Kun Fayakuun Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu Menyingkap Hakikat Tauhid Hamba Allah Risalah Ke-3 Penerbit KUN FAYAKUUN Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu Menyingkap Hakikat Tauhid Hamba Allah Risalah Ke-3 : Pendekatan Untuk Mengenal Allah Oleh: Atmonadi Copyright © 2014 by Atmonadi Atmoon Self Publisher Website : kfy.atmonadi.com [email protected] Cetakan Pertama Desain Sampul: Atmonadi Kredit Gambar/Foto Hubble Legacy Archive, ESA, NASA, APOD NASA Space Science, Gugus Galaksi ARP 81, NGC 6622 & NGC 6621, Google images lib. Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com ii Risalah mawas diri ini didedikasikan untuk kedua orang tuaku almarhum Ibunda Masjatim dan Bapak Idris , adik-adikku (Ida, Evi, Rudy), istriku Rosida, anakku Rifka Afifah Zahrah, saudara-saudariku, guru-guruku, kawan-kawanku, dan para salik penempuh jalan suluk. Risalah ini juga saya persembahkan untuk kenangan bagi almarhum Guru Mursyid tercinta HADLRATUSY SYEIKH KH. ABDUL DJALIL MUSTAQIEM Wafat 7 Januari 2005 jam 2:30 Di Tulungagung “Al Qur'an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS At-Takwiir [81]:27-29)” iii Segala puji dan syukur sepatutnya hanya ditujukan untuk Allah SWT, Sang Maha Pencipta yang menebarkan kasih sayang untuk semua makhluk-Nya, yang maujud dalam bentuk materi fisik maupun yang diselimuti kegaiban-Nya dan yang menggenggam kehidupan semua makhlukNya. Shalawat dan salam kusampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai maujud Af’al, Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya yang paripurna, Adimanusia, Insan Kamil dan Gurujati semua manusia, keluarga dan kerabatnya, para sahabatnya, para aulia dan para pewaris serta penyampai ilmunya, yang meneruskan rahmatnya kepada seluruh alam dan penghuninya, yang merentang menembus batas-batas ruangwaktu : dulu, kini dan nanti. Risalah ketiga dari Kun Fayakuun : Man iv Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu ini membahas tinjauan bagaimana melakukan pendekatan untuk mengenal dan sampai kepada Allah. Beberapa metode dan model akan digali dari berbagai pandangan yang tidak asing lagi di kalangan tasawuf yaitu pendekatan Bottom Up , Top Down, maupun Null to one. Ketiga model tersebut sejatinya didasarkan pada pengenalan diri sendiri sebagai makhluk yang berakal pikiran, mempunyai hati dan mampu memaknai dan mengungkapkanNya dengan berbagai cara, atau dengan instrumen lahir dan batin yang telah kita kenal betul. Ungkapan sederhananya adalah “bercerminlah” dan renungkan tentang dirimu sebagai makhluk yang hidup, berakal pikiran dan mempunyai hati. Akhir kata, semoga risalah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. dapat Wassalammu’alaikum Wr. Wb Jakarta, 25 Agustus 2014 (revisi terkini) v Prakata____iv Daftar Isi_____vi Prolog____1 Bab 1 Bottom Up : Yang Banyak Didalam Yang Satu____4 Bab 2 Top Down : Yang Satu Didalam Yang Banyak____9 Bab 3 Null To one : Kosongkan Dirimu Yang Wujud Hanya Ilahi____11 Bab 4 Mengenal Allah Melalui CiptaanNya_____15 4.1. Resonansi & Tindakan Manusia____17 Transformasi 4.2. Simetri Yang Memecah Secara Mandiri___20 4.3. Penguraian Kosmologis : Nur Muhammad & Big Bang___29 Bab 5 Mengenal Diri Untuk Mengenal Allah____36 vi Bab 6 Sampai Kepada Allah____41 Bab 7 Pribadi Muslim Kesatupaduan Integralistis____49 Sebagai Bab 8 Tinjauan Integralisme____52 Filsafat Kosmologis Bab 9 Membangun Spiritual____65 Kecerdasan Referensi____83 Riwayat Hidup Penulis____89 vii maka sesungguhnya akan Kami kabarkan dengan ilmu (bukti-bukti keterangan) kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), dan Kami sekali-kali tidak pernah ghaib. (QS 7:7) viii “que sera-sera” “kun fayakuun” ix Illahi, Engkau suruh aku perhatikan alam Pada peliputan selubung dalam nur cahaya-Mu bagai mentari semesta alam sebagaimana aku masuk dalam mahligaiMu menjadikan terpeliharanya hatiku dari gangguan genggaman kelam lalu terangkat keinginan diriku untuk bersandar kepada-Mu sesungguhnya Engkau amat kuasa atas segala apa yang ada (munajat Ibnu Athaillah As Sakandari , kitab Al-Hikam) Bagaimanakah cara yang secara sistematis merupakan langkah-langkah untuk mengenal dan sampai kepada Allah? Pertanyaan demikian sebenarnya susahsusah gampang untuk dijawab karena yang diperlukan ternyata hanya berkaitan dengan pemaknaan kehidupan dengan “sadar”. Sadar dalam arti yang lebih khusus akhirnya melibatkan niat dan keinginan kita untuk merasakan jauh dekatnya Allah sebagai realitas yang tersembunyi dibalik semua realitas yang kita lihat dengan sensor inderawi kita. Bagi yang memahami mungkin akan muncul suatu pertanyaan, “memangnya Allah ada dimana sampai harus dikenali?”. Terus , “apa artinya sampai kepada Allah ?” Kita sebenarnya telah lama buta karena tak mampu melihat penampilan Allah yang Ghaib telah menjadi Ghaiibin seperti diungkapkan dalam QS 7:7, jadi mengenal Allah sejatinya memerlukan Ilmu atau sarana untuk mengenalNya. Lantas ilmu yang bagaimana, atau bagaimana metode pengenalanNya? Bagian ini akan mengulas pertanyaan yang berkaitan dengan metode dengan model yang digali dari berbagai pandangan yang tidak asing lagi di kalangan tasawuf yaitu dengan memperhalus citarasa kita sebagai makhluk yang berakal pikiran, mempunyai hati dan mampu memaknai dan mengungkapkan Eksistensi-Nya dengan berbagai cara, atau dengan instrumen lahir dan batin yang telah kita kenal betul. Dalam beberapa segi, pengenalan itu berkaitan erat sekali dengan bagaimana 2 kita bisa mengenal diri sendiri. Ungkapan sederhananya adalah “bercerminlah” dan renungkan tentang dirimu sebagai makhluk yang hidup, berakal pikiran dan mempunyai hati. Supaya lebih gamblang, dengan berdasarkan uraian diatas saya membuat suatu diagram sederhana yang menggambarkan kaitan atau hubunganhubungan di atas sebagai upaya pengenalan kepada Allah. Sebut saja pendekatan untuk melakukan pengenalan kepada Allah. Secara langsung ayat-ayat Kauniyah yang telah diulas menyiratkan adanya tiga cara pendekatan untuk mengenal Allah yaitu relasi bottom-up, top down, dan null-to-one. 3 Bab 1 Pendekatan bottom-up dilakukan dengan mengenal penampakkan Asma-asma, Sifatsifat, dan Af’al Allah dalam wujud alam semesta ciptaan-Nya. Allah berfirman dengan memberikan petunjuk untuk memperhatikan apa yang ada di alam semesta (..tanda-tanda kekuasaan Kami pada segenap penjuru..QS 41:53) dan apa yang ada di Bumi (QS 51:20) untuk dipelajari, dan kemudian ditelusuri baik secara akal lahiriah maupun ruhaniah yaitu dengan menggunakan hukum sebabakibat atau hukum-hukum yang dipahami nalar logis sebagai hukum-hukum fisika, maupun secara spiritual atau saya sebut sebagai pendekatan kuantum. Sehingga, akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa semuanya ada karena Kehendak Allah. 4 Gambar 1. Pendekatan Pengenalan Kepada Allah 5 Kata “Kami” di dalam ayat-ayat Kauniyah menginformasikan bahwa yang kita amati itu tidak sekedar makhluk ciptaan Allah dimana tidak ada campur tangan makhluk lain. Namun juga aktifitas-aktifitas dan tindakan-tindakan manusia (man made worlds), penggunaan benda-benda buatan manusia, malaikat, makhluk-makhluk Allah lainnya, dan berbagai proses dimana makhluk terlibat di dalamnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua itu berkaitan dengan aktifitas yang [40] membangun Peradaban Manusia . Kaum sufi biasanya menyatakan metode ini sebagai suatu jalan “Para Pemabuk Ilahi” dalam upaya menuju penyaksian-Nya dan dikenal dengan idiom “syuhuud al-kasrah fi al-wahdah (menyaksikan yang banyak didalam yang satu)” yang dimaksudkan sebagai melihat realitas yang banyak ditemui di alam semesta ke dalam satu Dzat Allah SWT. Cara ini dikenal sebagai menghimpun semua penampakkan atau Jaami’ [45]. Konsep pendekatan demikian diperkenalkan oleh Ibnu Arabi sebagai konsep ahadiyyat al-kasrah (ketunggalan dari yang banyak) dan selanjutnya banyak mempengaruhi pemikiran falsafi para sufi 6 generasi setelah Ibnu Arabi melakukan proses pengenalan Allah SWT. dalam kepada Secara spiritual, pendekatan yang dilakukan dengan cara memperhatikan tanda-tanda di alam semesta banyak berkaitan dengan penghayatan melalui pencerapan cita rasa ruhaniah atau dzauqi yaitu secara intuitif dengan cara perenungan sehingga diperoleh suatu hikmah atas penciptaan alam semesta sampai akhirnya dicapai makrifat mengenal Allah yang hakiki [14] . Bila didekati secara dzauqi, manusia memerlukan suatu upaya ruhaniah yang konsisten yaitu dengan melakukan pendakian spiritual atau dikenal sebagai suluk. Pendekatan suluk merupakan suatu upaya untuk melakukan lompatan-lompatan kuantum secara ruhaniah agar sampai kepada Allah SWT (wusul). Lompatanlompatan kuantum dalam risalah ini saya maksudkan sebagai upaya manusia untuk mengubah tingkat keadaan ruhaninya dari satu kondisi ke kondisi lainnya dengan cara penyucian jiwa (QS 91:9-10) dan beribadah dengan ikhlas dan ridha, berserahdiri dan istiqamah. Kendati suluk dilakukan dengan 7 pendekatan bottom-up, nalar logis manusia perlu digunakan juga dengan sadar untuk mendapatkan hikmah dan hakikat atas keterkaitan yang terjadi. Hal ini penting dilakukan karena tanpa penalaran maka suluk dapat mengarah kepada taklid buta dan berpotensi untuk berakhir pada ilusi kesombongan diri atau ghurur. 8 Bab 2 Pendekatan bottom-up dapat dibalik menjadi top-down jika Anda sudah beriman dan meyakini bahwa “Allah itu Ada”. Pendekatan keimanan akan dilakukan juga untuk menguraikan Kehendak Allah secara nalar logis sejak Allah mencetuskan “Kun Fayakuun”. Pendekatan demikian disebut juga dengan idiom “syuhuud al-wahdah fii al-kasrah (menyaksikan Yang Satu didalam yang banyak)”[45]; Ibnu Arabi menyebutnya sebagai ahadiyat al-ahad (ketunggalan dari satu). Pendekatan Top Down merupakan kebalikan dari pendekatan sebelumnya dimana meniscayakan Tuhan Yang Maha Esa didalam realitas-realitas penampakkan-Nya. Dalam pendekatan kedua ini, maka yang menghalangi (Maani’) atau yang menutupi Dzat Allah SWT dari segenap penampakkan-Nya harus disingkapkan. Pada banyak kasus, pendekatan top-down 9 merupakan suatu anugerah langsung dari Allah SWT kepada makhluk-Nya yang Dia kehendaki. Menurut sudut pandang ilmu tasawuf, pendekatan top-down dimana Allah melakukan intervensi langsung sebagai manifestasi Kehendak-Nya disebut maj-dzub dimana pintu pengenalan langsung dibukakan oleh Allah. Penempuh jalan ruhani atau pesuluk akan ditarik oleh-Nya ke dalam suatu medan gravitasi ruhaniah universal, dan pada akhirnya akan sampai kepada ilmu/mengenal Allah[14] atau makrifat. Jadi, disini makrifat yang diperoleh adalah suatu makrifat dengan ilmu dimana seorang salik menerima limpahan cahaya keilmuan dari Allah secara langsung. Eksis mandiri sesuai situasi dan kondisinya, dan seringkali terjadi tanpa proses belajar formal. Namun, sejatinya ilmu makrifat adalah suatu pemahaman penuh hikmah yang mandiri setelah perenungan yang mendalam akan semua penampakkan Asma-asma, Sifat-sifat, dan Perbuatan (Af’al) Allah SWT. 10 Bab 3 Pendekatan relasi null-to-one dilakukan bila kita ingin mengenali Allah SWT dari diri kita sendiri. Perhatikan frase kalimat “…diri mereka sendiri…” pada kedua ayat yang diulas di Bab Satu yang merupakan isyarat dari Allah SWT untuk manusia guna mengenali berbagai aspek dari kemanusiaan kita sendiri baik ruhani dan jasmani, secara individual maupun kolektif, untuk kemudian ditarik garis lurus ke arah pengenalan kepada-Nya. Ayat-ayat seperti inilah yang menjadi dalil kaum sufi “Kenalilah dirimu, maka engkau akan kenal Tuhanmu (Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu)”. Dari banyak segi, pengenalan diri bagi manusia merupakan suatu kewajiban bahkan menjadi suatu hakikat kemanusiaan yang sebenarnya. Menurut Sahl al-Tustari, seorang sufi generasi awal, seperti dikutip oleh Hujwiri dalam risalah 11 “Kasyf Al Majhub”[46], pengetahuan tentang diri menjadi suatu kewajiban bagi pencari hakikat, karena siapapun yang tidak tahu akan dirinya, tidak tahu penciptaannya, maka ia lebih baik tidak mengetahui hal lainnya; dan karena manusia harus mengetahui Allah, maka pertama-tama ia harus mengetahui dirinya sendiri, agar dengan melihat kesementaraannya atau kerelatifannya dia bisa menyaksikan keabadian Allah, dan bisa mempelajari keabadian Allah melalui kefanaannya sendiri. Aforisma legendaris kaum sufi “Orang yang tahu akan dirinya sendiri, maka dia tahu tentang Allah“, maksudnya adalah jika seseorang mengetahui dirinya akan binasa maka dia akan mengetahui bahwa Allah sebagai Dzat yang abadi; atau jika seseorang mengetahui dirinya lemah dan rendah, dia akan mengetahui Kemahakuasaan Allah; atau jika seseorang mengetahui posisinya sebagai hamba, maka dia tahu bahwa Allah sebagai Tuan. Dengan saling mempertentangkan demikian maka seseorang yang tidak mengetahui dirinya sendiri akan terhalang untuk mengetahui segala sesuatu oleh dirinya sendiri. Artinya, apapun yang tak bisa ia lihat dikarenakan ego dan 12 kesombongannya sendiri yang menjadi tabir atau gunung penghalangnya. Tidak salah ketika Allah berfirman bahwa Iblis tidak mengetahui penciptaan dirinya sehingga ia menjadi sombong dan takabur, padahal hakikatnya Iblis adalah bodoh karena tidak memahami ilmu pengetahuan Tuhan yang sejati yaitu tentang penciptaan dirinya (QS 18:51), tidak memahami Asma, Sifat, dan Perbuatan (Af’al) Tuhannya. Karena kebutaannya itu, Iblis akhirnya terputus dari Rahmat Allah SWT sesuai dengan arti Iblis yang berasal dari kata “Ablasa” yaitu yang terputus dari Rahmat Allah SWT. Pengenalan demikian bisa didekati dengan secara aqli dan dzauqi dengan menggunakan pendekatan bottom-up maupun top-down di dalam diri sendiri sebagai mikrokosmos dan nanokosmos (qolbu dengan karakteristiknya atau secara umum psikologi manusia) khususnya dikaitkan dengan posisi dan peran manusia terhadap keyakinannya, sesamanya, lingkungan hidupnya, alam semesta, dan Penciptanya. Dalam pendekatan null-to-one maka qolbu 13 serta yang melingkupinya yaitu wa nafsi manusia harus diupayakan dikelola dan dijaga agar ia mampu menjadi Singhasana Allah (Arasy Allah). Untuk menjadi Singhasana Allah maka semua bentuk gambaran makhluk atau kebendaan di dalam qolbu harus dibersihkan dengan menyucikan lingkupan nafsunya. Dengan kata lain terjadi proses penyucian jiwa (QS 91:9-10) yang intensif pada akhirnya akan mengosongkan qolbu dari semua bentuk makhluk bahkan dalam tataran yang optimal qolbu pun harus kosong dari diri sendiri (keinginan diri) sehingga yang maujud hanyalah Kehendak Allah SWT semata. 14 Bab 4 Dalam bagian makrifat aqli metode bottom up saya gunakan untuk melakukan penelusuran tentang Kehendak Allah dalam penciptaan alam semesta secara keilmuan (akal) dengan merujuk kepada Al Qur’an, Hadis, tafsir para ulama, maupun hasil-hasil penelitian ilmiah modern yang banyak dilakukan oleh para ilmuwan Barat dan Muslim1. Pada uraian pendahuluan sebelumnya, saya melakukan pendekatan bottom-up karena kajian risalah mawas diri ini bermula dari keingintahuan saya setelah mengamati berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari baik dialami sendiri maupun yang sering terjadi di masyarakat seperti bencana alam, wabah, musibah, 1 Sampai saat ini, umumnya Para Ilmuwan Barat lah yang banyak melakukan penelitian teoritis maupun eksperimental mengenai penciptaan Alam Semesta. Ilmuwan muslim yang terlibat di dalamnya adalah Abdus Salam Ph D seorang pakar fisika energi tinggi yang sudah memenangkan hadiah nobel. Dari Indonesia barangkali Prof. Achmad Baiquni, Prof Thomas Djamalludin, dan Sdr. Achmad Marconi yang nampaknya dengan intensif ikut terlibat didalamnya. 15 kondisi ekonomi Indonesia, kondisi moral masyarakat, dan lain-lainnya. Hasilnya adalah suatu kesimpulan awal sebagai hipotesis aksiomatis bahwa : Semua keburukan yang terjadi baik secara individual maupun kolektif merupakan suatu konsekuensi dari tidak dipatuhinya sunnatullah dan sudah merupakan suatu Kehendak Allah. Dari sudut pandang ketaqwaan dan keimanan Agama Islam, hal ini juga berarti diabaikannya perintahperintah Allah dan laranganlarangan-Nya dan tidak diterapkannya sunnatulrosul. Secara lugas saya katakan saja bahwa kita sudah cenderung mengabaikan nilai-nilai agama, khususnya aspek-aspek lathifah, halus, atau batiniahnya sehingga berbagai aspek lahiriah dari tindakan kita seharihari punya kecenderungan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dari apa yang kita yakini sebagai suatu nilai-nilai spiritual agama Islam yang transenden. Bahkan dalam taraf tertentu, ada kecenderungan bahwa kita ini cenderung tidak menauhidkan-Nya, 16 kita punya kecondongan untuk menciptakan tuhan-tuhan kecil di hati baik berupa uang, jabatan, akal, kekayaan, dan tuhan-tuhan kecil lainnya. 4.1 Resonansi dan Transformasi Tindakan Manusia Peristiwa-peristiwa dimana manusia terlibat di dalamnya bisa dikatakan merupakan hasil suatu resonansi atas tindakan-tindakan manusia, baik yang dilakukan perorangan maupun kolektif. Resonansi adalah larutnya seseorang atau sekelompok orang akibat tindakan orang lainnya. Inilah fenomena ikut-ikutan yang sering kita lihat di masyarakat kita tanpa tahu ujung pangkalnya. Kita tiba-tiba terbawa arus liar begitu saja dan larut dengan amarah seseorang, kemudian berkembang menjadi sekelompok orang, dan akhirnya seluruh masyarakat; kita tiba-tiba ingin tampil menjadi orang lain dengan meniru-niru mode atau kelakuan yang ditampilkannya di televisi dan media massa. Dengan hipotesa awal diatas, pada bagian-bagian selanjutnya saya ingin 17 menguraikan secara logis bahwa tindakantindakan seseorang secara individual sangat mempengaruhi terjadinya suatu peristiwa. Hal ini merupakan suatu konsekuensi dari adanya interaksi antara orang tersebut dengan lingkungannya secara langsung maupun tidak langsung. Munculnya tindakan-tindakan seseorang merupakan hasil transformasi dari kondisikondisi psikisnya. Dalam konteks keagamaan, kondisi psikis tidak lain adalah kondisi ruhaniah atau kesadaran ruhaniah. Dalam bahasa kekinian adalah Kecerdasan Spiritual (SQ, Spiritual Quotient). Fungsi transformasi tindakan seseorang yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam mempunyai tiga variabel utama yaitu: perintah-perintah Allah dan laranganlarangan-Nya, sunnatulrosul (akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW), dan keselarasan dengan sunnatullah dengan ridha atas semua kehendak/ketentuanNya. Jadi, bila fungsi transformasi tindakan manusia tidak berdasarkan kepada ketiga variabel ruhaniah di atas, maka tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang kemungkinan besar tidak akan sesuai 18 dengan norma-norma dan nilai-nilai agama yang diyakini oleh orang atau kelompok orang tersebut. Bagi seorang Muslim yang dipatuhi adalah nilai-nilai Agama Islam yang mencakup kesatupaduan aqidah, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia dewasa ini dapat dimodelkan dengan mengacu pada deskripsi transformasi tindakan seperti di atas. Jadi, pada dasarnya segala bencana yang muncul dimasyarakat disebabkan karena banyak dari anggota masyarakat yang mentransformasikan kondisi psikisnya bukan berdasarkan kepada nilai-nilai kebenaran dari keyakinan atau agamanya. Demikian juga bagi masyarakat Indonesia yang secara statistik sebagian besar beragama Islam telah menjauh dari nilainilai Islam sebenarnya . Bagaimana hal ini bisa terjadi? Inilah hal yang ingin diungkapkan di dalam risalah ini. Penelusuran selanjutnya ternyata tidak sesederhana uraian awal hipotesis diatas. Penelusuran yang komprehensif akhirnya membawa kepada penelusuran tentang penciptaan alam semesta dimana manusia menjadi bagian didalamnya. Pandangan ini 19 selaras dengan dengan pendapat filsafat integralisme bahwa egosistem (manusia) secara psikis dan fisik akan mempengaruhi dan menjadi pengarah pada tatanan diatasnya. 4.2 Simetri Yang Memecah Secara Mandiri Dalam pendekatan sebaliknya, yaitu pendekatan top down, saya memulainya dengan melakukan telaah atas tafsir ayatayat Kauniah (ayat tentang penciptaan alam semesta) yang dimulai dengan ayatayat yang memuat perintah penciptaan “Kun Fayakuun”. Disini fakta “Tuhan itu Ada” tidak memerlukan pembuktian. Bahkan pada beberapa uraian selanjutnya “Tuhan itu Ada” sudah terbukti dengan sendirinya. Bisa dikatakan inilah proses simetri yang memecah sendiri dimana Eksistensi Allah ada dengan sendirinya ketika aspek-aspek materi kita, atau kesadaran materialistik kita semakin menjadi halus (semakin lathifah), sehingga sistem energetis diri kita berupa qolbu semakin peka dan halus dan semakin mampu menanggapi getaran-getaran ilahiah yang halus, baik yang tercerap 20 secara fisikal maupun metafisikal, yang nyata maupun yang gaib. Dalam kondisi demikian maka kesadaran diri terlepas dari keterikatannya dengan kontinuum kesadaran-ruang-waktu atau masih melekat tetapi dengan pemaknaan dan pemahaman yang lebih spiritual, sehingga proses “Simetri Yang Memecah Secara Mandiri” identik dengan kondisi makrifat yang menurut Sahl Al Tustari dikatakan bahwa ilmu itu ditetapkan oleh makrifat, dan akal ditentukan oleh ilmu; tetapi, makrifat ditentukan oleh esensinya sendiri. Artinya, kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki makrifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diriNya sendiri kepadanya, berarti Dia menempatkan pengetahuan dalam diri orang tersebut. Pengetahuan itu adalah pengetahuan yang erat kaitannya dengan eksistensi makhluk dan Tuhannya. Dengan demikian, Tuhan memang tidak perlu dibuktikan oleh karena dalam proses pengungkapan-Nya justru Dia akan memperkenalkan diri-Nya sendiri dan dikatakan Tuhan itu ada ketika semua pengetahuan akan citra-Nya yang berupa alam semesta dan semua isinya 21 terungkapkan dengan ilmu pengetahuanNya. Dalam bahasa Ebiet G. Ade , kondisinya seperti orang yang mengejar impiannya, pujaan hatinya, tetapi dengan penuh nafsu sampai ia sadar ketika sejuta tangan seperti menahan langkahnya dan berbisik “Tak perlu kau berlari mengejar impian tak pasti hari ini juga mimpi maka biarkan Dia datang di hatimu…di hatimu...”. Disini, kita harus menyadari bahwa makrifat sebenarnya identik dengan bersemayamnya tauhid dan keimanan kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan kualitas haqqul yaqin yaitu yakin seyakin-yakinnya dengan pengetahuan-Nya, sehingga tidak perlu pembuktian lagi oleh karena dalam proses pembuktian-Nya ternyata Dia telah memperkenalkan diri-Nya sendiri, dan dengan pengenalan-Nya ini, sifat-sifat-Nya menjadi permanen termanifestasikan kedalam hati makhluk menjadi sifat-sifat makhluk yang mengenal-Nya – dialah makhluk yang menjadi hamba Allah. Sehingga, jangan heran bilamana Anda mencapai kualitas keimanan haqqul yaqin, meskipun Anda bukan seorang sufi atau wali, Anda akan sangat tegar menghadapi segala macam kesenangan, kesusahan dan 22 bencana yang paling mengerikan sekalipun. Dalam kacamata makhluk lainnya, mungkin bencana itu mengerikan, namun baginya itu dapat berarti banyak hal antara lain semakin teguhnya keimanan dan keyakinan kepada Kemahakuasaan Allah SWT, semakin merindukan-Nya, dan deskripsi lainnya yang sejatinya menunjukkan keridhaannya kepada semua kehendak Allah SWT2. Ada banyak cara Dia meyakinkan hamba-hamba-Nya; Sebagian melalui kesenangan sebagian lagi melalui bencana. Ketika kesenangan dan bencana tak menggoyahkan keyakinannya. Maka ia telah bersandar hanya padaNya, karena ridha yang telah menyelimuti hatinya sebagai hamba-Nya. 2 Saya menyimpulkan frase tambahan ini setelah melihat ketegaran dan keteguhan seorang Cut Putri dengan keluarganya yang mengalami bencana alam dahsyat, gempa bumi dan tsunami di Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004. Innalillaahi Wa Innaa ilaihi rojiun, semoga bagi yang mengalaminya akan meningkatkan keyakinan pada-Nya bahwa Dialah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan nasib semua makhluk-Nya. 23 Maka ditambahkan-Nya makrifat tentang pengetahuan pada-Nya; Bahwa Dia Maha Kuasa dan Maha Menentukan nasib semua makhlukNya. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(QS 57:22)” Haqqul yaqin dapat diibaratkan seseorang yang tinggal di Jakarta dan tahu benar seluk-beluk berbagai sendi kehidupan di Jakarta, jadi keyakinan yang muncul adalah keyakinan dengan pemahaman dan pengetahuan. Haqqul yaqin bukan keyakinan dengan taklid buta tanpa pemahaman dan pengetahuan, tetapi sejatinya suatu keyakinan hakiki karena tahu dengan kebenaran dari Tuhan. Keyakinan inilah yang menjadi dasar Sayyidina Abu Bakar Ash Shidieq r.a. ketika meyakini Nabi Muhammad SAW adalah seorang Utusan Allah karena Abu Bakar r.a sudah lama bersahabat dengan Nabi Muhammad SAW. Sejak remaja sekali ia sudah kenal benar dengan akhlak 24 Rasulullah SAW sehingga disebut Al-Amin, dengan demikian keyakinannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah langsung haqqul yaqin. Demikian juga ketika meyakini peristiwa Isra Mi’raj sehingga iapun bergelar Ash Shiddieq. Kondisi haqqul yaqin identik dengan kondisi suatu keadaan yang muncul atau eksis dengan mandiri seperti munculnya orang yang berkeyakinan yang benar dan pemahaman orang yang berpengetahuan. Dalam proses penciptaan makhluk maka proses teridentifikasinya suatu entitas makhluk terjadi pada suatu tingkat keadaan yang cenderung berenergi rendah dari tingkat keadaan yang berenergi tinggi, dalam fisika modern hal ini dikenal sebagai “self symmetri breaking process”, sedangkan kalau kita berbicara dalam bahasa keruhanian maka tingkat keadaan demikian merupakan suatu pecahnya simetri dari alam gaib menjadi alam nyata (munculnya makhluk) sebagai manifestasi kehendak Allah yang mandiri (tanpa sebab dari luar kecuali dari diri-Nya). Kondisi dimana proses pecahnya simetri belum terjadi bisa dikatakan suatu keadaan yang simetri (kekal) dan tidak dapat teridentifikasikan dengan jelas. Hal ini bisa 25 kita analogikan seperti kelereng dan bola golf yang satu sama lain tidak bisa kita bedakan ketika kedua benda tersebut kita percepat sampai mencapai kuadrat kecepatan cahaya; pada kecepatan sangat tinggi tersebut kelereng dan bola golf sepenuhnya bersifat energi, tidak terbedakan ; Kondisi demikian bisa dikatakan sebagai suatu kondisi unifikasi. Pada kondisi unifikasi dimana tingkat keadaan tidak terbedakan, maka tinggi dan rendah menjadi sama, sehingga eksistensi “Tuhan” yang tinggi dan “Kita (Makhluk)” yang rendah menjadi suatu kesatupaduan yang tidak terpisahkan. Dalam arti, “Aku Ada” karena “Tuhan Ada” bukan karena “Tuhan Ada” karena “Aku Ada” seperti secara tidak langsung diungkapkan oleh filsuf Rene Descartes yang terjebak tirani akalnya dan menuhankan pikirannya sehingga ia mengatakan “aku berpikir, maka aku ada”. Dalam perspektif relatif, maka apa yang diungkapkan Rene Descartes boleh jadi dapat diterima namun dalam lingkup yang sangat kecil dan relatif yaitu bagi dirinya sendiri, namun dalam perspektif absolut, maka pernyataan itu akan mengarah pada 26 munculnya ego diri yang menjadi tabir dirinya kepada Realitas Yang Lebih Absolut – al-Haqq. Karena, tanpa manusiapun Tuhan ada dengan Diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, Yang Kekal dan Mandiri. Dalam pandangan “Aku ada karena Tuhan ada” atau secara kosmologis “Adanya alam semesta menunjukkan adanya Tuhan” maka eksistensi makhluk teridentifikasikan sebagai suatu manifestasi dari penampakkan Asma-asma, Sifat-sifat, dan Af’al Tuhan (secara lebih spesifik dinisbahkan dengan asma dan sifat dominan ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-Hayyu, al-Qayyum, al-Iradah dan al-Qudrah – atau sifat Maha Berilmu); dan makhluk hanya dapat mengenali Tuhannya jika ia mampu mencapai tingkat ruhaniah yang halus yaitu pada frekuensi ruhaniah dimana ia bisa mengenali eksistensi dirinya sendiri sebagai suatu maujud dari penampakkan Asma-asma, Sifat-sifat, dan Af’al Allah SWT. Dalam literatuf tasawuf, seperti dalam kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah, maka pendekatan dari atas atau top-down ini akan menyebabkan orang mengawali dari Allah (al-Haqq) dan kemudian 27 membuktikannya dengan referensi atau rujukan, sehingga ia menetapkan segala sesuatu dari Asal-Mulanya [49]. Makrifat pengenalan demikian akan menyebabkan orang berjalan dari Kesempurnaan atau Unifikasi Awal Mula, sehingga pemahaman secara ilmu akan berjalan dari Allah ke dunia atau kepada makhluk, tidak berjalan dari makhluk ke arah Allah SWT (bottomup) yaitu yang saya ringkas menjadi relasi Allah – Manusia – Alam Semesta sebagai pemodelan dengan perpektif penciptaan, lihat Gambar 1b Risalah ke-2. Karena itu, saya tidak menyebutkan “Tuhan Itu Ada” sebagai suatu pra-asumsi, karena pra-asumsi dapat berarti suatu kondisi yang masih kita duga-duga atau belum terbukti. Selain itu, berhubung kajian risalah ini tidak dimaksudkan untuk menjawab apakah Tuhan ada atau tidak, namun lebih dimaksudkan untuk menjawab adanya hubungan antara tindakan atau perilaku manusia seharihari dengan Kehendak Allah dan mengungkap “ngapain sih kita di dunia ini?” maka pra-asumsi tidak digunakan. Yang saya gunakan adalah suatu pernyataan keimanan sebagai Muslim yang sudah menjadi fakta dari Al Qur’an dan Hadis 28 Nabi maupun dari pembuktian para ulama, ahli tafsir, ahli ibadah, filosof, dan para ilmuwan bahwa Allah itu Ada dan telah menciptakan alam semesta beserta isinya3. Kajian top down yang dilakukan pada risalah ini lebih berupa uraian tentang Kehendak Allah mulai dari perintah “Kun Fayakuun” sampai terjadinya manusia (dalam bentuk lahiriahnya) sebagai fokus kajian yang ternyata merupakan suatu entitas atau makhluk yang paling disempurnakan oleh Allah SWT, menjadi citra kesempurnaan-Nya, dan yang esensinya pertama kali diciptakan-Nya sebagai Rahmaatan Lil aalamin dan Nur Muhammad sebagai unifikasi universum yang menaungi semua makhluk dengan rahmat dan ridha-Nya. 4.3 Penguraian Kosmologis : Nur Muhammad dan Big Bang Pada tafsir “Kun Fayakuun” ini dilakukan pendekatan dua fase yaitu fase sebelum terjadinya alam semesta fisik dan 3 Bagi pembaca yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh berbagai pendapat ulama, ahli tafsir, sufi, filosof, dan ilmuwan silahkan merujuk pada referensi nomor 4,5,6,7,8,12,25,27,47,58,70,71,72,74,75,76,78,80,82,83,84,85 29 sesudahnya. Bagi umat Islam, kosmologi tentang penciptaan alam semesta sebelum adanya pengertian kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu umumnya diwakili oleh pendapat kalangan tasawuf falsafi4 seperti Jafar al-Shadiq, Sahl al-Tustari, al–Hallaj, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Abdul Karim AlJilli, Al-Gazhali, Burhanpuri, al-Nabani, alFarabi, Ibnu Sina, dan beberapa sufi lain sesudahnya. Umumnya pendapat kosmologis melalui jalur tasawuf falsafi berasal dari pandangan Ja’far al-Shadiq dan Sahl al-Tustari yang merupakan generasi awal sufi yang mengelaborasi Surat An-Nuur [24] : 35 sebagai penguraian kosmologis dalam penciptaan yang akhirnya melahirkan pandangan mistis Nur Muhammadiyyah. Pandangan Sahl al-Tustari ini kemudian diperkuat lagi dengan mistisisme cahaya yang ditemui dalam episode mi’raj dan keadaan penglihatan atau penyaksian yang tercantum dalam QS an-Najm [53] :1-18. 4 Tasawuf falsafi merupakan istilah keilmuan dimana unsurunsur filsafat dari berbagai aliran satu sama lain saling mempengaruhi dan menjadi perangkat untuk menguraikan konsep-konsep ruhaniah. Pelopornya antara lain al-Hallaj, Ibnu Arabi, al-Farabi, dll. Tasawuf akhlak merujuk pada ilmu tasawuf yang menekankan kepada aspek pembinaan akhlak, pelopornya antara lain al-Muhasibi, Al-Ghazali, Abu Hasan As-Syadzili dll. 30 Sahl al Tustari (w. 283 H/986 M) dalam beberapa literatur seringkali dianggap sebagai sufi yang pertama kali menyebutkan Nur Muhammad sebagai awal mula penciptaan. Konsep-konsepnya kemudian diuraikan lebih jauh oleh AlHallaj, Suhrawardi, Al-Gazhali dalam tafsir ayat-ayat cahayanya, dan Ibnu Arabi yang mengekplorasi lebih jauh konsep Nur Muhammad al-Hallaj sehingga keluar konsep wahdat al-syuhud atau musyahadah atau oleh Ibnu Taymiyah disebut sebagai wahdat al wujud dan manusia sempurna al-Insan al-Kamil. Pandangan tasawuf falsafi umumnya sepakat untuk menguraikan penciptaan alam semesta dan semua makhluk secara langsung dengan penciptaan Nur Muhammad sebagai entitas makhluk sempurna atau murni, sebagai yang pertama kali diciptakan sebelum makhluk lainnya. Dalam konteks fisika modern, dapat disimpulkan bahwa konsepsi Nur Muhammad yang ditafsirkan dari Surat AnNur [24] : 35 tidak lain dari munculnya “cahaya awal mula” atau munculnya kecepatan cahaya yang saat ini kita sepakati memiliki nilai konstan diseluruh kontinuum kesadaran-ruang-waktu. Akan 31 tetapi cahaya awal mula dari QS 24:35 memiliki orde diatas kecepatan cahaya seperti tersirat dalam ungkapan “Cahaya Diatas Cahaya”. Namun, karena kecepatan cahaya merupakan suatu tetapan universal, maka kecepatan tersebut mestinya sudah ditentukan sebelum alam semesta diciptakan, jadi “Cahaya Diatas Cahaya” memiliki orde kuadratis yang lebih besar daripada kuadrat kecepatan cahaya saat ini yang menyingkapkan kesetaraan antara materi dengan energi sebagai prinsip penciptaan dalam keseimbangan (QS 67:3). Rumusan kesetaraan materi dan energi tersebut mengubah wajah dunia ketika diimplemengtasikan secara teknologi yang akhirnya melahirkan Bom Atom. Dalam pengkajian selanjutnya, saya akan membandingkan secara langsung konsepkonsep penciptaan tasawuf-falsafi secara konseptual, dengan pengertian-pengertian fisika modern yang ternyata mempunyai korelasi yang jelas. Konsep-konsep seperti materi atomis atau zarah gaib, cahaya awal mula, Nur Muhammad, bahkan bagaimana semua itu terjadi dengan cetusan “Kun Fayakuun” Allah SWT ternyata mempunyai makna kesejajaran dengan beberapa pengertian fisika modern yang nampaknya 32 diabaikan, atau luput dari tinjauan Umat Islam kecuali secara terbatas dimana penafsiran rasional juga digunakan oleh Muhammad Abduh, namun dalam batasan ketika Muhammad Abduh hidup, jadi penafsiran rasionalnya memiliki batasbatas keberlakukan. Kesetaraan makna tersebut ternyata bukan sekedar kesetaraan secara filosofis saja, namun secara konseptual eksoteris dan fisis, terdapat kesesuaian yang nyata sekali bahwa apa yang dimaksudkan oleh para sufi generasi awal tentang bagaimana alam semesta bermula yang diuraikan dari QS 24: 35, jelas-jelas dimaksudkan seperti apa yang dipahami oleh teori kosmologis modern saat ini, khususnya dengan model kosmologi “teori Big Bang”. Bahkan, pengertian yang diisyaratkan dalam QS 24: 35 tersebut sebenarnya berlaku untuk semua proses penciptaan makhluk, bukan sekedar penciptaan alam semesta makro semata. Beberapa ulama mengelaborasi QS 24:35 tersebut untuk menguraikan konsep tentang qolbu sebagai cermin atau sebagai esensi mikrokosmos manusia. Dan dalam uraian filosofisnya, para sufi yang 33 menggunakan ayat cahaya juga akhirnya menyatakan bahwa terdapat korelasi yang erat antara manusia Adam sebagai nenek moyang manusia dan Nabi Pertama dengan nabi-nabi era selanjutnya dalam bentuk Nur Muhammad. Sehingga format-format kenabian dan kerasulan di setiap zaman sebenarnya identik dengan kehadiran manusia-manusia sempurna yang menunjukkan jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan lingkupan Nur Muhammad ini. Dalam bentuk yang paling sempurna, Adimanusia itu adalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW sebagai manusia adalah wadah lahiriah dari esensi Nur Muhammad sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan, sehingga ia adalah titik optimum dari pertemuan esensi lahir dan batin seperti tersirat dalam QS 57:3. Dari pengertian demikian, saya simpulkan bahwa formatformat manusia ruhani mempunyai kaitan yang erat dengan eksistensi atau keseimbangan jagat raya itu sendiri karena esensi manusia sempurna sebagai wadah Nur Muhammad berkaitan erat dengan desain jagat raya global, baik yang gaib 34 maupun yang nyata. Jadi, bila formatformat manusia ruhani semakin berkurang di dunia, maka keseimbangan jagat raya akan guncang yang ditandai dengan munculnya bencana-bencana baik yang berasal dari bencana alam maupun bencana akibat keteledoran manusia sendiri. Dalam menjelaskan penciptaan alam semesta fisik selanjutnya, saya merujuk kepada pendapat para ulama tafsir dan tasawuf dan mendialogkannya dengan hasil-hasil penelitian mutakhir dari para saintis dan astrofisikawan yang meneliti kosmologi. Salah satu hasil penelitian sains modern yang saat ini mempunyai kesesuaian yang tinggi dengan ayat-ayat Al Qur’an dan fakta-fakta empiris penciptaan adalah model kosmologi Big Teori Bang (Dentuman Besar)[24.26,29] . Di dalam model alam semesta Dentuman Besar, umumnya para astrofisikawan menggunakan pendekatan sains modern yang diwakili oleh Teori Relativitas Einstein[37] dan Teori Kuantum[38], sehingga secara ilmu pengetahuan kedua pendekatan ini yang saya gunakan untuk mendukung tafsir para ulama atas ayat-ayat kauniyah. 35 Bab 5 Pendekatan null-to-one relation digunakan untuk menganalisis jati diri manusia sebenarnya. Relasi ini disebut null to one karena dimaksudkan sebagai relasi langsung Manusia – Tuhan yang tanpa perantara. Bagaimana relasi null to one ini terjadi? Relasi null to one bisa terjadi kalau manusia terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri. Untuk bisa memahami relasi ini, manusia terlebih dulu harus dimodelkan terdiri dari jasmani dan ruhani atau sebagai mikrokosmos dan nanokosmos (wilayah qolbu). Siapa yang mengenali dirinya pada akhirnya akan memunculkan sikap ketiadaan dirinya (kepasrahan) dihadapan Allah SWT. Manusia harus meng-null-kan diri (mengosongkan diri) dari semua bentuk kebendaan maupun kehendak atau hasrat dirinya untuk mengenal Allah SWT sebagai satu-satunya yang kekal atau Realitas 36 Absolut (al-Haqq). Meng-null-kan identik dengan tercapainya suatu kesadaran tingkat kuantum, atau dalam bahasa sufi makrifat, sehingga manusia akan fana didalam Kemahakuasaan Allah SWT. Fana dalam arti totalitas dirinya menjadi musnah (bahkan null) di hadapan Kemahakuasaan Ilahi. Karena itu, konsep relasi manusia-Tuhan saya sebut konsep null-to-one dimaksudkan sebagai upaya makrifat manusia untuk mengenal dan sampai kepada Allah SWT; dalam format yang lebih baku hal ini identik dengan prinsip mendasar tauhid yaitu “Laa ilaaha ilallaah”. Sedangkan dalam perspektif penciptaan maka berhadapannya manusia dengan Tuhan adalah refleksi atau cermin atas realitas dirinya yang menjadi citra kesempurnaan Tuhan. Untuk mengkaji pendekatan null-to-one dalam rangka mengenal diri sendiri digunakan kombinasi pendekatan bottom up dan top down. Pada pendekatan bottom up atau dari mikrokosmos ke mesokosmos (masyarakat dan lingkungannya), yang ditinjau adalah berbagai aspek aktifitas fisik manusia di Bumi beserta segala akibatnya yang seharihari kita amati baik secara personal maupun kolektif dengan melakukan 37 penelusuran terhadap kondisi ruhaniah manusia. Pada pendekatan ini diterapkan suatu kondisi bahwa kondisi kejiwaan manusia mempengaruhi tindakan fisiknya : Psikis kolektif Tindakan jasmaniTindakan Atau NanokosmosMikrokosmosMesokosmo s Pada pendekatan top down, atau dari mikrokosmos ke nanokonos, dilakukan penelusuran kejadian manusia sejak Allah berkehendak menciptakan Nur Muhammad, ruh sampai munculnya bayi dengan fitrah suci dan tumbuh menjadi manusia dengan berbagai tugas yang diembannya dari Allah. Disini akan dilakukan juga penelaahan tentang asal usul manusia khususnya Nabi Adam a.s. baik secara historis, psikologis, maupun teknologi medis kedokteran yang memungkinkan mengapa manusia baru tiba-tiba muncul di muka bumi dengan karakteristik yang berbeda dengan makhluk serupa manusia yang banyak mengilhami Charles Darwin sehingga 38 muncul teori evolusi menghebohkan itu. biologis yang Di dalam pandangan Islam, terdapat singularitas-singularitas penciptaan dimana “Kun Fayakuun” memegang peranan penting misalnya dalam penciptaan Nabi Adam a.s. dan Nabi Isa a.s. Oleh karena itu, ulasan tentang asalusul manusia akan difokuskan pada penciptaan Nabi Adam a.s. secara historis dengan meninjau aspek sosial budayanya yang berupa peradaban sebagai produk proses berfikir sebagai “manusia”. Kemudian, hasil tinjauan ini dikonfrontasikan dengan pandangan dan temuan sains modern baik dari sisi perkembangan psikologi manusia maupun dari ilmu pengetahuan dan teknologi medis-biologis yang ada saat ini. Tinjauan demikian kemudian disilangkan dengan hasil tinjauan dari pertanyaan mendasar “kenapa Allah SWT menciptakan manusia?” dan “tugas-tugas apa yang diemban oleh manusia menurut pandangan Al Qur’an?”. Selain itu, ditinjau juga kondisi-kondisi psikologis ruhaniah apa yang mempengaruhi selama hidupnya yang dalam pengertian Islam berkaitan dengan sunnatullah jiwa manusia. 39 Titik temu dari semua tinjauan tersebut tidak lain adalah suatu kondisi ideal manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan optimal dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya. Dalam literatur klasik Islam manusia ideal yang optimal ini disebut juga sebagai Insan Kamil, Manusia Sempurna, atau Adimanusia sebagai sosok makhluk yang mencapai kesempurnaan baik jasmani maupun ruhani. Konsep Insan Kamil dari segi teologis dan filosofis Islam erat kaitannya dengan konsep dan abstraksi Nur Muhammad sebagai makhluk awal mula. Konsep Nur Muhammad sebagai “makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT atau Akal Pertama” sangat mendominasi pandangan tasawuf-falsafi dimana disebutkan bahwa Nur Muhammad merupakan Nur Illahiah yang memungkinkan manusia mencapai maqamat atau tingkat ruhaniah sebagai Insan Kamil. Konsep demikian selanjutnya akan saya elaborasi lebih jauh di risalahrisalah selanjutnya dengan meninjau berbagai pandangan tasawuf-falsafi. 40 Bab 6 Untuk mengkaji aspek psikis akan dilakukan pengenalan manusia sebagai makhluk psikologis dan ruhani dengan melakukan kajian berdasarkan Al Qur’an yang dikenal sebagai psikologi Qur’ani [40]. Aspek psikis manusia dapat kita uraikan menjadi: Mengenal Allah Qolbu Uraian aspek psikis ini berlaku vertikal dan kearah dalam. Pengertian vertikal disini adalah tegak lurus arah panah waktu nyata kita yaitu menuju ke atas dengan memahami penciptaan alam semesta dan diproyeksikan kearah dalam menuju qolbu kita atau memahami kita sendiri karena melibatkan suatu aspek penting manusia yaitu kondisi ruhaniah atau kesadaran diri yang paling tinggi untuk mengenal Allah SWT. 41 Sedangkan aspek tindakan jasmani dapat diuraikan menjadi: Mematuhi/MenolakTindakan Positif/Negatif Hubungan ini menunjukkan aspek horisontal manusia yaitu sikap dan tabiat manusia yang melahirkan tindakannya secara individual atau pribadi, yang pada akhirnya akan berujung kepada tindakan kolektif karena resonansi tindakan manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya atau dengan lingkungannya (alam dan manusia). Kalau kita gabungkan kembali kedua hubungan diatas diperoleh model hubungan vertikal-horisontal yang pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan manusia sehari-hari. Dengan pendekatan top down (Tuhan-Manusia), dari model hubungan vertikal-horisontal diperoleh relasi “tindakan positif manusia” (selanjutnya disingkat relasi TPM) sebagai berikut : mengenal AllahQolbu Jernihmematuhi AllahTindakan 42 Positif Manusia. Sedangkan, relasi vertikal-horisontal yang menyebabkan relasi “tindakan negatif manusia” (selanjutnya disingkat relasi TNM) dapat digambarkan sebagai berikut : tidak mengenal AllahQolbu Pekatmenentang AllahTindakan Negatif Manusia. Pada hakikatnya, TPM memang sudah kehendak Allah. Sedangkan pada TNM manusia tidak mengenal Allah sehingga semua tindakan negatifnya muncul semata-mata karena perbuatannya sendiri. Dalam hal ini, terjadi kepatuhan atau penentangan atas kehendak untuk menjalankan perintah-perintah Allah yang dipengaruhi oleh interaksi internal dan eksternal yang terjadi dalam diri manusia. Apakah manusia kemudian membangkang atau mematuhi perintah akan dipengaruhi oleh kehendak bebas manusia dalam melakukan penalaran, pemilahan, dan menentukan pilihan tindakannya. Dengan kata lain manusia tetap bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya di dunia. Hasilnya akan menentukan apakah 43 manusia kemudian mampu mengenal dirinya dan Tuhannya atau terhijab sama sekali. Qolbu jernih atau pekat merupakan ungkapan dimana kondisi ruhaniah atau kesadaran diri manusia berada didalam TPM atau TNM. Secara hakikat, tindakan yang baik maupun yang buruk semuanya terjadi atas Kehendak Allah SWT. Namun hal ini jangan dipahami secara Qadariyah ataupun Jabariyah karena dari awal kita sudah diberi potensi dengan akal dan mempunyai kewenangan (kehendak bebas) bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi yang seimbang guna mengenali dan memilah milih mana yang baik dan mana buruk. Sedangkan pada pendekatan bottom-up (manusia-Tuhan) diperoleh relasi TPM sebagai berikut: Tindakan Positif Manusiamematuhi AllahQolbu Jernihmengenal Allah Relasi TNM digambarkan sebagai berikut : Tindakan Negatif Manusia menentang 44 AllahQolbu Pekattidak mengenal Allah Manusia akan dapat mengenali Allah bila ia mampu menyadari bahwa semua tindaktanduknya berasal dari hawa nafsu dan syahwatnya. Hawa nafsu dan syahwat , atau dalam bahasa Arab disebut nafs, merupakan hasrat hati yang sifatnya duniawi. Emosi seperti amarah, rasa takut, dan keserakahan berasal dari nafs ini. Bila nafsnya dapat dikuasai dan dikendalikan maka qolbunya jernih, manusia dapat mengenali bahwa dirinya adalah citra-Nya, sehingga bila qolbu selalu bening ia bisa mengenali Allah. Nafs yang terkuasai dan terkendali disebut jiwa yang tenang atau hati ruhaniah manusia. Namun, jika manusia dikuasai nafs ammarah, maka qolbunya dipenuhi kotoran-kotoran yang membuatnya menjadi gelap pekat. Ia tidak bisa bercermin untuk mengenal dirinya dan mengenali Allah. Semua tindakan negatif manusia yang dipenuhi keinginan duniawi muncul sebagai akibat nafs ammarah yang menguasai jiwanya. Kita memahaminya 45 sebagai tindakan manusia yang muncul akibat berbagai bisikan syeitan, syahwat yang memuncak, dan nafsu amarah yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan jasmaniah atau biologisnya semata. Atomatom tubuh kita terus-menerus bergetar, getaran itu memunculkan gesekan antar atom dan partikel tubuh, muncul panas sehingga panas tubuh kita yang esensinya sama dengan asal Iblis yaitu api hasil gesekan antar partikel materi mudah disusupi (istilah teknisnya mudah beresonansi) sehingga tanpa sadar kitapun dikuasainya atau malah berkelindan melahirkan syeitan. Pada kondisi demikian, qolbu manusia tertutupi gambar-gambar kebendaan. Akibatnya, manusia tidak mau memanfaatkan kehendak bebasnya untuk melakukan tindakan positif. Apa yang menyebabkan manusia mengenal atau tidak mengenal dirinya dan Allah sebagai Tuhannya Yang Maha Esa, pada akhirnya merupakan suatu proses pembelajaran dan pembinaan ruhaniah dirinya, sebagai upaya untuk menyelaraskan tindakannya dengan sunnatullah, semua perintah Allah dan larangan-Nya dan sunnatulrosul sebagai manifestasi nyata kehendak Allah 46 SWT. Gambar 2. Allah sebagai pusat tujuan aktivitas manusia 47 Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil dalam menelaah aktifitas manusia secara psikis dan fisik, Allah SWT sewajarnya 48 menjadi pusat, awal dan tujuan akhir aktivitas manusia tersebut, menjadi motivasi utama, menjadi medan gravitasi ruhani dan jasmani, sehingga secara langsung aktifitas-aktifitas manusia harus selaras untuk mematuhi Kehendak Allah SWT. Itulah yang dimaksud dengan sampai kepada Allah SWT. Kendati manusia dikaruniai kehendak bebas, namun fitrah suci semua manusia adalah mengenal Allah SWT sebagai penciptanya dan sampai kepada-Nya. 49 Bab 7 Dalam pandangan agama Islam, hirarki integralistik (kesatupaduan) manusia secara keseluruhan akan membentuk sosok Pribadi Muslim. Secara kolektif, kumpulan-kumpulan aktivitas ini akan membangun suatu peradaban manusia yang Islami, yang membina hubungan yang serasi antara manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya yaitu Masyarakat Islam. Pandangan filsafat integralistik Armahedi Mahzar [31] untuk manusia menguraikan konsep hirarkis di atas secara lebih rinci sebagai suatu kesatupaduan Pribadi Muslim adalah : roh – keyakinan – kesadaran – kelakuan – badan Dimana kesatupaduan ini sejajar dengan kesatupaduan peradaban Islam yang terdiri dari : 50 Qur’an – din – hikmat – tamaddun – ummat Jadi, secara aktual Peradaban Islam dan secara lebih khusus saya arahkan kepada Bangsa Indonesia, peradaban atau kemajuan bangsa ini akan tercapai secara Islami bila individu-individu di dalamnya merupakan Pribadi Muslim (dalam arti yang khusus dan spesifik Pribadi Muslim mestinya adalah mereka yang beragama Islam, namun secara universal Pribadi Muslim bisa saja seseorang yang memiliki akhlak yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam namun tidak beragama Islam) yang mengarahkan aktifitasnya sematamata untuk memenuhi peranannya sebagai abdi atau hamba Allah dan pengemban amanat Allah SWT. Apakah menjadi khalifah dalam lingkup personal, keluarga, atau dalam lingkup yang lebih luas semua aktifitasnya harus diarahkan dengan pijakan awal dan akhir dari dan untuk mencapai tujuan utama yang absolut yaitu sampai kepada Allah SWT dengan penghambaan sebagai hamba Allah semata. Pencapaian-pencapaian lahiriah hanya sekedar ekses (efek 51 sampingan) dari aktivitas manusia dalam rangka mencapai tujuan absolutnya yaitu sampai kepada Allah SWT. 52 Bab 8 Kesatupaduan manusia, alam semesta, dan Tuhan membawa kita kepada doktrin tasawuf yang populer “Kenalilah dirimu, maka engkau akan kenal Tuhanmu”. Untuk bisa mengenal Tuhan, disyaratkan untuk mengenali diri kita sendiri. Pengenalan yang bagaimana supaya kita bisa mengenali diri secara tuntas? Hal ini merupakan wilayah kajian tasawuf dimana terletak aktivitas pembinaan unsur-unsur lathifah (halus) manusia sehingga bisa mengenali esensi spiritualnya atau kesadaran dirinya yang optimum sebagai hamba Allah dilakukan. Namun, sebelum lebih lanjut menguraikan pemahaman sufistik ini, kita memerlukan piranti pengetahuan metafisika yang akan menjadi jembatan untuk memahami dunia spiritual dan dunia wujud fisikal. Untuk bisa mengenal tuntas hubungan ini kerangka filsafat integralistis sangat membantu sebagai upaya mengetahui 53 peran manusia sebagai individu maupun secara kolektif. Filsafat integralisme pertama kali saya kenal kurang lebih duapuluh satu tahun yang lalu melalui tulisan Armahedi Mahzar [31] “Integralisme : Suatu Rekonstruksi Filsafat Islam” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada tahun 19835. Dalam pandangan integralisme, realitas wujud adalah suatu keserbasusunan dan kesatupaduan dari segala sesuatu yang ada: Yang Mutlak dan Esa, yang nisbi dan beraneka. Kesatupaduan ini disebut “integralitas wujud” atau “kesatupaduan realitas”. Dasar dari kesatupaduan realitas itu adalah dua buah asas perjenjangan yang saling tegak lurus satu sama lain. Kedua perjenjangan itu adalah perjenjangan mendatar (hirarki horisontal) dan 5 Jadi, waktu itu penulis memang masih awal SMA, entah bagaimana dan barangkali sudah menjadi kehendak Allah, buku berjudul “Integralisme” karangan Armahedi Mahzar dan buku karangan Idries Shah “Hikmah Dari Timur” merupakan bukubuku pertama saya yang berhubungan dengan dunia filsafat dan tasawuf. Selepas SMA, beberapa buku filsafat dan tasawuf lainnya yang saya miliki saya sumbangkan ke seorang teman yang aktif mengelola kelompok remaja masjid Salman di Bandung. 54 perjenjangan menegak (hirarki vertikal). Perjenjangan mendatar wujud dinyatakan sebagai perjenjangan: dapat Manusia - Alam Semesta - Allah atau uraian yang lebih terinci adalah sebagai perjenjangan: Diri Pribadi- Masyarakat - Alam Nyata Alam Ghaib - Allah Kalau kita lihat, perjenjangan ini tidak lain merupakan penguraian dari polarisasi (pengutuban) wujud yang sudah sejak lama dikenal dan tersirat di dalam al-Qur’an sebagai hubungan antara hamba dengan Tuhannya atau “‘Abd Allah”: Ciptaan - Maha Pencipta Hubungan diatas bukan sekedar hubungan kausalitas semata, namun maknanya yang hakiki akan berkaitan erat dengan suatu kondisi awal mula bagaimana Tuhan pertama kali menciptakan makhluk-Nya dimana secara konseptual akan dinyatakan bahwa semua makhluk pada hakikatnya adalah Hamba Allah. Akan tetapi, 55 aktualisasi sebagai Hamba Allah hanya akan dinisbahkan pada manusia dan jin. Sedangkan amanat penciptaan dimana makhluk menerima Pengetahuan Tuhan dengan optimum hanya diberikan kepada manusia sebagai Hamba yang menyingkapkan hubungan dirinya dengan Tuhannya. Oleh karena itu, kesempurnaan dan kemuliaan manusia dibandingkan makhluk lainnya mencerminkan kemuliaan dari Penciptanya, atau secara azali ide penciptaan oleh Tuhan dikarenakan Dia hendak mengenal Diri-Nya dalam penampilan-Nya yang Maha Agung dan Maha Indah yaitu manusia dengan perjanjian pra-eksistensi dengan-Nya atau Qalb al-Mu’minun sebagai Cermin Allah yang pertama. Perjenjangan menegak wujud dinyatakan sebagai perjenjangan: dapat Fisik - Non Fisik - Metafisik atau dalam uraian yang merupakan perjenjangan : lebih terinci Materi – Energi – Informasi – Nilai Sumber 56 Perjenjangan ini polarisasi dari : merupakan hasil Eksistensi - Esensi Eksistensi adalah keterkaitan maujud yang tidak secara langsung dinyatakan secara homogen namun secara bertingkat dan bertahap sebagai suatu tatanan Pengetahuan. Oleh karena itu Allah adalah Rabbul ‘Aalamin sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik dimana manifestasi-Nya itu akan melekat disemua makhluk ciptaan secara hirarkis vertikal, dari yang Ghaib menjadi Yang Nyata. Yang Nyata adalah penyebutan dari sisi yang dikatakan kemudian sebagai yang ada secara lahiriah yaitu yang memahami Asma, Sifat dan Af’al-Nya. Jadi, eksistensi ini berkaitan dengan aktualisasi Allah sebagai “Akal Awal” yang dinisbahkan kepada manusia sebagai akal yang mampu mengikat dan menguraikan atribut penampilan Allah yaitu Asma, Sifat dan Af’al menjadi Pengetahuan Tentang Allah serta titik tolaknya yaitu Penauhidan atau Prima Kausa atau Aksioma Mutlak Benar yaitu bilangan 1 sebagai simbolisme penegak pertama yaitu Tuhan Yang Maha 57 Esa. Sehingga hal itu berkaitan dengan eksistensi manusia sendiri sebagai pengemban amanat atau penyebutan “manusia (al-Insaan)” yang layak diterapkan kepada makhluk yang berakal pikiran, mempunyai hati, dan digunakan sebagai suatu instrumen mengenai Penciptanya. Pada akhirnya proses perjalanan ruhani manusia yang sadar akan eksistensi dirinya akan berkaitan dengan Esensi Ilhiyah dalam dirinya yaitu Tuhan yang menciptakannya. Yang tidak mau mengetahui ataupun tahu tapi tidak mengakui dirinya diciptakan disebut sebagai Iblis (QS 18:51). Karena tatanan maujud yang diciptakan bersifat Eksistensial yang berjenjang berupa suatu tatanan Pengetahuan Tuhan atau al‘Aalamin, maka semua proses yang disebut “penciptaan” akan berkaitan dengan “suatu proses dalam kesadaran-ruang-waktu” dimana manifestasi “Allah, Rabbul ‘Aalamin” akan tampil nyata yaitu makhluk ciptaan-Nya maupun manusia yang mampu mengadopsi Pengetahuan Tuhan. Sehingga peran manusia menjadi Wakil Tuhan di muka bumi akan berkaitan dengan cara bagaimana manusia 58 berkembang dan memahami proses kejadian dirinya dari esensi makhluk yang pertama kali yaitu makhluk beriman dan akhirnya tumbuh sebagai makhluk yang berakal pikiran yang dilabeli sebagai “’Adam, an-Naas, manusia, al-Insaan, alMukmin, dan al-Mukminun”. Ia sebagai makhluk bernama manusia memiliki kemuliaan jiwa yang murni sebagai fitrah asal yang disebut “insaana fii ahsaani taqwiim”, dan dengan panduan akalnya, hatinya dan Qalam yang berserah diri dihadapan Realitas Ketuhanan akhirnya ia mampu mengenal dan kembali kepada Tuhannya. Oleh karena itu apa yang disebut proses evolusi maupun revolusi sejatinya proses penciptaan dimana manusia pun mengalaminya dalam skala yang telah ditetapkan sebagai suatu batasan-batasan yang telah disepakati yaitu definisi “manusia” itu sendiri dan “makhluk lainnya” misalnya binatang, tumbuhan, atau yang lainnya. Hal ini perlu dipahami untuk mengubah pengertian kita tentang “penciptaan itu sendiri” yang sering disalahpahami seolah-olah “harus muncul langsung begitu saja tanpa proses”, padahal maksud Tuhan ketika makna “penciptaan” 59 diperkenalkan sejatinya mencerminkan arti “Allah, Rabbul ‘Aalamin” sebagai: “Pencipta semua makhluk-Nya dalam tatanan esensial atau elementer dimana inderawi fisikal manusia tak berfungsi” yang menjadi cermin langsung Tuhan yaitu makhluk beriman (belum dikatakan bahwa makhluk itu adalah manusia) yang menyaksikan ke-Esa-an, Pemelihara semua Makhluk-Nya secara langsung dalam suatu sistem yang berproses (adanya pengertian waktu yang kelak akan memicu kesadaran ketika kecerdasan makhluk mulai dapat mengenal alam), dan Pendidik semua Makhluk-Nya yang berjalan tidak serba instan tetapi melalui suatu proses belajar. Sehingga ciri-ciri keserbainstanan sebenarnya bukan menunjukkan makna “penciptaan” yang dimaksud dalam wilayah eksistensi bentuk benda yang nyata dan komplek namun wilayah esensial (makhluk elementer yaitu Ruh). Pengertian instan yang diadopsi saat ini seringkali menjebak kita dalam dilema 60 “telur dan ayam” sebagai “model penciptaan” padahal ungkapan tersebut telah diselewengkan oleh Iblis yang menunggangi nafsu manusia yang memang tidak tahu bagaimana dirinya (Iblis) diciptakan (Qs 18:51). Idiom “telur dan ayam” pada akhirnya adalah idiom Aristotelian yang mengalami kebuntuan sehingga akal pikirannya yang sejatinya bisa jernih tidak mau berserah diri, akhirnya malah menelikung akal pikirannya dan membuka wacana filsafat materialisme selama ribuan tahun tentang misteri “kata-kata” yang dikenal sebagai “penciptaan” namun wilayah penerapannya bukan wilayah esensial sehingga contoh yang digunakan Aristoteles adalah “Model Telur dan Ayam” yang sebenarnya penerapannya terbatas atau kalaupun dimaksudkan untuk menjadi model penciptaan sejatinya harus dikatakan siapakah pencipta makhluk yang menyebutkan bahwa benda berbulu yang berkotek-kotek disebut “Ayam” dan yang muncul dari badannya disebut “telur”. Artinya mestinya model penciptaan itu merujuk kepada manusia sendiri “Siapakah aku? Darimana asalku? Sejak kapan aku berkata-kata dengan geometri, bilangan dan huruf? Bagaimana caranya 61 bisa begitu kok mau-maunya diindoktrinasi dengan simbol-simbol? Apa arti suatu simbol? Lantas mau kemanakah aku? Dan ngapain di dunia ini?”. Jadi, pertanyaan mendasar tentang penciptaan harus ditujukan kepada : Siapakah yang membuat istilah bahwa makhluk berbulu itu disebut “ayam” dan makhluk yang muncul dari pantat ayam disebut “telur”? Siapakah yang mengajarkan makhluk pemberi istilah itu (sekarang makhluk itu disebut manusia) berkata-kata, lantas kapan dimulainya? (simak makna QS 55:14) Siapakah yang memperkenalkan sistem ilmu pengetahuan dengan landasan Aksioma Mutlak Benar bilangan 1 sehingga bilagan 2,3,4,5 dan yang lainnya muncul? Lantas sejak kapan muncul geometri dan huruf? Setelah itu diketahui baru muncul istilah kebahasaan ini “ayam” dan itu “telur”. Lantas bisakah model “ayam dan telur” dijadikan sebagai “suatu model penciptaan”? 62 Sejauh mana berlakunya dan pantaskah dijadikan argumentasi filosofis dalam wilayah eksistensial maupun esensial. Dari uraian diatas akan terlihat bahwa keberlakuan “model telur dan ayam” ternyata sangat lemah bahkan sama sekali “tidak valid” untuk dijadikan sebagai “model penciptaan” karena ternyata hanya sebatas kulit cangkang telur dan bulu ayam semata yang nampak dari mata inderawi lahiriah di siang hari. Sedangkan esensi telur dan ayam sendiri akhirnya akan tertabiri karena eksistensi ayam terdiri suatu tatanan makhluk lainnya yaitu susunan organ, sel, jaringan, gen, molekul, atom, quarks dan akhirnya siapakah esensi ayam dan telur? Maka dalam wilayah esensial terdapat pengertian tentang “Esensi Ilahiyah” atau “‘Ain Yang Maujud” merupakan rahasia dari semua hamba Allah yang dimaujudkan dari kehendak dan keinginan yang paling esensial sebagai perintah Tuhan yang tak bisa dibantah. Secara lebih sederhana, kerjasama antara asas perjenjangan horisontal dan vertikal merupakan suatu matriks susunan wujud 63 yang dikonsepkan Armahedi Mahzar terdiri dari lima buah baris integralitas mendatar yaitu : a) Kesatupaduan serbasusunan (integralitas struktural) b) Kesatupaduan serbagerakan (integralitas dinamikal) c) Kesatupaduan serbaperanan (integralitas fungsional) d) Kesatupaduan serbalandasan (integralitas fundamental) e) Kesatupaduan saripati (integralitas esensial) dan lima buah kolom integralitas menegak: a) kesatupaduan diri pribadi (integralitas mikrokosmis) b) kesatupaduan budaya masyarakat (integralitas mesokosmis) c) kesatupaduan alam semesta (integralitas makrokosmis) d) kesatupaduan aneka alam (integralitas suprakosmis) e) kesatuapaduan Maha Pencipta (integralitas metakosmis) Kesatupaduan yang diuraikan menurut filsafat integralisme merupakan suatu tinjauan kosmologis yang utuh untuk mengkaji berbagai aspek keseimbangan, 64 keteraturan, ketertalaan, keserbasusunan, dan kesatupaduan yang kita jumpai di berbagai tatanan alam semesta dengan menggunakan Allah SWT sebagai pusat sekaligus tujuan akhir dari semua aktivitas yang dilakukan di tataran mikrokosmis. 65 Bab 9 Kalau kita tinjau uraian dasar filsafat integralisme di atas, maka uraian integralisme merupakan hasil sintesa dari pandangan-pandangan sufistik-filosofis yang awalnya berasal dari Sahl al-Tustari, kemudian dikembangkan oleh al-Hallaj dan Ibnu Arabi dimana konsepsi hubungan “Manusia-Tuhan” atau “Lahut-Nasut” (alHallaj) dan “Makhluk-Pencipta” atau “Khalq - al-Haqq” (Ibnu Arabi) merupakan dua rupa suatu hakikat atau lebih populer dengan sebutan “Wahdat As-Syuhud atau Musyahadah” [34] atau menurut Ibnu Taymiyah “Wahdat-al-Wujud”. Menurut William C. Chittik[30], istilah “syuhud” atau “penyaksian” yang dinisbahkan kepada Syekh Ibnu Arabi sebenarnya berkaitan erat dengan konsep-konsep sufistik yang berhubungan dengan peniadaan atau fana. Istilah syuhud mengingatkan kita kepada salah satu Asma-asma Allah yaitu yang Maha Menyaksikan atau al-Syahid karena “tiada saksi kecuali Yang Maha Menyaksikan”. 66 Penyaksian secara umum dapat diartikan sebagai melihat, namun tidak hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati, sebagai suatu esensi ruhaniah manusia dimana kesadaran dan keinsafan berada. Penyaksian seringkali juga disamakan dengan penyingkapan atau kasyf, yaitu tersingkapnya selubung yang ada diantara makhluk dengan al-Haqq. Hal ini membutuhkan suatu kesadaran yang disebut dengan kesaksian, akan tetapi tidak membutuhkan kesadaran-diri secara penuh. Di dalam penyaksian maka akal si penyaksi tidak berfungsi, oleh karena kondisi penyaksian terjadi dalam peniadaan (kefanaan), sehingga semua kemampuan fisis-biologis manusia lumpuh dan hilang. Kendati kemampuan akal masih berperan, dalam penyaksian maka berbagai kemampuan akal tidak memiliki pengaruh apapun dan tidak bisa menghindari penyaksian tersebut karena memang dimaksudkan hanya kepada si penyaksi yang jadi obyek penglihatan Allah, dan oleh karena itu penyaksian demikian bersifat anugerah dan tak bisa dipaksakan dari keinginan diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Arabi mengatakan bahwa jejak penyaksian hanya akan ditinggalkan di dalam hati sang penyaksi. Artinya, 67 instrumen penyaksian itu tidak lain adalah hati atau qolbu yang jernih dan bening sesuai dengan hadis nabi yaitu qolbu yang menjadi singhasana Allah. Di dalam Al Qur’an hal ini diungkapkan ketika Nabi Muhammad mengalami mi’raj sehingga Allah berfirman bahwa “Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya” (QS 53:11). Istilah wahdat al-wujud atau “Kesatuan Wujud” dalam sejarah Islam sempat mengundang perhatian dan polemik. Ekspresi yang diwakili dengan istilah wahdat al-wujud atau “Kesatuan Wujud” yang disodorkan oleh Ibnu Taymiyah sebenarnya tidak pernah ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Akan tetapi seringkali Ibnu Arabi membuat pernyataanpernyataan yang serupa dengan pengertian wahdat al-wujud atau kesatuan wujud. Menurut William C. Chittik, yang tekun meneliti karya-karya Ibnu Arabi, ia cenderung berpendapat bahwa dari segi ontologis sebenarnya ide wahdat al-wujud tidak dapat dinisbahkan kepada Ibnu Arabi karena iapun seringkali menyatakan tentang “kejamakan realitas”. Pengertian dasar dari kata wujud adalah “menemukan” atau “ditemukan” karena berasal dari 68 bentuk mashdar dari wajada (menemukan) atau wujida (ditemukan) yang berasal dari akar kata WJD. Sekali lagi, dilema model dunia ilmiah memang muncul ketika manusia hanya sekedar menjadi pengamat atau komentator bukan menjadi pembanding pengalaman langsung. Pada akhirnya yang muncul adalah perang istilah keilmuan yang justru tidak mampu banyak berperan untuk memahami suatu penyaksian bahkan lebih banyak munculnya kesalahpahaman. Tanpa penelahaan kritis kesalahpahaman akhirnya akan muncul sebagai penghujatan, penyesatan, yang bermuara kepada ketidaksalingmengertian. Ibnu Arabi seringkali menggunakan istilah wujud dalam pengertian yang beragam karena dia memahami istilah tersebut dengan pengertian-pengertian yang paling elementer atau mendasar yang jamak, kemudian menyajikan fakta bahwa wujud adalah satu. Pada tingkatan tertinggi wujud adalah adalah al-Haqq, realitas Tuhan yang absolut dan tidak terbatas yakni Wajib alWujud (Wujud Niscaya). Dalam pengertian demikian, maka wujud menandakan Esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al-Haqq) sebagai satu-satunya realitas yang nyata di setiap 69 sisi. Sedangkan pada tingkat paling rendah, wujud berupa substansi yang meliputi “segala sesuatu selain Tuhan” (ma siwallah)[30], artinya semua makhluk sejatinya maujud dari penampakkan Tuhan. Dengan cara demikianlah kemudian Ibn Arabi melakukan integrasi vertikal (bottom up) mendefinisikan kosmos atau alam semesta (al-Aalamin) sebagai kesatupaduan wujud-Nya. Pengertian wujud berlaku sebagai suatu kesatupaduan integralistis untuk semua eksistensi dari tatanan mikrokosmos sampai makrokosmos. Pengertian demikian serupa dengan hirarki kealaman yang terstruktur dari alam gaib sampai nyata, dimana yang nyata ditopang oleh tatanan dibawahnya sehingga akhirnya semua maujud makhluk ditopang oleh yang gaib. Kalau masih bingung juga, ambillah antena radio jaman dulu yang berupa silinder berjenjang dengan diameter yang berbeda, lalu tarik dan panjangkan sampai yang diameternya kecil menjadi ujungnya, lalu masukkan lagi, begitulah kira-kira maksud integralitas maujud yang dimaksud Ibnu Arabi. 70 Kalau kita kaitkan dengan pengertian fisika modern, dimana semua materi elementer sampai obyek merupakan hasil dari ikatanikatan cahaya sebagai gelombang elektromagnetik, maka wujud juga dapat dipahami sebagai nur atau cahaya. Sebagai nama yang merujuk kepada sifat-sifat kelilahian, wujud sebagai Nur Ilahi atau Cahaya Ilahi memiliki karakteristikkarakteristik tertentu yang memang sudah dikuantifikasikan atau ditentukan kadarnya. Dialam semesta fisik, maka nur atau cahaya ilahi dipahami sebagai suatu entitas yang berada dalam bentuk kuanta cahaya (foton) seperti lazimnya pengertian cahaya dalam fisika modern. Boleh jadi di alam gaib nur atau cahaya ilahi ini tidak berbentuk cahaya seperti yang kita kenal sekarang ini sebagai energi gelombang elektromagnetik atau foton, mungkin malah lebih cepat atau kecepatannya beberapa kali kecepatan cahaya di alam fisik karena masih dalam bentuknya yang primordial dimana gayagaya alam masih merupakan unifikasi (gabungan). Namun, boleh jadi juga fenomenanya serupa benar sebagai suatu prinsip dasar hukum-hukum alam, namun 71 mempunyai frekuensi yang sangat tinggi dan rendah secara bersamaan. Cahaya yang terpahami oleh penghuni bumi adalah cahaya dalam spektrum cahaya tampak yang dibangun dari warna dasar Red-Green-Blue (RGB). Dalam bentuk yang murni, maka cahaya akan menghancurkan karena frekuensinya yang sangat tinggi misalnya cahaya ledakan karena fusi nuklir. Dalam pengertian fisika maka spektrum ultra ungu adalah frekuensi cahaya yang mematikan makhluk hidup sehingga bumi harus ditabiri oleh atmosfir agar cahaya yang sampai ke permukaan bumi mampu mendukung keberadaan makhluk hidup. Cahaya Ilahi sebagai cahaya yang murni adalah cahaya yang tidak dapat kita indera dengan semua sistem penginderaan, baik indera alamiah kita maupun dengan sensor buatan. Dengan kata lain, Cahaya Ilahi yang hakiki akan memusnahkan segala sesuatu yang oleh kita disebut benda-benda yang bersifat materialistik, ketika hal itu terjadi maka semua eksistensi kemakhlukan secara eksistensial ada namun secara esensial menjadi tidak ada karena yang tampil hanyalah Wajah Allah semata. 72 Baik cahaya murni dalam frekuensi yang paling tinggi maupun paling rendah yang tidak terpetakan dalam spektrum cahaya tampak yang dikenal masyarakat modern, maka cahaya murni bersifat gaib dalam dirinya sendiri. Jadi, wujud pun demikian juga, wujud sebagai Dzat al-Haqq tidak dapat diindera dalam dirinya sendiri, namun tiada sesuatupun yang dilihat tanpa wujud; atau kita sebenarnya tidak melihat hal lainnya kecuali wujud yang menjadi kasat mata karena adanya selubung atau batas-batas yang sudah ditetapkan-Nya (yakni kecepatan cahaya dan konstanta Planck sebagai batas-batas kehidupan fisikal manusia). Batas-batas itulah yang membatasi semua pencerapan inderawi makhluk pada masing-masing spektrum wilayahnya, sehingga manusia, binatang, dan wujud yang bersifat materi maupun energetis seperti jin mampu dilihat oleh manusia. Namun, ada juga wujud yang tidak atau belum dapat dilihat dengan panca indera atau pun dengan peralatan buatan manusia kendati pengaruhnya sangat kita rasakan misalnya seperti gelombang gravitasi yang membangun medan gravitasi, partikelpartikel elementer yang diduga ada dan disebut sebagai materi-gelap, sampai 73 ketatanan dunia kuantum yang disebut gelembung-gelembung dan buih-buih kuantum sebagai struktur dasar alam semesta yang berbentuk hexagonal (segi enam dengan satu titik tengah, jadi menunjukkan hirarki 7 titik dalam satu kesatuan seperti sarang laba-laba dalam QS 29:41), hingga akhirnya sama sekali lenyap atau Gaib Mutlak, dan senyatanya eksistensi semua wujud kemudian adalah maujud dari ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-Ilm, al-Iradah, al-Qudrah-Nya dan asma serta sifat-sifat Allah lainnya yang menunjukkan eksistensi-Nya sebagai Rabbul Aalamin – Yang Maha Memelihara Dan Mendidik. Tradisi Islam mutakhir sebenarnya benar ketika menisbahkan asal-muasal doktrin wahdat al-wujud kepada Ibnu Arabi, karena dia menegaskan bahwa wujud dalam pengertian yang sebenarnya adalah realitas tunggal dan tidak dapat menjadi dua wujud. Jadi, kalau ditelusuri lebih jauh, “tiada wujud kecuali wujud-Nya” sebenarnya menyatakan konsep Ketauhidan Murni yaitu “Tiada Tuhan selain Allah SWT”. Akan tetapi, Ibnu Arabi menekankan sebagian besar dari pemikirannya kepada realitas jamak di dalam konteks kesatuan Tuhan. Sehingga, 74 hal ini menimbulkan kesalahpahaman seakan-akan dia secara sederhana menegaskan kesatuan wujud, sementara disisi lain menisbahkan kejamakan kosmos pada ilusi mental yang telah menjadi konsensus bersama (misalnya: kenapa kita bisa begitu yakin bahwa 2x2=4?) atau pada kedunguan manusia. Dalam pandangan Ibnu Arabi, keserbaragaman akan nampak menjadi tunggal ketika ia dikaitkan langsung kepada Tuhan, al-Haqq. Semuanya ada karena kehendak Allah semata dan ditopang hanya karena pertolongan dan kekuatan-Nya (kalimat Haulaqah) sehingga apa yang nampak beraneka sejatinya adalah sekedar penampakkan dari Af’al (perbuatan), Asma-asma dan Sifat-sifat Allah SWT. Semuanya ada karena Allah SWT menghendakinya dan karena itu sejatinya semua wujud sudah ditentukan qadā dan qadar-nya, memiliki sifat khusus sendiri, maka semua wujud yang beraneka itu adalah “selain Tuhan” dan “bukan Tuhan”, tetapi sekedar penampakkan-Nya semata alias makhluk. Oleh karena itu, bagi seseorang penyaksian atau penyingkapan adalah suatu peniadaan dari semua wujud makhluk, bahkan dari 75 dirinya sendiri, agar tersingkap dan tersaksikan dengan matahati bahwa Realitas Absolut (al-Haqq) adalah Allah SWT semata sebagai Yang Maha Esa. Tanpa harus disalahpahami menjadi panteisme yang salah kaprah dan berlebihan dimana Tuhan dikatakan dapat mewujud sebagai makhluk (padahal Tuhan sekedar berkehendak menampakkan Af’al, Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya yang termanifestasikan menjadi semua makhluk), kita harus memahami bahwa pandangan integralisme merupakan suatu “Kecerdasan Spiritual” hasil dari tranformasi pengetahuan filosofis-spiritual menjadi pengetahuan filosofis-intelektual yang dapat menjadi jembatan antara pemahaman spiritual yang umumnya merupakan hasil dari perenungan intuitifsubyektif dengan pemahaman sains yang merupakan hasil dari nalar logis-ilmiah. Karena dengan cara demikianlah, semua realitas yang jamak adalah semu dan sejatinya yang ada hanyalah al-Haqq sebagai Realitas Absolut. Kecerdasan Spiritual seperti ini oleh Seyyed Hossein Nasr [33] disebut sebagai “scientia sacra” yaitu “pengetahuan metafisika” yang 76 dapat menentukan tingkatan-tingkatan realitas dan sains. Pengetahuan seperti inilah yang sebenarnya dapat mengungkapkan signifikansi, secara simbolik dan spiritual, dari kemajuan teori-teori dan pengetahuan ilmiah yang semakin kompleks. Tanpa pengetahuan semacam ini, teori-teori dan pengetahuan ilmiah, sebagai produk nalar logis akal manusia dan mendasari tingkah laku personal maupun kolektifnya, akan nampak seperti fakta-fakta yang buram dan buta terhadap tatanan hakikat yang utuh dan adanya Realitas Absolut (al-Haqq) yang lebih tinggi. Kebenaran-kebenaran yang diklaim sains tanpa “Kecerdasan Spiritual”, pada akhirnya akan menjadi kebenaran yang subyektif-manipulatif, relatif-reduksionis, materialis-hedonis. Kebenaran demikian akan menjadi suatu hijab yang tidak dapat ditembus, yang akan menyembunyikan Realitas Absolut sebagai hakikat realitas tertinggi. Oleh karena itu, pisau bedah tasawuf atau sufisme via integralisme dalam mengkaji kesatupaduan Manusia Alam Semesta - Tuhan ini adalah instrumen pengetahuan yang digunakan sebagai suatu piranti untuk mengenal diri dengan 77 membangkitkan “Kecerdasan Spiritual” manusia agar dapat melengkapi, memaknai, mengerti, dan membenarkan fakta-fakta yang diungkapkan oleh produk nalar logis manusia (sains modern) secara utuh yang bersandar pada aksioma mutlak yang benar sejauh ini yaitu Bilangan Prima Kausa, Yang Satu, atau secara simbolik menjadi tanda 1 sebagai suatu simbolisme ketergantungan dari apa yang kita sebut realitas kehidupan sebagai realitas yang ditopang oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jika tidak demikian maka gugurlah semua asumsi keilmuan kita karena sebab apa kita yakin bahwa 2x2=4, yang “berbulu dan berkotek” adalah “ayam” dan yang “bulat dari hasil ayam berkembang biak” disebut “telur”? Artinya kesahihan geometri, bilangan dan huruf pun harus dipertanyakan kembali karena semua itu tak lebih dari suatu ungkapan simbolik dari hasil budi daya akal semata bukan fakta yang sebenarnya. Instrumen-instrumen pengetahuan yang menjadi pengalaman kreatif sufistik dapat dijadikan sebagai suatu model perspektif intelektual untuk menghubungkan penalaran logis (ma’rifat aqli) dengan pengalaman intuitif (ma’rifat dzauqi) hasil 78 penyaksian dan penyingkapan pengalaman ruhani, atau dengan iman dan wahyu. Dengan kata lain, ada suatu cara yang valid selama ribuan tahun untuk mengekstrak Pengetahuan Tuhan sebagai wilayah Wahyu Imajinal dengan ungkapan metaforik (misalnya dari al-Qur’an) menjadi real sebagai manifestasi langsung Allah, arRahmaan-ar-Rahiim, yang mampu dirasakan lahir dan batin sebagai suatu realitas maya yang menjadi penopang peradaban. Sehingga, kemajuan manusia, sains dan peradaban akan mendukung tujuan-tujuan spiritual, dan demikian juga sebaliknya sebagai bukti penyaksian dan aktualisasi dari Jamal dan Jalal Allah yang sebenarnya dimana seluruh Umat Manusia dapat menikmatinya dengan sadar akan kelemahan dirinya, jadi bukan sekedar penikmat peradaban yang hedonis namun penikmat yang mampu mencitrakan Kemahaindahan dan Kemahaagungan Tuhan Yang Maha Esa sebagai al-Haqq (Realitas Absolut). Pada proses ekstraksi demikian, akan terjadi perubahan kualitatif dari kehendak individual pelaku gnostis (para sufi) yang diubah menjadi tahapan-tahapan yang saling terkait dari suatu kondisi kasyaf 79 atau penyingkapan atau penyaksian untuk menguraikan kondisi-kondisi yang ada, atau pencitraan ruhaniah yang terjadi pada berbagai tahapan dari hakikat secara keseluruhan. Dengan menggunakan model imajinal yang dapat dikenali oleh persepsi dan kognisi lahiriah maka model-model pengetahuan dapat dinyatakan sebagai konsep-konsep strategis pengembangan peradaban maupun implementasi praktisnya dalam lingkup yang lebih nyata yang sejatinya telah dilakukan di zaman Rasulullah ketika sistem abjad Arab dimodifikasi dari 22 huruf menjadi 28 huruf dan sampai akhir abad ke-3 Hijriah dimana generasi Islam Awal mampu mengaktualkannya. Fondasi ilmu pengetahuan modern yang dipelopori Jabir Ibn Hayyan, Aljabar, dan ilmuwan muslim lainnya sebenarnya lahir di sekitar abad ke-1 sampai 3 Hijriah sampai akhirnya Umat Islam alpa dan lalai dimana semua pengetahuan pun kemudian diboyong ke Barat. Dalam sejarah sufisme, pengalaman kreatif seperti inilah yang menghasilkan dasardasar pengungkapan pengalaman ruhani dalam bentuk puisi, prosa, dan prinsip80 prinsip dasar pengetahuan makrifat dalam dunia Islam. Pengalaman makrifat sebenarnya berkaitan erat dengan pengetahuan fisika modern saat ini yang terungkap pada awal abad ke-20 yaitu munculnya teori kuantum dan relativitas. Namun, nampaknya setelah era Ghazalian pengalaman makrifat tidak ditelusuri lebih jauh dan seolah-olah terpenggal menjadi harta yang tersembunyi dalam ungkapanungkapan metaforis sufistik. Sebaliknya, pengalaman hakikat eksoteris Islam yang diusung oleh Ibnu Ruysid malah berkembang ke arah Eropa. Setelah tereduksi habis-habisan pengetahuan eksoteris itu muncul kembali menjadi dasar-dasar ilmu pengetahuan modern dengan landasan filsafat materialisme. Lucunya, dalam akhir abad ke-20 muncul psikologi transpersonal yang sarat nilai-nilai yang diuraikan dalam alQur’an maupun risalah-risalah sufi kuno dengan kemasan yang lebih aktual baik dari sisi “istilah” maupun “metodenya”. Umat Islam pun terpesona dengan kemasan modernitas dan menjadi lamur matahatinya padahal sejatinya pengetahuan tersebut sudah lama dikenal dengan praktek yang dilakukan secara 81 langsung yaitu sufisme dengan thariqat bukan sufisme dengan membaca buku atau kursus singkat, namun sufisme sebagai pelakonan kehidupan dengan sadar yang mengacu pada nilai-nilai kemuliaan akhlak manusia seperti amanat yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi petunjuk untuk memuliakan kembali akhlak manusia menjadi mulia karena kemuliaan manusia adalah kemuliaan Tuhannya. Dalam pendekatan yang lebih terukur, tahapan makrifat dan pengalaman ruhani identik dengan kapabilitas pengendalian nafs manusia dengan penyucian jiwa (QS 91:9-10) yang secara tradisional teridentifikasi dalam beberapa macam dominasi nafs (nafs hanya satu tetapi dominasinya bisa dibeda-bedakan). Pemodelan yang lebih kuantitatif akan mendorong pada suatu konsep yang lebih fisikal bahwa kualitas-kualitas ruhaniah manusia dapat diukur dalam suatu orde atau besaran yang menyatakan tahapan ma’rifat yang dilaluinya. Inilah sisi lain dari pemodelan alam metafisis secara kuantitatif terukur atau sebagai suatu qadar keruhanian yang sebenarnya membuka peluang untuk menyertakan 82 aspek paling dominan di alam semesta yaitu kondisi ruhaniah manusia dalam berbagai perubahan yang kita rasakan dan kita pahami sebagai kemajuan dan peradaban. Hal inilah yang kemudian saya upayakan dengan memodelkan qolbu sebagai suatu sistem energetis bersifat kuantum yang menjadi instrumen manusia untuk menangkap getaran-getaran ilahiah yang halus yang mengisi alam semesta dari tatanan alam gaib sampai nyata. 83 1. Al Qur’an Terjemahan Departemen Agama, 1984 2. Al Qur’an Terjemah Indonesia, PT Sari Agung, Cetakan ke-13, 1999 3. HB Yassin, “Al Qur’an Bacaan Mulia”, Yalco Jaya, Cetakan ke-4, 2002 4. Choiruddin Hadhiri SP, “Klasifikasi Kandungan Al Qur’an”, Gema Insani Press, 1999 5. Ibnu ‘Arabi, “Pohon Kejadian (Syajaratul Kaun): Doktrin tentang Person Nabi Muhammad”, Risalah Gusti, Maret 2000 6. ________,” Fusus Al Hikam”, Penerbit Islamika, Maret , 2004 7. Achmad Mubarok, Dr.,”Sunatullah Dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam”, IIIT Indonesia, Februari 2003 8. Victor Danner,”Sufisme Ibu Atha’illah: Kajian Kitab al-Hikam”, Risalah Gusti, Surabaya, 2003 9. M.T. Zen, Ed.,”Sains, Teknologi, dan Hari Depan Manusia”, Gramedia, 1981 10. Lynn Wilcox,” Ilmu Jiwa 84 Berjumpa tasawuf”, Serambi, November 2003 11. Ian G. Barbour,”Juru Bicara Tuhan”, Mizan, 2002 12. Keith Ward,”Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu”, Mizan, 2002 13. Adil Thaha Yunus,”Jejak-jejak Utusan Allah”,Pustaka Hidayah, 2003 14. Salim Bahreisy, H., “Terjemah Al Hikam: Pendekatan Abdi pada Kholiqnya”, Balai Buku, 1984 15. Zainal Arifin Thoha, “Nasehat Syeik Abu Hasan Asy Syadzilli Jilin 1 & 2”, 16. Ali Ansari,”Tasawuf dalam Sorotan Sains Modern”, Pustaka Hidayah, 2003 17. Richard Leakey, ”Asal Usul Manusia”, KPG, 2003 18. Maurice Bucaille, ”Asal Usul Manusia: Menurut Bibel , Al Quran dan Sains”, Mizan, 2000 19. Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams, ”Chaos For Beginner”, Januari,2001 20. Stephen Hawking, ”Riwayat Sang Kala”, Pusta Utama Grafiti, 1994 21. ______________, “Black Holes 85 and Baby Universes”, PT Garmedia, 1993 22. Sandi Setiawan, ”Theory Of Everything”, Andi Offset, 1991 23. Mulla Shadra ,”Manifestasimanifestasi Allah”, Pustaka Hidayah, Januari, 2004 24. Achmad Marconi, “Bagaimana Alam Semesta Diciptakan: Pendekatan Al Qur’an dan sains Modern”, Pustaka Jaya, 2003 25. S. Anwar Effendie, Muchjidin Effendie Soleh, Ma’mun Effendie S.,”Alam Raya dan Al Qur’an”, Pradnya Paramita, 1994 26. Sirajuddin Zar, “Konsep Penciptaan Alam”, Raja Grafindo Persada, 1997 27. Anas Abdul Hamid Al Quz,” Ibnu Qayim Berbicara Tentang Manusia & Semesta”, Pustaka Azzam,1998 28. Charles Darwin,”The Origin Of Species”, The New American Library, Cetakan ke-3, 1960 29. Achmad Baiquni, Prof. M.Sc., Ph.D. ,”Al Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Cetakan ke-4, Oktober 1996 86 30. William C. Chittick,” Dunia Imajinal Ibnu Arabi”, Risalah Gusti, Surabaya, April 2001 31. Armahedi Mahzar, “Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat islam”, Penerbit Pustaka, 1983 32. Jawaid Quamar, “Tuhan dan Ilmu Pengetahuan Modern”, Pustaka Salman, Bandung , 1983 33. Seyyed Hossein Nasr, “Antara Tuhan, Manusia dan alam”, IRCiSoD, Agustus, 2003 34. H. Sahabuddin, Prof. Dr.,”Nur Muhammad: Pintu Menuju Allah”, PT Logos Wacana Ilmu, Cetakan ke-2, Mei 2002 35. K.H. Toto Tasmara, “Kecerdasan Ruhaniah”, Gema Insani, Jakarta, 2001 36. John Polkinghorne,”Teori Kuantum: Sebuah Pengantar Singkat”, Penerbit Jendela, Cetakan ke-1, Februari, 2004 37. Paul Strathern, ”Einstein dan Relativitas”, Penerbit Erlangga, 2002 38. ____________, ”Bohr dan Teori Kuantum”, Penerbit Erlangga, 2002 39. M. Quraish Shihab, “Tafsir Al Mishbah”, Jilid 1 & 11, Lentera Hati, 87 2003 40. Komaruddin Hidayat, Prof.,”Menafsirkan Kehendak Tuhan”, Teraju, 2003 41. Mohammad Hatta, “Alam Pikiran Yunani”, Penerbit Tintamas, Cetakan ke-3 1986 42. Murtadha Muthahhari, “Mengenal Epistemologi”, Penerbit Lentera, November 2001 43. Al Ghazali, ”Orang-orang Yang Terkelabui”, Karisma, Cetakan ke-4, 1999 44. Karlina Leksono Supeli, “Awal Sebuah pemahaman”, Media online, Media Kerja Budaya 45. Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris Al-Banjari, ”Ad-Durr An-Nafis: Permata Yang Indah”, Pustaka Sufi, 2003 46. Ibnu Usman Al Hujwiri, ”Kasyf al-Mahjub”, Pustaka Sufi, 2003 47. Al-Qusyairy an-Naisabury, “Risalatul Qusyairiyah”, Risalah Gusti, 1996 48. Al-Gazhali, “Kerancuan Filsafat”, Penerbit Islamika, 2004 49. Ibnu Athaillah Al-sakandari “Pencerah Kalbu”, Serambi, cetakan 88 ke-1, 2002 M 50. Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams, “Menegnal Chaos”, Mizan, Cetakan ke-1, 2001 51. Gilani Kamran, “Ana al-Haqq”, Risalah Gusti, Surabaya, 2001 52. Dr. Ali Hasan Abdul Qadir, “Surat-surat Sufi, Imam Junaid alBaghdadi”, Majalah Cahaya Sufi, Edisi September 2004 53. Nur Ad Din Ar Raniri, “Menggugat Manunggaling Kawula Gusti”, Pustaka Sufi, Juli 2003 54. Carl Sagan, ”Kosmos”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997 55. Michael Talbot, “Mistisisme dan Fisika Baru”, Pustaka Pelajar, Desember, 2002 89 Atmonadi, sehari-hari biasa dipanggil “Atmo” atau nickname di Internet “Atmoon”, di situs myquran memperkenalkan diri sebagai "myQadmin" karena memang ia yang membuat dan menggagasnya pada pertengahan 1999. Dilahirkan kurang lebih lima dasawarsa yang lalu di sebuah kota yang dulu dikenal sebagai Kota Udang, pada tanggal sebelas bulan lima. Saat ini, ia berprofesi sebagai konsultan Teknologi Informasi dan Internet. Dalam segmen-segmen kehidupan yang dilalui, menulis memang bukan sesuatu yang asing. Pengalaman menulis yang intensif sebenarnya terjadi selama periode menjadi mahasiswa pada sekitar tahun 1988 sampai 1992, sebagai penulis lepas untuk bidang teknologi penerbangan dan militer. Selama periode tersebut, tulisan yang dibuat umumnya berhubungan dengan desain pesawat udara penumpang, pesawat tempur siluman, pesawat mata90 mata tanpa awak, sistem radar, telekomunikasi, dan sistem persenjataan yang dimuat di rubrik iptek pada beberapa harian nasional seperti Kompas, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, majalah Teknologi, dan majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM). Dalam urusan tulis menulis, pernah mendapatkan penghargaan karya tulis dari PT Telkom Indonesia dengan judul “Menuju Perusahaan Adaptif Menjadi Urat Nadi Globalisasi” (1990). Kemudian, bersama salah satu rekan kuliahnya, menulis artikel iptek populer dan tulisannya meraih penghargaan karya tulis populer Ristek (1991) yang membahas masalah pesawat N-250. Setelah bosan menjadi mahasiswa, ia menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar kesarjanaan dari jurusan Teknik Aeronautika ITB (1992); setengah tahun kemudian (1993) bekerja di Sempati Air sebagai Engineer; tiga tahun kemudian (1995) ia memutuskan beralih profesi menjadi software development supervisor di perusahaan yang sama. Tahun 1996 internet mulai marak di Tanah Air. Terpesona dengan kemampuan 91 hyperlink jejaring global tersebut, iapun memutuskan mengundurkan diri dari Sempati Air dan bekerja sebagai web developer di sebuah perusahaan yang dibangun oleh kenalannya di Internet yaitu Bubu Internet (Bubu.Com). Akhir dasawarsa sembilan puluhan, Internet semakin populer dan bisnis dot.com booming, komunitas gaul di internet bermunculan, namun sayangnya belum ada komunitas gaul yang khusus untuk remaja Islam, maka ia pun nekat membangun Komunitas Islam Online myQuran.com (1999, http://www.myquran.com) dan kemudian setidaknya mampu menggugah banyak orang bahwa Umat Islam perlu memanfaatkan Internet baik untuk tujuan pergaulan maupun dakwah. Setelah beberapa tahun mengelola situs independen myQuran, dibantu dengan pengunjung yang rajin menulis artikel, puisi ataupun sekedar numpang nulis, iapun kemudian menjadi tidak terlalu aktif mengelola myquran karena kesibukkannya. Sebagai gantinya, pengelolaan myQuran diserahkan ke fans pengguna myQuran. Tahun 2007, Yayasan Insan Mayantara 92 (YIM) didirikan sebagai payung legal aktifitas offline maupun online Komunitas MyQur’an yang berkembang pesat. Pada tahun 2000 ia mengundurkan diri dari Bubu Internet dan bekerja di beberapa proyek perusahaan sebagai Technology Advisor, menjadi nara sumber tetap di radio MSTRI FM Jakarta (2000-2002), radio Ramako Jakarta, dan Metro TV untuk acara yang berhubungan dengan teknologi informasi dan internet. Akhir tahun 2001 kembali bekerja di Bubu untuk menangani Production & Development, kemudian mengundurkan diri pada akhir tahun 2003 dan awal 2004 mendirikan Getwo Advanced sebuah biro konsultan teknologi informasi, internet dan multimedia. Sejak akhir tahun 2003 ikut dalam majelis pengajian tasawuf Al-Hikam tarekat Syadziliyah Jakarta dengan ustad Bapak M. Luqman Hakiem dan Guru mursyid almarhum Syeik KH Abdul Djalil Mustaqiim dan Syeikh Hadlir Shalahuddin Al Ayyubi Pengasuh Pondok Pesatren Thariqot Agung (Peta) Tulungagung Jawa Timur. Risalah Kun Fayakuun merupakan risalah perenungan diri selama menjalani 93 kehidupan , suka maupun dukanya. Titik tolak perenungan ini adalah tentang penciptaan diri sendiri dimana di Al Qur’an semua makhluk diciptakan dengan Kun Fayakuun. Tetapi apa sebenarnya makna yang luas maupun ringkas dari ayat ini? Hasilnya adalah suatu penguraian panjang lebar dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri dimana Induknya adalah kalimat Basmalah. Penulis dapat dijangkau via : E-mail : [email protected], Blog di http://atmonadi.com, Facebook http://facebook.com/atmonadi , Twitter @atmonadi , instagram.com/atmonadi 94