1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Laporan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen
terhadap pemilik perusahaan dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan
terhadap perusahaan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
haruslah relevan, handal, dapat dipahami, dan dapat dipercaya karena
informasi tersebut akan digunakan sebagai dasar dan pertimbangan dalam
pembuatan keputusan oleh para pemakai laporan keuangan. Maka dalam hal
ini, dibutuhkan pihak ketiga yang independen, yaitu auditor eksternal. Tugas
seorang auditor adalah melakukan pemeriksaan atau audit dan memberikan
opini terhadap kewajaran laporan keuangan suatu entitas usaha apakah telah
disajikan secara wajar dan bebas dari salah saji yang material sesuai dengan
standar akuntansi keuangan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Profesi auditor diharapkan oleh banyak orang untuk dapat meletakkan
kepercayaan pada pemeriksaan dan pendapat yang diberikan sehingga
profesionalisme menjadi tuntutan utama seseorang yang bekerja sebagai
auditor eksternal. Profesi auditor sebagai pihak ketiga yang independen
memegang peranan penting untuk menilai kewajaran pertanggungjawaban
laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Dan dari profesi auditor
inilah masyarakat atau publik dan pihak lain yang memiliki kepentingan
1
2
perusahaan mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan. Laporan keuangan
yang telah diaudit diharapkan dapat memberikan opini bahwa laporan
keuangan tersebut bebas dari salah saji yang material dan disajikan
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Seorang auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan wajib
mempertimbangkan berbagai risiko audit dan menentukan tingkat materialitas
awal pada proses perencanaan audit. Tingkat materialitas wajib ditentukan
karena akan mempengaruhi penerapan standar auditing, khususnya standar
pekerjaan lapangan dan standar pelaporan yang tercermin didalam laporan
audit yang dihasilkan. Pertimbangan tingkat materialitas membantu auditor
dalam menentukan jumlah bukti yang harus dikumpulkan atau memperoleh
kecukupan bukti yang kemudian dievaluasi. Informasi yang tidak material
biasanya diabaikan atau dihilangkan oleh auditor. Namun jika informasi
tersebut
melebihi
batas
materialitas
yang
telah
ditetapkan,
akan
mempengaruhi jenis pendapat auditor yang akan diberikan atas laporan
keuangan. Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah
kebijakan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang
kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan. Tingkat materialitas suatu
laporan keuangan tidak akan sama tergantung pada ukuran laporan keuangan
tersebut (Hendro dan Aida, 2006).
3
Statement on Auditing Standard (SAS) No. 47 menyatakan tentang
materialitas sebagai berikut : kebijakan materialitas dibuat dalam kaitannya
dengan kegiatan sekelilingnya dan melibatkan pertimbangan kualitatif dan
kuantitatif. Tingkat materialitas laporan keuangan suatu entitas tidak akan
sama dengan entitas yang lain, tergantung pada ukuran entitas tersebut
American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). AICPA juga
menyebutkan bahwa risiko audit dan materialitas perlu dipertimbangkan
dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam
mengevaluasi prosedur audit (Reni, 2008).
Salah saji bisa diakibatkan oleh penerapan prinsip akuntansi secara
keliru, tidak sesuai dengan fakta, atau karena hilangnya informasi penting.
Sebagai contoh, jika auditor berkeyakinan bahwa salah saji secara
keseluruhan yang berjumlah kurang lebih Rp 100.000.000,00 akan memberi
pengaruh material terhadap pos pendapatan, namun baru akan mempengaruhi
neraca secara material apabila mencapai angka Rp 200.000.000,00 adalah
tidak memadai baginya untuk merancang prosedur audit yang diharapkan
dapat untuk mendeteksi salah saji yang berjumlah Rp 200.000.000,00 saja
(Sukrisno Agoes, 2006:127).
Berbagai macam skandal akuntansi berskala besar yang terjadi,
sebagian besar bertumpu pada penyajian laporan keuangan di mana di
dalamnya terdapat kontribusi dari seorang auditor yaitu pertama, Departemen
keuangan dalam pengumuman yang diterima di Jakarta menetapkan sanksi
pembekuan izin usaha berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
4
17/PMK.01/2008 tentang jasa akuntan publik kepada Drs. Hans Burhanuddin
Makarao, yang dikenai sanksi pembekuan selama tiga bulan karena tidak
mematuhi Standar Auditing. Standar Profesional Akuntan Publik dalam
pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan PT. Samcon pada tahun
2008, dimana auditor tersebut tidak menjelaskan tingkat salah saji yang
dianggap material yang dinilai berpotensi berpengaruh cukup signifikan
terhadap hasil akhir laporan auditor yang independen (Kusuma, 2012).
Kedua, kasus Telkom di Indonesia tentang tidak diakuinya KAP Eddy
Pianto & Rekan oleh Securities and Exchange Commission (SEC), dimana
SEC (pemegang otoritas pasar modal di Amerika Serikat) menolak laporan
Eddy Pianto yaitu karena tidak ada izin dari KAP Hadi Susanto untuk
menggunakan hasil auditnya atas Telkomsel (perusahaan anak PT. Telkom),
seharusnya Eddy Pianto melakukan kualifikasi atau disclaimer terhadap
laporan
keuangan
PT.Telkom
dan
selain
itu
Eddy
Pianto
tidak
mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS. Hal
tersebut bisa saja terkait dengan kompetensi dan independensi yang dimiliki
oleh auditor masih diragukan oleh SEC, dimana kompetensi dan independensi
merupakan dua karakteristik sekaligus yang harus dimiliki oleh auditor selain
profesionalisme (Mayasari, 2011).
Dalam konteks skandal akuntansi yang berskala besar diatas,
menimbulkan pertanyaan apakah praktik rekayasa tersebut mampu terdeteksi
oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau
sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan skandal
5
praktik tersebut. Seperti pada skandal PT. Samcon pada tahun 2008 dan kasus
Telkom, dimana auditor tidak mampu mendeteksi praktik rekayasa laporan
keuangan dan tidak mematuhi standar auditing, maka yang menjadi inti
permasalahannya adalah kompetensi dan independensi auditor.
Seorang auditor dalam menjalankan tugasnya harus memiliki
kompetensi atau keahlian yang cukup agar dapat mendeteksi adanya
kecurangan atau kesalahan penyajian dan membuat keputusan dalam laporan
keuangan yang diaudit. Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA
No. 01 SA Seksi 150) dalam standar umum yang pertama menyebutkan
bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Hal ini juga
terdapat dalam standar umum pertama Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN) yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia. Hal ini berarti, dengan menggunakan kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan, pengalaman, serta pelatihan teknis yang cukup, auditor
diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik (Marcellina dan
Sugeng, 2009).
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan
keuangan tidak semata-mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan
juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan
auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para
pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki
kompetensi yang memadai (Arleen dan Yulius, 2009).
6
Auditor wajib menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup
dalam profesinya baik praktik akuntansi dan teknik auditing sehingga mereka
mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat sesuai dengan standar
akuntansi keuangan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penelitian
yang dilakukan oleh Nizarul, dkk (2007) membuktikan bahwa kompetensi
berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, di mana salah satu indikasi
kualitas audit yang baik adalah jika kecurangan yang ada dalam audit tersebut
dapat dideteksi. Penelitian Anesia (2012) juga membuktikan bahwa
kompetensi auditor berpengaruh signifikan berkorelasi positif terhadap
pertimbangan tingkat materialitas pada Kantor Akuntan Publik di Malang.
Selain kompetensi auditor juga harus memiliki dan mempertahankan
sikap independensi. Untuk mencegah adanya tekanan dari pihak manajemen,
maka auditor memerlukan independensi. Tanpa adanya independensi, jasa
auditor tidak akan berarti apa-apa dan masyarakat pun tidak percaya akan
hasil audit dari auditor eksternal dan tidak akan meminta jasa pengauditan
dari auditor. Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA No. 01 SA
Seksi 150) dalam standar umum yang kedua menyebutkan bahwa dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap
mental harus dipertahankan oleh auditor. Hal ini juga terdapat dalam standar
umum kedua SPKN yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (Marcellina dan Sugeng, 2009).
7
Independensi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu sikap yang tidak
memihak kepada kepentingan siapapun, baik pihak manajemen perusahaan,
klien maupun pihak luar yang berkepentingan, seperti kreditor dan investor.
Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan
pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang
meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Yulius, 2002).
Independensi seorang auditor dapat diuji dengan mengamati apakah
eksternal auditor yang bersangkutan memiliki kepentingan keuangan atau
hubungan usaha dengan klien. Sikap independensi diperlukan auditor agar ia
bebas dari kepentingan dan tekanan pihak manapun, sehingga auditor dapat
mendeteksi ada tidaknya kecurangan pada perusahaan yang diauditnya
dengan tepat, dan setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut
terlibat dalam mengamankan praktik kecurangan tersebut (Lastanti, 2005).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mayasari (2011),
menunjukkan
bahwa
profesionalisme,
independensi,
kompetensi,
pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh positif
signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit oleh auditor. Penelitian
yang dilakukan oleh Anesia (2012) juga membuktikan bahwa independensi
auditor berpengaruh signifikan berkorelasi positif terhadap pertimbangan
tingkat materialitas pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Malang.
Di dalam menjalankan tugasnya, selain kompetensi dan independensi
auditor perlu memiliki sikap profesionalisme. Menurut Standar Profesional
Akuntan Publik (PSA No. 01 SA seksi 150) dalam standar umum yang ketiga
8
menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya,
auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan
seksama. Hal ini juga terdapat dalam standar umum ketiga SPKN yang
diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Penggunaan
kemahiran profesional dengan cermat dan seksama, memungkinkan auditor
untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari
salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan
(Marcellina dan Sugeng, 2009).
Gambaran seseorang yang profesional dalam profesi eksternal auditor
dicerminkan dalam lima dimensi oleh Hall R (1968) dalam Reni (2008) yaitu:
(1) pengabdian pada profesi, (2) kewajiban sosial, (3) kemandirian, (4)
kepercayaan terhadap peraturan profesi, (5) hubungan dengan sesama profesi.
Penelitian yang dilakukan oleh Reni (2008) dari 5 dimensi profesionalisme
auditor, yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat
materialitas adalah hanya dimensi keyakinan terhadap profesi. Dan penelitian
yang dilakukan oleh Kusuma (2012) menunjukkan bahwa profesionalisme
auditor, etika profesi dan pengalaman secara bersama-sama mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Eksternal auditor yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan
memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan.
Di dalam SPKN dinyatakan bahwa sikap umum seorang auditor yang
berhubungan dengan pribadinya adalah kompetensi (keahlian dan pelatihan
teknis),
independensi,
dan
profesionalisme
(penggunaan
kemahiran
9
profesional auditor dengan cermat dan seksama). Oleh karena itu, auditor
harus mempunyai dan mempertahankan ketiga sikap ini karena sikap-sikap
ini sangat diperlukan auditor agar ia tidak gagal dalam mendeteksi
kecurangan dan setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut
menyembunyikan kecurangan tersebut (Marcellina dan Sugeng, 2009).
Tingkat kompetensi, independensi dan profesionalisme auditor akan
berbeda jika dilihat dari perbedaan gender. Gender diduga menjadi salah satu
faktor level individu yang turut mempengaruhi audit judgment seiring dengan
terjadinya perubahan pada kompleksitas tugas dan pengaruh tingkat
kepatuhan terhadap etika. Temuan riset literatur psikologis kognitif dan
pemasaran juga menyebutkan bahwa wanita diduga lebih efisien dan efektif
dalam memproses informasi saat adanya kompleksitas tugas dalam
pengambilan keputusan dibandingkan dengan pria (Siti dkk, 2007). Kualitas
hasil kerja auditor sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu masingmasing auditor itu sendiri. Salah satunya adalah jenis kelamin yang telah
membedakan individu sebagai sifat dasar pada kodrat manusia.
Menurut (Siti dkk, 2007) gender diduga menjadi salah satu faktor level
individu yang turut mempengaruhi kualitas hasil kerja auditor internal seiring
dengan terjadinya perubahan pada kompleksitas tugas dan pengaruh tingkat
kepatuhan terhadap etika. Karena auditor pria dan wanita menerima
pendidikan dan pelatihan yang sama secara normatif, orang mungkin
berharap bahwa mereka akan menunjukkan penilaian audit yang sama.
Penelitian yang pernah dilakukan Byrnes et al (1999), Meyers – Levy (1989)
10
dalam Gold et al, (2009) menunjukkan bahwa perempuan umumnya lebih
risk averse dan mereka memproses informasi lebih komprehensif daripada
laki-laki. Kecenderungan risiko dan informasi perbedaan pengolahan alam ini
menunjukkan bahwa penilaian auditor mungkin berbeda oleh auditor gender.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih
dan Iswati (2003) dalam (Siti dkk, 2007) mengatakan bahwa tidak ada
perbedaan kinerja auditor dilihat dari segi gender. Artinya antara auditor pria
dan wanita memiliki komitmen yang sama dalam melakukan suatu pekerjaan
audit tetapi memiliki kepuasan yang berbeda dalam menghasilkan sebuah
hasil kerja yang berkualitas. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan
oleh Agustianto (2013) bahwa gender tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan
keuangan. Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak
konsisten. Maka dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam
apakah faktor gender dapat mempengaruhi pertimbangan tingkat materialitas
dalam proses pengauditan laporan keuangan.
Penelitian ini merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Anesia
(2012) yang berjudul “Pengaruh Kompetensi, Independensi dan Motivasi
Auditor
terhadap
Pertimbangan
Tingkat
Materialitas
dalam
Suatu
Pengauditan Laporan Keuangan”. Kemudian Kusuma (2012) yang berjudul
“Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi dan Pengalaman Auditor
terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas. Terkait dengan isu yang penting
dan beragam, maka pada penelitian ini variabel yang digunakan untuk menilai
11
pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik adalah kompetensi,
independensi, profesionalisme auditor dan gender.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik dan
termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena dalam menjalankan
tugasnya
auditor
eksternal
harus
dapat
mempertimbangkan
tingkat
materialitas dengan baik demi tercapainya mutu dan kualitas audit yang baik.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penulis
melakukan penelitian dengan menggunakan periode waktu dan responden
yang berbeda yaitu pada tahun 2014 dan respondennya yaitu auditor yang
bekerja Kantor Akuntan Publik (KAP) di DKI Jakarta. Berdasarkan fenomena
tersebut, penulis mengkaji penelitian ini dengan judul “PENGARUH
KOMPETENSI, INDEPENDENSI, PROFESIONALISME AUDITOR
DAN
GENDER
TERHADAP
PERTIMBANGAN
TINGKAT
MATERIALITAS DALAM PROSES PENGAUDITAN LAPORAN
KEUANGAN”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Apakah kompetensi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat
materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan?
2.
Apakah independensi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat
materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan?
12
3.
Apakah profesionalisme auditor berpengaruh terhadap pertimbangan
tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan?
4.
Apakah ada perbedaan gender terhadap pertimbangan tingkat
materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan?
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.
Untuk
mengkaji
apakah
kompetensi
berpengaruh
terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan
keuangan.
2.
Untuk
mengkaji
apakah
independensi
berpengaruh
terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan
keuangan.
3.
Untuk mengkaji apakah profesionalisme auditor berpengaruh terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan
keuangan.
4.
Untuk mengkaji perbedaan gender terhadap pertimbangan tingkat
materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan.
13
2. Kontribusi Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini penulis dapat memberikan kontribusi antara
lain:
1.
Bagi auditor, diharapkan dapat membantu dalam membuat perencanaan
audit atas laporan keuangan klien sehingga dengan pemahaman tentang
materialitas laporan keuangan tersebut, auditor eksternal dapat memiliki
kualitas jasa audit yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan para pemakai jasa audit dan meningkatkan prestise profesi
akuntan publik didunia bisnis.
2.
Bagi kantor akuntan publik, untuk memahami secara praktek akuntan
publik dalam mewujudkan perilaku profesional yang diberikan.
3.
Bagi peneliti yang akan datang, bisa dijadikan sebagai referensi pada
penelitian yang sejenis dan pengembangan teori selanjutnya.
4.
Bagi pengambil keputusan dan pengguna laporan keuangan dapat
memiliki kepercayaan terhadap auditor eksternal untuk memakai
jasanya.
Download