1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang menyimpan kekayaan keanekaragaman
hayati yang sangat besar. Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat
keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia (Iskandar & Erdelen, 2006).
Kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat, termasuk di antaranya tumbuhan obat. Salah satu jenis
tumbuhan obat di Indonesia adalah awar-awar (Ficus septica Burm. f.).
Awar-awar adalah salah satu tumbuhan obat yang telah digunakan oleh
masyarakat Indonesia dalam mengatasi berbagai penyakit. Awar-awar digunakan
dalam pengobatan tradisional radang usus buntu, bisul, gigitan racun, dan
penyakit kulit (Heyne, 1987). Studi terhadap awar-awar melaporkan bahwa
kandungan senyawa alkaloid di awar-awar menjadikannya potensial sebagai agen
sitotoksik poten (Lansky et al., 2008).
Di Indonesia, studi mengenai efek sitotoksik daun awar-awar terhadap sel
kanker payudara sudah dilakukan. Ekstrak etanolik daun awar-awar serta hasil
fraksinasinya terbukti memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara
T47D (Nugroho et al., 2011; Pratama, 2010; Nurcahya, 2007). Adapun kombinasi
subfraksi larut etil asetat dari ekstrak etanolik daun awar-awar dengan
1
2
doxorubicin diketahui dapat meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin (Nugroho
et al., 2012).
Hingga saat ini, dari berbagai penelitian mengenai efek sitotoksik daun
awar-awar yang sudah dilakukan belum ada yang mengkaji profil senyawa
alkaloidnya. Profil alkaloid di daun awar-awar penting untuk diketahui karena
alkaloid di daun awar-awar diketahui memiliki efek sitotoksik (Wu et al., 2002).
Apabila profil senyawa alkaloidnya telah diketahui, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa alkaloid di daun awar-awar dapat dikembangkan lebih lanjut
sebagai leading compound dalam penemuan dan desain obat antikanker.
Alkaloid di daun awar-awar diketahui memiliki efek sitotoksik. Alkaloid
perlu disari dari daun awar-awar untuk dapat dianalisis profilnya. Semakin banyak
kandungan alkaloid yang tersari dalam sampel, maka semakin tinggi efek
sitotoksik yang dihasilkan sampel tersebut. Alkaloid dalam jumlah banyak dapat
tersari ke dalam fraksi dari ekstrak daun awar-awar yang telah difiltrasi dengan
Al2O3 dan difraksinasi dengan etil asetat. Fraksi etil asetat memiliki kandungan
alkaloid dalam jumlah banyak karena alkaloid terlarut ke dalam pelarut organik
apabila didahului dengan ekstraksi asam basa (Siwon, 1982). Penelitian
sebelumnya yang menggunakan subfraksi etil asetat melaporkan bahwa fraksi
tersebut memiliki efek sitotoksik yang tinggi (Nugroho et al., 2012). Maka dari
itu, fraksi etil asetat komponen larut air (FEAKLA) digunakan sebagai larutan uji
pada penelitian ini.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penelitian mengenai
profil senyawa alkaloid daun awar-awar sangat penting untuk dilakukan. Data
3
yang diperoleh dapat menguatkan bukti ilmiah mengenai kandungan alkaloid daun
awar-awar dan efek sitotoksiknya. Penelitian ini menitikberatkan pada identifikasi
profil senyawa alkaloid daun awar-awar dengan metode KLT serta menelusuri
efek sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D.
Uji sitotoksisitas dilakukan dengan menggunakan metode [3-(4,5dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida] (MTT). Dari uji sitotoksisitas
tersebut diperoleh data persentase viabilitas sel setelah diberi perlakuan dengan
FEAKLA pada berbagai seri konsentrasi. Data persentase viabilitas sel dapat
menggambarkan efek sitotoksik dari FEAKLA. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai profil senyawa alkaloid daun awar-awar dan
efek sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara T47D.
B.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dari ekstrak etanolik daun
awar-awar?
2. Apakah FEAKLA dari esktrak etanolik daun awar-awar memiliki aktivitas
sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D?
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dari ekstrak etanolik daun
awar-awar.
2. Mengetahui efek sitotoksik FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar
terhadap sel kanker payudara T47D.
4
D.
Pentingnya Penelitian Dilakukan
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengeksplorasi dan
memanfaatkan kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan obat di Indonesia.
Tumbuhan obat telah digunakan oleh masyarakat Indonesia secara empiris sejak
dahulu. Dalam bidang farmasi tumbuhan obat banyak dimanfaatkan terutama
untuk membuktikan khasiatnya secara ilmiah sehingga senyawa aktifnya dapat
diisolasi dan digunakan sebagai leading compound dalam desain dan sintesis obat.
Awar-awar banyak tumbuh di berbagai dataran rendah. Aktivitas ekstrak
maupun fraksi dari daun awar-awar telah banyak diteliti sitotoksisitasnya dan
memiliki hasil yang baik. Aktivitas sitotoksik dari ekstrak maupun fraksi daun
awar-awar
diperantarai
oleh
senyawa
alkaloid
di
dalamnya.
Guna
mengembangkan zat aktif awar-awar sebagai obat antikanker maka perlu
dilakukan penelitian mendalam mengenai profil alkaloidnya.
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi dan bukti ilmiah
mengenai profil senyawa alkaloid pada FEAKLA dan aktivitas sitotoksiknya
terhadap sel kanker payudara T47D. Data yang diperoleh diharapkan dapat
berguna sebagai referensi untuk penelitian mengenai pemanfaatan awar-awar
terutama alkaloid daun awar-awar sebagai bahan obat antikanker.
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Awar-awar (Ficus septica Burm. f.)
Awar-awar merupakan tumbuhan yang memiliki habitat di dataran rendah
dan terdistribusi di berbagai negara seperti Indonesia, Jepang, Taiwan, Malaysia,
5
Filipina, Papua Nugini, dan Australia (Lansky & Paavilainen, 2010). Awar-awar
dikenal sebagai tumbuhan obat karena secara tradisional masyarakat telah
memanfaatkannya untuk mengobati berbagai penyakit, di antaranya infeksi karena
jamur, inflamasi, batuk, dan sebagai pencahar (Lansky & Paavilainen, 2010).
Di Indonesia sendiri, telah diketahui bahwa awar-awar merupakan salah
satu tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di
Bali (Sukadana, 2010). Awar-awar (Gambar 1) dikenal dengan nama yang
berbeda-beda di berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Kiciyat (Sunda); Awarawar (Jawa Tengah, Belitung); Barabar (Madura); Sirih popar (Ambon); Bei;
Loloyan
(Minahasa);
Tobotobo
(Makasar);
Dausalo
(Bugis);
Bobulutu
(Halmahera Utara) dan Tagalolo (Ternate) (Heyne, 1987).
1.
Klasifikasi Tumbuhan
Subkingdom: Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Ficus
Jenis
: Ficus septica Burm. f.
(Backer & Van den Brink, 1965)
6
Gambar 1. Awar-awar
2.
Deskripsi Tumbuhan
Awar-awar tumbuh tegak seperti pohon atau semak tinggi
dengan ketinggian 1-5 m (Lampiran 2). Batangnya bengkok-bengkok,
lunak, bulat berongga, dan mengeluarkan getah berwarna bening.
Batangnya berwarna cokelat muda dan memiliki cabang dengan
ranting bulat silindris (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991; Sudarsono et
al., 2002).
Awar-awar memiliki daun jenis tunggal yang tumbuh berseling
atau berhadapan. Helaian daun berbentuk bulat telur atau elips,
mempunyai pangkal membulat dan ujung menyempit cukup tumpul.
Ukuran tepi daun rata-rata memiliki panjang 9-30 cm dan lebar 9-16
cm. Jika dilihat dari atas daun berwarna hijau tua mengkilat, dengan
banyak bintik-bintik yang pucat. Jika dilihat dari bawah daun
berwarna hijau muda dengan 6-12 tulang daun ke arah samping
(Hutapea & Syamsuhidayat, 1991; Sudarsono et al., 2002).
7
Bunga awar-awar adalah jenis majemuk dan bertangkai pendek.
Pada pangkalnya terdapat tiga daun pelindung berwarna hijau muda
atau hijau keabuan yang memiliki diameter ± 1,5 cm. Buahnya
merupakan tipe periuk (Sudarsono et al., 2002). Buahnya berdaging
dan memiliki diameter 1,5-2 cm. Warna buah saat muda adalah hijau
dan akan berubah menjadi hitam saat tua (Hutapea & Syamsuhidayat,
1991).
3.
Kandungan Kimia
Awar-awar termasuk ke dalam marga Ficus dan suku Moraceae.
Tumbuhan anggota marga Ficus mengandung senyawa flavonoid,
kumarin, alkaloid, steroid, seramida, dan triterpen (Simo et al., 2008).
Kandungan kimia yang khas yang dapat ditemukan di tumbuhan
anggota suku Moraceae antara lain (Hegnauer, 1969):
1. Getah
Getah terdapat di beberapa tumbuhan anggota marga Ficus
seperti Ficus alba, Ficus callosa, Ficus cardifolia, Ficus
elastica Roxb., dan Ficus glomerata.
2. Senyawa fenolik
a. Turunan kumarin dan asam hidroksi sinamat
Senyawa-senyawa ini terbukti ditemukan di beberapa
tumbuhan marga Ficus, contohnya Ficus elastica dan
Ficus carica L.
8
b. Flavonoid
Flavonoid yang banyak ditemukan di daun adalah
flavonoid dalam bentuk glikosida. Flavonoid yang
ditemukan di marga Ficus antara lain kuersetin,
kaempferol, dan mirisitin. Senyawa-senyawa turunan
leukoantosian juga banyak terdapat di tumbuhan anggota
marga Ficus.
c. Benzofenon dan xanton
Senyawa-senyawa ini banyak ditemukan di bagian kayu
dari tumbuhan Moraceae.
d.
Stilben
Jenis senyawa ini belum ditemukan di marga Ficus.
e. Zat samak
Zat samak terdapat di bagian kayu dan kulit kayu
tumbuhan, contoh senyawa yang termasuk zat samak
adalah asam galat.
3. Triterpen, sterin, dan lilin
Senyawa-senyawa sterin seperti β-sitosterin dan lupeol dapat
ditemukan di daun tumbuhan anggota marga Ficus.
4. Saponin
Saponin merupakan bentuk larut air dari triterpen dan dapat
ditemukan di beberapa tumbuhan anggota suku Moraceae.
9
5. Kardenolid
Senyawa kardenolid yang dapat diidentifikasi salah satunya
adalah
glikosida
jantung,
namun
belum
ditemukan
keberadaannya di tumbuhan marga Ficus.
6. Alkaloid
Senyawa alkaloid yang telah ditemukan antara lain
pseudopeletierin, fisin, isofisin, tilokrebrin, tiloforin, dan
septisin. Alkaloid-alkaloid tersebut ditemukan di marga
Ficus termasuk Ficus septica Burm. f. (Hegnauer, 1969).
Septisin, suatu alkaloid indolisidin, merupakan prekursor
pembentuk tiloforin dan tilokrebrin. Struktur fisin dan
isofisin memiliki cincin pirolidin dan kerangka flavonoid
(Gambar 2). Fisin dan isofisin termasuk jenis alkaloid yang
langka karena terdapat kerangka flavonoid pada strukturnya
(Leete, 1982).
(1)
(2)
(3)
Gambar 2. Septisin, Fisin, dan Isofisin
Alkaloid septisin (1) memiliki cincin indolisidin. Gambar (2) dan (3)
adalah alkaloid fisin dan isofisin yang merupakan alkaloid bercincin
pirolidin dan memiliki kerangka flavonoid.
7. Lendir
Lendir terdapat pada buah.
10
8. Karbohidrat
Karbohidrat dapat ditemukan di buah.
Tumbuhan dalam satu suku memiliki kandungan kimia yang
sama. Kandungan kimia awar-awar sama dengan kandungan kimia
tumbuhan suku Moraceae namun berbeda pada kadar setiap senyawa.
Studi terhadap awar-awar melaporkan bahwa kandungan kimia
awar-awar terdiri dari triterpen, tannin, basa kuarterner, flavonoid,
lignan, asetofenon dan turunannya, steroid, senyawa alifatik rantai
panjang, dan alkaloid (Damu et al., 2005; Vital et al., 2010). Sampai
saat ini jenis alkaloid yang ditemukan dalam awar-awar namun tidak
menutup kemungkinan terdapat jenis alkaloid lain adalah alkaloid
fenantroindolisidin,
indolisidin,
pirolidin,
dan
caprophenone
(Hegnauer, 1969; Gellert, 1982; Ueda et al., 2009).
Alkaloid fenantroindolisidin, suatu subkelompok alkaloid
indolisidin ditemukan di daun dan batang awar-awar (Damu et al.,
2005; Lansky & Paavilainen, 2010). Akar awar-awar diketahui
mengandung
senyawa
sterol
dan
polifenol
(Hutapea
&
Syamsuhidayat, 1991), flavonoid, dan triterpenoid (Sukadana, 2010).
Penelitian Nastiti (2013) melaporkan bahwa terdapat alkaloid
bercincin indol atau turunannya di dalam fraksi dari ekstrak daun
awar-awar. Secara keseluruhan kandungan kimia awar-awar dapat
dirangkum pada Tabel I.
11
Tabel I. Kandungan Kimia Awar-awar
Bagian
Tumbuhan
Daun
Daun dan
batang
Batang
Nama Senyawa
Golongan Senyawa
Antofin
Alkaloid Fenantroindolisidin
10S,13αR-antofin N-oksida
Dehidrotiloforin
4,6-Bis-(4-metoksifenil)-1,2,3trihidroindolizidinium klorida
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Ficuseptin A
Alkaloid Fenantroindolisidin
14α-hidroksiisotilokrebrin Noksida
Genistein
Kaempferitrin
(5-asetil-2-hidroksifenil)- β-Dglukopiranosid
Asam vanilat
Urasil
β-sitosterol-β-D-glikosida
Skualen
Ficuseptamin A
Ficuseptamin B
Ficuseptamin C
Filosteron
Norruspolin
β-sitosterin
α-amirin
Lupeol
Kaempferol
Kuersetin
Mirisitin
Fisin
Isofisin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Referensi
Baumgartner et al.,
(1990) dan Wu et al.
(2002)
Damu et al. (2005)
Yang et al. (2006)
Baumgartner et al.
(1990)
Wu et al. (2002) dan
Yang et al. (2006)
Alkaloid Fenantroindolisidin
Wu et al. (2002)
Flavonoid
Flavonoid
Wu et al. (2002)
Wu et al. (2002)
Fenolik, lain-lain
Wu et al. (2002)
Fenolik, lain-lain
Pirimidin
Sterol
Triterpenoid
Alkaloid Caprophenone
Alkaloid Caprophenone
Alkaloid Pirolidin
Alkaloid Pirolidin
Alkaloid Pirolidin
Sterin
Sterin
Sterin
Flavonoid
Flavonoid
Flavonoid
Alkaloid Pirolidin
Alkaloid Pirolidin
Wu et al. (2002)
Wu et al. (2002)
Wu et al. (2002)
Wu et al. (2002)
Ueda et al. (2009)
Ueda et al. (2009)
Ueda et al. (2009)
Ueda et al. (2009)
Ueda et al. (2009)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Hegnauer (1969)
Wu et al. (2002) dan
Damu et al. (2005)
Wu et al. (2002) dan
Damu et al. (2005)
Wu et al. (2002) dan
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Tiloforin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Isotilokrebrin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Tilokrebrin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Ficuseptin B
Ficuseptin C
Ficuseptin D
10S,13αR-isotilokrebrin Noksida
10S,13αS-isotilokrebrin Noksida
10R,13αR-tilokrebrin N-oksida
10S,13αR-tilokrebrin N-oksida
10R,13αR-tiloforin N-oksida
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Alkaloid Fenantroindolisidin
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
Damu et al. (2005)
12
4.
Kegunaan
Awar-awar umum digunakan dalam pengobatan tradisional. Di
Indonesia daun awar-awar digunakan untuk obat penyakit kulit,
radang usus buntu, mengatasi bisul, gigitan ular berbisa dan sesak
nafas (Heyne, 1987). Akarnya digunakan untuk penawar racun dan
penanggulangan asma. Getahnya dimanfaatkan untuk mengatasi
bengkak dan kepala pusing. Buahnya digunakan sebagai pencahar
(Hutapea & Syamsuhidayat, 1991). Selain di Indonesia, awar-awar
juga digunakan dalam pengobatan tradisional di Taiwan untuk
mengobati penyakit demam, infeksi jamur, dan infeksi bakteri (Damu
et al., 2005).
Beberapa jenis dari marga Ficus telah diketahui memiliki
aktivitas biologis sebagai antikanker sejak abad ke-17 di Timur
Tengah dan Eropa. Beberapa bagian awar-awar juga telah dikenal
memiliki aktivitas biologis. Daun segarnya dapat digunakan untuk
pengobatan nyeri somatik dengan cara merebus daunnya sampai
hangat lalu ditempelkan di dahi atau bagian tubuh lainnya sebagai
kompres (Lansky et al., 2008).
Berdasarkan pada penggunaan tradisional di masyarakat,
berbagai penelitian telah dilakukan untuk menelusuri potensi efek
sitotoksiknya serta mempelajari mekanisme aktivitasnya. Alkaloid
fenantroindolisidin dari awar-awar yaitu tiloforin dan ficuseptin
terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan enzim
13
Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan Inducible Nitric Oxide Synthase
(iNOS) (Yang et al., 2006). Regulasi kanker seringkali melibatkan
enzim COX-2 dan iNOS, sehingga daun awar-awar berpotensi
memiliki aktivitas antikanker.
COX-2 berperan sebagai jembatan molekuler antara kejadian
inflamasi dan kanker. Peningkatan ekspresi COX-2 yang tidak normal
dapat diamati di berbagai jenis kanker manusia. COX-2 berpengaruh
dalam karsinogenesis dengan menstimulasi proliferasi sel, menekan
apoptosis, menginduksi angiogenesis, dan meningkatkan sifat invasif
(Kundu & Surh, 2012). Ekspresi COX-2 yang tinggi juga dapat
menginduksi angiogenesis salah satu caranya adalah dengan
meningkatkan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
(Kundu & Surh, 2012).
iNOS merupakan suatu enzim penghasil radikal bebas NO
dalam jumlah banyak ketika inflamasi terjadi. Kadar NO yang tinggi
memiliki
sifat
yang
genotoksik
karena
dapat
memodifikasi
Deoxyribonucleic Acid (DNA) atau protein yang bertugas untuk
memperbaiki DNA (Wink et al., 2008). Pada kanker yang mengalami
mutasi pada p53 seperti kanker payudara, iNOS mampu meningkatkan
ekspresi VEGF dan pertumbuhan tumor (Wink et al., 2008).
Keterkaitan antara molekul yang berperan dalam inflamasi dan sifat
kanker di dalam tubuh memungkinkan pengembangan senyawa yang
14
memiliki sifat antiinflamasi seperti tiloforin dan ficuseptin pada awarawar sebagai antikanker.
Ficuseptin,
tiloforin,
serta
campuran
tilokrebrin
dan
isotilokrebrin terbukti sitotoksik terhadap sel kanker kolon HCT-9, sel
kanker lambung NUGC, dan sel kanker nasofaring HONE-1 dengan
nilai rentang IC50 pada level mikromolar (Damu et al., 2009).
Penelitian lain melaporkan bahwa tiloforin mampu menghambat
pertumbuhan sel kanker hati HepG2 dan sel kanker lambung NUGC-3
dengan mempengaruhi siklus sel fase G1 (Wu et al., 2009).
Alkaloid antofin menghambat proliferasi sel kanker A549 dan
HCT 116 dengan mekanisme aksi pada siklus sel fase G0/G1 (Min et
al., 2010). Pada sel kanker Col2 antofin memiliki efek sitotoksik
dengan mekanisme menginduksi berhentinya siklus sel pada fase
G2/M (Sang et al., 2003).
Ekstrak larut etanol daun awar-awar memiliki aktivitas
sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D dengan nilai IC50
sebesar 13 μg/ml serta mampu menginduksi apoptosis sel tersebut
melalui penekanan ekspresi protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2)
(Pratama, 2010). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa subfraksi
larut etil asetat dari ekstrak larut etanol daun awar-awar memiliki
aktivitas sitotoksik yang poten terhadap sel kanker payudara T47D
dengan nilai IC50 sebesar 13,7 μg/ml (Nugroho et al., 2012).
Kombinasinya
dengan
doxorubicin
dapat
meningkatkan
efek
15
sitotoksik doxorubicin secara sinergis melalui pemacuan apoptosis sel
T47D dengan mekanisme aksi meningkatkan ekspresi Cleaved Poly
(ADP-ribose) polymerase (cPARP) dan mempengaruhi siklus sel
(Nugroho et al., 2012).
2.
Golongan Senyawa Alkaloid
Tumbuhan dalam usaha pertahanan dirinya mampu memproduksi senyawa
kimia yang beragam, yang dikenal dengan istilah metabolit sekunder. Ada sekitar
lebih dari 100.000 macam metabolit sekunder yang telah berhasil diidentifikasi
dalam tumbuhan (Wink, 2008). Di antara metabolit sekunder yang diproduksi
oleh tumbuhan, alkaloid adalah golongan senyawa yang paling menonjol dalam
rangka pertahanan diri terhadap herbivora dan patogen. Lebih dari 27.000 jenis
struktur alkaloid dari 21.900 tumbuhan telah berhasil diidentifikasi (Dewick,
2009).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, definisi
alkaloid terus berkembang. Hegnauer (1963) mendefinisikan alkaloid sebagai
senyawa yang disintesis pada sebagian tumbuhan dari suatu asam amino atau
turunannya dan memiliki sifat toksik, basa, serta mempunyai atom nitrogen.
Sedangkan menurut Ziegler & Facchini (2008), alkaloid didefinisikan sebagai
suatu kelompok yang terdiri dari beragam senyawa dengan bobot molekul kecil
dan mempunyai atom nitrogen pada struktur kimianya.
Karena aktivitas biologisnya yang poten, banyak senyawa alkaloid yang
telah dimanfaatkan sebagai sediaan farmasi, stimulan, narkotika, dan racun.
16
Beberapa alkaloid dari tumbuhan telah digunakan secara klinis diantaranya morfin
dan kodein sebagai analgesik, vinblastin dan taxol sebagai antikanker, (+)turbokurarin sebagai relaksan otot, dan sanguinarin sebagai antibiotik (Facchini,
2001).
Dapat dilakukan beberapa cara guna mengidentifikasi alkaloid di dalam
sampel, salah satunya dengan metode reaksi pengendapan. Reaksi pengendapan
bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan alkaloid di dalam sampel. Selain itu
reaksi pengendapan dilakukan untuk mengonfirmasi bahwa ekstraksi alkaloid
yang dilakukan sudah tuntas dilakukan (Lieu, 2012).
Sampel yang diuji direaksikan dengan suatu pereaksi tertentu. Keberadaan
alkaloid ditinjau dari endapan yang terbentuk dari reaksi tersebut. Sampel yang
umumnya digunakan adalah ekstrak kasar dari bahan tumbuhan, alkaloid dalam
bentuk garam kristalin yang terbentuk dari reaksi dengan asam, atau alkaloid
dalam bentuk garam metalik yang terbentuk dari reaksi dengan merkuri klorida
(Hashimoto et al., 1990; Lieu, 2012).
Pereaksi yang dapat digunakan sangat beragam dan banyak jumlahnya.
Terdapat 68 pereaksi yang dapat dipilih berdasarkan mekanisme reaksinya dengan
alkaloid (Stephenson, 1921). Pereaksi-pereaksi tersebut dapat dikelompokkan
menjadi (Setiawan, 2013):
1. Golongan I, yaitu pereaksi yang membentuk garam tidak larut dengan
alkaloid. Contoh: asam silikowolframat, asam fosfomolibdat, dan asam
fosfowolframat.
17
2. Golongan II, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk senyawa
kompleks bebas yang kemudiam membentuk endapan. Contoh: pereaksi
Bouchardat, pereaksi Wagner.
3. Golongan III, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk senyawa
adisi yang tidak larut. Contoh: pereaksi Mayer dan pereaksi
Dragendorff.
4. Golongan IV, yaitu pereaksi yang dengan alkaloid membentuk ikatan
asam organik. Contoh: pereaksi Hager.
Jika terjadi reaksi negatif (tidak terbentuk endapan), dapat dikatakan bahwa
sampel tidak mengandung alkaloid. Namun, jika reaksi positif belum dapat
dipastikan keberadaan alkaloid di dalam sampel karena kemungkinan ada
senyawa lain yang memiliki atom nitrogen di dalam sampel yang dapat bereaksi
dengan pereaksi yang digunakan. Senyawa-senyawa tersebut misalnya purin dan
protein (Lieu, 2012). Maka dari itu, sampel dikatakan mengandung alkaloid jika
terjadi sekurang-kurangnya dua reaksi positif yang membentuk endapan pada dua
reaksi dari golongan reaksi pengendapan yang dilakukan (Setiawan, 2013).
3.1
Alkaloid Indol
Biosintesis alkaloid pada tumbuhan melibatkan banyak tahap katalisis
yang diperantarai oleh enzim. Asam amino yang menjadi prekursor
biosintesis alkaloid indol adalah triptofan (Gambar 3). Oleh karena itu pada
struktur molekul alkaloid indol terdapat dua atom nitrogen, dimana salah
satu atom nitrogen tersebut masuk ke dalam sistem cincin indol.
18
O
H2N
CH
C
OH
CH2
HN
Gambar 3. Asam Amino Triptofan
Asam amino triptofan adalah suatu asam amino aromatik yang
mempunyai cincin indol dan berasal dari jalur biosintesis sikimat melalui
asam antranilat. Triptofan berperan sebagai prekursor dari berbagai alkaloid
indol (Dewick, 2009). Pada jalur biosintesis alkaloid indol, triptofan diubah
menjadi triptamin oleh enzim triptofan dekarboksilase (TDC) (Ziegler &
Facchini, 2008).
Alkaloid indol adalah golongan alkaloid yang memiliki sistem cincin
indol di dalam struktur molekulnya. Cincin indol merupakan suatu sistem
aromatik heterosiklik yang terdiri dari benzen yang terikat pada gugus
cincin pirol (Gambar 4).
N
R
Gambar 4. Cincin Indol
Aktivitas farmakologis dari alkaloid indol telah diketahui dari
beberapa waktu yang lalu. Vinblastin dan vinkristin adalah alkaloid bisindol berasal dari Catharanthus roseus yang memiliki aktivitas antikanker
19
pada leukemia dan beberapa kanker lain. Alkaloid indol lain yang memiliki
aktivitas antikanker adalah elliptisin dan kamptothesin (Houghton, 2008).
Keberadaan alkaloid indol dalam suatu sampel ekstrak tumbuhan
dapat dideteksi dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pereaksi
penampak bercak disemprotkan pada lempeng KLT untuk menghasilkan
warna bercak yang khas dan mempermudah identifikasi alkaloid indol
(Tabel II).
Tabel II. Pereaksi Penampak Bercak Spesifik Alkaloid Indol (Houghton, 2008)
No.
1
Nama
Umum
Pereaksi
Dragendorff
3
Pereaksi Van
UrkSalkowski
4
Serium (IV)
sulfat
5
Besi (III)
klorida/asam
perklorat
Formula
Larutan A: 0,85 g bismuth nitrat
basa dilarutkan dengan
pemanasan di dalam 10 ml asam
asetat glasial dan 40 ml air.
Larutan B: 8,0 g potassium
iodide dilarutkan di dalam 30 ml
air. Campur larutan A dan B
(1:1) lalu tambahkan ke dalam
asam asetat glasial dan air
dengan perbandingan 1:2:10
(v/v/v)
0,2 g 4dimetilaminobenzaldehid
dilarutkan di dalam 100 ml HCl
25% dan ditambahkan 1 tetes
larutan besi (III) klorida 10%
b/v
1 g amonium serium (IV) sulfat
dilarutkan di dalam 100 ms
asam fosfor 85%
5,8 g besi (III) klorida
heksahidrat di dalam 100 ml
asam perklorat 25%
Perlakuan Setelah
Disemprotkan
Diamati di bawah
sinar tampak
Keterangan
Berbagai macam
alkaloid akan
membentuk
bercak berwarna
jingga
Diamati di bawah
sinar tampak
Warna bercak
bervariasi dari
kuning sampai
biru
Dipanaskan pada
1050C selama 10
menit; diamati di
bawah sinar
tampak
Dipanaskan pada
1050C selama 10
menit; diamati di
bawah sinar
tampak
Ada beberapa
variasi formula
Sangat korosif
dan kemungkinan
merusak bahan
secara oksidatif
20
3.2
Alkaloid Indolisidin
Alkaloid indolisidin termasuk ke dalam golongan alkaloid yang
diturunkan dari asam amino lisin bersama dengan alkaloid piperidin dan
quinolisidin. Lisin (Gambar 5) adalah homolog dari asam amino ornitin
yang juga merupakan prekursor alkaloid. Gugus metilen pada struktur
molekul lisin menunjukkan bahwa lisin terlibat dalam pembentukan cincin
beranggota enam (piperidin) pada struktur cincin indolisidin (Gambar 6)
(Dewick, 2009).
HO2C
NH2
NH2
Gambar 5. Asam Amino Lisin
Cincin indolisidin dapat ditemukan di struktur senyawa-senyawa
alkaloid dari tumbuhan. Sebagian alkaloid yang memiliki cincin indolisidin
dikelompokkan ke dalam golongan alkaloid lain karena pertimbangan
kedekatan biogenesis dan strukturnya dengan sistem cincin heterosiklik
yang lain. Ciri khas dari struktur molekul alkaloid indolisidin adalah
terdapat sistem cincin indolisidin (Gambar 6) yang merupakan gabungan
antara cincin beranggota enam (piperidin) dan cincin beranggota lima
(pirolidin) dan terdapat suatu atom nitrogen pada gabungan kedua cincin
tersebut (Dewick, 2009; Gellert, 1982).
21
8
9
7
1
2
N
6
5
4
3
Gambar 6. Cincin Indolisidin
Alkaloid indolisidin dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama, yaitu fenantroindolisidin dan indolisidin sederhana. Senyawa
alkaloid indolisidin umumnya dapat ditemukan di tumbuhan anggota suku
Asclepiadaceae, Moraceae, Convolvulaceae, dan Orchidaceae. Alkaloid
fenantroindolisidin terdapat di tumbuhan anggota suku Asclepiadaceae dan
Moraceae, sedangkan alkaloid indolisidin sederhana ada pada tumbuhan
anggota suku Convolvulaceae dan Orchidaceae (Gellert, 1982).
Keberadaan alkaloid fenantroindolisidin telah dibuktikan pada
beberapa jenis tumbuhan dari marga Tylophora, Cynanchum, Vincetoxicum,
Pergularia, Antitoxicum, dan Ficus (Gellert, 1982). Usaha mengisolasi
alkaloid fenantroindolisidin dari tumbuhan telah dilakukan sejak tahun
1960-an. Senyawa tiloforin berhasil diisolasi dari tumbuhan Tylophora
indica, Vinvetoxicum officinale Moench., Cynanchum vincetoxicum, dan
Ficus septica. Suatu alkaloid fenantroindolisidin yaitu tilokrebrin berhasil
diisolasi untuk pertama kalinya dari Tylophora crebriflora pada tahun 1962.
Tiloforin, tilokrebrin, septisin, dan antofin dapat ditemukan pada tumbuhan
suku Moraceae yaitu Ficus septica (Gellert, 1982).
Struktur dasar dari alkaloid fenantroindolisidin dapat dilihat pada
Gambar 7 yang menunjukkan bahwa alkaloid fenantroindolisidin termasuk
22
alkaloid yang memiliki atom nitrogen tersier (Staerk et al., 2002). Tiga
komponen utama penyusun struktur alkaloid fenantroindolisidin adalah
cincin indolisidin, cincin fenantren, dan cincin pirolidin (Gambar 7).
fenantren
2
3
14
4
13a
4a
12
4b
pirolidin
N
8a
6
13
8
9
11
indolisidin
7
Gambar 7. Struktur Dasar Alkaloid Fenantroindolisidin (diadaptasi dari Chemler,
2009)
Ditinjau dari strukturnya, dapat dikatakan bahwa senyawa alkaloid
fenantroindolisidin memiliki sifat yang semipolar (Pratama, 2012).
Beberapa contoh dari alkaloid fenantroindolisidin yaitu antofin dan
tilokrebrin diketahui memiliki logP sebesar 4,80 dan 4,63 (Anonima, 2014;
Anonimb, 2014). LogP adalah logaritma dari koefisien partisi (P) yang
menggambarkan kemampuan suatu senyawa untuk dapat terlarut ke dalam
pelarut organik. Semakin besar nilai logP suatu senyawa maka kemampuan
senyawa tersebut larut dalam pelarut organik semakin tinggi. Harga logP
antofin dan tilokrebrin yang mendekati 5 menunjukkan bahwa kedua
senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk larut dalam pelarut organik.
Alkaloid fenantroindolisidin sudah lama dikenal dengan aktivitas
sitotoksiknya, selain itu juga memiliki aktivitas antiinflamasi, antiasma, dan
antianafilaksis (Yang et al., 2006). Mengacu pada hubungan struktur dan
aktivitasnya, telah diketahui bahwa diperlukan substituen hidroksi dan
23
alkoksi pada cincin fenantren untuk memunculkan aktivitas biologisnya
(Chemler, 2009). Senyawa-senyawa alkaloid fenantroindolisidin yang telah
diidentifikasi memiliki ketersediaan alami yang rendah (Chemler, 2009).
3.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses perpindahan zat aktif dari dalam sel kemudian
ditarik oleh cairan penyari dan terlarut didalamnya (Ditjen POM, 1986). Ekstraksi
melibatkan pemisahan zat aktif dalam jaringan tumbuhan dari zat inert atau inaktif
dengan menggunakan pelarut yang selektif (Handa, 2008).
Tujuan dari ekstraksi dalam pembuatan obat adalah untuk mendapatkan zat
aktif yang memiliki aktivitas terapeutik dan menghilangkan zat inert. Ekstrak
yang diperoleh dapat digunakan langsung dalam bentuk tingtur atau ekstrak cair,
atau dapat diproses lebih lanjut menjadi sediaan farmasi seperti tablet atau kapsul.
Ekstrak juga dapat difraksinasi untuk mengisolasi senyawa kimia tunggal dan
dibuat menjadi obat modern (Handa, 2008; Singh, 2008).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan salah satunya
dengan metode maserasi. Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.
Prosedur maserasi secara umum dimulai dari meletakkan simplisia atau serbuk
simplisia di dalam suatu bejana tertutup kemudian pelarut tertentu ditambahkan ke
dalam bejana tersebut. Sistem yang terdiri dari bahan dan pelarut tersebut
dibiarkan selama tujuh hari yang disertai dengan pengadukan. Pada akhir masa
24
maserasi, cairan pelarut dipisahkan dari bahan simplisia dengan cara menyaring
bahan simplisia menggunakan saringan dengan kerapatan tertentu (Singh, 2008).
Proses ekstraksi berlangsung dengan mekanisme difusi molekuler dan
sangat lambat. Pengadukan yang dilakukan secara rutin akan membantu difusi dan
menjamin pemerataan pelarut di sekitar permukaan partikel. Pengadukan akan
memecah kondisi kesetimbangan yang terjadi di antara sel pada simplisia dan
pelarut sehingga proses ekstraksi dapat terus berlangsung (Singh, 2008).
Ekstraksi untuk memperoleh senyawa alkaloid dapat dilakukan dengan
metode ekstraksi asam basa. Menurut Siwon (1982), alkaloid yang memiliki
gugus amin tersier dan kuarterner dapat diekstraksi dari crude extract (ekstrak
kasar) menggunakan suatu metode yang mendasarkan pada sifat asam dan basa
alkaloid. Pertama bahan dilarutkan dengan air asam kemudian ditambahkan
pereaksi Mayer untuk mengendapkan alkaloid. Kompleks endapan dilarutkan
kembali ke dalam air asam, lalu dibasakan untuk membuat alkaloid ke dalam
bentuk bebasnya. Alkaloid yang memiliki gugus amin tersier dapat disari dengan
pelarut organik, sementara alkaloid yang memiliki gugus amin kuarterner akan
berada di fase air.
Guna meningkatkan efektivitas ekstraksi, menurut Handa (2008), ada halhal yang perlu diperhatikan selama proses esktraksi yaitu:
a.
menggunakan tumbuhan yang benar yang telah dibuktikan dengan
determinasi tumbuhan,
b.
menggunakan bagian tumbuhan yang benar,
25
c.
pengecilan ukuran simplisia harus dilakukan dengan teknik yang
spesifik,
d.
pemilihan pelarut yang menyesuaikan dengan sifat kandungan
senyawa simplisia,
e.
serbuk simplisia diayak dengan ukuran ayakan tertentu guna
menghasilkan ukuran serbuk yang homogen,
f.
lama proses ekstraksi yang optimal,
g.
kualitas pelarut yang digunakan.
Menurut Handa (2008), ekstraksi zat aktif dari bahan tumbuhan melibatkan
beberapa tahap.
a.
Pengecilan ukuran bahan
Pengecilan
ukuran
bahan
umumnya
dilakukan
dengan
melewatkannya pada suatu alat yang dapat memotong sekaligus
mengayak serbuknya. Tujuan dari pengecilan ukuran bahan dengan
melakukan penyerbukan adalah untuk menghancurkan struktur organ
tumbuhan, jaringan, dan sel sehingga senyawa aktifnya mudah tersari
ke dalam pelarut ekstraksi. Ukuran bahan yang lebih kecil juga akan
memperbesar luas permukaan bahan yang kontak dengan pelarut
sehingga meningkatkan transfer massa senyawa aktif dari bahan ke
pelarut.
26
b.
Ekstraksi
Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode yang
ada. Pelarut dipilih berdasarkan sifat dan kelarutan dari senyawa aktif
yang ingin disari.
c.
Peningkatan konsentrasi ekstrak
Ekstrak yang telah diperoleh umumnya diuapkan pelarutnya
untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak yang lebih pekat. Pelarut perlu
diuapkan untuk menghindari sifat ekstrak yang toksik maupun untuk
meningkatkan kadar senyawa aktif di dalam ekstrak.
d.
Pengeringan
Ekstrak yang sudah kental dapat dikeringkan untuk diproses
menjadi sediaan farmasi seperti kapsul atau tablet. Ekstrak yang sudah
dalam bentuk kering dapat juga dimanfaatkan untuk analisis
kandungan kimia ekstrak, isolasi senyawa aktif, maupun uji aktivitas
farmakologis ekstrak.
4.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Metode KLT adalah salah satu bentuk kromatografi planar selain
kromatografi kertas dan elektroforesis. Prinsip kerja metode KLT adalah sampel
diaplikasikan pada fase diam kemudian dikembangkan dengan fase gerak.
Pengembangan dimulai ketika fase gerak mulai meresap naik sepanjang fase diam
pada lempeng dan akan memisahkan campuran senyawa berdasarkan polaritas
27
komponen senyawa-senyawa yang ada dalam sampel tersebut (Spangenberg et al.,
2011; Rohman, 2007).
Pada KLT, fase diamnya berupa lapisan yang difiksasi pada permukaan
bidang datar (lempeng kaca, plat aluminium, atau plat kaca). Serbuk yang umum
dipakai sebagai fase diam antara lain: silika gel (asam silikat), alumina
(aluminium oksida), kieselgur (tanah diatom), dan selulosa. Lempeng yang sudah
difiksasi dengan fase diam kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi
berisi pelarut pengembang (Stahl, 1985).
Fase gerak atau yang disebut juga dengan pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam. Pergerakan fase gerak sepanjang fase diam
dipengaruhi oleh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau
gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). Sistem fase gerak
yang paling sederhana adalah menggunakan campuran dari dua macam pelarut.
Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda dalam suatu sistem bisa diatur
sedemikian rupa untuk mencapai pemisahan senyawa yang optimal. Selama fase
gerak dikembangkan, senyawa yang ingin dipisahkan terdistribusi di antara fase
diam dan fase gerak. Jarak yang umumnya digunakan dalam pengembangan
sederhana adalah 10 cm (Spangenberg et al., 2011; Rohman, 2007; Stahl, 1985).
Bercak-bercak
hasil
pemisahan
senyawa
yang
nampak
setelah
pengembangan umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Berbagai cara
dapat dilakukan untuk memudahkan identifikasi bercak, antara lain menggunakan
pereaksi yang disemprotkan pada lempeng atau fluoresensi oleh sinar ultra violet.
Fluoresensi sinar ultra violet digunakan terutama untuk memperjelas pengamatan
28
bercak senyawa yang dapat berfluoresensi. Jika senyawa tidak dapat
(Spangenberg et al., 2011). Persamaan untuk menghitung harga Rx adalah:
senyawa lain yang sebelumnya telah dipisahkan pada sistem pengembangan
menggunakan KLT adalah Rx atau Rst. Rx merupakan faktor retardasi untuk
Parameter
lain
yang
dapat
digunakan
dalam
evaluasi
kualitatif
(Spangenberg et al., 2011).
reprodusibel maka semua kondisi selama pemisahan harus dikendalikan
Rf akurat dan reprodusibel. Guna mendapatkan harga Rf yang akurat dan
desimal (Stahl, 1985). Rf dapat digunakan untuk keperluan identifikasi jika harga
Harga Rf berada pada rentang 0,00 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua
berfluoresensi, maka bahan fase diamnya dapat diberi indikator yang
berfluoresensi sehingga bercak akan terlihat hitam sementara latar belakangnya
berfluoresensi (Rohman, 2007).
Identifikasi senyawa dalam KLT dapat dilakukan berdasarkan kecepatan
rambatnya menggunakan parameter Retardation factor (Rf). Rf merupakan
parameter evaluasi kualitatif suatu pemisahan senyawa menggunakan KLT. Harga
Rf ditentukan dari jarak migrasi suatu senyawa pada sampel dari titik awal elusi
dan jarak migrasi fase gerak. Rf adalah hasil bagi dari jarak migrasi bercak sampel
dari titik awal dan jarak migrasi fase gerak (Spangenberg et al., 2011). Persamaan
untuk menghitung harga Rf adalah sebagai berikut:
29
Bercak yang dihasilkan dari totolan sampel pada umumnya tidak berwarna
dan untuk mengidentifikasinya dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia dan
biologi. Cara fisika dilakukan dengan melihat bercak yang ada pada plat KLT
dibawah sinar ultraviolet maupun dengan pencacahan radioaktif (Rohman, 2007).
Sementara itu, cara kimia dilakukan dengan menyemprotkan berbagai macam
pereaksi seperti:
a. Besi (III) klorida (FeCl3)
FeCl3 adalah pereaksi semprot yang digunakan untuk mendeteksi
senyawa fenolik pada lempeng KLT. Pengamatan dilakukan di bawah
sinar tampak. Hasil bercak yang positif merupakan senyawa fenolik akan
berwarna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam (Harborne, 1973).
b. Dragendorff
Pereaksi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa
alkaloid maupun heterosiklik nitrogen. Adanya senyawa alkaloid akan
memberikan bercak berwarna jingga sampai merah dengan latar belakang
berwarna kuning. Pengamatan dilakukan di sinar tampak (Spangenberg,
2008).
c. Van Urk-Salkowski
Van Urk-Salkowski adalah pereaksi yang digunakan untuk
mendeteksi senyawa yang memiliki cincin indol pada strukturnya. Van
Urk-Salkowski dapat digunakan untuk senyawa alkaloid indol maupun
turunannya. Hasil yang positif akan timbul bercak dengan variasi warna
30
dari kuning sampai biru pada lempeng KLT di bawah sinar UV 366 nm
setelah disemprot (Ehmann, 1977).
d. Pereaksi Folin-Ciocalteu
Pereaksi Folin-Ciocalteu adalah pereaksi yang dapat digunakan
untuk mendeteksi keberadaan senyawa-senyawa fenolik pada berbagai
sampel (Vermerris & Nicholson, 2006). Penyemprotan lempeng KLT
dengan pereaksi Folin-Ciocalteu akan menghasilkan bercak berwarna biru
tua-kehitaman pada bercak senyawa fenolik (Stahl, 1969).
Analisis bercak secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan dengan
teknik densitometri. Densitometri adalah teknik yang bisa mengukur konsentrasi
bercak hasil pengembangan pada lempeng KLT tanpa mengganggu pemisahan
senyawa. Prinsip dari teknik ini adalah sinar dari radiasi elektromagnetik pada
panjang gelombang UV sampai tampak (190-800 nm) bergerak sepanjang area
pengembangan pada lempeng KLT. Instrumen densitometri dapat diatur untuk
melakukan scanning pada panjang gelombang yang bervariasi serta melakukan
scanning menyeluruh pada semua track yang ada pada lempeng (Wall, 2005).
Hasil scanning adalah berupa kromatogram yang memperlihatkan deretan
puncak. Absorbansi yang terukur adalah hasil radiasi yang diserap oleh larutan
pada lempeng dan proporsional dengan konsentrasinya. Pemisahan yang baik
pada pengembangan kemungkinan besar akan menunjukkan kromatogram dengan
puncak-puncak yang terpisah dengan baik. Aplikasi sampel ketika pengembangan
tidak boleh terlalu besar luas area penotolannya maupun konsentrasinya (Wall,
2005).
31
5.
Kanker, Sel Kanker, dan Kanker Payudara
5.1
Kanker
Kanker adalah sekelompok penyakit yang memiliki ciri khas
terjadinya pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran dari sel-sel
yang abnormal (American Cancer Society, 2014). Sel-sel abnormal tersebut
memiliki karakteristik khusus yaitu terjadi gangguan dalam diferensiasi sel
dan terjadi hubungan yang tidak normal dengan lingkungan di sekitar sel.
Kontrol yang ketat dari lingkungan sekitar sel terhadap proliferasi suatu sel
tidak ditemukan pada sel kanker (Pusztai et al., 1995).
Serangkaian mutasi genetik akan menghasilkan sel yang mampu
berproliferasi lebih cepat daripada sel normal. Sel dengan kemampuan ini
dikenal dengan istilah tumor. Sel tumor bisa saja berfungsi seperti sel
normal dan proliferasinya hanya terjadi di satu jaringan lokal tempat tumor
bermula. Tumor yang terdiri dari sel-sel dengan ciri tersebut disebut dengan
tumor benign. Pada beberapa kasus, sel dari tumor primer bisa bermigrasi ke
lokasi baru di dalam tubuh (bermetastasis) dan membentuk tumor sekunder.
Tumor yang sel-selnya mampu membentuk sekumpulan sel tumor sekunder
di jaringan lain disebut dengan tumor malignant atau disebut juga kanker
(Lodish et al., 2007).
Sel normal membutuhkan suatu proses untuk menjadi sel kanker.
Proses berubahnya fungsi sel normal sehingga menyebabkan pertumbuhan
abnormal yang tidak terkontrol di jaringan atau organ disebut karsinogenesis
(Pusztai et al., 1995). Perubahan fungsi sel normal selama karsinogenesis
32
diinduksi oleh zat fisika atau kimia (Martinez et al., 2003). Karsinogenesis
bersifat multistep dan memiliki perjalanan alami yang melibatkan perubahan
sekuensial dalam jangka waktu tertentu. Tiga tahap dalam karsinogenesis
adalah:
1.
Inisiasi
Tahap ini melibatkan mutasi yang irreversible pada satu atau
beberapa gen sel normal sehingga menjadi rentan terhadap
transformasi menuju sifat-sifat sel kanker (Pusztai et al., 1995). Ketika
gen mengalami mutasi yang irreversible, maka perbaikan tidak dapat
dilakukan untuk menjadi seperti sedia kala. Mutasi genetik tersebut
dipicu oleh zat kimia, fisika, maupun biologi yang selanjutnya disebut
dengan karsinogen. Karsinogen ataupun metabolit reaktifnya harus
bersifat genotoksik untuk dapat menyebabkan mutasi pada gen yang
berperan penting dalam pengaturan pertumbuhan (Martinez et al.,
2003).
Tiga hal penting yang terlibat di dalam proses inisiasi adalah
metabolisme karsinogen, perbaikan DNA, dan proliferasi sel. Banyak
zat kimia yang harus dimetabolisme terlebih dahulu untuk menjadi
karsinogen yang aktif. Kebanyakan karsinogen maupun metabolit
aktifnya merupakan elektrofil kuat yang bisa berikatan dengan DNA.
Perbaikan DNA penting untuk melepas ikatan tersebut dan mencegah
kerusakan DNA yang diakibatkannya. Kegagalan dalam memperbaiki
33
DNA akan berakibat pada terjadinya proliferasi sel yang gennya telah
mengalami mutasi (Martinez et al., 2003).
2.
Promosi
Tahap ini merupakan suatu proses yang melibatkan perubahan
morfologi seluler yang tidak normal dan pertumbuhan secara terus
menerus pada sel yang telah terinisiasi. Tahap promosi adalah suatu
proses yang reversible dan disebabkan oleh paparan jangka panjang
dan berulang suatu agen promoter terhadap sel terinisiasi (Pusztai et
al., 1995; Martinez et al., 2003).
Agen promoter tidak selalu menyebabkan mutasi atau
kerusakan pada DNA tetapi mampu menstimulasi proliferasi sel.
Suatu sel yang terpapar secara terus menerus oleh agen promoter tidak
berkembang menjadi sel tumor jika sebelumnya tidak mengalami
inisiasi. Oleh karena itu, mutasi genetik yang disebabkan oleh
karsinogen adalah suatu langkah yang esensial bagi perkembangan sel
menjadi sel tumor. Contoh agen promoter adalah zat kimia dan faktor
pertumbuhan sel (Pusztai et al., 1995; Martinez et al., 2003).
3.
Progresi
Ciri khas pada tahap ini adalah dapat terdeteksinya perubahan
fenotip sel menjadi malignant, yaitu mempunyai kemampuan untuk
invasi, metastasis, dan kecenderungan untuk tumbuh sendiri tanpa
dikontrol (Pusztai et al., 1995). Selama tahap progresi, sel mengalami
34
mutasi genetik tambahan yang bisa mentransformasi sel menjadi
ganas.
Beberapa zat kimia yang bersifat genotoksik dapat ditemukan di
lingkungan tempat tinggal organisme. Karsinogen tersebut ada yang
perlu dimetabolisme terlebih dahulu untuk menjadi aktif. Maka dari
itu metabolisme fase I dan II dalam tubuh menjadi penting dalam
rangka mencegah mutasi genetik yang diakibatkan karsinogen. Enzim
pada metabolisme fase I berfungsi untuk menambahkan gugus fungsi
pada substrat sedangkan enzim pada fase II melakukan detoksifikasi
dan eksresi pada karsinogen (Martinez et al., 2003).
Gen yang berkaitan dengan karsinogenesis adalah gen-gen regulator
proliferasi sel, baik regulator positif (oncogene) maupun negatif (tumor
suppressor gene). Contoh-contoh oncogene adalah gen faktor pertumbuhan,
reseptor faktor pertumbuhan, cyclin, dan ras. Contoh dari suatu tumor
suppressor gene adalah p53 (King, 2000).
Oncogene yang termutasi akan mengalami peningkatan ekspresi
protein atau aktivitasnya meningkat sehingga akan memacu proliferasi sel.
Sedangkan gen regulator negatif seperti halnya p53 jika termutasi akan
mengalami penurunan level ekspresi, protein fungsionalnya menjadi inaktif,
sehingga sel kehilangan kontrol untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel
yang abnormal (King, 2000). Aktivitas proliferasi yang berlebih pada sel
yang telah termutasi akan meningkatkan laju kerusakan gen sehingga
35
tingkat mutasi akan terus bertambah dan sel akan tertransformasi menjadi
sel kanker seiring dengan waktu (King, 2000).
5.2 Sel Kanker
Setelah melewati serangkaian proses, sel normal yang telah
bertransformasi menjadi sel kanker memiliki perbedaan dengan sel normal.
Ciri-ciri khusus sel kanker antara lain:
1. sel kanker tidak tergantung terhadap sinyal pertumbuhan dari luar
sel. Sinyal pertumbuhan tersebut berada di lingkungan luar sel dan
ditransmisikan ke dalam sel melalui reseptor transmembran. Sel normal
membutuhkan sinyal pertumbuhan untuk berproliferasi. Pada sel kanker,
banyak oncogene yang bisa meniru sinyal pertumbuhan sehingga sel kanker
bisa berproliferasi tanpa adanya sinyal pertumbuhan dari luar. Sel kanker
mampu menghasilkan sinyal pertumbuhannya sendiri dan menjadi tidak
tergantung terhadap rangsangan sinyal dari lingkungan ekstraseluler
(Hanahan & Weinberg, 2000).
2. sel kanker kehilangan sensitivitas terhadap sinyal antipertumbuhan.
Berbagai sinyal antiprolferatif berfungsi untuk mengontrol sel. Sinyal
antipertumbuhan dapat menghentikan proliferasi dengan dua mekanisme.
Mekanisme tersebut adalah sel dipaksa memasuki fase istirahat (G0) pada
siklus sel atau melepaskan potensi proliferasinya.
Pada sel kanker terjadi gangguan dalam siklus sel terutama pada
pathway pRb sehingga sel tidak sensitif terhadap sinyal antipertumbuhan.
Oleh karena itu sel kanker dapat melaju menuju fase G1 pada siklus sel dan
36
mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali (Hanahan & Weinberg,
2000).
3. sel
kanker mampu
menghindari
kematian
sel terprogram
(apoptosis). Hal ini menjadi ciri khas dari hampir semua jenis sel kanker.
Inaktivasi dari p53, suatu tumor suppressor protein yang terlibat di dalam
pengaturan sinyal apoptosis, adalah salah satu mekanisme dari sel kanker
untuk terus bertumbuh secara cepat (Hanahan & Weinberg, 2000).
4. sel
kanker
memiliki
kemampuan
tidak
terbatas
dalam
memperbanyak diri. Sel kanker mengalami gangguan dalam program
intrinsik sel yang bertugas membatasi kemampuan replikasi sel. Oleh karena
itu tidak ada yang membatasi proliferasinya meskipun jumlahnya sudah
melebihi kebutuhan sinyal pertumbuhan (Hanahan & Weinberg, 2000).
5. sel
kanker
mampu
membentuk
pembuluh
darah
baru
(angiogenesis). Sel kanker perlu nutrisi untuk terus hidup. Salah satu cara
sel kanker mendapat asupan nutrisi yang mudah adalah dengan membentuk
pembuluh darah baru di sekitarnya, yang disebut dengan angiogenesis.
Terdapat lebih dari 24 faktor penginduksi angiogenesis dan beberapa protein
penghambat angiogenesis. Contoh penginisiasi sinyal pada proses
angiogenesis adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan
Fibroblast Growth Factor (FGF). Salah satu contoh penghambat
angiogenesis adalah trombospondin-1.
Sel
kanker
bisa
melakukan
angiogenesis
dengan
mengubah
keseimbangan antara faktor penginduksi dan penghambat angiogenesis,
37
misalnya dengan peningkatan ekspresi VEGF dan/atau FGF yang disertai
dengan penurunan ekspresi trombospondin-1. Meskipun demikian, jenis sel
kanker yang berbeda mempunyai aksi molekuler yang berbeda untuk
melakukan angiogenesis (Hanahan & Weinberg, 2000).
6. sel kanker memiliki kemampuan invasif dan metastasis. Sel kanker
mampu menyerang jaringan di sekitarnya (invasif), merusak jaringan
tersebut, kemudian tumbuh di jaringan lain untuk membentuk koloni sel
kanker baru (metastasis). Sel kanker mampu membentuk koloni sel baru di
tempat lain yang memenuhi kebutuhan ruang dan nutrisinya (Hanahan &
Weinberg, 2000).
Banyak model sel kanker payudara yang digunakan dalam penelitian
mengenai kanker payudara. Penelitian menggunakan kultur sel kanker
payudara telah banyak berkontribusi dalam kemajuan pemahaman mengenai
aspek biologis dari kanker payudara. Keuntungan utama menggunakan
kultur sel dalam penelitian kanker adalah ketersediaan populasi sel yang
relatif homogen yang bisa bereplikasi di dalam media kultur sel standar
(Holliday & Speirs, 2011). Salah satu kultur sel yang digunakan dalam
penelitian mengenai kanker payudara adalah sel T47D (Gambar 8).
Sel T47D merupakan kultur sel kanker payudara manusia yang
diisolasi dari jaringan metastasis duktus payudara seorang wanita berumur
54 tahun (Burdall et al., 2003). Berdasarkan 5 subtipe sel kanker payudara,
sel T47D termasuk ke dalam subtipe luminal A. Subtipe luminal A memiliki
ciri-ciri antara lain terdapat reseptor estrogen (ER), tidak ada Human
38
Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2), dan dapat menerima terapi
hormon (Holliday & Speirs, 2011).
Sel T47D merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan
caspase-3 wildtype, caspase-7 wildtype dan p53 mutan. Missense mutation
terjadi pada residu 194 (dalam zinc-binding domain, L2) sehingga p53 tidak
dapat berikatan dengan response element pada DNA. Hal ini mengakibatkan
berkurang atau bahkan hilangnya kemampuan p53 untuk regulasi siklus sel
(Schafer et al., 2000).
Gambar 8. Morfologi Sel T47D (diadaptasi dari ATCC, 2009)
Sel T47D mempunyai morfologi seperti sel epitel (Gambar 8). Sifat
dari kultur sel ini adalah menempel di dasar wadah yang berisi media dan
tidak membentuk suspensi dalam kultur sel. Sel ini termasuk ke dalam sel
yang sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri et al., 2002).
5.3
Kanker Payudara
Payudara tersusun atas jaringan kulit, jaringan adiposa subkutan,
duktus, lobules, dan stroma. Gambar 9 menunjukkan bahwa payudara
terbagi menjadi beberapa lobes yang tersusun atas 15-20 lobules. Ujung
39
saluran-saluran (duktus) dari tiap lobes berdilatasi kemudian terhubung
membentuk satu lactiferuous sinus. Lactiferous sinus merupakan saluran
keluarnya ASI dari payudara (Martini et al., 2012).
Kanker payudara terjadi ketika sel-sel di organ payudara tumbuh tidak
terkendali dan menyerang jaringan tubuh yang lain yang dekat dengan organ
tersebut maupun jaringan tubuh yang letaknya berjauhan (bermetastasis).
Kanker payudara dapat bermula dari saluran (duktus) maupun kelenjar
(glands) pada payudara (Dolinsky, 2002).
Gambar 9. Anatomi Payudara Manusia (Martini et al., 2012)
Sebagian besar kanker payudara bersifat hormone-dependent, yang
berarti pertumbuhannya ditentukan oleh keberadaan hormon. Sel kanker
payudara
di
bawah
kendali
estrogen
mampu
mensintesis
faktor
pertumbuhan yang bisa menstimulasi sel kanker payudara secara otomatis
(Lippman et al., 1987). Pada sel kanker payudara yang mempunyai reseptor
estrogen (ER), ekspresi dan sekresi dari beberapa faktor pertumbuhan
seperti TGF-α dan IGF-2 distimulasi oleh estrogen dan dihambat oleh
40
antiestrogen (Osborne & Arteaga, 1990). Estrogen juga sangat berperan
dalam mengatur mitosis dan siklus sel (Osborne et al., 1983).
Beberapa faktor risiko kanker payudara adalah:
1.
Mutasi pada gen BRCA1, BRCA2, dan p53
Breast Cancer Type 1 Susceptibility Gene (BRCA1) dan Breast
Cancer Type 2 Susceptibility Gene (BRCA2) adalah salah satu tumor
suppressor gene pada manusia dan berfungsi memproduksi tumor
suppressor protein. Protein tersebut dibutuhkan untuk melakukan
perbaikan DNA pada saat sintesis DNA di siklus sel. Ketika BRCA1
dan BRCA2 mengalami mutasi maka protein tidak dapat diproduksi
atau tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya dapat terbentuk sel yang
memiliki DNA yang rusak karena tidak adanya protein yang
mengendalikan sintesis DNA (Check, 2006; Ko & Prives, 1996).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang
memiliki BRCA1 dan BRCA2 termutasi karena faktor keturunan dapat
mengalami peningkatkan risiko terkena kanker payudara dan kanker
rahim. Mutasi pada BRCA1 dan BRCA2 terjadi pada 20-25% kanker
payudara karena faktor keturunan dan 5-10% pada seluruh tipe kanker
payudara (Easton, 1999; Campeau et al., 2008).
p53
adalah
salah
satu
tumor
suppressor
gene
yang
bertanggungjawab dalam melindungi sel dari perubahan yang bersifat
tumorigenik (Ko & Prives, 1996). Gen p53 yang tidak aktif karena
mengalami mutasi sering ditemukan di berbagai sel kanker. Gen p53
41
mengkode protein p53 yang bertugas menghentikan pembelahan sel
pada sel abnormal (Panno, 2005).
2.
Paparan estrogen yang tinggi
Penelitian-penelitian
terdahulu
telah
menunjukkan
bahwa
paparan estrogen berkaitan langsung dengan risiko berkembangnya
kanker payudara (Martin & Weber, 2000). Estrogen adalah hormon
yang bertanggungjawab dalam menstimulasi payudara sebagai
fisiologi sistem reproduksi yang normal. Tetapi seiring dengan
berjalannya
waktu,
paparan
estrogen
yang
tinggi
mampu
mentransformasi sel duktus payudara (Panno, 2005).
3.
Usia saat menarche dan menopause
Menarche adalah saat wanita mengalami menstruasi untuk
pertama kalinya (Cancer Research UK, 2014). Wanita yang
mengalami menstruasi pertamanya pada usia dini atau yang terlambat
mengalami menopause memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena
kanker payudara. Penelitian Collaborative Group on Hormonal
Factors in Breast Cancer (2012) menyatakan bahwa ada peningkatan
risiko terkena kanker payudara sebesar 5% untuk setiap usia menarche
yang lebih muda. Penelitian McPherson et al. (2000) mengemukakan
bahwa wanita yang mengalami menopause setelah usia 55 tahun
memiliki risiko dua kali lipat untuk terkena kanker payudara
dibandingkan wanita yang mengalami menopause sebelum usia 45
tahun.
42
4.
Melahirkan pada usia lanjut
Wanita yang melahirkan anak pertamanya pada usia lanjut atau
wanita yang tidak pernah melahirkan dapat meningkatkan insidensi
kanker payudara selama hidupnya. Risiko terkena kanker payudara
pada wanita yang melahirkan setelah usia 30 tahun adalah dua kali
lipat daripada wanita yang melahirkan sebelum usia 20 tahun
(McPherson et al., 2000).
Kanker payudara dapat diklasifikasikan menurut profil molekulernya.
Kanker payudara terdiri dari lima subtipe molekuler yang diklasifikasikan
menurut profil dan ekspresi imunohistokimia reseptor estrogen α (ERα),
reseptor progesteron (PR), dan Human Epidermal Growth Factor Receptor
(HER)-2 (Guarneri & Conte, 2009). Kelima subtipe tersebut memiliki ciriciri yang berbeda (Tabel III).
Tabel III. Klasifikasi Molekuler Kanker Payudara (Holliday & Speirs, 2011)
Klasifikasi
Luminal A
Profil
Imunologi
ER+, PR+/-,
HER2-
Luminal B
ER+, PR +/-,
HER2+
Basal
ER-, PR-,
HER2-
Claudinlow
ER-, PR-,
HER2-
HER2
ER-, PR-,
HER2+
Karakteristik Lain
Ki67 rendah, endokrin responsif,
seringkali responsif terhadap
kemoterapi
Ki67 tinggi, biasanya endokrin
responsif, variasi terhadap
kemoterapi, HER2+ responsif
terhadap trastuzumab
EGFR+ dan/atau sitokeratin5/6+,
Ki67 tinggi, endokrin nonresponsif,
seringkali responsif terhadap
kemoterapi
Ki67, E-cadherin, claudin-3,
claudin-4, dan claudin-7 rendah,
respon terhadap kemoterapi sedang
Ki67 tinggi, responsif terhadap
trastuzumab, responsif terhadap
kemoterapi
Contoh Kultur
Sel
MCF-7, T47D,
SUM185
BT474, ZR-75
MDA-MB-468,
SUM190
BT549, MDAMB-231,
Hs578T,
SUM1315
SKBR3, MDAMB-453
43
Klasifikasi molekuler kanker payudara yang utama adalah luminal
atau hormone-sensitive, HER2-positif, dan tripel-negatif (Guarneri & Conte,
2009). Luminal dapat dikelompokkan lagi menjadi luminal A dan luminal
B. Subtipe basal juga menjadi suatu subtipe tersendiri walaupun memiliki
kemiripan dengan subtipe tripel-negatif. Subtipe claudin-low adalah suatu
subtipe yang baru dideskripsikan. Subtipe claudin-low juga merupakan
tripel-negatif tetapi memiliki sitokeratin 5/6 dan HER-2 yang rendah
sehingga dibedakan dari subtipe basal (Strumfa et al., 2013).
Klasifikasi molekuler kanker payudara dapat menjadi panduan dalam
tatalaksana terapi. Terapi hormon menjadi pilihan utama untuk subtipe
luminal dan ditunjang dengan kemoterapi untuk mencegah risiko terjadinya
relaps (Guarneri & Conte, 2009). Subtipe yang memiliki HER2+ berpotensi
untuk diterapi menggunakan anti-HER2 seperti trastuzumab. Subtipe tripelnegatif seperti basal dan claudin-low memiliki kecenderungan untuk sulit
diterapi karena aktivitas biologis yang tinggi dan ketidakhadiran reseptor
hormon maupun HER2. Oleh karena itu kemoterapi adalah satu-satunya
pilihan terapi yang memungkinkan pada terapi subtipe tripel-negatif
(Strumfa et al., 2013; Holliday & Speirs, 2011).
6.
Doxorubicin
Salah satu contoh agen kemoterapi yang bekerja dengan mekanisme
merusak DNA sel kanker adalah doxorubicin. Mekanisme aksi doxorubicin adalah
berinterkalasi dengan DNA, membentuk radikal bebas, dan menghambat enzim
44
topoisomerase II sehingga dapat menahan sel berada pada fase siklus sel G2/M
dan menginduksi apoptosis pada sel (Abdolmohammadi et al., 2008).
Pengikatan DNA oleh doxorubicin dapat menghambat replikasi nukleotida
dengan menghambat aksi enzim DNA dan RNA polimerase. Selain itu, terjadi
perubahan konformasi DNA menjadi kaku dan timbul efek penghambatan
terhadap enzim topoisomerase II. Penghambatan topoisomerase II membuat DNA
menjadi kusut dan sel kanker tidak dapat membelah dan tumbuh (Potter et al.,
2002).
Mekanisme doxorubicin sebagai pemicu kerusakan DNA diawali dengan
aktivasi p53 pada sel tumor kemudian dilanjutkan dengan aktivasi caspase-3 dan
fragmentasi DNA (Wang et al., 2004). p53 adalah salah satu tumor suppressor
gene yang bertanggungjawab dalam melindungi sel dari perubahan yang bersifat
tumorigenik (Ko & Prives, 1996). Gen p53 yang tidak aktif karena mengalami
mutasi sering ditemukan di berbagai sel kanker. Ketika gen p53 diaktivasi oleh
obat antikanker, misalnya doxorubicin, maka apoptosis pada sel tumor dapat
terjadi (Wang et al., 2004).
Molekul doxorubicin adalah molekul planar yang terdiri dari cincin
tetrasiklin yang berikatan dengan daunosamin lewat ikatan glikosida (Gambar 10).
Sediaan doxorubicin dapat berbentuk serbuk atau larutan berwarna jingga-merah.
Serbuk doxorubicin larut dalam air dan sedikit larut dalam metanol (Pfizer
Australia, 2012).
45
Gambar 10. Struktur Kimia Doxorubicin
Doxorubicin memiliki nama kimia (8S,10S)-10-[(3-Amino-2,3,6-trideoxy-α-Llyxohexopyranosyl)oxy]-6,8,11-trihydroxy-8-(hydroxyacetyl)-1-methoxy-7,8,9,10tetrahydrotetracene-5,12-dione hydrochloride. Rumus molekul doxorubicin adalah
C27H29NO11.HCl dan bobot molekulnya 579,98.
Doxorubicin diisolasi dari kultur fungi Streptomyces peucetius var. caesius
dan mempunyai nama dagang Adriamycin® (Pfizer). Ia diklasifikasikan sebagai
antibiotik antrasiklin. Doxorubicin memiliki spektrum luas sehingga digunakan
dalam terapi berbagai macam jenis kanker terutama pada tumor padat dan
leukemia. Jenis kanker tersebut antara lain kanker payudara, kanker lambung,
Hodgkin’s lymphoma, non-Hodgkin’s lymphoma, dan kanker tiroid (Pfizer
Australia, 2012).
Terlepas dari efektivitasnya dalam mengatasi berbagai kanker, doxorubicin
dapat menyebabkan berbagai efek samping yang cukup mengganggu pasien. Efek
samping dari doxorubicin dapat muncul segera, setelah beberapa minggu, bulan,
atau bahkan 4-20 tahun setelah terapi (Jang, 2003), sehingga ancaman dari efek
samping doxorubicin dapat mengganggu kualitas hidup pasien dalam jangka
waktu yang lama.
Efek tersebut di antaranya adalah mual dan muntah dalam kurun waktu 3-6
jam setelah pemejanan obat, perubahan warna urin menjadi merah selama 1-2
hari, dan alopecia (kerontokan rambut) yang terjadi pada 1-2 minggu setelah
46
pemejanan obat (Pfizer Australia, 2012). Doxorubicin juga bersifat kardiotoksik
sehingga dapat menginduksi terjadinya congestive heart failure maupun kelainan
pada
fungsi
kerja
jantung
yang
ditunjukkan
dengan
perubahan
Electrocardiography (ECG).
Mekanisme
yang
memperantarai
kardiotoksisitas
tersebut
diduga
disebabkan oleh terbentuknya spesies radikal bebas hidroksi (OH•). Berdasarkan
hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa efek kardiotoksik doxorubicin
merupakan efek samping yang bergantung pada dosis (Wattanapitayakul et al.,
2005).
7.
Uji Sitotoksik
Uji sitotoksisitas banyak digunakan dalam studi toksikologi in vitro,
termasuk dalam studi evaluasi aktivitas antikanker. Uji sitotoksisitas in vitro dapat
digunakan untuk memprediksi kejadian toksisitas pada manusia dan skrining
senyawa kimia (Clemedson & Ekwall, 1999). Beberapa metode yang sering
digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas atau viabilitas sel setelah terpapar
dengan senyawa toksik adalah protein assay, neutral red assay, Laktat
dehidrogenase (LDH) leakage assay, Sulforodamin B (SRB) assay, dan MTT
assay (Fotakis & Timbrell, 2006).
Salah satu metode uji sitotoksik yang mudah dilakukan adalah metode
MTT. Metode MTT pertama kali digagas oleh Mosmann (1983) sebagai uji
kolorimetri untuk pengamatan proliferasi sel mamalia yang bersifat kuantitatif.
47
Uji ini bertujuan untuk menentukan level aktivitas metabolit pada suatu sel
eukariot termasuk hewan, tumbuhan, dan fungi.
Metode ini membutuhkan inkubasi pereaksi MTT sebagai substrat dengan
populasi suatu sel hidup membentuk produk yang berwarna atau berfluoresensi
sehingga dapat dideteksi oleh microplate reader. Pada akhir masa inkubasi, akan
terdapat sel yang tetap hidup dan sel yang mati. Sel yang mati kehilangan
kemampuan untuk mengubah substrat menjadi produk, sehingga produk yang
teramati merupakan produk metabolisme sel yang masih hidup (Riss et al., 2004).
MTT, singkatan dari metiltiazoldifenil tetrazolium, merupakan suatu garam
tetrazolium berwarna kuning yang larut air (Rathod et al., 2011). Prinsip uji MTT
adalah mengamati dan mengkuantifikasi sel yang hidup setelah terpapar agen
toksik berdasarkan perubahan warna garam tetrazolium setelah mengalami
reduksi. MTT yang telah tereduksi akan menjadi kristal jarum formazan berwarna
ungu yang tidak larut air (Gambar 11) (Kupcsik, 2011; Stoddart, 2011; Fotakis &
Timbrell, 2006). Kristal formazan dapat dilarutkan dalam pelarut organik seperti
alkohol dan memiliki serapan cahaya pada panjang gelombang 420-660 nm.
Intensitas warna yang dihasilkan oleh formazan sebanding dengan aktivitas enzim
yang merefleksikan jumlah sel yang hidup.
Gambar 11. Reaksi Reduksi MTT Menjadi Kristal Formazan (diadaptasi dari
Kupcsik, 2011)
48
Proses ini utamanya terjadi di sitoplasma serta dalam porsi kecil di
mitokondria dan membran sel. Reaksi ini dapat terjadi karena garam MTT mampu
berpermeasi ke dalam sel dan melewati mitokondria yang kemudian direduksi
oleh enzim suksinat dehidrogenase di mitokondria. Reaksi reduksi tersebut hanya
terjadi pada sel yang aktif secara metabolik sehingga aktivitas enzim dapat
digunakan sebagai ukuran viabilitas sel. Oleh karena itu, metode ini digunakan
secara luas dalam pengukuran viabilitas sel, proliferasi sel, dan sitotoksisitas.
Keuntungan utama dari metode ini adalah kecepatan dalam memproses
sampel. Selain itu pada metode ini tidak diperlukan tahap pencucian sebelum
pembacaan hasil sehingga meningkatkan kecepatan metode dan membantu
meminimalisir variasi antar sampel. Sedikitnya waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan uji MTT memberikan kesempatan untuk memproses banyak sampel
sekaligus dalam satu kali uji (Mosmann, 1983).
Tahap-tahap akhir dari metode ini (penambahan MTT, pembacaan plate,
dan mencetak data) membutuhkan waktu yang lebih sedikit daripada
persiapannya. Serapan sampel dapat dibaca dalam kurun waktu beberapa menit
setelah penambahan pelarut dan warna yang dihasilkan stabil pada suhu ruangan
(Mosmann, 1983).
F.
Landasan Teori
Awar-awar (Ficus septica Burm. f.) adalah salah satu tumbuhan obat di
Indonesia. Awar-awar telah digunakan oleh masyarakat di Indonesia maupun di
negara Asia lainnya sebagai obat tradisional untuk mengatasi berbagai macam
49
penyakit. Senyawa yang dimiliki awar-awar seperti fenolik, flavonoid, dan
alkaloid membuatnya berpotensi dikembangkan sebagai agen sitotoksik poten,
antioksidan, antiinflamasi, maupun antimikroba.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, alkaloid adalah salah satu
kandungan senyawa daun awar-awar yang memiliki efek sitotoksik (Wu et al.,
2002). Alkaloid yang dimiliki awar-awar masih terus diteliti dan sejauh ini baru
diketahui keberadaan alkaloid pirolidin, fenantroindolisidin, dan caprophenone di
dalam awar-awar. Penelitian Nastiti (2013) melaporkan bahwa terdapat suatu
alkaloid indol ataupun turunannya di dalam fraksi yang diperoleh dari daun awarawar. Tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan senyawa alkaloid jenis lain
di dalam daun awar-awar dapat ditemukan.
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya efek sitotoksik ekstrak
etanolik maupun fraksi daun awar-awar terhadap sel kanker payudara T47D. Di
antara beberapa penelitian yang sudah dilakukan, penelitian Nugroho et al. (2012)
menguji subfraksi larut etil asetat dari ekstrak etanolik daun awar-awar. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa subfraksi larut etil asetat memiliki efek
sitotoksik yang lebih tinggi terhadap sel T47D dibandingkan dengan subfraksi
tidak larut etil asetatnya. Subfraksi larut etil asetat tersebut juga dilaporkan
mampu meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin secara sinergis.
Di antara penelitian yang sudah dilakukan, hingga saat ini masih belum
diketahui profil senyawa alkaloid sebagai zat aktif di daun awar-awar. Apabila
profil alkaloid di daun awar-awar telah diketahui, maka alkaloid di daun awar-
50
awar dapat dikembangkan sebagai leading compound untuk penemuan dan desain
obat antikanker.
Langkah awal dalam menganalisis profil alkaloid adalah menyari alkaloid.
Diketahui bahwa alkaloid larut di dalam pelarut organik jika alkaloid diperoleh
melalui ekstraksi dengan asam dan basa (Siwon, 1982). Berdasarkan sifat
kelarutan alkaloid tersebut, maka analisis profil senyawa alkaloid dilakukan pada
suatu fraksi pelarut organik. Pelarut organik yang digunakan adalah etil asetat
karena merujuk pada sifat kelarutan alkaloid dan hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa fraksi etil asetat memiliki efek sitotoksik yang tinggi.
Melalui filtrasi ekstrak etanolik dengan Al2O3 dan fraksinasi ekstrak
etanolik dengan etil asetat, alkaloid dapat tersari di dalam fraksi etil asetat dalam
jumlah banyak. Banyaknya kandungan alkaloid dalam fraksi dapat meningkatkan
efek sitotoksiknya terhadap sel T47D. Maka dari itu, fraksi etil asetat komponen
larut air (FEAKLA) digunakan sebagai larutan uji pada penelitian ini. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah mengenai profil
senyawa alkaloid di dalam daun awar-awar dan efek sitotoksiknya terhadap sel
kanker payudara T47D.
G.
1.
Hipotesis
FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar mengandung senyawa
alkaloid.
2.
FEAKLA dari ekstrak etanolik daun awar-awar memiliki efek sitotoksik
terhadap sel kanker payudara T47D.
Download