1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah kasus baru HIV 2,5 juta, jumlah kematian 1,7 juta, memenuhi syarat pengobatan 14,8 juta orang dan mendapatkan pengobatan ARV 8 juta orang pada tahun 2011. Secara global dengan adanya terapi antiretroviral (ARV), infeksi baru dan kematian sampai tahun 2011 dilaporkan menurun masing-masing sebesar 86% dan 18% namun hanya 50% yang baru mendapatkan terapi serta sebagian besar orang dewasa mengalami putus obat atau loss to follow up (LTFU), hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam akses terapi ARV (UNAIDS 2012; UNAIDS, 2013b, 2013a). Data dari 18 negara menunjukkan bahwa rata-rata retensi untuk orang yang memakai ART menurun dari waktu ke waktu, dari sekitar 86% pada 12 bulan sampai 72% pada 60 bulan (UNAIDS, 2013a). Indonesia termasuk 12 negara di Asia Pasifik dengan peningkatan kasus HIV lebih dari 90% dari tahun 2001 sampai 2012 sebesar 2,6 kali dari sebelumnya (UNAIDS, 2013). Trend kejadian LTFU secara kumulatif di Indonesia mengalami peningkatan yaitu per Juni 2013 sebesar 15,74% menjadi 17,95% per Juni 2014. Provinsi Bali menduduki urutan kelima di Indonesia dari segi jumlah kasus HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014). Laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan II tahun 2014 mencatat 5802 odha yang pernah menerima terapi ARV di Provinsi Bali 1 2 dengan 3598 kasus masih terapi ARV, 1063 LTFU, 664 meninggal, 459 rujuk keluar dan 18 diketahui menghentikan terapi ARV dengan persentase kejadian LTFU di Bali per Juni 2014 yaitu 18,32% (1063/5802). Jumlah kumulatif AIDS di Bali sebesar 4261 kasus dengan Kota Denpasar jumlah tertinggi 2.113 (49,59%), kedua Kabupaten Buleleng 593 (13,92%), dan ketiga Kabupaten Badung 550 (12,91%) (Kemenkes RI, 2014). Tingkat konsistensi dan kepatuhan odha masih menjadi masalah di Indonesia termasuk Bali dengan program penanggulangan HIV yang baik tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang determinan LTFU pengobatan HIV/AIDS. World Health Organization (WHO) mempunyai ketentuan target LTFU dalam satu tahun pertama pengobatan yaitu < 20% ( Bennett et al, 2006; Bekolo et al, 2013;). Layanan terapi ARV di Bali terdapat di beberapa rumah sakit umum daerah salah satunya RSUD Badung. RSUD Badung memiliki cakupan layanan yang luas untuk wilayah Bali Selatan khususnya Kabupaten Badung dengan Klinik Bali Medika sebagai satelitnya. Klinik Bali Medika merupakan klinik swasta dibawah Yayasan Bali Peduli yang fokus pada layanan untuk kelompok LSL (lelaki seks lelaki) di wilayah Kuta dan menyediakan layanan test HIV, terapi ARV gratis, buddy atau pendampingan untuk odha dan alat pendukung kepatuhan (reminder tool). Jumlah kumulatif pasien yang menerima ARV di RSUD Badung dan satelitnya dalam laporan sampai Juli 2014 sebanyak 671 yang telah menerima terapi ARV, dengan 76 (11,3%) meninggal, 79 (11,8%) LTFU, 42 (6,3%) rujuk keluar yang tercatat dalam rekam medis dan tersimpan di layanan VCT Sekar Jepun. 3 Terapi ARV memerlukan kepatuhan berkelanjutan tingkat tinggi dan monitoring untuk menekan replikasi virus, meningkatkan imunologi dan hasil klinis, menurunkan risiko resistansi terhadap obat ARV, serta mengurangi risiko penularan HIV (WHO, 2013). Persentase LTFU pada satu tahun pertama terapi ARV merupakan indikator pendeteksian dini terjadinya resistensi obat dan keberhasilan terapi ARV (Bennett et al, 2006; Kemenkes RI, 2011a). Pencatatan LTFU dilakukan untuk kepentingan analisa kohort sebagai indikator bagi tim klinik, kabupaten dan kota melihat seberapa baik program terapi ARV yang telah berjalan (Kemenkes RI, 2011c). Banyak orang tidak mengakses perawatan setelah diagnosis dan mengalami LTFU selama pengobatan karena tidak adanya intervensi proaktif dan layanan dukungan (UNAIDS, 2012a). Tingginya tingkat LTFU meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan HIV dalam program perawatan dan pengobatan HIV (Mugisha et al, 2014). Kematian adalah alasan paling umum dicatat untuk 233 (47,94%) dari yang mengalami LTFU (Wubshet et al, 2013). LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Edwards et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Somi et al, 2012). Insiden terjadinya LTFU pada pasien yang menerima ARV bervariasi, dari beberapa penelitian di negara lain menunjukkan bahwa semakin lama terapi ARV yang diterima maka insiden dan persentase LTFU juga semakin besar (Odafe et al, 2012; Tran et al,2013; Kate et al, 2014; Mugisha et al, 2014). 4 Penelitian tentang LTFU pada odha yang menerima terapi ARV di Indonesia masih sangat terbatas terutama pada fasilitas layanan pemerintah seperti rumah sakit. Penelitian LTFU di Provinsi Bali pernah dilakukan di Yayasan Kerti Praja Bali tahun 2013 pada mayoritas perempuan pekerja seks dan berasal dari penduduk luar Bali yang cenderung mobile, dengan kejadian LTFU sebesar 14,1% dan insiden LTFU sebesar 5,15 per 100 person years. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan tahun 2012 menggunakan data TAHOD (Treat Asia HIV Observasional Database) dari 18 site di Asia-Pacific termasuk Bali namun hasil yang ditunjukkan bersifat agregat. Penelitian di berbagai negara menunjukkan beberapa faktor determinan yang berkaitan dengan kejadian LTFU seperti pendidikan ( Krishnan et al, 2011; Hassan et al, 2012), pekerjaan (Alvarez-Uria et al, 2013; Kate et al, 2014), status pernikahan (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Mugisha et al, 2014), risiko penularan HIV (Gerver et al, 2010), jarak dari tempat pelayanan kesehatan (Bekolo et al, 2013; Hassan et al, 2012), kadar CD4 ( Gerver et al, 2010; Schöni-Affolter et al, 2011; Onoka et al, 2012; Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Evans et al, 2014; Mugisha et al, 2014;) dan stadium WHO (Odafe et al, 2012; Saka et al, 2013). Namun masih ditemukan hasil yang tidak konsisten, dimana laki-laki (Evans et al, 2013; Mugisha et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Tran et al, 2013; Weigel et al, 2013) dan umur muda (Bekolo et al, 2013; Saka et al, 2013; Tran et al, 2013; Kate et al, 2014) lebih beresiko mengalami LTFU tetapi penelitian lain menyebutkan perempuan (Saka et al., 2013) dan umur lebih tua (Sabapathy et al, 2012) yang lebih beresiko untuk LTFU. Hasil yang tidak konsisten juga ditemukan 5 pada stadium klinis WHO karena sangat dipengaruhi oleh prilaku odha dalam mencari layanan kesehatan (Hsiao et al, 2003; Berheto et al, 2014). Penelitian secara longitudinal penting dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program terapi ARV yang telah berlangsung dengan indikator LTFU pada setting fasilitas kesehatan yaitu rumah sakit pemerintah yang umumnya kurang optimal untuk program penjangkauan (outreach) dibandingkan klinik swasta serta sebagian besar populasi merupakan penduduk lokal. Penjangkauan yang baik sangat menentukan kejadian LTFU pada pasien odha (Lamb et al, 2012). Melalui penelitian ini diharapkan dapat teridentifikasi determinan LTFU pasien yang menerima ART pada populasi umum di Bali yang selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini nantinya dapat memberikan kontribusi kepada praktisi dan pemegang program terhadap monitoring dan evaluasi keberhasilan pengobatan ARV pasien odha khususnya di rumah sakit pemerintah. 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka pertanyaan dalam penelitian ini terkait determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014 yang meliputi: 1.2.1 Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha? 1.2.2 Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha? 1.2.3 Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan terapi ARV? 1.2.4 Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan terapi ARV? 1.2.5 Bagaimana kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan? 1.2.6 Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV) dengan loss to follow up? 1.2.7 Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium klinis, status fungsional, status TB, dan jenis ARV (golongan NRTI dan NNRTI) dengan loss to follow up? 1.2.8 Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi) dengan loss to follow up? 7 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui kejadian dan determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung tahun 20062014. 1.3.2 Tujuan khusus Penelitian loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung ini bertujuan untuk mengetahui sebagai berikut: 1. Median time kejadian loss to follow up pasien odha. 2. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha. 3. Median time kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan terapi ARV. 4. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan terapi ARV. 5. Kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan 6. Karakteristik sosiodemografi, layanan dan klinis pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014 yang meliputi a) umur, b) jenis kelamin, c) pendidikan, d) status bekerja, e) status menikah, f) pengawas minum obat (PMO), g) risiko penularan HIV, h) berat badan, i) kadar CD4, j) kadar haemoglobin, k) infeksi oportunistik, l) 8 stadium klinis WHO, m) status fungsional, n) status TB, o) jenis ARV NRTI, p) jenis ARV NNRTI, q) jenis tempat layanan, r) kebijakan terapi ARV. 7. Hubungan variabel karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV), karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status TB, golongan NRTI, golongan NNRTI dan status fungsional) dan karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi ARV) dengan loss to follow up pada pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktis 1. Bahan masukan dan monitoring keberhasilan layanan CST (care support treatment) melalui indikator loss to follow up di layanan publik milik pemerintah sehingga berguna untuk mengoptimalkan retensi dalam meningkatkan perawatan dan pemantauan perbaikan dan program selanjutnya. 2. Penelitian ini juga memberikan manfaat pada odha sebagai subyek dalam terapi ARV untuk memiliki kesadaran dan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan mereka dalam terapi sehingga kualitas hidup odha dapat meningkat. 9 1.4.2 Teoritis Referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya terkait terapi ARV terutama yang berhubungan dengan loss to follow up pada pasien odha. 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif (Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu 454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014). Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga insiden HIV/AIDS dapat diturunkan. Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman 9 11 dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti obat dan biaya (Depkes, 2007). Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4 merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi. Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34). Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB, skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi 12 tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor) yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun 2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman terapi antara keduanya: 13 Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi ARV 2011 Indikasi memulai terapi ARV Odha tanpa gejala klinis CD4 ≤ 200 sel/mm3 CD4 ≤ 350 sel/mm3 (stadium 1) dan belum pernah mendapatkan terapi ARV Odha dengan gejala Semua pasien dengan CD4 ≤ Stadium klinis 2 klinis dan belum pernah 200 sel/mm3, stadium 3 dan 4, bila CD4 ≤ 350 memperoleh terapi ARV berapapun jumlah CD4 sel/mm3, stadium klinis 3 dan 4 tanpa melihat jumlah CD4 Perempuan hamil Stadium 1 atau 2 dengan Semua ibu hamil 3 dengan HIV CD4 < 200 sel/mm , stadium berapapun jumlah 3 dan CD4 < 350 sel/mm3 dan CD4 dan kondisi stadium 4, berapapun jumlah stadium klinis CD4 Odha dengan koinfeksi Adanya gejala TB aktif dan Mulai terapi TB yang belum pernah CD4 < 350 sel/mm3 berapapun jumlah menerima terapi ARV CD4 Odha dengan koinfeksi Tidak ada rekomendasi Odha dengan Hepatitis B (HBV) yang khusus koinfeksi Hepatitis belum mendapatkan B (kronis aktif) dan terapi ARV berapapun junlah CD4 Sumber : (Kemenkes RI , 2011b) Populasi Target Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi 14 terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b). Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a). Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI, 2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al., 2012; UNAIDS, 2013a). 2.2 Loss To Follow Up pada Odha 2.2.1 Prevalensi Loss To Follow Up Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai 350.000 dengan penurunan 26% sejak tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah 15 diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a). Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS, 2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011). Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di 16 Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years. Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al., 2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012). Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009; Deribe et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per Agustus 2014 sebesar 17,95% (14.360 dari 81.518 yang pernah menerima ART) meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% (10.825 dari 65.311 yang pernah menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009; Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS 17 sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal. 2.2.2 Definisi Loss To Follow Up Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al., 2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU, jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir. Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013). Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD (Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012). Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013) Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau ≥ 60 hari dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8–5,3) dan memiliki sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2- 85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi 18 et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011 pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu ≥ 180 hari dengan kesalahan klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54) yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013). Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV. 19 2.2.3 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al., 2013). Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan, dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm3 dan ≥ 350 sel / mm3 yang tercatat dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu 20 masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha (Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014). 2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu: 2.3.1 Karakteristik Sosiodemografi 2.3.1.1 Umur Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa 21 1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anakanak (Tezera et al., 2014). Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh (berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar menyebutkan bahwa umur ≥ 40-80 tahun lebih berisiko mengalami LTFU (aHR=1.5; 95% CI 1,25 -1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo et al., 2013). 2.3.1.2 Jenis Kelamin Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan (AHR 1,3, 95%CI 1,1–1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV 22 justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013). Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang ke pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara detail (Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon akan memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan ARV (McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko tinggi penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi ARV sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013). Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al., 2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010). 23 2.3.1.3 Pendidikan Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan, risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks. Tingkat pendidikan yang rendah (aOR 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al., 2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta huruf meningkatkan kejadian LTFU (aHR 1,3; 95% CI 1,1- 1,6) (Alvarez et al., 2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah pertama (aHR 2,0; 95% CI 1,1–3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan (aHR 1,22; 95% CI 0,98- 1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16 tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al., 2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011). 24 2.3.1.4 Pekerjaan Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007) 2.3.1.5 Status Menikah Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (aHR 1,6, 95% CI 1,2- 2,3) (Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten et al., 2010). 2.3.1.6 Pengawas Minum Obat (PMO) PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan 25 mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat, dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri (acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih rendah (aRR = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012). 2.3.1.7 Risiko Penularan Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user) memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (aHR=1,40 95% CI 1.25–1.89), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (aHR= 1,544 95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan aHR=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p= 0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain (yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan 26 ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95% CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual (aOR 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015). Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR 2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al., 2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al., 2015). 2.3.2 Karakteristik Klinis 2.3.2.1 Berat Badan Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi. Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha 27 yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI (body mass index) ≤ 18,5 kg/m2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga kemungkinan LTFU lebih besar (aHR 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,021,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap unitnya menurunkan kejadian LTFU (aHR, 0.97; 95% CI 0,88–1,03) tetapi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan odha yang memiliki berat badan ≥ 60 kg memiliki risiko 76% lebih rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg (AHR 3.47 95% CI 1.02-11.83), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle, 2014). 2.3.2.2 Jumlah CD4 Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi 28 ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan 50-100 sell/mm3/tahun dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011). Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan ≥ 350 sel/mL (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4 yang rendah (<100-200 cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat (Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013). Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi ≥ 200 cell/ml lebih beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga 29 sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al., 2010). 2.3.2.3 Kadar Haemoglobin Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia. Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu 23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dL (HR 1,64 95% CI 1,28 – 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4 lebih tinggi (Hønge et al., 2013). 2.3.2.4 Infeksi Oportunistik Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95% 30 CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP (19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007). 2.3.2.5 Stadium Klinis WHO Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan stadium II WHO (adjusted sHR 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012). Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012). Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk 31 menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer alternative medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al., 2003). Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka menggunakan pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka menggunakan pengobatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%) dan praktek-praktek spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi ini berdampak pada kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini kemungkinan yang membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak konsisten ditemukan pada variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh Berheto et al, bahwa stadium klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (aHR= 0,6; CI 0,4-0,8, p=0,007) karena pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung mengalami peningkatan perilaku dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan penyakit yang diderita (Berheto et al., 2014). 2.3.2.6 Status Fungsional Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja, ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%) berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah 32 satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted sHR 1,25 (95% CI: 1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (aHR 0,4 95% CI 0,3-0,6 p=0,001). 2.3.3.7 Status TB Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI, 2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (aHR=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al. 2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat (62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi 33 klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat (Berheto et al., 2014). 2.3.2.8 Regimen ARV Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4T), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC). Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir. Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a). Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine (NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (aHR 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04), begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (aHR 0,55 CI 0,42-0,71) dan zidovudine (AZT) (aHR 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4T (62). Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (AlvarezUria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan 34 efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012). 2.3.3 Karakteristik Layanan 2.3.3.1 Entry Point Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program. Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA (kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c). Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari (PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006). Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012; Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada 35 entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point yang lain (Crude OR 0.5 CI 0.3–0.9 p= 0.02) (Hassan et al., 2012). 2.3.3.2 Jenis Tempat Layanan Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi pelacakan (Onoka et al., 2012) 2.3.3.3 Status Rawat Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha 36 memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9% (Fleishman et al., 2013). 2.3.3.4 Kebijakan Terapi ARV Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat. Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007; Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm3, 200-350 sel/mm3 dan >350 sel/mm3), sebagian besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan biaya tambahan hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm3 akan mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa inisiasi ARV pada CD4 ≥ 350 sel/mm3 memberikan keuntungan jangka panjang pada kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan 37 harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir perkembangan penyakit dengan CD4 ≤ 200 sel /mm3 (UNAIDS, 2013a). Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250 sel/mm3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya, tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 ≥ 350 cell/mm3 di awal terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 yaitu 24 bulan (Ndiaye et al., 2009). 2.3.3.5 Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: aHR=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01) 38 (Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (aHR = 1,25, 95% CI 1,001,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari ≥ 1 jam ke tempat layanan ARV juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al., 2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo et al., 2013). 2.4 Kepatuhan Terapi ARV WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a). Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk 39 mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan, kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et al., 1999). Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi kepatuhan (WHO, 2013). 40 Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012). Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat ukur ”The Perceived Sosial Stigma” diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018) dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014). 41 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Retensi odha dalam terapi ARV masih menjadi tantangan terbesar dalam program HIV secara global maupun nasional sehingga berdampak pada kegagalan terapi dan resistensi terhadap ARV. Menurunnya tingkat retensi ditunjukkan dengan meningkatnya LTFU pada odha yang menerima terapi ARV pada tahun pertama pengobatan. Resiko LTFU meningkat sejalan dengan lamanya terapi ARV, dan berbagai determinan yang kemungkinan berhubungan dengan LTFU yang berkaitan dengan kejenuhan dalam mengkonsumsi obat ARV mengingat terapi ini bersifat seumur hidup. Karakteristik sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, risiko penularan HIV dan karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, dan status fungsional. Karakteristik layanan seperti jarak tempat tinggal ke fasilitas layanan ARV, sarana dan prasarana yang tersedia di layanan ARV, entry point dan jenis tempat pelayanan untuk memperoleh terapi ARV. Karakteristik tersebut merupakan determinan yang memiliki hubungan dengan kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV. Karakteristik sosiodemografi berhubungan dengan LTFU karena terkait dukungan sosial dan psikologis odha selama pengobatan. Odha yang tidak memiliki pasangan cenderung tidak memiliki dukungan orang sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma 41 42 terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan. Seluruh aspek karakteristik tersebut merupakan faktor penentu dari kejadian LTFU pada odha yang menerima ARV. Umur muda seringkali juga dikaitkan dengan kondisi psikologis yang belum stabil sehingga cenderung belum siap untuk menerima terapi, dan kondisi gejala yang belum dirasakan memicu penundaan dan tidak datang kembali ke layanan. Selain umur, jenis kelamin yaitu laki-laki juga berkontribusi terhadap kejadian LTFU dimana mereka cenderung kurang peduli dengan kondisi kesehatan mereka sebelum mengalami keluhan. Keadaan klinis pada odha berhubungan dengan kejadian LTFU, pasien odha umumnya datang dalam kondisi stadium klinis yang tinggi sehingga akan berpengaruh pada terapi ARV yang diberikan. Kadar CD4 merupakan clinical diagnosis yang sering dijumpai berpengaruh terhadap LTFU. Demikian juga untuk kadar haemoglobin yang normal akan menurunkan kejadian LTFU. Kondisi klinis odha yang baik cenderung mengalami LTFU karena asumsi yang menganggap dirinya sudah sembuh sehingga mengabaikan pengobatan ARV, sebaliknya kondisi klinis yang buruk juga dapat memicu LTFU akibat kepercayaan mereka yang menurun terhadap terapi dan berusaha untuk mencari alternatif pengobatan lain. Namun tidak menutup kemungkinan odha dengan kondisi yang lebih buruk memiliki kesadaran dan pengobatan yang lebih tinggi karena perasaan membutuhkan pengobatan yang lebih intensif. 43 3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang telah disusun maka konsep penelitian dalam penelitian ini yaitu: Karakteristik Sosiodemografi a. b. c. d. e. f. Umur Jenis kelamin Pendidikan Status bekerja Status menikah Pengawas minum obat (PMO) g. Risiko penularan HIV Karakteristik klinis a. Jumlah CD4 b. Kadar haemoglobin c. Infeksi oportunistik d. Stadium klinis WHO e. Status fungsional f. Berat badan g. Status TB h. Regimen ARV Karakteristik layanan i. Status rawat a. Entry point b. Jenis tempat layanan c. Kebijakan terapi Menerima terapi ARV Loss to follow up Kondisi klinis di akhir pengamatan Jarak tempat tinggal dengan layanan penyedia ARV Keterangan : __________ Diteliti - - - - - - - - - - Tidak diteliti Gambar 3.1 Konsep Determinan Loss To Follow Up Pasien Odha yang Menerima Terapi ARV 44 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian pada odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014 sebagai berikut: 3.3.1 Ada hubungan antar umur dengan loss to follow up 3.3.2 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up 3.3.3 Ada hubungan antara pendidikan dengan loss to follow up 3.3.4 Ada hubungan antara status bekerja dengan loss to follow up 3.3.5 Ada hubungan antara status menikah dengan loss to follow up 3.3.6 Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up 3.3.7 Ada hubungan antara risiko penularan HIV dengan loss to follow up 3.3.8 Ada hubungan antara berat badan dengan loss to follow up 3.3.9 Ada hubungan antara jumlah CD4 dengan loss to follow up 3.3.10 Ada hubungan antara kadar haemoglobin dengan loss to follow up 3.3.11 Ada hubungan antara infeksi oportunistik dengan loss to follow up 3.3.12 Ada hubungan antara stadium WHO dengan loss to follow up 3.3.13 Ada hubungan antara status fungsional dengan loss to follow up 3.3.14 Ada hubungan antara status TB dengan loss to follow up 3.3.15 Ada hubungan antara golongan NRTI dengan loss to follow up 3.3.16 Ada hubungan antara golongan NNRTI dengan loss to follow up 3.3.17 Ada hubungan antara jenis tempat layanan dengan loss to follow up 3.3.18 Ada hubungan antara kebijakan terapi dengan loss to follow up 45 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal analitik dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode tahun 2006-2014. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung pada periode waktu Januari 2015-Maret 2015. Klinik VCT Sekar Jepun merupakan klinik yang memberikan pelayanan terkait HIV/AIDS termasuk pemberian terapi ARV dan pemeriksaan laboratorium yang berdiri sejak 22 Maret 2005. Sasaran layanan diberikan kepada masyarakat umum, kelompok risiko dan menerima rujukan pasien dari puskesmas, klinik, dan praktek swasta di wilayah Badung. Pemilihan RSUD Badung sebagai tempat penelitian terkait dengan jumlah pasien HIV tertinggi ketiga di Provinsi Bali dengan mayoritas pasien adalah masyarakat umum dan kelompok LSL pada satelitnya yaitu Klinik Bali Medika (BMC). Pelaporan pasien ARV di Klinik VCT Sekar Jepun mencakup dua satelit yaitu klinik Bali Medika dan RSUD Negara terkait pelaporan dan distribusi obat ARV namun sejak April 2014 RSUD Negara bukan menjadi satelit dari RSUD Badung. Pasien yang tercatat dari RSUD Negara tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena data follow up yang tidak memenuhi end point dari penelitian ini. 45 46 RSUD Badung juga didukung oleh pencatatan rekam medis yang lengkap dan tersimpan rapi dalam lemari khusus di ruangan VCT sehingga lebih mudah untuk diesktrak. Tenaga kesehatan yang mendukung layanan VCT Sekar Jepun meliputi satu orang dokter sebagai ketua, satu orang dokter konsulen, empat orang konselor, satu orang petugas laboratorium, satu orang petugas administrasi, dua orang manajer case CST, dan satu orang pelaksana ART. Kualifikasi petugas perawatan HIV yaitu petugas rutin di perawatan HIV, petugas untuk pelayanan ART, dan staf yang dilatih untuk pencatatan dan pelaporan pasien ART. Klinik Bali Medika berlokasi di Kuta, Badung merupakan klinik swasta dibawah Yayasan Bali Peduli (YBP) yang berdiri sejak tahun 2011 dengan fokus layanannya pada kelompok LSL. Klinik ini didukung oleh satu orang dokter (direktur klinik), satu orang konselor, dua orang perawat sekaligus konselor dan dua orang teknisi laboratorium. Layanan yang diberikan meliputi test HIV, test CD4, test IMS, pemberian terapi ARV, terapi obat untuk IMS, penjangkauan, bantuan pendampingan untuk pasien HIV positif yang menerima terapi, konseling dan kelompok dukungan sebaya. Pelayanan di Klinik Bali Medika didukung juga dengan pemeriksaan CD4 yang praktis dan cepat melalui mesin CD4, bantuan dari para donatur. Prosedur layanan yang berlangsung di klinik yaitu jika pasien terdeteksi HIV positif kemudian akan dirujuk pada seorang pendamping atau buddy sehingga pasien siap untuk menerima terapi. Pendamping ini memberikan dukungan kepada klien yang sifatnya non medis terutama efek samping oleh karena obat. Layanan dilakukan sejak pukul 16.00-20.00 wita sehingga memungkinkan bagi pasien untuk berkunjung ke klinik 47 sepulang kerja atau malam hari tanpa diketahui orang lain mengingat adanya stigma yang masih tinggi di masyarakat. Standar layanan yang diterapkan di klinik ini sesuai dengan rekomendasi WHO terkait layanan HIV dalam konteks epidemi terkonsentrasi sehingga pada tahun 2012 klinik ini mendapatkan pengakuan dari TREAT ASIA, WHO dan Depkes RI atas pelayanan swasta dengan pendekatan masyarakat dan kolaborasi dengan dinas kesehatan provinsi setempat. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan sejumlah subyek yang mempunyai karakteristik tertentu. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh odha yang menerima terapi ARV di Provinsi Bali. Populasi studi atau terjangkau yaitu seluruh odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 20062014. Populasi penelitian dalam hal ini adalah seluruh pasien odha yang menerima ART di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode waktu 2006-Juli 2014. Jumlah populasi dalam penelitian hingga 31 Juli 2014 adalah 671 pasien. 4.3.1.1 Kriteria inklusi Populasi ini dibatasi dalam kriteria inklusi yaitu pasien HIV/AIDS yang menerima terapi ARV dengan melakukan kunjungan minimal dua kali dilihat dari pertama kali minum ARV. 4.3.1.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ibu hamil, umur <15 tahun, dan pasien satelit RSUD Negara. Pertimbangan ini dilakukan karena 48 jumlah pasien usia <15 tahun dan ibu hamil yang terdaftar dalam register ARV dan rekam medis di layanan VCT RSUD Badung sedikit sehingga mempengaruhi sebaran data dalam analisis. Pasien RSUD Negara juga tidak diikutkan sebagai sampel karena end point pengamatan yang tidak terpenuhi sampai Agustus 2014. 4.3.2 Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa kohort dari pasien odha yang menerima ARV dalam periode tahun 2006-2014 yang tercatat dalam rekam medis. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan sebagai sampel penelitian. Pemilihan ini dilakukan untuk tidak mengurangi kekuatan penelitian akibat adanya data missing yang bisa ditemukan di rekam medis pasien namun data missing tersebut tidak pada variabel yang sama pada setiap pasien. Pasien yang telah memulai terapi ARV dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai sampel. 49 Prosedur seleksi sampel penelitian digambarkan pada gambar 4.1 dibawah ini Pasien HIV/AIDS RSUD Badung (2006-Juli 2014) 871 orang Pasien Pra-ART 200 (23%) Pasien Terapi ARV 671 (77%) Kriteria eksklusi : - Kunjungan satu kali 74 (11,1%) - Hamil 11 (1,6%) - Umur < 15 tahun 2 (0,3%) - Satelit RSUD Negara 9 (1,3%) Kriteria inklusi 575 (85,7%) Pasien Satelit 234 (40,7%) - Masih terapi ARV 182 (31,7%) - Meninggal 5 (0,9%) - LTFU 29 (5%) - Rujuk keluar 18 (3,1%) Pasien RSU Badung 341(59,3%) - Masih terapi ARV 202 (35,1%) - Meninggal 71 (12,3%) - LTFU 59 (10,3%) - Rujuk keluar 9 (1,6%) Total LTFU 15.3% Gambar 4.1 Prosedur Seleksi Sampel Penelitian 4.3.3 Jumlah dan Besar Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi studi. Besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan perhitungan sampel untuk dua kelompok insiden rate. Perhitungan besar sampel yang digunakan adalah sebagai berikut: (Lwanga, S. K.; Lemeshow, 1991) (Z n (1 k ) 2 Z k 1 2 2 k (1 2 ) 2 2 50 Keterangan : Zα = derivate baku alfa Zβ= derivate baku beta k = rasio kelompok tidak terpapar dengan kelompok terpapar di populasi λ 2 = proporsi LTFU pada kelompok yang sudah diketahui (kelompok kontrol) λ 1 = proporsi LTFU kelompok yang akan diuji Berdasarkan perhitungan rumus tersebut dengan menggunakan α=5%, β=90%, dan =0,18 yang didapat berdasarkan proporsi LTFU pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi di Indonesia maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari HR hasil penelitian terdahulu yaitu : Tabel 4.1 Perhitungan Besar Sampel Penelitian Nama peneliti dan variabel Outcome HR λ1 λ2 n1=n2 2n Berheto et al., 2014 Umur LTFU 2,1 0,38 0,18 44 88 CD4 < 200 sel/mm3 LTFU 1,7 0,31 0,18 77 154 CD4 < 200 sel/mm3 LTFU 2,06 0,37 0,18 47 94 IDU (injecting drug use) LTFU 5,26 0,95 0,18 14 28 Umur LTFU 1,8 0,32 0,18 70 140 IDU (injecting drug use) LTFU 5,3 0,95 0,18 14 28 Ndiaye et al., 2009 Lebouche et al., 2006 Pertimbangan pemilihan rumus besar sampel diatas adalah berdasarkan kriteria pengamatan dan rekrutmen subyek penelitian pada penelitian kesintasan. Penelitian ini akan dibatasi pada waktu tertentu yaitu 2006-2014, dan rekrutmen subyek penelitian dilakukan saat awal menerima terapi ARV sebagai baseline (awal pengamatan). Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan beberapa variabel yang 51 paling banyak ditemukan memiliki hubungan dengan LTFU menunjukkan sampel minimal yaitu 70 orang dengan asumsi pada kelompok LTFU (kelompok terpapar) 70 orang dan kelompok yang tidak LTFU (kelompok kontrol) 70 orang. Namun sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 575 pasien dengan 88 pasien yang termasuk dalam LTFU sehingga jumlah sampel minimal sudah terpenuhi. Seluruh sampel digunakan dengan pertimbangan penggunaan data sekunder untuk menghindari ketidaklengkapan data yang tersedia sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan sampel yang lebih besar. 4.4 Variabel Penelitian Variabel penelitian ini dibagi menjadi variabel independen dan dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah loss to follow up pada pasien HIV yang menjalani terapi ARV dengan event date-nya adalah tanggal kunjungan terakhir pasien yang dinyatakan sebagai LTFU saat menjalani terapi ARV. Variabel independent yaitu determinan yang terdiri dari karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan. Karakteristik sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, status bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV. Karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional, status fungsional, jenis ARV NRTI, dan jenis ARV NNRTI. Karakteristik layanan meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan terapi. 52 4.4.1 Definisi Operasional Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian dan Cara Pengukuran Variabel Definisi Operasional 1 2 Variabel Independen Umur Umur (dalam tahun) yang tercatat di dalam rekam medis dan register ARV Jenis kelamin Jenis kelamin yang tercatat dalam rekam medis Instrumen 3 Skala Pengukuran 4 Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Interval (tahun) Umur dikelompokkan sesuai sebaran data Nominal 1.Perempuan 2. Laki-laki Kategorikal: 0 = perempuan 1= laki-laki 9=missing (Ochieng-Ooko et al., 2010) Kategorikal: 0= pendidikan tinggi (SMP, SMA, dan PT) 1= pendidikan rendah (SD dan Tidak Sekolah) 9=missing (Karcher et al., 2007; Wubshet et al., 2013) Kategorikal: 0=tidak bekerja 1= bekerja 9= missing (Kate et al., 2014) Kategorikal: 0= menikah 1= belum menikah/bercerai 9= missing (Dalal et al., 2008) Kategorikal: 0= ada 1= tidak ada 9=missing (Lamb et al., 2012) Pendidikan Jenis pendidikan yang tercantum dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Ordinal 1. Tidak sekolah/ tidak lulus SD 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan Tinggi Status bekerja Status bekerja yang tercatat dalam rekam medis saat mulai terapi ARV Formulir pengumpulan data Nominal 1. Tidak bekerja 2. Bekerja Status menikah Status pernikahan terakhir yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Nominal 1. Belum menikah 2. Menikah 3. Janda/ Duda Formulir pengumpulan data Nominal 1. Tidak ada 2. Ada Pengawas Orang yang tercatat sebagai minum obat pengawas minum obat yang (PMO) tercatat dalam rekam medis Rencana Analisis 5 53 1 2 Risiko Risiko pertama kali saat penularan HIV terpapar HIV/AIDS yang tercatat dalam rekam medis 3 Formulir pengumpulan data Berat badan Formulir pengumpulan data Infeksi oportunistik Berat badan saat pertama kali menerima ARV yang tercatat di dalam rekam medis Infeksi oportunistik yang di alami saat pertama kali menggunakan ARV tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Stadium klinis Stadium klinis sesuai standar WHO WHO saat pertama kali menggunakan ARV yang tercantum dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Status fungsional Kondisi fungsional pasien saat pertama kali menggunakan ARV yang tercantum dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Jumlah CD4 Jumlah CD4 pertama kali memulai ARV yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data 4 Nominal 1. Homoseksual 2. Heteroseksual 3. Biseksual 4. Perinatal 5. Transfusi darah 6. Napza suntik 7. Pasangan odha Interval (kilogram) 5 Kategorikal 0=homoseksual 1=heteroseksual (suami istri) 2=IDU 9= missing (Nishijima et al., 2013; Zhou et al., 2012) Berat badan dikelompokkan sesuai sebaran data Nominal 1. Kandidiasis 2. Diare 3. Meningitis Cryptoco-cal 4. Pneumonia Pneumo-cyctis 5. Cytomega-lovirus 6. Penicilli-osis 7. Herpes zoster 8. Herpes simpleks 9. Toxoplas-mosis 10. Hepatitis 11. Lainnya Ordinal 1. Stadium I (Asimptomatik) 2. Stadium II (Gejala ringan) 3. Stadium III (Gejala sedang) 4. Stadium IV (AIDS) Ordinal 1. Kerja 2. Ambulatori 3. Baring Kategorikal: 0 = tidak ada 1 = ada 9 = missing (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013) Interval (cell/mm3) Stadium klinis sesuai klasifikasi WHO 0= stadium 1&2 1= stadium 3&4 9=missing (WHO, 2007) Status fungsional 0=baring 1=ambulatory 2= kerja, 9=missing (Odafe et al., 2012) Jumlah CD4 dikelompokkan sesuai sebaran data 54 1 Kadar haemoglobin 2 Kadar haemoglobin pertama kali menggunakan ARV yang tercatat dalam rekam medis Diagnosa terkait penyakit tuberculosis pertama kali menggunakan ARV yang tercatat dalam rekam medis Jenis obat ARV NRTI diperoleh saat pertama pengobatan yang tercatat dalam rekam medis 3 Formulir pengumpulan data 4 Interval (gr/dl) 5 Kadar haemoglobin dikelompokkan sesuai sebaran data Formulir pengumpulan data Ordinal Formulir pengumpulan data Nominal Kategorikal: 0=TB positif 1=suspect&tidak TB (62) Kategorikal: 0=tenofovir 1=stavudin 2=zidovudine Jenis obat ARV NNRTI diperoleh saat pertama pengobatan yang tercatat dalam rekam medis Jenis tempat Tempat pasien menerima layanan terapi ARV yang dilihat berdasarkan rumah sakit utama (VCT Sekar Jepun) dan satelit (Klinik Bali Medika/BMC) Kebijakan Pedoman terapi ARV yang terapi digunakan sebagai acuan untuk menentukan waktu memulai terapi dengan acuan kebijakan tahun 2007 dan kebijakan tahun 2011 Formulir pengumpulan data Nominal Kategorikal: 0=efavirens 1=nevirapine Formulir pengumpulan data Nominal 1. Rumah sakit utama 2. Satelit Kategorikal: 0=BMC 1= RSUD Badung 9=missing (Saka et al., 2013) Formulir pengumpulan data Kategorikal: 0=kebijakan sebelum tahun 2011 1= kebijakan setelah tahun 2011 9=missing (Kemenkes RI, 2011b) Kondisi klinis Kondisi klinis yang meliputi akhir CD4, Hb, berat badan dan stadium klinis WHO saat terakhir kunjungan yang tercatat di rekam medis Status rawat Kondisi perawatan yang selama menggunakan ARV yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Nominal: 1. Kebijakan tahun 2007 (Pedoman CD4 ≤ 200 saat mulai ARV) 2. Kebijakan tahun 2011(Pedoman CD4 ≤ 350 saat mulai ARV) Interval Status TB Golongan NRTI Golongan NNRTI Formulir pengumpulan data Nominal 1. Rawat jalan 2. Rawat inap Kondisi klinis akhir akan dideskrispsikan dan dikelompokkan sesuai sebaran data yang diperoleh Analisa secara deskriptif dikelompokkan menjadi 0= tidak rawat inap 1= rawat inap awal terapi 2=rawat inap selama terapi 9= Missing 55 1 Kepatuhan 2 3 4 5 Kriteria kepatuhan yang dipantau setiap bulan berdasarkan jumlah obat yang lupa diminum dan tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Nominal 1. >95% (≤ 3 dosis) 2. 80-95% (3-12 dosis) 3. <80% (≥12 dosis) Analisa secara deskriptif dikelompokkan menjadi 0=>95% 1=80-95% 2=<80% 9=missing (Kemenkes RI, 2011b) Variabel Dependen Loss to follow Odha tidak melanjutkan Formulir up terapi ARV di Layanan VCT pengumpulan Sekar Jepun RSUD Badung data lebih dari 3 bulan, atau putus obat atau tidak diketahui status penggunaan ARVnya (Kemenkes RI, 2011b) - Start point nya yaitu tanggal saat pertama kali memulai terapi ARV dan end pointnya adalah tanggal odha kunjungan terakhir (loss to follow up, meninggal dan rujuk keluar) -Sensor adalah odha yang telah meninggal dan rujuk keluar Nominal Tanggal loss to follow up berdasarkan tanggal pasien LTFU pasien 0=tidak LTFU 1=LTFU *Missing=data yang tercatat tidak lengkap 4.5 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien odha yang menerima ART dan register ARV yang terdapat di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung. Instrumen yang digunakan yaitu formulir pengumpulan data yang telah dirancang dan diuji sebelumnya untuk mengumpulkan data rekam medik. Rekam medis yang diekstrak, digunakan sebagai sampel penelitian adalah pasien yang menerima ART periode tahun 2006 – Juli 2014. 56 4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu data dari kohort odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 20062014. Adapun data yang dikumpulkan adalah karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, statsu bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan) dan karakteristik klinis (berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional,status TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI), karaktersitik layanan (kebijakan terapi dan tempat layanan), kondisi klinis di akhir pengamatan, kepatuhan, status rawat (pernah atau tidak rawat inap) dan data loss to follow up, termasuk pula tanggal pertama kali memulai terapi ARV dan tanggal kunjungan terakhir. 4.6.2 Cara Pengumpulan Data Langkah awal yang dilakukan sebelum ekstraksi data adalah permohonan ijin kepada pihak RSUD Badung. Pertama yaitu membuat permohonan ijin untuk pengambilan data dan melakukan penelitian di RSUD Badung. Kemudian mengurus ijin penelitian di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan mengurus Ethical Clearance di komisi etik Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Data dikumpulkan dengan ekstraksi rekam medis masing-masing odha pengguna ARV periode 2006 sampai dengan Juli 2014 di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya data pada formulir pengumpulan data 57 yang masih dalam bentuk hard copy dibuat ke dalam bentuk soft copy (dalam bentuk microsoft excel) untuk memudahkan analisis. Jaminan untuk menjaga kerahasiaan data odha sebagai sampel maka dalam proses ekstraksi data dilaksanakan oleh peneliti dengan mencantumkan nomor identitas atau nomor registrasi nasional tanpa mencantumkan nama odha serta disimpan dalam file khusus yang bersifat rahasia. 4.6.3 Pengolahan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Editing Data Editing dilakukan untuk memastikan data yang diambil telah sesuai dengan variabel dan tujuan penelitian. Formulir pengumpulan data telah terisi semua secara konsisten dan relevan dan apabila ada data yang kurang lengkap dapat dilakukan konfirmasi ke lapangan. Editing juga dilakukan pada data softcopy untuk menghindari terjadinya kesalahan saat analisis data. 2. Coding Data Pemberian kode dilakukan pada setiap data yang terkumpul guna keperluan analisis statistik, untuk menghindari kemungkinan kesalahan. Pemberian kode diberikan pada setiap indikator variabel. 58 3. Entry data Kegiatan memasukan data dan kode jawaban yang sudah terisi ke dalam program computer. Data dari formulir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bentuk microsoft excel yang selanjutnya dibuatkan data frame untuk format STATA SE 12.1 4. Cleaning data Data yang telah masuk diperiksa kembali, digunakan untuk membersihkan data dari kesalahan-kesalahan 4.7 Teknik Analisis Data Analisis dalam penelitian ini menggunakan survival analysis yang bertujuan untuk melihat lama waktu terjadinya LTFU pada setiap subyek yang tidak sama menggunakan software STATA SE 12 . Makadari itu penelitian ini didapatkan nilai insiden rate LTFU per 100 person years dan hazard ratio. Selain itu diperoleh median time terjadinya LTFU dari awal tahun pasien menggunakan ARV sampai akhir tahun pengamatan. Penelitian ini menggunakan analisa univariat, bivariat dan mulitivariat. 4.7.1 Analisis univariat Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diteliti yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat, risiko penularan HIV, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar haemoglobin, stadium klinis WHO, berat badan, status fungsional, status TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan 59 kebijakan pedoman ARV. Ringkasan statistik disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi yaitu proporsi atau mean untuk variabel dengan skala nominal dan ordinal, mean (standar deviasi) atau median (IQR) untuk variabel kontinyu dengan skala interval. Uji normalitas diperlukan pada variabel kontinyu untuk menentukan penyajian distribusi frekuensi, jika ditribusi normal disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi sedangkan distribusi tidak normal disajikan dalam bentuk median dan IQR. Median time LTFU ditampilkan dalam nilai median dan inter IQR yang menampilkan persentil ke 25% sampai 75% waktu LTFU. Kondisi klinis saat akhir pengamatan, status rawat, entry point, dan kepatuhan juga dianalisa secara deskriptif yang menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase. Analisis univariat juga dilakukan dengan analisis survival untuk mengetahui median time dan insiden rate terjadinya LTFU pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV. Namun nilai median hanya dapat dihitung apabila sekurangnya 50% pasien yang menerima terapi ARV mengalami LTFU. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi maka nilai median ini dapat digantikan dengan quartile 1 survival yang artinya 25% subyek mengalami event (loss to follow up). Hasil analisis juga digambarkan dalam grafik Kaplan-Meier untuk menggambarkan lama waktu terjadinya LTFU (time to event). Data missing menjadi sensor dalam analisis survival ini. 4.7.2 Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat signifikan hubungan antara variabel independen yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, 60 pengawas minum obat, risiko penularan, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar haemoglobin, berat badan, stadium klinis WHO, status fungsional, status TB, golongan NRTI dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan kebijakan terapi dengan variabel dependent yaitu LTFU. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabulasi silang. Survival analysis digunakan untuk menganalisis waktu terjadinya LTFU. Variabel independen yang dibandingkan sesuai dengan pengkategorian untuk melihat perbedaan antara dua kelompok. Dalam uji ini dihasilkan nilai p dan survival rate yang digunakan untuk melihat kemaknaan perbedaan antar kelompok. Nilai crude Hazard Ratio (HR), p spesifik, dan p dari crude HR dari setiap variabel independen terhadap LTFU dilakukan dengan Cox Proportional Hazard Model dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai p untuk crude HR diperoleh dengan melakukan tes parm bila variabel independen berskala nominal dengan tiga atau lebih kategori dan menggunakan test for trend bila data berskala ordinal atau interval yang dikategorikan menjadi dua atau lebih kategori. Nilai p untuk crude HR ini digunakan untuk melihat kemaknaan variabel independen terhadap kejadian LTFU. Pada saat analisis untuk memperoleh p crude untuk HR, data pasien yang missing dikeluarkan dari model analisis sehingga data missing tidak mempengaruhi hasil analisis. Analisis memberikan makna signifikan bila p untuk crude HR < 0.05. Nilai HR digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap LTFU. Bila HR >1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti meningkatkan risiko LTFU, bila HR <1 menunjukkan bahwa 61 variabel yang diteliti menurunkan risiko LTFU, bila HR=1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tidak berhubungan terhadap LTFU. 4.7.3 Analisis multivariat Analisis mulitivariat dilakukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan paling berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang memiliki hubungan di analisa bivariat. Analisis Cox Regression digunakan untuk mengetahui besarnya hubungan antara LTFU dengan variabel independen yang mempengaruhi secara bersama-sama. Variabel dependen dimasukkan bersama-sama dengan variabel independent. Uji kolinearitas dilakukan pada semua variabel yang masuk ke model. Syarat variabel independen yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel pada analisis bivariat memiliki nilai p < 0,25. Sebelum masuk ke model multivariat, dilakukan uji kolinearitas pada masing-masing variabel independen yang memenuhi syarat untuk masuk ke model multivariat. Metode seleksi yang digunakan adalah metode backward dimana satu persatu variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari model sampai diperoleh model akhir. Pada analisis ini diperoleh pengaruh antara variabel dependen dengan variabel independen dilihat dari nilai Adjusted Hazard Ratio (AHR), nilai p spesifik, tingkat kepercayaan 95% dikatakan signifikan jika nilai p < 0,05. Variabel dengan lebih dari dua kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan testparm untuk skala nominal dan test trend untuk skala ordinal. Ho ditolak bila p < 0,05 dan nilai HR ≠ 1 dengan 95% CI dari HR, dimana 1 berada di luar CI. HR <1 berarti variabel tersebut dapat 62 menurunkan risiko untuk LTFU, HR >1 menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat meningkatkan risiko LTFU, sedangkan HR=1 berarti variabel tersebut tidak berhubungan dengan LTFU. Model akhir pada uji ini diperoleh AHR yang digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap kejadian LTFU pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV setelah dilakukan pengontrolan pada variabel lainnya. Uji propotional hazard dilakukan pada model multivariat yang terakhir yang bertujuan untuk mengecek proportional model yang dihasilkan dimana model dikatakan proportional bila memiliki nilai p > 0,05. 63 BAB V HASIL PENELITIAN Jumlah pasien dengan terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun sejak tahun 2006 sampai Juli 2014 yaitu 671 orang. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 575 orang (85,7%) yang mendapatkan terapi dan minimal dua kali kunjungan, sedangkan tidak memenuhi kriteria terdiri dari 74 orang dengan satu kali kunjungan, 11 orang hamil, 2 orang umur < 15 tahun, dan 9 orang dari satelit RSUD negara. Sampel juga merupakan pasien dari Klinik Bali Medika sebanyak 234 orang (40,7% dari 575 pasien ARV yang memenuhi kriteria inklusi). Odha dalam pengamatan yang mendapatkan terapi ARV rata-rata meningkat setiap tahunnya dengan jumlah terbanyak di tahun 2013 sebanyak 188 (32,7%). Jumlah pasien yang mendapatkan terapi ARV dari tahun 2006 sampai Juli 2014 digambarkan pada grafik 5.1. (Juli) Gambar 5.1 Jumlah Pasien dalam Pengamatan per tahun 63 64 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik subyek penelitian diuraikan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan. Karakteristik sosiodemografi dan layanan merupakan data pada awal pengamatan sedangkan karakteristik klinis disajikan data awal dan akhir pengamatan. Deskripsi terkait karakteristik sampel disajikan dalam bentuk tabel yang membandingkan LTFU pada setiap karakteristik yaitu pada Tabel 5.1.1, Tabel 5.1.2 dan Tabel 5.1.3 Tabel 5.1.1 Karakteristik Sosiodemografi pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU Karakteristik Sosiodemografi LTFU (N=88) n(%) 3 31 (26-37) Tidak LTFU (N=487) n(%) 2 30 (26-38) Total n(%) 4 31(26-38) 1 Umur Median (IQR)* Jenis kelamin Perempuan 28 (31,8) 82 (16,8) 110 (19,1) Laki-Laki 60 (68,2) 405 (83,2) 465 (80,9) Pendidikan Pendidikan tinggi 72 (81,8) 418 (85,8) 490 (85,2) Pendidikan rendah 16 (18,2) 69 (14,2) 85 (14,8) Status bekerja Tidak bekerja 26 (29,5) 129 (26,5) 155 (27) Bekerja 62 (70,5) 358 (73,5) 420 (73) Status pernikahan Menikah 16 (18,2) 149 (30,6) 165 (28,7) Belum menikah 54 (61,4) 288 (59,1) 342 (59,5) Missing 18 (20,4) 50 (10,3) 68 (11,8) Risiko penularan Homoseksual 30 (34,1) 204 (41,9) 234 (40,7) Heteroseksual (suami istri) 56 (63,6) 270 (55,4) 326(56,7) IDU 2 (2,3) 13 (2,7) 15(2,6) PMO Ya 38 (43,2) 203 (41,7) 241 (42) Tidak 50 (56,8) 284 (58,3) 334(58) Domisili tempat tinggal Badung 44 (50) 250 (51,3 ) 294(51.1) Luar Badung 44 (50) 237(48,7) 281(48.9) *test normality spahiro-wilk tidak berdistribusi normal sehingga digunakan median (IQR) 65 Odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun pada Tabel 5.1.1 menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak pada odha yang tidak mengalami LTFU (83,2%) dibandingkan dengan odha yang mengalami LTFU (68,2%). Odha yang mengalami LTFU memiliki median umur 31 tahun sedangkan pada odha yang tidak mengalami LTFU adalah 30 tahun. Odha dengan status bekerja lebih banyak pada kelompok tidak LTFU (73,5%) dibandingkan kelompok LTFU (70,5%). Melihat dari keberadaan PMO bahwa odha yang tidak memiliki PMO lebih banyak pada odha tidak mengalami LTFU (58,3%) dibandingkan odha yang mengalami LTFU (56,8%). Odha dengan status belum menikah lebih banyak pada odha yang mengalami LTFU (61,4%) sedangkan odha yang tidak mengalami LTFU sebanyak 59,1%. Risiko penularan secara heteroseksual (suami istri) lebih banyak pada kelompok LTFU (63,6%) dibandingkan odha yang tidak mengalami LTFU (55,4%). Melihat dari domisili tempat tinggal bahwa odha yang tinggal diluar wilayah Badung lebih banyak pada odha yang mengalami LTFU (50%) dibandingkan dengan odha yang tidak mengalami LTFU (48,7%). 66 Tabel 5.1.2 Karakteristik Odha berdasarkan Layanan pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU Karakteristik Sosial LTFU Tidak LTFU Total (N=88) (N=487) n(%) n(%) n(%) 1 3 2 4 Jenis tempat layanan BMC 29 (12,4) 205 (87,6) 234 (100) RSUD 59 (17,3) 282 (82,7) 341 (100) Kebijakan Terapi* Sebelum tahun 2011 33 (20,4) 129 (79,6) 162 (100) Setelah tahun 2011 55 (13,3) 358 (86,7) 413(100) Entry Point Datang sendiri 11 (16,4) 56 (83,6) 67(100) LSM & jangkauan 7 (11) 57 (89,1) 64(100) Praktek swasta 21 (10,2) 185 (89,8) 206(100) Rawat inap 14 (19,7) 57 (80,3) 71(100) Rujukan RS/Puskesmas 12 (14,3) 72 (85,7) 84(100) Rawat Jalan 23 (27,7) 60 (72,3) 83(100) *Kebijakan ditetapkan tahun 2011 namun pelaksanaan di tahun 2012 Tabel 5.1.2 diatas menunjukkan dari total odha langsung berobat di BMC, sebanyak 12,4% mengalami LTFU dan 87,6% tidak mengalami LTFU. Sebanyak 17,3% mengalami LTFU dan 82,7% tidak mengalami LTFU pada odha yang berobat langsung di RSUD. Mayoritas pasien yang berkunjung ke Layanan VCT Sekar Jepun merupakan heteroseksual dari pasangan suami istri sedangkan di Klinik Bali Medika adalah komunitas LSL. Melihat dari penerapan kebijakan bahwa dari total odha pada kebijakan sebelum tahun 2011 kejadian LTFU sebesar 20,4% sedangkan pada kebijakan sesudah tahun 2011 sebesar 13,3%. Odha yang melalui entry point rawat jalan sebanyak 27,7% pada kelompok LTFU. 67 Tabel 5.1.3 Karakteristik Klinis Berdasarkan Status LTFU pada Awal dan Akhir Pengamatan Karakteristik Klinis Infeksi Oportunistik Tidak Ya Stadium klinis Stadium 1 & 2 Stadium 3&4 Status fungsional Baring Ambulatory Kerja Jumlah CD4 Median (IQR) Berat badan Median (IQR) Hb Median (IQR) Regimen NRTI Tenofovir (TDF) Stavudin (d4T) Zidovudine (AZT) Regimen NNRTI Efavirenz (EFV ) Nevirapine (NVP) Status TB TB Positif Suspect&Tidak TB Status Rawat* Tidak rawat inap Rawat inap di awal Rawat inap selama terapi Kepatuhan* >95% 80-95% < 80% Awal Pengamatan LTFU (N=88) Total n(%) n(%) Akhir Pengamatan LTFU (N=88) Total n(%) n(%) 46 (51,7) 42 (48,3) 309(53,7) 266(46,3) 64 (73,6) 23(26,40) 472 (83,7) 92 (16,3) 46 (52,3) 42(47,7) 307 (53,4) 268(46,6) 44 (50) 44 (50) 298 (51,8) 277 (48,2) 5 (5,7) 27 (30,7) 56 (63,6) 122,5 (33-273,5) 51 (46,5-59) 13,8 (11,8-15,2) 43(7,5) 145 (25,2) 387 (67,3) 128(26-296,5) 55 (47-61) 13,7(12-15,1) 1 (1.1) 18 (20.4) 69 (78.4) 228 (50-325) 55 (48-61) 14,3 (11,5-15,3) 19 (3.3) 66 (11.5) 490 (85.22) 279(109,5-433) 57(50-65) 14,2(12,7-15,4) 27 (30,7) 8 (9,1) 53 (60,2) 246 (42,8) 42 (7,3) 287 (49,9) 37 (42) 16 (18,2) 35 (39,8) 330 (57,4) 54 (9,4) 191 (33,2) 30 (34,1) 58 (65,9) 284(49,4) 291(50,6) 41(46,6) 46 (52,3) 354 (61,6) 215 (37,4 ) 2 (2,3) 86 (97,7) 39 (6,8) 536 (93,2) 0 88 (100) 11 (2) 564 (98) - - 70 (79,5) 14 (16) 4 (4,5) 465 (80,8) 70 (12,2) 40 (7) - - 56 (82,3) 7 (10,3) 5 (7,4) 443 (93,5) 19 (4) 12 (2,5) *pengamatan dalam proses perawatan atau terapi Tabel 5.1.3 diatas menunjukkan bahwa odha yang menerima terapi di akhir pengamatan memiliki kondisi klinis yang lebih baik sesudah mendapatkan terapi ARV, dapat dilihat dari peningkatan persentase dan median pada berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium 1 dan 2, tidak ada infeksi oportunistik, status fungsional kerja, dan tidak ada TB. Odha dengan LTFU juga menunjukkan kondisi yang serupa bahwa pada akhir pengamatan lebih banyak yang memiliki status klinis 68 yang lebih baik dibandingkan awal pengobatan ARV kecuali pada stadium klinis bahwa mereka yang mengalami LTFU di awal pengamatan lebih banyak pada stadium 1 dan 2 (52,3%) dibandingkan stadium 3 dan 4 (47,7%) sedangkan pada akhir pengamatan keempat stadium menunjukkan presentase yang sama. Pengamatan secara keseluruhan menunjukkan terjadi peningkatan dalam penggunaan golongan NRTI Tenofovir dan NNRTI Efavirens. Odha yang mengalami LTFU di awal pengamatan lebih banyak mendapatkan terapi golongan NRTI Zidovudin (60,2%) sedangkan di akhir pengamatan lebih banyak pada mereka yang mendapatkan terapi NRTI Tenofovir (42%). Odha yang mengalami LTFU lebih banyak pada penggunaan golongan NNRTI Nevirapine di awal pengamatan (65,9%) dibandingkan di akhir pengamatan (52,3%). Selama proses terapi menunjukkan bahwa odha yang mengalami LTFU lebih banyak pada kondisi tidak pernah rawat inap dan tingkat kepatuhan > 95%. 5.2 Proporsi, Insiden rate dan Median Time LTFU Jumlah odha yang mengalami LTFU di RSUD Badung sebanyak 88 orang (15,3%) dan 487 orang (84,7%) tidak LTFU. Insiden rate LTFU di RSUD Badung adalah 11,6 per 100 person years (CI 9,5-14,4 per 100 person years) dengan 50% yang mengalami LTFU di tiga bulan pertama pengobatan ARV. Median time dalam penelitian ini belum dapat dihitung karena jumlah sampel yang mengalami event belum mencapai 50% dari total sampel yang diamati. LTFU time yang dapat dianalisis adalah interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,26 69 tahun pengobatan. Insiden LTFU jika dilihat lebih spesifik berdasarkan penerapan kebijakan bahwa pada kebijakan setelah tahun 2011 yang memulai terapi dengan CD4 ≤ 350 cell/mm3 adalah 17,2 per 100 person years, sementara pada penerapan kebijakan sebelum tahun 2011 yang memulai terapi dengan CD4 ≤ 200 cell/mm3 yaitu 7,6 per 100 person years. Survival time yang dapat dianalisis adalah interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,54 tahun pada penerapan kebijakan CD4 ≤ 200 cell/mm3. Grafik Kaplan Meier digunakan untuk menggambarkan LTFU sebagai berikut: Gambar 5.2.1 Kaplan-Meier Loss to Follow Up Analisis Kaplan Meier pada gambar 5.2.1 di atas menunjukkkan dari keseluruhan odha yang menerima terapi ARV, 25% berisiko untuk mengalami LTFU pada tiga tahun pertama terapi dan terlihat dari gambar kurva bahwa median time untuk pengamatan tidak tercapai. 70 Secara lebih spesifik median time untuk pengamatan LTFU ditunjukkan pada gambar 5.2.2. Kaplan-Meier Loss to Follow Up Gambar 5.2.2 Kaplan-Meier Median Time odha yang mengalami LTFU Grafik Kaplan-Meier pada gambar 5.2.2 menunjukkan median time pada odha yang mengalami LTFU adalah 0,22 tahun (IQR= 0,09-0,84). Kondisi ini menunjukkan bahwa dari 88 odha yang mengalami LTFU sebanyak 50% odha mengalami LTFU terjadi di tiga bulan pertama pengobatan. Grafik Kaplan-Meier gambar 5.2.3. digunakan untuk menggambarkan LTFU berdasarkan penerapan kebijakan CD4. 71 Sebelum tahun 2011 Setelah tahun 2011 Gambar 5.2.3 Grafik Kaplan Meier berdasarkan Kebijakan Terapi Grafik Kaplan Meier diatas menunjukkan bahwa perbedaan insiden rate antara kedua kebijakan terjadi di 0,5-1 tahun pengamatan dan selanjutnya pada pengamatan kebijakan setelah tahun 2011 lebih pendek dari kebijakan sebelum tahun 2011 sehingga masih diperlukan pengamatan yang lebih lanjut untuk memperoleh survival time dan insiden rate kejadian LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011. 5.3 Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha yang Menerima Terapi ARV Analisis bivariat dilakukan pada variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, status bekerja, status menikah, risiko penularan, pengawas minum obat (PMO), berat badan, infeksi oportunistik, stadium klinis WHO, status fungsional, CD4, kadar haemoglobin, jenis tempat layanan, kebijakan terapi, status TB, golongan NRTI dan NNRTI sebagai determinan LTFU. Analisis hubungan determinan tersebut ditentukan dengan nilai p, nilai HR dan 95% CI menggunakan Cox Proportional Hazard Regression. Hasil analisis bivariat disajikan dalam Tabel 5.3. 72 Tabel 5.3 Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up Karakteristik Rate LTFUper 100 PY Loss Rate 95% CI 2 3 4 1 Umur Jenis kelamin Pendidikan Status bekerja Status pernikahan Risiko penularan Risiko penularan PMO Berat badan Infeksi oportunistik Stadium klinis WHO Status fungsional Jumlah CD4 Hb Jenis tempat layanan Kebijakan Status TB Golongan NRTI Golongan NNRTI Perempuan Laki-Laki Pendiidkan tinggi Pendidikan rendah Tidak bekerja Bekerja Menikah Belum menikah Missing Homoseksual Heteroseksual (suami istri) IDU Homoseksual Heteroseksual (suami istri) Ya Tidak 28 60 72 16 26 62 16 54 18 30 56 2 30 56 38 50 17,0 10,2 11,2 14,3 8,2 14,2 4,4 15,7 39,1 19,9 9,9 5,4 19,9 9,9 7,8 18,4 11,7-24,6 7,9-13,1 8,8-14,1 8,8-23,4 5,6-12,1 11-18,2 2,7-7,2 12-20,5 24,6-62,1 13,9-28,5 7,6-12,8 1,3-21,5 13,9-28,5 7,6-12,8 5,7-10,8 13,9-24,3 Tidak Ya Stadium 1 & 2 Stadium 3&4 Baring Ambulatory Kerja 46 42 46 42 5 27 56 18,3 8,3 15,3 9,2 5,5 9,6 14,6 13,7-24,4 6,2-11,3 11,5-20,4 6,8-12,5 2,3-13,2 6.6-14.0 11.2-18.9 BMC RSUD Sebelum tahun 2011 Sesudah tahun 2011 TB Positif Suspect & Tidak TB Tenofovir (TDF) Stavudin (d4T) Zidovudine (AZT) Efavirenz (EFV ) Nelfinavir (NVP) 29 59 33 55 2 86 27 8 53 30 58 19,2 9,8 7,6 17,2 3,2 12.4 20,4 8,6 10 13,4 10,9 13,3-27,6 7,5-12,6 5,3-10,7 13,2-22,4 0,8-12,6 10.1-15.4 13,9-29,7 4,3-17,2 7,6-13,1 9,4-19,2 8,4-14,1 Crude HR 5 0,98 1,78 1,00 (reff) 1,00 (ref) 1,43 1,00 (ref) 1,24 1,00 (ref) 2,61 1,00 (ref) 0,84 0,55 1,00 (ref) 0,89 1,00 (ref) 1,57 0,98 1,00 (ref) 0,70 1,00 (ref) 0,84 1,00 (ref) 1,43 1,52 1,00 1.09 1,00 (ref) 0,91 1,00 (ref) 1,22 1,00 (ref) 3.54 1,00 (ref) 0,97 0,96 1,00 (ref) 1,26 Analisis Bivariat 95 % CI p 6 7 0,96-1,01 0,252 1,1-2,8 0,011* 0,83-2,45 0,198* 0,78-1,98 0,357 1,47-4,64 0,001* 0,53-1,35 0,13-2,34 0,479 0,419 0,54-1,38 0,638 1,01-2,45 0,96-1,002 0,045* 0,09* 0,45-1,09 0,119* 0,55-1,29 0,432 0,55-3,72 0,60-3,84 0,99-1,002 0,976-1,22 0,464 0,377 0,353 0,126* 0,57-1,5 0,704 0,74-2,00 0,425 0.87-14.4 0,077* 0,42-2,20 0,59-1,57 0,935 0,870 0,80-1,99 0,310 p (g) 8 0,625 0,638 0,674 0,987 *p-value < 0,25 Analisis bivariat dari 18 variabel pada awal pengamatan hanya tiga variabel yaitu jenis kelamin, status pernikahan dan pengawas minum obat (PMO) yang berhubungan secara statistik. Odha yang tidak memiliki pasangan berisiko 2,6 kali lebih besar mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan (HR=2,61; 73 95% CI 1,47-4,64, p=0,001). Perempuan 1,78 kali lebih beresiko untuk mengalami LTFU dibandingkan dengan laki-laki (HR=1,78; 95% CI 1,1-2,8; p=0,01). Odha yang tidak memiliki PMO 1,57 kali lebih berisiko dibandingkan dengan odha yang memiliki PMO (HR=1,57; 95% CI 1,01-2,45; p=0.045). Selanjutnya odha dengan status TB yaitu suspect TB dan tidak TB memiliki risiko 3,5 kali untuk LTFU namun secara statistik tidak menunjukkan kemaknaan (p=0.07). 5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha Analisis multivariat diperlukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang berhubungan pada analisis bivariat. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang memiliki nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, berat badan, infeksi oportunistik, kadar hemoglobin dan status TB. Sebelum melakukan analisis multivariat dilakukan uji kolinearitas untuk mengetahui adanya efek multikolinearitas. Kolinearitas dapat diketahui apabila terdapat variabel mempunyai angka koefisien korelasi lebih dari 0,6 (r>0,6), yang berarti ada korelasi yang kuat antar variabel (Sugiyono, 2011). Pada analisis ini tidak terdapat variabel yang mempunyai angka korelasi > 0,6 sehingga semua variabel kovariat yang memenuhi p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat dengan hasil tercantum pada lampiran 9. 74 Tabel 5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss To Follow Up Karakteristik Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pernikahan Menikah Belum menikah PMO Ya Tidak Berat badan Hb IO (infeksi opportunistik) Tidak Ya Status TB TB Positif Suspect&Tidak TB Adj.Haz.Ratio 95% CI p 1,95 1,00 (reff) 1,13-3,36 0,016* 1,00(ref) 1,19 0,52-2,68 0,668 1,00(ref) 3,04 1,69-5,47 0,001* 1,00(ref) 1,1 0,97 1,10 0,51-2,13 0,95-1,00 0,95-1,28 0.893 0,117 0,211 1,00(ref) 0,72 0,35-1.47 0,366 1,00(ref) 2,3 0,54-9,96 0,252 *p-value < 0,05 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang memenuhi syarat analisis multivariat dengan menggunakan metode backward diperoleh dua variabel yang berhubungan dan signifikan secara statistik.Variabel tersebut yaitu jenis kelamin dan status pernikahan. Odha yang tidak memiliki pasangan memiliki risiko 3,04 kali lebih besar untuk mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan (aHR=3,04; 95% CI 1,69-5,47; p=0,001). Perempuan lebih berisiko 1,95 kali untuk mengalami LTFU (aHR 1,95; 95% CI 1,13-3,36; p=0,016). 75 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Besaran Masalah LTFU Insiden rate odha yang mengalami LTFU dalam kurun waktu delapan tahun di RSUD Badung sebesar 11,6 per 100 person years. Insiden rate ini lebih tinggi dibandingkan dari penelitian sebelumnya di YKP yaitu 5,5 per 100 person years dalam kurun waktu 10 tahun (Widyantini, 2014). Perbedaan ini tejadi karena karakteristik odha dan layanan di kedua tempat layanan, dimana YKP sebagian besar pasiennya merupakan kelompok PS (pekerja seks) yang didukung dengan program outreach dan adanya kelompok dukungan sebaya. Klinik yang memiliki outreach cenderung memiliki LTFU yang rendah (Lamb et al., 2012). Insiden dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan data TAHOD yang mencakup 18 site di kawasan Asia Pasifik yaitu 21,4 per 100 PY, namun lebih tinggi jika dibandingkan dnegan negara di Asia Tenggara seperti India (7,1 per 100 PY) dan Vietnam (8,9 per 100 PY) (Zhou et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Tran et al., 2013). Demikian juga jika membandingkan dengan negara maju cenderung yang memiliki insiden yang lebih rendah seperti Perancis (4,3 per 100 person years) dan Eropa (3,272 per 100 person years) (Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008). Perbedaan ini juga disebabkan oleh cut off yang berbeda dalam mendefinisikan LTFU yaitu satu tahun dari kunjungan terakhir. Perbandingan dengan negara di Afrika dengan cut off yang sama (≥ tiga bulan dari kunjungan terakhir) bahwa temuan insiden rate dalam 75 76 penelitian ini lebih rendah yaitu 25,1 per 100 person years (Western Kenya) (Ochieng-Ooko et al., 2010), 51,1 per 100 person years (Guinea Bissau) (Hønge et al., 2013) dan 94,6 per 100 person years (Cameroon) (Bekolo et al., 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan median time secara keseluruhan tidak tercapai karena sampel yang mengalami LTFU belum mencapai 50% sampai akhir pengamatan. Pengamatan delapan tahun pada penelitian menemukan 25% sampel yang bertahan dalam pengobatan dalam jangka waktu 3,26 tahun sampai akhirnya LTFU. Penelitian ini juga menunjukkan waktu yang lebih cepat untuk terjadi LTFU dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan di YKP (25% IQR) yaitu 6 tahun dengan insiden yang lebih kecil (Widyantini, 2013). Sejalan dengan sebuah studi menyatakan beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan berhenti pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Melihat lebih spesifik pada kelompok yang mengalami LTFU bahwa median time LTFU yaitu tiga bulan artinya 50% kejadian LTFU terjadi pada tiga bulan pertama pengobatan. Sejalan dengan temuan pada penelitian lain menunjukkan bahwa LTFU banyak terjadi pada satu tahun pertama pengobatan baik pada tiga bulan dan enam bulan pertama pengobatan, WHO juga merekomendasikan persentase LTFU pada satu tahun pertama pengobatan sebagai indikator resistensi obat (Bennett et al., 2006; Odafe et al. 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Mugisha et al. 2014). Penelitian ini juga menemukan 9,21% (7/76) odha terdeteksi meninggal yang sebelumnya dinyatakan 77 LTFU tercantum pada lampiran 15 tabel 2. Systematic review terkait pelacakan kondisi odha yang mengalami LTFU menunjukkan estimasi kematian 6,6-10,5% (McMahon et al., 2013), sejalan dengan penelitian di Malawi menyatakan bahwa dari 253 kejadian LTFU, 58% terdeteksi meninggal terhitung sejak tiga bulan dari terakhir kunjungan (Yu et al., 2007). Risiko kematian tinggi pada odha yang mengalami LTFU yaitu 1,8 kali (aOR 1,8 95% CI 1,2-2,7) dan 20 kali (aHR, 22,03; 95% CI: 20,05-24,21) (Weigel et al., 2 0 1 1 ; Cornell et al., 2 0 1 4 ). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa estimasi LTFU yang tinggi juga mengindikasikan tingkat kematian yang tinggi (Brinkhof et al., 2009; Somi et al., 2012). Median time dalam penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian di Ethiopia yaitu 9 bulan (IQR 5-18 bulan) dalam pengamatan delapan tahun dengan insiden rate LTFU 8,8 per 1000 person month (Berheto et al., 2014) namun berbeda dengan median time di Prancis Utara 11 bulan (IQR 5-25) dengan insiden yang lebih rendah (Ndiaye et al., 2009). Hasil temuan yang berbeda dan bervariasi ini terjadi karena perbedaan definisi LTFU yang digunakan, karakteristik odha, tingkat kepatuhan dan socialekonomi negara. Systematic review menunjukkan bahwa socialekonomi negara diperkirakan memiliki trend yang positif dengan tingkat kepatuhan dalam terapi ARV walaupun hubungannya secara spesifik belum dapat dibuktikan (Peltzer & Pengpid, 2013). Hasil uji strata kondisi klinis odha yang mengalami LTFU di awal dan akhir pengamatan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah CD4, infeksi oportunistik, berat badan dan status fungsional yang dapat dilihat pada lampiran 13. 78 Namun kondisi klinis tidak selalu menjadi jaminan kepatuhan odha dalam terapi karena faktor prilaku dan individu memiliki peranan yang besar (Mbuagbaw et al., 2012; Perrett & Biley 2013). Temuan ini menjadi catatan untuk monitoring program pengobatan HIV ke depannnya bahwa pencegahan LTFU melalui konseling kepatuhan dan informasi pengobatan perlu dilakukan kembali terutama pada odha di tiga bulan pertama pengobatan sebagai masa kritis yang berpeluang terjadi LTFU. Melihat lebih spesifik insiden rate LTFU berdasarkan penerapan kebijakan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 (17,2 per 100 person years) memiliki insiden rate LTFU yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan sebelum tahun 2011 (7,6 per 100 person years) dengan risiko LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011 yaitu 2.26 kali (CI 1,44-3,59) lebih besar dibandingkan dengan kebijakan sebelum tahun 2011 dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0.001 dengan hasil terlampir pada lampiran 8 tabel 2. Temuan dalam penelitian ini melalui uji strata berdasarkan penerapan kebijakan menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna kondisi klinis di akhir pengamatan pada penerapan kebijakan setelah tahun 2011 yaitu ada tidaknya infeksi oportunistik, CD4 dan berat badan yang dapat dilihat pada lampiran 12. Sejalan dengan penelitian di Prancis oleh Ndiaye et al., bahwa rata-rata waktu ketahanan terapi odha yang memulai terapi dengan CD4 ≥ 350 sel/mm3 yaitu 10 bulan, lebih rendah dari odha yang memulai dengan CD4 < 200 sel/mm3 yaitu 24 bulan (Ndiaye et al., 2009). LTFU lebih tinggi pada odha yang memulai terapi dengan CD4 lebih besar dari 250 sel/mm3 karena alasan gejala klinis yang belum 79 dirasakan diawal pengobatan sehingga kepatuhannya juga menurun (Cohen et al., 2013). Temuan ini diperkuat dengan penelitian di Uganda menemukan median CD4 saat odha mengalami LTFU lebih tinggi (401 sel/mm3) dibandingkan ketika odha tersebut datang kembali setelah mengalami LTFU (median CD4 205 sel/mm3 p<0,0001)(Alamo et al., 2013). Demikian juga dengan penelitian oleh Gabillard et al., di Afrika (Benin, Burkina Faso, Cameroon, Cote d'Ivoire and Senegal) dan Asia (Kamboja dan Laos) bahwa insiden rate LTFU lebih tinggi pada CD4 201-350 sel/mm3 (Gabillard et al., 2014). Sebaliknya jika dikaitkan dengan harapan hidup, justru odha yang memulai terapi CD4 lebih rendah (≤ 200 sel/mm3) memiliki risiko kematian yang lebih besar (UNAIDS, 2013a). Sedangkan efektivitas dan ketahanan hidup odha yang memulai terapi ≤ 350 sel/mm3 lebih tinggi mencapai 87% (Walensky et al., 2010). Sejalan dengan penelitian oleh Fox et al. menemukan setiap kenaikan 10% CD4 dikaitkan dengan penurunan 2,8% kematian, dan justru memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi risiko kematian (Fox et al., 2013). Adanya temuan ini bukan berarti menyimpulkan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 lebih buruk melainkan menjawab bahwa LTFU masih menjadi tantangan dan dilema dalam pengobatan ARV sehingga diperlukan kontrol dan evaluasi kembali berupa pemberian informasi atau konseling kepatuhan terutama di tiga bulan pengobatan. Penelusuran insiden rate LTFU dan median time berdasarkan kebijakan terapi yang diterapkan di Indonesia menjadi penting karena dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan 80 evaluasi dari kebijakan yang telah diterapkan sehingga dapat berkontribusi pada perbaikan pemberian terapi ARV ke depannya. Temuan ini minimal dapat menjadi catatan untuk membantu memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi dari penerapan kebijakan tahun 2011 bahwa kedepannya upaya monitoring keberlanjutan terapi ARV pada odha lebih ditingkatkan. 6.2 Faktor yang Menentukan Loss to Follow Up Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan yang secara statistik berhubungan dengan LTFU adalah jenis kelamin dan status pernikahan. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami LTFU dalam penelitian ini. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami LTFU dalam penelitian ini 71,5% terjadi dalam tiga bulan sampai satu tahun pertama mulai ARV dapat dilihat pada lampiran 15. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian oleh Saka et al. bahwa perempuan 1,8 kali lebih besar mengalami LTFU dalam enam bulan pertama pengobatan (Saka et al., 2013). Beberapa penelitian lain konsisten menyebutkan laki-laki lebih beresiko mengalami LTFU (Evans et al., 2013; Mugisha et al., 2014; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013). Perempuan pada penelitian ini merupakan ibu rumah tangga dari populasi umum dan sebagian besar merupakan pasangan suami istri, dimana status HIV perempuan baru diketahui setelah laki-laki atau suaminya ditest HIV terlebih dahulu dan suami biasanya datang dalam kondisi klinis yang lebih buruk daripada istrinya. Kondisi ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa laki-laki heteroseksual 81 (dari pasangan suami istri) 83,18% memulai terapi pada stadium 3 dan 4. Kemungkinan perempuan lebih berisiko mengalami LTFU karena laki-laki yang lebih banyak mengalami kematian (86,84%) sehingga perempuan yang merupakan pasangannya kehilangan dukungan dalam pengobatan. Ketidak pedulian keluarga dan pasangan, pendidikan dan penghasilan yang rendah merupakan kondisi yang meningkatkan risiko LTFU pada perempuan (Panditrao et al., 2011). Depresi dan adanya efek samping obat menjadi penghambat perempuan untuk patuh dalam pengobatan (Mirjam-colette et al., 2010). Sebuah studi menyatakan bahwa perempuan (p<0,002) memiliki insiden 1,5 kali untuk tidak patuh dalam pengobatan ARV karena perbedaan biologis, peran ganda yang dimiliki, akses terbatas ke layanan kesehatan dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Bonolo et al., 2013). Kepatuhan yang rendah dalam pengobatan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami LTFU (Haile & Mekelle, 2014). Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang lebih beresiko mengalami LTFU memiliki hubungan signifikan dan berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai dengan uji strata berdasarkan jenis tempat layanan yang dapat dilihat pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Perempuan di Asia masih memiliki akses yang terbatas dalam pengobatan akibat ketidakadilan gender yang masih melekat (UNAIDS, 2013b).Beban kerja ganda pada perempuan rumah tangga di Bali membuat mereka memiliki sedikit waktu untuk pengobatan sehingga kemungkinan memiliki kontribusi terhadap kejadian LTFU, namun kondisi ini belum 82 dapat menjelaskan lebih lanjut keterkaitan perempuan dengan LTFU. Seluruh odha di BMC merupakan laki-laki dari kelompok LSL sedangkan RSUD Badung sebagian besar merupakan odha dari populasi umum. Faktor jenis tempat layanan kemungkinan berkontribusi terhadap hasil yang diperoleh namun tidak dapat dianalisis ke dalam model karena variabel ini menunjukkan tidak signifikan secara statistik dan uji korelasi menunjukkan variabel ini memiliki korelasi yang kuat (0,60,9) dengan delapan variabel lain yaitu status pernikahan, PMO, hemoglobin, infeksi oportunistik, risiko penularan HIV, stadium klinis, status fungsional, dan CD4. Odha dengan status belum menikah, janda dan duda dalam artian tidak memiliki pasangan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan juga menunjukkan status pernikahan berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasangan odha di RSUD Badung sekaligus merupakan PMO bagi mereka. Penelitian oleh Alvares et al. menemukan kondisi yang sama, dimana odha dengan status belum menikah dan bercerai lebih berisiko mengalami LTFU. Odha tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga mudah terpengaruh stigma dan hal negatif yang menjadi penghalang kepatuhan dalam terapi ARV (Merten et al., 2010; Alvarez-Uria et al., 2013). Peranan pasangan secara tidak langsung berhubungan dengan LTFU, dimana pasangan sebagai support mampu meningkatkan kepercayaan diri odha (Evangeli et al., 2014), kepedulian pasangan dan keluarga juga berperan penting dalam pola 83 pencarian pengobatan terutama pada perempuan (Myer et al., 2014), pada kelompok LSL juga menunjukkan bahwa mereka lebih patuh ketika didampingi oleh pasangan dibandingkan teman dan keluarga (Stumbo et al., 2013). Temuan ini juga didukung dengan studi yang menyatakan tingkat kepatuhan odha yang memiliki dukungan dari keluarga dan pasangan dua kali lebih besar (Ayele et al., 2010). Studi lain juga mendukung bahwa peranan pasangan dan keluarga sangat penting untuk memberikan dukungan psikologis dan sosial pada odha, dimana odha yang tidak memiliki pasangan hampir dua kali berisiko lebih tinggi mempunyai kondisi klinis yang lebih buruk (peningkatan stadium klinis WHO) dibandingkan pasien dengan status menikah (Abyu et al., 2014). Keluarga dan pasangan memainkan peran penting dalam mendukung pasien ART, mengingatkan mereka untuk minum obat, meningkatkan rasa sosial kepada orang lain sehingga kepatuhan mereka terhadap pengobatan meningkat (Weaver et al., 2014). Sesuai dengan teori adaptasi Roy pada odha bahwa untuk mencapai respons adaptif positif dan mengembalikan optimisme odha perlu melibatkan berbagai orang dan transformasi lingkungan (Perrett & Biley, 2013). Adanya dukungan dan keterlibatan dari pasangan dan keluarga menjamin keberlanjutan dari pengobatan (WHO, 2006). Peranan penting dari pasangan dan keluarga sebagai orang terdekat yang diharapkan memberikan dukungan dan perawatan (Kemenkes RI, 2011). Peranan pengawas minum obat sangat penting dalam keberlanjutan terapi pada odha dan meningkatkan penerimaan diri odha 84 melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007). Penelitian ini menunjukkan sebagian besar (66,39%) PMO merupakan pasangan dan keluarga odha namun dalam penelitian ini menunjukkan PMO tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan terhadap variabel PMO menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kedua jenis tempat layanan. Berbeda dengan studi sebelumnya di YKP menunjukkan PMO berperan dalam menurunkan risiko LTFU. Perbedaan hasil ini disebabkan karena faktor jenis tempat layanan dan karakteristik odha yang berbeda dimana odha di Klinik Bali Medika sebagian besar LSL tidak memiliki pasangan sebagai PMO namun dalam pengobatannya didukung support group dan reminder tools. Klinik ini memiliki reminder tools berupa email dan sms reminder yang menjadi pengingat bagi odha untuk waktu pengambilan obat sehingga kondisi ini membantu petugas dalam controling terapi odha dan melacak pasien yang mengalami LTFU. Implikasi terhadap program pengobatan selanjutnya yaitu perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut peranan pasangan terdekat sebagai pendukung pengobatan dan adanya monitoring terutama bagi odha yang tidak memiliki pasangan. Sejalan dengan penelitian di enam negara Afrika dan Karibia yang menunjukkan bahwa konseling (pasangan dan individual), peranan penjangkau atau relawan melakukan kunjungan rumah dan adanya supervisi dari petugas kesehatan langsung mampu menurunkan rata-rata kejadian LTFU hingga 13% (Etienne et al., 2010). Semakin kompleks dukungan kepatuhan yang diberikan maka risiko LTFU juga dapat diturunkan. 85 Penelitian ini menemukan bahwa umur tidak terbukti berhubungan dengan LTFU dimana pada analisa bivariat menyatakan setiap peningkatan umur satu tahun menurunkan risiko LTFU sebesar dua persen, sejalan dengan penelitian oleh Bekolo et al., bahwa umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena melihat dari tingkat kematangan emosi seseorang (Bekolo et al., 2013). Demikian pula peneliti menemukan hasil yang tidak signifikan pada jumlah CD4 maupun kebijakan terapi dengan dasar memulai terapi dengan CD4 ≤ 350 sel/mm3 dan ≤ 200 sel/mm3. Jumlah CD4 dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3 lebih beresiko mengalami LTFU (Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013 Mugisha et al., 2014). Namun beberapa penelitian menyatakan kondisi yang berbeda dimana odha dengan jumlah CD4 yang rendah (<100-200 sel/mm3) yang lebih beresiko mengalami LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al.,2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2013). Peningkatan CD4 menunjukkan kesehatan yang membaik, dalam masa ini perlu adanya kontrol dan konseling kembali terkait kepatuhan odha karena peluang untuk LTFU meningkat dengan kondisi yang semakin sehat (Ndiaye et al., 2009). Kondisi ini menunjukkan masih adanya temuan yang tidak konsisten terkait jumlah CD4 sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Secara deskriptif ditemukan tiga jenis infeksi oportunistik terbanyak yang diamati saat awal dan akhir pengamatan yaitu candida, PCP (pneumonia 86 pneumocystis) dan toxoplasmosis. Proporsi tertinggi odha yang mengalami infeksi oportunistik di awal pengamatan terdapat di Layanan VCT Sekar Jepun yaitu 96,24%, hasil tercantum pada tabel 2 (lampiran 7). Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Togo, Vietnam dan Nothwest Ethiopia dimana adanya infeksi oportunistik meningkatkan risiko LTFU karena adanya kemungkinan untuk mencari pengobatan alternatif lain (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa odha dengan ADI (aids defining illness) memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU karena masih merasa kurang sehat sehingga lebih rajin untuk datang ke klinik mendapatkan pengobatan (Lanoy et al., 2006; Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008; Ndiaye et al., 2009). Penelitian ini menunjukkan infeksi oportunistik tidak memiliki hubungan dengan LTFU demikian pula pada variabel lain seperti pendidikan, pekerjaan, PMO, risiko penularan HIV, jenis tempat layanan, kebijakan terapi, infeksi oportunistik, berat badan, kadar haemoglobin, status fungsional, stadium klinis, golongan NRTI, dan golongan NNRTI. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi klinis tidak terbuki berhubungan dengan LTFU sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk karakteristik klinis odha dikaitkan dengan LTFU karena masih ditemukan hasil yang tidak konsisten untuk semua karakteristik klinis tersebut. 87 6.3 Keterbatasan penelitian Keterbatasan penelitian ini dapat dilihat dari segi validitas internal dan eksternal. Keterbatasan penelitian secara internal yaitu tidak dapat mengkaji lebih lanjut seberapa besar peranan pasangan dalam mengantisipasi LTFU karena keterbatasan data prilaku dan sosial pada data sekunder. Penelitian ini juga terbatas untuk mengumpulkan data tentang faktor-faktor lain yang memiliki hubungan dengan kejadian LTFU, seperti informasi tentang prilaku pasien, dukungan dan kepedulian keluarga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Adanya kesalahan dalam pencatatan dengan menggunakan data sekunder. Keterbatasan juga terdapat pada variabel jenis infeksi oportunistik yang lebih spesifik untuk dikategori menjadi ADI dan non ADI sehingga tidak dapat menggambarkan LTFU berdasarkan klasifikasi ini. Pengamatan yang terlalu pendek untuk kebijakan setelah tahun 2011 keatas juga mempengaruhi hasil yang diperoleh sehingga perlu pengamatan yang lebih panjang untuk variabel ini. Melihat dari segi validitas eksterna bahwa hasil temuan terkait LTFU odha yang menerima terapi ARV hanya dilakukan pada satu RSUD di Provinsi Bali sehingga hasil ini belum bisa digeneralisir ke seluruh populasi target yaitu pada odha di seluruh Indonesia. Berbeda juga kondisinya jika diterapkan pada Kabupaten lain di Bali karena karakteristik RSUD Badung berbeda dengan kabupaten dimana RSUD Badung memiliki satelit layanan yang khusus memberikan layanan pada kelompok LSL. 88 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Insiden rate loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV adalah 11,6 per 100 person years. Median time menunjukkan 25% odha berisiko mengalami LTFU dalam periode waktu 3,26 tahun dimana dari 25% yang mengalami LTFU, sebagian besar terjadi dalam tiga bulan pertama terapi. Karakteristik sosiodemografi di awal terapi yaitu odha yang berjenis kelamin perempuan dan odha yang tidak memiliki pasangan terbukti sebagai determinaan LTFU pada odha yang menerima terapi ARV di RSUD Badung. Sedangkan karakteristik klinis (berat badan, kadar haemoglobin, status TB, infeksi oportunistik, status fungsional, stadium klinis, jumlah CD4, golongan regimen NRTI dan golongan regimen NNRTI), karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi), serta variabel lain seperti umur, pendidikan, keberadaaan pengawas minum obat, risiko penularan, dan pekerjaan tidak terbukti secara statistik sebagai determinan LTFU. 7.2 Saran 1. Pemegang Program Pertimbangan untuk peningkatan konseling kepatuhan kepada odha yang menerima terapi ARV terutama mereka yang tidak memiliki pasangan dan perempuan. Konseling kepatuhan secara individual, pasangan atau keluarga sebagai pendukung pengobatan perlu dilakukan secara kontinyu untuk mempertahankan 88 89 keberlanjutan pengobatan terutama odha dengan kondisi kesehatan yang mulai membaik. Pencatatan yang benar dan lengkap terkait alamat dan nomor telepon pasien serta pengkajian hubungan pasien dengan PMO merupakan bagian terpenting dari pencatatan untuk keperluan pelacakan untuk ketidak hadiran pasien saat jadwal kunjungan. Evaluasi dan monitoring terhadap pelacakan pasien yang mengalami LTFU sebaiknya tetap dilakukan untuk memperbaiki keberlanjutan program. 2. Penelitian selanjutnya Pengamatan kondisi LTFU dengan data primer dan penelitian kualitatif perlu dilakukan sehingga dapat tergali lebih dalam alasan LTFU dan mengetahui seberapa penting peranan dari pasangan untuk mengantisipasi LTFU, selain itu waktu pengamatan dengan data sekunder juga perlu ditambah untuk mengetahui keberhasilan terapi. Penelitian lebih lanjut untuk variabel yang berhubungan dengan LTFU perlu dilakukan kembali untuk melihat konsistensinya terutama pada populasi umum lainnya.