BAB I PENDAHULUAN A. MENGAPA KITA PERLU MENGETAHUI HENDAYA PERKEMBANGAN ANAK? Anak yang mempunyai hendaya perkembangan atau child with developmental impairment (di Indonesia lazim disebut sebagai anak ―tunagrahita‖ atau ―mental retardation”) dengan tingkat kelainan berat dan sangat berat (severely and profoundly mental-retardation) secara nyata sangat memerlukan perhatian dan waktu yang penuh dalam pemberian layanan pendidikannya. Bagi mereka yang tergolong mental retardation yang mempunyai latar belakang hendaya berat dan sangat berat disebabkan oleh faktorfaktor kelelahan, emosional dan penderitaan atau kelaparan pada ibu hamil, maka kecenderungan ketidakberfungsian sensori-integrasi atau dysfunction in sensory integration secara bersamaan dapat diikuti dengan kemunculan hendaya lainnya. Misalnya yang terjadi pada anak dengan hendaya spektrum autistik atau ASD (autistic spectrum disorder) meliputi anak yang mempunyai hendaya-hendaya sebagai berikut di bawah ini. 1. Autistic disorder (Autism) 2. Non-Autistic pervasive developmental delay (PDDs), meliputi: a. Asperger’s syndrome, b. Pervasive developmental Disorder Nos (Nos adalah not otherwise specified) c. Fragile X syndrome, d. Retts syndrome, e. Childhood disintegrative disorder. 3. Attention deficit disorder with or without hyperactivity atau ADD or ADHD (Anak yang mempunyai hendaya kekurangan perhatian diikuti dengan hiperaktif maupun tidak) 4. Cerebral palsy. 5. Down syndrome. 1 6. Fetal alcohol syndrome (FAS). 7. Spina bifida. 8. Nonverbal learning disorder (NLD). 9. Bipolar disorder (Kranowitz, C.,S. 2002:5; Siegel, B. 1996:10-11). Autism merupakan hendaya perkembangan atau developmental disorder, kelainannya sangat mempengaruhi diri anak yang bersangkutan dalam berbagai aspek lingkungan kehidupan dan pengalaman-pengalamannya. Olehkarenanya tidaklah mengherankan jikalau masyarakat mengenali sindrom autism sebagai pervasive developmental disorder (PDD). Siegel (1996:9) memberikan gambaran secara rinci tentang hubungan yang sangat erat diantara Asperger’s syndrom, fragile X syndrom, Rett syndrome, dan anak-anak dengan hendaya disintegratif yang berada dalam kelompok hendaya perkembangan pervasif (PDD). Hal ini menghindari salah pengertian diantara masyarakat (di luar para peneliti) dalam mengenali ‖hendaya autistik‖ atau ‖autistic disorder‖ yang sebetulnya merupakan istilah teknis bagi para psikolog sebagai ahli pengguna Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder ( edisi keempat atau DSM-IV). Dapatlah dikatakan bahwa perlu adanya pemahaman dalam membedakan kata anak autistik atau autistic disorder (autism) dengan pervasive developmental disorders yang dikenal dengan istilah Autistic spectrum disoder. Untuk lebih jelasnya, keberadaan dari anak dengan hendaya autistik atau autistic disorder dengan kelainan-kelainan pada kelompok autistic spectrum disorder (ASD), dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2, di bawah ini. 2 Gambar 1: The Pervasive Developmental Disorder: Autistic Spectrum Disorders (Sumber: Siegel, B.,1996:10) MENTAL RETARDATION DEVELOP MENTAL LANGUAGE DISORDER PDD, NOS AUTISTIC DISORDER Asperger’s Syndrome - CDD - RETT - FRA-X - APDD Gambar 2: Autistic Spectrum Disorder dan Hendaya Perkembangan Lainnya (Sumber: Siegel, B. ,1996:11) 3 Diantara mereka yang tergolong sindrom autism dengan kelainan yang serius semenjak usia dini, umumnya dapat ditandai dengan menunjukkan sikap-dirinya untuk berusaha selalu menghindar dari setiap kontak-sosial, walaupun terhadap orang tuanya sendiri. Penyandang kelainan sindrom semacam ini awalnya diketemukan oleh Leo Kanner (1943; dalam Ward, A. J. 1970:350) disebut dengan early infantile autism atau anak autistik usia dini.. Kata autism berasal dari bahasa Yunani Kuno atau Greek yang berarti ―self‖ atau diri-sendiri, sehingga mereka berkecenderungan untuk hidup dalam dunianya sendiri. Para peneliti beranggapan bahwa kehidupan dalam dunianya-sendiri semacam ini akan berlangsung selama kehidupannya. Mereka secara nyata mempunyai kesulitan untuk belajar berkomunikasi secara verbal dan non-verbal. Banyak juga diantara mereka suka menyakiti dirinya sendiri dan berperilaku sangat ekstrim yaitu suka untuk melakukan kegiatan gerak yang sama selama berjam-jam setiap waktu atau stereotype (Alloy, L.B. 2005:93). Lebih lanjut Ward (1970: 350-362), menyatakan bahwa penyandang sindrom autism usia dini (early infantile autism), dapat terdeteksi melalui suatu diagnosis khusus oleh ahli medis atau psikolog semenjak usia mereka 30 bulan (APA, 1980). Karya tulis Kanner (1943) memberikan definisi tentang kelainan autism usia dini sebagai tipe ‖kelainan psikis yang sampai kini tidak terungkapkan‖, yang tentunya harus dibedakan dengan penyandang schizophrenia masa kecil, dan juga dengan oligophrenia yang mempunyai potensi intelektualnya lebih baik dibandingkan dengan penyandang sindrom autism (Kanner dan Eisenberg 1956:557, dalam Delphie, B. 2006:12). American Pshyciatric Association (APA, 2000) lebih jauh menyatakan bahwa anak autistik merupakan ‖kelainan‖ yang sangat jarang ditemui karena kejadiannya hanya 4 sampai 5 diantara 10.000 kelahiran bayi (APA, 1980 dalam Delphie, B. 2006:1; Alloy, L.B. 2000:493; APA, 2000 dalam Halgin, R.P. & Whitbourne,S.K., 2005: 374 ). Hasil penelitian Wing dan Potter (2002), menyatakan bahwa tingkat privalensi anak autistik berkisar 3,8 dari 10.000 anak-anak, dan tingkatan privalensi 60 dari 10.000 anak-anak merupakan perkiraan bagi autistic-spectrum disorders (dalam Halgin & Whitbourne 2005:374). 4 Schizophrenia merupakan suatu hendaya dengan adanya gejala-gejala berkaitan dengan gangguan psikis, cara berfikir, persepsi, perasaan diri, perilaku dan keberfungsian kecerdasan interpersonal—disebut juga dengan kecerdasan diri (self smart) yang mengarah kepada kemampuan untuk mengamati diri sendiri (self observation), proses berfikir, refleksi diri dan intusi spiritual (Lazear, D. 2004:24). Gejala selanjutnya, ditandai dengan karakeristik khusus berupa: ketidakberfungsian emosional dan kognitif termasuk halusinasi dan khayalan, ketidakmampuan mengorganisir perilaku dan cara berbicara, dan emosi yang tidak pada tempatnya, dan suka menghindarkan diri dari kenyataan lingkungan (Duran, V.M. dan Barlow, D.H., 2006:471; The American Heritage Dictionary, 1985:1098; Halgin,R.P. & Whitbourne,S.K., 2005:301). Sedangkan oligophrenia atau mental deficiency, yaitu perkembangan intelektual di bawah re-rata normal, disebabkan oleh adanya luka otak atau karena penyakit, dengan karakteristik utama berupa hambatan belajar. Hambatan belajar ini sangat menghambat khususnya dalam hal kemampuan sosial, vokasional dan kemampuan berbicara ( The American Heritage Dictionary, 1985:786 dan 866). Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembicaraan tentang sindrom autism banyak berubah secara radikal. Sebelumnya, popularitas pembicaraan mengenai autism dimulai sejak tahun 1950-an dan tahun 1960-an berkaitan dengan perspektif psikodinamika yang memandang penyebab terjadinya autism diawali dengan adanya ‖penerimaan dingin‖ dan ‖tidak diterima kehadirannya‖ oleh orangtuanya (Bettelheim, 1967). Namun dewasa ini, para peneliti lebih berfokus pada ketidakberfungsian otak. Mereka telah menemukan bahwa faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebabnya antara lain sebagai berikut. (1). Ketidakberfungsian sistem syaraf di otak, (2). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perspektif kognitif, dan (3). Beberapa penilaian lainnya berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap dugaan adanya kerusakan-kerusakan secara fisik (Dalam Alloy, L.B. et al. 2005: 497). Di bawah ini dijelaskan beberapa perspektif terjadinya kelainan autistik sebagai bahan pemikiran dalam pemberian bantuan dan layanan pendidikannya. 5 1. Perspektif Berdasarkan Neuroscience Perspektif berdasarkan ilmu syaraf mengenai terjadinya kelainan autism dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian para ahli terdahulu yang menyatakan bahwa penyebab kelainan autism antara lain: (a) hasil penelitian terhadap genetika, (b) hasil penelitian terhadap kromosom, (c) hasil penelitian biokemikal, (d) hasil penelitian terhadap kelainan bawaan, dan (e) hasil penelitian yang bersifat neurologis. a. Penelitian Genetika Penelitian awal terhadap penyebab sindrom autism adalah penelitian terhadap genetika. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli medis dan psikolog semula ditujukan pada anak dengan gangguan psikis atau schizophrenia dengan menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder ( DSM- Edisi I hingga III dan DSM, edisi keempat, dengan revisi teks). Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi perbedaan antara anak schizophrenic dengan anak autistik. Anak schizophrenic merupakan individu yang hidupnya tidak konstan yang selalu ingin melawan disebabkan oleh ego-nya, sedangkan anak autistik usia dini (early infantile autism) sangat sejalan dengan kehidupannya karena adanya tingkah laku yang berfokus terhadap dirinya sendiri dan adanya perilaku pengulangan gerak (repetitive) atau tingkah laku yang bersifat monoton (stereotypic). Lebih jauh, penyebab adanya kelainan sindroma autism dilakukan terhadap pasangan-kembar atau bayi kembar yang dilakukan di Inggris, hasilnya menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut. (1).Penelitian yang dilakukan terhadap 11 pasangan kembar monozygotic (M2) dan pasangan kembar dari zygotic (D2) yang dilakukan oleh Folstein dan Rutter tahun 1977, telah diketemukan sedikitnya satu anak yang mengidap kelainan sindrom autism. Sebelumnya didiagnosis tidak sebagai penyandang kelainan sindrom autism, ternyata ia dipastikan sebagai anak yang mempunyai hendaya berbahasa dan kognisi. (2).Penelitian terhadap tiga pasangan bayi-kembar telah diketemukan bukti bahwa kecenderungan tingkat indeks sebagai autism adalah 50 persen untuk pasangan kembar M2 dan nol persen untuk D2. Tingkat kecenderungan terhadap sindrom autism tersebut secara pasti berpengaruh terhadap kelainan kognitif sebesar 86 persen dan kelainan sosial sebesar 19 persen (Rutter, Mc Donald, Le Counter, et al., 1990). 6 (3).Penelitian berikutnya terhadap contoh pasangan-kembar, menunjukkan data kecenderungan terhadap autism adalah 60 persen untuk M2 dan 10 persen untuk D2 (Bailey, Le Counter, Gottsman, et al., 1995). (4). Penelitian yang telah dilakukan oleh negara-negara Nordic, menunjukkan bahwa tingkat indeks dimungkinkan adanya penyandang kelainan sindrom autism pada pasangan-kembar M2 sebesar 91 persen dan nol persen untuk D2. Pengaruh kelainan terhadap hambatan kognitif secara pasti dinyatakan bahwa 91 persen untuk M2 dan 30 persen untuk D2 (Steffenburg, Gillberg, Hellgren, et al., 1989). Sedangkan pada anak-anak dengan sindrom autism yang tidak kembar diketemukan bukti bahwa kurang lebih tiga hingga tujuh persen mempunyai hendaya dalam kognitif dan sosial (Bailey, Philips & Rutter, 1996). (5). Penelitian terhadap pasangan-kembar pada penyandang kelainan sindrom autism lainnya diketemukan bukti bahwa 12 persen dari pasangan-kembar autism menunjukkan bukti adanya hendaya dalam interaksi-sosial. Jika dibandingkan antara anak autistik dengan Down’s Syndrome, diketemukan data nol persen kelainan pada interaksi-sosial (Bolton & Rutter, 1990). (6).Penelitian berikutnya, tidak diketemukan perbedaan terhadap hambatan pada masalah-masalah kognitif antara pasangan-kembar autism dengan Down’s Syndrome maupun dengan anak yang mempunyai kelainan kurang-berat (Szatmari, Jones, Tuff, et al., 1993). (7).Sejauhmanapun komponen-komponen genetika berpengaruh terhadap sindrom autism, namun terdapat perbedaan yang cukup berpengaruh pada beberapa penyandang kelainan sindrom autism. Penelitian terhadap keluarga penyandang autism pasangan-kembar, terdapat bukti yang menunjukkan adanya satu sebagai penyandang autism dan satunya lagi dengan kelainan Down’s Syndrome. Maka salah satu dari mereka dipastikan mempunyai kelainan pada tingkat yang lebih berat atau profoundly (Baird, August, 1985). (8). Penelitian lain memberikan bukti terhadap pasien dengan sindrom autism yang telah menunjukkan tingkat keberfungsian sistem syaraf yang lebih baik, umumnya berasal dari keluarga yang mempunyai kelainan psikis (De Long, 1992). 7 (9). Fakta lain, menunjukkan adanya hendaya afektif tiga kali lebih pada keluarga dari anak-anak penyandang kelainan sindrom autism yang mengidap tuberious scelerosis atau epilepsy (Bailey, Phillips & Rutter, 1996). b. Hasil Penelitian Terhadap Kromosom Fragile X syndrome dapat berpengaruh terhadap terjadinya tunagrahita, begitu pula pada penyandang kelainan sindrom autism. Ada dua penelitian yang telah menunjukkan bukti bahwa tingkat prevalensi diantara orang tua yang mempunyai anak autistik adalah 2,5 hingga 7 persen (Bailey, Phillips & Rutter, 1996; Hagerman, 1992). Ketidaknormalan lain, seperti tuberious scelerosis dan anomalies pada kromosom 15, dapat menjadi penyebab terjadinya penyandang kelainan sindrom autism (Bailey, Phillips & Rutter, 1996). Kasus-kasus berkaitan dengan autism mempunyai kaitan dengan keluarbiasaan atau penyimpangan pada kromosomkromosom, kecuali pada kromosom nomor 14 (Gillberg & Coleman, 2000). c. Hasil Penelitian Biokemikal Fokus utama penelitian para ahli terhadap anak dengan sindrom autism, seperti halnya pada anak schizophrenia, saat ini tertuju kepada pengaruh obat terhadap kekuatan syaraf pemancar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri anak autistik tidak diperlukan penggunaan serotonin dan dopamine dalam dosis tinggi, seperti dugaan awal dari para ahli (Tsai & Ghaziudin, 1997). Lebih lanjut, penelitian lainnya menemukan bukti bahwa pada 30 anak penyandang autism telah kehabisan serotonin, dan terjadinya kadar tingkat rendah pada dopamine (Chugani, Muzik, Behen, et al. 1999; Ernst, Zametkin, Matochik, et al. 1997). Apapun pengaruh dari serotonin dan dopamine dalam perkembangan anak autistik, dua syaraf pemancar dimungkinkan hanya berpengaruh saat berlangsungnya upaya-upaya penyembuhan. Ketika anak autistik menerima obat stimulan seperti amphetamines melalui peningkatan dopamine, maka gejala-gejala berkaitan dengan hiperaktif, perilaku gerak yang berulang-ulang menjadi bertambah atau menjadi lebih buruk dalam upaya menstimulasi dirinya (Young, Kavanagh, Anderson, et al., 1982 dalam Alloy, L.B., 2005:493). Obat-obatan yang menghambat dophamine seperti phenothlazines dapat mengurangi gejala-gejala autistik termasuk pada gejala-gejala gerakan-gerakan repetitif 8 dan pengrusakan diri (Campbell, Overall, Small, et al., 1989; Tsai 1992, dalam Alloy L.B. 2005: 495). Penelitian dewasa ini yang telah dilakukan terhadap penggunaan risperidone sebagai antipsikotik secara khusus terhadap 8-14 orang dewasa penyandang autism menunjukkan bukti bahwa perilaku-perilaku repetitif, agresi dan masalah-masalah perilaku lainnya dapat berkurang (McDougle, Homes, Carlson, et al., 1998 dalam Alloy, L.B., 2005:495). d. Kelainan Bawaan dan Komplikasi Kelahiran Selagi faktor-faktor genetika berpengaruh dalam banyak kasus terjadinya sindrom autism, faktor non-genetika dapat juga berpengaruh walaupun bukan merupakan faktor utama. Beberapa kesulitan atau komplikasi kelahiran sering muncul menjadi penyebab sindrom autism termasuk kelahiran sebelum waktunya, pendarahan saat pertama umur kandungan mendekati tiga bulan, penggunaan obat-obatan selama mengandung, dan munculnya ‖meconium‖ dalam cairan ‖aminiotic‖ (Gillberg & Coleman, 2000; Tsai, 1987 dalam Alloy, L.B., 2005: 498). Selanjutnya, Tsai dan Ghaziudin (1977 dalam Alloy, L.B., 2005:498) menyatakan bahwa penyebab sindrom autism bisa juga dikarenakan oleh adanya penyakit Rubella pada ibu hamil, fungsi kekebalan tubuh yang lemah, mekanisasi ‖autoimune‖ , dan masalah-masalah berkaitan dengan kekebalan tubuh. Namun dalam kebanyakan kasus terjadinya sindrom autism, kelainan bawaan dan komplikasi kelahiran barangkali bukan merupakan kasus-kasus utama dari sebab terjadinya hendaya sindrom autism. Lebih jauh, kelainan bawaan sangat berkaitan dengan faktor-faktor genetika. e.Hasil Penelitian yang Bersifat Neurologis Banyak peneliti berpendapat bahwa apapun yang terjadi pada kasus utama, sindrom autism berasal dari luasnya defisit dalam otak, yang dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama. Kebanyakan tanda-tanda yang mengacu kepada karakteristik autism, antara lain adanya hendaya atau hambatan dalam perkembangan bahasa, mereka yang tergolong pada kelainan tunagrahita, perilaku ke-arah gerakan-gerakan yang ganjil, kegiatan-kegiatan yang terjadi di luar semestinya dan sering dilakukan secara berlebihan terhadap masukan atau rangsangan pada sensori, sangat responsif dalam gerak sentuhan sebagai upaya 9 melawan adanya rangsangan visual dan yang bersifat pendengaran. Kesemuanya itu sangat erat dengan keberfungsian dari sistem syaraf pusat yang ada di otak. Kedua Diperkirakan sebesar 25 persen dari populasi anak-usia dewasa yang mengidap sindrom autism mendapatkan peningkatan kelainan kejang-kejang yang berasal dari adanya pengaruh sistem syaraf pusat (Alloy, et al., 2005:498). Ketiga Penelitian dan uji coba terhadap neurologis pada anak-anak dengan sindrom autism terkadang mengacu kepada ketidaknormalan seperti: (a) terjadi kekuatan otot yang rendah, (b) rendahnya koordinasi, (c) suka mengeluarkan air liur, (d) dan berperilaku hiperaktif. Keempat Alur terjadinya sindrom autism umumnya berkaitan dengan‖neuro-physiology‖ atau fisiologi syaraf. Dikenal adanya dua tipe penelitian, yaitu penelitian berkaitan dengan penggunaan electroencephalogram (EEG) dan ERP (event-related potentials). Electroencephalogram dari seseorang dengan kelainan autism pada umumnya sangat sulit untuk diperoleh karena hasil tes baru dapat diperoleh bila adanya kerja sama dengan yang bersangkutan. Dalam penelitian Minshew (1991 dalam Alloy, L.B., 2005:498) ternyata menghasilkan data yang menyatakan bahwa 50 persen dari penyandang autism menunjukkan adanya ketidaknormalan EEG. Hasil penelitian lanjutan pada dewasa ini oleh Dawson, Klinger, Panagiotides, dan kawan-kawan (1995), menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism menunjukkan tendensi adanya penurunan kegiatan EEG pada sisi ‖frontal‖ dan ‖temporal region‖ dari otak, jika dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya (dalam Alloy, L.B., 2005:498). Begitu pula penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rossi, Parmeggian, Bach, dan kawan-kawan (1995), menunjukkan bahwa 23,6 persen dari 106 responden-pasien dengan kelainan autistik diketahui adanya ketidaknormalan pada EEG, dan 18,9 persen ternyata mempunyai kelainan kejang-kejang secara klinis. Penelitian dengan menggunakan ERP atau event-related potentials yang dilakukan terhadap getaran-getaran otak telah menujukkan pola-pola reaksi terhadap rangsangan berbagai sensori. Ini berarti bahwa pada penyandang sindrom autism menunjukkan 10 adanya ketidaknormalan atensi terhadap rangsangan-rangsangan terhadap bahasa maupun rangsangan-rangsangan baru. Penelitian dengan EEG maupun ERP ternyata menunjukkan data secara jelas bahwa hendaya yang bersifat neurologis terjadi pada seseorang dengan kelainan sindrom autism. Kelima Autopsi terhadap otak manusia pada penyandang sindrom autism telah menunjukkan bukti adanya ketidaknormalan yang terjadi pada ‖cerebellum‖ dan pada sistem ‖limbic‖. Ketidaknormalan ini dapat berpengaruh pada kemampuan kognisi, emosi, dan perilaku seseorang, khususnya syaraf pada sistem limbic menjadi lebih mengecil dan lebih kencang. Dalam beberapa bagian, ‖denditres‖ lebih pendek dan kurang kompleks. Dendrites merupakan cabang-cabang yang dapat menerima tanda-tanda dengan daerah syaraf yang berdekatan. Terakhir Beberapa peneliti telah menemukan adanya megalencephaly , yaitu ukuran otak yang besarnya melebihi kenormalan, yang banyak terjadi pada individu yang mempunyai sindrom autism (Bailey, Luthert, Dean, et al., 1998 dan Kemper & Bauman, 1998 dalam Alloy, L.B., 2005:499). Dewasa ini para ahli dalam penelitiannya telah menggunakan teknik-teknik penggambaran otak, seperti MRI (magnetic resonance imaging) dan PET scans, untuk meningkatkan hipotesa baru tentang terjadinya autism. 2. Perspektif Kognitif Tidak seorangpun dapat menolak pernayataan yang berbunyi bahwa anak dengan sindrom autism mempunyai masalah yang dapat mempengaruhi kapasitasnya untuk meniru dan memahami, menjadi luwes dan berdaya cipta, memahami dan dapat menerapkan aturan-aturan, dan dapat menggunakan informasi-informasi yang datang dari lingkungannya. Dengan kata lain, bahwa anak autistik tidak mampu untuk mengatasi lingkungan dalam kehidupannya. Teori-teori kognitif berpendapat bahwa masalah-masalah kognitif pada anak dengan sindrom autism merupakan hal yang pokok dan penyebab terjadinya permasalahan sosial pada diri anak autistik (Rutter, Bailey, et al., 1994 dalam Alloy, L.B., 2005:499). Hasil penemuan penelitian dewasa ini lebih terfokuskan pada empat 11 area fungsi kognitif. Keempat area tersebut adalah: (1) fungsi eksekutif, (2) pengkategorian dan daya ingat, (3) pemahaman sosial, dan (4) teori berfikir. Fungsi eksekutif Para ahli banyak memberikan pendapat mereka, yang menyatakan bahwa seseorang dengan sindrom autism mempunyai hambatan yang cukup besar dalam melakukan pemecahan masalah, mengambil inisiatif dalam perencanaan, melakukan kontrol terhadap gerak-hati, mempertahankan perhatian, melakukan kontrol terhadap penampilan perilaku, dan berperilaku tidak pantas yang dapat menghambat dirinya sendiri (Ozonoff, 1995 dalam Alloy, et al., 2005:499). Penelitian lainnya, menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism secara konsisten menunjukkan adanya kekurangan dalam berbagai fungsi pelaksana atau eksekutif yang melaksanakan tugas-tugas penilaian perubahan dan perencanaan, disamping itu anak penyandang sindrom autism lebih banyak membuat kesalahan-kesalahan ‖perseverative‖ – yaitu penggunaan secara spontan terhadap: fikiran, hayalan, anak kalimat, waktu dalam benaknya dibandingkan dengan anak penyandang ADHD (Wenar & Kerig, 2006:149). Penelitian yang telah dilakukan terhadap pengintegrasian daya ingat telah menunjukkan bukti bahwa seseorang dengan sindrom autism juga mempunyai kesulitan dalam pembentukan konsep-konsep baru dan mendapat kesulitan pada saat dirinya berupaya untuk memahami informasi baru berdasarkan konsep-konsep yang baru ia peroleh tersebut. Secara khusus, anak dengan sindrom autism mempunyai kesulitan dalam membentuk prototipe suatu benda atau objek sehingga dirinya bertendensi ke arah tidak memenuhi aturan-aturan. Seperti halnya orang-orang amnesia, orang-orang dengan sindrom autism berkecenderungan ke arah defisit daya ingatan untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian dalam amygdala dan hippo campus (Bachevalier, 1994; De Long, 1992; Klinger & Dawson, 1996 dalam Alloy, L.B., 2000:499). Pemahaman sosial Pemahaman sosial dari anak-anak yang mempunyai sindrom autism terhambat disebabkan mereka dalam kehidupannya tidak menaruh perhatian sama sekali pada tandatanda emosional dan perhatian orang lain yang ada di sekeliling mereka. Jadi dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakmampuan yang cukup parah terhadap pemahaman akan 12 tanda-tanda atau isyarat tubuh seperti apa yang telah dilihat atau diarahkan. Mereka juga mempunyai permasalahan dalam memahami emosi serta ekspresi wajah orang lain di sekitarnya (Hobson, 1993; Sigman,1995 dalam Alloy L.B., 2005:499). Terakhir: Hipotesa Kognitif Permasalahan yang mendasar pada anak dengan sindrom autism adalah ‖ia tidak mempunyai teori berfikir‖. – sepertinya mereka tidak memahami akan keberadaannya berkaitan dengan keadaan mental sebenarnya, seperti perilaku untuk ‖percaya‖ atau pernyataan ‖hasratnya‖. Olehkarenanya ia tidak dapat memperkirakan dan memahami bentuk tindakan dirinya untuk berperilaku sesuai dengan keadaan mental sebenarnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam salah satu penelitian terhadap anak normal dan anak dengan sindrom autism saat diberikan tugas-tugas berkaitan dengan dua boneka mainan. Nama-nama anak responden itu adalah Sally dan Anna. Ilustrasinya sebagai berikut ini. Sally telah melihat ada dua keranjang berwarna merah dan biru serta boneka mainan. Ia meletakkan boneka mainan tersebut dalam keranjang merah, kemudian ia pergi. Ketika Sally pergi, Anne mengeluarkan boneka mainan dari keranjang merah itu, dan kemudian menyembunyikannya di keranjang lainnya yang berwarna biru. Ketika Sally kembali, anak lain menanyakan kepada Sally untuk mencari dimana boneka mainan tersebut. Lebih lanjut, dalam penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa lebih dari 80 persen anak dengan sindrom autism dari seluruh responden mampu menjawab ‖dalam keranjang‖, hanya 20 persen saja dari mereka menjawab dengan benar, yaitu ‖dalam keranjang biru‖. Ini berarti bawa anak dengan sindrom autism bukan tidak dapat mengingat, tetapi mereka tidak mampu melihat lebih teliti terhadap tindakan apa yang telah dilakukan orang lain. (Adaptasi dari Alloy,L.B., 2005:499). Ketiadaan keterampilan kritis semacam ilustrasi tersebut di atas, berkontribusi terhadap isolasi- sosial dari anak dengan sindrom autism. Anak dengan sindrom autism selalu berubah-ubah dalam mencapai kesuksesan berkaitan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan teori belajar. Sedangkan bagi anak normal kesuksesan dalam mencapai teori belajar dapat berkembang semenjak usia 18 bulan. Oleh karenanya, sekitar 20 persen dari kasus-kasus berkaitan dengan hendaya sindrom autism disebabkan oleh ketidakmampuan berfikir. Fein dan Waterhouse (1990), menyarankan bahwa pemaparan ‖teori berfikir‖ mungkin dapat diterapkan pada sebagian kelompok anak saja -- sehingga mereka ini dapat berkembang menjadi normal – tetapi sulit sekali untuk 13 diterapkan pada anak dengan sindrom autism yang sejak awalnya mempunyai perkembangan sosial yang abnormal (dalam Alloy,L.B., 2005:499). Menurut Wenar dan Kerig (2006:150) bahwa ‖mind-blindness‖ sering terjadi pada anak penyandang autistic spectrum disorder dan merupakan salah satu kekurangan kemampuan yang cukup tinggi. Dimaksudkan dengan mind-blindness adalah kelangkaan dalam memahami keadaan psikis terhadap diri-sendiri atau orang lain. Istilah lain untuk ini adalah ‖theory of mind‖. Disebut dengan teori disebabkan oleh pendapat bahwa ketika kita tidak dapat merasakan, mencium, atau mengamati langsung pikiran kita terhadap orang lain, kita percaya mereka mempunyainya. Tes ―theory of mind‖ disebut juga dengan istilah ‖a false belief task‖. Dalam tes ini anak yang bersangkutan disuruh melakukan dugaan tentang apa yang diketahui seseorang dan apa yang tidak diketahui, serta meramalkan tindakan perilaku yang sesuai. Pada anak dengan kelainan sindrom autism berdasarkan hasil penelitian melalui tes tersebut ternyata bahwa ia tidak mampu melakukan tugas yang diberikan dalam tes tersebut, tanpa memandang seberapa tingginya kemampuan inteligensinya. Implikasi dari kelangkaan theory of mind pada penyandang sindrom autism akan berpengaruh sangat dalam terhadap: (a) hubungan sosial dan perkembangan bahasa, seperti ditampakkan pada perilaku dirinya yang kurang memahami minat dan motivasi dalam berbagai pengalaman dengan orang lain, (b) perkembangan emosional, antara lain: kurangnya pemahaman terhadap persesuaian antara perasaan yang ada di dalam diri dengan ekspresi pura-pura, (c) kemampuan berkomunikasi, antara lain: kesulitan untuk dapat menyesuaikan pandangan-fikirannya dengan orang lain yang diajak berbicara (Wenar dan Kerig, 2006:151). Pada sisi lainnya, bukti-bukti hasil penelitian menyatakan bahwa ‖theory of Mind‖ banyak berguna dalam melakukan hipotesis terhadap sindrom autism. Namun, Tager-Fulsberg (2001 dalam Wenar dan Kerig, 2006: 153), menyatakan bahwa ada beberapa bentuk kelainan yang belum dapat dijelaskan melalui model ‖Theory of Mind‖ atau teori berfikir, sebagai contohnya: perilaku repetitif (atau perilaku tertentu yang dilakukan berulang-ulang), perilaku stereotipe dan minat yang terbatas, serta keterampilan visual-spatial yang tinggi. Jadi, dalam hal ini masih belum jelas hubungan 14 antara perilaku repetitif, stereotipe, dan keterampilan visual-spatial dengan teori berfikir karena dalam tes teori berfikir tidak mencantumkan ketiga perilaku itu Penelitian lain, ternyata dapat memberi bukti-bukti yang menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism mempunyai kemampuan memecahkan masalah berkaitan dengan teori berfikir yang ada kaitannya dengan kemampuan verbalnya, seperti yang dinyatakan oleh hasil penelitian dari Yirmira, Solomonica-Levi, Schulman, dan kawan-kawan (1996 dalam Alloy, L.B., 2005:500). Hasil penelitian terakhir oleh Ozonoff & Miller (1995 dalam Alloy, L.B., 2005:500), menunjukkan beberapa bukti lagi dimana kemampuan memecahkan masalah semacam tersebut di atas dapat diajarkan kepada anak dengan sindrom autism yang kemampuan inteligensinya pada batas normal. Perlu diketahui bahwa meskipun penjelasan teori berfikir merupakan hal yang sangat menarik, namun secara psikologis, bagi anak dengan sindrom autism dalam penerapan tes yang ada pada model teori berfikir tersebut hendaknya diikuti dengan model-model lainnya yang bersifat etiologis dan biologis agar dapat menjelaskan mengapa teori berfikir terjadi dalam urutan pertama. Dalam perkembangan kognitifnya, anak-anak dengan sindrom autism mempunyai tingkat inteligensi yang bervariasi. Di awali dengan tingkat re-rata sama dengan anak tunagrahita berat. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian kita semua bahwa pengukuran tingkat inteligensi melalui tes-tes yang akan menghasilkan skor intelligence quotient atau IQ akan tidak berhasil karena tes ukur tersebut tidak peka sebagai alat ukur dalam mengukur bentuk-bentuk non-standar inteligensi, seperti perilaku dan masalahmasalah berkaitan dengan perkembangan sensori-integrasi yang ada di otak (Firth, 2003 dalam Wenar dan Kerig, 2006:138). Di sisi lainnya secara kontras, anak-anak penyandang asperger’s disorder mempunyai re-rata kemampuan kognitif yang lebih unggul dari pada penyandang kelainan sindrom autism. Oleh karenanya perhatian kita terhadap data kemampuan inteligensi untuk penyandang sindrom autism tidak dapat diterima secara akurat. Sebagai contoh, seorang anak savant atau terpelajar dengan dayaingat yang luar biasa yang mampu mengingat dan menceriterakan jadwal pemberangkatan bus di setiap perjalanan di suatu kota besar, namun ternyata masih mempunyai kesulitan untuk menemukan tempat pemberhentian bus, juga saat bernegosiasi dalam membeli karcis perjalananannya dengan kondektur bus. 15 Sekalipun inteligensi itu utuh, pada anak-anak penyandang sindrom autistic spectrum disorder masih berkecenderungan menunjukkan angka skor dengan pola-pola khusus yang menunjukkan adanya tingkat kemampuan berbeda. Secara umum, tingkat skor hasil asesmen terhadap social reasoning pada anak penyandang sindrom autism masih dalam tingkatan rendah. Hal iu terjadi pada hasil-hasil asesmen pada tes pemahaman (comprehension) dalam Wechsler Intelligence Scale for Children yang menanyakan tentang bagaimana caranya jika yang bersangkutan kehilangan dompet yang berisi uangnya. Secara kontras, anak penyandang kelainan sindrom autism menunjukkan nilai baik dalam tes-tes berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas yang erat hubungannya dengan alasan-alasan tertentu pada suatu benda-benda nyata (concrete object). Tes seperti ini antara lain adalah bentuk tes block design yang memerlukan kemampuan memecahkan masalah pada teka-teki visual (Firth, 2003 dalam Wenar dan Kerig, 2006:133). Sesuatu yang menarik dalam perbedaan kemampuan kognitif antara anak-anak yang mempunyai kelainan khusus dengan anak-anak penyandang autistic spectrum disorder adalah saat mereka menggunakan konteks-konteks untuk memecahkan masalah. Umumnya, seseorang baru dapat menemukan cara penggunaan yang benar dalam memecahkan permasalahan dalam konteks nyata. Contohnya, dalam memecahkan suatu persamaan penghitungan lima dan empat ke dalam permasalahan kata (misalnya, jika kamu mempunyai uang lima rupiah dan kemudian ditambah dengan empat rupiah berapakah uang yang kamu punyai sekarang?). Sangat nyata sekali dan seringkali terjadi bahwa pada anak penyandang sindrom autism tidak ditemui faktor keuntungan dari adanya informasi kontekstual. Namun kenyataannya, anak penyandang sindrom autism lebih mampu dibandingkan dengan teman mainnya saat melaksanakan tugas-tugas yang mengacuhkan konteks. Misalnya, saat mereka menyelesaikan suatu kegiatan berupa tugas menyimpan atau membuat gambar yang harus diselesaikan dalam bentuk geometrik yang kompleks. Di sisi lain, pada anak-anak dengan perkembangan khusus lainnya akan mendapatkan kesulitan untuk melakukan tugas-tugas kegiatan berkaitan dengan mengacuhkan konteks dalam upaya 16 mengambil suatu objek, sedangkan untuk hal semacam ini bagi anak autistik dapat melakukannya dengan baik. Data tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi perbedaan-perbedaan dalam berfikir anak penyandang sindrom autism, tidak berarti bahwa hal tersebut dapat menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Karakteristik berfikir anak autistik yang memfokuskan pada bagian-bagian kecil (secara rinci) dan mengacuhkan atau mengabaikan bentuk gambar secara keseluruhan, merupakan istilah: a lack of central coherence (Firth, 2003 dalam Wenar dan Kerig, 2006:134). 3. Kelompok yang Mempunyai Resiko Menjadi Autism Status sosial ekonomi dan latar belakang budaya etnik bukan merupakan faktor yang mengandung resiko terjadinya autism, artinya privalensi autism tidak berkaitan dengan tingkat kelas sosial tertentu atau etnik tertentu -- pada penelitian-penelitian terdahulu dinyatakan bahwa sindrom autism sering terjadi pada keluarga dengan tingkat sosial yang tinggi (Wenar , C. & Kerig, P, 2006: 131). Gender merupakan faktor resiko yang paling signifikan. Oleh karenanya perbandingan yang terkena resiko sindrom autism antara laki-laki dan perempun mempunyai perbandingan tiga atau empat laki-laki berbanding satu perempuan (Alloy,L.B. 2005:500; Wenar,C. & Kerig,P.,2006:131). Menurut Wing, L. (1991) rasio anak laki-laki terhadap anak perempuan perbandingannya berkisar dua berbanding satu (dalam Wenar, C & Kerig, P., 2006:132). Dari hasil penelitian lain ternyata resiko terjadinya ketunagrahitaan sama dengan anak dengan sindrom autism. Secara khusus, perempuan yang menyandang sindrom autism umumnya tingkat kelainannya lebih berat jika dibandingkan dengan laki-laki yang menyandang kelainan sindrom autism. Bagi perempuan penyandang autism yang tidak mempunyai kelainan penyerta-tunagrahita mempunyai masalah sedikit lebih berat dibandingkan dengan laki-laki penyandang sindrom autism yang tidak mempunyai kelainan penyerta-tunagrahita (Klin & Volkenar, 1999 dalam Alloy, L.B., 2005:500). Faktor resiko lain bagi terjadinya sindrom autism adalah kemunculan suatu kelainan pada anak-kembar. Menurut Gillberg dan Colemen (2000 dalam Alloy, L.B., 2005:500) pada pasangan anak-kembar prevalensi autism diperkirakan antara dua hingga lima persen. Tingkat resiko ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyandang 17 sindrom autism pasangan-kembar monozygote, tetapi tidak pada pasangan-kembar dizygote (Hodapp & Dykens, 1996; Klinger & Dawson, 1996; Szymanski & Kaplan, 1997 dalam Alloy, L.B., 2005: 500). B. HENDAYA-HENDAYA PADA ANAK DI LUAR KEWAJARAN Seperti yang telah disampaikan pada kata pengantar bahwa anak di luar kewajaran merupakan istilah lain terhadap anak autistik yang mempunyai gejala-gejala autistik. Gejala-gejala kelainannya sangat erat kaitannya dengan isolasi sosial (social isolation), hendaya perkembangan fungsional (mental retardation), ketidakmampuan berbahasa (language deficits), dan suka berperilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan stereotipe (repetitive and stereotype). 1. Isolasi Sosial Coleman (1989:1 dalam Alloy, 2005:493) menggambarkan tentang anak penyandang sindrom autism seperti di bawah ini. Ia secara diam-diam sering berjalan jinjit saat memasuki ruang tunggu keluarga. Pandangan matanya atau tatapannya selalu dipalingkan jika bertemu pandang dengan orang lain. Boneka mainan kesukaannya selalu ia pegang dan diputar-putarkan dari waktu ke waktu. Ketika sesorang mulai menaruh perhatian dan memperhatikannya, ia selalu berusaha menghindarkan diri, khususnya saat tangan anda hendak menyentuh kepalanya. Pandangan matanya selalu diarahkan ke luar jendela ketika diketahuinya ada seseorang berada di dekatnya. Ia terlihat selalu ingin menyendiri secara total, dan hidup dengan ’dunianya sendiri’ secara sendirian . Hal yang umum diketahui pada anak yang telah didiagnosis sebagai penyandang sindrom autism adalah bahwa yang bersangkutan mempunyai hendaya perilaku sosial (Rapin, 1991; Waterhouse, 1994; Mesibov, Adam,S. Dan Klinger, 1997 dalam Alloy,L,B., 2005:494). Anak penyandang sindrom autism kebanyakan menghindarkan diri dari hubungan sosial dan berkecenderungan ke arah ‖ hidup dalam kesendirian secara ekstrim‖. Pada saat bayi, secara nyata ia tidak tertarik kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Sulit untuk dapat digendong karena secara tiba-tiba ia menjadi tegang atau kaku. Terkadang menjadi lemah-lunglai, saat ibunya akan mengambilnya dari pembaringan sewaktu akan digendong atau ditimang-timang. 18 Saat menginjak usia lebih dewasa perasaan takut untuk berhubungan dengan orang lain menjadi parah. Tingkatan isolasi-sosial penyandang sindrom autism sangat bervariasi. Kebanyakan penyandang sindrom autism yang usianya mendekati remaja akan berperilaku mengarah kepada sifat ketergantungan kepada ibunya, dicirikan dengan suka berpegangan secara erat pada ibunya ketika ada orang asing muncul didekatnya (Copps, Sigman & Mundy, 1994; Sigman & Mundy, 1989 dalam Alloy,L.B., 2005: 495). Walaupun isolasi-sosial nampaknya ekstrim, namun tidak diartikan bahwa penyandang sindrom autism tidak menunjukkan perasaan emosionalnya. Yang bersangkutan dapat mengamuk, panik atau menangis. Lorna Wing (1972:24), menyatakan bahwa anak dengan sindrom autism mempunyai kesulitan berperilaku dan bermasalah dalam emosionalnya. Hal itu disebabkan karena ia kurang mampu memahami dirinya terhadap lingkungan yang ada di sekelilingnya, dan hal ini merupakan penyebab utama dari kelainansosial yang disandangnya. Kelainan sosialnya tersebut adalah: (a) berperilaku suka menyendiri (a loofness and social withdrawal), (b) berperilaku pasif (passive), dan (c) terkadang suka berperilaku aktif tetapi dilakukan dengan aneh (active but odd ). Perilaku suka menyendiri atau a loofness and social withdrawal bagi kebanyakan anak dengan sindrom autism usia muda dimaksudkan bahwa yang bersangkutan jarang melakukan pendekatan sosial secara spontan, kecuali yang bersangkutan ‖ada maunya‖ atau sedang memerlukan suatu bantuan dari orang lain. Namun anehnya, ia selalu menolak jika ada upaya-upaya pendekatan atau bantuan dari orang-orang yang ada di sekelilingya. Perilaku yang sering nampak antara lain: bila ia dipanggil namanya tetapi ia tidak pernah menyahut, tidak pernah mendengarkan apabila ada orang yang berbicara dengannya, tidak adanya ekspresi-wajah atau terlihat bahwa wajahnya tidak menunjukkan adanya ekspresi tertentu, tidak pernah melihat wajah seseorang secara langsung, ia akan menarik tangannya bila anda menyentuh tangannya, ia akan berjalan melewati anda tanpa permisi terkadang anda diloncati jika anda duduk menghalangi jalannya, tidak 19 pernah menunjukkan rasa simpati terhadap orang lain yang kesakitan atau kesusahan. Berperilaku pasif, diartikan bahwa anak dengan sindrom autism tidak pernah melakukan suatu inisiatif untuk berupaya melakukan hubungan dengan orang di sekitarnya. Pada perilaku aktif tetapi aneh, diartikan bahwa yang bersangkutan baru mau melakukan respon jika seseorang melakukan hubungan yang sesuai dengan ‖keberadaannya‖ dan mampu melakukan interaksi dengannya. Hal ini terjadi disebabkan anak penyandang autism mempunyai hendaya atau disorder pada beberapa bagian bukan pada satu bagian (Alloy, L.B., 2005: 494). 2. Hendaya Perkembangan Fungsional pada Anak Autistik Sebagian besar anak autistik mempunyai hendaya-rangkap dengan hendaya perkembangan fungsional atau ‖ketunagrahitaan‖. Diperkirakan antara 76 hingga 89 persen mempunyai nilai skor IQ di bawah 70 (Poryson, Clark & Gillberg, 1986 dalam Alloy, L.B., 2005:: 494-495). Hanya saja anak autistik berbeda sekali dengan anak-anak tunagrahita dalam hal ketidakmampuan kognitifnya, kebanyakan dari anak autistik kemampuan kognitifnya lebih baik dibandingkan dengan anak tunagrahita. Contohnya, Dari hasil tes pada suatu penelitian terhadap kemampuan sensorimotor, ternyata anak autistik dapat menemukan benda-benda yang disembunyikan, begitu pula terhadap tes kemampuan berbahasa dan pemahaman. Anak tunagrahita saat menjawab tes yang diajukan kepadanya, nilainya berkecenderungan berada pada batas re-rata, sedangkan pada autistik berbeda dan berkecenderungan bervariasi. Sebagian besar kasus utama pada kelainan perkembangan anak autistik adalah pada masalah kognitif bukan sematamata akibat dari penarikan dirinya dari lingkungan masyarakatnya. Pada beberapa kasus terhadap anak autistik, telah menunjukkan adanya kemampuan inteligensi yang berada pada rerata normal dan di atas re-rata normal. Kemampuan inteligensinya sewaktu-waktu dapat dimunculkan dalam suatu kemampuan tertentu pada matematika, seni dan musik. Pada kasus-kasus lainnya menunjukkan bahwa anak-anak Asperger’s Disorder tidak mempunyai masalah dalam bahasa dan perkembangan fungsionalnya, sehingga mereka diperkirakan secara prognosis dalam 20 jangka panjang akan lebih cemerlang jika dibandingkan dengan mereka yang secara formal mempunyai sindrom autism. 3. Ketidakmampuan Berbahasa atau Deficits language Hampir lebih dari separuh anak-anak autistik tidak mampu berbicara. Separuhnya lagi hanya mampu berceloteh yang maknanya sulit dipahami orang lain, suka berceloteh atau terkadang suaranya mendengking, menjerit atau menunjukkan gejala echolalia atau mengulang-ulangi kata yang pernah ia dengar sebelumnya. Kemampuan echolalia disini dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menirukan secara persis terhadap ucapan kata yang telah diucapkan orang lain, namun ia sendiri tidak mengerti maknanya. Pada beberapa anak autistik kemampuan mengucapkan kata-kata tanpa tujuan tertentu tersebut pada umumnya ia peroleh dari pengucapan kata hasil pendengarannya dari program televisi komersial (alloy, L.B., 2005:496). Secara umum, anak autistik mampu berbicara untuk berkomunikasi melalui caracara yang sangat terbatas, dengan menggunakan kata-ganti orang secara aneh. Misalnya, mengucapkan kata-ganti dirinya (‖saya‖) dengan kata-ganti orang kedua (‖kamu‖) atau dengan kata-ganti orang ketiga (‖dia‖). Beberapa dari mereka saat berbicara, kata-kata yang terucapkan mempunyai makna-harfiah yang ekstrim (Bailey, Phillips & Rutter, 1996 dalam Alloy, L.B., 2005: 497). Intinya, anak autistik tidak dapat berkomunikasi secara timbal balik, tidak dapat menggunakan kata-kata yang umum digunakan sebagai bentuk ‖memberi dan mengambil‖ dalam suatu dialog pembicaraan. Masalah ketidakmampuan berbahasa secara pelik pada diri anak autistik merupakan suatu perkiraan prognosis sebagai indikator yang tepat. Olehkarenanya, mereka memerlukan suatu terapi penyembuhan tersendiri agar yang bersangkutan mampu mengembangkan kemampuan berbicara yang bermakna, dilakukan semenjak yang bersangkutan berusia lima tahun (Werry, 1996; Kobayashi, Murata& Yoshigama, 1992; Venter, Lord & Schopler, 1992 dalam Alloy, L.B., 2005: 496). 21 22