BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Anak ialah anugerah yang terindah bagi setiap orangtua karena anak merupakan tumpuan harapan dan kebanggaan dari orangtuanya. Setiap orangtua tentunya mengharapkan anak memiliki proses tumbuh kembang yang optimal, namun sering terjadi harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang mana anak menunjukkan masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contoh masalah perkembangan yang dialami anak ialah autisme (Rachmayanti & Zulkaida, 2007). Autisme telah menjadi fenomena yang masih banyak menyimpan rahasia walaupun telah diteliti sejak ditemukannya pada tahun 1943. Fenomena autis sendiri di Indonesia muncul di sekitar tahun 1990. Meskipun banyak spekulasi masyarakat tentang penyebab dari autisme, seperti faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, keracunan logam berat, virus dari vaksin, bahkan alergi; namun para ilmuwan sendiri belum menetapkan penyebab pasti dari autisme (Rumahautis, 2013). Autisme dapat menyerang siapa saja, tanpa melihat ras, tingkat pendidikan dan status ekonomi sosial. Ketidakterbatasan ini menjadikan autisme dapat menyebar dengan cepat dan menjadi lebih umum dibandingkan gangguan lainnya (Marpaung dalam Hariansib, 2014). Data dalam Sastry (2014) juga mengungkapkan bahwa Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 1 Universitas Sumatera Utara 2 menemukan bahwa 1 persen dari anak berusia 8 tahun di Amerika Serikat memenuhi kriteria Autisme di tahun 2006. Hal ini berarti, hanya untuk anak berusia 8 tahun sudah terdapat 40.000 individu yang mengalami Autisme. Antara tahun 1990 hingga 2002, kelompok anak yang didiagnosa mengidap autis meningkat hingga 600 persen (Sastry, 2014). Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, di Indonesia terdapat hampir 2,4 juta orang penderita autisme dengan prevalensi 1,14% (Rahayu, 2014). Belum ada badan resmi yang melakukan pendataan akurat terhadap jumlah anak autis di kota Medan, namun jika disesuaikan dengan prevalensi sebelumnya, penambahan jumlah anak autis di Medan mencapai 250 orang pertahunnya (Stefani, 2011). Sebuah surat kabar di kota Medan menyatakan, orangtua harus berada dalam tahap waspada dan cermat memperhatikan perkembangan anak, mengingat kasus autisme meningkat pesat setiap tahunnya (Hariansib, 2014). Istilah Autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang artinya self (diri sendiri). Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup dimana orang tersebut terserap oleh gagasan, pemikiran, pendiriannya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Seseorang yang memiliki sindrom autisme memiliki perilaku khusus yaitu menarik diri dari orang lain atau lingkungan sekitarnya (Mangunsong, 2009). American Psychiatric Association dalam DSM-IV-TR (2004) menyatakan Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif yang dikarakteristikkan dengan 3 hal, yaitu gangguan dalam hal interaksi sosial timbal balik, gangguan komunikasi dan munculnya perilaku terbatas, minat terbatas, dan perilaku yang berulan-ulang. Universitas Sumatera Utara 3 APA (2004) mengungkapkan kriteria diagnostik autisme dalam 3 poin, yaitu poin A ialah memiliki 6 (atau lebih) karakteristik dari (1), (2) dan (3), dimana (1) kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial yang dimanifestasikan dengan tidak menggunakan bahasa nonverbal untuk berkomunikasi, tidak menunjukkan emosi sosial dan tidak berminat untuk berbagi kesenangan; (2) kerusakan kualitatif dalam komunikasi, dimanifestasikan dengan keterlambatan perkembangan bahasa, tidak menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dan memiliki bentuk bahasa yang aneh; (3) memiliki pola perilaku berulang, yang dimanifestasikan dengan memiliki pola ketertarikan yang berulang, terpaku pada rutinitas dan memiliki sikap motorik yang berulang. Poin B ialah ketidaknormalan sejak usia 3 tahun dalam hal interaksi sosial, bahasa dan permainan imajinatif. Poin C ialah apabila gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau Childhood Disintegrative Disorder. Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang mengakibatkan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan dan pola sikap yang juga tidak normal. Ketidakmampuan anak bersosialisasi bukan merupakan satu-satunya ciri anak yang mengalami sindrom autis, anak-anak yang mengalami sindrom autisme juga tidak dapat mengendalikan emosinya (Veskarisyanti, 2008). Gangguan perkembangan otak pada anak autis menjadikan ia tidak mampu memahami situasi di sekitarnya dan menyesuaikannya dengan respon emosi yang seharusnya diberikan pada situasi tersebut, kondisi ini menjadikan anak autis bingung. Kebingungan inilah yang dapat memicu perilaku tidak terkontrol dari anak autis (Endow, 2015). Universitas Sumatera Utara 4 Anak autis gagal dalam memperhatikan sinyal emosional dari orang lain, dapat menolak pelukan ataupun kontak mata dari orang lain. Bahkan pada kasus yang lebih serius, anak autis dapat berbicara dengan nada yang tidak berirama, sama sekali tidak memberi perhatian kepada lawan bicara, menunjukkan perilaku yang berulang, seperti berputar, meloncat-loncat, bertepuk tangan, membenturkan kepala, sangat terobsesi dengan subjek atau rutinitas tertentu (Papalia, 2010). Azwandi (2005) memberikan contoh perilaku dari anak autis yaitu mudah marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan dari sistem limbik sebagai pusat emosi dalam otak. Anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan yang tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut. Autisme merupakan gangguan perkembangan yang paling sulit untuk ditangani. Autisme bisa terwujud dalam karakteristik atau gejala-gejala dengan berbagai kombinasi dari yang sangat ringan sampai sangat parah, sehingga sering mengakibatkan disabilitas seumur hidup, menjadi beban sosial ekonomi dan membuat frustrasi keluarga (Osborne dkk, 2007). Autisme bahkan disebutkan sebagai salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Beragam reaksi orangtua muncul terkait dengan diagnosa autisme yang melekat pada anaknya. Beberapa reaksi emosi yang muncul dari orangtua ialah merasa terkejut, tidak percaya, penyangkalan, sedih, kecemasan yang tinggi, malu, marah bahkan perasaan bersalah. Anak yang pada awalnya terlihat lucu dan Universitas Sumatera Utara 5 menyenangkan, namun seiring dengan bertambahnya usia anak, mulai terlihat berbagai macam keanehan misalnya, ketika diajak berkomunikasi anak tidak menanggapi, acuh, bahkan matanya menghindar jika ditatap dan derai tawanya tidak seperti anak-anak lainnya (Safaria, 2005). Kebanyakan orangtua merasa sangat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya penyandang autisme. Pada mulanya orangtua berpikir bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam proses perkembangan. Orangtua baru sadar ketika mulai terlihat berbagai macam kejanggalan dalam perilaku anaknya; misalnya anak membentur-benturkan kepalanya atau tangannya, atau perilaku aneh lainnya. Bagi sebagian besar orangtua, perilaku agresif dan menyakiti diri sendiri merupakan perilaku yang paling berat dihadapi. Anak seringkali berteriak tidak jelas sehingga membuat orangtua semakin tertekan (Safaria, 2005). Mengasuh anak dengan sindrom autisme dapat menyebabkan stres karena banyaknya gejala yang ditimbulkan oleh sindrom tersebut. Diantaranya, dalam hal mengajar dan berkomunikasi dengan anak sangatlah sulit karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan emosinya, harus selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang, perawatan yang ekstra karena anak autis tidak mampu merawat dirinya sendiri, memenuhi semua kebutuhan anak autis, kebutuhan sekolah dan kesehatan anak, bahkan stigma masyarakat tentang anak autis (Phetrasuwan & Miles, 2009). Pernyataan diatas sesuai dengan pengalaman yang diungkapkan ibu Sri Lestari Wahyuningroem dalam webnya: Universitas Sumatera Utara 6 “Saya adalah seorang ibu dari dua anak, Indis (11 tahun) dan Ero (8 tahun), yang didiagnosa mengalami gangguan spektrum autistik, yang sering bertingkah laku seperti mengamuk tanpa sebab yang jelas, berteriak-teriak, menangis membabi buta, atau malah memukul atau menendang kesana kemari sekenanya. Saya bingung dan malu. Bingung menghadapi sang anak, dan malu karena diperhatikan orang banyak.” (Swahyuningroem, 2012) Ibu Sri memiliki dua anak yang mengalami autisme. Ibu Sri menyatakan bahwa anaknya seringkali menunjukkan perilaku tidak terkontrol di tempat umum, bahkan di mall. Perilaku seperti ini menjadikan orang disekitarnya seringkali merasa terganggu. Dalam kondisi demikian, biasanya ibu Sri akan berusaha menenangkan anaknya sambil menjelaskan kepada orang-orang bahwa anaknya mengidap sindrom autisme. Kondisi seperti ini membuat ibu Sri merasa malu dan terkadang stres. Pengalaman lain juga dikemukakan oleh ibu Ratna yang memiliki anak autis yaitu Alya (5 tahun). Kondisi Alya yang tidak bisa berkomunikasi, walau hanya mengucapkan kata „mama‟, tidak adanya respon Alya ketika bermain dengan anak seusianya, diet khusus yang harus dijalani Alya, bahkan hiperaktifitas Alya ketika menu makanan yang berganti membuat ibu Ratna menangis hampir setiap hari. Alya dapat memukul-mukul kepala, menggigit meja bahkan menggigit tangannya sendiri hingga berdarah ketika mengamuk. Kondisi seperti ini membuat ibu Ratna merasa terpuruk dan stres. Biaya terapi yang tidak murah juga merupakan salah satu kesulitan dalam merawat Alya. Ibu Ratna bahkan menyatakan ketidakmandirian Alya dalam hal emosional dan finansial di masa depan Universitas Sumatera Utara 7 merupakan salah satu ketakutan terbesar dirinya. (Ajengrastri & Ryani dalam Tabloidnova.com, 2014). Beckman et al (dalam Lam & Mackenzie, 2002) menyatakan, bahwa orangtua dengan anak yang memiliki gangguan, lebih mengalami stres pada tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan orangtua dari anak normal. Hal ini tentunya dikaitkan dengan beban psikologis yang ditanggung akibat kondisi anak. Bahkan lebih khusus lagi, Bristol & Schopler, Holroyd & McArthur, dkk dalam bukunya yang membahas tentang Sumber Daya Keluarga dan Adaptasi terhadap Anak Autis (dalam Davis dkk, 2008; Plumb, 2011) menyatakan bahwa ibu dari anak autis memiliki tingkat resiko stres, depresi, serta kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dari anak dengan sindrom lain seperti Down Syndrome dan Retardasi Mental. Hal ini terkait dengan banyaknya simptom atau gejala yang terkait dengan kondisi autisme, seperti perubahan signifikan dalam hal komunikasi, ketidakmampuan mempelajari ekspresi emosi dan kosakata yang bermasalah. Ibu harus selalu siaga dalam mengontrol perilaku anak seperti agresi dan gerakan stereotip tertentu, perhatian yang ekstra karena ketidakmampuan anak mengurus dirinya sendiri, bahkan sikap pembelaan atas kondisi anak terkait sekolah dan fasilitas umum lainnya (Phetrasuwan & Miles, 2009). Penelitian lain dari Bouma & Schweitzer (dalam Pisula, 2011) juga membandingkan tingkat stres yang dimiliki oleh ibu dari anak autis dibandingkan dengan ibu dari anak dengan disabilitas fisik. Hasil penelitian menemukan bahwa ibu dari anak autis memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dari anak dengan disabilitas fisik. Stres yang dialami ibu terkait dengan masalah dalam Universitas Sumatera Utara 8 perkembangan kognitif anak, kebutuhan menetap pada supervisi ataupun terapi dan masalah perilaku anak merupakan kontributor signifikan terhadap stres ibu. Penelitian lain dari Sabih dan Sajid yang dipaparkan dalam Jurnal Penerimaan diri, dukungan sosial dan stres ibu anak autis (dalam Rahmawati dkk, 2013) yang melibatkan 60 pasangan orangtua dari anak dengan sindrom autisme di Islamabad, Pakistan diketahui bahwa muncul stres yang signifikan pada orangtua yang memiliki anak autis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tingkat stres ibu lebih tinggi dari tingkat stres ayah, hal ini didasarkan pada kondisi ibu yang lebih berfokus dalam merawat anaknya daripada peran ayah yang cenderung berfokus dalam masalah finansial. Seorang ibu ialah figur lekat bagi anak, ibu bahkan disebut sebagai caregiver utama pada anak. Ibu adalah orang pertama yang harus melakukan adaptasi terhadap kondisi anak (Tobing, 2004). Bagi seorang ibu dari anak autis, dibutuhkan usaha yang besar dalam mengatasi permasalahan yang kerap muncul ketika merawat anak. Anak autis senantiasa membutuhkan banyak perhatian dan pengawasan dari orang-orang disekitarnya dibandingkan anak normal, sehingga keterbatasan yang dimiliki anak autis mengakibatkan stres yang tinggi bagi ibu yang mengasuhnya. Tingkat keparahan dari kondisi anak autis seringkali dikaitkan dengan masalah emosional dan stres ibu (Freeman dkk dalam Phetrasuwan & Miles, 2009). Hasil penelitian sebelumnya terkait dengan anak autis juga mendukung pendapat bahwa karakteristik dari anak autis dapat mengarahkan ibu dalam kondisi stres. Tomanik (dalam Whitman & Ekas, 2010) menemukan bahwa terdapat tingkat stres yang tinggi pada ibu dari anak autis disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara 9 iritabilitas, tidak bergairah, hiperaktif, ketidakmandirian, penurunan komunikasi dan ketidak-tertarikan sosial yang dimiliki anaknya. Davis & Carter (2008) juga menyatakan bahwa penurunan kemampuan sosial dari anak autis merupakan prediktor stres bagi ibu dari anak autis. Stres ialah kondisi yang disebabkan oleh adanya kesenjangan antara situasi yang diinginkan, dengan keadaan biologis, psikologis dan sistem sosial yang sebenarnya pada individu tersebut (Sarafino, 2011). Senada dengan Sarafino, Santrock (2003) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap keadaan/kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya atau coping. Stres dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, berperasaan dan berperilaku dalam lingkungan sosial. S arafino (2011) juga membagi stres berdasarkan sumbernya, yaitu stres yang bersumber dari individu itu sendiri, stres yang bersumber dari keluarga dan stres yang berasal dari komunitas dan masyarakat. Memiliki anak yang autis merupakan sumber stres yang berasal dari keluarga. Seorang ibu yang merawat anaknya yang autis memiliki perjuangan seumur hidup dalam membesarkan anaknya. Karakteristik perilaku dari anak autis, seperti kesusahan dalam mengekspresikan verbal, ketidaksesuaian kognitif, menyakiti diri sendiri ketika kesal merupakan salah satu faktor terberat yang menyebabkan stres dari ibu (Suraiya & Yulianti, 2011). Emosi serta perasaan ibu yang memiliki anak autis tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam mengasuh anak autis. Sikap negatif dan Universitas Sumatera Utara 10 kondisi stres dari ibu akan berdampak negatif bagi perkembangan anak (Price dalam Sembiring, 2011). Stres mendorong ke arah ketidakberfungsian pengasuhan ibu terhadap anak. Bahkan dalam Davis & Carter (2008) dikatakan sikap ibu yang mengalami stres akan semakin memperparah sindrom autisme yang dimiliki anak. Kondisi stres dapat menjadikan ibu berperilaku tidak sehat dan tidak positif seperti menelantarkan anaknya atau berlaku kasar terhadap anaknya. Ibu yang tidak dapat melakukan coping dengan baik akan semakin terpuruk dan tidak lagi melakukan usaha dalam mendukung perkembangan anaknya, sehingga keterbelakangan anak akan semakin parah (Hidayati, 2013). Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat berbagai macam kondisi yang dialami ibu dari anak autis yang dapat mengarahkan ibu pada stres. Kondisi ini terkait dengan karakteristik gangguan autisme yang dimiliki anaknya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis. B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti berusaha mengemukakan rumusan masalah utama dalam bentuk pertanyaan, “Bagaimanakah Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis?‟ C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis. Universitas Sumatera Utara 11 D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Ibu yang memiliki anak dengan sindrom autisme - Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Ibu, sehingga Ibu dapat memahami penyebab stres serta dapat melakukan coping yang sesuai untuk menurunkan dampak stres yang dialaminya. - Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada lembaga atau profesional yang menangani anak autis, sehingga lembaga atau profesional tidak hanya berfokus pada penanganan anak, namun juga dapat membantu ibu dalam menurunkan stresnya terkait dengan kondisi anak. b. Bagi Peneliti Penelitian - Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis, mengingat hal tersebut sangat sensitif. Universitas Sumatera Utara 12 E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan proposal peneilitian ini adalah: BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah dan variabel penelitian, serta pemaparan hasil penelitian yang terkait. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian, yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, dan metode analisis data. BAB IV Analisa data dan interpretasi mengenai analisa data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya. BAB V Kesimpulan dan Saran menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya. Universitas Sumatera Utara