B A B II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Infark Miokard Akut (IMA) Penyakit

advertisement
B A B II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Infark Miokard Akut (IMA)
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi pada negaranegara maju. Dan diantara sekian banyak manifestasi penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung koroner merupakan manifestasi yang paling sering. Presentasi
klinis penyakit jantung koroner (PJK) diantaranya yakni silent iskemia, angina
pektoris stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan mati
mendadak. Infark miokard akut merupakan salah satu bagian dari sindrom koroner
akut (SKA) yang merupakan kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi
nekrosis yang ireversibel dari otot jantung. Keluhan utama pasien dengan infark
miokard adalah nyeri dada yang diikuti dengan salah satu dari presentasi
elektrokardiogram (EKG) dibawah ini (Samad Ghaffari, dkk. 2010, European
Society of Cardiology, 2012) :
1. Dengan nyeri dada akut dan elevasi segmen ST yang persisten. Hal ini
biasanya menggambarkan oklusi total koroner secara akut. Kebanyakan
pasien akan jatuh pada kondisi STEMI (ST Elevation Myocardial
Infarction). Tujuan terapi adalah strategi revaskularisasi yang cepat,
komplit, dan reperfusi yang cukup dengan angioplasti primer maupun
terapi fibrinolitik.
1
2
2. Dengan nyeri dada akut tetapi tanpa elevasi segmen ST yang persisten.
Pasien seperti ini mungkin dengan EKG depresi segmen ST atau T inversi,
gelombang T yang flat, gelombang T yang pseudonormal ataupun tanpa
perubahan EKG. Strategi awal pada pasien ini yakni dengan memperbaiki
iskemia jantung dan gejalanya, monitor pasien dengan EKG serial dan
biomarker nekrosis jantung. Diagnosis NSTEMI yakni berdasarkan
pemeriksaan enzim jantung.
Penegakan diagnosis pasien dengan infark miokard yakni dengan anamnesis
riwayat penyakit pada pasien, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan
penunjang yang lainnya.
a. Anamnesis
Manifestasi klinis infark miokard (European Society of Cardiology, 2012)
:
1. Angina/nyeri dada > 20 menit saat istirahat (prolonged angina)
2. Angina dengan onset yang baru (de novo) dengan tingkat CCS kelas IIIII
3. Destabilisasi dari angina yang sebelumnya masuk criteria angina stabil
dengan tingkat keparahan minimal CCS kelas III (crescend angina)
4. Angina pasca infark miokard
3
Manifestasi "prolonged angina" terjadi pada 80% pasien sedangkan "de
novo" atau "accelerated angina" terjadi pada 20 % pasien. Gejala klinis
tipikal SKA yakni perasaan tertekan atau rasa berat di retrosternal yang
menjalar ke lengan kiri, leher atau rahang dimana gejalanya dapat hilang
timbul atau persisten. Keluhan ini dapat diserta dengan diaphoresis,
nausea, nyeri perut, dyspnea dan sinkope. Beberapa presentasi klinis
atipikal juga tidak jarang ditemui, diantaranya nyeri ulu hati, nyeri dada
seperti tertusuk tusuk, nyeri dada dengan karakteristik pleuritik atau
dyspnea yang makin berat. Keluhan atipikal biasanya terlihat pada pasien
yg lebih tua (umur 75 tahun), wanita dan pasien dengan diabetes, pasien
dengan gagal ginjal kronis atau pada pasien dengan demensia. Tidak
adanya gejala nyeri dada akan menyebabkan ketidak tahuan akan adanya
penyakit sehingga otomatis pemberian terapi juga akan terlambat.
Kesulitan dalam diagnostik tentu saja akan timbul apabila ditemukan
pasien dengan gejala tipikal namun dengan presentasi EKG yang normal
atau mendekati normal atau bahkan dengan presentasi EKG dasarnya yang
memang sudah abnormal oleh karena misalnya defek konduksi
intraventrikuler atau hipertropi ventrikel kiri (European Society of
Cardiology, 2012).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali normal. Apabila ditemukan tanda-tanda
gagal jantung atau instabilitas hemodinamik, sebaiknya segera ditentukan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Peran penting dari pemeriksaan
4
fisik yakni untuk mengekslusi penyebab nyeri dada nonkardiak dan
penyakit jantung non-iskemik misalnya emboli paru, diseksi aorta,
perikarditis, penyakit jantung valvular (European Society of Cardiology,
2012).
c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 lead harus dikerjakan dalam 10 menit setelah
pertama masuk ke rumah sakit. Karakteristik EKG pada SKA dapat berupa
ST depresi atau perubahan gelombang T, apabila ditemukan suatu ST
elevasi diagnosis STEMI dapat langsung ditegakkan. Jika EKG awal
normal, sebaiknya EKG diulang rekam kembali apabila pasien mangalami
gejala iskemik kembali dan hasilnya dibandingkan dengan EKG sewaktu
tidak ada keluhan. Membandingkan EKG dengan EKG sebelumnya sangat
diperlukan terutama pada pasien dengan koeksistensi penyakit jantung
lainnya seperti hipertropi ventrikel kiri dan infark miokard sebelumnya.
Perekaman EKG sebaiknya diulang sekurang-kurangnya pada 6, 9 dan 24
jam pertama kali gejala. EKG sebelum keluar dari rumah sakit juga
disarankan untuk memastikan dan juga sebagai data EKG dasar untuk
dibandingkan apabila pasien selanjutnya mengalami serangan berulang.
Yang perlu ditekan kan adalah bahwa EKG yang normal sama sekali tidak
dapat secara pasti menyingkirkan SKA. Iskemia yang meliputi daerah
arteri circumflex atau iskemia ventrikel kanan yang terisolasi biasanya
tidak terlihat di lead V7-V9 atau lead V3R dan V4R. Episode BBB yang
5
transien juga dapat terjadi pada serangan iskemia (European Society of
Cardiology, 2012).
d. Biomarker
Troponin memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis dan menstratifikasi risiko, serta dapat membedakan antara
NSTEMI dan angina tidak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif
dibandingkan dengan enzim jantung tradisional seperti CKMB dan
myoglobin. Peningkatan troponin jantung mencerminkan kerusakan sel
miokard, dimana pada kasus NSTEMI yakni terjadi oleh karena embolisasi
di bagian distal. Pada pasien dengan infark miokard, peningkatan awal dari
troponin terjadi pada 4 jam pertama timbulnya gejala. Sedangkan
peningkatan troponin yang tidak terlalu banyak biasanya akan kembali
normal dalam 48-72 jam. Tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara
troponin T dan troponin I. nilai diagnostik troponin untuk infark miokard
yakni melebihi persentil ke 99 dari rata-rata populasi normal (European
Society of Cardiology, 2012) .
3. Pencitraan
1. Noninfasif
Diantara modalitas nonivasif yang ada, ekokardiografi merupakan
modalitas terpenting pada kondisi akut. Fungsi sistolik ventrikel kiri
merupakan variabel prognostik yang penting pada pasien dengan
6
penyakit jantung koroner dan dapat secara mudah dan akurat dinilai
dengan ekokardiografi. Pada beberapa tangan yang ahli, segmental
hipokinesia atau akinesia dapat terdeteksi selama iskemia. Pada pasien
dengan EKG 12 lead yang tidak memberikan diagnostik SKA dan
biomarker menunjukkan hasil yang negatif namun kita tetap
mencurigai pasien dengan SKA, stress imaging disini sangat
diperlukan (European Society of Cardiology, 2012).
2. Infasif (angiografi koroner)
Angiografi koroner masih merupakan standar baku dalam menilai
adanya dan derajat keparahan oklusi koroner. Pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil dianjurkan terlebih dahulu untuk
melakukan pemasangan IABP (Intra Aortic Ballon Pump). Angiografi
koroner dikombinasikan dengan EKG dan abnormalitas gerak dinding
yang didapat dari ekokardiografi dapat menentukan secara tepat culprit
lesion. Akses melalui radial memiliki keunggulan dalam mengurangi
risiko perdarahan pada pasien dibandingkan dengan akses femoral.
Namun pilhan akses ini juga bergantung pada pengalaman operator.
Akses radial juga mengurangi risiko hematom pada pasien, tetapi
memerlukan dosis radiasi yang lebih besar. Pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, akses femoral lebih dianjurkan karena
akan nantinya lebih mudah dalam pemasangan IABP (European
Society of Cardiology, 2012).
7
2.2 Definisi dan kriteria diagnostik Diabetes mellitus tipe 2
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia yang terjadi secara kronik akan merusak target
organ seperti mata, ginjal, otak, jantung beserta pembuluh darahnya (PERKENI,
2011, Boudina S, dkk.) .
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan
tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat
juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO (PERKENI, 2011).
8
Tabel 2.1.
Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association 2011
(PERKENI 2011).
2.3 Neuropati otonomik pada diabetes mellitus
Neuropati otonomik diabetik (NOD) merupakan salah satu komplikasi dari
diabetes yang kurang jelas dan dimengerti secara baik namun telah diketahui
bahwa efek negatifnya sangat besar terhadap morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan DM. NOD dapat melibatkan seluruh sistem saraf otonom, termasuk
sistem saraf vasomotor, viseromotor dan serat sensorik yang menginervasi setiap
organ. NOD dapat bermanifestasi secara klinis pada sistem organ seperti
kardiovaskular, gastrointestinal, genitourinari, sudomotor dan okular, maupun
secara subklinis (Aaron I. Vinik, dkk., 2007, Boudina S, dkk., 2007).
Gejala klinis NOD secara umum tidak terjadi beberapa lama setelah onset
diabetes. Gejala yang mengarah pada disfungsi otonomik sangat sering, namun
gejala tersebut biasanya oleh karena penyebab lain selain neuropati otonomik
yang sebenarnya. Disfungsi otonomik yang subklinis dapat terjadi pada setahun
pertama setelah diagnosis DM tipe 2 dan dalam 2 tahun pertama setelah
9
terdiagnosis DM tipe 1. Oleh karena komplikasi yang dihasilkan dari NOD
terutama kematian oleh karena kardiovaskular sangat tinggi, maka Neuropati
Otonomik Kardiovaskular (NOK) secara klinis dianggap penting dan paling
banyak dipelajari daripada NOD secara umum (Aaron I. Vinik, dkk., 2007).
2.4 Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai penyebab
respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung
saat istirahat dan memburuknya pemulihan denyut jantung).
Komplikasi yang paling penting dan paling serius dari diabetes adalah neuropati
otonomik kardiovaskular (NOK). NOK terjadi akibat kerusakan serat saraf
otonomik yang menginervasi jantung dan pembuluh darah sehingga menyebabkan
abnormalitas pada kontrol denyut jantung dan dinamik vaskuler. Berkurangnya
variasi denyut jantung (heart rate variability) adalah merupakan indikator awal
NOK (McGuire KD, dkk., 2012) .
Pada beberapa review epidemiologi, bahwa pada seseorang penderita
diabetes yang mengalami NOK akan memiliki risiko mortalitas dalam 5 tahun 5
kali lebih tinggi daripada tanpa keterlibatan otonomik kardiovaskular. Sedikit
informasi yang didapatkan mengenai NOK pada populasi diabetes. NOK dapat
saja baru diketahui saat diagnosis diabetes ditegakkan dan prevalensinya
meningkat sesuai umur, durasi menderita diabetes dan kontrol gula darah yang
buruk (Aaron I. Vinik, dkk., 2007).
Manifestasi klinis NOK dapat berupa (Aaron I. Vinik, dkk., 2007) :
a. Takikardia saat istirahat
10
Variabilitas denyut jantung merupakan tanda awal untuk suatu NOK,
takikardia saat istirahat dan denyut jantung yang tetap merupakan temuan
akhir pada pasien diabetes dengan gangguan fungsi vagal. Denyut jantung
istirahat diantara 90-100 kali permenit dan terkadang dapat mencapai 130
kali permenit dapat saja terjadi. Denyut jantung istirahat tertinggi dapat
terjadi pada pasien dengan kerusakan parasimpatik yang biasanya terjadi
lebih awal daripada kerusakan saraf simpatik. Pada pasien diabetik dengan
kombinasi kerusakan vagal dan simpatik, denyut jantung dapat kembali ke
normal namun masih lebih tinggi dari awalnya. Denyut jantung yang
tingkat variabilitasnya kurang, tidak berespon terhadap latihan tingkat
sedang, stress atau dalam keadaan tidur mengindikasikan denervasi
jantung yang hampir komplit.
b. Toleransi latihan
Disfungsi otonomik berpengaruh terhadap toleransi latihan diantaranya
dengan berkurangnya respon denyut jantung dan tekanan darah dan
kegagalan dalam meningkatkan cardiac output terhadap derajat latihan.
Pasien diabetik yang berpotensi besar untuk memiliki NOK sebaiknya
sebelum menjalani program latihan fisik, harus dilakukan uji latih
treadmill terlebih dahulu.
c. Instabilitas kardiovaskular intra dan perioperatif
Morbiditas dan mortalitas perioperatif kardiovaskular mencapai 2-3 kali
lipat pada pasien dengan diabetes. Dibandingkan dengan subyek
nondiabetik, pasien dengan diabetik yang menjalani anastesi umum akan
11
cenderung mengalami penurunan denyut jantung dan tekanan darah
selama induksi anastesi dan sedikit mengalami peningkatan setelah
intubasi dan ekstubasi. Topangan vasopresor umumnya diperlukan pada
pasien dengan NOK.
d. Hipotensi ortostatik
Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai sebagai penurunan tekanan
darah (30 mmHg pada sistolik atau 10 mmHg pada diastolik) sebagai
respon terhadap perubahan postural dari terlentang sampai berdiri.
Kumpulan gejalanya
yakni
kelemahan,pingsan, pening,
gangguan
penglihatan, dan bahkan pingsan seketika setelah perubahan dari telentang
ke berdiri. Gejala ortostatik mungkin dapat disalahpahamkan sebagai
gejala hipoglikemia. Secara normal, perubahan dari tidur ke berdiri akan
mengaktifkan baroreseptor hingga menstimulasi refleks simpatik sehingga
menyebabkan meningkatnya resistensi vaskuler dan akselerasi jantung.
Pada pasien dengan diabetes, hipotensi ortostatik disebabkan oleh
kerusakan serat eferen vasomotor simpatik. Pada seseorang dengan
diabetes terjadi penurunan respon norepinephrin relatif terhadap
penurunan tekanan darah. Jika penyebab hipotensi ortostatik adalah NOK,
tujuan terapi tidak hanya terdiri dari terapi untuk meningkatkan tekanan
darah disaat berdiri, tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya hipertensi
pada saat telentang. Pasien juga di KIE untuk menghindari situasi pencetus
misalnya mandi dengan shower air hangat, dimana akan menyebabkan
sinkope mendadak sehingga akan terjadi cedera akibat terjatuh.
12
e. Sindrom ortostatik takikardi dan bradikardi
Sindrom yang berhubungan dengan ortostatik seperti perasaan akan
pingsan atau pening, parestesia sirkumoral dan sakit kepala dapat terjadi
pada perubahan posisi dari telentang sampai bediri sehingga menyebabkan
sindrom postural takikardi (Postural Tachycardia Syndrome/POTS). Tanda
utamanya yaitu tidak ada penurunan tekanan darah disaat berdiri, hanya
takikardi dan bradikardi saat perubahan postur.
f. Iskemia miokardial yang tak bergejala/ sindrom denervasi jantung.
Berkurangnya sensasi nyeri iskemik dapat menghambat pemberian terapi
yang maksimal. Pada pasien dengan diabetes, meningkatnya ambang
perasaan angina disaat latihan (diketahui dari selisih waktu antara onset
depresi segmen ST EKG sampai terjadinya angina) berhubungan dengan
NOK. Iskemia silent pada pasien diabetik yang disebabkan oleh karena
NOK, dapat terjadi disfungsi otonomik sehingga mempengaruhi penyakit
jantung koroner itu sendiri atau dapat juga keduanya. Mekanisme
kurangnya perasaan nyeri iskemia miokard pada pasien ini sangat
kompleks dan tidak dimengerti secara jelas. Mekanisme yang mungkin
dapat dijelaskan secara rasional adalah oleh karena berubahnya ambang
nyeri dan disfungsi serat saraf afferent otonomik jantung.
Beberapa faktor prognostik mayor yang dapat dinilai dari uji latih
treadmill dan menunjukkan adanya neuropati otonomik kardiovaskular akibat
diabetes mellitus diantaranya yakni (Todd D. Miller, dkk., 2008, Goraya TY, dkk.,
2000, Roger VL, dkk., 1998) :
13
a. Denyut jantung saat istirahat (resting heart rate)
Pentingnya denyut jantung saat istirahat sebagai faktor prognostik
dan target terapi yang potensial belum diterima secara luas. Namun
pada beberapa studi besar menunjukkan bahwa resting HR yang
tinggi sebagai prediktor meningkatnya morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan diabetes. Dan
denyut jantung istirahat yang tinggi juga dikatakan berhubungan
dengan peningkatan risiko diabetes (Jamal S. Rana, 2009) . Denyut
jantung istirahat yang meningkat merupakan suatu penanda
aktifitas simpatik yang meningkat dan suatu keadaan simpatik yang
tinggi akan menyebabkan suatu kondisi resistensi insulin oleh
karena stimulasi adrenergic sehingga terjadi disfungsi otonomik.
b. Kapasitas fungsional
Disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa marker prognostik
yang paling penting pada uji latih adalah kapasitas fungsional atau
jumlah usaha kerja yang telah dilakukan sebelum kelelahan. Dan
pada beberapa literatur juga menunjukkan bahwa kapasitas
fungsional merupakan prediktor independen kuat untuk all-cause
mortality dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kemudian
akhir-akhir ini kapasitas fungsional telah dipelajari berdasarkan
konteks klinis. Contohnya yakni, studi yang melibatkan 3000
pasien menjalani uji latih dengan single-photon emission CT
perfusion imaging miokardial, menunjukkan bahwa kapasitas
14
fungsional sebagai prediktor kuat all-cause death sebagaimana hal
yang sama juga ditunjukkan oleh perfussion defect tersebut. Hasil
yang sama juga didapat dari studi kohort yang menyimpulkan
kapasitas
fungsional
sebagai
prediktor
yang
lebih
kuat
dibandingkan derajat keparahan penyakit koroner dan depresi ST.
Dan apabila kapasitas fungsional dan ada atau tidaknya penyakit
koroner melalui angiografi dipakai sebagai pertimbangan faktor
prediktor, didapatkan hanya kapasitas fungsional yang dapat
memprediksikan kematian pada pasien dengan penyakit jantung.
Hal ini digambarkan pada gambar 2 berikut (Myers, dkk. 2010).
Gambar 2.1.
Kapasitas fungsional, angiografi koroner dan risiko kematian. Kapasitas
fungsional sebagai prediktor kematian yang lebih baik dibandingkan dengan ada
atau tidaknya lesi obstruksi koroner dari angiografi (Myers, dkk. 2010).
Walaupun kapasitas fungsional merupakan faktor prognostik yang
kuat, penggunaannya masih belum ada standardisasi yang jelas.
Kapasitas fungsional berhubungan erat dengan umur dan jenis
15
kelamin. Kapasitas fungsional cenderung berkurang seiring umur
dan lebih tinggi pada pria sehat dibandingkan wanita yang sehat.
Beberapa studi menunjukkan kapasitas fungsional dikatakan
abnormal apabila pada wanita < 5 METs dan pada pria <7 METs.
Sedangkan
studi
yang
lain
berdasarkan
kuartil
terendah
berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (Todd D. Miller,
dkk., 2008).
c. Respon kronotropik selama latihan
Secara normal denyut jantung akan meningkat selama latihan.
Sebagaimana fisiologis tubuh, respon denyut jantung yang
meningkat selama latihan disebabkan oleh berkurangnya inhibisi
parasimpatik kemudian dilanjutkan dengan meningkatnya stimulasi
simpatis.
Penurunan
tonus
parasimpatik
disertai
dengan
peningkatan tonus simpatik akan menyebabkan stimulasi sinus
node dan peningkatan denyut jantung. Inkompetensi kronotropik
adalah ketidakmampuan meningkatnya denyut jantung secara
normal seiring meningkatnya usaha latihan. Colucci et al
menyebutkan terganggunya respon kronotropik kemungkinan oleh
karena berkurangnya senstitifitas sinus terhadap rangsangan
simpatis.
Tantangan
utama
dalam
menggunakan
respon
kronotropik adalah menentukan bagaimana mengkarakteristikan
secara baik. Pendekatan yang paling sederhana adalah dengan
mencatat denyut jantung puncak dan perubahan denyut jantung
16
selama latihan. Denyut jantung puncak berhubungan dengan umur,
semakin menurun dengan meningkatnya umur. Rumus maximalpredicted heart rate berdasarkan umur yakni : 220-umur dalam
tahun sehingga seseorang dengan umur 40 tahun memiliki
maximal-predicted HR 180 kali permenit. Ketidakmampuan
mencapai minimal 85% dari denyut jantung puncak sesuai umur
dapat
dikatakan
sebagai
inkompetensi
kronotropik
dan
memprediksikan tingkat kematian (Todd D. Miller, dkk., 2008).
d. Pemulihan denyut jantung (heart rate recovery)
Selama beberapa menit pertama setelah latihan denyut jantung
akan semakin menurun, ini merupakan fenomena yang sangat
berhubungan dengan fungsi otonomik. Penurunan denyut jantung
selama 30 detik sampai 1 menit setelah latihan secara primer
berhubungan dengan reaktivasi parasimpatis. Oleh karena banyak
literatur yang menghubungkan antara fungsi dan disfungsi sistem
saraf parasimpatis dengan mortalitas, maka banyak penelitian yang
menghubungkan pemulihan denyut jantung yang lambat setelah uji
latih memprediksikan meningkatnya risiko kematian. Melemahnya
pemulihan denyut jantung dapat sebagai prediktor mortalitas tidak
bergantung pada perancu misalnya fungsi sistolik ventrikel kiri,
kapasitas fungsional, dan derajat keparahan penyakit koroner
berdasarkan hasil angiografi. Penggunaan pemulihan denyut
jantung sangat tergantung dari protokol yang dipergunakan.
17
Protokol yang pertama yakni dengan pendinginan berdiri disertai
jalan lambat selama 2 menit setelah uji latih. Protokol tersebut
menggunakan cut point pemulihan denyut jantung 12 kali
permenit. Namun pada pasien yang menjalani protokol berbeda
yakni yang menjalani stress echocardiography atau yang duduk
setelah uji latih nilai pemulihan denyut jantung akan lebih tinggi
yakni dengan cut point 18 kali permenit. Dan masih belum banyak
dimengerti mengapa pasien dengan pemulihan denyut jantung yang
abnormal memiliki risiko kematian yang lebih besar, beberapa
menyimpulkan hal ini berkaitan dengan kecenderungan terjadinya
aritmia yang fatal dan kejadian mati mendadak. Adanya ektopik
ventikel yang sering selama periode istirahat setelah uji latih itu
memprediksi kematian lebih baik daripada adanya ektopik
ventrikel selama latihan (Todd D. Miller, dkk., 2008).
Pemulihan
denyut
jantung
dan
respon
kronotropik
menunjukkan adanya hubungan terhadap derajat keparahan
penyakit
koroner
yang
ditinjau
dari
angiografi,
namun
hubungannya lemah. Masih kurang jelas apakah pengukuran
denyut jantung memprediksikan respon terhadap revaskularisasi.
Satu studi observasional terakhir menemukan bahwa pemulihan
denyut jantung dapat dipergunakan mengidentifikasi pasien dengan
iskemia yang memiliki keuntungan dari strategi revaskularisasi.
Yakni pasien iskemia yang pemulihan denyut jantungnya terganggu
18
memiliki risiko sangat tinggi mortalitas jangka panjang dan tidak
mendapatkan keuntungan dari segi derajat mortalitas (Todd D.
Miller, dkk., 2008).
d. Ektopik ventrikuler selama pemulihan
Seringnya ektopik ventrikel selama fase pemulihan tes treadmill
meningkatkan angka kematian pada pasien pasca infark miokard.
Yang didefinisikan sebagai ektopik ventrikel yang sering yakni >7
denyut prematur ventrikel permenit, kuplet, bigemini ataupun
trigemini atau beberapa bentuk takikardia ventrikel (mono atau
polimorfik) dan fibrilasi ventrikel (Todd D. Miller, dkk., 2008).
2.5 Neuropati otonomik kardiovaskuler, risiko mortalitas dan hubungannya
dengan kejadian kardiovaskuler mayor.
Mekanisme bagaimana NOK meningkatkan kematian masih belum jelas.
Beberapa studi menunjukkan 2-3 kali risiko NOK pada pasien dengan diabetes
dengan interval QT yang memanjang, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa
NOK juga dapat menginduksi aritmia ventrikel maligna dan kematian mendadak
dari henti jantung yang disebabkan oleh torsade de pointes sebagaimana yang
terjadi pada pasien sindrom QT memanjang. Sangat sulit menentukan NOK
sebagai penyebab mortalitas oleh karena koeksistensi dengan penyakit
kardiovaskuler (Junko Watanabe, dkk., 2001).
Hubungan antara NOK dengan kejadian kardiovaskular mayor telah diuji
dengan 2 buah studi prospektif. Secara spesifik, hubungan antara NOK dan
19
insiden kejadian kardiovaskular fatal dan nonfatal (infark miokard, gagal jantung,
resusitasi oleh karena VT/VF atau revaskularisasi koroner) kemudian selanjutnya
dinilai, didapatkan risiko relatif 2,2 dan 3,4 (Muhammad Ridwan J, dkk., 2008).
Sedangkan hubungan NOK dengan kematian salah satunya yakni
terjadinya iskemia yang cukup parah pada jantung namun pasien tetap
asimptomatik, hal ini selanjutnya akan menginduksi aritmia yang fatal. QT yang
memanjang mungkin juga cenderung menyebabkan seseorang rentan terhadap
aritmia jantung yang mengancam jiwa dan kematian. Hasil dari penelitian
European Diabetes Insulin-Dependent Diabetes Melitus (IDDM) Complications,
menunjukkan pasien laki-laki dengan variasi denyut jantung/HRV (Heart Rate
Variability) yang terganggu memiliki QTc yang lebih panjang daripada yang tanpa
komplikasi. Signifikansi NOK sebagai penyebab kematian mendadak yang
independen, dari beberapa penelitian menyimpulkan bahwa walaupun NOK
mungkin berkontribusi terhadap kejadian mati mendadak tetapi tidak secara
signifikan sebagai faktor independen kematian mendadak oleh karena ditemukan
di semua kasus mati mendadak pada penelitian tersebut baik yang dengan diabetes
maupun tanpa diabetes keduanya memiliki penyakit jantung koroner yang parah
atau disfungsi ventrikel kiri (McGuire KD, dkk., 2012).
20
Gambar 2.2.
Risiko relatif 95% CI hubungan antara NOK (CAN) dan mortalitas, berdasarkan
15 penelitian (McGuire KD, dkk., 2012).
2.6 Faktor risiko tradisional dan hubungannya dengan respon otonomik
jantung
Faktor risiko tradisional pada penyakit jantung koroner diantaranya (Beverly
Rockhill, 2004) :
a. Faktor risiko konvensional : hubungan antara factor risiko
konvensional dengan respon otonomik belum banyak diteliti dan
dari segi patofisiologi tidak mendukung adanya hubungan antara
factor risiko konvensional dengan respon denyut jantung. Factor
risiko konvensional diantaranya yakni (Beverly Rockhill, 2004) :
−
Usia (pada pria lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita usia
lebih dari 55 tahun)
−
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung
b. Faktor risiko yang dapat di modifikasi :
21
−
Dislipidemia
Dislipidemia umumnya ditemukan pada kasus resisten
insulin dan diabetes mellitus tipe 2 walaupun gula darah
terkontrol baik. Karakteristik spesifik daripada dislipidemia
pada resistensi insulin adalah peningkatan kadar TG,
penurunan HDL, peningkatan small dense LDL walaupun
terkadang terkadang ditemukan hasil LDL yang normal.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi yang
ditimbulkan berhubungan dengan aktifitas simpatis yang
meningkat dan aktifitas parasimpatis yang melemah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa berkurangnya denyut jantung
pemulihan setelah latihan merupakan suatu akibat dari
berkurangnya aktifitas parasimatis dan juga sebagai prediktor
all cause mortality (Mehdi H Shishehbor, 2004). Resistensi
insulin yang ditimbulkan menyebabkan sintesis dan sekresi TG
dan LDL yang tinggi disertai dengan produksi HDL yang
menurun, hal ini disebabkan oleh lipolisis yang meningkat
sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas yang tinggi
dalam plasma yang kemudian meningkatkan masukan asam
lemak bebas ke hati. Protein kolesterol tranferase dan lipase
hepatic juga akan meningkat sehingga berefek terhadap
peningkatan VLDL1 yang kemudian akan menjadi small dense
LDL. Peningkatan kadar VLDL1 meningkatkan katabolisme
22
HDL yang menyebabkan penurunan kadar HDL (Rohman,
2007).
−
Tekanan darah tinggi dan Merokok
Secara patofisiologi dan penelitian sebelumnya tidak
mendukung adanya hubungan antara tekanan darah tinggi dan
merokok terhadap respon denyut jantung (Beverly Rockhill,
2004).
Tabel 2.2.
Kriteria dislipidemia berdasarkan NCEP ATP III
−
Obesitas
Obesitas sering disertai dengan sindrom metabolik sebagai
komplikasi dari obesitas. Abnormalitas pemulihan denyut
23
jantung (HRR) sering ditemukan pada subyek obesitas dengan
sindrom metabolic. Seseorang dikatakan obesitas apabila
indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 25. HDL dibawah
35 mg/dl dan / atau tingkat trigleserida lebih dari 250 mg/dl
dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 (Beverly
Rockhill, 2004).
−
Aktifitas fisik yang kurang
Ada beberapa alasan bagaimana aktifitas fisik aerobik
secara reguler dapat meningkatkan performa selama latihan.
Latihan aerobik menurunkan demand oksigen miokard pada
level aktifitas yang sama dengan sebelumnya. Sehingga
mengurangi kejadian iskemia pada miokard. Selain itu perfusi
miokard dapat ditingkatkan dengan latihan aerobik melalui
meningkatnya
diameter
interior
arteri
koroner
mayor,
meningkatnya mikrosirkulasi dan membaiknya fungsi endotel.
Beberapa efek tambahan dari latihan aerobik yakni adalah efek
antitrombotik yang dapat mengurangi risiko aklusi koroner oleh
karena erosi plak, mengurangi viskositas darah, mengurangi
agregasi platelet meningkatkan kemampuan trombolitik dan
mengurangi risiko aritmia dengan memperbaiki pengaturan
otonomik. Aktifitas fisik juga memberikan efek positif pada
faktor risiko penyakit kardiovaskular, misalnya mencegah atau
menghambat progresi hipertensi pada pasien normotensi dan
24
mengurangi
tekanan
darah
pada
pasien
hipertensi,
meningkatkan HDL, mengontrol berat badan dan mengurangi
risiko DM. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara aktifitas
fisik terhadap respon otonomik denyut jantung berhubungan
secara tidak langsung melalui faktor dislipidemia dan DM
(Beverly Rockhill, 2004).
2.7 Uji latih setelah infark miokard
Uji latih sangat berguna dalam evaluasi dan pengobatan pada pasien-pasien pasca
infark miokard. Oleh karena terapi dan penatalaksanaan infark miokard selalu
berubah secara dramatis, sehingga peran uji latih harus disesuaikan konteksnya.
Masa rawat di rumah sakit yang lebih pendek, penggunaan secara luas agen
trombolitik, dan strategi revaskularisasi, meningkatnya penggunaan agen beta
bloker serta ACE inhibitor membuat presentasi klinis pasien pasca infark semakin
berubah kearah yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua
pasien mendapatkan terapi yang sama sehingga hasil dari penatalaksanaan
tersebut menghasilkan pasien kondisi klinis pasien yang berbeda pula. Dari studi
The Canadian Assessment of Myocardial Infarction (CAMI) didapatkan bahwa
diantara 3178 pasien dengan infark miokard akut, 45 % mendapatkan terapi
trombolitik, 20% mendapatkan angioplasti koroner dan 8% pembedahan bypass.
Sedangkan terapi saat keluar rumah sakit diantaranya 61% dengan beta bloker,
24% dengan ACE inhibitor dan 86% dengan aspirin. Harus diketahui bahwa
sebagian pasien pasca infark tidak akan menjalani uji latih oleh karena
komorbiditas atau secara klinis belum stabil seperti angina yang tidak stabil, gagal
25
jantung yang tidak terkontrol, aritmia yang tidak terkontrol, atau kecacatan
ekstremitas bawah baik secara vaskuler,neurologis maupun ortopedik (Paul
Kligfield, dkk., 2006).
Kontraindikasi uji latih pada pasien pasca infark miokard dapat dilihat
pada table dibawah (Helmut Gohlke, 2010).
26
Tabel 2.3.
Kontraindikasi uji Latih Jantung pada pasien pasca
infark miokard.
Absolut
Infark miokard akut (dalam 2 hari)
Angina tidak stabil dengan risiko tinggi
Aritmia yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan symptom dan penurunan
hemodinamik
Stenosis aorta parah yang simptomatik
Gagal jantung simptomatik yang tidak terkontrol
Emboli paru akut atau infark paru
Miokarditis atau perikarditis akut
Diseksi aorta akut
Relatif
Stenosis koroner left main
Stenosis valvular moderate
Abnormalitas elektrolit
Hipertensi parah
Takiaritmia atau bradiaritmia
Kardiomiopati hipertropik atau bentuk lain dari outflow tract obstruction
Kelainan fisik atau mental sehingga tidak dapat uji latih secara adekuat
AV blok High degree
Dari salah satu studi besar didapatkan bahwa sebanyak 40 % pasien pada
studi kohort tersebut tidak dapat menjalani uji latih dalam 28 hari setelah infark
27
dan ditarik kesimpulan pula bahwa pasien yang tidak dapat melakukan uji latih
setelah infark memiliki kejadian fatal yang lebih tinggi dari dapat melakukan uji
latih pasca infark (Helmut Gohlke, 2010, Thompson, dkk., 2008).
Uji latih setelah infark miokard memberikan informasi mengenai (Perk J, De
Backer G, dkk., 2012) :
1. Stratifikasi risiko dan penilaian prognosis
2. Menilai kapasitas fungsional yang bertujuan untuk peresepan aktifitas
setelah keluar dari rumah sakit, termasuk diantaranya evaluasi okupasional
sebagai bentuk rehabilitasi komprehensif.
3. Penilaian kesesuaian atau ketepatan pengobatan dan apabila diperlukan
tambahan pemeriksaan diagnostik atau terapi selanjutnya.
Rekomendasi Uji latih pada pasien pasca infark miokard menurut ACC AHA
practice guidelines 2002 yakni (Perk J, De Backer G, dkk., 2012) :
Kelas I
1. Sebelum
keluar
dari
prognostik,peresepan
rumah
aktifitas,
sakit
bertujuan
evaluasi
terapi
untuk
penilaian
medikamentosa
(submaksimal 4-6 hari)
2. Sesaat setelah keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian
prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa dan
rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelum keluar rumah sakit belum
dikerjakan (symptom limited, sekitar 14-21 hari)
3. Sekian lama setelah keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian
prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa dan
28
rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelumnya submaksimal (simptomp
limited , sekitar 3-6 minggu)
Kelas IIA
1. Setelah keluar dari rumah sakit untuk konseling mengenai aktifitas seharihari dan /atau latihan sebagai bagian dari rehabilitasi jantung pada pasien
yang menjalani revaskularisasi koroner
Kelas IIB
1. Pasien dengan abnormalitas EKG :

LBBB komplit

Sindrom preeksitasi

LVH

Terapi digoxin

ST depresi lebih dari 1 mm saat istirahat

Irama ventrikel dengan pacu jantung
2. Monitoring periodik pada pasien yang berpartisipasi pada uji latih atau
rehabilitasi jantung
Kelas III
1. Komorbiditas yang parah dimana hal ini membatasi harapan hidupnya dan
/ atau kandidat untuk revaskularisasi.
2. Bertujuan untuk mengevaluasi pasien dengan infark miokard akut yang
memiliki gagal jantung yang tak terkompensasi, aritmia jantung atau
keadaan nonkardiak yang membatasi kemampuannya untuk latihan (level
of evidence C)
29
3. Sebelum keluar dari rumah sakit pada pasien yang kandidat atau akan
menjalankan kateterisasi jantung. Walaupun uji latih mungkin akan sangat
berguna sebelum atau sesudah kateterisasi dalam mengevaluasi atau
mengidentifikasi iskemia yang terdistribusi lesi koroner. (level of evidence
C)
Latihan fisik dapat mengurangi angka mortalitas setelah sindroma koroner
akut dan setelah prosedur revaskularisasi. Latihan fisik juga dapat menjadi terapi
non-medikamentosa untuk mengoptimalkan keseimbangan sistem otonom pada
jantung, sehingga mengurangi risiko terjadinya kematian jantung mendadak pada
pasien-pasien pasca infark miokard. Latihan fisik tersebut dibagi berdasarkan
fase-fase sebagai berikut (Graham I, dkk., 2008):
a. Fase I (selama perawatan di rumah sakit): komponen utama pada fase ini
adalah mengevaluasi kondisi pasien, mengevaluasi motivasi pasien, faktor
risiko, edukasi, mobilisasi dan perencanaan saat keluar dari rumah sakit.
Latihan secara bertahap dilakukan dengan diawali pada hari kedua dimana
intensitas latihan sampai keluar dari rumah sakit tidak lebih dari 4
metabolik equivalents (METS). Selain itu rekomendasi intensitas latihan
juga dapat dengan menggunakan Borg's rating of perceived exertion < 13
(somewhat hard), dengan durasi latihan 3-5 menit. Pada hari keempat,
pasien dapat berjalan 5 sampai 10 menit di koridor rumah sakit tiga sampai
empat kali sehari.
b. Fase II (keluar dari rumah sakit): fase ini dimulai dari pasien keluar dari
rumah sakit sampai sebelum fase III dimulai. Waktu antara pasien keluar
30
dari rumah sakit sampai dimulainya fase III bervariasi antar negara dan
rumah sakit. Kontak antara pasien dengan tim rehabilitasi dapat melalui
telepon atau kunjungan rumah. Pasien harus mendapatkan instruksi yang
jelas tentang aktivitas fisik yang diperbolehkan. Umumnya latihan dimulai
dengan berjalan kaki pada tempat yang datar dan dibatasi maksimal
intensitas 4 METS dan denyut nadi tidak melebihi 20 kali/menit diatas dari
denyut nadi istirahat, atau skor 11 sampai 12 dari perceived exertion scale.
Secara praktisnya, pasien disarankan untuk tetap didalam rumah pada hari
pertama sampai hari kedua. Bila tidak ada keluhan pasien dapat berjalan
dengan jarak yang ditingkatkan secara perlahan-lahan sampai maksimal 5
km perhari setelah 4 sampai 6 minggu.
c. Fase III (program latihan rawat jalan): tujuan dari fase ini adalah membuat
pasien dapat berolahraga dengan aman pada lingkungan yang terstruktur
dan agar pasien mengerti manfaat olahraga. Sebelum pasien menjalani
latihan fisik pada fase ini, umumnya pasien menjalani symptom-limited
exercise stress test. Exercise test dapat digunakan sebagai diagnostik atau
penentuan kapasitas fungsional. Pada rehabilitasi jantung, exercise test
digunakan sebagai penentuan kapasitas fungsional. Informasi yang didapat
digunakan untuk preskripsi latihan, evaluasi dalam kembali bekerja, dan
membantu memperkirakan prognosis. Saat ini rekomendasi intensitas
latihan untuk fase III adalah 60-70% dari denyut jantung maksimal, atau
40-60% dari cadangan denyut jantung maksimal, yang setara dengan skor
12-15 dari perceived exertion scale. Denyut jantung maksimal dapat
31
dihitung dengan cara menggunakan rumus: 220 - umur. Cadangan denyut
jantung maksimal didapat dengan cara: denyut jantung maksimal - denyut
jantung istirahat. Durasi dari program bervariasi antara 8 - 12 minggu dan
pasien menghadiri dua sampai tiga sesi perminggu. Pasien juga disarankan
untuk berolahraga pada hari biasa selain sesi program rehabilitasi. Jenis
olahraga yang disarankan adalah yang dapat meningkatkan ketahanan
tubuh/stamina, seperti treadmill, sepeda statis, naik tangga. Olahraga ini
merupakan olahraga aerobik. Umumnya 8-10 pasien yang mempunyai
kapasitas fungsional yang sama dapat olahraga bersama-sama. Terdapat
periode pemanasan sekitar 15 menit yang diikuti periode latihan sekitar
30-35 menit, dan diikuti periode pendinginan sekitar 10 menit.
d. Fase IV: fase ini merupakan fase dimana pasien olahraga secara mandiri
dan memelihara gaya hidup sehat. Pola aktivitas fisik saat fase III harus
tetap dijalani untuk seumur hidup.
2.8 Aspek keamanan, waktu dan protokol uji latih pasca IMA
Walaupun uji latih ini secara umum merupakan prosedur yang aman, namun
infark baru dan kematian dilaporkan pada 1 diantara 2.500 prosedur. Uji latih
sebaiknya diawasi oleh paramedis yang telah terlatih baik serta pengalaman dalam
bidang emergensi. EKG, denyut jantung dan tekanan darah harus dimonitoring
secara ketat dan direkam selama setiap tahap, dan setiap keluhan nyeri dada dan
abnormalitas segmen ST juga harus dicatat (Perk J, De Backer G, dkk., 2012).
Uji latih sesaat sebelum rawat jalan (predischarge) memperpendek masa
rawat pasien pasca infark. Yang dikatakan predischarge berdasarkan literatur
32
yakni antara 5 sampai 26 hari setelah infark. Protokol uji latih dapat submaksimal
atau symptom limited. Yang dimaksud dengan protokol submaksimal yakni dengan
puncak denyut jantung 120 kali per menit atau 70 % dari predicted maximum
heart rate atau level 5 METS. Sedangkan protokol symptom limited dirancang
agar pasien dapat melanjutkan tes hingga timbul tanda dan gejala yang
mengharuskan penghentian uji latih misalnya angina, kelelahan, ST depresi > 2
mm, aritmia ventrikel atau penurunan tekanan darah sistolik > 10 mmHg
dibandingkan tekanan darah saat istirahat. Protokol yang sering digunakan adalah
modified Bruce, modified Naughton dan standar Bruce (Perk J, De Backer G,
dkk., 2012).
Download