PENDAHULUAN. Latar Belakang Cidera medulla spinalis adalah

advertisement
PENDAHULUAN.
Latar Belakang
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkanseringkali
oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih. Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi
fungsimotorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter .
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000orang di Amerika
Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini
lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera(Suzanne C.
Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angkakejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla
spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di
bandingkan pada wanita karenaolahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi
belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan
dengan perubahan hormonal (menopause)
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss
pada
L 2 - 3 membutuhkan
perhatian
lebih
diantaranya
dalam
pemenuhan
kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga
beresiko mengalami komplikasicedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic.
SPINAL CORD INJURY
Pengertian Spinal Cord Injury
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum tulang belakang
yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi menyebabkan mobilitas dikurangi atau
perasaan. Penyebab umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, tembak, jatuh,
cedera olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio, spina bifida, Ataksia Friedreich,
dll). Sumsum tulang belakang tidak harus dipotong agar hilangnya fungsi terjadi. Pada
kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang masih utuh, tetapi kerusakan selular
untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI sangat berbeda dari cedera punggung seperti disk
pecah, stenosis tulang belakang atau saraf terjepit.
Hal ini dimungkinkan bagi seseorang untuk "mematahkan punggung atau leher" namun
tidak mempertahankan cedera tulang belakang selama hanya tulang (tulang belakang) sekitar
sumsum tulang belakang yang rusak, tapi kabel tulang belakang tidak terpengaruh. Dalam kasus
ini, orang tersebut tidak mungkin mengalami kelumpuhan setelah tulang belakang yang stabil.
ANATOMI
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke
selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain : 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk
jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam
susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang
belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut.
Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang
disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah conus terminalis serabutserabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
Terdapat 31 pasang syaraf spinal:
a.
8 pasang syaraf servikal,
b. 12 Pasang syaraf Torakal,
c.
5 Pasang syaraf Lumbal,
d. 5 Pasang syaraf Sakral ,
e.
1 pasang syaraf koksigeal
Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula
spinalis berakhir kira-kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama
dan kedua. Sebelum usia 3 bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh radiksnya, langsung
menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu, kolumna tumbuh lebih cepat daripada
medula. Radiks tetap melekat pada foramina intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah
panjang ke arah akhir medula (conus terminalis), akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis
ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti kantong, hanya mengandung
radiks posterior dan anterior yang membentuk cauda equina. Kadang-kadang, conus terminalis
dapat mencapai sampai tingkat vertebra lumbalis ke-3.
Radiks dari segmen C1 sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui foramina
intervertebralis yang terletak pada sisi superior atau rostral setiap vertebra. Karena bagian
servikalis mempunyai satu segmen lebih daripada vertebra servikalis, radiks segmen ke-8
meninggalkan kanalis melalui foramina yang terletak antara vertebra servikalis ke-7 dan
torasikus ke-1. Dari sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis melalui foramina yang
lebih bawah.
Antara C4 dan T1, dan juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis membesar.
Intumesensia servikalis dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari separuh bawah bagian
servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi ekstrimitas atas, dan yang dari regio lumbosakral membentuk pleksus lumbosakralis, mempersarafi ekstrimitas bawah.
Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks
bercabang menjadi saraf-saraf perifer yang berbeda; dengan kata lain, setiap saraf perifer dibuat
dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan. Ke arah perifer dari saraf, serat saraf
aferen berasal dari satu radiks dorsalis yang bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu
dari kulit, disebut dermatom atau daerah dermatomik.
Dermatom berjumlah sebanyak radiks segmental. Dermatom-dermatom letaknya saling
tumpang tindih satu sama lain, sehingga hilangnya satu radiks saja sulit untuk dideteksi. Harus
terjadi hilangnya beberapa radiks yang berdekatan supaya dapat timbul hilangnya sensorik dari
karakter segmental. Dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks medula spinalis,
sehingga mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat ketinggian dari
kerusakan medula spinalis.
Patofisiologi
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis
dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih. Gangguan kebutuhan
gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia,
gangguan eliminasi.
Sebuah kejadian patofisiologis yang kompleks yang berhubungan dengan radikal bebas,
edema vasogenic, dan aliran darah diubah rekening untuk pemburukan klinis. Oksigenasi
normal, perfusi, dan asam-basa keseimbangan yang diperlukan untuk mencegah memburuknya
cedera sumsum tulang belakang.
Cedera tulang belakang dapat dipertahankan melalui mekanisme yang berbeda, dengan 3
kelainan umum berikut yang menyebabkan kerusakan jaringan:
1. Penghancuran dari trauma langsung
2. Kompresi oleh fragmen tulang, hematoma, atau bahan disk yang
3. Iskemia dari kerusakan atau pelampiasan pada arteri spinalis
Edema bisa terjadi setelah salah satu jenis kerusakan.
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak
langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang
adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi
dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan
berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi
kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang
terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen
yang cedera tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
1. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
2. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah
level lesi.
3. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
4. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
5. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang
belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat
mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik
normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).
Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing)
masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah (AACN, Marianne
Chulay, 2005 : 487).
B. Klasifikasi Spinal Cord Injury
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical
Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart
internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini
berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara
karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala kerusakan menurut ASIA/
IMSOP Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik/ sensorik yg diinervasi oleh segmen sakral 45 Grade B Inkomlpit Fungsi sensorik tapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan menjalar
sampai segmen sakral (S4-5). Grade C Inkomlpit Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat lesi
dan mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3. Grade D
Inkomlpit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan meyoritas otot-otot penting
memiliki nilai lebih dari 3. Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5 sindrom utama
cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome,
(2) Anterior Cord Syndrome,
(3) Brown Sequard Syndrome,
(4) Cauda Equina Syndrome, dan
(5) Conus Medullaris Syndrome.
Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu
Posterior Cord Syndrome.
Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi. Sering terjadi
pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling
sering adalah medula spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus
tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat
penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan
vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang
paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang
ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian
besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada
T2, yang mengindikasikan adanya edema.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada
ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya
lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologik permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula spinalis C6 dengan ciri
LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen
yang unilateral.
Cauda Equina Syndrome disebabkan oleh berbagai penyempitan dari kanalis spinalis
yang menekan radiks saraf dibawah korda spinalis. Beberapa penyebab yang sering dilaporkan
adalah Luka trauma, herniasi diskus, stenosis spinal, inflamasi, kondisi infeksi dan massa.
Nama Sindroma
Central cord syndrome
Cedera pada posisi sentral dan sebagian pada daerah lateral.
Dapat sering terjadi pada daerah servikal
Menyebar ke daerah sacral. Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah jarang
terjadi pada ekstremitas bawah
Brown- Sequard Syndrome
Anterior dan posterior hemisection dari medulla spinalis atau cedera akan menghasilkan medulla
spinalis unilateral
Kehilangan ipsilateral proprioseptiv dan kehilangan fungsi motorik.
Anterior cord syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis
Kehilangan funsgsi motorik dan sensorik secara komplit.
Posterior cord syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis
Kerusakan proprioseptiv diskriminasi dan getaran. Funsgis motor juga terganggu
Cauda equine syndrome
Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral samapi ujung medulla spinalis
Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan
defekasi.
Sedangkan secara lebih spesifik lagi, Holdsworth membuat klasifikasi Spinal Cord Injury
(SCI) sebagai berikut :
1. Cedera Fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge
fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Cedera Fleksi-Rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang
juga terdapat pada prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi
fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan
cedera yang paling tidak stabil.
3. Cedera Ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil. Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan
pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture. Cedera robek langsung (direct
shearing) biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur
ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera
kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan
cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
4. Cedera Stabil Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan
penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istirahat total di
tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia
simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan.
Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
5. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien dapat diberikan berupa analgetik dan korset.
6. Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial yang terdiri dari 2 jenis : (1) protrusi
diskuske dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien
muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra kedalam tulang berpori yang
lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi yang dapat
diberikan berupa analgetik, istirahat ditempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk
beberapa minggu. Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat
terjadikarena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi
radiologik yang lebih pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani
dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Direkomendasikan juga
untuk menggunakan brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang dapat digunakan
selama 3 atau 4 bulan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari
kanalisneuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
7. Cedera Tidak Stabil Rotasi-Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan
hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi
pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari
gangguan neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan),
dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan
berbagai alat metalik diindikasikan.
8. Fraktura “Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel
atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan
paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi
gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura
iniditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
9. Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah
direkomendasikan.
Efek dari Spinal Cord Injury
Cedera di wilayah dada biasanya mempengaruhi bagian dada dan kaki dan
mengakibatkan kelumpuhan. Vertebra di punggung bawah antara vertebra toraks, di mana tulang
rusuk melampirkan, dan pelvis (tulang pinggul), adalah vertebra lumbal. Vertebra sakralis lari
dari Pelvis ke akhir kolom tulang belakang. Cedera vertebra lumbal lima (L-1 sampai L-5) dan
sama dengan vertebra sakralis lima (S-1 sampai S-5) umumnya mengakibatkan hilangnya
beberapa fungsi di bagian pinggul dan kaki.
Efek dari SCI tergantung pada jenis cedera dan tingkat cedera.
Tingkat Spinal Cord Injury
Tingkat cedera sangat membantu dalam memprediksi apa bagian tubuh yang mungkin
akan terpengaruh oleh kelumpuhan dan hilangnya fungsi. Ingatlah bahwa dalam luka tidak
lengkap akan ada beberapa variasi dalam prognosis.
Servikal (leher) luka biasanya menghasilkan quadriplegia. Cedera di atas level-4 C
mungkin memerlukan ventilator bagi orang untuk bernapas. C-5 sering mengakibatkan cedera
bahu (deltoid) dan kontrol bisep, tetapi tidak ada kontrol di pergelangan tangan atau tangan. C-6
cedera pergelangan umumnya memberi kontrol (ekstensor pergelangan tangan), tetapi tidak ada
fungsi jari tangan. Individu dengan C-7 dan T-1 luka dapat meluruskan lengan mereka (trisep)
tetapi mungkin masih memiliki masalah ketangkasan dengan tangan dan jari. Cedera pada
tingkat dada dan bawah mengakibatkan paraplegia, dengan tangan tidak terpengaruh. Pada T-1
sampai T-8 yang paling sering ada kendali dari tangan, tetapi kontrol batang miskin sebagai
akibat dari kurangnya kontrol otot perut. Rendah T-luka (T-9 ke T-12) memungkinkan kontrol
truk yang baik dan kontrol otot yang baik perut. Duduk keseimbangan yang sangat baik.
Lumbalis dan sakralis cedera menghasilkan penurunan kontrol dari fleksor pinggul dan kaki.
Kelumpuhan juga memiliki efek lain serta hilangnya sensasi atau motor berfungsi
Individu dengan SCI juga mengalami perubahan neurologis lainnya. Sebagai contoh, seseorang
mungkin mengalami disfungsi usus dan kandung kemih,. Fungsi seksual yang sering terkena
pada pria dengan SCI, karena mereka mungkin memiliki kesuburan mereka terpengaruh,
sementara kesuburan perempuan umumnya tidak terpengaruh. Tinggi cedera tulang belakang
cedera (C-1, C-2) dapat mengakibatkan hilangnya banyak fungsi tubuh secara sukarela, termasuk
kemampuan untuk bernapas. Pernapasan bantu seperti ventilator mekanik atau alat pacu jantung
diafragma mungkin diperlukan untuk mengatur orang-orang yang bernapas dalam kasus ini. Efek
lain dari SCI mungkin termasuk tekanan darah rendah postural (Hipotensi postural),
ketidakmampuan untuk mengatur tekanan darah dengan efektif, kontrol penurunan suhu tubuh
(poikilothermic), ketidakmampuan untuk berkeringat di bawah tingkat cedera, dan rasa sakit
kronis.
MANIFESTASI KLINIS
- nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
- paraplegia
- tingkat neurologik
- paralisis sensorik motorik total
- kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
- penurunan keringat dan tonus vasomoto
- penurunan fungsi pernafasan
- gagal nafas
PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah
dilakukan traksi atau operasi
CT Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas
atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
Tanda dan Gejala Paraplegi Akibat Spinal Cord Injury
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan
sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid
paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang
cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah
kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan
refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak
bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung
beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi
spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai
kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel – sel saraf
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain
dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel
yang ada di saraf pusat mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level
kerusakan akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat
kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada
hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan
aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia.
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan
rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang
berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid
dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid
dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja
didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter,
karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua
kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah
dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan
(Sidharta, 1999).
d. Gangguan fungsi seksual

Gangguan seksual pada pria
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari
setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal
shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.
Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi
terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan
ereksi psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien
mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan
diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak
komplit, tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi
pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan
locomotor dan aktivitas otot secara volunter. Dapat dilakukan tes untuk mengetahui
potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang memerlukan bantuan untuk
belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley, 1984).

Gangguan seksual pada wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau
tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun.
Terkadang siklus menstruasinya akan kembali normal. Pada pasien wanita dengan lesi
yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ genitalnya dan gangguan
untuk fungsi seksualnya. Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan
mempunyai anak yang normal dengan lahir normal atau dengan caesar (SC) jika memang
indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi secara normal untuk cidera diatas level Th6,
kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada Th6
dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet Th6,
Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai
proses kehamilan.
e. Autonomic desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus
dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus
tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak
keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing
atau sakit kepala. Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas
dari reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak,
bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi
yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.
Pengobatan Cedera Spinal Cord
Perawatan dimulai dengan personel gawat darurat medis yang membuat evaluasi awal
dan melumpuhkan pasien untuk transportasi. Perawatan medis segera dalam 8 jam pertama
setelah cedera adalah penting untuk pemulihan pasien. Saat ini ada banyak pengetahuan lebih
besar tentang bergerak dan penanganan pasien cedera tulang belakang. Salah teknik yang
digunakan pada tahap ini bisa memperburuk cedera jauh.
Bila cedera terjadi dan untuk periode waktu sesudahnya, sumsum tulang belakang
merespon dengan pembengkakan. Pengobatan dimulai dengan obat steroid, ini dapat diberikan di
tempat kejadian oleh Dokter ambulans udara atau paramedis terlatih. Obat ini mengurangi
peradangan di daerah luka dan membantu untuk mencegah kerusakan lebih lanjut untuk
membran sel yang dapat menyebabkan kematian saraf. Hemat saraf dari kerusakan lebih lanjut
dan kematian adalah sangat penting.
Cedera setiap pasien adalah unik. Beberapa pasien memerlukan operasi untuk
menstabilkan tulang belakang, memperbaiki misalignment kotor, atau untuk menghapus kabel
jaringan menyebabkan atau kompresi saraf. Spinal stabilisasi sering membantu untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Beberapa pasien mungkin ditempatkan dalam traksi dan tulang belakang
diperbolehkan untuk menyembuhkan secara alami. Setiap cedera yang unik seperti program
pengobatan cedera posting yang berikut.
Tergantung pada keadaan, ketika pembedahan diperlukan, dapat dilakukan dalam 8 jam
setelah cedera. Pembedahan dapat dipertimbangkan jika sumsum tulang belakang dikompresi
dan ketika tulang belakang memerlukan stabilisasi. Dokter bedah memutuskan prosedur yang
akan memberikan manfaat terbesar bagi pasien.
Jaringan yang berbeda dan struktur tulang vertebra termasuk sejajar dari kekuatan cedera,
herniated disc, atau hematoma dapat menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang. Sebuah
tulang belakang tidak stabil mungkin memerlukan instrumentasi tulang belakang dan fusi untuk
membangun dalam dukungan.
Instrumentasi tulang belakang dan fusi dapat digunakan untuk memberikan stabilitas
permanen ke kolom tulang belakang. Ini prosedur yang benar, bergabung, dan memantapkan
tingkat di mana elemen tulang belakang telah rusak atau dihapus (misalnya disc hernia)
Instrumentasi menggunakan perangkat keras yang dirancang medis seperti batang, bar,
kabel dan sekrup. Instrumentasi dikombinasikan dengan fusi (cangkok tulang) untuk secara
permanen bergabung dua atau lebih tulang belakang.
Setelah pasien stabil, perawatan dan
pengobatan berfokus pada perawatan suportif dan rehabilitasi. Anggota keluarga, perawat, atau
wali dilatih khusus memberikan perawatan suportif. Perawatan ini mungkin termasuk membantu
pasien mandi, berpakaian, mengubah posisi untuk mencegah luka baring, dan bantuan lainnya.
Rehabilitasi sering mencakup terapi fisik, terapi okupasi, dan konseling bagi dukungan
emosional. Setiap program dirancang untuk memenuhi kebutuhan unik pasien. Layanan mungkin
awalnya diberikan ketika pasien dirawat di rumah sakit atau pada unit spesialis cedera tulang
belakang. Setelah rawat inap, beberapa pasien yang dirawat di sebuah fasilitas rehabilitasi.
Pasien lain dapat melanjutkan rehabilitasi secara rawat jalan dan / atau di rumah.
Program fisioterapi (PT) dapat memfasilitasi pemulihan kekuatan otot, fleksibilitas,
meningkatkan mobilitas, koordinasi, dan mempertahankan fungsi tubuh melalui latihan. Pijat,
hidroterapi, dan perawatan lain dapat membantu untuk meredakan nyeri.
Terapi Okupasi (PL) mengajarkan pasien bagaimana menghadapi kehidupan sehari-hari.
PL mendorong kemerdekaan dengan membantu pasien dengan tugas-tugas sehari-hari seperti
berpakaian, persiapan mandi, makanan, pergi ke toilet, dan kegiatan lain sehari-hari.
Pidato dan terapi bahasa dapat dimasukkan. Keterampilan ini menyeberang ke tempat
kerja, membantu pasien mengembangkan potensi penuh mereka. Ini mungkin termasuk mengajar
pasien bagaimana menggunakan otot-otot yang berbeda untuk menyelesaikan tugas-tugas seperti
menulis.
Kadang-kadang lebih dari dukungan dari keluarga dan teman-teman yang dibutuhkan
untuk mengatasi cedera tulang belakang
Penatalaksanaan Fisioterapi
Diagnosis Fisioterapi
1. Impairment : - nyeri pada daerah insisi
- penurunan kekuatan otot-otot tungkai
- potensial terjadinya atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
- menurunnya ROM tungkai
- gangguan sensasi
- gangguan fungsi kontrol bladder dan bowel
2. Functional Limitation : - gangguan seperti miring, duduk, dan berdiri serta gangguan
aktifitas berjalan.
3. Disability : - pasien tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari.
Tujuan Fisioterapi
1. Mengurangi nyeri
2. Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
3. Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
4. Meningkatkan ROM tungkai
5. Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
6. Mengembalikan ke ADL yang mandiri
Program Latihan Fisioterapi
1. Menjaga fungsi respirasi: breath exc, glossopharyngeal breath, airshift manuever,
strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan untuk meningkatkan kondisi
umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring (bed rest). Perhatian pada :

Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan diafragma)
2. Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas, mengkoreksi
kelurusan dari fraktur)
3. Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan adanya
keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi
4. Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective)
5. Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor
6. Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil
7. Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak stabil
Salah satu teknologi yang digunakan dalam penanganan paraplegi adalah terapi latihan.
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya dengan
menggunakan pelatihanpelatihan gerak tubuh baik secara aktif maupun secara pasif. Secara
umum tujuan terapi latihan meliputi pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan,
perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot, kemampuan cardiovaskuler,
mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak, stabilitas, rileksasi, koordinasi keseimbangan dan
kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien harus
berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses bertahap yang
bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang
parah. Sebuah kursi roda dengan kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada
awalnya sampai pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk
adalah penting di bawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang
diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan
dapat bekerja.
Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan
transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa untuk
mengambil tempat di Unit Luka Spinal. Hanya suatu unit khusus dengan tim multi-disiplin dapat
mengajarkan sejumlah besar keterampilan yang tersisa diperlukan untuk hidup mandiri. Tingkat
independensi pasien dapat mencapai tergantung pada banyak faktor seperti tingkat dari cedera
tulang belakang, usia orang, setiap co-ada kondisi medis dan motivasi dan dukungan keluarga.
Tingkat
Kemampuan
C1-C3 Terbatas gerakan kepala dan
leher
Tujuan Fungsional
Pernapasan: Tergantung pada ventilator
atau implan untuk mengendalikan
pernapasan.
Komunikasi: Berbicara kadang sulit, sangat
terbatas atau tidak mungkin. Jika
kemampuan berbicara yang terbatas,
komunikasi dapat dilakukan secara
independen dengan tongkat mulut dan
teknologi bantu seperti komputer untuk
pidato atau mengetik. Komunikasi verbal
yang efektif memungkinkan individu dengan
SCI untuk mengarahkan perawat dalam
kegiatan sehari-hari orang tersebut, seperti
mandi, berpakaian, kebersihan pribadi,
mentransfer serta kandung kemih dan usus
manajemen.
Tugas sehari-hari: Teknologi Assistive
memungkinkan untuk kemerdekaan dalam
tugas-tugas seperti halaman berubah,
dengan menggunakan telepon dan lampu
operasi dan peralatan.
Mobilitas: Dapat mengoperasikan sebuah
kursi roda listrik dengan menggunakan
kontrol kepala, tongkat mulut, atau kontrol
dagu. Sebuah kemiringan kursi roda listrik
juga untuk pelepas tekanan independen.
C4
Biasanya memiliki kepala dan Pernapasan: awalnya Mei memerlukan
leher kontrol. Individu pada
ventilator untuk bernafas, biasanya
tingkat C4 bisa mengangkat
menyesuaikan diri dengan bernapas penuh-
bahu mereka.
waktu tanpa bantuan ventilator.
Komunikasi: normal, mungkin memiliki
proyeksi suara lemah
Tugas sehari-hari: Dengan peralatan
khusus, beberapa mungkin memiliki
kebebasan terbatas dalam makan dan
mandiri mengoperasikan tempat tidur
disesuaikan dengan controller disesuaikan.
C5
Biasanya memiliki kepala dan Tugas-tugas harian: Kemerdekaan dengan
kontrol leher, bahu
makan, minum, mencuci muka, menyikat gigi
mengangkat bahu dapat dan mencukur, wajah dan perawatan rambut
memiliki kontrol bahu. Bisa
setelah bantuan dalam menyiapkan peralatan
menekuk nya / siku dan
khusus.
telapak tangan menghadap ke
atas gilirannya.
Perawatan kesehatan: Dapat mengelola
perawatan kesehatan mereka sendiri dengan
melakukan diri membantu batuk dan relief
tekanan dengan bersandar ke depan atau
sisi ke sisi.
Mobilitas: Mei memiliki kekuatan untuk
mendorong kursi roda manual untuk jarak
pendek di atas permukaan halus. Sebuah
kursi roda kekuasaan dengan kontrol tangan
biasanya digunakan untuk kegiatan seharihari. Mengemudi mungkin setelah dievaluasi
oleh seorang profesional yang memenuhi
syarat untuk menentukan kebutuhan
peralatan khusus.
C6
Apakah gerakan di kepala,
Tugas sehari-hari: Dengan bantuan
leher, bahu, lengan dan
beberapa peralatan khusus, dapat melakukan
pergelangan tangan. Bahu
dengan lebih mudah dan kemerdekaan, tugas-
bahu dapat, siku menekuk,
tugas sehari-hari makan, mandi, perawatan,
putar telapak tangan ke atas
kebersihan pribadi dan pakaian. Independen
dan bawah dan
dapat melakukan tugas rumah tangga ringan.
memperpanjang pergelangan
tangan.
Perawatan kesehatan: Dapat secara
independen melakukan relief tekanan itu,
pemeriksaan kulit dan gilirannya di tempat
tidur.
Mobilitas: Beberapa individu mandiri dapat
melakukan transfer tetapi sering
membutuhkan papan geser. Dapat
menggunakan kursi roda manual untuk
aktivitas sehari-hari tetapi dapat
menggunakan kursi roda listrik untuk
kemudahan yang lebih besar kemerdekaan.
C7
Memiliki gerakan yang sama
Tugas sehari-hari: Mampu melakukan tugas-
sebagai individu dengan C6,
tugas rumah tangga. Butuh bantuan adaptif
dengan kemampuan
lebih sedikit dalam hidup mandiri.
ditambahkan untuk
meluruskan / nya siku.
Kesehatan: Mampu untuk melakukan up
mendorong kursi roda relief tekanan itu.
Mobilitas: penggunaan harian dari kursi
roda manual. Dapat mentransfer dengan
lebih mudah.
C8-T1 Memiliki kekuatan
ditambahkan dan ketepatan
Tugas-tugas harian: Bisa hidup mandiri
tanpa alat bantu dalam memberi makan,
jari-jari yang menghasilkan
mandi, dandan, kebersihan mulut dan wajah,
fungsi tangan terbatas atau
rias, manajemen kandung kemih dan usus
alami.
manajemen.
Mobilitas: Menggunakan kursi roda manual.
Dapat mentransfer secara independen.
T2-T6 Memiliki fungsi motorik
Tugas sehari-hari: Harus benar-benar
normal di kepala, leher, bahu, independen dengan semua kegiatan.
lengan, tangan dan jari.
Apakah peningkatan
penggunaan otot rusuk dan
dada, atau kontrol bagasi.
Mobilitas: Beberapa individu yang mampu
berjalan terbatas dengan bracing yang luas.
Ini membutuhkan energi yang sangat tinggi
dan menempatkan tekanan pada bagian atas
tubuh, tidak memberikan keuntungan
fungsional. Dapat menyebabkan kerusakan
sendi atas.
T7-
Telah menambahkan fungsi
Tugas sehari-hari: Mampu melakukan
T12
motorik dari kontrol perut
aktivitas duduk yang tidak didukung.
meningkat.
Mobilitas: Sama seperti di atas.
Perawatan kesehatan: Apakah batuk
efektivitas ditingkatkan.
L1-L5 Sudah kembali tambahan
Mobilitas: Berjalan dapat menjadi fungsi
gerakan motorik di bagian
yang layak, dengan bantuan kaki khusus dan
pinggul dan lutut.
kawat gigi pergelangan kaki. Tingkat yang
lebih rendah berjalan dengan lebih mudah
dengan bantuan alat bantu.
S1-S5 Tergantung pada tingkat
Mobilitas: Peningkatan kemampuan untuk
cedera, ada berbagai tingkat berjalan dengan perangkat yang lebih sedikit
pengembalian sukarela
kandung kemih, usus dan
fungsi seksual.
atau tidak mendukung
Prognosis
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal
cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita),
segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik)
dan segi quo ad fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang
terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu
kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar
prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula spinalis
merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan
yang permanen.
Komplikasi
Komplikasi yang sering muncul pada kasus paraplegi adalah antara lain :
a. Chest complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari
penurunan seluruh dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan
abdominal saat pernafasan supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot
abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan
inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas pernafasan vital dan fungsional.
Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio vertilasi /perfusi di daerah yang
kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika
terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris
juga terganggu maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang
tergantung, sehingga menimbulkan atelektasis dan pneumonia hipostatik
b. Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru
Pasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai
dengan adanya pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering
ditemukan oleh fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau
kedua anggota gerak bawah. Jika DVT positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti
koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka
perlu diperhatikan terjadinya emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 – 40
c. Pressure sore
Pressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan
yang menyebabkan iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan
tulang seperti sacrum, iscium, trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia,
hipoalbuminemia dan kelumpuhan merupakan faktor-faktor pedukung
d. Spastisitas
Setelah cedera tulang belakang sel-sel saraf di bawah tingkat cedera menjadi terputus
dari otak. Setelah periode perubahan kejutan tulang belakang terjadi pada sel-sel saraf yang
mengontrol aktivitas otot. Kelenturan adalah berlebihan dari refleks normal yang terjadi
ketika tubuh dirangsang dengan cara tertentu. Setelah cedera tulang belakang, ketika saraf
bawah cedera menjadi terputus dari yang di atas, tanggapan ini menjadi dibesar-besarkan.
Kejang otot, atau kekejangan, dapat terjadi setiap saat tubuh dirangsang bawah
cedera. Hal ini terutama terlihat ketika otot-otot yang meregang atau ketika ada sesuatu yang
menjengkelkan tubuh bawah cedera. Nyeri, peregangan, atau sensasi lain dari tubuh
ditransmisikan ke sumsum tulang belakang. Karena diskoneksi, sensasi ini akan
menyebabkan otot untuk kontrak atau kejang.
Hampir segala sesuatu dapat memicu kekejangan. Beberapa hal, bagaimanapun, dapat
membuat kelenturan lebih dari masalah. Infeksi kandung kemih atau infeksi ginjal seringkali
akan menyebabkan kekejangan untuk meningkatkan banyak. Sebuah kerusakan kulit juga
akan meningkat kejang. Pada seseorang yang tidak melakukan latihan rentang gerak teratur,
otot dan sendi menjadi kurang fleksibel dan hampir setiap stimulasi ringan dapat
menyebabkan kekejangan parah.
Beberapa kekejangan selalu dapat hadir. Cara terbaik untuk mengelola atau
mengurangi kejang yang berlebihan adalah dengan melakukan berbagai program harian
olahraga gerak. Menghindari situasi seperti infeksi kandung kemih, kerusakan kulit, atau luka
pada kaki dan kaki juga akan mengurangi kekejangan. Ada tiga obat utama yang digunakan
untuk mengobati kejang-kejang, baclofen, Valium, dan Dantrium. Semua memiliki beberapa
efek samping dan tidak sepenuhnya menghilangkan spastisitas.
Ada beberapa manfaat bagi kelenturan. Hal ini dapat berfungsi sebagai mekanisme
peringatan untuk mengidentifikasi rasa sakit atau masalah di daerah di mana tidak ada
sensasi ada. Banyak orang tahu kapan infeksi saluran kemih akan datang oleh peningkatan
kejang otot. Kelenturan juga membantu untuk mempertahankan ukuran otot dan kekuatan
tulang. Ini tidak menggantikan berjalan, tapi itu tidak membantu untuk beberapa derajat
dalam mencegah osteoporosis. Kelenturan membantu menjaga sirkulasi dalam kaum kiri. TI
dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas fungsional tertentu seperti melakukan transfer
atau berjalan dengan kawat gigi. Untuk alasan ini, pengobatan biasanya dimulai hanya ketika
kelenturan mengganggu tidur atau batas kapasitas fungsional individu.
e. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat
dari hilangnya fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya
kontraktur merupakan salah satu kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada
hasil akhir fungsional dan rehabilitasi
f. Osteoporosis dan fraktur
Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi
oleh rangsangan dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi
paraplegi karena adanya kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga
berpotensi timbulnya osteoporisis dan bila berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang.
Osteoporosis dapat menyebabkan fraktur kompresi pada corpus vertebra dan tulang panjang
penumpu berat badan hanya dengan trauma kecil serta mempermudah pasien untuk
mengalami fraktur panggul
g. Heterotopic ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak,
biasanya terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga
empat bulan setelah cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya
tidak jelas.
h. Neuropathic atau spinal cord pain
Kerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan disekitarnya
dapat menyebabkan neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa nyeri tajam teriris dan
menjalar sepanjang perjalanan saraf tepinya bahkan mungkin terjadi pada phantom limb pain
i. Syringomyelia
Syringomyelia merupakan pembesaran kanalis centralis dari medula spinalis pasca
trauma, terjadi pada satu hingga tiga persen pasien spinal cord injury. Resikonya adalah
gangguan fungsi diatas level cedera.
j. Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular adalah risiko jangka panjang utama dari cedera tulang
belakang. SCI individu hidup dalam kehidupan yang agak menetap umum dan berada pada
risiko tinggi untuk penyakit kardiovaskular daripada populasi berbadan sehat. Oleh karena
itu, penilaian yang cermat fungsi kardiovaskular dan dorongan dari program latihan yang
sesuai dan diperlukan aspek jangka panjang dari cedera tulang belakang manajemen dan
perawatan. Resep program latihan ekstremitas atas di sumsum tulang belakang cederaindividu yang mirip dengan yang digunakan pada populasi lain dengan pengecualian
penggunaan peralatan adaptif seperti kursi roda balap atau mono-ski.
k. Otonom dysreflexia
Dysreflexia otonom (AD) adalah suatu kondisi yang dapat terjadi pada siapa saja
yang memiliki cedera tulang belakang pada atau di atas tingkat T6. Hal ini terkait pemutusan
antara tubuh bawah cedera dan mekanisme kontrol untuk tekanan darah dan fungsi jantung.
Hal ini menyebabkan tekanan darah untuk naik ke tingkat yang berpotensi berbahaya.
Dysreflexia otonom dapat disebabkan oleh sejumlah hal. Penyebab paling umum
adalah kandung kemih penuh, infeksi kandung kemih, sembelit parah, atau luka tekanan. Apa
pun yang biasanya akan menyebabkan nyeri atau ketidaknyamanan di bawah tingkat cedera
tulang belakang dapat memicu dysreflexia. Dysreflexia otonom dapat terjadi selama tes
medis atau prosedur dan perlu mengamati.
l. Pneumonia
Juga disebut, atelektasis atau aspirasi. Pasien dengan cedera tulang belakang di atas
tingkat T4 cedera berada pada risiko untuk mengembangkan pembatasan dalam fungsi
pernapasan, penyakit paru-paru disebut terbatas. Hal ini terjadi lima sampai 10 tahun setelah
cedera sumsum tulang belakang dan dapat menjadi progresif di alam. Individu tunadaksa
sebagai bagian dari rutinitas perawatan kesehatan pemeliharaan harus memiliki studi fungsi
paru pada tahunan atau setiap-lain-tahun interval antara lima dan 10 tahun pasca cedera.
Sebagai
pengobatan
medis
dari
cedera
sumsum
tulang
belakang-individu
terus
meningkatkan, komplikasi pernapasan SCI menjadi lebih menonjol. Pemeliharaan kesehatan
yang memadai dan perlindungan dari komplikasi ini adalah tepat dan diperlukan sebagai
bagian dari perawatan jangka panjang individu cedera tulang belakang tali.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, Graham, dkk. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur system apley edisi ke 7. Jakarta:
Penerbit Widya Medika
Braddom, Randall. 2007. physical medicine & rehabilitation third edition . USA : penerbit
Saunders Elsevier.
Ester, Monica. 2010. Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifikasi 2009-2011/editor. Jakarta :
EGC.
Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic approach,
Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.
REFERAT
SPINAL CORD INJURY
Disusun Oleh :
Samtim Adhi
H2A008039
KEPANITERAAN KLINIK SYARAF
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2013
Download