BAB I - Direktori File UPI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. MENGAPA KITA PERLU MENGETAHUI HENDAYA PERKEMBANGAN
ANAK?
Anak yang mempunyai hendaya perkembangan atau child with developmental
impairment (di Indonesia lazim disebut sebagai anak ―tunagrahita‖ atau ―mental
retardation”) dengan tingkat kelainan berat dan sangat berat (severely and profoundly
mental-retardation) secara nyata sangat memerlukan perhatian dan waktu yang penuh
dalam pemberian layanan pendidikannya. Bagi mereka yang tergolong mental retardation
yang mempunyai latar belakang hendaya berat dan sangat berat disebabkan oleh faktorfaktor kelelahan, emosional dan penderitaan atau kelaparan pada ibu hamil, maka
kecenderungan ketidakberfungsian sensori-integrasi atau dysfunction in sensory
integration secara bersamaan dapat diikuti dengan kemunculan hendaya lainnya.
Misalnya yang terjadi pada anak dengan hendaya spektrum autistik atau ASD (autistic
spectrum disorder) meliputi anak yang mempunyai hendaya-hendaya sebagai berikut di
bawah ini.
1. Autistic disorder (Autism)
2. Non-Autistic pervasive developmental delay (PDDs), meliputi:
a. Asperger’s syndrome,
b. Pervasive developmental Disorder Nos (Nos adalah not otherwise specified)
c. Fragile X syndrome,
d. Retts syndrome,
e. Childhood disintegrative disorder.
3. Attention deficit disorder with or without hyperactivity atau ADD or ADHD (Anak
yang mempunyai hendaya kekurangan perhatian diikuti dengan hiperaktif maupun
tidak)
4. Cerebral palsy.
5. Down syndrome.
1
6. Fetal alcohol syndrome (FAS).
7. Spina bifida.
8. Nonverbal learning disorder (NLD).
9. Bipolar disorder (Kranowitz, C.,S. 2002:5; Siegel, B. 1996:10-11).
Autism merupakan hendaya perkembangan atau developmental disorder,
kelainannya sangat mempengaruhi diri anak yang bersangkutan dalam berbagai aspek
lingkungan kehidupan dan pengalaman-pengalamannya.
Olehkarenanya tidaklah
mengherankan jikalau masyarakat mengenali sindrom autism sebagai
pervasive
developmental disorder (PDD).
Siegel (1996:9) memberikan gambaran secara rinci tentang hubungan yang sangat
erat diantara Asperger’s syndrom, fragile X syndrom, Rett syndrome, dan anak-anak
dengan hendaya disintegratif yang berada dalam kelompok hendaya perkembangan
pervasif (PDD). Hal ini menghindari salah pengertian diantara masyarakat (di luar para
peneliti) dalam mengenali ‖hendaya autistik‖ atau ‖autistic disorder‖ yang sebetulnya
merupakan istilah teknis bagi para psikolog sebagai ahli pengguna Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder ( edisi keempat atau DSM-IV). Dapatlah dikatakan
bahwa perlu adanya pemahaman dalam membedakan kata anak autistik atau autistic
disorder (autism) dengan pervasive developmental disorders yang dikenal dengan istilah
Autistic spectrum disoder.
Untuk lebih jelasnya, keberadaan dari anak dengan hendaya autistik atau autistic
disorder dengan kelainan-kelainan pada kelompok autistic spectrum disorder (ASD),
dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2, di bawah ini.
2
Gambar 1: The Pervasive Developmental Disorder: Autistic Spectrum Disorders
(Sumber: Siegel, B.,1996:10)
MENTAL RETARDATION
DEVELOP MENTAL
LANGUAGE DISORDER
PDD, NOS
AUTISTIC DISORDER
Asperger’s Syndrome
- CDD
- RETT
- FRA-X
- APDD
Gambar 2: Autistic Spectrum Disorder dan Hendaya Perkembangan Lainnya
(Sumber: Siegel, B. ,1996:11)
3
Diantara mereka yang tergolong sindrom autism dengan kelainan yang serius
semenjak usia dini, umumnya dapat ditandai dengan menunjukkan sikap-dirinya untuk
berusaha selalu menghindar dari setiap kontak-sosial, walaupun terhadap orang tuanya
sendiri. Penyandang kelainan sindrom semacam ini awalnya diketemukan oleh Leo
Kanner (1943; dalam Ward, A. J. 1970:350) disebut dengan early infantile autism atau
anak autistik usia dini.. Kata autism berasal dari bahasa Yunani Kuno atau Greek yang
berarti ―self‖ atau diri-sendiri, sehingga mereka berkecenderungan untuk hidup dalam
dunianya sendiri. Para peneliti beranggapan bahwa kehidupan dalam dunianya-sendiri
semacam ini akan berlangsung selama kehidupannya. Mereka secara nyata mempunyai
kesulitan untuk belajar berkomunikasi secara verbal dan non-verbal.
Banyak juga
diantara mereka suka menyakiti dirinya sendiri dan berperilaku sangat ekstrim yaitu suka
untuk melakukan kegiatan gerak yang sama selama berjam-jam setiap waktu atau
stereotype (Alloy, L.B. 2005:93).
Lebih lanjut Ward (1970: 350-362), menyatakan bahwa penyandang sindrom
autism usia dini (early infantile autism), dapat terdeteksi melalui suatu diagnosis khusus
oleh ahli medis atau psikolog semenjak usia mereka 30 bulan (APA, 1980). Karya tulis
Kanner (1943) memberikan definisi tentang kelainan autism usia dini sebagai tipe
‖kelainan psikis yang sampai kini tidak terungkapkan‖, yang tentunya harus dibedakan
dengan penyandang schizophrenia
masa kecil, dan juga dengan oligophrenia yang
mempunyai potensi intelektualnya lebih baik dibandingkan dengan penyandang sindrom
autism (Kanner dan Eisenberg 1956:557, dalam Delphie, B. 2006:12).
American Pshyciatric Association (APA, 2000) lebih jauh menyatakan bahwa
anak autistik merupakan ‖kelainan‖ yang sangat jarang ditemui karena kejadiannya hanya
4 sampai 5 diantara 10.000 kelahiran bayi (APA, 1980 dalam Delphie, B. 2006:1; Alloy,
L.B. 2000:493; APA, 2000 dalam Halgin, R.P. & Whitbourne,S.K., 2005: 374 ). Hasil
penelitian Wing dan Potter (2002), menyatakan bahwa tingkat privalensi anak autistik
berkisar 3,8 dari 10.000 anak-anak, dan tingkatan privalensi 60 dari 10.000 anak-anak
merupakan perkiraan bagi autistic-spectrum disorders (dalam Halgin & Whitbourne
2005:374).
4
Schizophrenia merupakan suatu hendaya dengan adanya gejala-gejala berkaitan
dengan gangguan psikis, cara berfikir, persepsi, perasaan diri, perilaku dan keberfungsian
kecerdasan interpersonal—disebut juga dengan kecerdasan diri (self smart) yang
mengarah kepada kemampuan untuk mengamati diri sendiri (self observation), proses
berfikir, refleksi diri dan intusi spiritual (Lazear, D. 2004:24). Gejala selanjutnya,
ditandai dengan karakeristik khusus berupa: ketidakberfungsian emosional dan kognitif
termasuk halusinasi dan khayalan, ketidakmampuan mengorganisir perilaku dan cara
berbicara, dan emosi yang tidak pada tempatnya, dan suka menghindarkan diri dari
kenyataan lingkungan (Duran, V.M. dan Barlow, D.H., 2006:471; The American
Heritage Dictionary, 1985:1098; Halgin,R.P. & Whitbourne,S.K., 2005:301). Sedangkan
oligophrenia atau mental deficiency, yaitu perkembangan intelektual di bawah re-rata
normal, disebabkan oleh adanya luka otak atau karena penyakit, dengan karakteristik
utama berupa hambatan belajar. Hambatan belajar ini sangat menghambat khususnya
dalam hal kemampuan sosial, vokasional dan kemampuan berbicara ( The American
Heritage Dictionary, 1985:786 dan 866).
Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembicaraan tentang sindrom autism banyak
berubah secara radikal. Sebelumnya, popularitas pembicaraan mengenai autism dimulai
sejak tahun 1950-an dan tahun 1960-an berkaitan dengan perspektif psikodinamika yang
memandang penyebab terjadinya autism diawali dengan adanya ‖penerimaan dingin‖ dan
‖tidak diterima kehadirannya‖ oleh orangtuanya (Bettelheim, 1967). Namun dewasa ini,
para peneliti lebih berfokus pada ketidakberfungsian otak. Mereka telah menemukan
bahwa faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebabnya antara lain sebagai berikut.
(1). Ketidakberfungsian sistem syaraf di otak,
(2). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perspektif kognitif, dan
(3). Beberapa penilaian lainnya berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap
dugaan adanya kerusakan-kerusakan secara fisik
(Dalam Alloy, L.B. et al. 2005: 497).
Di bawah ini dijelaskan beberapa perspektif terjadinya kelainan autistik sebagai bahan
pemikiran dalam pemberian bantuan dan layanan pendidikannya.
5
1. Perspektif Berdasarkan Neuroscience
Perspektif berdasarkan ilmu syaraf mengenai terjadinya kelainan autism dapat
dilihat dari hasil-hasil penelitian para ahli terdahulu yang menyatakan bahwa penyebab
kelainan autism antara lain: (a) hasil penelitian terhadap genetika, (b) hasil penelitian
terhadap kromosom, (c) hasil penelitian biokemikal, (d) hasil penelitian terhadap kelainan
bawaan, dan (e) hasil penelitian yang bersifat neurologis.
a. Penelitian Genetika
Penelitian awal terhadap penyebab sindrom autism adalah penelitian terhadap
genetika. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli medis dan psikolog semula ditujukan
pada anak dengan gangguan psikis atau schizophrenia dengan menggunakan Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder ( DSM- Edisi I hingga III dan DSM, edisi
keempat, dengan revisi teks).
Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi perbedaan
antara anak schizophrenic dengan anak autistik. Anak schizophrenic merupakan individu
yang hidupnya tidak konstan yang selalu ingin melawan disebabkan oleh ego-nya,
sedangkan anak autistik usia dini (early infantile autism) sangat sejalan dengan
kehidupannya karena adanya tingkah laku yang berfokus terhadap dirinya sendiri dan
adanya perilaku pengulangan gerak (repetitive) atau tingkah laku yang bersifat monoton
(stereotypic).
Lebih jauh, penyebab adanya kelainan sindroma autism dilakukan terhadap
pasangan-kembar atau bayi kembar yang dilakukan di Inggris, hasilnya menunjukkan
bukti-bukti sebagai berikut.
(1).Penelitian yang dilakukan terhadap 11 pasangan kembar monozygotic (M2) dan
pasangan kembar dari zygotic (D2) yang dilakukan oleh Folstein dan Rutter tahun
1977, telah diketemukan sedikitnya satu anak yang mengidap kelainan sindrom
autism. Sebelumnya didiagnosis tidak sebagai penyandang kelainan sindrom autism,
ternyata ia dipastikan sebagai anak yang mempunyai hendaya berbahasa dan kognisi.
(2).Penelitian terhadap tiga pasangan bayi-kembar telah diketemukan bukti bahwa
kecenderungan tingkat indeks sebagai autism adalah 50 persen untuk pasangan
kembar M2 dan nol persen untuk D2. Tingkat kecenderungan terhadap sindrom
autism tersebut secara pasti berpengaruh terhadap kelainan kognitif sebesar 86 persen
dan kelainan sosial sebesar 19 persen (Rutter, Mc Donald, Le Counter, et al., 1990).
6
(3).Penelitian berikutnya terhadap contoh pasangan-kembar, menunjukkan data
kecenderungan terhadap autism adalah 60 persen untuk M2 dan 10 persen untuk D2
(Bailey, Le Counter, Gottsman, et al., 1995).
(4). Penelitian yang telah dilakukan oleh negara-negara Nordic, menunjukkan bahwa
tingkat indeks dimungkinkan adanya penyandang kelainan sindrom autism pada
pasangan-kembar M2 sebesar 91 persen dan nol persen untuk D2. Pengaruh kelainan
terhadap hambatan kognitif secara pasti dinyatakan bahwa 91 persen untuk M2 dan
30 persen untuk D2 (Steffenburg, Gillberg, Hellgren, et al., 1989). Sedangkan pada
anak-anak dengan sindrom autism yang tidak kembar diketemukan bukti bahwa
kurang lebih tiga hingga tujuh persen mempunyai hendaya dalam kognitif dan sosial
(Bailey, Philips & Rutter, 1996).
(5). Penelitian terhadap pasangan-kembar pada penyandang kelainan sindrom autism
lainnya diketemukan bukti bahwa 12 persen dari pasangan-kembar autism
menunjukkan bukti adanya hendaya dalam interaksi-sosial. Jika dibandingkan antara
anak autistik dengan Down’s Syndrome, diketemukan data nol persen kelainan pada
interaksi-sosial (Bolton & Rutter, 1990).
(6).Penelitian berikutnya, tidak diketemukan perbedaan terhadap hambatan pada
masalah-masalah kognitif antara pasangan-kembar autism dengan Down’s Syndrome
maupun dengan anak yang mempunyai kelainan kurang-berat (Szatmari, Jones, Tuff,
et al., 1993).
(7).Sejauhmanapun komponen-komponen genetika berpengaruh terhadap sindrom
autism, namun terdapat perbedaan yang cukup berpengaruh pada beberapa
penyandang kelainan sindrom autism. Penelitian terhadap keluarga penyandang
autism pasangan-kembar, terdapat bukti yang menunjukkan adanya satu sebagai
penyandang autism dan satunya lagi dengan kelainan Down’s Syndrome. Maka
salah satu dari mereka dipastikan mempunyai kelainan pada tingkat yang lebih berat
atau profoundly (Baird, August, 1985).
(8). Penelitian lain memberikan bukti terhadap pasien dengan sindrom autism yang telah
menunjukkan tingkat keberfungsian sistem syaraf yang lebih baik, umumnya berasal
dari keluarga yang mempunyai kelainan psikis (De Long, 1992).
7
(9). Fakta lain, menunjukkan adanya hendaya afektif tiga kali lebih pada keluarga dari
anak-anak penyandang kelainan sindrom autism yang mengidap tuberious scelerosis
atau epilepsy (Bailey, Phillips & Rutter, 1996).
b. Hasil Penelitian Terhadap Kromosom
Fragile X syndrome dapat berpengaruh terhadap terjadinya tunagrahita, begitu
pula pada penyandang kelainan sindrom autism.
Ada dua penelitian yang telah
menunjukkan bukti bahwa tingkat prevalensi diantara orang tua yang mempunyai
anak autistik adalah 2,5 hingga 7 persen (Bailey, Phillips & Rutter, 1996; Hagerman,
1992).
Ketidaknormalan lain, seperti tuberious scelerosis dan anomalies pada
kromosom 15, dapat menjadi penyebab terjadinya penyandang kelainan sindrom
autism (Bailey, Phillips & Rutter, 1996).
Kasus-kasus berkaitan dengan autism
mempunyai kaitan dengan keluarbiasaan atau penyimpangan pada kromosomkromosom, kecuali pada kromosom nomor 14 (Gillberg & Coleman, 2000).
c. Hasil Penelitian Biokemikal
Fokus utama penelitian para ahli terhadap anak dengan sindrom autism, seperti
halnya pada anak schizophrenia, saat ini tertuju kepada pengaruh obat terhadap kekuatan
syaraf pemancar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri anak autistik
tidak diperlukan penggunaan serotonin dan dopamine dalam dosis tinggi, seperti dugaan
awal dari para ahli (Tsai & Ghaziudin, 1997).
Lebih lanjut, penelitian lainnya
menemukan bukti bahwa pada 30 anak penyandang autism telah kehabisan serotonin, dan
terjadinya kadar tingkat rendah pada dopamine (Chugani, Muzik, Behen, et al. 1999;
Ernst, Zametkin, Matochik, et al. 1997).
Apapun pengaruh dari serotonin dan dopamine dalam perkembangan anak
autistik, dua syaraf pemancar dimungkinkan hanya berpengaruh saat berlangsungnya
upaya-upaya penyembuhan.
Ketika anak autistik menerima obat stimulan seperti
amphetamines melalui peningkatan dopamine, maka gejala-gejala berkaitan dengan
hiperaktif, perilaku gerak yang berulang-ulang menjadi bertambah atau menjadi lebih
buruk dalam upaya menstimulasi dirinya (Young, Kavanagh, Anderson, et al., 1982
dalam Alloy, L.B., 2005:493).
Obat-obatan yang menghambat dophamine seperti phenothlazines dapat
mengurangi gejala-gejala autistik termasuk pada gejala-gejala gerakan-gerakan repetitif
8
dan pengrusakan diri (Campbell, Overall, Small, et al., 1989; Tsai 1992, dalam Alloy
L.B. 2005: 495). Penelitian dewasa ini yang telah dilakukan terhadap penggunaan
risperidone sebagai antipsikotik secara khusus terhadap 8-14 orang dewasa penyandang
autism menunjukkan bukti bahwa perilaku-perilaku repetitif, agresi dan masalah-masalah
perilaku lainnya dapat berkurang (McDougle, Homes, Carlson, et al., 1998 dalam Alloy,
L.B., 2005:495).
d. Kelainan Bawaan dan Komplikasi Kelahiran
Selagi faktor-faktor genetika berpengaruh dalam banyak kasus terjadinya sindrom
autism, faktor non-genetika dapat juga berpengaruh walaupun bukan merupakan faktor
utama. Beberapa kesulitan atau komplikasi kelahiran sering muncul menjadi penyebab
sindrom autism termasuk kelahiran sebelum waktunya, pendarahan saat pertama umur
kandungan mendekati tiga bulan, penggunaan obat-obatan selama mengandung, dan
munculnya ‖meconium‖ dalam cairan ‖aminiotic‖ (Gillberg & Coleman, 2000; Tsai,
1987 dalam Alloy, L.B., 2005: 498). Selanjutnya, Tsai dan Ghaziudin (1977 dalam
Alloy, L.B., 2005:498) menyatakan bahwa penyebab sindrom autism bisa juga
dikarenakan oleh adanya penyakit Rubella pada ibu hamil, fungsi kekebalan tubuh yang
lemah, mekanisasi ‖autoimune‖ , dan masalah-masalah berkaitan dengan kekebalan
tubuh. Namun dalam kebanyakan kasus terjadinya sindrom autism, kelainan bawaan dan
komplikasi kelahiran barangkali bukan merupakan kasus-kasus utama dari sebab
terjadinya hendaya sindrom autism.
Lebih jauh, kelainan bawaan sangat berkaitan
dengan faktor-faktor genetika.
e.Hasil Penelitian yang Bersifat Neurologis
Banyak peneliti berpendapat bahwa apapun yang terjadi pada kasus utama,
sindrom autism berasal dari luasnya defisit dalam otak, yang dapat digambarkan sebagai
berikut.
Pertama.
Kebanyakan tanda-tanda yang mengacu kepada karakteristik autism, antara lain adanya
hendaya atau hambatan dalam perkembangan bahasa, mereka yang tergolong pada
kelainan tunagrahita, perilaku ke-arah gerakan-gerakan yang ganjil, kegiatan-kegiatan
yang terjadi di luar semestinya dan sering dilakukan secara berlebihan terhadap masukan
atau rangsangan pada sensori, sangat responsif dalam gerak sentuhan sebagai upaya
9
melawan adanya rangsangan visual dan yang bersifat pendengaran. Kesemuanya itu
sangat erat dengan keberfungsian dari sistem syaraf pusat yang ada di otak.
Kedua
Diperkirakan sebesar 25 persen dari populasi anak-usia dewasa yang mengidap sindrom
autism mendapatkan peningkatan kelainan kejang-kejang yang berasal dari adanya
pengaruh sistem syaraf pusat (Alloy, et al., 2005:498).
Ketiga
Penelitian dan uji coba terhadap neurologis pada anak-anak dengan sindrom autism
terkadang mengacu kepada ketidaknormalan seperti: (a) terjadi kekuatan otot yang
rendah, (b) rendahnya koordinasi, (c) suka mengeluarkan air liur, (d) dan berperilaku
hiperaktif.
Keempat
Alur terjadinya sindrom autism umumnya berkaitan dengan‖neuro-physiology‖ atau
fisiologi syaraf. Dikenal adanya dua tipe penelitian, yaitu penelitian berkaitan dengan
penggunaan electroencephalogram (EEG) dan ERP (event-related potentials).
Electroencephalogram dari seseorang dengan kelainan autism pada umumnya sangat sulit
untuk diperoleh karena hasil tes baru dapat diperoleh bila adanya kerja sama dengan yang
bersangkutan. Dalam penelitian Minshew (1991 dalam Alloy, L.B., 2005:498) ternyata
menghasilkan data yang menyatakan bahwa 50 persen dari penyandang autism
menunjukkan adanya ketidaknormalan EEG. Hasil penelitian lanjutan pada dewasa ini
oleh Dawson, Klinger, Panagiotides, dan kawan-kawan (1995), menyatakan bahwa anak
dengan sindrom autism menunjukkan tendensi adanya penurunan kegiatan EEG pada sisi
‖frontal‖ dan ‖temporal region‖ dari otak, jika dibandingkan dengan anak-anak pada
umumnya (dalam Alloy, L.B., 2005:498). Begitu pula penelitian lainnya yang dilakukan
oleh Rossi, Parmeggian, Bach, dan kawan-kawan (1995), menunjukkan bahwa 23,6
persen dari 106 responden-pasien dengan kelainan autistik diketahui adanya
ketidaknormalan pada EEG, dan 18,9 persen ternyata mempunyai kelainan kejang-kejang
secara klinis.
Penelitian dengan menggunakan ERP atau event-related
potentials yang dilakukan
terhadap getaran-getaran otak telah menujukkan pola-pola reaksi terhadap rangsangan
berbagai sensori.
Ini berarti bahwa pada penyandang sindrom autism menunjukkan
10
adanya ketidaknormalan atensi terhadap rangsangan-rangsangan terhadap bahasa maupun
rangsangan-rangsangan baru.
Penelitian dengan EEG maupun ERP ternyata menunjukkan data secara jelas bahwa
hendaya yang bersifat neurologis terjadi pada seseorang dengan kelainan sindrom autism.
Kelima
Autopsi terhadap otak manusia pada penyandang sindrom autism telah menunjukkan
bukti adanya ketidaknormalan yang terjadi pada ‖cerebellum‖ dan pada sistem ‖limbic‖.
Ketidaknormalan ini dapat berpengaruh pada kemampuan kognisi, emosi, dan perilaku
seseorang, khususnya syaraf pada sistem limbic menjadi lebih mengecil dan lebih
kencang.
Dalam beberapa bagian, ‖denditres‖ lebih pendek dan kurang kompleks.
Dendrites merupakan cabang-cabang yang dapat menerima tanda-tanda dengan daerah
syaraf yang berdekatan.
Terakhir
Beberapa peneliti telah menemukan adanya megalencephaly , yaitu ukuran otak yang
besarnya melebihi kenormalan, yang banyak terjadi pada individu yang mempunyai
sindrom autism (Bailey, Luthert, Dean, et al., 1998 dan Kemper & Bauman, 1998 dalam
Alloy, L.B., 2005:499). Dewasa ini para ahli dalam penelitiannya telah menggunakan
teknik-teknik penggambaran otak, seperti MRI (magnetic resonance imaging) dan PET
scans, untuk meningkatkan hipotesa baru tentang terjadinya autism.
2. Perspektif Kognitif
Tidak seorangpun dapat menolak pernayataan yang berbunyi bahwa anak dengan
sindrom autism mempunyai masalah yang dapat mempengaruhi kapasitasnya untuk
meniru dan memahami, menjadi luwes dan berdaya cipta, memahami dan dapat
menerapkan aturan-aturan, dan dapat menggunakan informasi-informasi yang datang dari
lingkungannya. Dengan kata lain, bahwa anak autistik tidak mampu untuk mengatasi
lingkungan dalam kehidupannya.
Teori-teori kognitif berpendapat bahwa masalah-masalah kognitif pada anak
dengan sindrom autism merupakan hal yang pokok dan penyebab terjadinya
permasalahan sosial pada diri anak autistik (Rutter, Bailey, et al., 1994 dalam Alloy,
L.B., 2005:499). Hasil penemuan penelitian dewasa ini lebih terfokuskan pada empat
11
area fungsi kognitif.
Keempat area tersebut adalah: (1) fungsi eksekutif, (2)
pengkategorian dan daya ingat, (3) pemahaman sosial, dan (4) teori berfikir.
Fungsi eksekutif
Para ahli banyak memberikan pendapat mereka, yang menyatakan bahwa seseorang
dengan sindrom autism mempunyai hambatan yang cukup besar dalam melakukan
pemecahan masalah, mengambil inisiatif dalam perencanaan, melakukan kontrol terhadap
gerak-hati, mempertahankan perhatian, melakukan kontrol terhadap penampilan perilaku,
dan berperilaku tidak pantas yang dapat menghambat dirinya sendiri (Ozonoff, 1995
dalam Alloy, et al., 2005:499).
Penelitian lainnya, menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism secara konsisten
menunjukkan adanya kekurangan dalam berbagai fungsi pelaksana atau eksekutif yang
melaksanakan tugas-tugas penilaian perubahan dan perencanaan, disamping itu anak
penyandang sindrom autism lebih banyak membuat kesalahan-kesalahan ‖perseverative‖
– yaitu penggunaan secara spontan terhadap: fikiran, hayalan, anak kalimat, waktu dalam
benaknya dibandingkan dengan anak penyandang ADHD (Wenar & Kerig, 2006:149).
Penelitian yang telah dilakukan terhadap pengintegrasian daya ingat telah menunjukkan
bukti bahwa seseorang dengan sindrom autism juga mempunyai kesulitan dalam
pembentukan konsep-konsep baru dan mendapat kesulitan pada saat dirinya berupaya
untuk memahami informasi baru berdasarkan konsep-konsep yang baru ia peroleh
tersebut. Secara khusus, anak dengan sindrom autism mempunyai kesulitan dalam
membentuk prototipe suatu benda atau objek sehingga dirinya bertendensi ke arah tidak
memenuhi aturan-aturan.
Seperti halnya orang-orang amnesia, orang-orang dengan
sindrom autism berkecenderungan ke arah defisit daya ingatan untuk jangka pendek
maupun jangka panjang.
Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan oleh adanya
ketidakberfungsian dalam amygdala dan hippo campus (Bachevalier, 1994; De Long,
1992; Klinger & Dawson, 1996 dalam Alloy, L.B., 2000:499).
Pemahaman sosial
Pemahaman sosial dari anak-anak yang mempunyai sindrom autism terhambat
disebabkan mereka dalam kehidupannya tidak menaruh perhatian sama sekali pada tandatanda emosional dan perhatian orang lain yang ada di sekeliling mereka. Jadi dapat
dikatakan bahwa terjadi ketidakmampuan yang cukup parah terhadap pemahaman akan
12
tanda-tanda atau isyarat tubuh seperti apa yang telah dilihat atau diarahkan. Mereka juga
mempunyai permasalahan dalam memahami emosi serta ekspresi wajah orang lain di
sekitarnya (Hobson, 1993; Sigman,1995 dalam Alloy L.B., 2005:499).
Terakhir: Hipotesa Kognitif
Permasalahan yang mendasar pada anak dengan sindrom autism adalah ‖ia tidak
mempunyai teori berfikir‖. – sepertinya mereka tidak memahami akan keberadaannya
berkaitan dengan keadaan mental sebenarnya, seperti perilaku untuk ‖percaya‖ atau
pernyataan ‖hasratnya‖. Olehkarenanya ia tidak dapat memperkirakan dan memahami
bentuk tindakan dirinya untuk berperilaku sesuai dengan keadaan mental sebenarnya.
Hal tersebut dapat dibuktikan dalam salah satu penelitian terhadap anak normal dan anak
dengan sindrom autism saat diberikan tugas-tugas berkaitan dengan dua boneka mainan.
Nama-nama anak responden itu adalah Sally dan Anna. Ilustrasinya sebagai berikut ini.
Sally telah melihat ada dua keranjang berwarna merah dan biru serta boneka mainan. Ia
meletakkan boneka mainan tersebut dalam keranjang merah, kemudian ia pergi. Ketika
Sally pergi, Anne mengeluarkan boneka mainan dari keranjang merah itu, dan kemudian
menyembunyikannya di keranjang lainnya yang berwarna biru. Ketika Sally kembali,
anak lain menanyakan kepada Sally untuk mencari dimana boneka mainan tersebut.
Lebih lanjut, dalam penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa lebih dari 80 persen
anak dengan sindrom autism dari seluruh responden mampu menjawab ‖dalam
keranjang‖, hanya 20 persen saja dari mereka menjawab dengan benar, yaitu ‖dalam
keranjang biru‖.
Ini berarti bawa anak dengan sindrom autism bukan tidak dapat mengingat, tetapi mereka
tidak mampu melihat lebih teliti terhadap tindakan apa yang telah dilakukan orang lain.
(Adaptasi dari Alloy,L.B., 2005:499).
Ketiadaan keterampilan kritis semacam ilustrasi tersebut di atas, berkontribusi
terhadap isolasi- sosial dari anak dengan sindrom autism. Anak dengan sindrom autism
selalu berubah-ubah dalam mencapai kesuksesan berkaitan dengan tugas-tugas yang
berhubungan dengan teori belajar.
Sedangkan bagi anak normal kesuksesan dalam
mencapai teori belajar dapat berkembang semenjak usia 18 bulan. Oleh karenanya,
sekitar 20 persen dari kasus-kasus berkaitan dengan hendaya sindrom autism disebabkan
oleh ketidakmampuan berfikir.
Fein dan Waterhouse (1990), menyarankan bahwa
pemaparan ‖teori berfikir‖ mungkin dapat diterapkan pada sebagian kelompok anak saja
-- sehingga mereka ini dapat berkembang menjadi normal – tetapi sulit sekali untuk
13
diterapkan pada anak dengan sindrom autism yang sejak awalnya mempunyai
perkembangan sosial yang abnormal (dalam Alloy,L.B., 2005:499).
Menurut Wenar dan Kerig (2006:150) bahwa ‖mind-blindness‖ sering terjadi
pada anak penyandang autistic spectrum disorder dan merupakan salah satu kekurangan
kemampuan yang cukup tinggi. Dimaksudkan dengan mind-blindness adalah kelangkaan
dalam memahami keadaan psikis terhadap diri-sendiri atau orang lain. Istilah lain untuk
ini adalah ‖theory of mind‖. Disebut dengan teori disebabkan oleh pendapat bahwa
ketika kita tidak dapat merasakan, mencium, atau mengamati langsung pikiran kita
terhadap orang lain, kita percaya mereka mempunyainya. Tes ―theory of mind‖ disebut
juga dengan istilah ‖a false belief task‖. Dalam tes ini anak yang bersangkutan disuruh
melakukan dugaan tentang apa yang diketahui seseorang dan apa yang tidak diketahui,
serta meramalkan tindakan perilaku yang sesuai.
Pada anak dengan kelainan sindrom autism berdasarkan hasil penelitian melalui
tes tersebut ternyata bahwa ia tidak mampu melakukan tugas yang diberikan dalam tes
tersebut, tanpa memandang seberapa tingginya kemampuan inteligensinya. Implikasi dari
kelangkaan theory of mind pada penyandang sindrom autism akan berpengaruh sangat
dalam terhadap: (a) hubungan sosial dan perkembangan bahasa, seperti ditampakkan
pada perilaku dirinya yang kurang memahami minat dan motivasi dalam berbagai
pengalaman dengan orang lain, (b) perkembangan emosional, antara lain: kurangnya
pemahaman terhadap persesuaian antara perasaan yang ada di dalam diri dengan ekspresi
pura-pura, (c) kemampuan berkomunikasi, antara lain: kesulitan untuk dapat
menyesuaikan pandangan-fikirannya dengan orang lain yang diajak berbicara (Wenar dan
Kerig, 2006:151).
Pada sisi lainnya, bukti-bukti hasil penelitian menyatakan bahwa ‖theory of
Mind‖ banyak berguna dalam melakukan hipotesis terhadap sindrom autism. Namun,
Tager-Fulsberg (2001 dalam Wenar dan Kerig, 2006: 153), menyatakan bahwa ada
beberapa bentuk kelainan yang belum dapat dijelaskan melalui model ‖Theory of Mind‖
atau teori berfikir, sebagai contohnya: perilaku repetitif (atau perilaku tertentu yang
dilakukan berulang-ulang), perilaku stereotipe dan minat yang terbatas, serta
keterampilan visual-spatial yang tinggi. Jadi, dalam hal ini masih belum jelas hubungan
14
antara perilaku repetitif, stereotipe, dan keterampilan visual-spatial dengan teori berfikir
karena dalam tes teori berfikir tidak mencantumkan ketiga perilaku itu
Penelitian lain, ternyata dapat memberi bukti-bukti yang menyatakan bahwa anak
dengan sindrom autism mempunyai kemampuan memecahkan masalah berkaitan dengan
teori berfikir yang ada kaitannya dengan kemampuan verbalnya, seperti yang dinyatakan
oleh hasil penelitian dari Yirmira, Solomonica-Levi, Schulman, dan kawan-kawan (1996
dalam Alloy, L.B., 2005:500). Hasil penelitian terakhir oleh Ozonoff & Miller (1995
dalam Alloy, L.B., 2005:500), menunjukkan beberapa bukti lagi dimana kemampuan
memecahkan masalah semacam tersebut di atas dapat diajarkan kepada anak dengan
sindrom autism yang kemampuan inteligensinya pada batas normal. Perlu diketahui
bahwa meskipun penjelasan teori berfikir merupakan hal yang sangat menarik, namun
secara psikologis, bagi anak dengan sindrom autism dalam penerapan tes yang ada pada
model teori berfikir tersebut hendaknya diikuti dengan model-model lainnya yang
bersifat etiologis dan biologis agar dapat menjelaskan mengapa teori berfikir terjadi
dalam urutan pertama.
Dalam perkembangan kognitifnya, anak-anak dengan sindrom autism mempunyai
tingkat inteligensi yang bervariasi. Di awali dengan tingkat re-rata sama dengan anak
tunagrahita berat.
Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian kita semua bahwa
pengukuran tingkat inteligensi melalui tes-tes yang akan menghasilkan skor intelligence
quotient atau IQ akan tidak berhasil karena tes ukur tersebut tidak peka sebagai alat ukur
dalam mengukur bentuk-bentuk non-standar inteligensi, seperti perilaku dan masalahmasalah berkaitan dengan perkembangan sensori-integrasi yang ada di otak (Firth, 2003
dalam Wenar dan Kerig, 2006:138). Di sisi lainnya secara kontras, anak-anak
penyandang asperger’s disorder mempunyai re-rata kemampuan kognitif yang lebih
unggul dari pada penyandang kelainan sindrom autism. Oleh karenanya perhatian kita
terhadap data kemampuan inteligensi untuk penyandang sindrom autism tidak dapat
diterima secara akurat. Sebagai contoh, seorang anak savant atau terpelajar dengan dayaingat
yang
luar
biasa
yang
mampu
mengingat
dan menceriterakan jadwal
pemberangkatan bus di setiap perjalanan di suatu kota besar, namun ternyata masih
mempunyai kesulitan untuk menemukan tempat pemberhentian bus, juga saat
bernegosiasi dalam membeli karcis perjalananannya dengan kondektur bus.
15
Sekalipun inteligensi itu utuh, pada anak-anak penyandang sindrom autistic
spectrum disorder masih berkecenderungan menunjukkan angka skor dengan pola-pola
khusus yang menunjukkan adanya tingkat kemampuan berbeda. Secara umum, tingkat
skor hasil asesmen terhadap social reasoning pada anak penyandang sindrom autism
masih dalam tingkatan rendah.
Hal iu terjadi pada hasil-hasil asesmen pada tes
pemahaman (comprehension) dalam Wechsler Intelligence Scale for Children yang
menanyakan tentang bagaimana caranya jika yang bersangkutan kehilangan dompet yang
berisi uangnya.
Secara kontras, anak penyandang kelainan sindrom autism menunjukkan nilai
baik dalam tes-tes berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas yang erat hubungannya
dengan alasan-alasan tertentu pada suatu benda-benda nyata (concrete object).
Tes
seperti ini antara lain adalah bentuk tes block design yang memerlukan kemampuan
memecahkan masalah pada teka-teki visual (Firth, 2003 dalam Wenar dan Kerig,
2006:133).
Sesuatu yang menarik dalam perbedaan kemampuan kognitif antara anak-anak
yang mempunyai kelainan khusus dengan anak-anak penyandang autistic spectrum
disorder adalah saat mereka menggunakan konteks-konteks untuk memecahkan masalah.
Umumnya, seseorang baru dapat menemukan cara penggunaan yang benar dalam
memecahkan permasalahan dalam konteks nyata. Contohnya, dalam memecahkan suatu
persamaan penghitungan lima dan empat ke dalam permasalahan kata (misalnya, jika
kamu mempunyai uang lima rupiah dan kemudian ditambah dengan empat rupiah
berapakah uang yang kamu punyai sekarang?).
Sangat nyata sekali dan seringkali terjadi bahwa pada anak penyandang sindrom
autism tidak ditemui faktor keuntungan dari adanya informasi kontekstual.
Namun
kenyataannya, anak penyandang sindrom autism lebih mampu dibandingkan dengan
teman mainnya saat melaksanakan tugas-tugas yang mengacuhkan konteks. Misalnya,
saat mereka menyelesaikan suatu kegiatan berupa tugas menyimpan atau membuat
gambar yang harus diselesaikan dalam bentuk geometrik yang kompleks. Di sisi lain,
pada anak-anak dengan perkembangan khusus lainnya akan mendapatkan kesulitan untuk
melakukan tugas-tugas kegiatan berkaitan dengan mengacuhkan konteks dalam upaya
16
mengambil suatu objek, sedangkan untuk hal semacam ini bagi anak autistik dapat
melakukannya dengan baik.
Data tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi perbedaan-perbedaan dalam
berfikir anak penyandang sindrom autism, tidak berarti bahwa hal tersebut dapat
menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Karakteristik berfikir anak autistik yang
memfokuskan pada bagian-bagian kecil (secara rinci) dan mengacuhkan atau
mengabaikan bentuk gambar secara keseluruhan, merupakan istilah: a lack of central
coherence (Firth, 2003 dalam Wenar dan Kerig, 2006:134).
3. Kelompok yang Mempunyai Resiko Menjadi Autism
Status sosial ekonomi dan latar belakang budaya etnik bukan merupakan faktor
yang mengandung resiko terjadinya autism, artinya privalensi autism tidak berkaitan
dengan tingkat kelas sosial tertentu atau etnik tertentu -- pada penelitian-penelitian
terdahulu dinyatakan bahwa sindrom autism sering terjadi pada keluarga dengan tingkat
sosial yang tinggi (Wenar , C. & Kerig, P, 2006: 131). Gender merupakan faktor resiko
yang paling signifikan.
Oleh karenanya perbandingan yang terkena resiko sindrom
autism antara laki-laki dan perempun mempunyai perbandingan tiga atau empat laki-laki
berbanding satu perempuan (Alloy,L.B. 2005:500; Wenar,C. & Kerig,P.,2006:131).
Menurut Wing, L. (1991) rasio anak laki-laki terhadap anak perempuan perbandingannya
berkisar dua berbanding satu (dalam Wenar, C & Kerig, P., 2006:132).
Dari hasil penelitian lain ternyata resiko terjadinya ketunagrahitaan sama dengan
anak dengan sindrom autism. Secara khusus, perempuan yang menyandang sindrom
autism umumnya tingkat kelainannya lebih berat jika dibandingkan dengan laki-laki yang
menyandang kelainan sindrom autism. Bagi perempuan penyandang autism yang tidak
mempunyai kelainan penyerta-tunagrahita
mempunyai masalah sedikit lebih berat
dibandingkan dengan laki-laki penyandang sindrom autism yang tidak mempunyai
kelainan penyerta-tunagrahita (Klin & Volkenar, 1999 dalam Alloy, L.B., 2005:500).
Faktor resiko lain bagi terjadinya sindrom autism adalah kemunculan suatu
kelainan pada anak-kembar. Menurut Gillberg dan Colemen (2000 dalam Alloy, L.B.,
2005:500) pada pasangan anak-kembar prevalensi autism diperkirakan antara dua hingga
lima persen.
Tingkat resiko ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyandang
17
sindrom autism pasangan-kembar monozygote, tetapi tidak pada pasangan-kembar
dizygote (Hodapp & Dykens, 1996; Klinger & Dawson, 1996; Szymanski & Kaplan,
1997 dalam Alloy, L.B., 2005: 500).
B. HENDAYA-HENDAYA PADA ANAK DI LUAR KEWAJARAN
Seperti yang telah disampaikan pada kata pengantar bahwa anak di luar kewajaran
merupakan istilah lain terhadap anak autistik yang mempunyai gejala-gejala autistik.
Gejala-gejala kelainannya sangat erat kaitannya dengan isolasi sosial (social isolation),
hendaya perkembangan fungsional (mental retardation), ketidakmampuan berbahasa
(language deficits), dan suka berperilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan
stereotipe (repetitive and stereotype).
1. Isolasi Sosial
Coleman (1989:1 dalam Alloy, 2005:493) menggambarkan tentang anak
penyandang sindrom autism seperti di bawah ini.
Ia secara diam-diam sering berjalan jinjit saat memasuki ruang tunggu keluarga.
Pandangan matanya atau tatapannya selalu dipalingkan jika bertemu pandang dengan orang lain.
Boneka mainan kesukaannya selalu ia pegang dan diputar-putarkan dari waktu ke waktu. Ketika
sesorang mulai menaruh perhatian dan memperhatikannya, ia selalu berusaha menghindarkan diri,
khususnya saat tangan anda hendak menyentuh kepalanya. Pandangan matanya selalu diarahkan
ke luar jendela ketika diketahuinya ada seseorang berada di dekatnya. Ia terlihat selalu ingin
menyendiri secara total, dan hidup dengan ’dunianya sendiri’ secara sendirian .
Hal yang umum diketahui pada anak yang telah didiagnosis sebagai
penyandang sindrom autism adalah bahwa yang bersangkutan mempunyai
hendaya perilaku sosial (Rapin, 1991; Waterhouse, 1994; Mesibov, Adam,S. Dan
Klinger, 1997 dalam Alloy,L,B., 2005:494). Anak penyandang sindrom autism
kebanyakan menghindarkan diri dari hubungan sosial dan berkecenderungan ke
arah ‖ hidup dalam kesendirian secara ekstrim‖. Pada saat bayi, secara nyata ia
tidak tertarik kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Sulit untuk dapat
digendong karena secara tiba-tiba ia menjadi tegang atau kaku.
Terkadang
menjadi lemah-lunglai, saat ibunya akan mengambilnya dari pembaringan
sewaktu akan digendong atau ditimang-timang.
18
Saat menginjak usia lebih dewasa perasaan takut untuk berhubungan
dengan orang lain menjadi parah. Tingkatan isolasi-sosial penyandang sindrom
autism sangat bervariasi. Kebanyakan penyandang sindrom autism yang usianya
mendekati remaja akan berperilaku mengarah kepada sifat ketergantungan kepada
ibunya, dicirikan dengan suka berpegangan secara erat pada ibunya ketika ada
orang asing muncul didekatnya (Copps, Sigman & Mundy, 1994; Sigman &
Mundy, 1989 dalam Alloy,L.B., 2005: 495). Walaupun isolasi-sosial nampaknya
ekstrim, namun tidak diartikan bahwa penyandang sindrom autism tidak
menunjukkan perasaan emosionalnya.
Yang bersangkutan dapat mengamuk,
panik atau menangis.
Lorna Wing (1972:24), menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism
mempunyai kesulitan berperilaku dan bermasalah dalam emosionalnya. Hal itu
disebabkan karena ia kurang mampu memahami dirinya terhadap lingkungan
yang ada di sekelilingnya, dan hal ini merupakan penyebab utama dari kelainansosial yang disandangnya. Kelainan sosialnya tersebut adalah: (a) berperilaku
suka menyendiri (a loofness and social withdrawal), (b) berperilaku pasif
(passive), dan (c) terkadang suka berperilaku aktif tetapi dilakukan dengan aneh
(active but odd ).
Perilaku suka menyendiri atau a loofness and social withdrawal bagi
kebanyakan anak dengan sindrom autism usia muda dimaksudkan bahwa yang
bersangkutan jarang melakukan pendekatan sosial secara spontan, kecuali yang
bersangkutan ‖ada maunya‖ atau sedang memerlukan suatu bantuan dari orang
lain. Namun anehnya, ia selalu menolak jika ada upaya-upaya pendekatan atau
bantuan dari orang-orang yang ada di sekelilingya. Perilaku yang sering nampak
antara lain: bila ia dipanggil namanya tetapi ia tidak pernah menyahut, tidak
pernah mendengarkan apabila ada orang yang berbicara dengannya, tidak adanya
ekspresi-wajah atau terlihat bahwa wajahnya tidak menunjukkan adanya ekspresi
tertentu, tidak pernah melihat wajah seseorang secara langsung, ia akan menarik
tangannya bila anda menyentuh tangannya, ia akan berjalan melewati anda tanpa
permisi terkadang anda diloncati jika anda duduk menghalangi jalannya, tidak
19
pernah menunjukkan rasa simpati terhadap orang lain yang kesakitan atau
kesusahan.
Berperilaku pasif, diartikan bahwa anak dengan sindrom autism tidak
pernah melakukan suatu inisiatif untuk berupaya melakukan hubungan dengan
orang di sekitarnya.
Pada perilaku aktif tetapi aneh, diartikan bahwa yang
bersangkutan baru mau melakukan respon jika seseorang melakukan hubungan
yang sesuai dengan ‖keberadaannya‖ dan mampu melakukan interaksi
dengannya.
Hal ini terjadi disebabkan anak penyandang autism mempunyai
hendaya atau disorder pada beberapa bagian bukan pada satu bagian (Alloy,
L.B., 2005: 494).
2. Hendaya Perkembangan Fungsional pada Anak Autistik
Sebagian besar anak autistik mempunyai hendaya-rangkap dengan hendaya
perkembangan fungsional atau ‖ketunagrahitaan‖. Diperkirakan antara 76 hingga 89
persen mempunyai nilai skor IQ di bawah 70 (Poryson, Clark & Gillberg, 1986 dalam
Alloy, L.B., 2005:: 494-495). Hanya saja anak autistik berbeda sekali dengan anak-anak
tunagrahita dalam hal ketidakmampuan kognitifnya, kebanyakan dari anak autistik
kemampuan kognitifnya lebih baik dibandingkan dengan anak tunagrahita. Contohnya,
Dari hasil tes pada suatu penelitian terhadap kemampuan sensorimotor, ternyata anak
autistik dapat menemukan benda-benda yang disembunyikan, begitu pula terhadap tes
kemampuan berbahasa dan pemahaman.
Anak tunagrahita saat menjawab tes yang
diajukan kepadanya, nilainya berkecenderungan berada pada batas re-rata, sedangkan
pada autistik berbeda dan berkecenderungan bervariasi. Sebagian besar kasus utama
pada kelainan perkembangan anak autistik adalah pada masalah kognitif bukan sematamata akibat dari penarikan dirinya dari lingkungan masyarakatnya.
Pada beberapa kasus terhadap anak autistik, telah menunjukkan adanya
kemampuan inteligensi yang berada pada rerata normal dan di atas re-rata normal.
Kemampuan inteligensinya sewaktu-waktu dapat dimunculkan dalam suatu kemampuan
tertentu pada matematika, seni dan musik.
Pada kasus-kasus lainnya menunjukkan
bahwa anak-anak Asperger’s Disorder tidak mempunyai masalah dalam bahasa dan
perkembangan fungsionalnya, sehingga mereka diperkirakan secara prognosis dalam
20
jangka panjang akan lebih cemerlang jika dibandingkan dengan mereka yang secara
formal mempunyai sindrom autism.
3. Ketidakmampuan Berbahasa atau Deficits language
Hampir lebih dari separuh anak-anak autistik tidak mampu berbicara. Separuhnya
lagi hanya mampu berceloteh yang maknanya sulit dipahami orang lain, suka berceloteh
atau terkadang suaranya mendengking, menjerit atau menunjukkan gejala echolalia atau
mengulang-ulangi kata yang pernah ia dengar sebelumnya. Kemampuan echolalia disini
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menirukan secara persis terhadap ucapan kata
yang telah diucapkan orang lain, namun ia sendiri tidak mengerti maknanya. Pada
beberapa anak autistik kemampuan mengucapkan kata-kata tanpa tujuan tertentu tersebut
pada umumnya ia peroleh dari pengucapan kata hasil pendengarannya dari program
televisi komersial (alloy, L.B., 2005:496).
Secara umum, anak autistik mampu berbicara untuk berkomunikasi melalui caracara yang sangat terbatas, dengan menggunakan kata-ganti orang secara aneh. Misalnya,
mengucapkan kata-ganti dirinya (‖saya‖) dengan kata-ganti orang kedua (‖kamu‖) atau
dengan kata-ganti orang ketiga (‖dia‖). Beberapa dari mereka saat berbicara, kata-kata
yang terucapkan mempunyai makna-harfiah yang ekstrim (Bailey, Phillips & Rutter,
1996 dalam Alloy, L.B., 2005: 497).
Intinya, anak autistik tidak dapat berkomunikasi secara timbal balik, tidak dapat
menggunakan kata-kata yang umum digunakan sebagai bentuk ‖memberi dan
mengambil‖ dalam suatu dialog pembicaraan.
Masalah ketidakmampuan berbahasa
secara pelik pada diri anak autistik merupakan suatu perkiraan prognosis sebagai
indikator yang tepat. Olehkarenanya, mereka memerlukan suatu terapi penyembuhan
tersendiri agar yang bersangkutan mampu mengembangkan kemampuan berbicara yang
bermakna, dilakukan semenjak yang bersangkutan berusia lima tahun (Werry, 1996;
Kobayashi, Murata& Yoshigama, 1992; Venter, Lord & Schopler, 1992 dalam Alloy,
L.B., 2005: 496).
21
22
Download