BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih
menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global
34 juta, jumlah kasus baru HIV 2,5 juta, jumlah kematian 1,7 juta, memenuhi syarat
pengobatan 14,8 juta orang dan mendapatkan pengobatan ARV 8 juta orang pada
tahun 2011. Secara global dengan adanya terapi antiretroviral (ARV), infeksi baru
dan kematian sampai tahun 2011 dilaporkan menurun masing-masing sebesar 86%
dan 18% namun hanya 50% yang baru mendapatkan terapi serta sebagian besar orang
dewasa mengalami putus obat atau loss to follow up (LTFU), hal ini menunjukkan
masih adanya kesenjangan dalam akses terapi ARV (UNAIDS 2012; UNAIDS,
2013b, 2013a). Data dari 18 negara menunjukkan bahwa rata-rata retensi untuk orang
yang memakai ART menurun dari waktu ke waktu, dari sekitar 86% pada 12 bulan
sampai 72% pada 60 bulan (UNAIDS, 2013a).
Indonesia termasuk 12 negara di Asia Pasifik dengan peningkatan kasus HIV
lebih dari 90% dari tahun 2001 sampai 2012 sebesar 2,6 kali dari sebelumnya
(UNAIDS, 2013). Trend kejadian LTFU secara kumulatif di Indonesia mengalami
peningkatan yaitu per Juni 2013 sebesar 15,74% menjadi 17,95% per Juni 2014.
Provinsi Bali menduduki urutan kelima di Indonesia dari segi jumlah kasus
HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014). Laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan II
tahun 2014 mencatat 5802 odha yang pernah menerima terapi ARV di Provinsi Bali
1
2
dengan 3598 kasus masih terapi ARV, 1063 LTFU, 664 meninggal, 459 rujuk keluar
dan 18 diketahui menghentikan terapi ARV dengan persentase kejadian LTFU di Bali
per Juni 2014 yaitu 18,32% (1063/5802). Jumlah kumulatif AIDS di Bali sebesar
4261 kasus dengan Kota Denpasar jumlah tertinggi 2.113 (49,59%), kedua
Kabupaten Buleleng 593 (13,92%), dan ketiga Kabupaten Badung 550 (12,91%)
(Kemenkes RI, 2014). Tingkat konsistensi dan kepatuhan odha masih menjadi
masalah di Indonesia termasuk Bali dengan program penanggulangan HIV yang baik
tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang determinan LTFU pengobatan HIV/AIDS.
World Health Organization (WHO) mempunyai ketentuan target LTFU dalam satu
tahun pertama pengobatan yaitu < 20% ( Bennett et al, 2006; Bekolo et al, 2013;).
Layanan terapi ARV di Bali terdapat di beberapa rumah sakit umum daerah
salah satunya RSUD Badung. RSUD Badung memiliki cakupan layanan yang luas
untuk wilayah Bali Selatan khususnya Kabupaten Badung dengan Klinik Bali Medika
sebagai satelitnya. Klinik Bali Medika merupakan klinik swasta dibawah Yayasan
Bali Peduli yang fokus pada layanan untuk kelompok LSL (lelaki seks lelaki) di
wilayah Kuta dan menyediakan layanan test HIV, terapi ARV gratis, buddy atau
pendampingan untuk odha dan alat pendukung kepatuhan (reminder tool). Jumlah
kumulatif pasien yang menerima ARV di RSUD Badung dan satelitnya dalam
laporan sampai Juli 2014 sebanyak 671 yang telah menerima terapi ARV, dengan 76
(11,3%) meninggal, 79 (11,8%) LTFU, 42 (6,3%) rujuk keluar yang tercatat dalam
rekam medis dan tersimpan di layanan VCT Sekar Jepun.
3
Terapi ARV memerlukan kepatuhan berkelanjutan tingkat tinggi dan
monitoring untuk menekan replikasi virus, meningkatkan imunologi dan hasil klinis,
menurunkan risiko resistansi terhadap obat ARV, serta mengurangi risiko penularan
HIV (WHO, 2013). Persentase LTFU pada satu tahun pertama terapi ARV
merupakan indikator pendeteksian dini terjadinya resistensi obat dan keberhasilan
terapi ARV (Bennett et al, 2006; Kemenkes RI, 2011a). Pencatatan LTFU dilakukan
untuk kepentingan analisa kohort sebagai indikator bagi tim klinik, kabupaten dan
kota melihat seberapa baik program terapi ARV yang telah berjalan (Kemenkes RI,
2011c). Banyak orang tidak mengakses perawatan setelah diagnosis dan mengalami
LTFU selama pengobatan karena tidak adanya intervensi proaktif dan layanan
dukungan (UNAIDS, 2012a).
Tingginya tingkat LTFU meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan HIV dalam program perawatan dan pengobatan HIV (Mugisha et al, 2014).
Kematian adalah alasan paling umum dicatat untuk 233 (47,94%) dari yang
mengalami LTFU (Wubshet et al, 2013). LTFU meningkatkan risiko kematian pada
odha (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Edwards et al, 2014; Odafe et al,
2012; Onoka et al, 2012; Somi et al, 2012). Insiden terjadinya LTFU pada pasien
yang menerima ARV bervariasi, dari beberapa penelitian di negara lain menunjukkan
bahwa semakin lama terapi ARV yang diterima maka insiden dan persentase LTFU
juga semakin besar (Odafe et al, 2012; Tran et al,2013; Kate et al, 2014; Mugisha et
al, 2014).
4
Penelitian tentang LTFU pada odha yang menerima terapi ARV di Indonesia
masih sangat terbatas terutama pada fasilitas layanan pemerintah seperti rumah sakit.
Penelitian LTFU di Provinsi Bali pernah dilakukan di Yayasan Kerti Praja Bali tahun
2013 pada mayoritas perempuan pekerja seks dan berasal dari penduduk luar Bali
yang cenderung mobile, dengan kejadian LTFU sebesar 14,1% dan insiden LTFU
sebesar 5,15 per 100 person years. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan tahun
2012 menggunakan data TAHOD (Treat Asia HIV Observasional Database) dari 18
site di Asia-Pacific termasuk Bali namun hasil yang ditunjukkan bersifat agregat.
Penelitian di berbagai negara menunjukkan beberapa faktor determinan yang
berkaitan dengan kejadian LTFU seperti pendidikan ( Krishnan et al, 2011; Hassan et
al, 2012), pekerjaan (Alvarez-Uria et al, 2013; Kate et al, 2014), status pernikahan
(Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Mugisha et al, 2014), risiko penularan
HIV (Gerver et al, 2010), jarak dari tempat pelayanan kesehatan (Bekolo et al, 2013;
Hassan et al, 2012), kadar CD4 ( Gerver et al, 2010; Schöni-Affolter et al, 2011;
Onoka et al, 2012; Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Evans et al, 2014;
Mugisha et al, 2014;) dan stadium WHO (Odafe et al, 2012; Saka et al, 2013).
Namun masih ditemukan hasil yang tidak konsisten, dimana laki-laki (Evans et al,
2013; Mugisha et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Tran et al, 2013;
Weigel et al, 2013) dan umur muda (Bekolo et al, 2013; Saka et al, 2013; Tran et al,
2013; Kate et al,
2014) lebih beresiko mengalami LTFU tetapi penelitian lain
menyebutkan perempuan (Saka et al., 2013) dan umur lebih tua (Sabapathy et al,
2012) yang lebih beresiko untuk LTFU. Hasil yang tidak konsisten juga ditemukan
5
pada stadium klinis WHO karena sangat dipengaruhi oleh prilaku odha dalam
mencari layanan kesehatan (Hsiao et al, 2003; Berheto et al, 2014).
Penelitian
secara
longitudinal
penting
dilakukan
untuk
mengetahui
keberhasilan program terapi ARV yang telah berlangsung dengan indikator LTFU
pada setting fasilitas kesehatan yaitu rumah sakit pemerintah yang umumnya kurang
optimal untuk program penjangkauan (outreach) dibandingkan klinik swasta serta
sebagian besar populasi merupakan penduduk lokal. Penjangkauan yang baik sangat
menentukan kejadian LTFU pada pasien odha (Lamb et al, 2012). Melalui penelitian
ini diharapkan dapat teridentifikasi determinan LTFU pasien yang menerima ART
pada populasi umum di Bali yang selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini
nantinya dapat memberikan kontribusi kepada praktisi dan pemegang program
terhadap monitoring dan evaluasi keberhasilan pengobatan ARV pasien odha
khususnya di rumah sakit pemerintah.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka pertanyaan dalam
penelitian ini terkait determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi
ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014 yang meliputi:
1.2.1
Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha?
1.2.2
Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha?
1.2.3
Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan
terapi ARV?
1.2.4
Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan
terapi ARV?
1.2.5
Bagaimana kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir
pengamatan?
1.2.6
Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi (umur, jenis
kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat
(PMO), dan risiko penularan HIV) dengan loss to follow up?
1.2.7
Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4,
kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium klinis, status fungsional,
status TB, dan jenis ARV (golongan NRTI dan NNRTI) dengan loss to follow
up?
1.2.8
Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan
kebijakan terapi) dengan loss to follow up?
7
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui kejadian dan determinan loss to follow up pasien odha yang
menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung tahun 20062014.
1.3.2 Tujuan khusus
Penelitian loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di
layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung ini bertujuan untuk mengetahui sebagai
berikut:
1. Median time kejadian loss to follow up pasien odha.
2. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha.
3. Median time kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan
terapi ARV.
4. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan
terapi ARV.
5. Kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan
6. Karakteristik sosiodemografi, layanan dan klinis pasien odha yang menerima
terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014
yang meliputi a) umur, b) jenis kelamin, c) pendidikan, d) status bekerja, e)
status menikah, f) pengawas minum obat (PMO), g) risiko penularan HIV, h)
berat badan, i) kadar CD4, j) kadar haemoglobin, k) infeksi oportunistik, l)
8
stadium klinis WHO, m) status fungsional, n) status TB, o) jenis ARV NRTI,
p) jenis ARV NNRTI, q) jenis tempat layanan, r) kebijakan terapi ARV.
7. Hubungan variabel karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status
bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko
penularan HIV), karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar
haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status TB, golongan NRTI,
golongan NNRTI dan status fungsional) dan karakteristik layanan (jenis
tempat layanan dan kebijakan terapi ARV) dengan loss to follow up pada
pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD
Badung tahun 2006-2014.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Praktis
1. Bahan masukan dan monitoring keberhasilan layanan CST (care support
treatment) melalui indikator loss to follow up di layanan publik milik
pemerintah sehingga berguna untuk
mengoptimalkan
retensi
dalam
meningkatkan
perawatan
dan
pemantauan
perbaikan
dan
program
selanjutnya.
2. Penelitian ini juga memberikan manfaat pada odha sebagai subyek dalam
terapi ARV untuk memiliki kesadaran dan pemahaman untuk meningkatkan
kepatuhan mereka dalam terapi sehingga kualitas hidup odha dapat
meningkat.
9
1.4.2
Teoritis
Referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya terkait terapi ARV terutama
yang berhubungan dengan loss to follow up pada pasien odha.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai
macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero
AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif
(Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci
keberhasilan
penanggulangan
HIV/AIDS
adalah
perawatan,
dukungan
dan
pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan
jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu
454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014).
Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga
insiden HIV/AIDS dapat diturunkan.
Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin
dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin
menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun
menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan
antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman
9
11
dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian
klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman
pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti
obat dan biaya (Depkes, 2007).
Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan
angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas
hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian
stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4
merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi.
Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan
pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat
lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan
compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34).
Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi
oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,
skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk
menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK
jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling
positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan
alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi
12
tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat
ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi
selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia
pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI
(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin
dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor)
yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk
mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di
Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun
2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman
terapi antara keduanya:
13
Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia
Pedoman Terapi ARV 2007
Pedoman
Terapi
ARV 2011
Indikasi memulai terapi ARV
Odha tanpa gejala klinis CD4 ≤ 200 sel/mm3
CD4 ≤ 350 sel/mm3
(stadium 1) dan belum
pernah mendapatkan
terapi ARV
Odha dengan gejala
Semua pasien dengan CD4 ≤
Stadium klinis 2
klinis dan belum pernah 200 sel/mm3, stadium 3 dan 4, bila CD4 ≤ 350
memperoleh terapi ARV berapapun jumlah CD4
sel/mm3, stadium
klinis 3 dan 4 tanpa
melihat jumlah
CD4
Perempuan hamil
Stadium 1 atau 2 dengan
Semua ibu hamil
3
dengan HIV
CD4 < 200 sel/mm , stadium berapapun jumlah
3 dan CD4 < 350 sel/mm3 dan CD4 dan kondisi
stadium 4, berapapun jumlah
stadium klinis
CD4
Odha dengan koinfeksi
Adanya gejala TB aktif dan
Mulai terapi
TB yang belum pernah
CD4 < 350 sel/mm3
berapapun jumlah
menerima terapi ARV
CD4
Odha dengan koinfeksi
Tidak ada rekomendasi
Odha dengan
Hepatitis B (HBV) yang khusus
koinfeksi Hepatitis
belum mendapatkan
B (kronis aktif) dan
terapi ARV
berapapun junlah
CD4
Sumber : (Kemenkes RI , 2011b)
Populasi Target
Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register
terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi
dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien
datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang
tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan
selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi
14
terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss
follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b).
Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik
bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan
efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,
mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik
dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a).
Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat
disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50
kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI,
2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien
HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara
teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh
ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al.,
2012; UNAIDS, 2013a).
2.2 Loss To Follow Up pada Odha
2.2.1 Prevalensi Loss To Follow Up
Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah
mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV
di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai 350.000 dengan penurunan 26% sejak
tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan
dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah
15
diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya
yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum
perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade
pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji
manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah
LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a).
Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan
konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan
pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan
terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat
hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya
masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS,
2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang
berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan
estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara
penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara
penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko
untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011).
Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income
countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan
Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART
mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di
16
Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years.
Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun
kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara
tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak
kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak
teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk
melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al.,
2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian
yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat
Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun
kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012).
Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan
transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya
kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan
nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009; Deribe
et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per
Agustus 2014 sebesar 17,95% (14.360 dari 81.518 yang pernah menerima ART)
meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% (10.825 dari 65.311 yang pernah
menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal
hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009;
Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr
Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS
17
sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di
Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal.
2.2.2 Definisi Loss To Follow Up
Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk
memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan
terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa
literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al.,
2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU,
jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir.
Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan
LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan
jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi
et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012;
Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013).
Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD
(Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari
(Zhou et al., 2012).
Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi
perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013)
Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria
penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau ≥ 60 hari
dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8–5,3) dan memiliki
sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2- 85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi
18
et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011
pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk
Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu ≥ 180 hari dengan kesalahan
klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih
adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem
monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya
memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai
LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa
definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54)
yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak
terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013).
Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis
interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah
kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu
pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada
beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai
LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar
LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi
LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan
penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off
LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV.
19
2.2.3 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV
Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring
yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat
berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal
untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk
kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et
al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting
karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil
obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART
menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti
datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini
mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang
optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan
terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat
kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al.,
2013).
Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan,
dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm3 dan ≥ 350 sel / mm3 yang tercatat
dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter
et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU
karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu
20
masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha
(Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013;
Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014).
2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV
Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan
penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien
saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka
panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan
dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU
tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan
LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et
al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa
determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu:
2.3.1 Karakteristik Sosiodemografi
2.3.1.1 Umur
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih
berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011;
Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013;
Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia
menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa
21
1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anakanak (Tezera et al., 2014).
Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam
berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan
pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh
(berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung
memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada
pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan
kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar
menyebutkan bahwa umur ≥ 40-80 tahun lebih berisiko mengalami LTFU (aHR=1.5;
95% CI 1,25 -1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah
untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena
kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama
kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo
et al., 2013).
2.3.1.2 Jenis Kelamin
Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian
LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et
al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al.,
2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to
follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan
(AHR 1,3, 95%CI 1,1–1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV
22
justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan
laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013).
Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang ke
pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara detail
(Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon akan
memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan ARV
(McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko tinggi
penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi ARV
sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013).
Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi
karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et
al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke
fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan
pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari
perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa
memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al.,
2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium
lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka
tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena
penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010).
23
2.3.1.3 Pendidikan
Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan
karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah
baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa
mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra
konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan,
risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks.
Tingkat pendidikan yang rendah (aOR 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan
penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al.,
2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta
huruf meningkatkan kejadian LTFU (aHR 1,3; 95% CI 1,1- 1,6) (Alvarez et al.,
2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah
pertama (aHR 2,0; 95% CI 1,1–3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan
hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak
sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan
(aHR 1,22; 95% CI 0,98- 1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan
menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16
tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama
pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al.,
2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan
dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011).
24
2.3.1.4 Pekerjaan
Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien
pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi
LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki
tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki
hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et
al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi
ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha
ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007)
2.3.1.5 Status Menikah
Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (aHR 1,6, 95% CI 1,2- 2,3)
(Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang
telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014).
Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih
mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi
penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten
et al., 2010).
2.3.1.6 Pengawas Minum Obat (PMO)
PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk
menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum
obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap
kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan
25
mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat,
dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada
waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya
memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri
(acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan
(Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik
dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih
rendah (aRR = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012).
2.3.1.7 Risiko Penularan
Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user)
memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (aHR=1,40 95% CI
1.25–1.89), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (aHR= 1,544
95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok
MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan aHR=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p=
0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih
mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal
dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat
suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada
kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif
lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain
(yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan
tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan
26
ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan
ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika
bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95%
CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV
jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada
kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok
MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual
(aOR 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015).
Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU
yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR
2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al.,
2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat
menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang
kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al.,
2015).
2.3.2
Karakteristik Klinis
2.3.2.1 Berat Badan
Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi.
Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki
kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan
mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha
27
yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami
kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang
dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat
dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI
(body mass index) ≤ 18,5 kg/m2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik
sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga
kemungkinan LTFU lebih besar (aHR 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga
adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,021,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap
unitnya menurunkan kejadian LTFU (aHR, 0.97; 95% CI 0,88–1,03) tetapi tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang
menyatakan odha yang memiliki berat badan ≥ 60 kg memiliki risiko 76% lebih
rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg
(AHR 3.47 95% CI 1.02-11.83), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki
kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle,
2014).
2.3.2.2 Jumlah CD4
Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator
kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk
memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya
berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi
28
ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan
remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV
akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan 50-100 sell/mm3/tahun
dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara
progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan
deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011).
Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun
terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART
dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan ≥ 350
sel/mL (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4
yang rendah (<100-200 cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010;
Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et
al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat
(Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan
penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga
dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi
resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013).
Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi ≥ 200 cell/ml lebih
beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al.,
2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang
tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang
memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga
29
sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al.,
2010).
2.3.2.3 Kadar Haemoglobin
Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar
haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia.
Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti
pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu
23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal
pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar
hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dL (HR
1,64 95% CI 1,28 – 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian
Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru
menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien
termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4
lebih tinggi (Hønge et al., 2013).
2.3.2.4 Infeksi Oportunistik
Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang
diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi
oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu
HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et
al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau
tanpa OC (oropharyngeal
candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95%
30
CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat
keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan
tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya
infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang
juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko
LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et
al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP
(19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD
juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan
ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007).
2.3.2.5 Stadium Klinis WHO
Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit
yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis
penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan
stadium II WHO (adjusted sHR 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih
tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012).
Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan
stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et
al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam
kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012).
Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak
percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk
31
menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer alternative
medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al., 2003).
Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka menggunakan
pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka menggunakan pengobatan
tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%) dan praktek-praktek
spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi ini berdampak pada
kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini kemungkinan yang
membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak konsisten ditemukan pada
variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh Berheto et al, bahwa stadium
klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (aHR= 0,6; CI 0,4-0,8, p=0,007) karena
pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung mengalami peningkatan perilaku
dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan penyakit yang diderita (Berheto
et al., 2014).
2.3.2.6 Status Fungsional
Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja,
ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja
normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan
memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%)
berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan
utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang
untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah
32
satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu
ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted sHR 1,25 (95% CI:
1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status
fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (aHR 0,4
95% CI 0,3-0,6 p=0,001).
2.3.3.7 Status TB
Karakteristik
penyakit
penyerta
merupakan
salah
satu
faktor
yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit
lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI,
2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang
hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian
menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada
odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif
memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (aHR=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al.
2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan
TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda
toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat
(62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif
memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan
hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda
menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi
33
klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat
(Berheto et al., 2014).
2.3.2.8 Regimen ARV
Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk
regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4T), lamivudine (3TC),
didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC).
Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang
termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir.
Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses
untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a).
Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine
(NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (aHR 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04),
begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (aHR 0,55 CI 0,42-0,71) dan
zidovudine (AZT) (aHR 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan
studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi
sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4T (62).
Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih
berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang
melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (AlvarezUria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan
oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan
34
efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan
pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau
LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan
peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease
inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU
mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012).
2.3.3
Karakteristik Layanan
2.3.3.1 Entry Point
Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi
ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program.
Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV
yang meliputi
layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA
(kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c).
Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary
and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari
(PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima
perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator
dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien
yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006).
Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar
melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012;
Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada
35
entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point
melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point
yang lain (Crude OR 0.5 CI 0.3–0.9 p= 0.02) (Hassan et al., 2012).
2.3.3.2 Jenis Tempat Layanan
Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit
pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah
sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat
memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik
swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada
klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah
dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum
mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami
LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan
pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga
lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang
kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu
meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi
pelacakan (Onoka et al., 2012)
2.3.3.3 Status Rawat
Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan
menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha
36
memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi
oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan
menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9%
(Fleishman et al., 2013).
2.3.3.4 Kebijakan Terapi ARV
Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk
menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat.
Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007;
Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah
jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring
keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari
efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya
terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga
ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm3, 200-350 sel/mm3 dan >350 sel/mm3), sebagian
besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan biaya tambahan
hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm3 akan
mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan
manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa
inisiasi ARV pada CD4 ≥ 350 sel/mm3 memberikan keuntungan jangka panjang pada
kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi
terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan
37
harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir
perkembangan penyakit dengan CD4 ≤ 200 sel /mm3 (UNAIDS, 2013a).
Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru
perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai
alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan
jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber
daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa
pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara
pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada
pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250
sel/mm3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha
yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial
berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya,
tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi
mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada
awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana
durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 ≥ 350 cell/mm3 di awal
terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 yaitu 24 bulan
(Ndiaye et al., 2009).
2.3.3.5 Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian
LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: aHR=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01)
38
(Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (aHR = 1,25, 95% CI 1,001,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari ≥ 1 jam ke tempat layanan ARV
juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al.,
2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan
kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan
berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo
et al., 2013).
2.4 Kepatuhan Terapi ARV
WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku
seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya
hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan
kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada
setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan
ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem
penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat
mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a).
Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor
individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas
sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan
untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau
rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan
diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk
39
mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan
kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan,
kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas
pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap
ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol
bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan
terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan
kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et
al., 1999).
Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART
meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan
kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem
manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV
dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan
memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan
rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan
pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek
samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan
teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk
mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi
kepatuhan (WHO, 2013).
40
Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan
bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan
alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012).
Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat
ukur ”The Perceived Sosial Stigma” diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018)
dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan
dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak
minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu
yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).
41
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Retensi odha dalam terapi ARV masih menjadi tantangan terbesar dalam
program HIV secara global maupun nasional sehingga berdampak pada kegagalan
terapi dan resistensi terhadap ARV. Menurunnya tingkat retensi ditunjukkan dengan
meningkatnya LTFU pada odha yang menerima terapi ARV pada tahun pertama
pengobatan. Resiko LTFU meningkat sejalan dengan lamanya terapi ARV, dan
berbagai determinan yang kemungkinan berhubungan dengan LTFU yang berkaitan
dengan kejenuhan dalam mengkonsumsi obat ARV mengingat terapi ini bersifat
seumur hidup.
Karakteristik sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, status bekerja,
pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, risiko penularan HIV dan
karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi
oportunistik, stadium WHO, dan status fungsional. Karakteristik layanan seperti jarak
tempat tinggal ke fasilitas layanan ARV, sarana dan prasarana yang tersedia di
layanan ARV, entry point dan jenis tempat pelayanan untuk memperoleh terapi ARV.
Karakteristik tersebut merupakan determinan yang memiliki hubungan dengan
kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV. Karakteristik sosiodemografi
berhubungan dengan LTFU karena terkait dukungan sosial dan psikologis odha
selama pengobatan. Odha yang tidak memiliki pasangan cenderung tidak memiliki
dukungan orang sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma
41
42
terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam
perawatan dan pengobatan. Seluruh aspek karakteristik tersebut merupakan faktor
penentu dari kejadian LTFU pada odha yang menerima ARV.
Umur muda seringkali juga dikaitkan dengan kondisi psikologis yang belum
stabil sehingga cenderung belum siap untuk menerima terapi, dan kondisi gejala yang
belum dirasakan memicu penundaan dan tidak datang kembali ke layanan. Selain
umur, jenis kelamin yaitu laki-laki juga berkontribusi terhadap kejadian LTFU
dimana mereka cenderung kurang peduli dengan kondisi kesehatan mereka sebelum
mengalami keluhan. Keadaan klinis pada odha berhubungan dengan kejadian LTFU,
pasien odha umumnya datang dalam kondisi stadium klinis yang tinggi sehingga akan
berpengaruh pada terapi ARV yang diberikan. Kadar CD4 merupakan clinical
diagnosis yang sering dijumpai berpengaruh terhadap LTFU. Demikian juga untuk
kadar haemoglobin yang normal akan menurunkan kejadian LTFU. Kondisi klinis
odha yang baik cenderung mengalami LTFU karena asumsi yang menganggap
dirinya sudah sembuh sehingga mengabaikan pengobatan ARV, sebaliknya kondisi
klinis yang buruk juga dapat memicu LTFU akibat kepercayaan mereka yang
menurun terhadap terapi dan berusaha untuk mencari alternatif pengobatan lain.
Namun tidak menutup kemungkinan odha dengan kondisi yang lebih buruk memiliki
kesadaran dan pengobatan yang lebih tinggi karena perasaan membutuhkan
pengobatan yang lebih intensif.
43
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah disusun maka konsep penelitian dalam
penelitian ini yaitu:
Karakteristik Sosiodemografi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Status bekerja
Status menikah
Pengawas minum obat (PMO)
g. Risiko penularan HIV
Karakteristik klinis
a. Jumlah CD4
b. Kadar haemoglobin
c. Infeksi oportunistik
d. Stadium klinis WHO
e. Status fungsional
f. Berat badan
g. Status TB
h. Regimen ARV
Karakteristik
layanan
i. Status rawat
a. Entry point
b. Jenis tempat layanan
c. Kebijakan terapi
Menerima terapi ARV
Loss to follow up
Kondisi klinis di akhir pengamatan
Jarak tempat tinggal dengan layanan
penyedia ARV
Keterangan :
__________ Diteliti
- - - - - - - - - - Tidak diteliti
Gambar 3.1
Konsep Determinan Loss To Follow Up Pasien Odha yang Menerima Terapi ARV
44
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian
pada odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung
tahun 2006-2014 sebagai berikut:
3.3.1
Ada hubungan antar umur dengan loss to follow up
3.3.2
Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up
3.3.3
Ada hubungan antara pendidikan dengan loss to follow up
3.3.4
Ada hubungan antara status bekerja dengan loss to follow up
3.3.5
Ada hubungan antara status menikah dengan loss to follow up
3.3.6
Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up
3.3.7
Ada hubungan antara risiko penularan HIV dengan loss to follow up
3.3.8
Ada hubungan antara berat badan dengan loss to follow up
3.3.9
Ada hubungan antara jumlah CD4 dengan loss to follow up
3.3.10 Ada hubungan antara kadar haemoglobin dengan loss to follow up
3.3.11 Ada hubungan antara infeksi oportunistik dengan loss to follow up
3.3.12 Ada hubungan antara stadium WHO dengan loss to follow up
3.3.13 Ada hubungan antara status fungsional dengan loss to follow up
3.3.14 Ada hubungan antara status TB dengan loss to follow up
3.3.15 Ada hubungan antara golongan NRTI dengan loss to follow up
3.3.16 Ada hubungan antara golongan NNRTI dengan loss to follow up
3.3.17 Ada hubungan antara jenis tempat layanan dengan loss to follow up
3.3.18 Ada hubungan antara kebijakan terapi dengan loss to follow up
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal analitik dengan melakukan
analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien odha yang menerima
terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode tahun 2006-2014.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung pada
periode waktu Januari 2015-Maret 2015. Klinik VCT Sekar Jepun merupakan klinik
yang memberikan pelayanan terkait HIV/AIDS termasuk pemberian terapi ARV dan
pemeriksaan laboratorium yang berdiri sejak 22 Maret 2005. Sasaran layanan
diberikan kepada masyarakat umum, kelompok risiko dan menerima rujukan pasien
dari puskesmas, klinik, dan praktek swasta di wilayah Badung. Pemilihan RSUD
Badung sebagai tempat penelitian terkait dengan jumlah pasien HIV tertinggi ketiga
di Provinsi Bali dengan mayoritas pasien adalah masyarakat umum dan kelompok
LSL pada satelitnya yaitu Klinik Bali Medika (BMC). Pelaporan pasien ARV di
Klinik VCT Sekar Jepun mencakup dua satelit yaitu klinik Bali Medika dan RSUD
Negara terkait pelaporan dan distribusi obat ARV namun sejak April 2014 RSUD
Negara bukan menjadi satelit dari RSUD Badung. Pasien yang tercatat dari RSUD
Negara tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena data follow up yang tidak
memenuhi end point dari penelitian ini.
45
46
RSUD Badung juga didukung oleh pencatatan rekam medis yang lengkap dan
tersimpan rapi dalam lemari khusus di ruangan VCT sehingga lebih mudah untuk
diesktrak. Tenaga kesehatan yang mendukung layanan VCT Sekar Jepun meliputi
satu orang dokter sebagai ketua, satu orang dokter konsulen, empat orang konselor,
satu orang petugas laboratorium, satu orang petugas administrasi, dua orang manajer
case CST, dan satu orang pelaksana ART. Kualifikasi petugas perawatan HIV yaitu
petugas rutin di perawatan HIV, petugas untuk pelayanan ART, dan staf yang dilatih
untuk pencatatan dan pelaporan pasien ART.
Klinik Bali Medika berlokasi di Kuta, Badung merupakan klinik swasta
dibawah Yayasan Bali Peduli (YBP) yang berdiri sejak tahun 2011 dengan fokus
layanannya pada kelompok LSL. Klinik ini didukung oleh satu orang dokter (direktur
klinik), satu orang konselor, dua orang perawat sekaligus konselor dan dua orang
teknisi laboratorium. Layanan yang diberikan meliputi test HIV, test CD4, test IMS,
pemberian terapi ARV, terapi obat untuk IMS, penjangkauan, bantuan pendampingan
untuk pasien HIV positif yang menerima terapi, konseling dan kelompok dukungan
sebaya. Pelayanan di Klinik Bali Medika didukung juga dengan pemeriksaan CD4
yang praktis dan cepat melalui mesin CD4, bantuan dari para donatur. Prosedur
layanan yang berlangsung di klinik yaitu jika pasien terdeteksi HIV positif kemudian
akan dirujuk pada seorang pendamping atau buddy sehingga pasien siap untuk
menerima terapi. Pendamping ini memberikan dukungan kepada klien yang sifatnya
non medis terutama efek samping oleh karena obat. Layanan dilakukan sejak pukul
16.00-20.00 wita sehingga memungkinkan bagi pasien untuk berkunjung ke klinik
47
sepulang kerja atau malam hari tanpa diketahui orang lain mengingat adanya stigma
yang masih tinggi di masyarakat. Standar layanan yang diterapkan di klinik ini sesuai
dengan rekomendasi WHO terkait layanan HIV dalam konteks epidemi terkonsentrasi
sehingga pada tahun 2012 klinik ini mendapatkan pengakuan dari TREAT ASIA,
WHO dan Depkes RI atas pelayanan swasta dengan pendekatan masyarakat dan
kolaborasi dengan dinas kesehatan provinsi setempat.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi merupakan sejumlah subyek yang mempunyai karakteristik
tertentu. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh odha yang menerima
terapi ARV di Provinsi Bali. Populasi studi atau terjangkau yaitu seluruh odha yang
menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 20062014. Populasi penelitian dalam hal ini adalah seluruh pasien odha yang menerima
ART di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode waktu 2006-Juli 2014.
Jumlah populasi dalam penelitian hingga 31 Juli 2014 adalah 671 pasien.
4.3.1.1 Kriteria inklusi
Populasi ini dibatasi dalam kriteria inklusi yaitu pasien HIV/AIDS yang
menerima terapi ARV dengan melakukan kunjungan minimal dua kali dilihat dari
pertama kali minum ARV.
4.3.1.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ibu hamil, umur
<15 tahun, dan pasien satelit RSUD Negara. Pertimbangan ini dilakukan karena
48
jumlah pasien usia <15 tahun dan ibu hamil yang terdaftar dalam register ARV dan
rekam medis di layanan VCT RSUD Badung sedikit sehingga mempengaruhi sebaran
data dalam analisis. Pasien RSUD Negara juga tidak diikutkan sebagai sampel
karena end point pengamatan yang tidak terpenuhi sampai Agustus 2014.
4.3.2 Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa kohort dari pasien odha
yang menerima ARV dalam periode tahun 2006-2014 yang tercatat dalam rekam
medis. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan sebagai sampel
penelitian. Pemilihan ini dilakukan untuk tidak mengurangi kekuatan penelitian
akibat adanya data missing yang bisa ditemukan di rekam medis pasien namun data
missing tersebut tidak pada variabel yang sama pada setiap pasien. Pasien yang telah
memulai terapi ARV dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai
sampel.
49
Prosedur seleksi sampel penelitian digambarkan pada gambar 4.1 dibawah ini
Pasien HIV/AIDS RSUD
Badung (2006-Juli 2014)
871 orang
Pasien Pra-ART
200 (23%)
Pasien Terapi ARV
671 (77%)
Kriteria eksklusi :
- Kunjungan satu kali 74 (11,1%)
- Hamil 11 (1,6%)
- Umur < 15 tahun 2 (0,3%)
- Satelit RSUD Negara 9 (1,3%)
Kriteria inklusi
575 (85,7%)
Pasien Satelit 234 (40,7%)
- Masih terapi ARV 182 (31,7%)
- Meninggal 5 (0,9%)
- LTFU 29 (5%)
- Rujuk keluar 18 (3,1%)
Pasien RSU Badung 341(59,3%)
- Masih terapi ARV 202 (35,1%)
- Meninggal 71 (12,3%)
- LTFU 59 (10,3%)
- Rujuk keluar 9 (1,6%)
Total LTFU 15.3%
Gambar 4.1 Prosedur Seleksi Sampel Penelitian
4.3.3 Jumlah dan Besar Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi studi. Besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan perhitungan
sampel untuk dua kelompok insiden rate. Perhitungan besar sampel yang digunakan
adalah sebagai berikut: (Lwanga, S. K.; Lemeshow, 1991)
(Z
n
(1  k ) 2  Z  k 1  2
2

k (1  2 )
2
2

50
Keterangan :
Zα = derivate baku alfa
Zβ= derivate baku beta
k = rasio kelompok tidak terpapar dengan kelompok terpapar di populasi
λ 2 = proporsi LTFU pada kelompok yang sudah diketahui (kelompok kontrol)
λ 1 = proporsi LTFU kelompok yang akan diuji
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut dengan menggunakan α=5%,
β=90%, dan
=0,18 yang didapat berdasarkan proporsi LTFU pasien HIV/AIDS
yang menjalani terapi di Indonesia maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari
HR hasil penelitian terdahulu yaitu :
Tabel 4.1
Perhitungan Besar Sampel Penelitian
Nama peneliti dan variabel
Outcome HR
λ1
λ2
n1=n2 2n
Berheto et al., 2014
Umur
LTFU
2,1
0,38 0,18
44
88
CD4 < 200 sel/mm3
LTFU
1,7
0,31 0,18
77
154
CD4 < 200 sel/mm3
LTFU
2,06
0,37 0,18
47
94
IDU (injecting drug use)
LTFU
5,26
0,95 0,18
14
28
Umur
LTFU
1,8
0,32 0,18
70
140
IDU (injecting drug use)
LTFU
5,3
0,95 0,18
14
28
Ndiaye et al., 2009
Lebouche et al., 2006
Pertimbangan pemilihan rumus besar sampel diatas adalah berdasarkan
kriteria pengamatan dan rekrutmen subyek penelitian pada penelitian kesintasan.
Penelitian ini akan dibatasi pada waktu tertentu yaitu 2006-2014, dan rekrutmen
subyek penelitian dilakukan saat awal menerima terapi ARV sebagai baseline (awal
pengamatan). Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan beberapa variabel yang
51
paling banyak ditemukan memiliki hubungan dengan LTFU menunjukkan sampel
minimal yaitu 70 orang dengan asumsi pada kelompok LTFU (kelompok terpapar) 70
orang dan kelompok yang tidak LTFU (kelompok kontrol) 70 orang. Namun sampel
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh sampel yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu sebanyak 575 pasien dengan 88 pasien yang termasuk dalam
LTFU sehingga jumlah sampel minimal sudah terpenuhi. Seluruh sampel digunakan
dengan
pertimbangan
penggunaan
data
sekunder
untuk
menghindari
ketidaklengkapan data yang tersedia sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan
sampel yang lebih besar.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini dibagi menjadi variabel independen dan dependen.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah loss to follow up pada pasien HIV
yang menjalani terapi ARV dengan event date-nya adalah tanggal kunjungan terakhir
pasien yang dinyatakan sebagai LTFU saat menjalani terapi ARV. Variabel
independent yaitu determinan yang terdiri dari karakteristik sosiodemografi, klinis,
dan layanan. Karakteristik sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin,
pendidikan, status bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko
penularan HIV. Karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar
haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional, status
fungsional, jenis ARV NRTI, dan jenis ARV NNRTI. Karakteristik layanan meliputi
jenis tempat layanan dan kebijakan terapi.
52
4.4.1 Definisi Operasional
Tabel 4.2
Definisi Operasional Penelitian dan Cara Pengukuran
Variabel
Definisi Operasional
1
2
Variabel Independen
Umur
Umur (dalam tahun) yang
tercatat di dalam rekam
medis dan register ARV
Jenis kelamin Jenis kelamin yang tercatat
dalam rekam medis
Instrumen
3
Skala Pengukuran
4
Formulir
pengumpulan
data
Formulir
pengumpulan
data
Interval (tahun)
Umur dikelompokkan
sesuai sebaran data
Nominal
1.Perempuan
2. Laki-laki
Kategorikal:
0 = perempuan
1= laki-laki
9=missing
(Ochieng-Ooko et al.,
2010)
Kategorikal:
0= pendidikan tinggi
(SMP, SMA, dan
PT)
1= pendidikan rendah
(SD dan Tidak
Sekolah)
9=missing
(Karcher et al., 2007;
Wubshet et al., 2013)
Kategorikal:
0=tidak bekerja
1= bekerja
9= missing
(Kate et al., 2014)
Kategorikal:
0= menikah
1= belum
menikah/bercerai
9= missing
(Dalal et al., 2008)
Kategorikal:
0= ada
1= tidak ada
9=missing
(Lamb et al., 2012)
Pendidikan
Jenis pendidikan yang
tercantum dalam rekam
medis
Formulir
pengumpulan
data
Ordinal
1. Tidak sekolah/
tidak lulus SD
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan Tinggi
Status bekerja
Status bekerja yang tercatat
dalam rekam medis saat
mulai terapi ARV
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. Tidak bekerja
2. Bekerja
Status
menikah
Status pernikahan terakhir
yang tercatat dalam rekam
medis
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. Belum menikah
2. Menikah
3. Janda/ Duda
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. Tidak ada
2. Ada
Pengawas
Orang yang tercatat sebagai
minum obat pengawas minum obat yang
(PMO)
tercatat dalam rekam medis
Rencana Analisis
5
53
1
2
Risiko
Risiko pertama kali saat
penularan HIV terpapar HIV/AIDS yang
tercatat dalam rekam medis
3
Formulir
pengumpulan
data
Berat badan
Formulir
pengumpulan
data
Infeksi
oportunistik
Berat badan saat pertama
kali menerima ARV yang
tercatat di dalam rekam
medis
Infeksi oportunistik yang di
alami saat pertama kali
menggunakan ARV tercatat
dalam rekam medis
Formulir
pengumpulan
data
Stadium klinis Stadium klinis sesuai standar
WHO
WHO saat pertama kali
menggunakan ARV yang
tercantum dalam rekam
medis
Formulir
pengumpulan
data
Status
fungsional
Kondisi fungsional pasien
saat pertama kali
menggunakan ARV yang
tercantum dalam rekam
medis
Formulir
pengumpulan
data
Jumlah CD4
Jumlah CD4 pertama kali
memulai ARV yang tercatat
dalam rekam medis
Formulir
pengumpulan
data
4
Nominal
1. Homoseksual
2. Heteroseksual
3. Biseksual
4. Perinatal
5. Transfusi darah
6. Napza suntik
7. Pasangan odha
Interval (kilogram)
5
Kategorikal
0=homoseksual
1=heteroseksual (suami
istri)
2=IDU
9= missing
(Nishijima et al., 2013;
Zhou et al., 2012)
Berat badan
dikelompokkan sesuai
sebaran data
Nominal
1. Kandidiasis
2. Diare
3. Meningitis
Cryptoco-cal
4. Pneumonia
Pneumo-cyctis
5. Cytomega-lovirus
6. Penicilli-osis
7. Herpes zoster
8. Herpes simpleks
9. Toxoplas-mosis
10. Hepatitis
11. Lainnya
Ordinal
1. Stadium I
(Asimptomatik)
2. Stadium II
(Gejala ringan)
3. Stadium III
(Gejala sedang)
4. Stadium IV
(AIDS)
Ordinal
1. Kerja
2. Ambulatori
3. Baring
Kategorikal:
0 = tidak ada
1 = ada
9 = missing
(Saka et al., 2013; Tran et
al., 2013)
Interval (cell/mm3)
Stadium klinis sesuai
klasifikasi WHO
0= stadium 1&2
1= stadium 3&4
9=missing
(WHO, 2007)
Status fungsional
0=baring
1=ambulatory
2= kerja,
9=missing
(Odafe et al., 2012)
Jumlah CD4
dikelompokkan sesuai
sebaran data
54
1
Kadar
haemoglobin
2
Kadar haemoglobin pertama
kali menggunakan ARV
yang tercatat dalam rekam
medis
Diagnosa terkait penyakit
tuberculosis pertama kali
menggunakan ARV yang
tercatat dalam rekam medis
Jenis obat ARV NRTI
diperoleh saat pertama
pengobatan yang tercatat
dalam rekam medis
3
Formulir
pengumpulan
data
4
Interval (gr/dl)
5
Kadar haemoglobin
dikelompokkan sesuai
sebaran data
Formulir
pengumpulan
data
Ordinal
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
Kategorikal:
0=TB positif
1=suspect&tidak TB
(62)
Kategorikal:
0=tenofovir
1=stavudin
2=zidovudine
Jenis obat ARV NNRTI
diperoleh saat pertama
pengobatan yang tercatat
dalam rekam medis
Jenis tempat Tempat pasien menerima
layanan
terapi ARV yang dilihat
berdasarkan rumah sakit
utama (VCT Sekar Jepun)
dan satelit (Klinik Bali
Medika/BMC)
Kebijakan
Pedoman terapi ARV yang
terapi
digunakan sebagai acuan
untuk menentukan waktu
memulai terapi dengan
acuan kebijakan tahun 2007
dan kebijakan tahun 2011
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
Kategorikal:
0=efavirens
1=nevirapine
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. Rumah sakit
utama
2. Satelit
Kategorikal:
0=BMC
1= RSUD Badung
9=missing
(Saka et al., 2013)
Formulir
pengumpulan
data
Kategorikal:
0=kebijakan sebelum
tahun 2011
1= kebijakan setelah
tahun 2011
9=missing
(Kemenkes RI, 2011b)
Kondisi klinis Kondisi klinis yang meliputi
akhir
CD4, Hb, berat badan dan
stadium klinis WHO saat
terakhir kunjungan yang
tercatat di rekam medis
Status rawat
Kondisi perawatan yang
selama menggunakan ARV
yang tercatat dalam rekam
medis
Formulir
pengumpulan
data
Nominal:
1. Kebijakan tahun
2007 (Pedoman
CD4 ≤ 200 saat
mulai ARV)
2. Kebijakan tahun
2011(Pedoman
CD4 ≤ 350 saat
mulai ARV)
Interval
Status TB
Golongan
NRTI
Golongan
NNRTI
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. Rawat jalan
2. Rawat inap
Kondisi klinis akhir akan
dideskrispsikan dan
dikelompokkan sesuai
sebaran data yang
diperoleh
Analisa secara deskriptif
dikelompokkan menjadi
0= tidak rawat inap
1= rawat inap awal terapi
2=rawat inap selama
terapi
9= Missing
55
1
Kepatuhan
2
3
4
5
Kriteria kepatuhan yang
dipantau setiap bulan
berdasarkan jumlah obat
yang lupa diminum dan
tercatat dalam rekam medis
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
1. >95% (≤ 3 dosis)
2. 80-95% (3-12
dosis)
3. <80% (≥12 dosis)
Analisa secara deskriptif
dikelompokkan menjadi
0=>95%
1=80-95%
2=<80%
9=missing (Kemenkes
RI, 2011b)
Variabel Dependen
Loss to follow Odha tidak melanjutkan
Formulir
up
terapi ARV di Layanan VCT pengumpulan
Sekar Jepun RSUD Badung
data
lebih dari 3 bulan, atau putus
obat atau tidak diketahui
status penggunaan ARVnya
(Kemenkes RI, 2011b)
- Start point nya yaitu tanggal
saat pertama kali memulai
terapi ARV dan end pointnya
adalah tanggal odha kunjungan
terakhir (loss to follow up,
meninggal dan rujuk keluar)
-Sensor adalah odha yang
telah meninggal dan rujuk
keluar
Nominal
Tanggal loss to follow up
berdasarkan tanggal pasien
LTFU pasien
0=tidak LTFU
1=LTFU
*Missing=data yang tercatat tidak lengkap
4.5 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien odha
yang menerima ART dan register ARV yang terdapat di layanan VCT Sekar Jepun
RSUD Badung. Instrumen yang digunakan yaitu formulir pengumpulan data yang
telah dirancang dan diuji sebelumnya untuk mengumpulkan data rekam medik.
Rekam medis yang diekstrak, digunakan sebagai sampel penelitian adalah pasien
yang menerima ART periode tahun 2006 – Juli 2014.
56
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu data dari kohort odha
yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 20062014. Adapun data yang dikumpulkan adalah karakteristik sosiodemografi (umur,
jenis kelamin, pendidikan, statsu bekerja, status menikah, pengawas minum obat
(PMO), dan risiko penularan) dan karakteristik klinis (berat badan, jumlah CD4,
kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional,status TB,
golongan NRTI, dan golongan NNRTI), karaktersitik layanan (kebijakan terapi dan
tempat layanan), kondisi klinis di akhir pengamatan, kepatuhan, status rawat (pernah
atau tidak rawat inap) dan data loss to follow up, termasuk pula tanggal pertama kali
memulai terapi ARV dan tanggal kunjungan terakhir.
4.6.2 Cara Pengumpulan Data
Langkah awal yang dilakukan sebelum ekstraksi data adalah permohonan ijin
kepada pihak RSUD Badung. Pertama yaitu membuat permohonan ijin untuk
pengambilan data dan melakukan penelitian di RSUD Badung. Kemudian mengurus
ijin penelitian di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan mengurus Ethical
Clearance di komisi etik Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Data
dikumpulkan dengan ekstraksi rekam medis masing-masing odha pengguna ARV
periode 2006 sampai dengan Juli 2014 di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung
yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya data pada formulir pengumpulan data
57
yang masih dalam bentuk hard copy dibuat ke dalam bentuk soft copy (dalam bentuk
microsoft excel) untuk memudahkan analisis. Jaminan untuk menjaga kerahasiaan
data odha sebagai sampel maka dalam proses ekstraksi data dilaksanakan oleh
peneliti dengan mencantumkan nomor identitas atau nomor registrasi nasional tanpa
mencantumkan nama odha serta disimpan dalam file khusus yang bersifat rahasia.
4.6.3 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Editing Data
Editing dilakukan untuk memastikan data yang diambil telah sesuai dengan
variabel dan tujuan penelitian. Formulir pengumpulan data telah terisi semua secara
konsisten dan relevan dan apabila ada data yang kurang lengkap dapat dilakukan
konfirmasi ke lapangan. Editing juga dilakukan pada data softcopy untuk
menghindari terjadinya kesalahan saat analisis data.
2. Coding Data
Pemberian kode dilakukan pada setiap data yang terkumpul guna keperluan
analisis statistik, untuk menghindari kemungkinan kesalahan. Pemberian kode
diberikan pada setiap indikator variabel.
58
3. Entry data
Kegiatan memasukan data dan kode jawaban yang sudah terisi ke dalam
program computer. Data dari formulir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bentuk
microsoft excel yang selanjutnya dibuatkan data frame untuk format STATA SE 12.1
4. Cleaning data
Data yang telah masuk diperiksa kembali, digunakan untuk membersihkan
data dari kesalahan-kesalahan
4.7 Teknik Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini menggunakan survival analysis yang bertujuan
untuk melihat lama waktu terjadinya LTFU pada setiap subyek yang tidak sama
menggunakan software STATA SE 12 . Makadari itu penelitian ini didapatkan nilai
insiden rate LTFU per 100 person years dan hazard ratio. Selain itu diperoleh
median time terjadinya LTFU dari awal tahun pasien menggunakan ARV sampai
akhir tahun pengamatan. Penelitian ini menggunakan analisa univariat, bivariat dan
mulitivariat.
4.7.1 Analisis univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel yang diteliti yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status
menikah, pengawas minum obat, risiko penularan HIV, infeksi oportunistik, jumlah
CD4, kadar haemoglobin, stadium klinis WHO, berat badan, status fungsional, status
TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan
59
kebijakan pedoman ARV. Ringkasan statistik disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi yaitu proporsi atau mean untuk variabel dengan skala nominal dan ordinal,
mean (standar deviasi) atau median (IQR) untuk variabel kontinyu dengan skala
interval. Uji normalitas diperlukan pada variabel kontinyu untuk menentukan
penyajian distribusi frekuensi, jika ditribusi normal disajikan dalam bentuk mean
dan standar deviasi sedangkan distribusi tidak normal disajikan dalam bentuk median
dan IQR. Median time LTFU ditampilkan dalam nilai median dan inter IQR yang
menampilkan persentil ke 25% sampai 75% waktu LTFU. Kondisi klinis saat akhir
pengamatan, status rawat, entry point, dan kepatuhan juga dianalisa secara deskriptif
yang menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase.
Analisis univariat juga dilakukan dengan analisis survival untuk mengetahui
median time dan insiden rate terjadinya LTFU pada pasien HIV/AIDS dengan terapi
ARV. Namun nilai median hanya dapat dihitung apabila sekurangnya 50% pasien
yang menerima terapi ARV mengalami LTFU. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi
maka nilai median ini dapat digantikan dengan quartile 1 survival yang artinya 25%
subyek mengalami event (loss to follow up). Hasil analisis juga digambarkan dalam
grafik Kaplan-Meier untuk menggambarkan lama waktu terjadinya LTFU (time to
event). Data missing menjadi sensor dalam analisis survival ini.
4.7.2 Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat signifikan hubungan antara variabel
independen yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah,
60
pengawas minum obat, risiko penularan, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar
haemoglobin, berat badan, stadium klinis WHO, status fungsional, status TB,
golongan NRTI dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan kebijakan
terapi dengan variabel dependent yaitu LTFU. Hasilnya disajikan dalam bentuk
tabulasi silang. Survival analysis digunakan untuk menganalisis waktu terjadinya
LTFU. Variabel independen yang dibandingkan sesuai dengan pengkategorian untuk
melihat perbedaan antara dua kelompok. Dalam uji ini dihasilkan nilai p dan survival
rate yang digunakan untuk melihat kemaknaan perbedaan antar kelompok. Nilai
crude Hazard Ratio (HR), p spesifik, dan p dari crude HR dari setiap variabel
independen terhadap LTFU dilakukan dengan Cox Proportional Hazard Model
dengan tingkat kepercayaan 95%.
Nilai p untuk crude HR diperoleh dengan melakukan tes parm bila variabel
independen berskala nominal dengan tiga atau lebih kategori dan menggunakan test
for trend bila data berskala ordinal atau interval yang dikategorikan menjadi dua atau
lebih kategori. Nilai p untuk crude HR ini digunakan untuk melihat kemaknaan
variabel independen terhadap kejadian LTFU. Pada saat analisis untuk memperoleh p
crude untuk HR, data pasien yang missing dikeluarkan dari model analisis sehingga
data missing tidak mempengaruhi hasil analisis. Analisis memberikan makna
signifikan bila p untuk crude HR < 0.05. Nilai HR digunakan untuk melihat besarnya
pengaruh variabel independen terhadap LTFU. Bila HR >1 menunjukkan bahwa
variabel yang diteliti meningkatkan risiko LTFU, bila HR <1 menunjukkan bahwa
61
variabel yang diteliti menurunkan risiko LTFU, bila HR=1 menunjukkan bahwa
variabel yang diteliti tidak berhubungan terhadap LTFU.
4.7.3 Analisis multivariat
Analisis mulitivariat dilakukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan
paling berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang memiliki hubungan
di analisa bivariat. Analisis Cox Regression digunakan untuk mengetahui besarnya
hubungan antara LTFU dengan variabel independen yang mempengaruhi secara
bersama-sama. Variabel dependen dimasukkan bersama-sama dengan variabel
independent. Uji kolinearitas dilakukan pada semua variabel yang masuk ke model.
Syarat variabel independen yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel pada
analisis bivariat memiliki nilai p < 0,25. Sebelum masuk ke model multivariat,
dilakukan uji kolinearitas pada masing-masing variabel independen yang memenuhi
syarat untuk masuk ke model multivariat. Metode seleksi yang digunakan adalah
metode backward dimana satu persatu variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari
model sampai diperoleh model akhir.
Pada analisis ini diperoleh pengaruh antara variabel dependen dengan variabel
independen dilihat dari nilai Adjusted Hazard Ratio (AHR), nilai p spesifik, tingkat
kepercayaan 95% dikatakan signifikan jika nilai p < 0,05. Variabel dengan lebih dari
dua kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan testparm untuk skala nominal
dan test trend untuk skala ordinal. Ho ditolak bila p < 0,05 dan nilai HR ≠ 1 dengan
95% CI dari HR, dimana 1 berada di luar CI. HR <1 berarti variabel tersebut dapat
62
menurunkan risiko untuk LTFU, HR >1 menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat
meningkatkan risiko LTFU, sedangkan HR=1 berarti variabel tersebut tidak
berhubungan dengan LTFU.
Model akhir pada uji ini diperoleh AHR yang digunakan untuk melihat
besarnya pengaruh variabel independen terhadap kejadian LTFU pasien HIV/AIDS
dengan terapi ARV setelah dilakukan pengontrolan pada variabel lainnya. Uji
propotional hazard dilakukan pada model multivariat yang terakhir yang bertujuan
untuk mengecek proportional model yang dihasilkan dimana model dikatakan
proportional bila memiliki nilai p > 0,05.
63
BAB V
HASIL PENELITIAN
Jumlah pasien dengan terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun sejak tahun
2006 sampai Juli 2014 yaitu 671 orang. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 575 orang (85,7%) yang mendapatkan terapi dan minimal dua kali
kunjungan, sedangkan tidak memenuhi kriteria terdiri dari 74 orang dengan satu kali
kunjungan, 11 orang hamil, 2 orang umur < 15 tahun, dan 9 orang dari satelit RSUD
negara. Sampel juga merupakan pasien dari Klinik Bali Medika sebanyak 234 orang
(40,7% dari 575 pasien ARV yang memenuhi kriteria inklusi). Odha dalam
pengamatan yang mendapatkan terapi ARV rata-rata meningkat setiap tahunnya
dengan jumlah terbanyak di tahun 2013 sebanyak 188 (32,7%). Jumlah pasien yang
mendapatkan terapi ARV dari tahun 2006 sampai Juli 2014 digambarkan pada grafik
5.1.
(Juli)
Gambar 5.1
Jumlah Pasien dalam Pengamatan per tahun
63
64
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik
subyek
penelitian
diuraikan
berdasarkan
karakteristik
sosiodemografi, klinis, dan layanan. Karakteristik sosiodemografi dan layanan
merupakan data pada awal pengamatan sedangkan karakteristik klinis disajikan data
awal dan akhir pengamatan. Deskripsi terkait karakteristik sampel disajikan dalam
bentuk tabel yang membandingkan LTFU pada setiap karakteristik yaitu pada Tabel
5.1.1, Tabel 5.1.2 dan Tabel 5.1.3
Tabel 5.1.1
Karakteristik Sosiodemografi pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU
Karakteristik Sosiodemografi
LTFU (N=88)
n(%)
3
31 (26-37)
Tidak LTFU (N=487)
n(%)
2
30 (26-38)
Total
n(%)
4
31(26-38)
1
Umur Median (IQR)*
Jenis kelamin
Perempuan
28 (31,8)
82 (16,8)
110 (19,1)
Laki-Laki
60 (68,2)
405 (83,2)
465 (80,9)
Pendidikan
Pendidikan tinggi
72 (81,8)
418 (85,8)
490 (85,2)
Pendidikan rendah
16 (18,2)
69 (14,2)
85 (14,8)
Status bekerja
Tidak bekerja
26 (29,5)
129 (26,5)
155 (27)
Bekerja
62 (70,5)
358 (73,5)
420 (73)
Status pernikahan
Menikah
16 (18,2)
149 (30,6)
165 (28,7)
Belum menikah
54 (61,4)
288 (59,1)
342 (59,5)
Missing
18 (20,4)
50 (10,3)
68 (11,8)
Risiko penularan
Homoseksual
30 (34,1)
204 (41,9)
234 (40,7)
Heteroseksual (suami istri)
56 (63,6)
270 (55,4)
326(56,7)
IDU
2 (2,3)
13 (2,7)
15(2,6)
PMO
Ya
38 (43,2)
203 (41,7)
241 (42)
Tidak
50 (56,8)
284 (58,3)
334(58)
Domisili tempat tinggal
Badung
44 (50)
250 (51,3 )
294(51.1)
Luar Badung
44 (50)
237(48,7)
281(48.9)
*test normality spahiro-wilk tidak berdistribusi normal sehingga digunakan median (IQR)
65
Odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun pada Tabel
5.1.1 menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak pada odha yang tidak
mengalami LTFU (83,2%) dibandingkan dengan odha yang mengalami LTFU
(68,2%). Odha yang mengalami LTFU memiliki median umur 31 tahun sedangkan
pada odha yang tidak mengalami LTFU adalah 30 tahun. Odha dengan status bekerja
lebih banyak pada kelompok tidak LTFU (73,5%) dibandingkan kelompok LTFU
(70,5%). Melihat dari keberadaan PMO bahwa odha yang tidak memiliki PMO lebih
banyak pada odha tidak mengalami LTFU (58,3%) dibandingkan odha yang
mengalami LTFU (56,8%). Odha dengan status belum menikah lebih banyak pada
odha yang mengalami LTFU (61,4%) sedangkan odha yang tidak mengalami LTFU
sebanyak 59,1%. Risiko penularan secara heteroseksual (suami istri) lebih banyak
pada kelompok LTFU (63,6%) dibandingkan odha yang tidak mengalami LTFU
(55,4%). Melihat dari domisili tempat tinggal bahwa odha yang tinggal diluar
wilayah Badung lebih banyak pada odha yang mengalami LTFU (50%) dibandingkan
dengan odha yang tidak mengalami LTFU (48,7%).
66
Tabel 5.1.2
Karakteristik Odha berdasarkan Layanan pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU
Karakteristik Sosial
LTFU
Tidak LTFU
Total
(N=88)
(N=487)
n(%)
n(%)
n(%)
1
3
2
4
Jenis tempat layanan
BMC
29 (12,4)
205 (87,6)
234 (100)
RSUD
59 (17,3)
282 (82,7)
341 (100)
Kebijakan Terapi*
Sebelum tahun 2011
33 (20,4)
129 (79,6)
162 (100)
Setelah tahun 2011
55 (13,3)
358 (86,7)
413(100)
Entry Point
Datang sendiri
11 (16,4)
56 (83,6)
67(100)
LSM & jangkauan
7 (11)
57 (89,1)
64(100)
Praktek swasta
21 (10,2)
185 (89,8)
206(100)
Rawat inap
14 (19,7)
57 (80,3)
71(100)
Rujukan RS/Puskesmas
12 (14,3)
72 (85,7)
84(100)
Rawat Jalan
23 (27,7)
60 (72,3)
83(100)
*Kebijakan ditetapkan tahun 2011 namun pelaksanaan di tahun 2012
Tabel 5.1.2 diatas menunjukkan dari total odha langsung berobat di BMC,
sebanyak 12,4% mengalami LTFU dan 87,6% tidak mengalami LTFU. Sebanyak
17,3% mengalami LTFU dan 82,7% tidak mengalami LTFU pada odha yang berobat
langsung di RSUD. Mayoritas pasien yang berkunjung ke Layanan VCT Sekar Jepun
merupakan heteroseksual dari pasangan suami istri sedangkan di Klinik Bali Medika
adalah komunitas LSL. Melihat dari penerapan kebijakan bahwa dari total odha pada
kebijakan sebelum tahun 2011 kejadian LTFU sebesar 20,4% sedangkan pada
kebijakan sesudah tahun 2011 sebesar 13,3%. Odha yang melalui entry point rawat
jalan sebanyak 27,7% pada kelompok LTFU.
67
Tabel 5.1.3
Karakteristik Klinis Berdasarkan Status LTFU pada Awal dan Akhir Pengamatan
Karakteristik Klinis
Infeksi Oportunistik
Tidak
Ya
Stadium klinis
Stadium 1 & 2
Stadium 3&4
Status fungsional
Baring
Ambulatory
Kerja
Jumlah CD4 Median (IQR)
Berat badan Median (IQR)
Hb Median (IQR)
Regimen NRTI
Tenofovir (TDF)
Stavudin (d4T)
Zidovudine (AZT)
Regimen NNRTI
Efavirenz (EFV )
Nevirapine (NVP)
Status TB
TB Positif
Suspect&Tidak TB
Status Rawat*
Tidak rawat inap
Rawat inap di awal
Rawat inap selama terapi
Kepatuhan*
>95%
80-95%
< 80%
Awal Pengamatan
LTFU (N=88)
Total
n(%)
n(%)
Akhir Pengamatan
LTFU (N=88)
Total
n(%)
n(%)
46 (51,7)
42 (48,3)
309(53,7)
266(46,3)
64 (73,6)
23(26,40)
472 (83,7)
92 (16,3)
46 (52,3)
42(47,7)
307 (53,4)
268(46,6)
44 (50)
44 (50)
298 (51,8)
277 (48,2)
5 (5,7)
27 (30,7)
56 (63,6)
122,5 (33-273,5)
51 (46,5-59)
13,8 (11,8-15,2)
43(7,5)
145 (25,2)
387 (67,3)
128(26-296,5)
55 (47-61)
13,7(12-15,1)
1 (1.1)
18 (20.4)
69 (78.4)
228 (50-325)
55 (48-61)
14,3 (11,5-15,3)
19 (3.3)
66 (11.5)
490 (85.22)
279(109,5-433)
57(50-65)
14,2(12,7-15,4)
27 (30,7)
8 (9,1)
53 (60,2)
246 (42,8)
42 (7,3)
287 (49,9)
37 (42)
16 (18,2)
35 (39,8)
330 (57,4)
54 (9,4)
191 (33,2)
30 (34,1)
58 (65,9)
284(49,4)
291(50,6)
41(46,6)
46 (52,3)
354 (61,6)
215 (37,4 )
2 (2,3)
86 (97,7)
39 (6,8)
536 (93,2)
0
88 (100)
11 (2)
564 (98)
-
-
70 (79,5)
14 (16)
4 (4,5)
465 (80,8)
70 (12,2)
40 (7)
-
-
56 (82,3)
7 (10,3)
5 (7,4)
443 (93,5)
19 (4)
12 (2,5)
*pengamatan dalam proses perawatan atau terapi
Tabel 5.1.3 diatas menunjukkan bahwa odha yang menerima terapi di akhir
pengamatan memiliki kondisi klinis yang lebih baik sesudah mendapatkan terapi
ARV, dapat dilihat dari peningkatan persentase dan median pada berat badan, kadar
hemoglobin, jumlah CD4, stadium 1 dan 2, tidak ada infeksi oportunistik, status
fungsional kerja, dan tidak ada TB. Odha dengan LTFU juga menunjukkan kondisi
yang serupa bahwa pada akhir pengamatan lebih banyak yang memiliki status klinis
68
yang lebih baik dibandingkan awal pengobatan ARV kecuali pada stadium klinis
bahwa mereka yang mengalami LTFU di awal pengamatan lebih banyak pada
stadium 1 dan 2 (52,3%) dibandingkan stadium 3 dan 4 (47,7%) sedangkan pada
akhir pengamatan keempat stadium menunjukkan presentase yang sama.
Pengamatan secara keseluruhan menunjukkan terjadi peningkatan dalam
penggunaan golongan NRTI Tenofovir dan NNRTI Efavirens. Odha yang mengalami
LTFU di awal pengamatan lebih banyak mendapatkan terapi golongan NRTI
Zidovudin (60,2%) sedangkan di akhir pengamatan lebih banyak pada mereka yang
mendapatkan terapi NRTI Tenofovir (42%). Odha yang mengalami LTFU lebih
banyak pada penggunaan golongan NNRTI Nevirapine di awal pengamatan (65,9%)
dibandingkan di akhir pengamatan (52,3%). Selama proses terapi menunjukkan
bahwa odha yang mengalami LTFU lebih banyak pada kondisi tidak pernah rawat
inap dan tingkat kepatuhan > 95%.
5.2 Proporsi, Insiden rate dan Median Time LTFU
Jumlah odha yang mengalami LTFU di RSUD Badung sebanyak 88 orang
(15,3%) dan 487 orang (84,7%) tidak LTFU. Insiden rate LTFU di RSUD Badung
adalah 11,6 per 100 person years (CI 9,5-14,4 per 100 person years) dengan 50%
yang mengalami LTFU di tiga bulan pertama pengobatan ARV. Median time dalam
penelitian ini belum dapat dihitung karena jumlah sampel yang mengalami event
belum mencapai 50% dari total sampel yang diamati. LTFU time yang dapat
dianalisis adalah interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,26
69
tahun pengobatan. Insiden LTFU jika dilihat lebih spesifik berdasarkan penerapan
kebijakan bahwa pada kebijakan setelah tahun 2011 yang memulai terapi dengan
CD4 ≤ 350 cell/mm3 adalah 17,2 per 100 person years, sementara pada penerapan
kebijakan sebelum tahun 2011 yang memulai terapi dengan CD4 ≤ 200 cell/mm3
yaitu 7,6 per 100 person years. Survival time yang dapat dianalisis adalah
interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,54 tahun pada
penerapan kebijakan CD4 ≤ 200 cell/mm3. Grafik Kaplan Meier digunakan untuk
menggambarkan LTFU sebagai berikut:
Gambar 5.2.1 Kaplan-Meier Loss to Follow Up
Analisis
Kaplan Meier
pada gambar 5.2.1 di atas menunjukkkan dari
keseluruhan odha yang menerima terapi ARV, 25% berisiko untuk mengalami LTFU
pada tiga tahun pertama terapi dan terlihat dari gambar kurva bahwa median time
untuk pengamatan tidak tercapai.
70
Secara lebih spesifik median time untuk pengamatan LTFU ditunjukkan
pada gambar 5.2.2.
Kaplan-Meier Loss to Follow Up
Gambar 5.2.2
Kaplan-Meier Median Time odha yang mengalami LTFU
Grafik Kaplan-Meier pada gambar 5.2.2 menunjukkan median time pada odha
yang mengalami LTFU adalah 0,22 tahun (IQR= 0,09-0,84). Kondisi ini
menunjukkan bahwa dari 88 odha yang mengalami LTFU sebanyak 50% odha
mengalami LTFU terjadi di tiga bulan pertama pengobatan. Grafik Kaplan-Meier
gambar 5.2.3. digunakan untuk menggambarkan LTFU berdasarkan penerapan
kebijakan CD4.
71
Sebelum tahun 2011
Setelah tahun 2011
Gambar 5.2.3
Grafik Kaplan Meier berdasarkan Kebijakan Terapi
Grafik Kaplan Meier diatas menunjukkan bahwa perbedaan insiden rate
antara kedua kebijakan terjadi di 0,5-1 tahun pengamatan dan selanjutnya pada
pengamatan kebijakan setelah tahun 2011 lebih pendek dari kebijakan sebelum tahun
2011 sehingga masih diperlukan pengamatan yang lebih lanjut untuk memperoleh
survival time dan insiden rate kejadian LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011.
5.3 Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha yang Menerima
Terapi ARV
Analisis bivariat dilakukan pada variabel umur, jenis kelamin, pendidikan,
status bekerja, status menikah, risiko penularan, pengawas minum obat (PMO), berat
badan, infeksi oportunistik, stadium klinis WHO, status fungsional, CD4, kadar
haemoglobin, jenis tempat layanan, kebijakan terapi, status TB, golongan NRTI dan
NNRTI sebagai determinan LTFU. Analisis hubungan determinan tersebut ditentukan
dengan nilai p, nilai HR dan 95% CI menggunakan Cox Proportional Hazard
Regression. Hasil analisis bivariat disajikan dalam Tabel 5.3.
72
Tabel 5.3
Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up
Karakteristik
Rate LTFUper 100 PY
Loss
Rate
95% CI
2
3
4
1
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Status bekerja
Status pernikahan
Risiko penularan
Risiko penularan
PMO
Berat badan
Infeksi oportunistik
Stadium klinis WHO
Status fungsional
Jumlah CD4
Hb
Jenis tempat layanan
Kebijakan
Status TB
Golongan NRTI
Golongan NNRTI
Perempuan
Laki-Laki
Pendiidkan tinggi
Pendidikan rendah
Tidak bekerja
Bekerja
Menikah
Belum menikah
Missing
Homoseksual
Heteroseksual (suami istri)
IDU
Homoseksual
Heteroseksual (suami istri)
Ya
Tidak
28
60
72
16
26
62
16
54
18
30
56
2
30
56
38
50
17,0
10,2
11,2
14,3
8,2
14,2
4,4
15,7
39,1
19,9
9,9
5,4
19,9
9,9
7,8
18,4
11,7-24,6
7,9-13,1
8,8-14,1
8,8-23,4
5,6-12,1
11-18,2
2,7-7,2
12-20,5
24,6-62,1
13,9-28,5
7,6-12,8
1,3-21,5
13,9-28,5
7,6-12,8
5,7-10,8
13,9-24,3
Tidak
Ya
Stadium 1 & 2
Stadium 3&4
Baring
Ambulatory
Kerja
46
42
46
42
5
27
56
18,3
8,3
15,3
9,2
5,5
9,6
14,6
13,7-24,4
6,2-11,3
11,5-20,4
6,8-12,5
2,3-13,2
6.6-14.0
11.2-18.9
BMC
RSUD
Sebelum tahun 2011
Sesudah tahun 2011
TB Positif
Suspect & Tidak TB
Tenofovir (TDF)
Stavudin (d4T)
Zidovudine (AZT)
Efavirenz (EFV )
Nelfinavir (NVP)
29
59
33
55
2
86
27
8
53
30
58
19,2
9,8
7,6
17,2
3,2
12.4
20,4
8,6
10
13,4
10,9
13,3-27,6
7,5-12,6
5,3-10,7
13,2-22,4
0,8-12,6
10.1-15.4
13,9-29,7
4,3-17,2
7,6-13,1
9,4-19,2
8,4-14,1
Crude HR
5
0,98
1,78
1,00 (reff)
1,00 (ref)
1,43
1,00 (ref)
1,24
1,00 (ref)
2,61
1,00 (ref)
0,84
0,55
1,00 (ref)
0,89
1,00 (ref)
1,57
0,98
1,00 (ref)
0,70
1,00 (ref)
0,84
1,00 (ref)
1,43
1,52
1,00
1.09
1,00 (ref)
0,91
1,00 (ref)
1,22
1,00 (ref)
3.54
1,00 (ref)
0,97
0,96
1,00 (ref)
1,26
Analisis Bivariat
95 % CI
p
6
7
0,96-1,01
0,252
1,1-2,8
0,011*
0,83-2,45
0,198*
0,78-1,98
0,357
1,47-4,64
0,001*
0,53-1,35
0,13-2,34
0,479
0,419
0,54-1,38
0,638
1,01-2,45
0,96-1,002
0,045*
0,09*
0,45-1,09
0,119*
0,55-1,29
0,432
0,55-3,72
0,60-3,84
0,99-1,002
0,976-1,22
0,464
0,377
0,353
0,126*
0,57-1,5
0,704
0,74-2,00
0,425
0.87-14.4
0,077*
0,42-2,20
0,59-1,57
0,935
0,870
0,80-1,99
0,310
p (g)
8
0,625
0,638
0,674
0,987
*p-value < 0,25
Analisis bivariat dari 18 variabel pada awal pengamatan hanya tiga variabel yaitu
jenis kelamin, status pernikahan dan pengawas minum obat (PMO) yang
berhubungan secara statistik. Odha yang tidak memiliki pasangan berisiko 2,6 kali
lebih besar mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan (HR=2,61;
73
95% CI 1,47-4,64, p=0,001). Perempuan 1,78 kali lebih beresiko untuk mengalami
LTFU dibandingkan dengan laki-laki (HR=1,78; 95% CI 1,1-2,8; p=0,01). Odha yang
tidak memiliki PMO 1,57 kali lebih berisiko dibandingkan dengan odha yang
memiliki PMO (HR=1,57; 95% CI 1,01-2,45; p=0.045). Selanjutnya odha dengan
status TB yaitu suspect TB dan tidak TB memiliki risiko 3,5 kali untuk LTFU namun
secara statistik tidak menunjukkan kemaknaan (p=0.07).
5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha
Analisis multivariat diperlukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan
berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang berhubungan pada analisis
bivariat. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang
memiliki nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pengawas
minum obat, berat badan, infeksi oportunistik, kadar hemoglobin dan status TB.
Sebelum melakukan analisis multivariat dilakukan uji kolinearitas untuk mengetahui
adanya efek multikolinearitas. Kolinearitas dapat diketahui apabila terdapat variabel
mempunyai angka koefisien korelasi lebih dari 0,6 (r>0,6), yang berarti ada korelasi
yang kuat antar variabel (Sugiyono, 2011). Pada analisis ini tidak terdapat variabel
yang mempunyai angka korelasi > 0,6 sehingga semua variabel kovariat yang
memenuhi p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat dengan hasil tercantum
pada lampiran 9.
74
Tabel 5.4
Analisis Multivariat Determinan Loss To Follow Up
Karakteristik
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Pendidikan
Pendidikan tinggi
Pendidikan rendah
Status pernikahan
Menikah
Belum menikah
PMO
Ya
Tidak
Berat badan
Hb
IO (infeksi opportunistik)
Tidak
Ya
Status TB
TB Positif
Suspect&Tidak TB
Adj.Haz.Ratio
95% CI
p
1,95
1,00 (reff)
1,13-3,36
0,016*
1,00(ref)
1,19
0,52-2,68
0,668
1,00(ref)
3,04
1,69-5,47
0,001*
1,00(ref)
1,1
0,97
1,10
0,51-2,13
0,95-1,00
0,95-1,28
0.893
0,117
0,211
1,00(ref)
0,72
0,35-1.47
0,366
1,00(ref)
2,3
0,54-9,96
0,252
*p-value < 0,05
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang memenuhi syarat
analisis multivariat dengan menggunakan metode backward diperoleh dua variabel
yang berhubungan dan signifikan secara statistik.Variabel tersebut yaitu jenis kelamin
dan status pernikahan. Odha yang tidak memiliki pasangan memiliki risiko 3,04 kali
lebih besar untuk mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan
(aHR=3,04; 95% CI 1,69-5,47; p=0,001). Perempuan lebih berisiko 1,95 kali untuk
mengalami LTFU (aHR 1,95; 95% CI 1,13-3,36; p=0,016).
75
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Besaran Masalah LTFU
Insiden rate odha yang mengalami LTFU dalam kurun waktu delapan tahun di
RSUD Badung sebesar 11,6 per 100 person years. Insiden rate ini lebih tinggi
dibandingkan dari penelitian sebelumnya di YKP yaitu 5,5 per 100 person years
dalam kurun waktu 10 tahun (Widyantini, 2014). Perbedaan ini tejadi karena
karakteristik odha dan layanan di kedua tempat layanan, dimana YKP sebagian besar
pasiennya merupakan kelompok PS (pekerja seks) yang didukung dengan program
outreach dan adanya kelompok dukungan sebaya. Klinik yang memiliki outreach
cenderung memiliki LTFU yang rendah (Lamb et al., 2012). Insiden dalam penelitian
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan data TAHOD yang mencakup 18 site di
kawasan Asia Pasifik yaitu 21,4 per 100 PY, namun lebih tinggi jika dibandingkan
dnegan negara di Asia Tenggara seperti India (7,1 per 100 PY) dan Vietnam (8,9 per
100 PY) (Zhou et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Tran et al., 2013). Demikian
juga jika membandingkan dengan negara maju cenderung yang memiliki insiden
yang lebih rendah seperti Perancis (4,3 per 100 person years) dan Eropa (3,272 per
100 person years) (Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008). Perbedaan ini juga
disebabkan oleh cut off yang berbeda dalam mendefinisikan LTFU yaitu satu tahun
dari kunjungan terakhir. Perbandingan dengan negara di Afrika dengan cut off yang
sama (≥ tiga bulan dari kunjungan terakhir) bahwa temuan insiden rate dalam
75
76
penelitian ini lebih rendah yaitu 25,1 per 100 person years (Western Kenya)
(Ochieng-Ooko et al., 2010), 51,1 per 100 person years (Guinea Bissau) (Hønge et
al., 2013) dan 94,6 per 100 person years (Cameroon) (Bekolo et al., 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan median time secara keseluruhan tidak
tercapai karena sampel yang mengalami LTFU belum mencapai 50% sampai akhir
pengamatan. Pengamatan delapan tahun pada penelitian menemukan 25% sampel
yang bertahan dalam pengobatan dalam jangka waktu 3,26 tahun sampai akhirnya
LTFU. Penelitian ini juga menunjukkan waktu yang lebih cepat untuk terjadi LTFU
dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan di YKP (25% IQR) yaitu 6 tahun
dengan insiden yang lebih kecil (Widyantini, 2013). Sejalan dengan sebuah studi
menyatakan beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien
mengalami LTFU dan berhenti pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi
mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Melihat lebih spesifik
pada kelompok yang mengalami LTFU bahwa median time LTFU yaitu tiga bulan
artinya 50% kejadian LTFU terjadi pada tiga bulan pertama pengobatan. Sejalan
dengan temuan pada penelitian lain menunjukkan bahwa LTFU banyak terjadi pada
satu tahun pertama pengobatan baik pada tiga bulan dan enam bulan pertama
pengobatan, WHO juga merekomendasikan persentase LTFU pada satu tahun
pertama pengobatan sebagai indikator resistensi obat (Bennett et al., 2006; Odafe et
al. 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Mugisha et al. 2014). Penelitian ini juga
menemukan 9,21% (7/76) odha terdeteksi meninggal yang sebelumnya dinyatakan
77
LTFU tercantum pada lampiran 15 tabel 2. Systematic review terkait pelacakan
kondisi odha yang mengalami LTFU menunjukkan estimasi kematian 6,6-10,5%
(McMahon et al., 2013), sejalan dengan penelitian di Malawi menyatakan bahwa dari
253 kejadian LTFU, 58% terdeteksi meninggal terhitung sejak tiga bulan dari terakhir
kunjungan (Yu et al., 2007). Risiko kematian tinggi pada odha yang mengalami
LTFU yaitu 1,8 kali (aOR 1,8 95% CI 1,2-2,7) dan 20 kali (aHR, 22,03; 95% CI:
20,05-24,21) (Weigel et al., 2 0 1 1 ; Cornell et al., 2 0 1 4 ). Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa estimasi LTFU yang tinggi juga mengindikasikan tingkat
kematian yang tinggi (Brinkhof et al., 2009; Somi et al., 2012). Median time dalam
penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian di Ethiopia yaitu 9 bulan
(IQR 5-18 bulan) dalam pengamatan delapan tahun dengan insiden rate LTFU 8,8
per 1000 person month (Berheto et al., 2014) namun berbeda dengan median time di
Prancis Utara 11 bulan (IQR 5-25) dengan insiden yang lebih rendah (Ndiaye et al.,
2009). Hasil temuan yang berbeda dan bervariasi ini terjadi karena perbedaan definisi
LTFU yang digunakan, karakteristik odha, tingkat kepatuhan dan socialekonomi
negara. Systematic review menunjukkan bahwa socialekonomi negara diperkirakan
memiliki trend yang positif dengan tingkat kepatuhan dalam terapi ARV walaupun
hubungannya secara spesifik belum dapat dibuktikan (Peltzer & Pengpid, 2013).
Hasil uji strata kondisi klinis odha yang mengalami LTFU di awal dan akhir
pengamatan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah CD4, infeksi
oportunistik, berat badan dan status fungsional yang dapat dilihat pada lampiran 13.
78
Namun kondisi klinis tidak selalu menjadi jaminan kepatuhan odha dalam terapi
karena faktor prilaku dan individu memiliki peranan yang besar (Mbuagbaw et al.,
2012; Perrett & Biley 2013). Temuan ini menjadi catatan untuk monitoring program
pengobatan HIV ke depannnya bahwa pencegahan LTFU melalui konseling
kepatuhan dan informasi pengobatan perlu dilakukan kembali terutama pada odha di
tiga bulan pertama pengobatan sebagai masa kritis yang berpeluang terjadi LTFU.
Melihat lebih spesifik insiden rate LTFU berdasarkan penerapan kebijakan
bahwa kebijakan setelah tahun 2011 (17,2 per 100 person years) memiliki insiden
rate LTFU yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan sebelum tahun 2011 (7,6 per
100 person years) dengan risiko LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011 yaitu 2.26
kali (CI 1,44-3,59) lebih besar dibandingkan dengan kebijakan sebelum tahun 2011
dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0.001 dengan hasil terlampir pada
lampiran 8 tabel 2. Temuan dalam penelitian ini melalui uji strata berdasarkan
penerapan kebijakan menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna kondisi klinis
di akhir pengamatan pada penerapan kebijakan setelah tahun 2011 yaitu ada tidaknya
infeksi oportunistik, CD4 dan berat badan yang dapat dilihat pada lampiran 12.
Sejalan dengan penelitian di Prancis oleh Ndiaye et al., bahwa rata-rata waktu
ketahanan terapi odha yang memulai terapi dengan CD4 ≥ 350 sel/mm3 yaitu 10
bulan, lebih rendah dari odha yang memulai dengan CD4 < 200 sel/mm3 yaitu 24
bulan (Ndiaye et al., 2009). LTFU lebih tinggi pada odha yang memulai terapi
dengan CD4 lebih besar dari 250 sel/mm3 karena alasan gejala klinis yang belum
79
dirasakan diawal pengobatan sehingga kepatuhannya juga menurun (Cohen et al.,
2013). Temuan ini diperkuat dengan penelitian di Uganda menemukan median CD4
saat odha mengalami LTFU lebih tinggi (401 sel/mm3) dibandingkan ketika odha
tersebut datang kembali setelah mengalami LTFU (median CD4 205 sel/mm3
p<0,0001)(Alamo et al., 2013). Demikian juga dengan penelitian oleh Gabillard et
al., di Afrika (Benin, Burkina Faso, Cameroon, Cote d'Ivoire and Senegal) dan Asia
(Kamboja dan Laos) bahwa insiden rate LTFU lebih tinggi pada CD4 201-350
sel/mm3 (Gabillard et al., 2014).
Sebaliknya jika dikaitkan dengan harapan hidup, justru odha yang memulai
terapi CD4 lebih rendah (≤ 200 sel/mm3) memiliki risiko kematian yang lebih besar
(UNAIDS, 2013a). Sedangkan efektivitas dan ketahanan hidup odha yang memulai
terapi ≤ 350 sel/mm3 lebih tinggi mencapai 87% (Walensky et al., 2010). Sejalan
dengan penelitian oleh Fox et al. menemukan setiap kenaikan 10% CD4 dikaitkan
dengan penurunan 2,8% kematian, dan justru memulai terapi dengan CD4 yang lebih
tinggi akan mengurangi risiko kematian (Fox et al., 2013). Adanya temuan ini bukan
berarti menyimpulkan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 lebih buruk melainkan
menjawab bahwa LTFU masih menjadi tantangan dan dilema dalam pengobatan
ARV sehingga diperlukan kontrol dan evaluasi kembali berupa pemberian informasi
atau konseling kepatuhan terutama di tiga bulan pengobatan. Penelusuran insiden rate
LTFU dan median time berdasarkan kebijakan terapi yang diterapkan di Indonesia
menjadi penting karena dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan
80
evaluasi dari kebijakan yang telah diterapkan sehingga dapat berkontribusi pada
perbaikan pemberian terapi ARV ke depannya. Temuan ini minimal dapat menjadi
catatan untuk membantu memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi dari penerapan
kebijakan tahun 2011 bahwa kedepannya upaya monitoring keberlanjutan terapi ARV
pada odha lebih ditingkatkan.
6.2 Faktor yang Menentukan Loss to Follow Up
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan yang secara statistik
berhubungan dengan LTFU adalah jenis kelamin dan status pernikahan. Perempuan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami LTFU dalam penelitian ini. Analisis
lebih lanjut menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami LTFU dalam penelitian
ini 71,5% terjadi dalam tiga bulan sampai satu tahun pertama mulai ARV dapat
dilihat pada lampiran 15. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian oleh
Saka et al. bahwa perempuan 1,8 kali lebih besar mengalami LTFU dalam enam
bulan pertama pengobatan (Saka et al., 2013). Beberapa penelitian lain konsisten
menyebutkan laki-laki lebih beresiko mengalami LTFU (Evans et al., 2013; Mugisha
et al., 2014; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Tran et al., 2013; Weigel et al.,
2013). Perempuan pada penelitian ini merupakan ibu rumah tangga dari populasi
umum dan sebagian besar merupakan pasangan suami istri, dimana status HIV
perempuan baru diketahui setelah laki-laki atau suaminya ditest HIV terlebih dahulu
dan suami biasanya datang dalam kondisi klinis yang lebih buruk daripada istrinya.
Kondisi ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa laki-laki heteroseksual
81
(dari pasangan suami istri) 83,18% memulai terapi pada stadium 3 dan 4.
Kemungkinan perempuan lebih berisiko mengalami LTFU karena laki-laki yang
lebih banyak mengalami kematian (86,84%) sehingga perempuan yang merupakan
pasangannya kehilangan dukungan dalam pengobatan. Ketidak pedulian keluarga dan
pasangan, pendidikan dan penghasilan yang rendah merupakan kondisi yang
meningkatkan risiko LTFU pada perempuan (Panditrao et al., 2011). Depresi dan
adanya efek samping obat
menjadi penghambat perempuan untuk patuh dalam
pengobatan (Mirjam-colette et al.,
2010). Sebuah studi menyatakan bahwa
perempuan (p<0,002) memiliki insiden 1,5 kali untuk tidak patuh dalam pengobatan
ARV karena perbedaan biologis, peran ganda yang dimiliki,
akses terbatas ke
layanan kesehatan dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
laki-laki (Bonolo et al., 2013). Kepatuhan yang rendah dalam pengobatan memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami LTFU (Haile & Mekelle, 2014).
Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang lebih beresiko
mengalami LTFU memiliki hubungan signifikan dan berkontribusi untuk populasi
umum di RSUD Badung sesuai dengan uji strata berdasarkan jenis tempat layanan
yang dapat dilihat pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Perempuan di Asia
masih memiliki akses yang terbatas dalam pengobatan akibat ketidakadilan gender
yang masih melekat (UNAIDS, 2013b).Beban kerja ganda pada perempuan rumah
tangga di Bali membuat mereka memiliki sedikit waktu untuk pengobatan sehingga
kemungkinan memiliki kontribusi terhadap kejadian LTFU, namun kondisi ini belum
82
dapat menjelaskan lebih lanjut keterkaitan perempuan dengan LTFU. Seluruh odha di
BMC merupakan laki-laki dari kelompok LSL sedangkan RSUD Badung sebagian
besar merupakan odha dari populasi umum. Faktor jenis tempat layanan
kemungkinan berkontribusi terhadap hasil yang diperoleh namun tidak dapat
dianalisis ke dalam model karena variabel ini menunjukkan tidak signifikan secara
statistik dan uji korelasi menunjukkan variabel ini memiliki korelasi yang kuat (0,60,9) dengan delapan variabel lain yaitu status pernikahan, PMO, hemoglobin, infeksi
oportunistik, risiko penularan HIV, stadium klinis, status fungsional, dan CD4.
Odha dengan status belum menikah, janda dan duda dalam artian tidak
memiliki pasangan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami LTFU. Uji
strata berdasarkan jenis tempat layanan juga menunjukkan status pernikahan
berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai pada lampiran 10 tabel 2
dan lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasangan odha di RSUD Badung
sekaligus merupakan PMO bagi mereka. Penelitian oleh Alvares et al. menemukan
kondisi yang sama, dimana odha dengan status belum menikah dan bercerai lebih
berisiko mengalami LTFU. Odha tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan
sehingga mudah terpengaruh stigma dan hal negatif yang menjadi penghalang
kepatuhan dalam terapi ARV (Merten et al., 2010; Alvarez-Uria et al., 2013).
Peranan pasangan secara tidak langsung berhubungan dengan LTFU, dimana
pasangan sebagai support mampu meningkatkan kepercayaan diri odha (Evangeli et
al., 2014), kepedulian pasangan dan keluarga juga berperan penting dalam pola
83
pencarian pengobatan terutama pada perempuan (Myer et al., 2014), pada kelompok
LSL juga menunjukkan bahwa mereka lebih patuh ketika didampingi oleh pasangan
dibandingkan teman dan keluarga (Stumbo et al., 2013). Temuan ini juga didukung
dengan studi yang menyatakan tingkat kepatuhan odha yang memiliki dukungan dari
keluarga dan pasangan dua kali lebih besar (Ayele et al., 2010). Studi lain juga
mendukung bahwa peranan pasangan dan keluarga sangat penting untuk memberikan
dukungan psikologis dan sosial pada odha, dimana odha yang tidak memiliki
pasangan hampir dua kali berisiko lebih tinggi mempunyai kondisi klinis yang lebih
buruk (peningkatan stadium klinis WHO) dibandingkan pasien dengan status
menikah (Abyu et al., 2014). Keluarga dan pasangan memainkan peran penting
dalam mendukung pasien ART, mengingatkan mereka untuk minum obat,
meningkatkan rasa sosial kepada orang lain sehingga kepatuhan mereka terhadap
pengobatan meningkat (Weaver et al., 2014). Sesuai dengan teori adaptasi Roy pada
odha bahwa untuk mencapai respons adaptif positif dan mengembalikan optimisme
odha perlu melibatkan berbagai orang dan transformasi lingkungan (Perrett & Biley,
2013).
Adanya dukungan dan keterlibatan dari pasangan dan keluarga menjamin
keberlanjutan dari pengobatan (WHO, 2006). Peranan penting dari pasangan dan
keluarga sebagai orang terdekat yang diharapkan memberikan dukungan dan
perawatan (Kemenkes RI, 2011). Peranan pengawas minum obat sangat penting
dalam keberlanjutan terapi pada odha dan meningkatkan penerimaan diri odha
84
melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007).
Penelitian ini menunjukkan sebagian besar (66,39%) PMO merupakan pasangan dan
keluarga odha namun dalam penelitian ini menunjukkan PMO tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan
terhadap variabel PMO menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap
kedua jenis tempat layanan. Berbeda dengan studi sebelumnya di YKP menunjukkan
PMO berperan dalam menurunkan risiko LTFU. Perbedaan hasil ini disebabkan
karena faktor jenis tempat layanan dan karakteristik odha yang berbeda dimana odha
di Klinik Bali Medika sebagian besar LSL tidak memiliki pasangan sebagai PMO
namun dalam pengobatannya didukung support group dan reminder tools. Klinik ini
memiliki reminder tools berupa email dan sms reminder yang menjadi pengingat bagi
odha untuk waktu pengambilan obat sehingga kondisi ini membantu petugas dalam
controling terapi odha dan melacak pasien yang mengalami LTFU.
Implikasi terhadap program pengobatan selanjutnya yaitu perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut peranan pasangan terdekat sebagai pendukung pengobatan dan
adanya monitoring terutama bagi odha yang tidak memiliki pasangan. Sejalan dengan
penelitian di enam negara Afrika dan Karibia yang menunjukkan bahwa konseling
(pasangan dan individual), peranan penjangkau atau relawan melakukan kunjungan
rumah dan adanya supervisi dari petugas kesehatan langsung mampu menurunkan
rata-rata kejadian LTFU hingga 13% (Etienne et al., 2010). Semakin kompleks
dukungan kepatuhan yang diberikan maka risiko LTFU juga dapat diturunkan.
85
Penelitian ini menemukan bahwa umur tidak terbukti berhubungan dengan
LTFU dimana pada analisa bivariat menyatakan setiap peningkatan umur satu tahun
menurunkan risiko LTFU sebesar dua persen, sejalan dengan penelitian oleh Bekolo
et al., bahwa umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan LTFU
namun tetap masuk akal untuk diamati karena melihat dari tingkat kematangan emosi
seseorang (Bekolo et al., 2013). Demikian pula peneliti menemukan hasil yang tidak
signifikan pada jumlah CD4 maupun kebijakan terapi dengan dasar memulai terapi
dengan CD4 ≤ 350 sel/mm3 dan ≤ 200 sel/mm3. Jumlah CD4 dalam beberapa
penelitian menyebutkan bahwa jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3 lebih beresiko mengalami
LTFU (Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al.,
2013 Mugisha et al., 2014). Namun beberapa penelitian menyatakan kondisi yang
berbeda dimana odha dengan jumlah CD4 yang rendah (<100-200 sel/mm3) yang
lebih beresiko mengalami LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011;
Alvarez-Uria et al.,2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2013). Peningkatan CD4
menunjukkan kesehatan yang membaik, dalam masa ini perlu adanya kontrol dan
konseling kembali terkait kepatuhan odha karena peluang untuk LTFU meningkat
dengan kondisi yang semakin sehat (Ndiaye et al., 2009). Kondisi ini menunjukkan
masih adanya temuan yang tidak konsisten terkait jumlah CD4 sehingga perlu
dilakukan penelitian yang lebih lanjut.
Secara deskriptif ditemukan tiga jenis infeksi oportunistik terbanyak yang
diamati saat awal dan akhir pengamatan yaitu candida, PCP (pneumonia
86
pneumocystis) dan toxoplasmosis. Proporsi tertinggi odha yang mengalami infeksi
oportunistik di awal pengamatan terdapat di Layanan VCT Sekar Jepun yaitu
96,24%, hasil tercantum pada tabel 2 (lampiran 7). Hasil ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Togo, Vietnam dan Nothwest
Ethiopia dimana adanya infeksi oportunistik meningkatkan risiko LTFU karena
adanya kemungkinan untuk mencari pengobatan alternatif lain (Saka et al., 2013;
Tran et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa odha
dengan ADI (aids defining illness) memiliki risiko yang lebih rendah untuk
mengalami LTFU karena masih merasa kurang sehat sehingga lebih rajin untuk
datang ke klinik mendapatkan pengobatan (Lanoy et al., 2006; Lebouche et al., 2006;
Mocroft et al., 2008; Ndiaye et al., 2009). Penelitian ini menunjukkan infeksi
oportunistik tidak memiliki hubungan dengan LTFU demikian pula pada variabel lain
seperti pendidikan, pekerjaan, PMO, risiko penularan HIV, jenis tempat layanan,
kebijakan terapi,
infeksi oportunistik, berat badan, kadar haemoglobin, status
fungsional, stadium klinis, golongan NRTI, dan golongan NNRTI. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kondisi klinis tidak terbuki berhubungan dengan LTFU
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk karakteristik klinis odha
dikaitkan dengan LTFU karena masih ditemukan hasil yang tidak konsisten untuk
semua karakteristik klinis tersebut.
87
6.3 Keterbatasan penelitian
Keterbatasan penelitian ini dapat dilihat dari segi validitas internal dan
eksternal. Keterbatasan penelitian secara internal yaitu tidak dapat mengkaji lebih
lanjut seberapa besar peranan pasangan dalam mengantisipasi LTFU karena
keterbatasan data prilaku dan sosial pada data sekunder. Penelitian ini juga terbatas
untuk mengumpulkan data tentang faktor-faktor lain yang memiliki hubungan dengan
kejadian LTFU, seperti informasi tentang prilaku pasien, dukungan dan kepedulian
keluarga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Adanya kesalahan dalam pencatatan
dengan menggunakan data sekunder. Keterbatasan juga terdapat pada variabel jenis
infeksi oportunistik yang lebih spesifik untuk dikategori menjadi ADI dan non ADI
sehingga tidak dapat menggambarkan LTFU berdasarkan klasifikasi ini. Pengamatan
yang terlalu pendek untuk kebijakan setelah tahun 2011 keatas juga mempengaruhi
hasil yang diperoleh sehingga perlu pengamatan yang lebih panjang untuk variabel
ini.
Melihat dari segi validitas eksterna bahwa hasil temuan terkait LTFU odha
yang menerima terapi ARV hanya dilakukan pada satu RSUD di Provinsi Bali
sehingga hasil ini belum bisa digeneralisir ke seluruh populasi target yaitu pada odha
di seluruh Indonesia. Berbeda juga kondisinya jika diterapkan pada Kabupaten lain
di Bali karena karakteristik RSUD Badung berbeda dengan kabupaten dimana RSUD
Badung memiliki satelit layanan yang khusus memberikan layanan pada kelompok
LSL.
88
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Insiden rate loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV adalah
11,6 per 100 person years. Median time menunjukkan 25% odha berisiko mengalami
LTFU dalam periode waktu 3,26 tahun dimana dari 25% yang mengalami LTFU,
sebagian besar terjadi dalam tiga bulan pertama terapi. Karakteristik sosiodemografi
di awal terapi yaitu odha yang berjenis kelamin perempuan dan odha yang tidak
memiliki pasangan terbukti sebagai determinaan LTFU pada odha yang menerima
terapi ARV di RSUD Badung. Sedangkan karakteristik klinis (berat badan, kadar
haemoglobin, status TB, infeksi oportunistik, status fungsional, stadium klinis,
jumlah CD4, golongan regimen NRTI dan golongan regimen NNRTI), karakteristik
layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi), serta variabel lain seperti umur,
pendidikan, keberadaaan pengawas minum obat, risiko penularan, dan pekerjaan
tidak terbukti secara statistik sebagai determinan LTFU.
7.2 Saran
1. Pemegang Program
Pertimbangan untuk peningkatan konseling kepatuhan kepada odha yang
menerima terapi ARV terutama mereka yang tidak memiliki pasangan dan
perempuan. Konseling kepatuhan secara individual, pasangan atau keluarga sebagai
pendukung pengobatan perlu dilakukan secara kontinyu untuk mempertahankan
88
89
keberlanjutan pengobatan terutama odha dengan kondisi kesehatan yang mulai
membaik. Pencatatan yang benar dan lengkap terkait alamat dan nomor telepon
pasien serta pengkajian hubungan pasien dengan PMO merupakan bagian terpenting
dari pencatatan untuk keperluan pelacakan untuk ketidak hadiran pasien saat jadwal
kunjungan. Evaluasi dan monitoring terhadap pelacakan pasien yang mengalami
LTFU sebaiknya tetap dilakukan untuk memperbaiki keberlanjutan program.
2. Penelitian selanjutnya
Pengamatan kondisi LTFU dengan data primer dan penelitian kualitatif perlu
dilakukan sehingga dapat tergali lebih dalam alasan LTFU dan mengetahui seberapa
penting peranan dari pasangan untuk mengantisipasi LTFU, selain itu waktu
pengamatan dengan data sekunder juga perlu ditambah untuk mengetahui
keberhasilan terapi. Penelitian lebih lanjut untuk variabel yang berhubungan dengan
LTFU perlu dilakukan kembali untuk melihat konsistensinya terutama pada populasi
umum lainnya.
Download