhadap kemoterapi Ki67 tinggi, biasanya endokrin responsif, variasi terhadap kemoterapi, HER2+ responsif terhadap trastuzumab EGFR+ dan/atau sitokeratin5/6+, Ki67 tinggi, endokrin nonresponsif, seringkali responsif terhadap kemoterapi Ki67, E-cadherin, claudin-3, claudin-4, dan claudin-7 rendah, respon terhadap kemoterapi sedang Ki67 tinggi, responsif terhadap trastuzumab, responsif terhadap kemoterapi Contoh Kultur Sel MCF-7, T47D, SUM185 BT474, ZR-75 MDA-MB-468, SUM190 BT549, MDAMB-231, Hs578T, SUM1315 SKBR3, MDAMB-453 43 Klasifikasi molekuler kanker payudara yang utama adalah luminal atau hormone-sensitive, HER2-positif, dan tripel-negatif (Guarneri & Conte, 2009). Luminal dapat dikelompokkan lagi menjadi luminal A dan luminal B. Subtipe basal juga menjadi suatu subtipe tersendiri walaupun memiliki kemiripan dengan subtipe tripel-negatif. Subtipe claudin-low adalah suatu subtipe yang baru dideskripsikan. Subtipe claudin-low juga merupakan tripel-negatif tetapi memiliki sitokeratin 5/6 dan HER-2 yang rendah sehingga dibedakan dari subtipe basal (Strumfa et al., 2013). Klasifikasi molekuler kanker payudara dapat menjadi panduan dalam tatalaksana terapi. Terapi hormon menjadi pilihan utama untuk subtipe luminal dan ditunjang dengan kemoterapi untuk mencegah risiko terjadinya relaps (Guarneri & Conte, 2009). Subtipe yang memiliki HER2+ berpotensi untuk diterapi menggunakan anti-HER2 seperti trastuzumab. Subtipe tripelnegatif seperti basal dan claudin-low memiliki kecenderungan untuk sulit diterapi karena aktivitas biologis yang tinggi dan ketidakhadiran reseptor hormon maupun HER2. Oleh karena itu kemoterapi adalah satu-satunya pilihan terapi yang memungkinkan pada terapi subtipe tripel-negatif (Strumfa et al., 2013; Holliday & Speirs, 2011). 6. Doxorubicin Salah satu contoh agen kemoterapi yang bekerja dengan mekanisme merusak DNA sel kanker adalah doxorubicin. Mekanisme aksi doxorubicin adalah berinterkalasi dengan DNA, membentuk radikal bebas, dan menghambat enzim 44 topoisomerase II sehingga dapat menahan sel berada pada fase siklus sel G2/M dan menginduksi apoptosis pada sel (Abdolmohammadi et al., 2008). Pengikatan DNA oleh doxorubicin dapat menghambat replikasi nukleotida dengan menghambat aksi enzim DNA dan RNA polimerase. Selain itu, terjadi perubahan konformasi DNA menjadi kaku dan timbul efek penghambatan terhadap enzim topoisomerase II. Penghambatan topoisomerase II membuat DNA menjadi kusut dan sel kanker tidak dapat membelah dan tumbuh (Potter et al., 2002). Mekanisme doxorubicin sebagai pemicu kerusakan DNA diawali dengan aktivasi p53 pada sel tumor kemudian dilanjutkan dengan aktivasi caspase-3 dan fragmentasi DNA (Wang et al., 2004). p53 adalah salah satu tumor suppressor gene yang bertanggungjawab dalam melindungi sel dari perubahan yang bersifat tumorigenik (Ko & Prives, 1996). Gen p53 yang tidak aktif karena mengalami mutasi sering ditemukan di berbagai sel kanker. Ketika gen p53 diaktivasi oleh obat antikanker, misalnya doxorubicin, maka apoptosis pada sel tumor dapat terjadi (Wang et al., 2004). Molekul doxorubicin adalah molekul planar yang terdiri dari cincin tetrasiklin yang berikatan dengan daunosamin lewat ikatan glikosida (Gambar 10). Sediaan doxorubicin dapat berbentuk serbuk atau larutan berwarna jingga-merah. Serbuk doxorubicin larut dalam air dan sedikit larut dalam metanol (Pfizer Australia, 2012). 45 Gambar 10. Struktur Kimia Doxorubicin Doxorubicin memiliki nama kimia (8S,10S)-10-[(3-Amino-2,3,6-trideoxy-α-Llyxohexopyranosyl)oxy]-6,8,11-trihydroxy-8-(hydroxyacetyl)-1-methoxy-7,8,9,10tetrahydrotetracene-5,12-dione hydrochloride. Rumus molekul doxorubicin adalah C27H29NO11.HCl dan bobot molekulnya 579,98. Doxorubicin diisolasi dari kultur fungi Streptomyces peucetius var. caesius dan mempunyai nama dagang Adriamycin® (Pfizer). Ia diklasifikasikan sebagai antibiotik antrasiklin. Doxorubicin memiliki spektrum luas sehingga digunakan dalam terapi berbagai macam jenis kanker terutama pada tumor padat dan leukemia. Jenis kanker tersebut antara lain kanker payudara, kanker lambung, Hodgkin’s lymphoma, non-Hodgkin’s lymphoma, dan kanker tiroid (Pfizer Australia, 2012). Terlepas dari efektivitasnya dalam mengatasi berbagai kanker, doxorubicin dapat menyebabkan berbagai efek samping yang cukup mengganggu pasien. Efek samping dari doxorubicin dapat muncul segera, setelah beberapa minggu, bulan, atau bahkan 4-20 tahun setelah terapi (Jang, 2003), sehingga ancaman dari efek samping doxorubicin dapat mengganggu kualitas hidup pasien dalam jangka waktu yang lama. Efek tersebut di antaranya adalah mual dan muntah dalam kurun waktu 3-6 jam setelah pemejanan obat, perubahan warna urin menjadi merah selama 1-2 hari, dan alopecia (kerontokan rambut) yang terjadi pada 1-2 minggu setelah 46 pemejanan obat (Pfizer Australia, 2012). Doxorubicin juga bersifat kardiotoksik sehingga dapat menginduksi terjadinya congestive heart failure maupun kelainan pada fungsi kerja jantung yang ditunjukkan dengan perubahan Electrocardiography (ECG). Mekanisme yang memperantarai kardiotoksisitas tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies radikal bebas hidroksi (OH•). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa efek kardiotoksik doxorubicin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis (Wattanapitayakul et al., 2005). 7. Uji Sitotoksik Uji sitotoksisitas banyak digunakan dalam studi toksikologi in vitro, termasuk dalam studi evaluasi aktivitas antikanker. Uji sitotoksisitas in vitro dapat digunakan untuk memprediksi kejadian toksisitas pada manusia dan skrining senyawa kimia (Clemedson & Ekwall, 1999). Beberapa metode yang sering digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas atau viabilitas sel setelah terpapar dengan senyawa toksik adalah protein assay, neutral red assay, Laktat dehidrogenase (LDH) leakage assay, Sulforodamin B (SRB) assay, dan MTT assay (Fotakis & Timbrell, 2006). Salah satu metode uji sitotoksik yang mudah dilakukan adalah metode MTT. Metode MTT pertama kali digagas oleh Mosmann (1983) sebagai uji kolorimetri untuk pengamatan proliferasi sel mamalia yang bersifat kuantitatif. 47 Uji ini bertujuan untuk menentukan level aktivitas metabolit pada suatu sel eukariot termasuk hewan, tumbuhan, dan fungi. Metode ini membutuhkan inkubasi pereaksi MTT sebagai substrat dengan populasi suatu sel hidup membentuk produk yang berwarna atau berfluoresensi sehingga dapat dideteksi oleh microplate reader. Pada akhir masa inkubasi, akan terdapat sel yang tetap hidup dan sel yang mati. Sel yang mati kehilangan kemampuan untuk mengubah substrat menjadi produk, sehingga produk yang teramati merupakan produk metabolisme sel yang masih hidup (Riss et al., 2004). MTT, singkatan dari metiltiazoldifenil tetrazolium, merupakan suatu garam tetrazolium berwarna kuning yang larut air (Rathod et al., 2011). Prinsip uji MTT adalah mengamati dan mengkuantifikasi sel yang hidup setelah terpapar agen toksik berdasarkan perubahan warna garam tetrazolium setelah mengalami reduksi. MTT yang telah tereduksi akan menjadi kristal jarum formazan berwarna ungu yang tidak larut air (Gambar 11) (Kupcsik, 2011; Stoddart, 2011; Fotakis & Timbrell, 2006). Kristal formazan dapat dilarutkan dalam pelarut organik seperti alkohol dan memiliki serapan cahaya pada panjang gelombang 420-660 nm. Intensitas warna yang dihasilkan oleh formazan sebanding dengan aktivitas enzim yang merefleksikan jumlah sel yang hidup. Gambar 11. Reaksi Reduksi MTT Menjadi Kristal Formazan (diadaptasi dari Kupcsik, 2011) 48 Proses ini utamanya terjadi di sitoplasma serta dalam porsi kecil di mitokondria dan membran sel. Reaksi ini dapat terjadi karena garam MTT mampu berpermeasi ke dalam sel dan melewati mitokondria yang kemudian direduksi oleh enzim suksinat dehidrogenase di mitokondria. Reaksi reduksi tersebut hanya terjadi pada sel yang aktif secara metabolik sehingga aktivitas enzim dapat digunakan sebagai ukuran viabilitas sel. Oleh karena itu, metode ini digunakan secara luas dalam pengukuran viabilitas sel, proliferasi sel, dan sitotoksisitas. Keuntungan utama dari metode ini adalah kecepatan dalam memproses sampel. Selain itu pada metode ini tidak diperlukan tahap pencucian sebelum pembacaan hasil sehingga meningkatkan kecepatan metode dan membantu meminimalisir variasi antar sampel. Sedikitnya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan uji MTT memberikan kesempatan untuk memproses banyak sampel sekaligus dalam satu kali uji (Mosmann, 1983). Tahap-tahap akhir dari metode ini (penambahan MTT, pembacaan plate, dan mencetak data) membutuhkan waktu yang lebih sedikit daripada persiapannya. Serapan sampel dapat dibaca dalam kurun waktu beberapa menit setelah penambahan pelarut dan warna yang dihasilkan stabil pada suhu ruangan (Mosmann, 1983). F. Landasan Teori Awar-awar (Ficus septica Burm. f.) adalah salah satu tumbuhan obat di Indonesia. Awar-awar telah digunakan oleh masyarakat di Indonesia maupun di negara Asia lainnya sebagai obat tradisional untuk mengatasi berbagai macam 49 penyakit. Senyawa yang dimiliki awar-awar seperti fenolik, flavonoid, dan alkaloid membuatnya berpotensi dikembangkan sebagai agen sitotoksik poten, antioksidan, antiinflamasi, maupun antimikroba. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, alkaloid adalah salah satu kandungan senyawa daun awar-awar yang memiliki efek sitotoksik (Wu et al., 2002). Alkaloid yang dimiliki awar-awar masih terus diteliti dan sejauh ini baru diketahui keberadaan alkaloid pirolidin, fenantroindolisidin, dan caprophenone di dalam awar-awar. Penelitian Nastiti (2013) melaporkan bahwa terdapat suatu alkaloid indol ataupun turunannya di dalam fraksi yang diperoleh dari daun awarawar. Tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan senyawa alkaloid jenis lain di dalam daun awar-awar dapat ditemukan. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya efek sitotoksik ekstrak etanolik maupun fraksi daun awar-awar terhadap sel kanker payudara T47D. Di antara beberapa penelitian yang sudah dilakukan, penelitian Nugroho et al. (2012) menguji subfraksi larut etil asetat dari ekstrak etanolik daun awar-awar. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa subfraksi larut etil asetat memiliki efek sitotoksik yang lebih tinggi terhadap sel T47D dibandingkan dengan subfraksi tidak larut etil asetatnya. Subfraksi larut etil asetat tersebut juga dilaporkan mampu meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin secara sinergis. Di antara penelitian yang sudah dilakukan, hingga saat ini masih belum diketahui profil senyawa alkaloid sebagai zat aktif di daun awar-awar. Apabila profil alkaloid di daun awar-awar telah diketahui, maka alkaloid di daun awar- 50 awar dapat dikembangkan sebagai leading compound untuk penemuan dan desain obat antikanker. Langkah awal dalam menganalisis profil alkaloid adalah menyari alkaloid. Diketahui bahwa alkaloid larut di dalam pelarut organik jika alkaloid diperoleh melalui ekstraksi dengan asam dan basa (Siwon, 1982). Berdasarkan sifat kelarutan alkaloid tersebut, maka analisis profil senyawa alkaloid dilakukan pada suatu fraksi pelarut organik. Pelarut organik yang digunakan adalah etil asetat karena merujuk pada sifat kelarutan alkaloid dan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa fraksi etil asetat memiliki efek sitotoksik yang tinggi. Melalui filtrasi ekstrak etanolik dengan Al2O3 dan fraksinasi ekstrak etanolik dengan etil asetat, alkaloid dapat tersari di dalam fraksi etil asetat dalam jumlah banyak. Banyaknya kandungan alkaloid dalam fraksi dapat meningkatkan efek sitotoksiknya terhadap sel T47D. Maka dari itu, fraksi etil asetat komponen larut air (FEAKLA) digunakan sebagai larutan uji pada penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah mengenai profil senyawa alkaloid di dalam daun awar-awar dan efek sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D. G. 1. Hipotesis FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar mengandung senyawa alkaloid. 2. FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D.