BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak yang berkualitas merupakan tulang punggung keberhasilan suatu negara.
Kualitas anak masa kini merupakan penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
di masa yang akan datang. Pembangunan manusia masa depan dimulai dengan
pembinaan anak masa sekarang. Untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas di
masa yang akan datang , maka anak perlu dipersiapkan agar anak dapat tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pertumbuhan dan
perkembangan
anak merupakan hasil interaksi seimbang antara faktor genetik-
herediter-konstitusi dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan memberikan
3
kebutuhan dasar anak, yaitu kebutuhan fisik-biomedis (asuh), didalamnya tercakup
salah satunya nutrisi, kebutuhan kasih sayang/emosi (asih) dan kebutuhan
bermain/stimulasi (asah). Terpenuhinya kebutuhan dasar dan faktor genetik yang
baik, dapat menjamin kualitas hidup anak di masa yang akan datang (Tanuwidjaja,
2005). Kecerdasan hanyalah bagian dari kualitas manusia dan memang tidak
menentukan keberhasilan seseorang, tetapi dapat merupakan modal dasar yang
penting untuk keberhasilannya sekaligus untuk menunjukkan peringkat kualitasnya
(Hidajat, 2006). Iodium sebagai nutrisi mikro, dibutuhkan dalam perkembangan otak
dan kecerdasan anak. Defisiensi ringan bahkan borderline juga mempunyai efek
jangka panjang terhadap gangguan perkembangan dan gangguan belajar pada masa
1
depannya (Glinoer, 2004). Anak di daerah defisiensi iodium setelah berumur 7-8
tahun, yang terlahir dengan hipotiroid transien mempunyai tingkat kecerdasan yang
lebih rendah daripada anak yang lahir normal yang tinggal di daerah yang sama
(Calaciura et al., 1995). Meta-analysis dari 18 penelitian menunjukkan pada anakanak yang tinggal di daerah defisiensi iodium mempunyai Intelligence Quotion (IQ)
13,5 poin lebih rendah dari pada populasi anak yang setara yang tidak mengalami
defisiensi iodium (Kratzsch & Pulzer, 2008).
Begitu juga pemberian suplementasi
kapsul iodium 400 mg pada anak usia sekolah yang dilakukan oleh Zimmermann et
al. (2006) menunjukkan adanya perbaikan fungsi pengolahan informasi, ketrampilan
motorik halus dan penglihatan. Ini menunjukkan pemberian suplementasi iodium
pada anak hipotiroid terbukti memperbaiki kecerdasan.
Organ tubuh yang bertanggungjawab mengelola iodium adalah kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang cukup, terutama 3,5,3’,5’tetraiodotironin/tiroksin (T4) dan dalam jumlah yang lebih kecil 3,5,3’-triiodotironin
(T3). Hormon tiroid bekerja mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan banyak
jenis sel, menstimulasi termogenesis, transport air dan ion-ion serta metabolisme
asam amino, lemak dan karbohidrat. Selain itu berefek pada pertumbuhan dan
perkembangan sistem saraf pusat dan tulang (Zoeller et al., 2002; Brown & Huang,
2005). Tiroid diatur oleh hormon perangsang tiroid (TSH=thyroid stimulating
hormone/tirotropin), suatu glikoprotein yang dihasilkan dan disekresi oleh hipofisis
anterior. Aktivasi kelenjar tiroid diatur melalui mekanisme timbal balik negatif dari
thyroid-hypothalamus-pituitary axis. Hormon TSH ini mengaktivasi adenilat siklase
2
kelenjar tiroid untuk mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, yaitu T4 dan T3.
Sintesis
TSH
dan
pelepasannya
dirangsang
oleh
hormon
pelepas
tiroid
(TRH=Thyroid releasing hormone) yang disintesis di hipotalamus dan di sekresi ke
dalam hipofisis. Pada keadaan penurunan produksi hormon tiroid, TSH dan mungkin
juga TRH akan meningkat (Behrman & Vaughan,1990).
Kenaikan TSH serum, kecuali pada keadaan patologik yang sangat jarang,
menunjukkan adanya insufisiensi saturasi reseptor T3 di otak, tentunya juga kadar
hormon tiroid dalam serum. Sehingga peningkatan TSH serum menunjukkan adanya
resiko potensial adanya defisiensi dalam perkembangan otak. Serum T3 dan T4
merupakan petunjuk yang kurang spesifik sebagai indikator adanya defisiensi karena
kadarnya berubah-ubah dan sangat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin (Susanto,
2006). American Academy of Pediatric (1987) merekomendasikan pemeriksaan
biokimia untuk penyakit tiroid dan monitoring pengobatannya baik pada masa
neonatus dan anak-anak dengan pengukuran kadar TSH lebih dulu lalu konfirmasi
dengan T4 jika TSH meningkat (seperti di Jepang dan Eropa) atau sebaliknya T4 dulu
lalu konfirmasi dengan TSH, bila T4 rendah (seperti di Amerika Utara).
Defisiensi iodium banyak terjadi di daerah endemis GAKI (Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium). Di dunia sekitar 30 % populasi penduduknya tinggal di daerah
defisiensi iodium, dimana angka tertinggi terdapat di negara berkembang (Anderson
et al., 2005). Di Indonesia GAKI merupakan salah satu dari empat masalah gizi
utama. Prevalensi Total Goiter Rate (TGR) atau angka pembesaran kelenjar gondok
sebagai indikator masalah GAKI di Indonesia pada anak usia sekolah pada survei
3
terakhir tahun 1995 dan dipublikasikan Depkes di tahun 1998 adalah 9,8%,
Prevalensi ini merupakan keempat terbesar masalah gizi di Indonesia setelah anemia
pada ibu hamil (40%), gizi kurang pada balita (27,3%) dan Kurang energi kronis
(KEK) pada wanita usia subur (17,6%) (Depkes, 2003). Dari survey pemetaan
terakhir tahun 1998 diketahui 87 juta penduduk masih tinggal di daerah rawan GAKI,
20 juta masih menderita gondok dan 290 ribu menderita kretin dan setiap tahun
diperkirakan sebanyak 9000 kretin baru ditemukan di Indonesia (Untung dkk, 2005).
Survei gizi Depkes RI (2003) menunjukkan TGR provinsi DIY adalah 4,5%, dan di
Kabupaten Bantul adalah 2,3 % artinya masalah GAKI bukan menjadi masalah di
masyarakat. Sayangnya data ini belum mencerminkan keadaan yang sesungguhnya di
masyarakat, karena tidak dilakukan secara merata sampling di tiap Kecamatan seperti
yang dilakukan di tahun 1996. Sedangkan data Abunanin (1996) dari 17 Kecamatan,
terdapat 2 Kecamatan endemis ringan, 1 Kecamatan endemis sedang dan 1
Kecamatan endemis berat, yaitu Kecamatan Pundong dengan TGR ≥30%.
Sampai saat ini, evaluasi pasca pemetaan gizi di tahun 1996 belum dilakukan
kembali, sehingga masyarakat maupun pemangku kebijakan dalam hal ini Dinas
Kesehatan Kabupaten Bantul dan Puskesmas Pundong tidak mengetahui kondisi
terbaru dari daerah endemis GAKI. Sepanjang penelusuran referensi oleh penulis,
sampai saat ini data yang menunjukkan hubungan hipertirotropinemia terhadap
tingkat kecerdasan anak prasekolah yaitu di Taman Kanak-kanak (TK) di Indonesia
belum didapatkan, terutama di daearah endemis GAKI di Kabupaten Bantul.
Dipilihnya anak usia TK dengan harapan apabila dari penelitian ditemukan adanya
4
kelainan, akan lebih mudah untuk dilakukan intervensi, sebagai upaya pencegahan
sekunder. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian tentang hal tersebut di
atas sehingga anak-anak Indonesia terselamatkan dari Loss of Generation.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, dirumuskan masalah bagaimana
hubungan antara hipertirotropinemia dan tingkat kecerdasan pada anak TK di Desa
Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul, DIY.
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat
hubungan antara hipertirotropinemia dengan tingkat
kecerdasan anak TK di Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul, DIY ?
D. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Mengetahui hubungan hipertirotropinemia dengan tingkat kecerdasan anak TK
di daerah endemik GAKI, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul, DIY.
2.
Tujuan khusus
a.
Mengetahui prevalensi hipertirotropinemia
anak TK di Desa Seloharjo,
Kecamatan Pundong, Bantul, DIY.
b.
Mengetahui rerata tingkat kecerdasan anak TK di Desa Seloharjo, Kecamatan
Pundong, Bantul, DIY.
5
c.
Mengetahui aspek kecerdasan yang terbanyak mengalami gangguan akibat
hipertirotropinemia di Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul, DIY.
d.
Mengetahui faktor luar yang mempengaruhi kecedasan anak TK di Desa
Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul, DIY.
E. Manfaat Penelitian
a.
Bidang akademis :
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan referensi yang berkaitan dengan
hubungan hipertirotropinemia dengan tingkat kecerdasan anak TK di wilayah
endemik GAKI, sehingga mengetahui faal tiroid yang sebenarnya.
b.
Bagi pelayanan/pengabdian masyarakat :
Meningkatkan upaya deteksi sedini mungkin status faal tiroid anak dan
mencegah kondisi kecerdasan yang rendah sehingga dapat dilakukan intervensi
yang tepat dan berkelanjutan.
c.
Bagi penelitian :
Sebagai bahan acuan pengembangan penelitian mengenai permasalahan
kesehatan yang berhubungan dengan faal tiroid dan psikologik anak TK di daerah
endemik GAKI, khususnya di Desa Seloharjo, Kecamatan
Pundong, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
6
F. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang hubungan TSH dengan kecerdasan cukup banyak dilakukan,
terutama di luar negeri. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang
akan peneliti lakukan adalah variabel yang diteliti yaitu hipertirotropinemia sebagai
variabel bebas dan
tingkat kecerdasan
sebagai variabel terikat diukur dengan
menggunakan alat ukur Stanford-Binet, Fifth edition. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah potong lintang (cross sectional), dengan subjek anak taman kanakkanak di daerah replete ( 14 tahun yang lalu merupakan daerah endemik berat GAKI)
di Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
7
Tabel 1. Penelitian-penelitian yang digunakan sebagai acuan
N
o
Peneliti
Desain
Penelitian
Hasil
Kesimpulan
1 Calaciura et
al., 1995
Case
control
IQ global anak usia 7-8 tahun yang
lahir dengan kadar TSH tinggi
(hipotiroid
transien)
di
daerah
defisiensi iodium berat dibandingkan
dengan anak yang lahir dengan TSH
normal yaitu 78,3±11,1 vs 90,9±14,2
(p<0,05); IQ performance : 75±8,5 vs
89,2±12,5 (p<0,01)
Anak hipotiroid transien pada
daerah defisiensi iodium berat,
mempunyai
perkembangan
kecerdasan IQ global dan IQ
performance yang lebih rendah
secara bermakna daripada anak
yang normal
2 Tiwari et
al., 1996
Cross
sectional
Kemampuan belajar anak usia 9-15
tahun dengan TSH tinggi (6,23±0,34)
di daerah defisiensi iodium berat
dibandingkan dengan kemampuan
belajar anak dengan TSH tinggi di
daerah defisiensi iodium ringan
(4,85±0,28)(p<0,01)
Anak hipotiroid subklinis di
daerah defisiensi berat, lebih
rendah
secara
bermakna
mempunyai
kemampuan
belajar
daripada
anak
hipotiroid subklinis di daerah
defisiensi ringan.
3 Huda et al.,
1999
Cohort
Skor
membaca/mengeja
dan
matematika anak usia 8-10 tahun
dengan T4 rendah dan tinggal di
daerah defisiensi berat iodium :
30,2±2,1 dan 17,23±1,3 dibandingkan
anak dengan T4 normal : 40,1±2,2 dan
19±1,4 (p<0,01dan p<0,001).
Anak hipotiroid di daerah
defisiensi
iodium
berat,
mempunyai skor membaca/
mengeja dan matematika yang
lebih rendah secara bermakna
daripada anak normal.
4 Wu T et al.,
2006
Cross
sectional
Kemampuan berhitung remaja umur
13-18 tahun yang hipotiroid subklinis
11,39±0,75, eutiroid 8,52±0,14 dan
hipertiroid subklinis 7,1±1,3 dan
kemampuan desain blok berturut-turut
: 11,62±0,72; 9,19±0,14; 8,36±1,2
(p<0,01)
Hipotiroid
subklinik
menyebabkan fungsi kognitif
yang lebih baik secara
bermakna daripada eutiroid;
sedangkan
hipertiroid
subklinik menjadi faktor resiko
yang
potensial
terhadap
gangguan kognitif.
8
Download