Pendahuluan Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. (PDPI, 2006) Epidemiologi Tuberkulosis Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk setelah China dan India di dunia untuk jumlah penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal. Perkiraan kejadian BTA sputum positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. (Amin dan Asril, 2006) Etiologi Tuberkulosis Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae Mycobacterium tuberculosis. dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 1 africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. (Mansjoer, 2001) M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan Pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan protozoa Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga. (PDPI, 2006) Patogenesis Tuberkulosis TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan Lang, 2007) Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami salah satu nasib berikut: 1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 2 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara: a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberklosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll. (PDPI, 2006) TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005) Gejala penting TB paru post primer adalah : 1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat. 2) Batuk darah atau bercak saja. 3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal. 4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya Parenkim paru yang luas 5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial. 6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun Klasifikasi Tuberkulosis Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 3 TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : - Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. - Infeksi jamur - TB paru kambuh Bila meragukan harap konsul ke ahlinya. c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal - Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) - Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan e. Kasus kronik / persisten Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 4 Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006) Diagnosa Tuberkulosis Untuk menegakkan diagnosis TB paru, perlu diketahui tentang : gambaran klinik, pemeriksaan jasmani, gambatan foto toraks, pemeriksaan basil tahan asam, pemeriksaan uji tuberkulin dan pemeriksaan laboratorium penunjang. Gambaran klinik Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik (paru). 1) Gejala sistemik (umum), berupa : a) Demam Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza. Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang suhu badan dapat mencapai 40° 41° C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul, dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan (dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin panjang. b) Gejala yang tidak spesifik TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak badan (malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid. 2) Gejala respiratorik (paru) a) Batuk Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus, bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 5 diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen. b)Batuk darah Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringannya batuk darah tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu terjadi pada setiap TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru. c)Sesak napas Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai gejala ini. d)Nyeri dada Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik. Pemeriksaan jasmani Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural jaringan paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru tersebut. Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai pegangan pada TB paru yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit yang lanjut mungkin dapat dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi, fibrosis, kolaps atau efusi. Gambaran foto toraks Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas indikasi. Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru : - Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru - Bayangan berawan atau berbercak - Terdapat kavitas tunggal atau banyak - Terdapat kalsifikasi - Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru - Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 6 Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas, segmen posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen. Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang saja, akan tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru dapat memberikan semua bentuk abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan istilah "great imitator". (PDPI, 2006) Pemeriksaan basil tahan asam Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat, sehingga sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan mikroskopik langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah : - belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit, - terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang tidak adekuat, - cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat, - pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin. Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam sputum, maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada TB paru yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain, paling mudah diobati dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006) Pemeriksaan uji tuberkulin Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB paru anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 7 Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih tinggi seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko dkk terhadap penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin tidak mempunyai arti diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji tuberkulin ini jarang dipakai untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar untuk menegakkan diagnosis. (PDPI, 2006) Pemeriksaan laboratorium penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan kadang-kadang juga dapat untuk mengikuti perjalanan penyakit yaitu : - laju endap darah (LED) - jumlah leukosit - hitung jenis leukosit. Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan limfosit di bawah nilai normal, laju endap darah meningkat. Dalam keadaan regresi/menyembuh, leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai normal, laju endap darah akan menurun kembali. (PDPI, 2006) Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat Anti Tuberkulosis Obat yang dipakai : 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan: - INH - Rifampicin - Pirazinamid - Streptomisin - Etambutol Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 8 2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) - Kanamisin - Amikasin - Kuinolon - Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan asam klavulanat - Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain: Kapreomisin, Sikloserin, PAS, Derivat INH dan Rifampisin, Thioamides (ethioamide dan prothioamide) Kemasan - Obat Tunggal, disajikan secara terpisah, yakni INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol - Obat Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Dosis Obat Obat Dosis Dosis yang Dianjurkan (mg/kgBB/hari) (mg/kgBB/hari) Harian Intermitten Dosis Dosis (mg) / Berat Badan (kg) Max <40 40-60 >60 R 8-12 10 10 600 300 450 600 H 4-6 5 10 300 150 300 450 Z 20-30 25 35 750 1000 1500 E 15-20 15 30 750 1000 1500 S 15-18 15 15 Sesuai BB 750 1000 1000 Tabel 1. Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006) Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan priority utam WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 9 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit 5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. (PDPI, 2006) Paduan Obat Anti Tuberkulosis Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi: 1. TB Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks lesi luas. Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3 Paduan ini dianjurkan untuk: a. TB Paru BTA (+), kasus baru b. TB Paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas 2. TB Paru (kasus baru), BTA negative, pada foto thoraks lesi minimal. Paduan obat yang dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3 3. TB Paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan 4. TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan Kanamisin, Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi dapat Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 10 diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. 5. TB Paru kasus putus obat Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan criteria sebagai berikut: a. Berobat > 4 bulan - BTA saat ini negative Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. - BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu pengobatan yang lama. b. Berobat < 4 bulan - Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. - Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan. 6. TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minmal terdapat 4 macam OAT yang massif sensitive) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru. (PDPI, 2006) Efek Samping Obat Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 11 terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi simptomatis maka pengobatan OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentkan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. 2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah: - Sindrom Flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang - Sindrom dispepsi, berupa sakit perut, mual, anorexia, muntah-muntah kadang diare. - Gatal-gatal dan kemerahan Efek samping yang berat namun jarang terjadi: - Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut, OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus. - Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang. - Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid Efek samping utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout. Hal ini kemingkinan disebabkan berkurangnya Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 12 ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung dengan dosis yang diapakai, jarang sekali terjadi pada dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler untuk dideteksi. 5. Streptomisin. Efek samping utama adalah kelainan syaraf VIII (Nervus Vestibulocochlearis) yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat adalah telinga berdenging (tinnitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gram. Jika pengobatan diteruskan makan kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap. Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setalah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram. Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin. (PDPI, 2006) Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah hebat hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat, badan lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan keringat. Kadangkadang ada juga yang suaranya sampai habis. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 13 Menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya sebagai daya pertahanan alam. Menjuhi sumber penularan. Selain itu bagi yang biasa ke dokter, dapat juga minta penyuntikan vaksin BCG. Seorang ibu yang menderita TBC paru-paru, sebaiknya tidak menyusui anaknya selama belum sembuh. Seseorang yang menderita penyakit tertentu, di samping TB, memerlukan pengobatan yang berhati-hati sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian obat. a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti Tuberkolosis (OAT) aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 14 c. Penderita TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang penderita TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksana pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya dengan penderita TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan penderita TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan penderita TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. e. Penderita TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. f. Penderita TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 15 bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. g. Penderita TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. i. Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa penderita seperti: Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 16 TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. (WHO, 2003) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 17 Hepatotoksisitas Imbas Obat Metabolisme Obat Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010) Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-pbenzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010) Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut: Inducers o Phenobarbital Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 18 o Phenytoin o Carbamazepine o Primidone o Ethanol o Glucocorticoids o Rifampin o Griseofulvin o Quinine o Omeprazole - Induces P-450 1A2 Inhibitors o Amiodarone o Cimetidine o Erythromycin o Grape fruit o Isoniazid o Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010) Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006) Mekanisme Hepatotoksisitas Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 19 penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogenimunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). (Bayupurnama, Putut, 2006) Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006) Implikasi Klinis Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansisubstansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama, Putut, 2006) Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 20 secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006) Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan :\ 1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat. 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat. 3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus 4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. (Mehta, Nilesh, 2010) Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 21 secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. (Mehta, Nilesh, 2010) Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010) Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010) Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat 1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu. 2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat. Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 22 3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita. 4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat. 5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun. 6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat. 7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah. 8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat short-acting 9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong terjadinya penyakit hati, yakni: o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 23 o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin) o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat o Usia Muda - Salisilat, asam valproik o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate (Mehta, Nilesh, 2010) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 24 Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan Asril, 2006) Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010) Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010) Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010). Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 25 Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat Efek Hepatotoksik OAT Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010) Isoniazid (INH) Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 26 / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010) Rifampisin Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010) Pirazinamid Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010) Etambutol Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 27 Streptomisin Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010) Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaan: - Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop - Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop - Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop - SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop - SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan Paduan obat yang dianjurkan - Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) - Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES. - Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006) Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 28 normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010). Rekomendasi Mengelola OAT Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain: • Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus dihentikan • Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu • Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol. • Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010) Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas • INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan. • Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan. • Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010) Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 29 gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010) Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan Hepatotoksisitas Imbas OAT 1.Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT 2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian OAT 3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal. 4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg / dl). 5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati. 6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010) Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 30 memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis. Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis). Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.: * Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis * Hari 3: INH dengan dosis penuh * Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis * Hari 6: RMP pada dosis penuh * Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 31 * Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis * Hari 9: EMB pada dosis penuh Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan. Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini. Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai berikut: 1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya obatobatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya 2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008) Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 32 Daftar Pustaka 1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006. 2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006. 3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006 4) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005 5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta. EGC. 2007 6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001 7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260 8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267 9) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine 10) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and Hepatology. 2010 11) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Program. 2003 12) www.wikipedia.org Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 33 Referat: Diagnostik dan Penatalaksaan Tuberkulosis Drug Induced Hepatitis Page 34