BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kualitas DNA Hasil Ekstraksi Hasil dari uji kualitas DNA menentukan langkah selanjutnya pada tahapan PCR. Uji kualitas DNA ini juga dilakukan untuk menentukan perbandingan pengenceran DNA yang digunakan sebagai salah satu bahan pada proses PCR. Beberapa sampel yang diekstraksi dengan metode CTAB pada daun sengon yang dilakukan pada penelitian ini memperlihatkan pola pita yang tebal dan membutuhkan pengenceran (Gambar 3a) yang mengidentifikasikan masih terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia sisa proses ekstraksi dan protein, polisakarida dan RNA (Qiagen 2001, diacu dalam Mulyadiana 2010) berbeda halnya dengan pita yang dihasilkan dengan mengunakan GenElute Plant Genomic DNA Miniprep Kit dari SIGMA (Gambar 3b). a a Gambar 3 b Contoh hasil ekstraksi DNA sengon: (a) DNA sengon yang diekstraksi dengan buffer CTAB dan dilakukan pengenceran, (b) DNA sengon yang diekstraksi dengan GenElute Plant Genomic DNA miniprep Kit dari SIGMA Salah satu keuntungan analisis keragaman menggunakan teknik molekuler yang memanfaatkan teknologi PCR adalah kuantitas DNA yang dibutuhkan hanya sedikit. Selain itu, untuk RAPD tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan tidak perlu terlalu tinggi dengan kata lain teknik ini toleran terhadap tingkat kemurnian. Akan tetapi dibutuhkan senyawa-senyawa kontaminan yang dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder (Prana et al 2003). Keberadaan polisakarida dan senyawa metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam nukleat. Selain itu, metabolit sekunder dan polisakarida juga dapat menghambat kerja enzim. Salah satu masalah yang dihadapi ketika mengekstraksi daun sengon adalah adanya kandungan polisakarida yang tinggi dalam tanaman ditandai dengan kekentalan pada hasil isolasi DNA. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini maka perlu dilakukan pengenceran. Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda, tergantung dari kualitas DNA. Pengenceran ini dilakukan agar tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA dan dapat teramplifikasi. Akan tetapi, ekstraksi DNA dari jaringan tanaman dengan tingkat kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh. 4.1.1. PCR ( Polymerase Chain Reaction) 4.1.1.1. Seleksi Primer Seleksi primer bertujuan untuk mencari primer acak yang dapat menghasilkan amplifikasi, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi dan tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Untuk menyeleksi primer yang akan digunakan untuk analisis RAPD, digunakan 41 primer 10-mer dipakai untuk amplifikasi DNA hasil ekstraksi semua individu (Gambar 4). A1 A2 A3 A4 A6 A7 A8 A9 A10 B1 B2 B3 B B5 M 1 2 3 4 5 6 7 8 B6 B7 B8 B9 B10 M M C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 D5 D1 D2 D3 D4 D6 D7 D8 D9 D10 9 10 11 12 13 14 M 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 28 30 31 32 33 Gambar 4 Hasil seleksi primer pada DNA sengon (A1─A10 = primer OPA-1 –OPA-10; B1─B10 = primer OPB-1–OPB-10; C1─C10 = Primer OPC-1–OPC-10; D1─D10 = Primer OPD-1–OPD-10; 1─8 = Primer OPU─5; 9-14 = Primer OPA─2; 15─24 = Primer OPY-5; 25─33 = Primer OPY-3) 18 Berdasarkan foto hasil seleksi pada Gambar 4, dapat dilihat kualitas pita pada DNA tanaman Sengon untuk masing-masing primer. Dari 41 primer yang diseleksi terdapat 20 primer yang menghasilkan pita polimorfik. Tidak semua pita yang dihasilkan menunjukkan kualitas yang bagus. Ada beberapa pita yang kurang jelas, sehingga hal ini mengakibatkan keraguan dalam menginterpretasikan serta menganalisis pita DNA Sengon. Hal ini bisa disebabkan karena kurang murninya DNA genom yang dihasilkan, proses pengenceran dan komposisi bahan-bahan yang kurang tepat. DNA yang kurang murni dan terlalu kental dapat menghambat amplifikasi saat PCR karena primer tidak dapat menempel pada DNA target. Selain itu, banyaknya kontaminan yang berasal dari bahan kimia yang belum tercuci sempurna dapat menghambat primer untuk menempel pada DNA target pada tahap annealing. Dalam penelitian ini dipilih 5 primer terbaik untuk dilakukan interpretasi dan analisis pada penelitian ini yaitu OPA-2, OPY-5, OPU-5, OPB-10 dan OPA3. Kualitas pita tersebut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kualitas pita pada DNA tanaman Sengon No Primer 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 OPA─1 OPA─2 OPA─3 OPA─4 OPA─6 OPA─7 OPA─8 OPA─9 OPA─10 OPB─1 OPB─2 OPB─3 OPB─4 OPB─5 OPB─6 OPB─7 OPB─8 OPB─9 OPB─10 OPC─1 Jumlah Lokus 3 2 4 1 0 1 2 3 2 3 2 1 1 1 1 1 3 1 5 0 Kualitas Pita * ** * ** ─ ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ─ No Primer 21 OPC─2 22 OPC─3 23 OPC─4 24 OPC─5 25 OPC─6 26 OPC─7 27 OPC─8 28 OPD─5 29 OPD─1 30 OPD─2 31 OPD─3 32 OPD─4 33 OPD─6 34 OPD─7 35 OPD─8 36 OPD─9 37 OPD─10 38 OPU─5 39 OPY─5 40 OPY─3 * = ada pita, kurang jelas; ** = ada pita, jelas; ─ = tidak ada pita Jumlah Lokus 1 2 3 3 1 1 1 0 2 3 0 2 0 0 2 1 3 6 5 2 Kualitas Pita ** ** ** ** ** ** ** ─ ** ** ─ ** ─ ─ ** ** ** ** ** ** 19 4.1.2.2. Analisis RAPD Populasi Sengon di Jawa Amplifikasi PCR menggunakan 5 primer (OPA-2, OPB-10, OPU-5, OPA-3 dan OPY-5) berkisar antara 1─10 pita. Analisis DNA Sengon dengan penanda RAPD dilakukan melalui skoring dari semua individu yang berasal dari 9 populasi, dengan jumlah 225 individu. Ukuran fragmen yang didapatkan oleh primer berkisar antara 300 bp─900 bp untuk OPA-2, 200 bp─1100 bp untuk OPU-5, 350 bp─1000 bp untuk OPY-5, dan 200 bp─700 bp untuk OPB-10. Pita-pita ini dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. M1 2 3 4 5 6 8 910 111213141516 17 18 19 Gambar 5 Profil DNA sengon hasil RAPD pada primer OPA-2 (asal sampel dari: 1,2 = Tasikmalaya; 3,4 = Wonosobo; 5,6 = Cianjur; 8,9 = Sukabumi; 10,11 = Garut; 12,13 = Kediri; 14,15 = Lumajang; 16,17 = Kuningan; 18,19 = Subang) (a) (b) Gambar 6 Profil RAPD sengon dengan primer: (a) pita yang dihasilkan pada primer OPY-5, (b) pita yang dihasilkan pada primer OPU-5 20 CIA TAS LUM WON Gambar 7 Profil RAPD sengon dengan primer pita yang dihasilkan pada pita OPB-10 (asal sampel dari: LUM = Lumajang; TAS = Tasikmalaya; CIA = Cianjur; WON = Wonosobo) 4.2 Variasi Genetik 4.2.1 Variasi Genetik Dalam Populasi Menurut Finkeldey (2005), Parameter yang digunakan untuk menandakan keragaman genetik dalam populasi, yaitu Persentase Lokus Polimorfik (PLP), jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel efektif (ne) dan variasi genetik (He). Hasil analisis menunjukkan rata-rata jumlah alel yang diamati pada populasi Sengon di Pulau Jawa adalah 2,0000 dan rata-rata jumlah alel efektif adalah 1,3280. Adapun nilai rata-rata keragaman genetik (He) pada total populasi Sengon di Pulau Jawa sebesar 0,2349 dan Persen Lokus Polimorfis (PLP) pada populasi Sengon dalam penelitian mencapai 100%. Hasil analisis ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengukuran keragaman genetik 9 populasi Sengon di Jawa. No Populasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Cianjur Garut Sukabumi Tasikmalaya Subang Kuningan Wonosobo Kediri Lumajang Rata─rata Jumlah Sampel 25 25 25 25 25 25 25 25 25 Na Ne He 1,9815 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 1,4462 1,2555 1,4693 1,2675 1,2808 1,2128 1,1675 1,4892 1,2458 1,3280 0,2757 0,1602 0,2761 0,1830 0,1941 0,1485 0,1328 0,2946 0,1785 0,2349 PLP 98,15 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % 100,00 % Na = jumlah alel yang diamati; Ne = jumlah alel yang efektif; He = keragaman genetik; PLP = Presentasi Lokus Polimorfik 21 Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai He dari masing-masing populasi sengon cukup beragam berkisar antara 0,1328─0,2946 dengan nilai rata-rata He populasi Sengon di Jawa sebesar 0,2349. Menurut Weising et al. (2005), dominant marker seperti RAPD hanya dapat memproduksi dua alel pada masing-masing lokus. Maka dari itu nilai He maksimum adalah 0,5. Dari hasil analisis DNA dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa keragaman genetik populasi sengon di Jawa tergolong tinggi. Hasil ini hampir mendekati dari hasil penelitian keragaman genetik Sengon yang dilakukan dengan penanda RAPD oleh Dwiyanti (2009) sebesar 0,2813 dan Widyastuti (2007) sebesar 0,1852 (dengan 6 populasi di Jawa, yaitu Cianjur, Kuningan, Tasikmalaya, Banjarnegara, Temanggung dan Lumajang). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian keragaman genetik dengan penanda isoenzim oleh Gunawan (2005) sebesar 0,235 dan Wulan (2003) sebesar 0,172 (dengan 9 populasi di Jawa, yaitu Lumajang, Banjarnegara, Wonosobo, Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Kuningan, Sukabumi dan Subang). Populasi Kediri (Jawa Timur) memiliki nilai He tertinggi dari populasi lainnya di penelitian ini yaitu sebesar 0,2946, sedangkan He terendah terdapat pada populasi Wonosobo (Jawa Tengah) yaitu 0,1328. Menurut Saidman et al. (1997) diacu dalam Widyastuti (2007), analisis keragaman genetik suatu populasi dengan penanda genetik yang berlainan sebenarnya tidak menghasilkan nilai keragaman yang berbeda. Perbedaan nilai keragaman yang diperoleh dari beberapa penelitian terhadap populasi Sengon lebih disebabkan karena adanya perbedaan sampel yang diambil. 4.2.2. Jarak Genetik Antar Populasi Parameter untuk mengetahui variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik dan analisis kelompok (Finkeldey 2005). Jarak genetik digunakan untuk mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Perbedaan genetik lebih dari dua populasi biasanya dianalisa oleh sebuah matrik dengan elemen-elemennya berupa jarak genetik dengan pasangan kombinasinya yaitu populasi (Finkeldey 2005). Jarak genetik ini diekspresikan dengan suatu angka dengan rentang antar 0─1 atau 0─100% dan dapat diperlihatkan dalam bentuk dendrogram pohon. Apabila jarak genetik sama 22 dengan 0 maka dua populasi tersebut tidak memiliki perbedaan (identik), akan tetapi jika dua populasi tersebut berbeda secara sempurna, maka jarak genetiknya sama dengan 1. Dalam penelitian ini, jarak genetik untuk populasi Sengon dapat terlihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 diperoleh bahwa jarak genetik sengon menunjukkan kisaran antara 0,0123─0,0814. Dari hasil penelitian ini populasi Garut dan Kediri memiliki jarak genetik terjauh yaitu 0,0857. Jarak genetik yang besar ini menandakan bahwa hubungan kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh. Sedangkan populasi sengon Tasikmalaya dari Jawa Barat menunjukan jarak genetik terdekat dengan populasi sengon Lumajang dari Jawa Timur yaitu 0,0123. Hal ini diduga bahwa populasi di Tasikmalaya mungkin berasal dari sumber benih yang sama dengan populasi Lumajang. Hasil analisis pengelompokan dengan jarak genetik menunjukkan individu yang berasal dari populasi yang sama tidak selalu berada dalam kelompok yang sama. Jarak genetik digunakan dalam mendeteksi hubungan kekerabatan antar populasi dan antar jenis. Jarak genetik juga dijadikan sebagai tolak ukur seberapa jauh suatu populasi mengalami proses diferensiasi atau evolusi. Tabel 7 Rata-rata jarak genetik antar populasi sengon (Nei’s 1972) pop ID 1 2 3 4 5 6 7 8 1 **** 2 0,0809 3 0,0461 0,0633 4 0,0433 0,0222 0,0397 5 0,0604 0,0302 0,0320 0,0165 6 0,0463 0,0314 0,0432 0,0164 0,0277 7 0,0451 0,0363 0,0459 0,0196 0,0194 0,0157 8 0,0769 0,0814 0,0703 0,0712 0,0762 0,0759 0,0686 **** 9 0,0457 0,0736 9 **** **** **** **** **** **** 0,0304 0,0416 0,0123 0,0134 0,0157 0,0135 **** 23 Gambar 8 Dendrogram jarak genetik 9 populasi sengon di Pulau Jawa berdasarkan Nei’s (1972) Gambar 8 diatas juga menunjukkan Tasikmalaya dan Lumajang memiliki jarak genetik paling dekat. Dari dendrogram terdapat 2 kelompok besar dalam populasi tersebut. Kelompok pertama terdiri atas Tasikmalaya, Lumajang, Subang, Kuningan, Wonosobo, Garut, Sukabumi dan Cianjur, sedangkan kelompok kedua adalah Kediri. Kediri memiliki hubungan jarak genetik yang jauh dengan 8 populasi lainnya. Dendrogram diatas menunjukkan bahwa semua populasi mengelompok secara acak. Jika 9 populasi tersebut dikelompokkan berdasarkan 3 wilayah bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dapat terlihat pada dendrogram diatas bahwa pola penyebarannya tidak dipengaruhi oleh sebaran geografis. Hal ini terbaca dari Dendrogram bahwa Jawa Timur memiliki hubungan jarak genetik yang dekat dengan Jawa Barat begitu juga dengan Jawa Tengah yang memiliki jarak genetik yang dekat dengan Jawa Barat. Akan tetapi Jawa Timur khususnya daerah Kediri memiliki jarak genetik paling jauh. Jika ditinjau dari letak geografis, masing-masing populasi ini memiliki jarak yang jauh, tetapi jika dilihat dari sejarah penyebaran sengon menurut Atmosuseno (1998) pertama kalinya sengon ditanam di Jawa Barat tepatnya di Kebun Raya Bogor, kemudian dari Kebun Raya Bogor ini sengon disebarkan ke berbagai wilayah di Indonesia. Dendrogram jarak genetik pada penelitian ini menunjukkan bahwa pola penyebaran Sengon tidak sama seperti yang disebutkan oleh Atmosuseno (1998), dimana penyebaran di Jawa terjadi secara acak, karena 24 populasi yang terdapat pada satu daerah yang sama (Jawa Barat) ternyata memiliki jarak yang dekat dengan provinsi lain. Berdasarkan hasil Analysis of Molecular Variance (AMOVA) pada Tabel 8, keragaman genetik yang tersimpan didalam populasi adalah sebesar 82% sedangkan keragaman genetik antar populasi adalah 18%. Dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dibandingkan keragaman genetik antar populasi. Tabel 8 Hasil Analysis of Molecular Variance (AMOVA) Sumber Keragaman Antar Populasi Dalam Populasi Total Derajat Jumlah Kuadrat Bebas Kuadrat Tengah 8 410,276 51,284 216 1695,120 7,848 224 2105,396 Est.Var. 1,737 7,848 9,585 % 18 82 100 Menurut Hamrick dan Godt (1996) diacu dalam Yunanto (2010), pada umumnya variasi genetik yang tersimpan didalam populasi lebih besar sedangkan perbedaan antara populasi hanya sedikit. Menurut Namkoong et al. (1996) diacu dalam Finkeldey (2005) salah satu indikator genetik dalam pelaksanaan manajemen hutan lestari adalah besarnya keragaman genetik. Keragaman genetik merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh, berkembang, dan bertahan hidup untuk generasi berikutnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman genetik antara lain adalah seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), perpindahan gen (gen flow), dan mutasi. Keragaman genetik tanaman bersumber dari dua hal yaitu proses meiosis dan mutasi. Meiosis adalah proses rekombinasi gen melalui segregasi acak. Meiosis hanya melibatkan keragaman genetik yang telah ada di dalam populasi atau jenis yang bersangkutan. Mutasi merupakan perubahan genetik yang terjadi dikarenakan penyimpangan yang terjadi pada proses pewarisan sifat dan merupakan sumber keragaman baru dalam populasi tanaman. Keragaman genetik yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Kemampuan beradaptasi pada suatu tanaman dapat diamati dari 2 parameter, yaitu secara fenotipe (pertumbuhan, kesehatan, dan reproduksi) dan parameter genetik yang tidak secara langsung berkaitan dengan 25 adaptabilitas (Finkeldey dan Hattemer 2007, diacu dalam Rimbawanto 2008). Variasi genetik yang tinggi akan menghasilkan sifat resisten atau tahan terhadap kondisi lingkungan, sehingga serangan hama dan penyakit dapat dihindari. Jika dilihat dari hasil keragaman genetik masing-masing populasi dapat diketahui bahwa populasi Kediri memiliki nilai keragaman genetik yang paling tinggi. Hal ini berarti Kediri memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungannya. Adanya keragaman genetik yang tinggi pada populasi Sengon bertujuan dalam pelaksanaan program pemuliaan pohon untuk menghasilkan keturunan yang baik. Keragaman genetik merupakan kunci dalam program pemuliaan pohon. Hal ini dikarenakan adanya maksimalisasi perolehan genetik akan sifat tertentu. Program pemuliaan pohon berguna untuk memelihara dan meningkatkan variabilitas genetik di dalam suatu populasi. Studi keragaman genetik memiliki manfaat penting untuk pemuliaan pohon yaitu dalam membantu seleksi buatan, membantu menyiapkan uji provenans dan pengendali persilangan dan aktivitas silvikultur. Seleksi merupakan proses pemuliaan pohon dan dasar untuk perbaikan dalam mendapatkan kultivar unggul yang baru, keragaman genetik yang tinggi merupakan suatu syarat efektifnya program seleksi. Dalam penelitian ini keragaman genetik populasi Sengon sebesar 0,2349, sehingga dari hasil yang didapat tersebut menunjukkan bahwa keragaman populasi Sengon yang cukup tinggi mendukung dalam kegiatan pemuliaan. Oleh karena itu, upaya pemuliaan pohon dalam membangun kebun benih untuk memperbaiki dan menghasilkan pohon yang baik dan resisten terhadap hama dan penyakit harus dilakukan sistem penanaman dengan melihat hubungan kekerabatan. Apabila anakan berasal dari populasi yang berdekatan maka penanamannya dilakukan sangat berjauhan. Berdasarkan dendrogram Gambar 8 anakan dari populasi Tasikmalaya harus ditanam pada jarak yang jauh dengan populasi Lumajang, sedangkan populasi Tasikmalaya harus ditanam berdekatan dengan populasi Kediri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan variasi genetik dalam populasi tersebut, sehingga akan menghasilkan kualitas bibit yang berkualitas dan unggul secara genetik. 26 Selain itu, keragaman genetik yang tinggi juga menguntungkan dalam pelaksanaan konservasi tanaman hutan untuk pelestarian keragaman genetik. Adapun hal-hal yang melandasi pentingnya upaya konservasi yaitu, mempertahankan keberadaan individu pohon dan populasi, mempertahankan potensi evolusi dari jenis dan populasi tanaman, mempertahankan kemampuan suatu jenis atau populasi untuk merespon perubahan lingkungan yang tergantung pada keragaman genetik dan memberikan peluang pemanfaatan sumber genetik bagi berbagai tujuan lain. Dari hasil penelitian ini, keragaman genetik yang tinggi yang diperlukan untuk tujuan konservasi dapat diwakili oleh populasi Kediri karena mempunyai keragaman genetik yang tinggi diantara 8 populasi lainnya. Maka dari itu, populasi Kediri harus dipertahankan agar keberlangsungan Sengon dimasa yang akan datang dapat dipertahankan. Dari hasil diferensiasi genetik (Gst) antar populasi yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 0,1279. Perbedaan ini diduga karena proses adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda-beda setiap populasinya. Dari jarak genetik dan analisis pengelompokan dapat diduga populasi Sengon di Jawa telah menyebar dan mengalami perkawinan acak. 27