Ekspansi Kredit AIC / Kompas Images Senin, 7 Juli 2008 | 03:00 WIB Krisna Wijaya Ada fenomena yang menarik di perbankan. Pada saat inflasi dan suku bunga cenderung naik, ternyata ekspansi kredit perbankan sampai Mei 2008 telah mencapai Rp 1.138 triliun. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007, berarti kredit perbankan nasional tumbuh 31,4 persen. Pertumbuhan itu berlanjut. Pada posisi Juni 2008 pertumbuhan kredit perbankan mencapai 32 persen dibandingkan dengan Juni 2007. Pertumbuhan kredit tersebut tercatat sebagai yang tercepat sejak masa krisis (Kompas, 4 Juli 2008). Fenomena pertumbuhan kredit tersebut tentunya menarik untuk dikaji. Ada beberapa catatan yang dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut. Pertama, pertumbuhan kredit sampai bulan Juni yang cukup tinggi bagaimanapun merupakan pertanda bahwa sektor perbankan telah melaksanakan fungsi intermediasinya dengan lebih baik. Meskipun pertumbuhan kredit tersebut masih didominasi sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur, pertanyaannya apakah hal tersebut didorong oleh adanya daya tarik di sektor riil? Sektor tertentu Kalau memang disebabkan oleh daya tarik yang meningkat, maka pertanyaan selanjutnya, mengapa terjadi pada sektor tertentu saja? Pemerintah memang telah berupaya untuk mereformasi sektor riil. Meskipun hasilnya belum optimal, telah ada pembuktian bahwa apabila sektor riil dibenahi, hal itu akan menstimulasi perbankan untuk melakukan ekspansi kredit. Kedua, tampaknya suku bunga sedang tidak sensitif terhadap permintaan kredit. Indikasinya, pada saat suku bunga acuan atau BI Rate naik, permintaan kredit justru naik. BI Rate yang bulan ini ditetapkan menjadi 8,75 persen merupakan kenaikan yang ketiga sejak Mei 2008. Belum sensitifnya kenaikan suku bunga terhadap permintaan kredit dapat dilihat dari kemampuan membayar kredit. Indikasi sementara adanya ekspansi kredit yang tinggi itu, tetapi tetap dalam koridor kehati-hatian, dapat dilihat dari rasio kredit bermasalah bersih yang turun dari 1,83 persen pada April 2008 menjadi 1,78 persen pada Mei 2008. Meskipun demikian, bukan berarti akan selamanya tingkat suku bunga selalu tidak sensitif. Bisa saja kejadiannya bersifat kebetulan. Oleh sebab itu, mewaspadai tingginya ekspansi kredit mutlak diperlukan. Salah satu alasannya adalah karena bisnis selalu mempunyai siklus dan selalu ada time lag (jeda waktu) antara dikeluarkannya kebijakan dan dampaknya. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah sampai pada level berapa suku bunga kredit akan menjadi sensitif terhadap kemampuan membayar kembali. Kalangan perbankan harus dapat membuat kajian agar tidak terjadi kenaikan rasio kredit bermasalah yang mendadak dan menyeluruh. Ketiga, sebaiknya kita tidak terkecoh hanya menganalisis masalah dampak kenaikan inflasi dan suku bunga karena porsi biaya bunga kredit pada umumnya 3-5 persen dari total biaya. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih lanjut komponen biaya lainnya yang signifikan berpengaruh terhadap kemampuan membayar kembali. Bagaimanapun ekonomi biaya tinggi masih dirasakan banyak pengusaha. Catatan tersebut perlu dikaji sebagai bagian dari implementasi manajemen risiko. Apabila hal tersebut secara tertib dilakukan dengan kualitas yang baik, maka sektor perbankan telah memiliki sistem ”pertahanan” yang mumpuni sehingga dapat terhindar dari krisis. Krisna Wijaya Pengamat Perbankan