16 Bab II Geologi Regional II.1. Geologi Regional Cekungan

advertisement
Bab II Geologi Regional
II.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah
II.1.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah
Lapangan minyak RantauBais secara regional berada pada sebuah cekungan
regional yang disebut sebagai Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera
Tengah yang merupakan sebuah cekungan busur belakang (back arc basin) yang
berkembang di sepanjang paparan Sunda, yang terbentuk mulai dari Tersier Awal
(Eosen – Oligosen) dan merupakan seri dari beberapa struktur separuh-graben.
Pada beberapa bagian, struktur separuh-graben ini terisi oleh sedimen klastik non
marin dan sedimen danau (Eubank dan Makki, 1981)
Cekungan ini terbentuk sebagai akibat penunjaman lempeng Samudra Hindia
yang bergerak ke arah utara dengan sudut N60E terhadap lempeng benua Eurasia
selama umur Miosen. Geometri cekungan ini berbentuk asimetri dengan bagian
dalamnya berada pada arah baratdaya dan semakin dangkal ke arah timurlaut
(Mertosono dan Nayoan, 1974). Produk lain yang dihasilkan oleh interaksi dua
lempeng tektonik ini adalah unit fisiografi sejajar yang berarah baratlaut, berupa
busur kepulauan di sepanjang pantai barat Sumatera, cekungan muka busur Nias,
busur barisan pegunungan vulkanik sepanjang Bukit Barisan, dan zona sesar
Sumatera (great Sumatera fault zone) atau yang lebih dikenal dengan nama sesar
besar Semangko.
Cekungan Sumatera Tengah dibatasi di sebelah barat daya oleh pengangkatan
bukit Barisan, di sebelah tenggara oleh tinggian Tigapuluh, di sebelah utara oleh
busur Asahan, dan di sebelah timur laut oleh paparan Sunda (Gambar II.1).
Gejala-gejala struktur pada zaman Tersier secara umum dapat dibedakan ke dalam
dua sistem, yaitu sistem Neogen dan sistem Paleogen.
Pola struktur Cekungan Sumatera Tengah merupakan hasil dari tektonik
ekstensional yang mengalami overprinting secara kuat oleh komponen patahan
mendatar menganan (dextral wrench fault) yang terjadi kemudian. Rezim
16
kompresi tampaknya kurang mempunyai pengaruh yang kuat. Hampir semua
gejala kompresi yang diamati pada penampang Tersier, dapat dinetralkan oleh
adanya pensesaran mendatar (wrench tectonics) tersebut (Eubank & Makki,
1981).
Cekungan
Sumatera
Utara
MALAYSIA
CEKUNGAN
SUMATERA TENGAH
Cekungan
Sumatera Tengah
Cekungan
Sumatera
Selatan
Cekungan
Sunda
Cekungan
Jawa Utara
Arah Pergerakan
Lempeng
Gunung Api Kuarter
0
Skala
500
Gambar II. 1. Peta Cekungan Sumatera Tengah. Daerah yang diarsir
merupakan cekungan yang ada di Sumatera dan Jawa bagian barat.
Cekungan Sumatera Tengah ditunjukkan oleh daerah yang berarsir dan
bergaris merah, beserta batas-batas cekungannya (diadaptasi dari
Yarmanto dan Aulia, 1988).
Perkembangan tektonik Kenozoikum di Cekungan Sumatera Tengah secara
geometri dan kinematik melibatkan adanya empat episode pensesaranan dan
perlipatan, yang dinotasikan sebagai F0, F1, F2, dan F3 (Heidrick & Aulia, 1993),
yaitu:
1. Periode pembentukan batuan dasar (F0) yang terdiri dari pecahan-pecahan
lempeng benua dan lempeng samudera, dan terjadi pada masa
Paleozoikum Akhir sampai Mesozoikum. Lempeng-lempeng minor yang
membentuk batuan dasar di Cekungan Sumatera Tengah antara lain terdiri
17
dari lempeng Mergui yang tersusun oleh graywacke, lempeng Malaka
yang tersusun atas kuarsit dan filit, serta lempeng Mutus yang tersusun
atas ofiolit dan metasedimen. Selain itu juga tersusun atas argilit, sekis dan
tufaan yang merupakan bagian dari Kelompok Tapanuli.
2. Periode pemekaran/rifting (F1) pada Eosen-Oligosen. Tarikan/ ekstensi
pada batuan dasar berumur tua dengan arah utara-utara timur laut (NNNE) dan reaktivasi rangkaian batuan dasar regional berarah barat barat
laut (WNW).
3. Periode thermal subsidence atau crustal sagging (F2) pada Miosen Awal,
terjadi pensesaran mendatar menganan secara regional, reaktivasi strukturstruktur bararah utara-selatan, dan berkembangnya pola rekahan (fracture)
transtensional berarah N 0°E sampai N 20° E.
4. Periode kompresi (F3) mulai dari Miosen Tengah sampai Resen, sebagai
akibat terjadinya subduksi lempeng Indo-Australia terhadap Asia,
mengakibatkan terjadinya thrusting dan pensesaran naik bararah barat
baratdaya (WSW) di sepanjang patahan mendatar berarah utara baratlaut
(NNW) dan pemekaran transtensional sepanjang elemen struktur berarah
utara – utara timur laut (N-NNE). Proses tektonik ini mengontrol
terjadinya reaktivasi pola-pola struktur yang telah ada sebelumnya.
Pola patahan dan lipatan di Cekungan Sumatera Tengah terdiri atas dua arah
utama yang dapat dibedakan secara jelas di seluruh cekungan, yaitu arah utaraselatan (N-S) dan arah barat laut-tenggara (NW-SE). Beberapa peneliti
menyatakan bahwa arah utara-selatan berumur lebih tua, terbentuk pada zaman
Paleogen, sedangkan arah barat laut-tenggara berumur Neogen. Data-data baru
yang ditemukan menunjukkan bahwa kedua arah tersebut mengalami periode
aktiv selama zaman Tersier (Eubank & Makki, 1981).
II.I.2 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Tengah
Sejarah stratigrafi di Cekungan Sumatera Tengah sangat dipengaruhi oleh sejarah
pembentukan tektonik. Oleh karena itu pembahasan mengenai stratigrafi di
Cekungan Sumatera Tengah tidak dapat dilepaskan dari kerangka pembentukan
18
tektoniknya atau biasa disebut dengan tektonostratigrafi. Proses tektonik
merupakan faktor pengontrol utama pengendapan sedimen dan proses
perkembangan stratigrafi di Cekungan Sumatera Tengah, dibandingkan faktor
lainnya (Kemp dkk., 1977). Selanjutnya pembahasan mengenai stratigrafi regional
Cekungan Sumatera Tengah akan diuraikan dalam kerangka tektonostratigrafi
atau fase-fase pembentukan cekungan.
a. Fase pembentukan batuan dasar (fase tektonik F0)
Batuan dasar di Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari empat satuan litologi
berumur antara Paleozoikum sampai Mesozoikum. Satuan litologi tersebut adalah:
1. Kelompok Mutus yang terdiri dari ofiolit, metasedimen, dan sedimen –
sedimen berumur Trias,
2. Kelompok Malaka yang terdiri atas kuarsit, filit, dan intrusi granodiorit,
3. Kelompok Mergui yang terdiri atas graywacke yang berumur Kapur,
kuarsit dan batulempung kerikilan,
4. Kelompok Tapanuli yang terdiri dari batusabak, metasedimen dan filit
yang diendapkan di atas batugamping yang berumur Devon-Karbon.
b. Fase intra-cratonic rifting dan rift infill (fase tektonik F1)
Tumbukan antara lempeng Samudera Hindia dan lempeng Benua Eurasia
menghasilkan gaya trans-extensional (translasi dan ekstensi). Akibat dari adanya
gaya trans-extensional tersebut, maka terbentuk sistem pemekaran kerak benua
yang berupa pembentukan rangkaian struktur separuh-graben yang saling
berhubungan. Pembentukan struktur separuh-graben yang besar diawali dengan
pembentukan sesar listrik pada salah satu sisi dan pembentukan ramp yang landai
pada sisi lainnya. Struktur tersebut mempunyai pola kelurusan utara-selatan.
Struktur separuh-graben atau graben penuh yang berumur Eosen-Oligosen
tersebut diisi oleh sedimen-sedimen fluviatil dan lakustrin yang diendapkan dalam
Kelompok Pematang. Berdasakan ciri litologinya, Kelompok Pematang dibagi
menjadi tiga formasi, yaitu: Formasi Lower Red Bed, Formasi Brown Shale, dan
Formasi Upper Red Bed.
19
c. Fase interior sag basin (fase tektonik F2)
Diatas Kelompok Pematang diendapkan suatu seri sedimen yang diendapkan pada
saat aktivitas tektonik mulai berkurang dan terjadi selama masa Oligosen Akhir
sampai Miosen Tengah. Kompresi bersifat lokal (setempat) yang ditandai dengan
pembentukan sesar dan lipatan, yang bersamaan dengan penurunan muka air laut
global pada 28 jtyl. Proses geologi yang terjadi saat itu adalah pembentukan
morfologi peneplain yang terjadi pada Kelompok Pematang dan batuan dasar
yang tersingkap. Periode ini diikuti oleh terjadinya penurunan permukaan
cekungan (subsidence) dan transgresi ke dalam cekungan. Kelompok Sihapas
diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Pematang, terdiri dari Formasi
Menggala, Bangko, Bekasap, Duri, dan Telisa.
Formasi Menggala diperkirakan berumur Miosen Awal (N4) diendapkan secara
tidak selaras di atas Kelompok Pematang. Litologinya tersusun atas batu pasir
yang bersifat konglomeratan. Lingkungan pengendapannya diperkirakan berada
pada sistem sungai teranyam-non marin (braided river–non marine), yang
ketebalannya mencapai 1800 kaki (Dawson, dkk. 1997).
Formasi Bangko diperkirakan berumur Miosen Awal (N5) yang diendapkan
selaras di atas Formasi Menggala. Formasi Bangko mempunyai ciri-ciri litologi
yang berupa serpih abu-abu yang bersifat gampingan diselingi dengan batu pasir
halus sampai sedang. Formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan
estuarin dengan ketebalan mencapai 300 kaki (Dawson dkk. 1997).
Formasi Bekasap diperkirakan diendapkan pada masa Miosen Awal (N6) dan
diendapkan selaras di atas Formasi Bangko. Formasi Bekasap mempunyai ciri-ciri
litologi berupa batupasir dengan kandungan glaukonit di bagian atasnya serta
sisipan serpih, batugamping tipis serta batubara. Diperkirakan formasi ini
diendapkan pada lingkungan estuarin, inter-tidal, dan neritik dalam-luar dengan
ketebalan mencapai 1300 kaki (Dawson dkk. 1997).
20
Formasi Duri diperkirakan berumur Miosen Awal (N7-N8) dan diendapkan secara
selaras diatas Formasi Bekasap. Ciri-ciri litologi dari Formasi Duri berupa
batupasir yang berselingan dengan serpih dan sedikit batugamping. Lingkungan
pengendapan formasi ini diperkirakan adalah barrier bar complex dan delta front
dengan ketebalan formasi mencapai 900 kaki (Dawson dkk. 1997).
Formasi yang paling atas yang dihasilkan dari fase interior sag basin yaitu
Formasi Telisa yang sebagian besar tersusun atas batu lempung dan sisipan minor
batulanau. Bagian bawah sampai tengah dari Formasi Telisa yang berumur
Miosen didominasi oleh batulempung dengan beberapa lapisan batugamping dan
batupasir halus glaukonitan. Kontak atas ditunjukkan dengan suatu beda umur
litologi (distinct lithologic) dan jeda faunal (faunal break) sebagai akibat dari
proses regresi Miosen pada siklus Neogen. Hiatus ini biasa disebut dengan Duri
event (Heidrick dan Aulia, 1993).
Pada Miosen Awal, terjadi proses transgresi dari arah barat laut dan barat daya
yang mengakibatkan diendapkannya dua fasies yang berbeda secara signifikan
pada cekungan selama proses pengendapan terjadi. Fasies laut dalam tempat
proses transgresi terjadi sangat cepat ke arah barat dan secara lateral bersifat
menjari (interfingering) dengan fasies paparan (shelf) yang lebih dangkal ke arah
timur. Secara regional, Kelompok Sihapas merupakan endapan laut dangkal yang
mempunyai kesamaan waktu dengan batu lempung Formasi Telisa yang terbentuk
pada kondisi laut yang lebih dalam (Mertosono dan Nayoan, 1974).
d. Fase kompresi (fase tektonik F3)
Pada bagian atas Kelompok Sihapas ditandai adanya ketidakselarasan regional
dan memiliki penyebaran cukup luas pada hampir seluruh Cekungan Sumatera
Tengah. Ketidakselarasan ini menunjukkan adanya perubahan fase tektonik
ekstensi menjadi tektonik kompresi yang dimulai pada masa Miosen Akhir sampai
sekarang. Fase tektonik kompresi ini bersamaan dengan proses pemekaran laut
China Selatan dan Laut Andaman, dan bersamaan pula dengan proses pergeseran
21
sepanjang sesar besar Sumatera yang diikuti dengan pembentukan busur vulkanik
di sebelah baratnya (Kemp dkk. 1997).
Bagian atas Formasi Telisa cukup sulit ditentukan secara pasti dari data seismik.
Hal ini disebabkan proses kompresi dan struktur lainnya yang berhubungan
dengan tumbukan antara lempeng Australian dan lempeng Eurasia yang telah
mengganggu batas Formasi Telisa tersebut. Pada fase kompresi ini terbentuk
Formasi Petani dan Formasi Minas. Formasi Petani terbentuk pada fase regresi
dari siklus pengendapan Tersier. Sedimen pada formasi ini menunjukkan
perubahan ke arah atas, berubah dari lingkungan air laut menjadi lingkungan air
payau (brackish) dan menjadi lingkungan non-marin. Formasi Petani tersusun atas
batulempung kehijauan dan batupasir. Foraminifera melimpah di bagian bawah,
namun berkurang ke arah atas. Sedimen ini merupakan hasil rombakan dari dua
batuan sumber utama, yaitu hasil erosi Bukit Barisan dan hasil erosi Semenanjung
Malaya (Mertosono dan Nayoan, 1974). Formasi Minas merupakan endapan
Kuarter yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Petani. Ciri-ciri
litologi dari Formasi Minas yaitu terdiri dari lapisan-lapisan tipis konglomeratan,
pasir kuarsa, pasir lepas, kerikil, dan lempung yang merupakan bagian dari
endapan fluvial–aluvial dari zaman Pleistosen hingga saat ini (Mertosono dan
Nayoan, 1974).
Secara umum, tektonostratigrafi regional dari Cekungan Sumatera Tengah dapat
dilihat pada Gambar II.2 di bawah ini:
22
Gambar II. 2. Kolom tektonostratigrafi regional Cekungan Sumatera
Tengah. Objek penelitian terdapat pada Formasi Duri di dalam Kelompok
Sihapas (Heidrick dan Aulia, 1993).
II.2 Geologi Lokasi Penelitian
II.2.1 Struktur geologi lapangan RantauBais
Lapangan minyak RantauBais secara struktur merupakan antiklin yang
mempunyai ukuran 8 x 4 km persegi dan memanjang ke arah utara dengan arah
jurus (strike) barat laut-tenggara (NW-SE), dengan sudut penyimpangan antara 50100. Struktur antiklin lapangan RantauBais dibentuk oleh compressional stress
yang berarah timur laut-barat daya (NE-SW). Di bagian barat, lapangan
Rantaubais dibatasi oleh sebuah patahan besar, yang berarah sama dengan arah
struktur antiklinnya, yang berasosiasi dengan patahan Sebanga yang membentuk
antiklin lapangan minyak Duri. Kompleksitas pola struktur yang ada pada
lapangan ini semakin meningkat ke arah patahan besarnya, tetapi berkurang ke
arah utara lapangan ini.
23
Selain patahan besar di bagian barat, beberapa patahan berarah barat daya-timur
laut (SW-NE) yang memotong lapangan RantauBais di bagian tengah dan selatan.
Berdasarkan kondisi struktur, dan variasi stratigrafi yang ada di lapangan ini,
lapangan RantauBais dibagi menjadi tiga area yang dipisahkan oleh garis
imajiner. Pola struktur geologi lapangan RantauBais dapat di lihat pada Gambar
II.3.
Gambar II. 3. Pola struktur lapangan RantauBais. Di bagian barat dibatasi
oleh rangkaian patahan utama, yang berarah sama dengan arah struktur
antiklinnya (Hazairin, 1999).
II.2.2 Stratigrafi sikuen lapangan RantauBais
Tidak semua formasi maupun kelompok batuan yang ada di Cekungan Sumatera
Tengah dijumpai di lapangan RantauBais. Kelompok Pematang, yang merupakan
kelompok sedimen paling tua di Cekungan Sumatera Tengah, dijumpai di
lapangan ini, tetapi tidak didentifikasi lebih detail ke dalam formasi-formasi
penyusunnya. Kelompok Sihapas merupakan kelompok sedimen paling utama di
24
lapangan RantauBais. Tidak semua formasi dari Kelompok Sihapas dijumpai di
lapangan di lapangan ini. Formasi Kelompok Sihapas yang tidak dijumpai di
lapangan RantauBais adalah Formasi Menggala. Formasi Petani dan Minas tidak
dijumpai di lapangan RantauBais, yang kemungkinan telah mengalami erosi
sepanjang pembentukan stratigrafi dan struktur lapangan ini.
Reservoir di lapangan minyak Rantaubais yang berkembang berasal dari
Kelompok Sihapas. Sampai saat ini belum ditemukan adanya minyak di Formasi
Pematang, sementara formasi-formasi lainnya yang umurnya lebih muda dari
Kelompok Sihapas kemungkinan telah tererosi dan tersingkap di permukaan.
Kelompok Sihapas terdiri dari endapan pasir dan lempung transisional dari
Formasi Bangko, Formasi Bekasap, dan Formasi Duri berumur Miosen Awal.
Kedalaman reservoir hidrokarbon di lapangan Rantaubais berkisar antara 500–950
kaki dari muka air laut (subsea). Sebagian besar reservoir yang ada di lapangan
Rantaubais merupakan endapan incised valley (Denison dan Pujiarko, 1999).
Rangkaian sedimen di lapangan RantauBais terdiri dari progradasional delta yang
terpotong oleh irisan lembah selama periode permukaan air laut mengalami
penurunan (sea-level low stand). Rangkaian sedimen tersebut diendapkan dalam
tiga siklus pengendapan, yang masing-masing terdiri dari endapan low-stand
system, transgresi incised-valley sepanjang naiknya muka air laut, dan progradasi
marin (marine progradation). Empat batas sikuen telah diidentifikasi dari
penelitian sebelumnya. Formasi Bangko dan Bekasap terdiri dari rangkaian dua
incised-valley yang terisi oleh dominan batupasir, yang masing-masing dibatasi
oleh batas sikuen B-2 dan B-1. Dua batas sikuen berikutnya diidentifikasi berada
di batas bawah kelompok batupasir Duri ”C” dan batas bawah batupasir Duri ”A”,
yang masing-masing disebut dengan batas sikuen D-1 dan D-2.
Batas sikuen B-2 merupakan batas ketidakselarasan antara Formasi Pematang dan
Formasi Bangko. Hanya dua sumur di lapangan RantuBais yang menembus batas
sikuen ini, yaitu sumur RantauBais#2 dan RantauBais#4. Sikuen B-2 dan B-1
25
mempunyai kesamaan dalam hal asal dan proses sedimentasi sub-sikuennya.
Kedua sikuen tersebut terdiri atas:
1. Sebuah incised-valley, yang memotong shelf selama turunnya muka air
laut relatif,
2. Batupasir tidal channel, yang merupakan fase awal dari sedimentasi di
dalam incised-valley. Sedimen berbutir kasar diendapkan dalam
incised-valley ketika naiknya muka air laut dimulai,
3. Batupasir transgressive estuarine channel dan estuarine margin
siltstone melengkapi proses sedimentasi di dalam incised-valley,
4. Sebuah marine lag akan menandai naiknya muka air laut melebihi
shelf, yang merupakan batas atas dari incised-valley.
Batas sikuen D-2 berada di batas bawah dari rangkaian sedimentasi incised-valley
batupasir Duri “C”. Incised-valley batupasir Duri “C” yang menipis ke arah utara,
diatasnya diendapkan parasikuen batupasir Duri “B”. Endapan batupasir Duri “B”
bukan bagian yang menyatu dalam endapan incised-valley batupasir Duri “C”,
tetapi diendapkan secara selaras di atas endapan batupasir Duri “C”. Parasikuen
Duri “B” tidak diidentifikasi lebih detail pada penelitian ini. Batas sikuen D-2
diperkirakan berkorelasi dengan batas sikuen regional 21,0 jtyl. Batas antara
endapan batupasir Duri ”C” dan batupasir Duri ”B” ditandai oleh batas naiknya
muka air laut (marine flooding) secara cepat menuju lingkungan yang lebih dalam
(Denison dan Pujiarko, 1999).
Batas sikuen D-1 diidentifikasi berada di batas bawah incised-valley batupasir
Duri “A”. Sikuen D-1 mempunyai asal dan sejarah pembentukan yang berbeda,
dengan incised-valley batupasir Duri “A” hanya memotong shelf di bagian selatan
lapangan RantauBais. Naiknya muka air laut di atas batupasir Duri “A” menandai
proses naiknya muka air laut yang menenggelamkan daerah delta, seiring dengan
bertambahnya secara cepat ruang akomodasi pengendapan.
26
Model sikuen dari lapangan RantauBais dapat dilihat pada gambar II.4 di bawah
ini, sedangkan batas-batas sikuen pada sumur RantauBais#2, yang merupakan
sumur terdalam di lapangan RantauBais, dapat dilihat pada Gambar II.5.
Gambar II. 4. Model stratigrafi sikuen dari lapangan RantauBais. Batupasir Duri
”B” diinterpretasikan sebagai satu tubuh batuan dan diendapkan secara selaras di
atas rangkaian batu pasir Duri ”C”(Denison dan Pujiarko, 1999).
27
Gambar II. 5. Batas-batas sikuen yang telah diidentifikasi sebelumnya beserta
interpretasi trek sistem pengendapannya. Ditampilkan pada sumur RantauBais#2
(Denison dan Pujiarko, 1999).
Objek penelitian berada pada interval di antara SB D-1 dan SB D-2. Hasil
penelitian sebelumnya memasukkan reservoir batupasir Duri “B2” ke dalam satu
sikuen dengan batupasir Duri “C”, dan diendapkan dalam lingkungan highstand
system tract diatas endapan transgressive system tract Duri “C”. Reservoir
batupasir Duri “B2” juga diidentifikasi diendapkan dalam lingkungan laut dangkal
(shallow marine). Letak objek penelitian dalam kerangka stratigrafi yang telah
disusun sebelumnya, dapat dilihat pada Gambar I.6.
28
Gambar II. 6. Letak objek penelitian di dalam kerangka stratigrafi sikuen dari
lapangan RantauBais yang telah diidentifikasikan sebelumnya.
29
Download