Untitled - Kun Fayakuun

advertisement
Kun Fayakuun
Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu
Menyingkap Hakikat Tauhid Hamba Allah
Risalah Ke-3
Penerbit
KUN FAYAKUUN
Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu
Menyingkap Hakikat Tauhid Hamba Allah
Risalah Ke-3 : Pendekatan Untuk Mengenal
Allah
Oleh: Atmonadi
Copyright © 2014 by Atmonadi
Atmoon Self Publisher
Website : kfy.atmonadi.com
[email protected]
Cetakan Pertama
Desain Sampul:
Atmonadi
Kredit Gambar/Foto Hubble Legacy Archive, ESA,
NASA, APOD NASA Space Science, Gugus
Galaksi ARP 81, NGC 6622 & NGC 6621, Google
images lib.
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
ii
Risalah mawas diri ini didedikasikan untuk
kedua orang tuaku almarhum Ibunda
Masjatim dan Bapak Idris , adik-adikku
(Ida, Evi, Rudy), istriku Rosida, anakku
Rifka Afifah Zahrah, saudara-saudariku,
guru-guruku, kawan-kawanku, dan para
salik penempuh jalan suluk.
Risalah ini juga saya persembahkan untuk
kenangan bagi almarhum Guru Mursyid
tercinta
HADLRATUSY SYEIKH
KH. ABDUL DJALIL MUSTAQIEM
Wafat 7 Januari 2005 jam 2:30 Di
Tulungagung
“Al Qur'an itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi
siapa di antara kamu yang mau menempuh
jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.
(QS At-Takwiir [81]:27-29)”
iii
Segala puji dan syukur sepatutnya hanya
ditujukan untuk Allah SWT, Sang Maha
Pencipta yang menebarkan kasih sayang
untuk semua makhluk-Nya, yang maujud
dalam bentuk materi fisik maupun yang
diselimuti
kegaiban-Nya
dan
yang
menggenggam kehidupan semua makhlukNya.
Shalawat dan salam kusampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai maujud
Af’al, Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya yang
paripurna, Adimanusia, Insan Kamil dan
Gurujati semua manusia, keluarga dan
kerabatnya, para sahabatnya, para aulia
dan para pewaris serta penyampai ilmunya,
yang meneruskan rahmatnya kepada
seluruh alam dan penghuninya, yang
merentang menembus batas-batas ruangwaktu : dulu, kini dan nanti.
Risalah ketiga dari Kun Fayakuun : Man
iv
Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu ini
membahas tinjauan bagaimana melakukan
pendekatan untuk mengenal dan sampai
kepada Allah. Beberapa metode dan model
akan digali dari berbagai pandangan yang
tidak asing lagi di kalangan tasawuf yaitu
pendekatan Bottom Up , Top Down, maupun
Null to one.
Ketiga model tersebut sejatinya didasarkan
pada pengenalan diri sendiri sebagai
makhluk yang berakal pikiran, mempunyai
hati
dan
mampu
memaknai
dan
mengungkapkanNya dengan berbagai cara,
atau dengan instrumen lahir dan batin
yang telah kita kenal betul. Ungkapan
sederhananya adalah “bercerminlah” dan
renungkan
tentang
dirimu
sebagai
makhluk yang hidup, berakal pikiran dan
mempunyai hati.
Akhir kata, semoga risalah ini
menjadi pelajaran bagi kita semua.
dapat
Wassalammu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 25 Agustus 2014 (revisi terkini)
v
Prakata____iv
Daftar Isi_____vi
Prolog____1
Bab 1 Bottom Up : Yang Banyak Didalam
Yang Satu____4
Bab 2 Top Down : Yang Satu Didalam Yang
Banyak____9
Bab 3 Null To one : Kosongkan Dirimu Yang
Wujud Hanya Ilahi____11
Bab 4 Mengenal Allah Melalui CiptaanNya_____15
4.1.
Resonansi
&
Tindakan Manusia____17
Transformasi
4.2. Simetri Yang Memecah Secara
Mandiri___20
4.3. Penguraian Kosmologis : Nur
Muhammad & Big Bang___29
Bab 5 Mengenal Diri Untuk Mengenal
Allah____36
vi
Bab 6 Sampai Kepada Allah____41
Bab
7
Pribadi
Muslim
Kesatupaduan Integralistis____49
Sebagai
Bab 8 Tinjauan
Integralisme____52
Filsafat
Kosmologis
Bab
9
Membangun
Spiritual____65
Kecerdasan
Referensi____83
Riwayat Hidup Penulis____89
vii
maka sesungguhnya akan Kami kabarkan
dengan ilmu (bukti-bukti keterangan)
kepada mereka (apa-apa yang telah mereka
perbuat), dan Kami sekali-kali
tidak
pernah ghaib. (QS 7:7)
viii
“que sera-sera”
“kun fayakuun”
ix
Illahi,
Engkau suruh aku perhatikan alam
Pada peliputan selubung dalam
nur cahaya-Mu bagai mentari semesta alam
sebagaimana aku masuk dalam mahligaiMu
menjadikan terpeliharanya hatiku
dari gangguan genggaman kelam
lalu terangkat keinginan diriku
untuk bersandar kepada-Mu
sesungguhnya Engkau amat kuasa
atas segala apa yang ada
(munajat Ibnu Athaillah As Sakandari ,
kitab Al-Hikam)
Bagaimanakah cara yang secara sistematis
merupakan
langkah-langkah
untuk
mengenal dan sampai kepada Allah?
Pertanyaan demikian sebenarnya susahsusah gampang untuk dijawab karena yang
diperlukan ternyata hanya berkaitan
dengan pemaknaan kehidupan dengan
“sadar”. Sadar dalam arti yang lebih
khusus akhirnya melibatkan niat dan
keinginan kita untuk merasakan jauh
dekatnya Allah sebagai realitas yang
tersembunyi dibalik semua realitas yang
kita lihat dengan sensor inderawi kita. Bagi
yang memahami mungkin akan muncul
suatu pertanyaan, “memangnya Allah ada
dimana sampai harus dikenali?”. Terus ,
“apa artinya sampai kepada Allah ?” Kita
sebenarnya telah lama buta karena tak
mampu melihat penampilan Allah yang
Ghaib telah menjadi Ghaiibin seperti
diungkapkan dalam QS 7:7, jadi mengenal
Allah sejatinya memerlukan Ilmu atau
sarana untuk mengenalNya. Lantas ilmu
yang bagaimana, atau bagaimana metode
pengenalanNya?
Bagian ini akan mengulas pertanyaan yang
berkaitan dengan metode dengan model
yang digali dari berbagai pandangan yang
tidak asing lagi di kalangan tasawuf yaitu
dengan memperhalus citarasa kita sebagai
makhluk yang berakal pikiran, mempunyai
hati
dan
mampu
memaknai
dan
mengungkapkan Eksistensi-Nya dengan
berbagai cara, atau dengan instrumen lahir
dan batin yang telah kita kenal betul.
Dalam beberapa segi, pengenalan itu
berkaitan erat sekali dengan bagaimana
2
kita bisa mengenal diri sendiri. Ungkapan
sederhananya adalah “bercerminlah” dan
renungkan
tentang
dirimu
sebagai
makhluk yang hidup, berakal pikiran dan
mempunyai hati.
Supaya
lebih
gamblang,
dengan
berdasarkan uraian diatas saya membuat
suatu
diagram
sederhana
yang
menggambarkan kaitan atau hubunganhubungan
di
atas
sebagai
upaya
pengenalan kepada Allah. Sebut saja
pendekatan untuk melakukan pengenalan
kepada Allah. Secara langsung ayat-ayat
Kauniyah yang telah diulas menyiratkan
adanya tiga cara pendekatan untuk
mengenal Allah yaitu relasi bottom-up, top
down, dan null-to-one.
3
Bab 1
Pendekatan bottom-up dilakukan dengan
mengenal penampakkan Asma-asma, Sifatsifat, dan Af’al Allah dalam wujud alam
semesta ciptaan-Nya. Allah berfirman
dengan memberikan petunjuk untuk
memperhatikan apa yang ada di alam
semesta (..tanda-tanda kekuasaan Kami
pada segenap penjuru..QS 41:53) dan apa
yang ada di Bumi (QS 51:20) untuk
dipelajari, dan kemudian ditelusuri baik
secara akal lahiriah maupun ruhaniah
yaitu dengan menggunakan hukum sebabakibat atau hukum-hukum yang dipahami
nalar logis sebagai hukum-hukum fisika,
maupun secara spiritual atau saya sebut
sebagai pendekatan kuantum. Sehingga,
akan sampai pada suatu kesimpulan
bahwa semuanya ada karena Kehendak
Allah.
4
Gambar 1. Pendekatan Pengenalan Kepada
Allah
5
Kata “Kami” di dalam ayat-ayat Kauniyah
menginformasikan bahwa yang kita amati
itu tidak sekedar makhluk ciptaan Allah
dimana tidak ada campur tangan makhluk
lain. Namun juga aktifitas-aktifitas dan
tindakan-tindakan manusia (man made
worlds), penggunaan benda-benda buatan
manusia,
malaikat,
makhluk-makhluk
Allah lainnya, dan berbagai proses dimana
makhluk terlibat di dalamnya. Secara
umum dapat dikatakan bahwa semua itu
berkaitan
dengan
aktifitas
yang
[40]
membangun Peradaban Manusia
.
Kaum sufi biasanya menyatakan metode ini
sebagai suatu jalan “Para Pemabuk Ilahi”
dalam upaya menuju penyaksian-Nya dan
dikenal dengan idiom “syuhuud al-kasrah fi
al-wahdah (menyaksikan yang banyak
didalam yang satu)” yang dimaksudkan
sebagai melihat realitas yang banyak
ditemui di alam semesta ke dalam satu
Dzat Allah SWT. Cara ini dikenal sebagai
menghimpun semua penampakkan atau
Jaami’ [45]. Konsep pendekatan demikian
diperkenalkan oleh Ibnu Arabi sebagai
konsep ahadiyyat al-kasrah (ketunggalan
dari yang banyak) dan selanjutnya banyak
mempengaruhi pemikiran falsafi para sufi
6
generasi
setelah
Ibnu
Arabi
melakukan proses pengenalan
Allah SWT.
dalam
kepada
Secara
spiritual,
pendekatan
yang
dilakukan dengan cara memperhatikan
tanda-tanda di alam semesta banyak
berkaitan dengan penghayatan melalui
pencerapan cita rasa ruhaniah atau dzauqi
yaitu
secara
intuitif
dengan
cara
perenungan sehingga diperoleh suatu
hikmah atas penciptaan alam semesta
sampai akhirnya dicapai makrifat mengenal
Allah yang hakiki [14] . Bila didekati secara
dzauqi, manusia memerlukan suatu upaya
ruhaniah yang konsisten yaitu dengan
melakukan
pendakian
spiritual
atau
dikenal sebagai suluk.
Pendekatan suluk merupakan suatu upaya
untuk
melakukan
lompatan-lompatan
kuantum secara ruhaniah agar sampai
kepada Allah SWT (wusul).
Lompatanlompatan kuantum dalam risalah ini saya
maksudkan sebagai upaya manusia untuk
mengubah tingkat keadaan ruhaninya dari
satu kondisi ke kondisi lainnya dengan cara
penyucian jiwa (QS 91:9-10) dan beribadah
dengan ikhlas dan ridha, berserahdiri dan
istiqamah. Kendati suluk dilakukan dengan
7
pendekatan bottom-up, nalar logis manusia
perlu digunakan juga dengan sadar untuk
mendapatkan hikmah dan hakikat atas
keterkaitan yang terjadi. Hal ini penting
dilakukan karena tanpa penalaran maka
suluk dapat mengarah kepada taklid buta
dan berpotensi untuk berakhir pada ilusi
kesombongan diri atau ghurur.
8
Bab 2
Pendekatan
bottom-up
dapat
dibalik
menjadi top-down jika Anda sudah beriman
dan meyakini bahwa “Allah itu Ada”.
Pendekatan keimanan akan dilakukan juga
untuk menguraikan Kehendak Allah secara
nalar logis sejak Allah mencetuskan “Kun
Fayakuun”. Pendekatan demikian disebut
juga dengan idiom “syuhuud al-wahdah fii
al-kasrah (menyaksikan Yang Satu didalam
yang banyak)”[45]; Ibnu Arabi menyebutnya
sebagai ahadiyat al-ahad (ketunggalan dari
satu). Pendekatan Top Down merupakan
kebalikan dari pendekatan sebelumnya
dimana meniscayakan Tuhan Yang Maha
Esa
didalam
realitas-realitas
penampakkan-Nya.
Dalam
pendekatan
kedua ini, maka yang menghalangi (Maani’)
atau yang menutupi Dzat Allah SWT dari
segenap
penampakkan-Nya
harus
disingkapkan.
Pada banyak kasus, pendekatan top-down
9
merupakan suatu anugerah langsung dari
Allah SWT kepada makhluk-Nya yang Dia
kehendaki. Menurut sudut pandang ilmu
tasawuf, pendekatan top-down dimana
Allah melakukan intervensi langsung
sebagai manifestasi Kehendak-Nya disebut
maj-dzub
dimana
pintu
pengenalan
langsung dibukakan oleh Allah. Penempuh
jalan ruhani atau pesuluk akan ditarik
oleh-Nya ke dalam suatu medan gravitasi
ruhaniah universal, dan pada akhirnya
akan
sampai
kepada
ilmu/mengenal
Allah[14]
atau makrifat. Jadi, disini
makrifat yang diperoleh adalah suatu
makrifat dengan ilmu dimana seorang salik
menerima limpahan cahaya keilmuan dari
Allah secara langsung. Eksis mandiri
sesuai situasi dan kondisinya, dan
seringkali terjadi tanpa proses belajar
formal. Namun, sejatinya ilmu makrifat
adalah suatu pemahaman penuh hikmah
yang mandiri setelah perenungan yang
mendalam akan semua penampakkan
Asma-asma, Sifat-sifat, dan Perbuatan
(Af’al) Allah SWT.
10
Bab 3
Pendekatan relasi null-to-one dilakukan bila
kita ingin mengenali Allah SWT dari diri
kita sendiri. Perhatikan frase kalimat
“…diri mereka sendiri…” pada kedua ayat
yang diulas di Bab Satu yang merupakan
isyarat dari Allah SWT untuk manusia
guna mengenali berbagai aspek dari
kemanusiaan kita sendiri baik ruhani dan
jasmani,
secara
individual
maupun
kolektif, untuk kemudian ditarik garis
lurus ke arah pengenalan kepada-Nya.
Ayat-ayat seperti inilah yang menjadi dalil
kaum sufi “Kenalilah dirimu, maka engkau
akan kenal Tuhanmu (Man arofa nafsahu
faqod arofa robbahu)”.
Dari banyak segi, pengenalan diri bagi
manusia merupakan suatu kewajiban
bahkan
menjadi
suatu
hakikat
kemanusiaan yang sebenarnya. Menurut
Sahl al-Tustari, seorang sufi generasi awal,
seperti dikutip oleh Hujwiri dalam risalah
11
“Kasyf Al Majhub”[46], pengetahuan tentang
diri menjadi suatu kewajiban bagi pencari
hakikat, karena siapapun yang tidak tahu
akan dirinya, tidak tahu penciptaannya,
maka ia lebih baik tidak mengetahui hal
lainnya; dan karena manusia harus
mengetahui Allah, maka pertama-tama ia
harus mengetahui dirinya sendiri, agar
dengan melihat kesementaraannya atau
kerelatifannya
dia
bisa
menyaksikan
keabadian Allah, dan bisa mempelajari
keabadian Allah melalui kefanaannya
sendiri. Aforisma legendaris kaum sufi
“Orang yang tahu akan dirinya sendiri,
maka dia tahu tentang Allah“, maksudnya
adalah jika seseorang mengetahui dirinya
akan binasa maka dia akan mengetahui
bahwa Allah sebagai Dzat yang abadi; atau
jika seseorang mengetahui dirinya lemah
dan
rendah,
dia
akan
mengetahui
Kemahakuasaan Allah; atau jika seseorang
mengetahui posisinya sebagai hamba,
maka dia tahu bahwa Allah sebagai Tuan.
Dengan
saling
mempertentangkan
demikian maka seseorang yang tidak
mengetahui dirinya sendiri akan terhalang
untuk mengetahui segala sesuatu oleh
dirinya sendiri. Artinya, apapun yang tak
bisa ia lihat dikarenakan ego dan
12
kesombongannya sendiri yang menjadi
tabir atau gunung penghalangnya. Tidak
salah ketika Allah berfirman bahwa Iblis
tidak mengetahui penciptaan dirinya
sehingga ia menjadi sombong dan takabur,
padahal hakikatnya Iblis adalah bodoh
karena tidak memahami ilmu pengetahuan
Tuhan yang sejati yaitu tentang penciptaan
dirinya (QS 18:51), tidak memahami Asma,
Sifat, dan Perbuatan (Af’al) Tuhannya.
Karena kebutaannya itu, Iblis akhirnya
terputus dari Rahmat Allah SWT sesuai
dengan arti Iblis yang berasal dari kata
“Ablasa” yaitu yang terputus dari Rahmat
Allah SWT.
Pengenalan demikian bisa didekati dengan
secara
aqli
dan
dzauqi
dengan
menggunakan
pendekatan
bottom-up
maupun top-down di dalam diri sendiri
sebagai mikrokosmos dan nanokosmos
(qolbu dengan karakteristiknya atau secara
umum psikologi manusia) khususnya
dikaitkan dengan posisi dan peran manusia
terhadap
keyakinannya,
sesamanya,
lingkungan hidupnya, alam semesta, dan
Penciptanya.
Dalam pendekatan null-to-one maka qolbu
13
serta yang melingkupinya yaitu wa nafsi
manusia harus diupayakan dikelola dan
dijaga agar ia mampu menjadi Singhasana
Allah (Arasy Allah).
Untuk menjadi
Singhasana Allah maka semua bentuk
gambaran makhluk atau kebendaan di
dalam qolbu harus dibersihkan dengan
menyucikan lingkupan nafsunya. Dengan
kata lain terjadi proses penyucian jiwa (QS
91:9-10) yang intensif pada akhirnya akan
mengosongkan qolbu dari semua bentuk
makhluk bahkan dalam tataran yang
optimal qolbu pun harus kosong dari diri
sendiri (keinginan diri) sehingga yang
maujud hanyalah Kehendak Allah SWT
semata.
14
Bab 4
Dalam bagian makrifat aqli metode bottom
up saya gunakan untuk melakukan
penelusuran tentang Kehendak Allah
dalam penciptaan alam semesta secara
keilmuan (akal) dengan merujuk kepada Al
Qur’an, Hadis, tafsir para ulama, maupun
hasil-hasil penelitian ilmiah modern yang
banyak dilakukan oleh para ilmuwan Barat
dan Muslim1. Pada uraian pendahuluan
sebelumnya, saya melakukan pendekatan
bottom-up karena kajian risalah mawas diri
ini bermula dari keingintahuan saya
setelah mengamati berbagai peristiwa yang
terjadi sehari-hari baik dialami sendiri
maupun yang sering terjadi di masyarakat
seperti bencana alam, wabah, musibah,
1 Sampai saat ini, umumnya Para Ilmuwan Barat lah yang
banyak melakukan penelitian teoritis maupun eksperimental
mengenai penciptaan Alam Semesta. Ilmuwan muslim yang
terlibat di dalamnya adalah Abdus Salam Ph D seorang pakar
fisika energi tinggi yang sudah memenangkan hadiah nobel. Dari
Indonesia barangkali Prof. Achmad Baiquni, Prof Thomas
Djamalludin, dan Sdr. Achmad Marconi yang nampaknya
dengan intensif ikut terlibat didalamnya.
15
kondisi ekonomi Indonesia, kondisi moral
masyarakat, dan lain-lainnya. Hasilnya
adalah suatu kesimpulan awal sebagai
hipotesis aksiomatis bahwa :
Semua keburukan yang terjadi baik
secara individual maupun kolektif
merupakan suatu konsekuensi dari
tidak dipatuhinya sunnatullah dan
sudah merupakan suatu Kehendak
Allah. Dari sudut pandang ketaqwaan
dan keimanan Agama Islam, hal ini
juga berarti diabaikannya perintahperintah
Allah
dan
laranganlarangan-Nya
dan
tidak
diterapkannya sunnatulrosul.
Secara lugas saya katakan saja bahwa kita
sudah cenderung mengabaikan nilai-nilai
agama, khususnya aspek-aspek lathifah,
halus, atau batiniahnya sehingga berbagai
aspek lahiriah dari tindakan kita seharihari punya kecenderungan tidak sesuai
dengan nilai-nilai luhur dari apa yang kita
yakini sebagai suatu nilai-nilai spiritual
agama Islam yang transenden. Bahkan
dalam taraf tertentu,
ada kecenderungan bahwa kita ini
cenderung tidak menauhidkan-Nya,
16
kita punya kecondongan
untuk
menciptakan tuhan-tuhan kecil di hati
baik berupa uang, jabatan, akal,
kekayaan, dan tuhan-tuhan kecil
lainnya.
4.1 Resonansi dan Transformasi
Tindakan Manusia
Peristiwa-peristiwa
dimana
manusia
terlibat di dalamnya bisa dikatakan
merupakan hasil suatu resonansi atas
tindakan-tindakan manusia, baik yang
dilakukan perorangan maupun kolektif.
Resonansi adalah larutnya seseorang atau
sekelompok orang akibat tindakan orang
lainnya. Inilah fenomena ikut-ikutan yang
sering kita lihat di masyarakat kita tanpa
tahu ujung pangkalnya. Kita tiba-tiba
terbawa arus liar begitu saja dan larut
dengan amarah seseorang, kemudian
berkembang menjadi sekelompok orang,
dan akhirnya seluruh masyarakat; kita
tiba-tiba ingin tampil menjadi orang lain
dengan meniru-niru mode atau kelakuan
yang ditampilkannya di televisi dan media
massa. Dengan hipotesa awal diatas, pada
bagian-bagian selanjutnya saya ingin
17
menguraikan secara logis bahwa tindakantindakan seseorang secara individual
sangat mempengaruhi terjadinya suatu
peristiwa. Hal ini merupakan suatu
konsekuensi dari adanya interaksi antara
orang tersebut dengan lingkungannya
secara langsung maupun tidak langsung.
Munculnya tindakan-tindakan seseorang
merupakan hasil transformasi dari kondisikondisi
psikisnya.
Dalam
konteks
keagamaan, kondisi psikis tidak lain
adalah kondisi ruhaniah atau kesadaran
ruhaniah. Dalam bahasa kekinian adalah
Kecerdasan
Spiritual
(SQ,
Spiritual
Quotient).
Fungsi transformasi tindakan seseorang
yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam
mempunyai tiga variabel utama yaitu:
perintah-perintah Allah dan laranganlarangan-Nya, sunnatulrosul (akhlak dan
perilaku Nabi Muhammad SAW), dan
keselarasan dengan sunnatullah dengan
ridha atas semua kehendak/ketentuanNya. Jadi, bila fungsi transformasi
tindakan manusia tidak berdasarkan
kepada ketiga variabel ruhaniah di atas,
maka tindakan-tindakan yang dilakukan
seseorang
atau
sekelompok
orang
kemungkinan besar tidak akan sesuai
18
dengan norma-norma dan nilai-nilai agama
yang diyakini oleh orang atau kelompok
orang tersebut. Bagi seorang Muslim yang
dipatuhi adalah nilai-nilai Agama Islam
yang mencakup kesatupaduan aqidah,
syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia
dewasa ini dapat dimodelkan dengan
mengacu pada deskripsi transformasi
tindakan seperti di atas. Jadi, pada
dasarnya segala bencana yang muncul
dimasyarakat disebabkan karena banyak
dari
anggota
masyarakat
yang
mentransformasikan
kondisi
psikisnya
bukan berdasarkan kepada nilai-nilai
kebenaran dari keyakinan atau agamanya.
Demikian juga bagi masyarakat Indonesia
yang secara statistik sebagian besar
beragama Islam telah menjauh dari nilainilai Islam sebenarnya .
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Inilah hal
yang ingin diungkapkan di dalam risalah
ini. Penelusuran selanjutnya ternyata tidak
sesederhana uraian awal hipotesis diatas.
Penelusuran yang komprehensif akhirnya
membawa kepada penelusuran tentang
penciptaan alam semesta dimana manusia
menjadi bagian didalamnya. Pandangan ini
19
selaras dengan dengan pendapat filsafat
integralisme bahwa egosistem (manusia)
secara psikis dan fisik akan mempengaruhi
dan menjadi pengarah pada tatanan
diatasnya.
4.2 Simetri Yang Memecah Secara
Mandiri
Dalam
pendekatan
sebaliknya,
yaitu
pendekatan top down, saya memulainya
dengan melakukan telaah atas tafsir ayatayat Kauniah (ayat tentang penciptaan
alam semesta) yang dimulai dengan ayatayat yang memuat perintah penciptaan
“Kun Fayakuun”. Disini fakta “Tuhan itu
Ada” tidak memerlukan pembuktian.
Bahkan pada beberapa uraian selanjutnya
“Tuhan itu Ada” sudah terbukti dengan
sendirinya. Bisa dikatakan inilah proses
simetri yang memecah sendiri dimana
Eksistensi Allah ada dengan sendirinya
ketika aspek-aspek materi kita, atau
kesadaran materialistik kita semakin
menjadi halus (semakin lathifah), sehingga
sistem energetis diri kita berupa qolbu
semakin peka dan halus dan semakin
mampu
menanggapi
getaran-getaran
ilahiah yang halus, baik yang tercerap
20
secara fisikal maupun metafisikal, yang
nyata maupun yang gaib.
Dalam kondisi demikian maka kesadaran
diri terlepas dari keterikatannya dengan
kontinuum kesadaran-ruang-waktu atau
masih melekat tetapi dengan pemaknaan
dan pemahaman yang lebih spiritual,
sehingga proses “Simetri Yang Memecah
Secara Mandiri” identik dengan kondisi
makrifat yang menurut Sahl Al Tustari
dikatakan bahwa ilmu itu ditetapkan oleh
makrifat, dan akal ditentukan oleh ilmu;
tetapi, makrifat ditentukan oleh esensinya
sendiri.
Artinya,
kalau
Tuhan
menyebabkan seseorang memiliki makrifat
akan diri-Nya sendiri, sehingga dia
mengenal Tuhan lewat pengungkapan diriNya sendiri kepadanya, berarti Dia
menempatkan pengetahuan dalam diri
orang tersebut. Pengetahuan itu adalah
pengetahuan yang erat kaitannya dengan
eksistensi makhluk dan Tuhannya. Dengan
demikian, Tuhan memang tidak perlu
dibuktikan oleh karena dalam proses
pengungkapan-Nya
justru
Dia
akan
memperkenalkan diri-Nya sendiri dan
dikatakan Tuhan itu ada ketika semua
pengetahuan akan citra-Nya yang berupa
alam
semesta
dan
semua
isinya
21
terungkapkan dengan ilmu pengetahuanNya. Dalam bahasa Ebiet G. Ade ,
kondisinya seperti orang yang mengejar
impiannya, pujaan hatinya, tetapi dengan
penuh nafsu sampai ia sadar ketika sejuta
tangan seperti menahan langkahnya dan
berbisik “Tak perlu kau berlari mengejar
impian tak pasti hari ini juga mimpi maka
biarkan Dia datang di hatimu…di hatimu...”.
Disini, kita harus menyadari bahwa
makrifat
sebenarnya
identik
dengan
bersemayamnya tauhid dan keimanan
kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang
Maha Esa dengan kualitas haqqul yaqin
yaitu yakin seyakin-yakinnya dengan
pengetahuan-Nya, sehingga tidak perlu
pembuktian lagi oleh karena dalam proses
pembuktian-Nya
ternyata
Dia
telah
memperkenalkan diri-Nya sendiri, dan
dengan pengenalan-Nya ini, sifat-sifat-Nya
menjadi
permanen
termanifestasikan
kedalam hati makhluk menjadi sifat-sifat
makhluk yang mengenal-Nya – dialah
makhluk yang menjadi hamba Allah.
Sehingga, jangan heran bilamana Anda
mencapai kualitas keimanan haqqul yaqin,
meskipun Anda bukan seorang sufi atau
wali, Anda akan sangat tegar menghadapi
segala macam kesenangan, kesusahan dan
22
bencana
yang
paling
mengerikan
sekalipun. Dalam kacamata makhluk
lainnya, mungkin bencana itu mengerikan,
namun baginya itu dapat berarti banyak
hal
antara
lain
semakin
teguhnya
keimanan
dan
keyakinan
kepada
Kemahakuasaan Allah SWT, semakin
merindukan-Nya, dan deskripsi lainnya
yang sejatinya menunjukkan keridhaannya
kepada semua kehendak Allah SWT2.
Ada banyak cara Dia meyakinkan
hamba-hamba-Nya;
Sebagian
melalui
kesenangan
sebagian lagi melalui bencana.
Ketika kesenangan dan bencana tak
menggoyahkan keyakinannya.
Maka ia telah bersandar hanya padaNya,
karena ridha yang telah menyelimuti
hatinya sebagai hamba-Nya.
2
Saya menyimpulkan frase tambahan ini setelah melihat
ketegaran dan keteguhan seorang Cut Putri dengan keluarganya
yang mengalami bencana alam dahsyat, gempa bumi dan
tsunami di Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004. Innalillaahi
Wa Innaa ilaihi rojiun, semoga bagi yang mengalaminya akan
meningkatkan keyakinan pada-Nya bahwa Dialah Yang Maha
Kuasa dan Maha Menentukan nasib semua makhluk-Nya.
23
Maka
ditambahkan-Nya
makrifat
tentang pengetahuan pada-Nya;
Bahwa Dia Maha Kuasa dan Maha
Menentukan nasib semua makhlukNya.
“Tiada suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum
Kami
menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.(QS 57:22)”
Haqqul yaqin dapat diibaratkan seseorang
yang tinggal di Jakarta dan tahu benar
seluk-beluk berbagai sendi kehidupan di
Jakarta, jadi keyakinan yang muncul
adalah keyakinan dengan pemahaman dan
pengetahuan.
Haqqul
yaqin
bukan
keyakinan dengan taklid buta tanpa
pemahaman dan pengetahuan, tetapi
sejatinya suatu keyakinan hakiki karena
tahu dengan kebenaran dari Tuhan.
Keyakinan inilah yang menjadi dasar
Sayyidina Abu Bakar Ash Shidieq r.a.
ketika meyakini Nabi Muhammad SAW
adalah seorang Utusan Allah karena Abu
Bakar r.a sudah lama bersahabat dengan
Nabi Muhammad SAW. Sejak remaja sekali
ia sudah kenal benar dengan akhlak
24
Rasulullah SAW sehingga disebut Al-Amin,
dengan demikian keyakinannya bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah
langsung haqqul yaqin. Demikian juga
ketika meyakini peristiwa Isra Mi’raj
sehingga iapun bergelar Ash Shiddieq.
Kondisi haqqul yaqin identik dengan
kondisi suatu keadaan yang muncul atau
eksis dengan mandiri seperti munculnya
orang yang berkeyakinan yang benar dan
pemahaman orang yang berpengetahuan.
Dalam proses penciptaan makhluk maka
proses teridentifikasinya suatu entitas
makhluk terjadi pada suatu tingkat
keadaan yang cenderung berenergi rendah
dari tingkat keadaan yang berenergi tinggi,
dalam fisika modern hal ini dikenal sebagai
“self
symmetri
breaking
process”,
sedangkan kalau kita berbicara dalam
bahasa keruhanian maka tingkat keadaan
demikian merupakan suatu pecahnya
simetri dari alam gaib menjadi alam nyata
(munculnya makhluk) sebagai manifestasi
kehendak Allah yang mandiri (tanpa sebab
dari luar kecuali dari diri-Nya). Kondisi
dimana proses pecahnya simetri belum
terjadi bisa dikatakan suatu keadaan yang
simetri
(kekal)
dan
tidak
dapat
teridentifikasikan dengan jelas. Hal ini bisa
25
kita analogikan seperti kelereng dan bola
golf yang satu sama lain tidak bisa kita
bedakan ketika kedua benda tersebut kita
percepat
sampai
mencapai
kuadrat
kecepatan cahaya; pada kecepatan sangat
tinggi tersebut kelereng dan bola golf
sepenuhnya
bersifat
energi,
tidak
terbedakan ; Kondisi demikian bisa
dikatakan sebagai suatu kondisi unifikasi.
Pada kondisi unifikasi dimana tingkat
keadaan tidak terbedakan, maka tinggi dan
rendah menjadi sama, sehingga eksistensi
“Tuhan” yang tinggi dan “Kita (Makhluk)”
yang rendah menjadi suatu kesatupaduan
yang tidak terpisahkan. Dalam arti, “Aku
Ada” karena “Tuhan Ada” bukan karena
“Tuhan Ada” karena “Aku Ada” seperti
secara tidak langsung diungkapkan oleh
filsuf Rene Descartes yang terjebak tirani
akalnya dan menuhankan pikirannya
sehingga ia mengatakan “aku berpikir,
maka aku ada”.
Dalam perspektif relatif, maka apa yang
diungkapkan Rene Descartes boleh jadi
dapat diterima namun dalam lingkup yang
sangat kecil dan relatif yaitu bagi dirinya
sendiri, namun dalam perspektif absolut,
maka pernyataan itu akan mengarah pada
26
munculnya ego diri yang menjadi tabir
dirinya kepada Realitas Yang Lebih Absolut
– al-Haqq. Karena, tanpa manusiapun
Tuhan ada dengan Diri-Nya sebagai Yang
Maha Esa, Yang Kekal dan Mandiri.
Dalam pandangan “Aku ada karena Tuhan
ada” atau secara kosmologis “Adanya alam
semesta menunjukkan adanya Tuhan”
maka eksistensi makhluk teridentifikasikan
sebagai
suatu
manifestasi
dari
penampakkan Asma-asma, Sifat-sifat, dan
Af’al
Tuhan
(secara
lebih
spesifik
dinisbahkan dengan asma dan sifat
dominan ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-Hayyu,
al-Qayyum, al-Iradah dan al-Qudrah – atau
sifat Maha Berilmu); dan makhluk hanya
dapat mengenali Tuhannya jika ia mampu
mencapai tingkat ruhaniah yang halus
yaitu pada frekuensi ruhaniah dimana ia
bisa mengenali eksistensi dirinya sendiri
sebagai suatu maujud dari penampakkan
Asma-asma, Sifat-sifat, dan Af’al
Allah
SWT.
Dalam literatuf tasawuf, seperti dalam
kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah, maka
pendekatan dari atas atau top-down ini
akan menyebabkan orang mengawali dari
Allah
(al-Haqq)
dan
kemudian
27
membuktikannya dengan referensi atau
rujukan, sehingga ia menetapkan segala
sesuatu dari Asal-Mulanya [49]. Makrifat
pengenalan demikian akan menyebabkan
orang berjalan dari Kesempurnaan atau
Unifikasi Awal Mula, sehingga pemahaman
secara ilmu akan berjalan dari Allah ke
dunia atau kepada makhluk, tidak berjalan
dari makhluk ke arah Allah SWT (bottomup) yaitu yang saya ringkas menjadi relasi
Allah – Manusia – Alam Semesta sebagai
pemodelan dengan perpektif penciptaan,
lihat Gambar 1b Risalah ke-2.
Karena itu, saya tidak menyebutkan
“Tuhan Itu Ada” sebagai suatu pra-asumsi,
karena pra-asumsi dapat berarti suatu
kondisi yang masih kita duga-duga atau
belum terbukti. Selain itu, berhubung
kajian risalah ini tidak dimaksudkan untuk
menjawab apakah Tuhan ada atau tidak,
namun
lebih
dimaksudkan
untuk
menjawab adanya
hubungan antara
tindakan atau perilaku manusia seharihari
dengan
Kehendak
Allah
dan
mengungkap “ngapain sih kita di dunia ini?”
maka pra-asumsi tidak digunakan. Yang
saya gunakan adalah suatu pernyataan
keimanan sebagai Muslim yang sudah
menjadi fakta dari Al Qur’an dan Hadis
28
Nabi maupun dari pembuktian para ulama,
ahli tafsir, ahli ibadah, filosof, dan para
ilmuwan bahwa Allah itu Ada dan telah
menciptakan alam semesta beserta isinya3.
Kajian top down yang dilakukan pada
risalah ini lebih berupa uraian tentang
Kehendak Allah mulai dari perintah “Kun
Fayakuun” sampai terjadinya manusia
(dalam bentuk lahiriahnya) sebagai fokus
kajian yang ternyata merupakan suatu
entitas
atau
makhluk
yang
paling
disempurnakan oleh Allah SWT, menjadi
citra
kesempurnaan-Nya,
dan
yang
esensinya pertama kali diciptakan-Nya
sebagai Rahmaatan Lil aalamin dan Nur
Muhammad sebagai unifikasi universum
yang menaungi semua makhluk dengan
rahmat dan ridha-Nya.
4.3 Penguraian Kosmologis : Nur
Muhammad dan Big Bang
Pada tafsir “Kun Fayakuun” ini dilakukan
pendekatan dua fase yaitu fase sebelum
terjadinya
alam
semesta
fisik
dan
3
Bagi pembaca yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh berbagai
pendapat ulama, ahli tafsir, sufi, filosof, dan ilmuwan silahkan
merujuk
pada
referensi
nomor
4,5,6,7,8,12,25,27,47,58,70,71,72,74,75,76,78,80,82,83,84,85
29
sesudahnya. Bagi umat Islam, kosmologi
tentang penciptaan alam semesta sebelum
adanya pengertian kontinuum kesadaran
diri-ruang-waktu umumnya diwakili oleh
pendapat kalangan tasawuf falsafi4 seperti
Jafar al-Shadiq, Sahl al-Tustari, al–Hallaj,
Suhrawardi, Ibnu Arabi, Abdul Karim AlJilli, Al-Gazhali, Burhanpuri, al-Nabani, alFarabi, Ibnu Sina, dan beberapa sufi lain
sesudahnya.
Umumnya
pendapat
kosmologis melalui jalur tasawuf falsafi
berasal dari pandangan Ja’far al-Shadiq
dan Sahl al-Tustari yang merupakan
generasi awal sufi yang mengelaborasi
Surat An-Nuur [24] : 35 sebagai penguraian
kosmologis
dalam
penciptaan
yang
akhirnya melahirkan pandangan mistis Nur
Muhammadiyyah.
Pandangan Sahl al-Tustari ini kemudian
diperkuat lagi dengan mistisisme cahaya
yang ditemui dalam episode mi’raj dan
keadaan penglihatan atau penyaksian yang
tercantum dalam QS an-Najm [53] :1-18.
4
Tasawuf falsafi merupakan istilah keilmuan dimana unsurunsur filsafat dari berbagai aliran satu sama lain saling
mempengaruhi dan menjadi perangkat untuk menguraikan
konsep-konsep ruhaniah. Pelopornya antara lain al-Hallaj, Ibnu
Arabi, al-Farabi, dll. Tasawuf akhlak merujuk pada ilmu tasawuf
yang menekankan kepada aspek pembinaan akhlak, pelopornya
antara lain al-Muhasibi, Al-Ghazali, Abu Hasan As-Syadzili dll.
30
Sahl al Tustari (w. 283 H/986 M) dalam
beberapa literatur seringkali dianggap
sebagai
sufi
yang
pertama
kali
menyebutkan Nur Muhammad sebagai awal
mula
penciptaan.
Konsep-konsepnya
kemudian diuraikan lebih jauh oleh AlHallaj, Suhrawardi, Al-Gazhali dalam tafsir
ayat-ayat cahayanya, dan Ibnu Arabi yang
mengekplorasi lebih jauh konsep Nur
Muhammad al-Hallaj sehingga keluar
konsep
wahdat
al-syuhud
atau
musyahadah atau oleh Ibnu Taymiyah
disebut sebagai wahdat al wujud dan
manusia sempurna al-Insan al-Kamil.
Pandangan tasawuf falsafi umumnya
sepakat untuk menguraikan penciptaan
alam semesta dan semua makhluk secara
langsung
dengan
penciptaan
Nur
Muhammad
sebagai entitas makhluk
sempurna atau murni, sebagai yang
pertama kali diciptakan sebelum makhluk
lainnya. Dalam konteks fisika modern,
dapat disimpulkan bahwa konsepsi Nur
Muhammad yang ditafsirkan dari Surat AnNur [24] : 35 tidak lain dari munculnya
“cahaya awal mula” atau munculnya
kecepatan cahaya yang saat ini kita
sepakati memiliki nilai konstan diseluruh
kontinuum kesadaran-ruang-waktu. Akan
31
tetapi cahaya awal mula dari QS 24:35
memiliki orde diatas kecepatan cahaya
seperti tersirat dalam ungkapan “Cahaya
Diatas Cahaya”. Namun, karena kecepatan
cahaya
merupakan
suatu
tetapan
universal,
maka
kecepatan
tersebut
mestinya sudah ditentukan sebelum alam
semesta diciptakan, jadi “Cahaya Diatas
Cahaya” memiliki orde kuadratis yang lebih
besar daripada kuadrat kecepatan cahaya
saat ini yang menyingkapkan kesetaraan
antara materi dengan energi sebagai
prinsip penciptaan dalam keseimbangan
(QS 67:3). Rumusan kesetaraan materi dan
energi tersebut mengubah wajah dunia
ketika diimplemengtasikan secara teknologi
yang akhirnya melahirkan Bom Atom.
Dalam pengkajian selanjutnya, saya akan
membandingkan secara langsung konsepkonsep penciptaan tasawuf-falsafi secara
konseptual, dengan pengertian-pengertian
fisika modern yang ternyata mempunyai
korelasi yang jelas. Konsep-konsep seperti
materi atomis atau zarah gaib, cahaya awal
mula, Nur Muhammad, bahkan bagaimana
semua itu terjadi dengan cetusan “Kun
Fayakuun” Allah SWT ternyata mempunyai
makna
kesejajaran
dengan
beberapa
pengertian fisika modern yang nampaknya
32
diabaikan, atau luput dari tinjauan Umat
Islam kecuali secara terbatas dimana
penafsiran rasional juga digunakan oleh
Muhammad Abduh, namun dalam batasan
ketika Muhammad Abduh hidup, jadi
penafsiran rasionalnya memiliki batasbatas keberlakukan.
Kesetaraan makna tersebut ternyata bukan
sekedar kesetaraan secara filosofis saja,
namun secara konseptual eksoteris dan
fisis, terdapat kesesuaian yang nyata sekali
bahwa apa yang dimaksudkan oleh para
sufi generasi awal tentang bagaimana alam
semesta bermula yang diuraikan dari QS
24: 35, jelas-jelas dimaksudkan seperti apa
yang dipahami oleh teori kosmologis
modern saat ini, khususnya dengan model
kosmologi “teori Big Bang”. Bahkan,
pengertian yang diisyaratkan dalam QS 24:
35 tersebut sebenarnya berlaku untuk
semua proses penciptaan makhluk, bukan
sekedar penciptaan alam semesta makro
semata.
Beberapa ulama mengelaborasi QS 24:35
tersebut untuk menguraikan konsep
tentang qolbu sebagai cermin atau sebagai
esensi mikrokosmos manusia. Dan dalam
uraian
filosofisnya,
para
sufi
yang
33
menggunakan ayat cahaya juga akhirnya
menyatakan bahwa terdapat korelasi yang
erat antara manusia Adam sebagai nenek
moyang manusia dan Nabi Pertama dengan
nabi-nabi era selanjutnya dalam bentuk
Nur Muhammad. Sehingga format-format
kenabian dan kerasulan di setiap zaman
sebenarnya identik dengan kehadiran
manusia-manusia
sempurna
yang
menunjukkan jalan menuju kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan lingkupan Nur
Muhammad ini.
Dalam bentuk yang paling sempurna,
Adimanusia itu adalah Nabi Muhammad
SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia adalah wadah lahiriah
dari esensi Nur Muhammad sebagai
makhluk yang pertama kali diciptakan,
sehingga ia adalah titik optimum dari
pertemuan esensi lahir dan batin seperti
tersirat dalam QS 57:3. Dari pengertian
demikian, saya simpulkan bahwa formatformat manusia ruhani mempunyai kaitan
yang
erat
dengan
eksistensi
atau
keseimbangan jagat raya itu sendiri karena
esensi manusia sempurna sebagai wadah
Nur Muhammad berkaitan erat dengan
desain jagat raya global, baik yang gaib
34
maupun yang nyata. Jadi, bila formatformat manusia ruhani semakin berkurang
di dunia, maka keseimbangan jagat raya
akan guncang yang ditandai dengan
munculnya bencana-bencana baik yang
berasal dari bencana alam maupun
bencana akibat keteledoran manusia
sendiri.
Dalam menjelaskan penciptaan alam
semesta fisik selanjutnya, saya merujuk
kepada pendapat para ulama tafsir dan
tasawuf dan mendialogkannya dengan
hasil-hasil penelitian mutakhir dari para
saintis dan astrofisikawan yang meneliti
kosmologi. Salah satu hasil penelitian sains
modern
yang
saat
ini
mempunyai
kesesuaian yang tinggi dengan ayat-ayat Al
Qur’an dan fakta-fakta empiris penciptaan
adalah model kosmologi Big Teori Bang
(Dentuman Besar)[24.26,29] . Di dalam model
alam semesta Dentuman Besar, umumnya
para
astrofisikawan
menggunakan
pendekatan sains modern yang diwakili
oleh Teori Relativitas Einstein[37] dan Teori
Kuantum[38],
sehingga
secara
ilmu
pengetahuan kedua pendekatan ini yang
saya gunakan untuk mendukung tafsir
para ulama atas ayat-ayat kauniyah.
35
Bab 5
Pendekatan null-to-one relation digunakan
untuk menganalisis jati diri manusia
sebenarnya. Relasi ini disebut null to one
karena
dimaksudkan
sebagai
relasi
langsung Manusia – Tuhan yang tanpa
perantara. Bagaimana relasi null to one ini
terjadi? Relasi null to one bisa terjadi kalau
manusia terlebih dahulu mengenal dirinya
sendiri. Untuk bisa memahami relasi ini,
manusia terlebih dulu harus dimodelkan
terdiri dari jasmani dan ruhani atau
sebagai mikrokosmos dan nanokosmos
(wilayah qolbu).
Siapa yang mengenali dirinya pada
akhirnya
akan
memunculkan
sikap
ketiadaan dirinya (kepasrahan) dihadapan
Allah SWT. Manusia harus meng-null-kan
diri (mengosongkan diri) dari semua bentuk
kebendaan maupun kehendak atau hasrat
dirinya untuk mengenal Allah SWT sebagai
satu-satunya yang kekal atau Realitas
36
Absolut (al-Haqq). Meng-null-kan identik
dengan tercapainya suatu kesadaran
tingkat kuantum, atau dalam bahasa sufi
makrifat, sehingga manusia akan fana
didalam Kemahakuasaan Allah SWT. Fana
dalam arti totalitas dirinya menjadi
musnah
(bahkan
null)
di
hadapan
Kemahakuasaan Ilahi. Karena itu, konsep
relasi manusia-Tuhan saya sebut konsep
null-to-one dimaksudkan sebagai upaya
makrifat manusia untuk mengenal dan
sampai kepada Allah SWT; dalam format
yang lebih baku hal ini identik dengan
prinsip mendasar tauhid yaitu “Laa ilaaha
ilallaah”. Sedangkan dalam perspektif
penciptaan maka berhadapannya manusia
dengan Tuhan adalah refleksi atau cermin
atas realitas dirinya yang menjadi citra
kesempurnaan Tuhan. Untuk mengkaji
pendekatan null-to-one dalam rangka
mengenal diri sendiri digunakan kombinasi
pendekatan bottom up dan top down.
Pada pendekatan bottom up atau dari
mikrokosmos ke mesokosmos (masyarakat
dan lingkungannya), yang ditinjau adalah
berbagai aspek aktifitas fisik manusia di
Bumi beserta segala akibatnya yang seharihari kita amati baik secara personal
maupun
kolektif
dengan
melakukan
37
penelusuran terhadap kondisi ruhaniah
manusia. Pada pendekatan ini diterapkan
suatu kondisi bahwa kondisi kejiwaan
manusia mempengaruhi tindakan fisiknya :
Psikis
kolektif
Tindakan
jasmaniTindakan
Atau
NanokosmosMikrokosmosMesokosmo
s
Pada pendekatan
top down, atau dari
mikrokosmos ke nanokonos, dilakukan
penelusuran kejadian manusia sejak Allah
berkehendak
menciptakan
Nur
Muhammad, ruh sampai munculnya bayi
dengan fitrah suci dan tumbuh menjadi
manusia dengan berbagai tugas yang
diembannya dari Allah.
Disini akan
dilakukan juga penelaahan tentang asal
usul manusia khususnya Nabi Adam a.s.
baik secara historis, psikologis, maupun
teknologi
medis
kedokteran
yang
memungkinkan mengapa manusia baru
tiba-tiba muncul di muka bumi dengan
karakteristik
yang
berbeda
dengan
makhluk serupa manusia yang banyak
mengilhami Charles Darwin sehingga
38
muncul
teori
evolusi
menghebohkan itu.
biologis
yang
Di dalam pandangan Islam, terdapat
singularitas-singularitas
penciptaan
dimana
“Kun
Fayakuun”
memegang
peranan
penting
misalnya
dalam
penciptaan Nabi Adam a.s. dan Nabi Isa
a.s. Oleh karena itu, ulasan tentang asalusul manusia akan difokuskan pada
penciptaan Nabi Adam a.s. secara historis
dengan meninjau aspek sosial budayanya
yang berupa peradaban sebagai produk
proses
berfikir
sebagai
“manusia”.
Kemudian,
hasil
tinjauan
ini
dikonfrontasikan dengan pandangan dan
temuan sains modern baik dari sisi
perkembangan psikologi manusia maupun
dari ilmu pengetahuan dan teknologi
medis-biologis yang ada saat ini. Tinjauan
demikian kemudian disilangkan dengan
hasil tinjauan dari pertanyaan mendasar
“kenapa Allah SWT menciptakan manusia?”
dan “tugas-tugas apa yang diemban oleh
manusia menurut pandangan Al Qur’an?”.
Selain itu, ditinjau juga kondisi-kondisi
psikologis
ruhaniah
apa
yang
mempengaruhi selama hidupnya yang
dalam pengertian Islam berkaitan dengan
sunnatullah jiwa manusia.
39
Titik temu dari semua tinjauan tersebut
tidak lain adalah suatu kondisi ideal
manusia sebagai makhluk yang diciptakan
dengan optimal dibandingkan dengan
makhluk ciptaan lainnya. Dalam literatur
klasik Islam manusia ideal yang optimal ini
disebut juga sebagai Insan Kamil, Manusia
Sempurna, atau Adimanusia sebagai sosok
makhluk yang mencapai kesempurnaan
baik jasmani maupun ruhani.
Konsep Insan Kamil dari segi teologis dan
filosofis Islam erat kaitannya dengan
konsep dan abstraksi Nur Muhammad
sebagai makhluk awal mula. Konsep Nur
Muhammad
sebagai
“makhluk
yang
pertama kali diciptakan Allah SWT atau
Akal
Pertama”
sangat
mendominasi
pandangan
tasawuf-falsafi
dimana
disebutkan
bahwa
Nur
Muhammad
merupakan
Nur
Illahiah
yang
memungkinkan
manusia
mencapai
maqamat atau tingkat ruhaniah sebagai
Insan Kamil. Konsep demikian selanjutnya
akan saya elaborasi lebih jauh di risalahrisalah selanjutnya dengan meninjau
berbagai pandangan tasawuf-falsafi.
40
Bab 6
Untuk mengkaji aspek psikis akan
dilakukan pengenalan manusia sebagai
makhluk psikologis dan ruhani dengan
melakukan kajian berdasarkan Al Qur’an
yang dikenal sebagai psikologi Qur’ani [40].
Aspek psikis manusia dapat kita uraikan
menjadi:
Mengenal Allah  Qolbu
Uraian aspek psikis ini berlaku vertikal dan
kearah dalam. Pengertian vertikal disini
adalah tegak lurus arah panah waktu
nyata kita yaitu menuju ke atas dengan
memahami penciptaan alam semesta dan
diproyeksikan kearah dalam menuju qolbu
kita atau memahami kita sendiri karena
melibatkan suatu aspek penting manusia
yaitu kondisi ruhaniah atau kesadaran diri
yang paling tinggi untuk mengenal Allah
SWT.
41
Sedangkan aspek tindakan jasmani dapat
diuraikan menjadi:
Mematuhi/MenolakTindakan
Positif/Negatif
Hubungan
ini
menunjukkan
aspek
horisontal manusia yaitu sikap dan tabiat
manusia yang melahirkan tindakannya
secara individual atau pribadi, yang pada
akhirnya akan berujung kepada tindakan
kolektif
karena
resonansi
tindakan
manusia
yang
berhubungan
dengan
manusia
lainnya
atau
dengan
lingkungannya (alam dan manusia).
Kalau kita gabungkan kembali kedua
hubungan
diatas
diperoleh
model
hubungan vertikal-horisontal yang pada
akhirnya akan mempengaruhi tindakan
manusia sehari-hari. Dengan pendekatan
top down (Tuhan-Manusia), dari model
hubungan vertikal-horisontal diperoleh
relasi
“tindakan
positif
manusia”
(selanjutnya disingkat relasi TPM) sebagai
berikut :
mengenal AllahQolbu
Jernihmematuhi AllahTindakan
42
Positif Manusia.
Sedangkan, relasi vertikal-horisontal yang
menyebabkan relasi “tindakan negatif
manusia” (selanjutnya disingkat relasi
TNM) dapat digambarkan sebagai berikut :
tidak mengenal AllahQolbu
Pekatmenentang AllahTindakan
Negatif Manusia.
Pada hakikatnya, TPM memang sudah
kehendak Allah. Sedangkan pada TNM
manusia tidak mengenal Allah sehingga
semua
tindakan
negatifnya
muncul
semata-mata karena perbuatannya sendiri.
Dalam hal ini, terjadi kepatuhan atau
penentangan
atas
kehendak
untuk
menjalankan perintah-perintah Allah yang
dipengaruhi oleh interaksi internal dan
eksternal yang terjadi dalam diri manusia.
Apakah manusia kemudian membangkang
atau mematuhi perintah akan dipengaruhi
oleh kehendak bebas manusia dalam
melakukan penalaran, pemilahan, dan
menentukan pilihan tindakannya. Dengan
kata lain manusia tetap bertanggung jawab
atas semua yang dilakukannya di dunia.
Hasilnya
akan
menentukan
apakah
43
manusia kemudian mampu mengenal
dirinya dan Tuhannya atau terhijab sama
sekali.
Qolbu jernih atau pekat merupakan
ungkapan dimana kondisi ruhaniah atau
kesadaran diri manusia berada didalam
TPM atau TNM. Secara hakikat, tindakan
yang baik maupun yang buruk semuanya
terjadi atas Kehendak Allah SWT. Namun
hal ini jangan dipahami secara Qadariyah
ataupun Jabariyah karena dari awal kita
sudah diberi potensi dengan akal dan
mempunyai kewenangan (kehendak bebas)
bertanggung
jawab
untuk
mengembangkan potensi yang seimbang
guna mengenali dan memilah milih mana
yang baik dan mana buruk.
Sedangkan pada pendekatan bottom-up
(manusia-Tuhan) diperoleh relasi TPM
sebagai berikut:
Tindakan Positif Manusiamematuhi
AllahQolbu Jernihmengenal Allah
Relasi TNM digambarkan sebagai berikut :
Tindakan Negatif Manusia menentang
44
AllahQolbu Pekattidak mengenal
Allah
Manusia akan dapat mengenali Allah bila ia
mampu menyadari bahwa semua tindaktanduknya berasal dari hawa nafsu dan
syahwatnya. Hawa nafsu dan syahwat ,
atau dalam bahasa Arab disebut nafs,
merupakan hasrat hati yang sifatnya
duniawi.
Emosi seperti amarah, rasa takut, dan
keserakahan berasal dari nafs ini. Bila
nafsnya dapat dikuasai dan dikendalikan
maka qolbunya jernih, manusia dapat
mengenali bahwa dirinya adalah citra-Nya,
sehingga bila qolbu selalu bening ia bisa
mengenali Allah. Nafs yang terkuasai dan
terkendali disebut jiwa yang tenang atau
hati ruhaniah manusia. Namun, jika
manusia dikuasai nafs ammarah, maka
qolbunya dipenuhi kotoran-kotoran yang
membuatnya menjadi gelap pekat. Ia tidak
bisa bercermin untuk mengenal dirinya
dan mengenali Allah.
Semua tindakan negatif manusia yang
dipenuhi
keinginan
duniawi
muncul
sebagai akibat nafs ammarah
yang
menguasai jiwanya. Kita memahaminya
45
sebagai tindakan manusia yang muncul
akibat berbagai bisikan syeitan, syahwat
yang memuncak, dan nafsu amarah yang
mengarah kepada pemenuhan kebutuhan
jasmaniah atau biologisnya semata. Atomatom tubuh kita terus-menerus bergetar,
getaran itu memunculkan gesekan antar
atom dan partikel tubuh, muncul panas
sehingga panas tubuh kita yang esensinya
sama dengan asal Iblis yaitu api hasil
gesekan antar partikel materi mudah
disusupi
(istilah
teknisnya
mudah
beresonansi) sehingga tanpa sadar kitapun
dikuasainya atau malah berkelindan
melahirkan syeitan.
Pada kondisi demikian, qolbu manusia
tertutupi
gambar-gambar
kebendaan.
Akibatnya,
manusia
tidak
mau
memanfaatkan kehendak bebasnya untuk
melakukan tindakan positif. Apa yang
menyebabkan manusia mengenal atau
tidak mengenal dirinya dan Allah sebagai
Tuhannya Yang Maha Esa, pada akhirnya
merupakan suatu proses pembelajaran dan
pembinaan ruhaniah dirinya, sebagai
upaya untuk menyelaraskan tindakannya
dengan sunnatullah, semua perintah Allah
dan larangan-Nya dan sunnatulrosul
sebagai manifestasi nyata kehendak Allah
46
SWT.
Gambar 2. Allah sebagai pusat tujuan
aktivitas manusia
47
Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil
dalam menelaah aktifitas manusia secara
psikis dan fisik, Allah SWT sewajarnya
48
menjadi pusat, awal dan tujuan akhir
aktivitas
manusia
tersebut,
menjadi
motivasi utama, menjadi medan gravitasi
ruhani dan jasmani, sehingga secara
langsung aktifitas-aktifitas manusia harus
selaras untuk mematuhi Kehendak Allah
SWT. Itulah yang dimaksud dengan
sampai kepada Allah SWT. Kendati
manusia dikaruniai kehendak bebas,
namun fitrah suci semua manusia adalah
mengenal Allah SWT sebagai penciptanya
dan sampai kepada-Nya.
49
Bab 7
Dalam pandangan agama Islam, hirarki
integralistik
(kesatupaduan)
manusia
secara keseluruhan akan membentuk
sosok Pribadi Muslim. Secara kolektif,
kumpulan-kumpulan aktivitas ini akan
membangun suatu peradaban manusia
yang Islami, yang membina hubungan yang
serasi antara manusia dengan dirinya,
manusia dengan manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan Tuhannya yaitu
Masyarakat Islam. Pandangan filsafat
integralistik Armahedi Mahzar [31] untuk
manusia menguraikan konsep hirarkis di
atas secara lebih rinci sebagai suatu
kesatupaduan Pribadi Muslim adalah :
roh – keyakinan – kesadaran – kelakuan –
badan
Dimana kesatupaduan ini sejajar dengan
kesatupaduan peradaban Islam yang terdiri
dari :
50
Qur’an – din – hikmat – tamaddun –
ummat
Jadi, secara aktual Peradaban Islam dan
secara lebih khusus saya arahkan kepada
Bangsa
Indonesia,
peradaban
atau
kemajuan bangsa ini akan tercapai secara
Islami bila individu-individu di dalamnya
merupakan Pribadi Muslim (dalam arti
yang khusus dan spesifik Pribadi Muslim
mestinya adalah mereka yang beragama
Islam, namun secara universal Pribadi
Muslim bisa saja seseorang yang memiliki
akhlak yang sesuai dengan ajaran-ajaran
agama Islam namun tidak beragama Islam)
yang mengarahkan aktifitasnya sematamata untuk memenuhi peranannya sebagai
abdi atau hamba Allah dan pengemban
amanat Allah SWT.
Apakah menjadi khalifah dalam lingkup
personal, keluarga, atau dalam lingkup
yang lebih luas semua aktifitasnya harus
diarahkan dengan pijakan awal dan akhir
dari dan untuk mencapai tujuan utama
yang absolut yaitu sampai kepada Allah
SWT dengan penghambaan sebagai hamba
Allah
semata.
Pencapaian-pencapaian
lahiriah hanya sekedar ekses (efek
51
sampingan) dari aktivitas manusia dalam
rangka mencapai tujuan absolutnya yaitu
sampai kepada Allah SWT.
52
Bab 8
Kesatupaduan manusia,
alam semesta,
dan Tuhan membawa kita kepada doktrin
tasawuf yang populer “Kenalilah dirimu,
maka engkau akan kenal Tuhanmu”. Untuk
bisa mengenal Tuhan, disyaratkan untuk
mengenali diri kita sendiri. Pengenalan
yang
bagaimana
supaya
kita
bisa
mengenali diri secara tuntas? Hal
ini
merupakan wilayah kajian tasawuf dimana
terletak aktivitas pembinaan unsur-unsur
lathifah (halus) manusia sehingga bisa
mengenali
esensi
spiritualnya
atau
kesadaran dirinya yang optimum sebagai
hamba Allah dilakukan. Namun, sebelum
lebih lanjut menguraikan pemahaman
sufistik ini, kita memerlukan piranti
pengetahuan metafisika yang akan menjadi
jembatan untuk memahami dunia spiritual
dan dunia wujud fisikal.
Untuk bisa mengenal tuntas hubungan ini
kerangka
filsafat
integralistis
sangat
membantu sebagai upaya mengetahui
53
peran manusia sebagai individu maupun
secara
kolektif.
Filsafat
integralisme
pertama kali saya kenal kurang lebih
duapuluh satu tahun yang lalu melalui
tulisan Armahedi Mahzar [31] “Integralisme :
Suatu Rekonstruksi Filsafat Islam” yang
diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada tahun
19835.
Dalam pandangan integralisme, realitas
wujud adalah suatu keserbasusunan dan
kesatupaduan dari segala sesuatu yang
ada: Yang Mutlak dan Esa, yang nisbi dan
beraneka.
Kesatupaduan
ini
disebut
“integralitas wujud” atau “kesatupaduan
realitas”.
Dasar dari kesatupaduan realitas itu
adalah dua buah asas perjenjangan yang
saling tegak lurus satu sama lain. Kedua
perjenjangan itu adalah perjenjangan
mendatar
(hirarki
horisontal)
dan
5
Jadi, waktu itu penulis memang masih awal SMA, entah
bagaimana dan barangkali sudah menjadi kehendak Allah, buku
berjudul “Integralisme” karangan Armahedi Mahzar dan buku
karangan Idries Shah “Hikmah Dari Timur” merupakan bukubuku pertama saya yang berhubungan dengan dunia filsafat dan
tasawuf. Selepas SMA, beberapa buku filsafat dan tasawuf
lainnya yang saya miliki saya sumbangkan ke seorang teman
yang aktif mengelola kelompok remaja masjid Salman di
Bandung.
54
perjenjangan menegak (hirarki vertikal).
Perjenjangan
mendatar
wujud
dinyatakan sebagai perjenjangan:
dapat
Manusia - Alam Semesta - Allah
atau uraian yang lebih terinci adalah
sebagai perjenjangan:
Diri Pribadi- Masyarakat - Alam Nyata Alam Ghaib - Allah
Kalau kita lihat, perjenjangan ini tidak lain
merupakan penguraian dari polarisasi
(pengutuban) wujud yang sudah sejak lama
dikenal dan tersirat di dalam al-Qur’an
sebagai hubungan antara hamba dengan
Tuhannya atau “‘Abd Allah”:
Ciptaan - Maha Pencipta
Hubungan diatas bukan sekedar hubungan
kausalitas semata, namun maknanya yang
hakiki akan berkaitan erat dengan suatu
kondisi awal mula bagaimana Tuhan
pertama kali menciptakan makhluk-Nya
dimana secara konseptual akan dinyatakan
bahwa semua makhluk pada hakikatnya
adalah
Hamba
Allah.
Akan
tetapi,
55
aktualisasi sebagai Hamba Allah hanya
akan dinisbahkan pada manusia dan jin.
Sedangkan amanat penciptaan dimana
makhluk menerima Pengetahuan Tuhan
dengan optimum hanya diberikan kepada
manusia
sebagai
Hamba
yang
menyingkapkan hubungan dirinya dengan
Tuhannya. Oleh karena itu, kesempurnaan
dan kemuliaan manusia dibandingkan
makhluk lainnya mencerminkan kemuliaan
dari Penciptanya, atau secara azali ide
penciptaan oleh Tuhan dikarenakan Dia
hendak
mengenal
Diri-Nya
dalam
penampilan-Nya yang Maha Agung dan
Maha Indah yaitu manusia dengan
perjanjian pra-eksistensi dengan-Nya atau
Qalb al-Mu’minun sebagai Cermin Allah
yang pertama.
Perjenjangan
menegak
wujud
dinyatakan sebagai perjenjangan:
dapat
Fisik - Non Fisik - Metafisik
atau dalam uraian yang
merupakan perjenjangan :
lebih
terinci
Materi – Energi – Informasi – Nilai Sumber
56
Perjenjangan
ini
polarisasi dari :
merupakan
hasil
Eksistensi - Esensi
Eksistensi adalah keterkaitan maujud yang
tidak secara langsung dinyatakan secara
homogen namun secara bertingkat dan
bertahap
sebagai
suatu
tatanan
Pengetahuan. Oleh karena itu Allah adalah
Rabbul
‘Aalamin
sebagai
Pencipta,
Pemelihara,
dan
Pendidik
dimana
manifestasi-Nya itu akan melekat disemua
makhluk ciptaan secara hirarkis vertikal,
dari yang Ghaib menjadi Yang Nyata.
Yang Nyata adalah penyebutan dari sisi
yang dikatakan kemudian sebagai yang ada
secara lahiriah yaitu yang memahami
Asma, Sifat dan Af’al-Nya. Jadi, eksistensi
ini berkaitan dengan aktualisasi Allah
sebagai “Akal Awal” yang dinisbahkan
kepada manusia sebagai akal yang mampu
mengikat
dan
menguraikan
atribut
penampilan Allah yaitu Asma, Sifat dan
Af’al menjadi Pengetahuan Tentang Allah
serta titik tolaknya yaitu Penauhidan atau
Prima Kausa atau Aksioma Mutlak Benar
yaitu bilangan 1 sebagai simbolisme
penegak pertama yaitu Tuhan Yang Maha
57
Esa. Sehingga hal itu berkaitan dengan
eksistensi
manusia
sendiri
sebagai
pengemban amanat atau penyebutan
“manusia
(al-Insaan)”
yang
layak
diterapkan kepada makhluk yang berakal
pikiran, mempunyai hati, dan digunakan
sebagai
suatu
instrumen
mengenai
Penciptanya.
Pada akhirnya proses perjalanan ruhani
manusia yang sadar akan eksistensi
dirinya akan berkaitan dengan Esensi
Ilhiyah dalam dirinya yaitu Tuhan yang
menciptakannya.
Yang
tidak
mau
mengetahui ataupun tahu tapi tidak
mengakui dirinya diciptakan disebut
sebagai Iblis (QS 18:51). Karena tatanan
maujud
yang
diciptakan
bersifat
Eksistensial yang berjenjang berupa suatu
tatanan Pengetahuan Tuhan atau al‘Aalamin, maka semua proses yang disebut
“penciptaan” akan berkaitan dengan “suatu
proses
dalam
kesadaran-ruang-waktu”
dimana
manifestasi
“Allah,
Rabbul
‘Aalamin” akan tampil nyata yaitu makhluk
ciptaan-Nya
maupun
manusia
yang
mampu mengadopsi Pengetahuan Tuhan.
Sehingga peran manusia menjadi Wakil
Tuhan di muka bumi akan berkaitan
dengan
cara
bagaimana
manusia
58
berkembang
dan
memahami
proses
kejadian dirinya dari esensi makhluk yang
pertama kali yaitu makhluk beriman dan
akhirnya tumbuh sebagai makhluk yang
berakal pikiran yang dilabeli sebagai
“’Adam, an-Naas, manusia, al-Insaan, alMukmin, dan al-Mukminun”. Ia sebagai
makhluk bernama manusia memiliki
kemuliaan jiwa yang murni sebagai fitrah
asal yang disebut “insaana fii ahsaani
taqwiim”, dan dengan panduan akalnya,
hatinya dan Qalam yang berserah diri
dihadapan Realitas Ketuhanan akhirnya ia
mampu mengenal dan kembali kepada
Tuhannya.
Oleh karena itu apa yang disebut proses
evolusi maupun revolusi sejatinya proses
penciptaan
dimana
manusia
pun
mengalaminya dalam skala yang telah
ditetapkan sebagai suatu batasan-batasan
yang telah disepakati yaitu definisi
“manusia” itu sendiri dan “makhluk
lainnya” misalnya binatang, tumbuhan,
atau yang lainnya. Hal ini perlu dipahami
untuk mengubah pengertian kita tentang
“penciptaan itu sendiri” yang sering
disalahpahami seolah-olah “harus muncul
langsung begitu saja tanpa proses”, padahal
maksud Tuhan ketika makna “penciptaan”
59
diperkenalkan sejatinya mencerminkan arti
“Allah, Rabbul ‘Aalamin” sebagai:
“Pencipta semua makhluk-Nya dalam
tatanan esensial atau elementer
dimana inderawi fisikal manusia tak
berfungsi” yang menjadi cermin
langsung Tuhan yaitu makhluk
beriman (belum dikatakan bahwa
makhluk itu adalah manusia) yang
menyaksikan ke-Esa-an,
Pemelihara semua Makhluk-Nya secara
langsung dalam suatu sistem yang
berproses (adanya pengertian waktu
yang kelak akan memicu kesadaran
ketika kecerdasan makhluk mulai
dapat mengenal alam), dan
Pendidik semua Makhluk-Nya yang
berjalan tidak serba instan tetapi
melalui
suatu
proses
belajar.
Sehingga ciri-ciri keserbainstanan
sebenarnya bukan menunjukkan
makna “penciptaan” yang dimaksud
dalam wilayah eksistensi bentuk
benda yang nyata dan komplek
namun wilayah esensial (makhluk
elementer yaitu Ruh).
Pengertian instan yang diadopsi saat ini
seringkali menjebak kita dalam dilema
60
“telur
dan
ayam”
sebagai
“model
penciptaan” padahal ungkapan tersebut
telah diselewengkan oleh Iblis yang
menunggangi nafsu manusia yang memang
tidak tahu bagaimana dirinya (Iblis)
diciptakan (Qs 18:51). Idiom “telur dan
ayam” pada akhirnya adalah idiom
Aristotelian yang mengalami kebuntuan
sehingga akal pikirannya yang sejatinya
bisa jernih tidak mau berserah diri,
akhirnya
malah
menelikung
akal
pikirannya dan membuka wacana filsafat
materialisme selama ribuan tahun tentang
misteri “kata-kata” yang dikenal sebagai
“penciptaan” namun wilayah penerapannya
bukan wilayah esensial sehingga contoh
yang digunakan Aristoteles adalah “Model
Telur
dan
Ayam”
yang
sebenarnya
penerapannya terbatas atau kalaupun
dimaksudkan
untuk
menjadi
model
penciptaan sejatinya harus dikatakan
siapakah
pencipta
makhluk
yang
menyebutkan bahwa benda berbulu yang
berkotek-kotek disebut “Ayam” dan yang
muncul dari badannya disebut “telur”.
Artinya mestinya model penciptaan itu
merujuk
kepada
manusia
sendiri
“Siapakah aku? Darimana asalku? Sejak
kapan aku berkata-kata dengan geometri,
bilangan dan huruf? Bagaimana caranya
61
bisa begitu kok mau-maunya diindoktrinasi
dengan simbol-simbol? Apa arti suatu
simbol? Lantas mau kemanakah aku? Dan
ngapain di dunia ini?”. Jadi, pertanyaan
mendasar
tentang
penciptaan
harus
ditujukan kepada :
Siapakah yang membuat istilah bahwa
makhluk berbulu itu disebut “ayam”
dan makhluk yang muncul dari
pantat ayam disebut “telur”?
Siapakah yang mengajarkan makhluk
pemberi
istilah
itu
(sekarang
makhluk
itu
disebut
manusia)
berkata-kata,
lantas
kapan
dimulainya? (simak makna QS 55:14)
Siapakah yang memperkenalkan sistem
ilmu pengetahuan dengan landasan
Aksioma Mutlak Benar bilangan 1
sehingga bilagan 2,3,4,5 dan yang
lainnya muncul? Lantas sejak kapan
muncul geometri dan huruf? Setelah
itu diketahui baru muncul istilah
kebahasaan ini “ayam” dan itu
“telur”.
Lantas bisakah model “ayam dan telur”
dijadikan sebagai “suatu model
penciptaan”?
62
Sejauh mana berlakunya dan pantaskah
dijadikan argumentasi filosofis dalam
wilayah
eksistensial
maupun
esensial.
Dari uraian diatas akan terlihat bahwa
keberlakuan “model telur dan ayam”
ternyata sangat lemah bahkan sama sekali
“tidak valid” untuk dijadikan sebagai
“model penciptaan” karena ternyata hanya
sebatas kulit cangkang telur dan bulu
ayam semata yang nampak dari mata
inderawi lahiriah di siang hari. Sedangkan
esensi telur dan ayam sendiri akhirnya
akan tertabiri karena eksistensi ayam
terdiri suatu tatanan makhluk lainnya
yaitu susunan organ, sel, jaringan, gen,
molekul, atom, quarks dan akhirnya
siapakah esensi ayam dan telur? Maka
dalam wilayah esensial terdapat pengertian
tentang “Esensi Ilahiyah” atau “‘Ain Yang
Maujud” merupakan rahasia dari semua
hamba Allah yang dimaujudkan dari
kehendak dan keinginan yang paling
esensial sebagai perintah Tuhan yang tak
bisa dibantah.
Secara lebih sederhana, kerjasama antara
asas perjenjangan horisontal dan vertikal
merupakan suatu matriks susunan wujud
63
yang dikonsepkan Armahedi Mahzar terdiri
dari lima buah baris integralitas mendatar
yaitu :
a) Kesatupaduan
serbasusunan
(integralitas struktural)
b) Kesatupaduan
serbagerakan
(integralitas dinamikal)
c) Kesatupaduan
serbaperanan
(integralitas fungsional)
d) Kesatupaduan
serbalandasan
(integralitas fundamental)
e) Kesatupaduan saripati (integralitas
esensial)
dan
lima
buah
kolom
integralitas
menegak:
a) kesatupaduan
diri
pribadi
(integralitas mikrokosmis)
b) kesatupaduan budaya masyarakat
(integralitas mesokosmis)
c) kesatupaduan
alam
semesta
(integralitas makrokosmis)
d) kesatupaduan
aneka
alam
(integralitas suprakosmis)
e) kesatuapaduan
Maha
Pencipta
(integralitas metakosmis)
Kesatupaduan yang diuraikan menurut
filsafat integralisme merupakan suatu
tinjauan kosmologis yang utuh untuk
mengkaji berbagai aspek keseimbangan,
64
keteraturan, ketertalaan, keserbasusunan,
dan kesatupaduan yang kita jumpai di
berbagai tatanan alam semesta dengan
menggunakan Allah SWT sebagai pusat
sekaligus tujuan akhir dari semua aktivitas
yang dilakukan di tataran mikrokosmis.
65
Bab 9
Kalau kita tinjau uraian dasar filsafat
integralisme
di
atas,
maka
uraian
integralisme merupakan hasil sintesa dari
pandangan-pandangan
sufistik-filosofis
yang awalnya berasal dari Sahl al-Tustari,
kemudian dikembangkan oleh al-Hallaj dan
Ibnu Arabi dimana konsepsi hubungan
“Manusia-Tuhan” atau “Lahut-Nasut” (alHallaj) dan “Makhluk-Pencipta” atau “Khalq
- al-Haqq” (Ibnu Arabi) merupakan dua
rupa suatu hakikat atau lebih populer
dengan sebutan “Wahdat As-Syuhud atau
Musyahadah” [34] atau menurut Ibnu
Taymiyah
“Wahdat-al-Wujud”.
Menurut
William C. Chittik[30],
istilah “syuhud”
atau “penyaksian”
yang dinisbahkan
kepada Syekh Ibnu Arabi sebenarnya
berkaitan erat dengan konsep-konsep
sufistik
yang
berhubungan
dengan
peniadaan atau fana. Istilah syuhud
mengingatkan kita kepada salah satu
Asma-asma Allah yaitu yang Maha
Menyaksikan atau al-Syahid karena “tiada
saksi kecuali Yang Maha Menyaksikan”.
66
Penyaksian secara umum dapat diartikan
sebagai melihat, namun tidak hanya
dengan mata, tetapi juga dengan hati,
sebagai suatu esensi ruhaniah manusia
dimana kesadaran dan keinsafan berada.
Penyaksian seringkali juga disamakan
dengan penyingkapan atau kasyf, yaitu
tersingkapnya selubung yang ada diantara
makhluk
dengan
al-Haqq.
Hal
ini
membutuhkan suatu kesadaran yang
disebut dengan kesaksian, akan tetapi
tidak membutuhkan kesadaran-diri secara
penuh. Di dalam penyaksian maka akal si
penyaksi tidak berfungsi, oleh karena
kondisi
penyaksian
terjadi
dalam
peniadaan (kefanaan), sehingga semua
kemampuan fisis-biologis manusia lumpuh
dan hilang. Kendati kemampuan akal
masih berperan, dalam penyaksian maka
berbagai kemampuan akal tidak memiliki
pengaruh
apapun
dan
tidak
bisa
menghindari penyaksian tersebut karena
memang dimaksudkan hanya kepada si
penyaksi yang jadi obyek penglihatan Allah,
dan oleh karena itu penyaksian demikian
bersifat anugerah dan tak bisa dipaksakan
dari keinginan diri sendiri. Oleh karena itu,
Ibnu Arabi mengatakan bahwa jejak
penyaksian hanya akan ditinggalkan di
dalam hati sang penyaksi. Artinya,
67
instrumen penyaksian itu tidak lain adalah
hati atau qolbu yang jernih dan bening
sesuai dengan hadis nabi yaitu qolbu yang
menjadi singhasana Allah. Di dalam Al
Qur’an hal ini diungkapkan ketika Nabi
Muhammad mengalami mi’raj sehingga
Allah berfirman bahwa “Hatinya tidak
mendustakan apa yang dilihatnya” (QS
53:11).
Istilah wahdat al-wujud atau “Kesatuan
Wujud”
dalam sejarah Islam sempat
mengundang perhatian dan polemik.
Ekspresi yang diwakili dengan istilah
wahdat al-wujud atau “Kesatuan Wujud”
yang disodorkan oleh Ibnu Taymiyah
sebenarnya tidak pernah ditemukan dalam
karya-karya Ibnu Arabi. Akan tetapi
seringkali Ibnu Arabi membuat pernyataanpernyataan yang serupa dengan pengertian
wahdat al-wujud atau kesatuan wujud.
Menurut William C. Chittik, yang tekun
meneliti karya-karya Ibnu Arabi,
ia
cenderung berpendapat bahwa dari segi
ontologis sebenarnya ide wahdat al-wujud
tidak dapat dinisbahkan kepada Ibnu Arabi
karena
iapun
seringkali
menyatakan
tentang “kejamakan realitas”. Pengertian
dasar dari kata wujud adalah “menemukan”
atau “ditemukan” karena berasal dari
68
bentuk mashdar dari wajada (menemukan)
atau wujida (ditemukan) yang berasal dari
akar kata WJD. Sekali lagi, dilema model
dunia ilmiah memang muncul ketika
manusia hanya sekedar menjadi pengamat
atau
komentator
bukan
menjadi
pembanding pengalaman langsung. Pada
akhirnya yang muncul adalah perang
istilah keilmuan yang justru tidak mampu
banyak berperan untuk memahami suatu
penyaksian
bahkan
lebih
banyak
munculnya
kesalahpahaman.
Tanpa
penelahaan
kritis
kesalahpahaman
akhirnya
akan
muncul
sebagai
penghujatan, penyesatan, yang bermuara
kepada ketidaksalingmengertian.
Ibnu Arabi seringkali menggunakan istilah
wujud dalam pengertian yang beragam
karena dia memahami istilah tersebut
dengan pengertian-pengertian yang paling
elementer atau mendasar yang jamak,
kemudian menyajikan fakta bahwa wujud
adalah satu. Pada tingkatan tertinggi wujud
adalah adalah al-Haqq, realitas Tuhan yang
absolut dan tidak terbatas yakni Wajib alWujud (Wujud Niscaya). Dalam pengertian
demikian, maka wujud menandakan Esensi
Tuhan atau Hakikat (Dzat al-Haqq) sebagai
satu-satunya realitas yang nyata di setiap
69
sisi. Sedangkan pada tingkat paling
rendah, wujud berupa substansi yang
meliputi “segala sesuatu selain Tuhan” (ma
siwallah)[30], artinya semua makhluk
sejatinya maujud dari penampakkan
Tuhan.
Dengan
cara
demikianlah
kemudian Ibn Arabi melakukan integrasi
vertikal (bottom up) mendefinisikan kosmos
atau alam semesta (al-Aalamin) sebagai
kesatupaduan wujud-Nya.
Pengertian wujud berlaku sebagai suatu
kesatupaduan integralistis untuk semua
eksistensi dari tatanan mikrokosmos
sampai makrokosmos. Pengertian demikian
serupa dengan hirarki kealaman yang
terstruktur dari alam gaib sampai nyata,
dimana yang nyata ditopang oleh tatanan
dibawahnya sehingga akhirnya semua
maujud makhluk ditopang oleh yang gaib.
Kalau masih bingung juga, ambillah antena
radio jaman dulu yang berupa silinder
berjenjang dengan diameter yang berbeda,
lalu tarik dan panjangkan sampai yang
diameternya kecil menjadi ujungnya, lalu
masukkan lagi, begitulah kira-kira maksud
integralitas maujud yang dimaksud Ibnu
Arabi.
70
Kalau kita kaitkan dengan pengertian fisika
modern, dimana semua materi elementer
sampai obyek merupakan hasil dari ikatanikatan
cahaya
sebagai
gelombang
elektromagnetik, maka wujud juga dapat
dipahami sebagai nur atau cahaya. Sebagai
nama yang merujuk kepada sifat-sifat
kelilahian, wujud sebagai Nur Ilahi atau
Cahaya
Ilahi
memiliki
karakteristikkarakteristik tertentu yang memang sudah
dikuantifikasikan
atau
ditentukan
kadarnya. Dialam semesta fisik, maka nur
atau cahaya ilahi dipahami sebagai suatu
entitas yang berada dalam bentuk kuanta
cahaya (foton) seperti lazimnya pengertian
cahaya dalam fisika modern.
Boleh jadi di alam gaib nur atau cahaya
ilahi ini tidak berbentuk cahaya seperti
yang kita kenal sekarang ini sebagai energi
gelombang elektromagnetik atau foton,
mungkin
malah
lebih
cepat
atau
kecepatannya beberapa kali kecepatan
cahaya di alam fisik karena masih dalam
bentuknya yang primordial dimana gayagaya alam masih merupakan unifikasi
(gabungan). Namun, boleh jadi juga
fenomenanya serupa benar sebagai suatu
prinsip dasar hukum-hukum alam, namun
71
mempunyai frekuensi yang sangat tinggi
dan rendah secara bersamaan.
Cahaya yang terpahami oleh penghuni
bumi adalah cahaya dalam spektrum
cahaya tampak yang dibangun dari warna
dasar Red-Green-Blue (RGB). Dalam bentuk
yang
murni,
maka
cahaya
akan
menghancurkan karena frekuensinya yang
sangat tinggi misalnya cahaya ledakan
karena fusi nuklir. Dalam pengertian fisika
maka spektrum ultra ungu adalah
frekuensi cahaya yang mematikan makhluk
hidup sehingga bumi harus ditabiri oleh
atmosfir agar cahaya yang sampai ke
permukaan bumi mampu mendukung
keberadaan makhluk hidup. Cahaya Ilahi
sebagai cahaya yang murni adalah cahaya
yang tidak dapat kita indera dengan semua
sistem penginderaan, baik indera alamiah
kita maupun dengan sensor buatan.
Dengan kata lain, Cahaya Ilahi yang hakiki
akan memusnahkan segala sesuatu yang
oleh kita disebut benda-benda yang bersifat
materialistik, ketika hal itu terjadi maka
semua eksistensi kemakhlukan secara
eksistensial ada namun secara esensial
menjadi tidak ada karena yang tampil
hanyalah Wajah Allah semata.
72
Baik cahaya murni dalam frekuensi yang
paling tinggi maupun paling rendah yang
tidak terpetakan dalam spektrum cahaya
tampak yang dikenal masyarakat modern,
maka cahaya murni bersifat gaib dalam
dirinya sendiri. Jadi, wujud pun demikian
juga, wujud sebagai Dzat al-Haqq tidak
dapat diindera dalam dirinya sendiri,
namun tiada sesuatupun yang dilihat
tanpa wujud; atau kita sebenarnya tidak
melihat hal lainnya kecuali wujud yang
menjadi kasat mata karena adanya
selubung atau batas-batas yang sudah
ditetapkan-Nya (yakni kecepatan cahaya
dan konstanta Planck sebagai batas-batas
kehidupan fisikal manusia). Batas-batas
itulah yang membatasi semua pencerapan
inderawi makhluk pada masing-masing
spektrum wilayahnya, sehingga manusia,
binatang, dan wujud yang bersifat materi
maupun energetis seperti jin mampu
dilihat oleh manusia. Namun, ada juga
wujud yang tidak atau belum dapat dilihat
dengan panca indera atau pun dengan
peralatan
buatan
manusia
kendati
pengaruhnya sangat kita rasakan misalnya
seperti
gelombang
gravitasi
yang
membangun medan gravitasi, partikelpartikel elementer yang diduga ada dan
disebut sebagai materi-gelap, sampai
73
ketatanan dunia kuantum yang disebut
gelembung-gelembung
dan
buih-buih
kuantum sebagai struktur dasar alam
semesta yang berbentuk hexagonal (segi
enam dengan satu titik tengah, jadi
menunjukkan hirarki 7 titik dalam satu
kesatuan seperti sarang laba-laba dalam
QS 29:41), hingga akhirnya sama sekali
lenyap atau Gaib Mutlak, dan senyatanya
eksistensi semua wujud kemudian adalah
maujud dari ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-Ilm,
al-Iradah, al-Qudrah-Nya dan asma serta
sifat-sifat Allah lainnya yang menunjukkan
eksistensi-Nya sebagai Rabbul Aalamin –
Yang Maha Memelihara Dan Mendidik.
Tradisi Islam mutakhir sebenarnya benar
ketika menisbahkan asal-muasal doktrin
wahdat al-wujud kepada Ibnu Arabi,
karena dia menegaskan bahwa wujud
dalam pengertian yang sebenarnya adalah
realitas tunggal dan tidak dapat menjadi
dua wujud. Jadi, kalau ditelusuri lebih
jauh, “tiada wujud kecuali wujud-Nya”
sebenarnya
menyatakan
konsep
Ketauhidan Murni yaitu “Tiada Tuhan
selain Allah SWT”. Akan tetapi, Ibnu Arabi
menekankan
sebagian
besar
dari
pemikirannya kepada realitas jamak di
dalam konteks kesatuan Tuhan. Sehingga,
74
hal ini menimbulkan kesalahpahaman
seakan-akan
dia
secara
sederhana
menegaskan kesatuan wujud, sementara
disisi lain menisbahkan kejamakan kosmos
pada ilusi mental yang telah menjadi
konsensus bersama (misalnya: kenapa kita
bisa begitu yakin bahwa 2x2=4?) atau pada
kedunguan manusia.
Dalam
pandangan
Ibnu
Arabi,
keserbaragaman akan nampak menjadi
tunggal ketika ia dikaitkan langsung
kepada Tuhan, al-Haqq. Semuanya ada
karena kehendak Allah semata dan
ditopang hanya karena pertolongan dan
kekuatan-Nya (kalimat Haulaqah) sehingga
apa yang nampak beraneka sejatinya
adalah sekedar penampakkan dari Af’al
(perbuatan), Asma-asma dan Sifat-sifat
Allah SWT. Semuanya ada karena Allah
SWT menghendakinya dan karena itu
sejatinya semua wujud sudah ditentukan
qadā dan qadar-nya, memiliki sifat khusus
sendiri, maka semua wujud yang beraneka
itu adalah “selain Tuhan” dan “bukan
Tuhan”, tetapi sekedar penampakkan-Nya
semata alias makhluk. Oleh karena itu,
bagi
seseorang
penyaksian
atau
penyingkapan
adalah suatu peniadaan
dari semua wujud makhluk, bahkan dari
75
dirinya sendiri, agar tersingkap dan
tersaksikan
dengan
matahati
bahwa
Realitas Absolut (al-Haqq) adalah Allah SWT
semata sebagai Yang Maha Esa.
Tanpa harus disalahpahami menjadi
panteisme
yang
salah
kaprah
dan
berlebihan dimana Tuhan dikatakan dapat
mewujud sebagai makhluk (padahal Tuhan
sekedar berkehendak menampakkan Af’al,
Asma-asma
dan
Sifat-sifat-Nya
yang
termanifestasikan
menjadi
semua
makhluk), kita harus memahami bahwa
pandangan integralisme merupakan suatu
“Kecerdasan
Spiritual”
hasil
dari
tranformasi pengetahuan filosofis-spiritual
menjadi pengetahuan filosofis-intelektual
yang dapat menjadi jembatan antara
pemahaman spiritual yang umumnya
merupakan hasil dari perenungan intuitifsubyektif dengan pemahaman sains yang
merupakan hasil dari nalar logis-ilmiah.
Karena dengan cara demikianlah, semua
realitas yang jamak adalah semu dan
sejatinya yang ada hanyalah al-Haqq
sebagai Realitas Absolut.
Kecerdasan Spiritual seperti ini oleh Seyyed
Hossein Nasr [33] disebut sebagai “scientia
sacra” yaitu “pengetahuan metafisika” yang
76
dapat menentukan tingkatan-tingkatan
realitas dan sains. Pengetahuan seperti
inilah
yang
sebenarnya
dapat
mengungkapkan
signifikansi,
secara
simbolik dan spiritual, dari kemajuan
teori-teori dan pengetahuan ilmiah yang
semakin kompleks. Tanpa pengetahuan
semacam ini, teori-teori dan pengetahuan
ilmiah, sebagai produk nalar logis akal
manusia dan mendasari tingkah laku
personal
maupun kolektifnya, akan
nampak seperti fakta-fakta yang buram
dan buta terhadap tatanan hakikat yang
utuh dan adanya Realitas Absolut (al-Haqq)
yang lebih tinggi.
Kebenaran-kebenaran yang diklaim sains
tanpa
“Kecerdasan
Spiritual”,
pada
akhirnya akan menjadi kebenaran yang
subyektif-manipulatif, relatif-reduksionis,
materialis-hedonis. Kebenaran demikian
akan menjadi suatu hijab yang tidak dapat
ditembus, yang akan menyembunyikan
Realitas Absolut sebagai hakikat realitas
tertinggi. Oleh karena itu, pisau bedah
tasawuf atau sufisme via integralisme
dalam mengkaji kesatupaduan Manusia Alam Semesta - Tuhan ini adalah instrumen
pengetahuan yang digunakan sebagai
suatu piranti untuk mengenal diri dengan
77
membangkitkan
“Kecerdasan Spiritual”
manusia
agar
dapat
melengkapi,
memaknai, mengerti, dan membenarkan
fakta-fakta yang diungkapkan oleh produk
nalar logis manusia (sains modern) secara
utuh yang bersandar pada aksioma mutlak
yang benar sejauh ini yaitu Bilangan Prima
Kausa, Yang Satu, atau secara simbolik
menjadi tanda 1 sebagai suatu simbolisme
ketergantungan dari apa yang kita sebut
realitas kehidupan sebagai realitas yang
ditopang oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jika
tidak demikian maka gugurlah semua
asumsi keilmuan kita karena sebab apa
kita yakin bahwa 2x2=4, yang “berbulu dan
berkotek” adalah “ayam” dan yang “bulat
dari hasil ayam berkembang biak” disebut
“telur”?
Artinya kesahihan geometri,
bilangan
dan
huruf
pun
harus
dipertanyakan kembali karena semua itu
tak lebih dari suatu ungkapan simbolik
dari hasil budi daya akal semata bukan
fakta yang sebenarnya.
Instrumen-instrumen pengetahuan yang
menjadi pengalaman kreatif sufistik dapat
dijadikan sebagai suatu model perspektif
intelektual
untuk
menghubungkan
penalaran logis (ma’rifat aqli) dengan
pengalaman intuitif (ma’rifat dzauqi) hasil
78
penyaksian dan penyingkapan pengalaman
ruhani, atau dengan iman dan wahyu.
Dengan kata lain, ada suatu cara yang
valid
selama
ribuan
tahun
untuk
mengekstrak Pengetahuan Tuhan sebagai
wilayah Wahyu Imajinal dengan ungkapan
metaforik (misalnya dari al-Qur’an) menjadi
real sebagai manifestasi langsung Allah, arRahmaan-ar-Rahiim,
yang
mampu
dirasakan lahir dan batin sebagai suatu
realitas maya yang menjadi penopang
peradaban. Sehingga, kemajuan manusia,
sains dan peradaban akan mendukung
tujuan-tujuan spiritual, dan demikian juga
sebaliknya sebagai bukti penyaksian dan
aktualisasi dari Jamal dan Jalal Allah yang
sebenarnya dimana seluruh Umat Manusia
dapat menikmatinya dengan sadar akan
kelemahan dirinya, jadi bukan sekedar
penikmat peradaban yang hedonis namun
penikmat
yang
mampu
mencitrakan
Kemahaindahan
dan
Kemahaagungan
Tuhan Yang Maha Esa sebagai al-Haqq
(Realitas Absolut).
Pada proses ekstraksi demikian, akan
terjadi perubahan kualitatif dari kehendak
individual pelaku gnostis (para sufi) yang
diubah menjadi tahapan-tahapan yang
saling terkait dari suatu kondisi kasyaf
79
atau penyingkapan atau penyaksian untuk
menguraikan kondisi-kondisi yang ada,
atau pencitraan ruhaniah yang terjadi pada
berbagai tahapan dari hakikat secara
keseluruhan.
Dengan menggunakan model imajinal yang
dapat dikenali oleh persepsi dan kognisi
lahiriah maka model-model pengetahuan
dapat dinyatakan sebagai konsep-konsep
strategis
pengembangan
peradaban
maupun implementasi praktisnya dalam
lingkup yang lebih nyata yang sejatinya
telah dilakukan di zaman Rasulullah ketika
sistem abjad Arab dimodifikasi dari 22
huruf menjadi 28 huruf dan sampai akhir
abad ke-3 Hijriah dimana generasi Islam
Awal mampu mengaktualkannya. Fondasi
ilmu pengetahuan modern yang dipelopori
Jabir Ibn Hayyan, Aljabar, dan ilmuwan
muslim lainnya sebenarnya lahir di sekitar
abad ke-1 sampai 3 Hijriah sampai
akhirnya Umat Islam alpa dan lalai dimana
semua
pengetahuan
pun
kemudian
diboyong ke Barat.
Dalam sejarah sufisme, pengalaman kreatif
seperti inilah yang menghasilkan dasardasar pengungkapan pengalaman ruhani
dalam bentuk puisi, prosa, dan prinsip80
prinsip dasar pengetahuan makrifat dalam
dunia
Islam.
Pengalaman
makrifat
sebenarnya
berkaitan
erat
dengan
pengetahuan fisika modern saat ini yang
terungkap pada awal abad ke-20 yaitu
munculnya teori kuantum dan relativitas.
Namun, nampaknya setelah era Ghazalian
pengalaman makrifat tidak ditelusuri lebih
jauh dan seolah-olah terpenggal menjadi
harta yang tersembunyi dalam ungkapanungkapan metaforis sufistik. Sebaliknya,
pengalaman hakikat eksoteris Islam yang
diusung
oleh
Ibnu
Ruysid
malah
berkembang ke arah Eropa.
Setelah
tereduksi
habis-habisan
pengetahuan eksoteris itu muncul kembali
menjadi dasar-dasar ilmu pengetahuan
modern
dengan
landasan
filsafat
materialisme. Lucunya, dalam akhir abad
ke-20 muncul psikologi transpersonal yang
sarat nilai-nilai yang diuraikan dalam alQur’an maupun risalah-risalah sufi kuno
dengan kemasan yang lebih aktual baik
dari sisi “istilah” maupun “metodenya”.
Umat Islam pun terpesona dengan
kemasan modernitas dan menjadi lamur
matahatinya
padahal
sejatinya
pengetahuan tersebut sudah lama dikenal
dengan praktek yang dilakukan secara
81
langsung yaitu sufisme dengan thariqat
bukan sufisme dengan membaca buku
atau kursus singkat, namun sufisme
sebagai pelakonan kehidupan dengan
sadar yang mengacu pada nilai-nilai
kemuliaan akhlak manusia seperti amanat
yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai
pemberi
petunjuk
untuk
memuliakan kembali akhlak manusia
menjadi mulia karena kemuliaan manusia
adalah kemuliaan Tuhannya.
Dalam pendekatan yang lebih terukur,
tahapan makrifat dan pengalaman ruhani
identik dengan kapabilitas pengendalian
nafs manusia dengan penyucian jiwa (QS
91:9-10)
yang
secara
tradisional
teridentifikasi dalam beberapa macam
dominasi nafs (nafs hanya satu tetapi
dominasinya
bisa
dibeda-bedakan).
Pemodelan yang lebih kuantitatif akan
mendorong pada suatu konsep yang lebih
fisikal bahwa kualitas-kualitas ruhaniah
manusia dapat diukur dalam suatu orde
atau besaran yang menyatakan tahapan
ma’rifat yang dilaluinya. Inilah sisi lain dari
pemodelan
alam
metafisis
secara
kuantitatif terukur atau sebagai suatu
qadar
keruhanian
yang
sebenarnya
membuka peluang untuk menyertakan
82
aspek paling dominan di alam semesta
yaitu kondisi ruhaniah manusia dalam
berbagai perubahan yang kita rasakan dan
kita pahami sebagai kemajuan dan
peradaban. Hal inilah yang kemudian saya
upayakan dengan memodelkan qolbu
sebagai suatu sistem energetis bersifat
kuantum yang menjadi instrumen manusia
untuk menangkap getaran-getaran ilahiah
yang halus yang mengisi alam semesta dari
tatanan alam gaib sampai nyata.
83
1. Al Qur’an Terjemahan Departemen
Agama, 1984
2. Al Qur’an Terjemah Indonesia, PT
Sari Agung, Cetakan ke-13, 1999
3. HB Yassin, “Al Qur’an Bacaan Mulia”,
Yalco Jaya, Cetakan ke-4, 2002
4. Choiruddin Hadhiri SP, “Klasifikasi
Kandungan Al Qur’an”, Gema Insani
Press, 1999
5. Ibnu ‘Arabi,
“Pohon Kejadian
(Syajaratul Kaun): Doktrin tentang
Person Nabi Muhammad”, Risalah
Gusti, Maret 2000
6. ________,” Fusus Al Hikam”, Penerbit
Islamika, Maret , 2004
7. Achmad Mubarok, Dr.,”Sunatullah
Dalam
Jiwa
Manusia:
Sebuah
Pendekatan Psikologi Islam”, IIIT
Indonesia, Februari 2003
8. Victor
Danner,”Sufisme
Ibu
Atha’illah: Kajian Kitab al-Hikam”,
Risalah Gusti, Surabaya, 2003
9. M.T. Zen, Ed.,”Sains, Teknologi, dan
Hari Depan Manusia”, Gramedia,
1981
10.
Lynn
Wilcox,”
Ilmu
Jiwa
84
Berjumpa
tasawuf”,
Serambi,
November 2003
11.
Ian G. Barbour,”Juru Bicara
Tuhan”, Mizan, 2002
12.
Keith Ward,”Dan Tuhan Tidak
Bermain Dadu”, Mizan, 2002
13.
Adil Thaha Yunus,”Jejak-jejak
Utusan
Allah”,Pustaka
Hidayah,
2003
14.
Salim Bahreisy, H., “Terjemah
Al Hikam: Pendekatan Abdi pada
Kholiqnya”, Balai Buku, 1984
15.
Zainal Arifin Thoha, “Nasehat
Syeik Abu Hasan Asy Syadzilli Jilin 1
& 2”,
16.
Ali
Ansari,”Tasawuf
dalam
Sorotan Sains Modern”, Pustaka
Hidayah, 2003
17.
Richard Leakey, ”Asal Usul
Manusia”, KPG, 2003
18.
Maurice Bucaille, ”Asal Usul
Manusia: Menurut Bibel , Al Quran
dan Sains”, Mizan, 2000
19.
Ziauddin Sardar dan Iwona
Abrams, ”Chaos For Beginner”,
Januari,2001
20.
Stephen Hawking, ”Riwayat
Sang Kala”, Pusta Utama Grafiti,
1994
21.
______________, “Black Holes
85
and Baby Universes”, PT Garmedia,
1993
22.
Sandi Setiawan, ”Theory Of
Everything”, Andi Offset, 1991
23.
Mulla Shadra ,”Manifestasimanifestasi Allah”, Pustaka Hidayah,
Januari, 2004
24.
Achmad Marconi, “Bagaimana
Alam
Semesta
Diciptakan:
Pendekatan Al Qur’an dan sains
Modern”, Pustaka Jaya, 2003
25.
S. Anwar Effendie, Muchjidin
Effendie Soleh, Ma’mun Effendie
S.,”Alam Raya dan Al Qur’an”,
Pradnya Paramita, 1994
26.
Sirajuddin
Zar,
“Konsep
Penciptaan Alam”, Raja Grafindo
Persada, 1997
27.
Anas Abdul Hamid Al Quz,”
Ibnu Qayim Berbicara Tentang
Manusia
&
Semesta”,
Pustaka
Azzam,1998
28.
Charles Darwin,”The Origin Of
Species”, The New American Library,
Cetakan ke-3, 1960
29.
Achmad Baiquni, Prof. M.Sc.,
Ph.D. ,”Al Qur’an Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi”, PT Dana Bhakti
Prima Yasa, Cetakan ke-4, Oktober
1996
86
30.
William C. Chittick,” Dunia
Imajinal Ibnu Arabi”, Risalah Gusti,
Surabaya, April 2001
31.
Armahedi
Mahzar,
“Integralisme: Sebuah Rekonstruksi
Filsafat islam”, Penerbit Pustaka,
1983
32.
Jawaid Quamar, “Tuhan dan
Ilmu Pengetahuan Modern”, Pustaka
Salman, Bandung , 1983
33.
Seyyed Hossein Nasr, “Antara
Tuhan, Manusia dan alam”, IRCiSoD,
Agustus, 2003
34.
H. Sahabuddin, Prof. Dr.,”Nur
Muhammad: Pintu Menuju Allah”, PT
Logos Wacana Ilmu, Cetakan ke-2,
Mei 2002
35.
K.H.
Toto
Tasmara,
“Kecerdasan
Ruhaniah”,
Gema
Insani, Jakarta, 2001
36.
John
Polkinghorne,”Teori
Kuantum:
Sebuah
Pengantar
Singkat”, Penerbit Jendela, Cetakan
ke-1, Februari, 2004
37.
Paul Strathern, ”Einstein dan
Relativitas”, Penerbit Erlangga, 2002
38.
____________, ”Bohr dan Teori
Kuantum”, Penerbit Erlangga, 2002
39.
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al
Mishbah”, Jilid 1 & 11, Lentera Hati,
87
2003
40.
Komaruddin
Hidayat,
Prof.,”Menafsirkan Kehendak Tuhan”,
Teraju, 2003
41.
Mohammad
Hatta,
“Alam
Pikiran Yunani”, Penerbit Tintamas,
Cetakan ke-3 1986
42.
Murtadha
Muthahhari,
“Mengenal Epistemologi”, Penerbit
Lentera, November 2001
43.
Al Ghazali, ”Orang-orang Yang
Terkelabui”, Karisma, Cetakan ke-4,
1999
44.
Karlina Leksono Supeli, “Awal
Sebuah pemahaman”, Media online,
Media Kerja Budaya
45.
Syeikh Muhammad Nafis Ibn
Idris Al-Banjari, ”Ad-Durr An-Nafis:
Permata Yang Indah”, Pustaka Sufi,
2003
46.
Ibnu Usman Al Hujwiri, ”Kasyf
al-Mahjub”, Pustaka Sufi, 2003
47.
Al-Qusyairy
an-Naisabury,
“Risalatul
Qusyairiyah”,
Risalah
Gusti, 1996
48.
Al-Gazhali,
“Kerancuan
Filsafat”, Penerbit Islamika, 2004
49.
Ibnu Athaillah Al-sakandari
“Pencerah Kalbu”, Serambi, cetakan
88
ke-1, 2002 M
50.
Ziauddin Sardar dan Iwona
Abrams, “Menegnal Chaos”, Mizan,
Cetakan ke-1, 2001
51.
Gilani Kamran, “Ana al-Haqq”,
Risalah Gusti, Surabaya, 2001
52.
Dr. Ali Hasan Abdul Qadir,
“Surat-surat Sufi, Imam Junaid alBaghdadi”, Majalah Cahaya Sufi,
Edisi September 2004
53.
Nur
Ad
Din
Ar
Raniri,
“Menggugat Manunggaling Kawula
Gusti”, Pustaka Sufi, Juli 2003
54.
Carl Sagan, ”Kosmos”, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1997
55.
Michael Talbot, “Mistisisme
dan Fisika Baru”, Pustaka Pelajar,
Desember, 2002
89
Atmonadi, sehari-hari biasa
dipanggil
“Atmo”
atau
nickname
di
Internet
“Atmoon”, di situs myquran
memperkenalkan diri sebagai
"myQadmin" karena memang
ia
yang
membuat
dan
menggagasnya pada pertengahan 1999.
Dilahirkan kurang lebih lima dasawarsa
yang lalu di sebuah kota yang dulu dikenal
sebagai Kota Udang, pada tanggal sebelas
bulan lima. Saat ini, ia berprofesi sebagai
konsultan
Teknologi
Informasi
dan
Internet.
Dalam segmen-segmen kehidupan yang
dilalui, menulis memang bukan sesuatu
yang asing. Pengalaman menulis yang
intensif sebenarnya terjadi selama periode
menjadi mahasiswa pada sekitar tahun
1988 sampai 1992, sebagai penulis lepas
untuk bidang teknologi penerbangan dan
militer. Selama periode tersebut, tulisan
yang dibuat umumnya berhubungan
dengan desain pesawat udara penumpang,
pesawat tempur siluman, pesawat mata90
mata
tanpa
awak,
sistem
radar,
telekomunikasi, dan sistem persenjataan
yang dimuat di rubrik iptek pada beberapa
harian nasional seperti Kompas, Bisnis
Indonesia,
Pikiran
Rakyat,
majalah
Teknologi, dan majalah Teknologi &
Strategi Militer (TSM).
Dalam urusan tulis menulis, pernah
mendapatkan penghargaan karya tulis dari
PT Telkom Indonesia dengan judul “Menuju
Perusahaan Adaptif Menjadi Urat Nadi
Globalisasi” (1990). Kemudian, bersama
salah satu rekan kuliahnya, menulis artikel
iptek populer dan tulisannya meraih
penghargaan karya tulis populer Ristek
(1991) yang membahas masalah pesawat
N-250. Setelah bosan menjadi mahasiswa,
ia menyelesaikan kuliahnya dan meraih
gelar kesarjanaan dari jurusan Teknik
Aeronautika ITB (1992); setengah tahun
kemudian (1993) bekerja di Sempati Air
sebagai Engineer; tiga tahun kemudian
(1995) ia memutuskan beralih profesi
menjadi software development supervisor di
perusahaan yang sama.
Tahun 1996 internet mulai marak di Tanah
Air.
Terpesona
dengan
kemampuan
91
hyperlink jejaring global tersebut, iapun
memutuskan mengundurkan diri dari
Sempati Air dan bekerja sebagai web
developer di sebuah perusahaan yang
dibangun oleh kenalannya di Internet yaitu
Bubu
Internet
(Bubu.Com).
Akhir
dasawarsa sembilan puluhan, Internet
semakin populer dan bisnis dot.com
booming, komunitas gaul di internet
bermunculan, namun sayangnya belum
ada komunitas gaul yang khusus untuk
remaja Islam, maka ia pun nekat
membangun Komunitas Islam Online
myQuran.com
(1999,
http://www.myquran.com) dan kemudian
setidaknya mampu menggugah banyak
orang
bahwa
Umat
Islam
perlu
memanfaatkan Internet baik untuk tujuan
pergaulan maupun dakwah.
Setelah beberapa tahun mengelola situs
independen myQuran, dibantu dengan
pengunjung yang rajin menulis artikel,
puisi ataupun sekedar numpang nulis,
iapun kemudian menjadi tidak terlalu aktif
mengelola myquran karena kesibukkannya.
Sebagai gantinya, pengelolaan myQuran
diserahkan ke fans pengguna myQuran.
Tahun 2007, Yayasan Insan Mayantara
92
(YIM) didirikan sebagai payung legal
aktifitas offline maupun online Komunitas
MyQur’an yang berkembang pesat.
Pada tahun 2000 ia mengundurkan diri
dari Bubu Internet dan bekerja di beberapa
proyek perusahaan sebagai Technology
Advisor, menjadi nara sumber tetap di
radio MSTRI FM Jakarta (2000-2002), radio
Ramako Jakarta, dan Metro TV untuk
acara yang berhubungan dengan teknologi
informasi dan internet. Akhir tahun 2001
kembali bekerja di Bubu untuk menangani
Production & Development, kemudian
mengundurkan diri pada akhir tahun 2003
dan
awal
2004
mendirikan
Getwo
Advanced sebuah biro konsultan teknologi
informasi, internet dan multimedia.
Sejak akhir tahun 2003 ikut dalam majelis
pengajian
tasawuf
Al-Hikam
tarekat
Syadziliyah Jakarta dengan ustad Bapak
M. Luqman Hakiem dan Guru mursyid
almarhum Syeik KH Abdul Djalil Mustaqiim
dan Syeikh Hadlir Shalahuddin Al Ayyubi
Pengasuh Pondok Pesatren Thariqot Agung
(Peta) Tulungagung Jawa Timur.
Risalah Kun Fayakuun merupakan risalah
perenungan
diri
selama
menjalani
93
kehidupan , suka maupun dukanya. Titik
tolak perenungan ini adalah tentang
penciptaan diri sendiri dimana di Al Qur’an
semua makhluk diciptakan dengan Kun
Fayakuun. Tetapi apa sebenarnya makna
yang luas maupun ringkas dari ayat ini?
Hasilnya adalah suatu penguraian panjang
lebar dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri
dimana
Induknya
adalah
kalimat
Basmalah.
Penulis dapat dijangkau via :
E-mail : [email protected],
Blog di http://atmonadi.com,
Facebook http://facebook.com/atmonadi ,
Twitter @atmonadi ,
instagram.com/atmonadi
94
Download