1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang kompleks dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia (Bleumink, et al., 2004). Gagal jantung, secara klinis, didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan gejala yang khusus seperti sesak nafas, kelelahan, edema pre-tibial dan tanda seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah, dan displace apex beat yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung (McMurray, et al., 2012). Di dunia, 23 juta jiwa mengalami gagal jantung (Mann, 2012). Penderita gagal jantung di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5,1 juta jiwa dan prevalensi gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat sekitar 1-2% untuk usia 45-54 tahun dan lebih dari 6% untuk usia di atas 65 tahun (Go, et al., 2013). Penelitian yang dilakukan di Rotterdam, Belanda, juga melaporkan bahwa prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia, sebagai berikut: prevalensi gagal jantung 0,7% pada usia 55-64 tahun, 2,7% pada usia 65-74 tahun, 13% pada usia 75-84 tahun, dan lebih dari 10% pada usia di atas 85 tahun (Mosterd, et al., 1999). Cowie, et al. (1999) juga menyatakan bahwa angka kejadian gagal jantung terus meningkat dengan bertambahnya usia. 0,02 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia 25-34 tahun dan mencapai 11,6 insiden per 1000 populasi per tahun pada usia di atas 85 tahun. Angka kejadian gagal jantung juga lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Menurut Bleumink, et al. (2004) 5-year survival rate gagal jantung hanya 35%. Stewart, et al. (2001) juga melaporkan bahwa angka kematian karena gagal jantung lebih tinggi daripada kanker prostat, payudara, kolon, kandung kemih. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2013), prevalensi gagal jantung sekitar 0,13%. Prevalensi di Sumatera Utara sendiri sekitar 0,13% dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia 65-74 tahun. Menurut Sumartono, Sirait,Holy dan Thabrany (2011) prevalensi gagal jantung sekitar 3,9% yang Universitas Sumatera Utara 2 sebelumnya belum pernah terdiagnosis dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia di atas usia 75 tahun. Gagal jantung merupakan manifestasi terakhir dan terburuk yang dapat terjadi pada hampir semua jenis penyakit jantung seperti infark miokard, penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, hipertensi, penyakit jantung bawaan dan kardiomiopati (Chatterjee dan Fifer, 2011). Semua kondisi yang dapat menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi jantung dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Penyakit jantung koroner menjadi penyebab utama pada 60-75% kasus gagal jantung dan hipertensi menjadi faktor komorbid utama pada 75% pasien (Mann, 2012). Menurut Cowie, et al. (1999) etiologi utama gagal jantung disebabkan penyakit jantung koroner sebanyak 36%, tidak diketahui 34%, hipertensi 14%, penyakit jantung katup 7%, fibrilasi atrium 5%, lain-lain 5%. Penanganan gagal jantungrumit, sehinggasetiap doktermembutuhkan pengalaman dan pengetahuan tentang pedoman tata laksana yang berlaku saat ini (Shoukat, et al., 2011). Tujuan dari pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis gagal jantung adalah untuk meringankan gejala dan tanda (seperti edema), mencegah rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup (McMurray, et al., 2012). Penanganan gagal jantung juga harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan tepat untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan pasien gagal jantung (Maggioni, et al., 2013). Walaupun ketersediaan pedoman tata laksana gagal jantung yang lengkap secara luas, penatalaksaan gagal jantung yang dilakukan oleh dokter masih kurang optimal (Shoukat, et al., 2011). Padahaldalam penelitian yang dilakukan oleh Komajda, et al. (2005) menyatakan bahwa kepatuhan terhadap penerapan pedoman tata laksana gagal jantung menjadi prediktor yang kuat terhadap kurangnya kejadian rawat inap. Pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology(McMurray, et al., 2012) merekomendasikan beberapa pengobatan terhadap pasien gagal jantung, sebagai contohnya, Beta-blocker, ACE-inhibitor (Angiotensin receptor blocker, jika tidak toleran terhadap ACE-i) dan Universitas Sumatera Utara 3 Mineralocorticoid/aldosteron receptor antagonists. Beta-blocker dan ACEinhibitor harus segera diberikan apabila telah didiagnosis gagal jantung. Obat diuretik juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami tanda dan gejala kongestif. Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan belum adanya penelitian penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology yang dilakukan di Indonesia. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung european society of cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Mengetahui penerapan pedoman tatalaksana gagal jantung European Society of Cardiology terhadap pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.3.2. Tujuan khusus 1. Mengetahui karakteristik pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan. 2. Mengetahui tata laksana gagal jantung di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah 1. Sebagai bahan bacaan dan pengajaran terutama dalam hal penatalaksanaan gagal jantung. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi titik tolak serta sebagai sumber referensi dalam menambah literatur studi untuk penelitian berikutnya. Universitas Sumatera Utara 4 1.4.2. Di bidang pelayanan kesehatan Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi dokter untuk meningkatkan kualitas dalam penatalaksanaan gagal jantung. Universitas Sumatera Utara