21 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Anatomi Telinga Dalam Koklea merupakan struktur tulang yang berbentuk spiral menyerupai rumah siput dengan 2,5 sampai 2,75 kali putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus (Moller, 2006). Bagian atas koklea adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema (Mills, 2006) (gambar 2.1). Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000 sampai 3.500), tiga baris sel rambut luar (12.000) dan sel penunjang. Permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa, dikenal sebagai membran tektoria (Moller, 2006). 22 Sel-sel rambut menerima beberapa ujung neuron yang membentuk suatu anyaman disekitar basis. Dijumpai dua tipe ujung saraf, satu berfungsi sebagai eferen dan yang lain aferen. Satu neuron akan membagi diri dan berakhir pada sejumlah sel-sel rambut. Neuron-neuron berjalan melalui kanalikuli pada lamina spiralis oseus (Gacek, 2009; Moller, 2006). 6 Gambar 2.1 Penampang melintang koklea dan organ Corti (Kurmis, 2007) 23 Setiap bagian disepanjang koklea memiliki struktur dasar yang sama, namun didapati perbedaan karakter berdasarkan fungsinya yang berkembang mulai dari basal koklea sampai apeks. Yang pertama, bagian basal kira-kira sepuluh kali lebih lebar dibandingkan di apeks. Kedua, bagian basal memiliki massa lebih banyak dibandingkan di apeks dan berfungsi untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel penunjang di organ Corti. Terakhir, bagian dimana basal lebih kaku dibanding dengan apeks, lebih besar oleh karena sifat yang dimiliki membran basilaris (Mills, 2006). 2.2 Fisiologi Pendengaran Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009). Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009). 24 2.3 Bising Bising memiliki pengertian baik secara physical, physiological dan psychological yang masing-masing berbeda. Secara fisik bising merupakan bunyi kompleks yang memiliki periodisitas yang kecil atau tidak ada sama sekali yang dapat diukur atau dianalisa. Secara fisiologi dapat diartikan sebagai signal yang tidak memiliki informasi dan memiliki berbagai intensitas yang acak. Sedangkan secara psikologi bising merupakan bentuk suara atau bunyi apapun tanpa memandang jenis gelombangnya, dimana bunyi tersebut mengganggu atau tidak dikehendaki (Alberti, 1997; Atmaca, 2005; Seidman, 2010). Bising sama seperti bunyi, memiliki durasi tertentu, spektrum frekuensi yang diukur dalam Hertz (Hz), intensitas diukur dalam Sound Presure Level (SPL) dengan satuan besaran yang dinyatakan dalam desibel (dB) (Alberti, 1997). Paparan bising yang terus menerus dengan intensitas diatas ambang batas 85 dB dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Atmaca, 2005). Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dapat dibagi atas (Buchari,2007): 1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturutturut. 2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1.000, dan 4.000 Hz). 3. Bising intermitten. Bising disini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. 4. Bising impulsif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran. 25 5. Bising impulsif berulang. Sama dengan bising impulsif, hanya saja disini terjadi secara berulang-ulang. Gangguan pendengaran akibat bising adalah kurang pendengaran atau tuli akibat paparan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan bising di lingkungan kerja. Sifat ketulian adalah tuli sensorineural dan pada umumnnya terjadi pada kedua telinga (Basyiruddin, 2010). Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya tentang kebisingan (KEPMEN, 1999) (tabel 2.1) Tabel 2.1 Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja :KEP-51/MEN/1999 Intensitas Waktu Paparan perhari (dB) (jam) 85 8 87,5 6 90 4 92,5 3 95 2 100 1 105 ½ ¼ 110 Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya gangguan pendengaran ketulian antara lain intensitas bising, frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur, dan faktor lain seperti rokok juga dapat menimbulkan ketulian (Basyiruddin, 2010; Carmelo, 2010). Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah paparan energi bising yang di terima dan faktor risiko yang mempengaruhi akan sebanding dengan kerusakan yang didapat (Daniel, 2007). 26 2.4 Gejala Akibat Pajanan Bising Dampak bising akan menyebabkan hilangnya pendengaran yang bisa disertai dengan tinitus. Beratnya gangguan pendengaran berhubungan dengan keparahan tinitus (Basyiruddin, 2007; Mazurek, 2010). 2.4.1 Gangguan pendengaran akibat bising Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising merupakan kombinasi dari faktor mekanik dan metabolik yakni adanya paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan perubahan metabolik yang menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler oleh karena bising (Ferrite, 2005; Mizuo,2011). Gangguan pendengaran akibat bising juga merupakan interaksi dari faktor lingkungan dan faktor genetik (Van Laer, 2006). Paparan bising menyebabkan pembentukan 8-isoprostaglandin F2α(8iso-PGF2α) didalam koklea yang merupakan marker terjadinya proses reaktif oxygen dan berpotensi menyebabkan vasokonstriksi sehingga menurunkan aliran darah ke koklea/ Cochlear Blood Flow (CBF) (Miller, 2003; Seidman, 2010). Penilaian tuli akibat bising secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada organ Corti dikoklea terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama paparan. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar seperti stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan di jumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel penunjang, hilangnya jaringan fibrosit dan kerusakan serabut saraf (Daniel, 2007; Kujawa, 2009). 27 Biasanya gangguan pendengaran akibat bising ini diketahui dengan adanya penurunan kemampuan berkomunikasi (seringnya dikenali oleh anggota keluarga atau orang-orang terdekatnya) pada fasilitas dokter keluarga atau dokter umum dan diikuti dengan pemeriksaan audiologi. Secara klinis, individu yang terkena menunjukkan penurunan pendengaran suara pada frekuensi tinggi, khasnya ditandai ada takik frekuensi 4.000 Hz sampai 6.000 Hz pada pemeriksaan audiometri (gambar 2.2) (Kurmis, 2007). Gambar 2.2 Gambaran audiogram dengan ‘speech banana’ mendekati gambaran khas gangguan pendengaran akibat bising takik pada 4.000 Hz (Kurmis, 2007) Adanya korelasi antara rentang frekuensi yang terlibat dan nada spesifik (frekuensi tinggi) dari spektrum bicara (gambar 2.2), mengakibatkan individu yang mengalami gangguan sering menunjukkan penurunan kemampuan untuk memahami dan membedakan percakapan, masalah yang dapat muncul dikemudian hari di perparah dengan sulitnya memahami percakapan di tempat keramaian (seperti lingkungan kerja). (Kurmis, 2007). 28 Derajat gangguan pendengaran/ ketulian menurut ISO (Basyiruddin, 2007; Buchari, 2007): 1. Normal : ambang pendengaran batas antara 0 – 25 dB 2. Tuli ringan : peningkatan ambang batas antara 26 – 40 dB 3. Tuli sedang : peningkatan ambang batas antara 41 – 55 dB 4. Tuli sedang berat: peningkatan ambang batas antara 56 – 70 dB 5. Tuli berat : peningkatan ambang batas antara 71 – 90 dB 6. Tuli sangat berat : peningkatan ambang batas antara > 90 dB 2.4.2 Tinitus Tinitus berasal dari bahas Latin ‘tinnire’ yang berarti bunyi. Tinitus di definisikan sebagai suatu persepsi bunyi tanpa adanya rangsangan suara dari luar. Diperkirakan sebanyak 10%-15% dari seluruh populasi pernah mengalami tinitus dalam hidupnya (Shargorodsky, 2010; Fioretti, 2011; Holmes, 2011). Tinitus dikatakan sebagai suatu keadaan patologis bila dialami lebih dari 5 menit dan terjadi lebih dari satu kali tiap minggunya (Henry, 2005). Data National Health Interwiew Survey (NHIS) menunjukkan sekitar 35-50 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami tinitus, 12 juta orang mencari pertolongan dokter dan 2-3 juta melaporkan keluhan yang sangat berat (Holmes, 2011). Berdasarkan The International Classification of Functioning, Disability and Health dari WHO, kondisi kesehatan seseorang dapat berdampak terhadap kehidupannya. Dalam hal ini keluhan tinitus menyebabkan terganggu fungsi organ tubuh. Tinitus menyebabkan kesulitan berkonsentrasi dan berdampak terhadap prestasi kerja. Faktor lain yang berkontribusi yaitu menjadi pencetus ansietas (faktor personal) dan kurangnya dukungan dari keluarga (faktor (Henry, 2005). lingkungan) (gambar 2.3) 29 Kondisi Kesehatan (Kelainan atau penyakit) Tinitus Masalah yang berkaitan dengan Tinitus Gangguan Fungsi Tubuh Persepsi ‘Suara Kuat’ Faktor Lingkungan Kurangnya Dukungan Keluarga Limitasi Aktivitas Kesulitan Berkonsentrasi Pembatasan/Restriksi Partisipasi Masalah dengan Pekerjaan Faktor Personal Predisposisi terhadap Ansietas Gambar 2.3 Dampak tinitus terhadap kondisi kesehatan (Henry, 2005) Tinitus dapat diklasifikasikan menjadi tinitus vibratori dan nonvibratori. Dan dapat dibedakan menjadi tinitus subjektif dan objektif. Tinitus vibratori disebabkan adanya transmisi ke koklea yang berasal dari vibrasi jaringan atau organ sekitar, sedangkan tinitus nonvibratori di hasilkan oleh perubahan biokimia pada saraf yang bertanggung jawab pada proses pendengaran (Heller, 2003; Crummer, 2004). 30 Tinitus juga dibedakan menjadi tinitus objektif, yang diperkirakan berkisar kurang dari 1% dari seluruh kasus tinitus, dimana suara tersebut dapat didengar oleh pasien dan pemeriksa atau dengan auskultasi disekitar telinga. Kelainan tinitus objektif berasal dari transmisi vibrasi sistem muskular atau kardiovaskular di sekitar telinga. Tinitus subjektif yang merupakan tinitus yang paling sering terjadi, kadang-kadang dianggap sebagai ‘phantom sensation’ berupa suara yang hanya dapat didengar oleh pasien sendiri. Tinitus subjektif, disebabkan oleh proses iritatif atau perubahan degeneratif traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusat saraf pendengaran (Fioretti, 2011; Holmes, 2011). Tinitus juga dibedakan menjadi akut yang berlangsung dalam hitungan hari atau minggu dan tinitus kronis yang berlangsung lebih dari 6 bulan (Holmes, 2011). Walaupun banyak teori yang telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya tinitus, namun patofisiologinya masih sulit dipahami dan tidak mungkin hanya satu proses patologis yang dapat menyebabkan terjadinya tinitus. Dapat dikatakan banyak kasus tinitus berhubungan dengan bertambahnya usia, gangguan pendengaran, paparan bising dan hampir setiap kelainan yang melibatkan telinga luar atau telinga tengah atau telinga dalam atau nervus auditorius dapat menyebabkan keluhan tinitus (Holmes, 2011). Teori tinitus menurut Jastreboff menyatakan jika terjadi kerusakan koklea yang disebabkan oleh paparan bising yang kuat, ototoksik ataupun infeksi virus maka sel rambut luar terlebih dahulu rusak dan kemudian diikuti oleh kerusakan sel rambut dalam. Sel rambut dalam berfungsi sebagai transduksi suara sedangakan sel rambut luar berfungsi sebagai amplifikator suara didalam koklea. Kerusakan koklea oleh karena paparan bising yang sangat kuat merubah neuron yang aktif secara spontan di dalam Dorsal Cochlear Nucleus (DCN). DCN sebagai acoustic neuron dan merupakan tempat integrasi akustik dan input sensori, yang dapat menjadi 31 pusat penting di otak terhadap pembentukan dan modulasi tinitus (Lookwood, 2002; Fioretti, 2011). Karena tinitus merupakan keluhan subjektif dan tidak ada pemeriksaan objektif yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran akan keberadaan keluhan tinitus tersebut, diagnosis sebahagian besar berdasarkan kepada keluhan pasien yang dilaporkan. Melalui investigasi yang menyeluruh oleh seorang otologis dapat direkomendasikan untuk menyingkirkan adanya kelainan neurologis yang berpotensi mengancam jiwa dan untuk membantu terhadap strategi penatalaksanaan secara langsung (Holmes, 2011) 2.5 Diagnosis Gangguan Pendengaran dan Tinitus Akibat Bising Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri. Anamnesis pernah atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, pada pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai adanya kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil rinne tes positif, weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan tes schwabah memendek. Kesan jenis ketulianya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3.000-6.000 Hz. Dan pada frekuensi 4.000 Hz sering terdapat takik (Basyiruddin, 2007; Nandi, 2008; Azizi, 2010). Tidak ada kesepakatan mengenai metode yang objektif untuk mendeteksi dan mengukur tinitus. Namun demikian, wawancara dan karakterisasi psikoakustik merupakan pendekatan yang sesuai di praktek klinis sehari-hari. Beberapa metode yang digunakan untuk mengevaluasi tinnitus antara lain dengan wawancara dan psikoakustik (Jastreboff, 2009). 32 2.6 Penatalaksanaan dan Pencegahan Sesuai dengan penyebab ketulian dan tinitus, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising seperti sumbat telinga/ earplug, tutup telinga/ earmuff dan pelindung kepala/ helmet (Cook, 2006; Basyiruddin, 2007; Ross, 2007). Program pencegahan gangguan pendengaran/ Hearing Loss Prevention Program (HLPP) merupakan suatu program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat paparan kebisingan pada pekerja. Program tersebut terdiri dari 7 komponen yaitu (Basyirudin 2010): • Identifikasi dan analisi sumber kebisingan • Kontrol kebisingan dan kontrol administrasi • Tes audiometri berkala • APD (Alat Pelindung Diri) • Motivasi dan edukasi pekerja • Pencatatan dan pelaporan data • Evaluasi program Pemahaman yang tidak sempurna terhadap sumber dari kebanyakan kasus tinitus menyulitkan penegakan diagnosis dan pengobatan, tetapi beberapa jenis tinitus dapat diobati dengan hasil yang memuaskan. Karena banyaknya penyebab dari tinitus maka banyak pula pilihan terapi dari keluhan tersebut. Pengobatan harus disesuaikan dengan masingmasing individu. Pengobatan tinitus dibedakan menjadi dua kategori yaitu(Noell, 2003): 1. Pengobatan yang bertujuan untuk mengurangi intensitas atau kekuatan suara tinitus. 33 2. Pengobatan yang bertujuan untuk meringankan atau menghilangkan gangguan yang berkaitan dengan tinitus. 2.6.1 Pengobatan medikamentosa Banyak obat-obat yang dapat dipergunakan sebagai pengobatan medikamentosa untuk kasus tinitus, walaupun kadang-kadang masih dipertanyakan dan memiliki efikasi yang sangat bervariasi. Tidak ada satupun obat yang dapat menyembuhkan tinitus, tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan pada beberapa pasien (Noell, 2003). Hampir semua obat-obat tinitus ditujukan untuk meningkatkan aliran darah ke koklea atau meringankan kecemasan pasien (Noell, 2003). Suatu review uji klinis secara random yang sangat besar menemukan bahwa hanya mortriptylin, amitriptylin, alprazolam, clonazepam, dan oxazepam yang lebih memberikan keuntungan dibandingkan plasebo (Han, 2009). 2.6.2 Pengobatan non medikamentosa - Terapi kognitif dan prilaku Terapi kognitif memfokuskan pada bagaimana seseorang berfikir mengenai tinitus dan menghindari pemikiran negatif, dimana terapi prilaku menggunakan pendekatan desensitisasi sistemik yang dipakai pada banyak penyakit ketakutan atau fobia (Han, 2009). - Terapi suara Terapi suara menggunakan suara-suara yang ditemukan secara alami, seperti suara aliran air sungai, hujan, air terjun dan angin untuk mengurangi kuatnya saura tinitus yang berhubungan dengan aktifitas neuron didalam sistem auditori (Tyler 2008; Han, 2009). - Alat bantu dengar Alat bantu dengar merupakan bentuk lain dari terapi suara yang biasanya berguna pada pasien-pasien tinitus dengan gangguan pendengaran yang signifikan. Alat bantu dengar didesain untuk memperbaiki kemampuan 34 dengar dalam percakapan dan untuk memperbesar suara lingkungan sekitar (Tyler 2008; Han, 2009). - Masking Dengan menggunakan satu nada atau jenis suara bising, seperti white noise, untuk menutupi suara tinitus, telah menjadi metode pengobatan utama terhadap pasien-pasien dengan tinitus yang berat (Noell, 2003). - Biofeedback Biofeedback telah digunakan untuk mengatur reaksi psikologi terhadap tinitus. Pengobatan ini mengajarkan pasien dapat mengkontrol keadaan relaksasi untuk mengurangi stres akibat suara tinitus. Biofeedback tidak secara langsung mengobati keluhan tinitus. Namun demikian, keberhasilan penggunaan modalits ini bukan untuk mengurangi kuatnya suara tinitus namun untuk mengurangi stres pasien (Noell,2003). - Tinitus retraining therapy Penatalaksanaan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan merupakan fenomena psikoakustik murni, sehingga tidak dapat diukur. Penatalaksanaan terkini yang dapat dikemukakan oleh Jastreboff, berdasarkan pada model neurofisiologisnya adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini disebut sebagai Tinnitus Retraining Therapy (TRT). Tujuan dari Tinnitus Retraining Therapy (TRT) adalah memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan yang mengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil modifikasi hubungan sistem auditorik ke sistem limbik dan sistem saraf otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi terhadap suara. (Basyiruddin, 2007; Aazh, 2008) Pemahaman model neurofisiologis oleh Jastreboff meliputi berbagai elemen yang berkaitan dengan tinitus, asalnya, proses signal, dan proses awal terbentuk sebagai persepsi suara, dan bangkitan suatu respon 35 kondisi yang tidak menyenangkan dapat dijelaskan kepada pasien dengan menggunakan grafik model neurofisiologis Jastreboff (gambar 2.4) Komponen pokok dari model neurufisiologis Jastreboff terdiri dari: a) Sumber tinitus; proses pembentukan signal merupakan sumber bunyi yang dilatarbelakangi oleh aktivitas listrik sel-sel saraf pendengaran. b) Persepsi dan evaluasi merupakan persepsi yang muncul karena proses penerimaan sumber bunyi di area korteks pendengaran. c) Pembentukan respon dari kondisi yang tidak menyenangkan merupakan reaksi yang muncul karena proses penerimaan persepsi di sistem limbik yang berkaitan dengan rasa tidak nyaman, begitu juga di sistem saraf otonom. d) Lingkaran setan yang dihasilkan baik dalam jalur sadar maupun tidak sadar antara persepsi dan reaksi terhadap persepsi baik sistem limbik maupun sistem saraf otonom saling menguatkan satu dengan yang lain. e) Pemahaman mengenai perbedaan antara keluhan yang hilang timbul atau menetap menunjukkan perbedaan antara persepsi dan reaksi yang menetap maupun sementara (Jastreboff, 2009; Hazel, 1999). Auditory dan area kortikal lainnya Persepsi dan evaluasi (kesadaran , memori, atensi) Auditori bawah sadar Deteksi/ proses Auditori perifer Sumber suara Sistem limbik Emosi Reaksi Sistem saraf autonomik 36 Gambar 2.4 Model neurofisiologis tinitus (Jastreboff, 2009) . 2.7 Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni merupakan suatu pemeriksaan sensitivitas/ ketajaman pendengaran seseorang dengan menggunakan stimulus nada murni (bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi). Secara umum ada 3 metode yang digunakan yaitu (a) manual audiometry/ conventional audiometry; (b) automatic audiometry/ Bekesy audiometry; dan (c)computerized audiometry (ASHA, 2005; Margolis, 2008). Prinsip dari suatu audiometer memberikan signal bunyi pada intensitas yang bervariasi dengan frekuensi yang berbeda (250Hz, 500Hz, 1.000Hz, 2.000Hz, 4.000Hz, dan 8.000Hz) ke dalam headphones yang digunakan untuk pemeriksaan pendengaran (HSA,2007). Hal yang harus diperhatikan antara lain kalibrasi peralatan, dan digunakan pada ruangan yang sesuai sehingga didapat hasil tes yang akurat (ASHA, 2005). 2.7.1 Penentuan ambang dengar Persiapan Karyawan perlu diberitahu akan rencana pemeriksaan audiometri, sehingga mereka dapat memiliki waktu istirahat untuk menghindari lingkungan bising (kelab malam, konser musik dan lain-lain) minimal 16 jam sebelum pemeriksaan. Namun pada kenyataannya hal ini akan sulit. Sebelum melakukan tes audiometri secara umum dilakukan wawancara ada tidaknya riwayat kelainan pada telinga, kemudian pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih baik pendengarannya (HSA,2007). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada karyawan, (b) 37 respon terhadap arahan, dan (c) interpretasi audiologis terhadap sikap respon karyawan selama pemeriksaan. 2.7.2 Prosedur pemeriksaan ambang pendengaran Prosedur dasar untuk menentukan ambang terdiri dari: (a) familiarisasi (membiasakan diri) terhadap signal pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan audiologis bahwa pasien mengerti dan dapat merespon arahan yang diberikan dengan cara memberikan signal dengan intensitas yang cukup menimbulkan respon yang jelas (ASHA, 2005). (b) Penentuan ambang dengar Prosedur standar yang direkomendasikan pada pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni secara bertahap adalah yang dimulai dengan signal yang tidak dapat didengar. Stimulus nada murni diberikan selama 1–2 detik. Ambang dengar didapat dengan menentukan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuenasi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga pasien (ASHA, 2005). 2.7.3 Karakteristik audiometri pada tuli akibat bising Pada pemeriksaan audiometri, tuli akibat bising memberikan gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk ‘V’ atau ‘U’ sering diawali pada frekuensi 4.000 Hz, tapi kadang-kadang 6.000 Hz, yang kemudian secara bertahap semakin dalam dan selanjutnya akan menyebar ke frekueansi didekatnya (gambar 2.5). Khasnya didapati perbaikan pada 8.000 Hz, hal ini yang membedakannya dari prebiskusis (HSA,2007). 2.7.4 Pengukuran psikoakustik Dua pengukuran psikoakustik yang digunakan adalah pitch dan loudness matching. Pitch matching mencoba menilai kuantitas tinitus berdasarkan frekuensinya. Dua nada di berikan kepada karyawan dan karyawan tersebut ditanyakan nada mana yang sangat cocok mendekati suara tinitus yang didengarnya. Dan hal ini di lanjutkan sampai didapatkan nada 38 yang cocok. Pengukuran loudness matching merupakan psikoakustik yang sama dengan menilai intensitas suara. Pengukuran ini mencoba untuk menilai kuantitas tinitus dalam decibel. Prosedur loudness matching dimulai dengan memberikan stimulus bunyi pada intensitas dibawah ambang dengar karyawan dan kemudian di naikkan sampai karyawan mendengarkan intensitas yang sama dengan suara tinitus yang didengarnya. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi yang sesuai dengan karyawan (Ooms, 2012). Gambar 2.5 Audiogram tuli akibat bising (vinodh, 2010) 2.8 Tinnitus Handicap Inventory (THI) 39 Telah terjadi peningkatan minat diantara penyedia layanan kesehatan dalam mengukur dampak yang tidak di inginkan dari suatu penyakit. Sejumlah survey, seperti dengan menggunakan Quality of life questionnaires telah dikembangkan untuk menilai dampak penyakit terhadap status pasien secara umum. Namun demikian, penyakit yang berbeda-beda juga dikaitkan dengan keluhan secara fisiologi dan psikologi yang spesifik dan dibutuhkan pengukuran yang spesifik pula. Beberapa usaha telah dibuat untuk mengukur dampak tinitus terhadap kualitas hidup seperti Tinnitus Reaction Questionnaires, Hallam’s Tinnitus Questionnaire, dan Tinnitus Handicap Questionnaire (Zachariae, 2000; Fioretti, 2011). Menilai tinitus merupakan suatu tugas yang menantang. Tinitus terutama adalah kelainan subjektif. Survey tinitus dengan kuesioner merupakan salah satu alat bantu yang banyak digunakan untuk menilai bagaimana pengalaman pasien mengenai tinitus (Meng, 2008). Pada tahun 1996, Newman dkk mempublikasikan sebuah tulisan mengenai pengembangan THI, melalui observasi dan studi metode kuesioner yang lain. THI secara luas banyak digunakan praktek medis dan telah mendapat pengakuan sebagai kuesioner yang dapat menilai dampak tinitus terhadap kehidupan sehari-hari. THI cukup singkat dan sesuai digunakan pada praktek yang ramai, mudah diaplikasikan dan interpretasi, tervaliditas dan reabilitas, mencakup seluruh aspek kualitas hidup pasien (Figueiredo, 2009; Meng, 2012). Ada tiga butir utama yang di nilai pada THI, yaitu: reaksi fungsional terhadap tinitus seperti kesulitan berkonsentrasi dan kecenderungan anti sosial, reaksi emosional seperti marah, frustasi, iritabilitas dan depresi serta reaksi katastropik / membahayakan seperti putus asa, perasaan tidak ada harapan, ketakutan akan penyakit yang membahayakan, kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk bekerja sama (Heller, 2003; Figuiredo, 2009; Holdefer, 2010). 40 KUESIONER TINNITUS HANDICAP INVENTORY (THI) (Heller, 2003) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Apakah karena keluhan telinga berdengung, anda sulit berkonsentrasi Apakah kuatnya suara telinga berdengung membuat anda kesulitan untuk mendengar orang lain? Apakah keluhan telinga berdengung membuat anda kesal? Apakah keluhan telinga berdengung membuat anda bingung? Apakah telinga berdengung membuat anda putus asa? Apakah anda sangat mengeluhkan mengenai keluhan telinga berdengung ini? Karena keluhan telinga berdengung, apakah anda kesulitan tidur dimalam hari? Apakah anda merasa tidak dapat menghilangkan keluhan telinga berdengung anda? Apakah keluhan telinga berdengung, anda terganggu dengan aktivitas sosial anda? (seperti makan malam, menonton ke bioskop) Karena telinga berdengung, apakah anda merasa frustasi? Karena telinga berdengung, apakah anda merasa menderita penyakit yang berbahaya? Apakah karena telinga berdengung, anda kesulitan menikmati kehidupan anda? Apakah telinga berdengung mengganggu pekerjaan anda? Karena telinga berdengung, apakah anda merasa bahwa anda cepat tersinggung? Ya Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Ya Ya Tidak Kadang2 Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Ya Ya Tidak Kadang2 Tidak Kadang2 Kadang2 Kadang2 Kadang2 Kadang2 41 15 Karena telinga berdengung, anda merasa anda kesulitan membaca? 16 Apakah telinga berdengung membuat anda terganggu? 17 Apakah telinga berdengung ini telah menempatkan stress pada hubungan anda dengan anggota keluarga dan teman? 18 Apakah anda kesulitan untuk menghilangkan perhatian terhadap telinga berdengung dibandingkan hal yang lain? 19 Apakahanda kesulitan mengkontrol telinga berdengung anda? 20 Karena telinga berdengung anda sering merasa lelah? 21 Karena telinga berdengung anda merasa depresi? 22 Karena telinga berdengung anda merasa cemas? 23 Apakah karena telinga berdengung anda merasa tidak dapat mengatasi keluhan tersebut? 24 Apakah keluhan telinga berdengung bertambah berat pada saat anda dibawah tekanan/ stres? 25 Karena telinga berdengung anda merasa tidak aman? Ya Tidak Kadang2 Ya Ya Tidak Kadang2 Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Kadang2 Ya Tidak Kadang2 Kadang2 Kadang2 Kadang2 Kadang2 Kadang2 Tinnitus Handicap Inventory (THI) score 1. Untuk memberi nilai kuesioner, hitung jumlah jawaban “Ya” dan “kadangkadang” dan kemudian dihitung total poin yang didapat. # jawaban “Ya” X4= ___________ #jawaban “Kadang2” X2= ___________ Total Points = THI SCORE 2. Untuk menilai keparahan dari keluhan telinga berdengung, rata-rata nilai THI menurut skala ini: 0-16 Sangat ringan atau tidak ada kecacatan (derajat 1) Hanya didengar di lingkungan sepi 18-36 Ringan (derajat 2) 42 Mudah di tutupi oleh suara dilingkungan dan mudah untuk diabaikan dengan adanya aktivitas 38-56 Sedang (derajat 3) Masih terdengar di tempat kebisingan, walaupun masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari. 58-76 Berat (derajat 4) Hampir selalu terdengar, mulai mengganggu pola tidur dan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. 78-100 Sangat berat (derajat 5) Selalu terdengar,mengganggu pola tidur dan menyebabkan kesulitan dalam beraktifitas. 2.9. Kerangka Teori Bising Faktor risiko: Intensitas Frekuensi Lama pajanan perhari Lama masa kerja Kepekaan individu Umur Mekanisme: Mekanik Metabolik Vaskuler Efek Non Auditori Efek Auditori Kerusakan sel rambut koklea Fisiologi Psikologi 43 • • Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) Tinitus 2.10 Peningkatan: Tekanan darah Denyut nadi Metabolism basal Peristaltik usus Ketegangan otot Gangguan: Sulit tidur Emosional Komunikasi Konsentrasi Kerangka Konsep Bising Umur Jenis Kelamin Loudness matching Pitch matching = Variabel penelitian Tinitus Tinnitus Handicap Inventory (THI)