BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jambu mete (Annacardium occidentale) merupakan tanaman konservasi dan pengembangannya di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1975 melalui proyek Departemen Kehutanan sebagai tanaman konservasi untuk memperbaiki lahan kritis. Karena sifat tanaman jambu mete yang tahan kering, untuk itu tanaman ini pada awalnya dikembangkan sebagai bagian dari tanaman reboisasi lahan-lahan kritis. Demikian pula di daerahdaerah dengan kondisi lahan marginal dan iklim kering, komoditas ini dapat bersaing dengan tanaman perkebunan lainnya. Pengembangan jambu mete di Indonesia berlangsung sangat cepat. Pada periode 1990-1994, laju pertumbuhannya menduduki urutan ketiga setelah kakao dan kelapa sawit (Nogoseno, 1996). Pada tahun 2003, luas areal jambu mete telah mencapai 581.641 ha dengan produksi 112.509 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2004). Meskipun luas areal terus meningkat, produktivitas jambu mete Indonesia masih rendah (200-350 kg/ha), jauh di bawah India atau Vietnam yang masing-masing mencapai 1.000 dan 800 kg/ha (Chau, 1998; Rao, 1998). Jambu mete merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan agribisnis perkebunan, karena sangat terkait dengan sektor industri otomatif (seperti: rem, serbuk friksi, campuran ban, cat, dempul, lak dan lain sebagainya), makanan/ minuman, kosmetik, pestisida nabati dan pakan ternak. Kacang mete di pasar dunia termasuk salah satu produk yang mewah (luxury) dan lebih disukai dibandingkan kacang tanah atau almond (Rao, 1998; Mandall, 2000) Jambu mete merupakan komoditas yang tak kalah pentingnya dibanding dengan tanaman tahunan lainnya dan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, karena hasil tanaman tersebut dapat dimanfaatkan baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga sumber 1 devisa negara. Disamping itu juga dapat menyerap tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan pada sentra-sentra ekonomi baru di wilayah pengembangan. Tanaman jambu mete merupakan komoditas ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi dan bernilai ekonomi tinggi. Jambu mete dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan jem jambu mete. Beberapa daerah penghasil produksi jambu mete Indonesia adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara. Meskipun sudah banyak beberapa daerah yang telah membudidayakan tanaman jambu mete namun belum menghasilkan produksi jambu mete yang maksimal. Oleh karena itu peneliti menilai pentingnya studi mengenai kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete agar penanaman tanaman tersebut selanjutnya dapat menghasilkan produktivitas yang maksimal mengingat banyaknya manfaat yang dapat diambil dari tanaman jambu mete. Penelitian mengenai kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete memerlukan data-data parameter yang dianggap sebagai parameter penentu kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete, salah satu parameter tersebut adalah suhu udara. Suhu udara memiliki perbandingan terbalik dengan ketinggian tempat, semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara semakin turun begitu juga sebaliknya semakin rendah tempat tersebut semakin tinggi suhu udaranya. Karena suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian maka peneliti menggunakan data DEM citra SRTM untuk penentuan suhu udara. Data DEM digunakan karena memiliki nilai z atau ketinggian sehingga diharapkan suhu udara dapat dianalisis menggunakan data DEM tersebut. Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah selatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu daerah di Kabupaten Bantul tepatnya di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri 2 merupakan daerah penghasil jambu mete, bahkan Desa Karangtengah dijadikan wisata perkebunan jambu mete. Peneliti memilih Kabupaten Bantul dengan tujuan untuk mengetahui wilayah yang berpotensi sebagai daerah penghasil jambu mete di Kabupaten Bantul. Selain itu, tanaman jambu mete yang benilai ekonomi tinggi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat karena dapat meningkatkan penghasilan dari hasil budidaya tanaman jambu mete. Oleh karena itu peneliti mencoba mengkaji kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete di Kabupaten Bantul yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman jambu mete agar jambu mete yang dihasilkan berproduktivitas tinggi. 1.2 Rumusan Masalah Tanaman jambu mete juga memiliki persyaratan tumbuh tanaman tertentu, meskipun tanaman jambu mete juga dapat tumbuh pada tanah kering. Kondisi lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman akan sangat mempengaruhi kualitas dan hasil produk suatu tanaman. Apabila tanaman jambu mete tersebut ditanam pada lahan yang tidak atau kurang sesuai maka nilai produktivitas akan rendah. Namun jika tanaman jambu mete tumbuh di lahan yang sesuai maka nilai produktivitas tanaman ini akan tinggi karena kualitasnya bagus dan sehingga menguntungkan bagi petani jambu mete karena tanaman ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Penelitian mengenai kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete memerlukan data pendukung yang dianggap sebagai parameter penting dalam penentu peryaratan tumbuh tanaman jambu mete. Pada penelitian ini data yang dipakai sebagai parameter penentu kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete adalah bentuklahan, jenis tanah, kemiringan lereng, curah hujan dan suhu udara. Salah satu parameter tersebut adalah suhu udara. Suhu udara memiliki perbandingan terbalik dengan ketinggian tempat, semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara semakin turun begitu juga sebaliknya semakin rendah tempat tersebut semakin tinggi suhu udaranya. Karena suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian maka peneliti 3 menggunakan data DEM citra SRTM untuk penentuan suhu udara. Data DEM digunakan karena memiliki nilai z atau ketinggian sehingga diharapkan suhu udara dapat dianalisis menggunakan data DEM tersebut. Pengolahan data dan pemetaan kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG) sehingga lebih cepat dan efisien serta membantu permasalahan dalam menentukan lokasi yang tepat untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian jambu mete. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana peran data DEM citra SRTM dalam penentuan suhu udara yang merupakan salah satu parameter penentu kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete? 2. Bagaimana menentukan evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete dan memetakannya menggunakan terapan aplikasi SIG? 3. Bagaimana potensi pengembangan pertanian tanaman jambu mete di Kabupaten Bantul? 1.3 Tujuan Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui akurasi data DEM citra SRTM dalam penentuan suhu udara yang merupakan salah satu parameter penentu kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete. 2. Melakukan pemetaan kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete di Kabupaten Bantul. 3. Mengetahui wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai perluasan lahan perkebunan jambu mete di Kabupaten Bantul. 4 1.4 Manfaat Penelitian tentang pemetaan kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran bagaimana peran Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam membantu evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete. 2. Memberikan gambaran berupa peta lokasi kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete di Kabupaten Bantul. 3. Memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan perkebunan tanaman jambu mete di Kabupaten Bantul yang bertujuan untuk kesejahteraan. 1.5 Telaah Pustaka 1.5.1 Penginderaan Jauh Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan sutau objek. Penginderaan jauh dilakukan tanpa kontak langsung sehingga diperlukan media supaya objek atau gejala tersebut dapat diamati dan “didekati” oleh si penafsir. Media ini berupa citra (image atau gambar). Komponen yang ada pada sistem penginderaan jauh diantaranya yaitu sumber tenaga (aktif dan pasif), panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, interaksi panjang gelombang dengan obyek, obyek itu sendiri, atmosfer dan sensor satelit. Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap sumber tenaga dalam salah satu komponen penginderaan jauh. Ada obyek yang menyerap (absorption), memantulkan (reflection) dan meneruskan (transmition) tenaga-tenaga tersebut. Sifat-sifat obyek/interaksi terhadap gelombang elektromagnetik tersebutlah yang ditangkap oleh sensor satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan 5 dalam berbagai bidang. Hasil dari interaksi komponen-komponen tersebut berupa citra penginderaan jauh. Citra dapat diperoleh melalui perekaman fotografis, yaitu pemotretan dengan kamera, dan dapat juga diperoleh melalui perekaman non-fotografis, misalnya dengan pemindai atau penyiam (scanner). Perekaman fotografis menghasilkan foto udara, sedangkan perekaman lain menghasilkan citra non-foto. Citra foto udara selalu berupa hard copy (barang tercetak) yang diproduksi dan direproduksi dari master rekaman yang berupa film. Citra non-foto biasanya terekam secara digital dalam format asli, dan memerlukan komputer untuk presentasinya. Citra non foto juga dapat (dan perlu) dicetak menjadi hard copy, untuk keperluan interpretasi secara visual. Data penginderaan jauh diperoleh dari suatu satelit, pesawat udara balon udara atau wahana lainnya. Data-data tersebut berasal rekaman sensor yang memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang di hasilkan (Richards dan Jia, 2006). Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi, 2001). 1.5.1.1 DEM (Digital Elevation Model) dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) DEM merupakan suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan penyajian informasi medan. Susunan nilainilai digital yang mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat horisontal X Y dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Frederic J. Doyle, 1991). SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global 6 (80% luasan dunia). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi ketinggian dari produk peta 2D, seperti kontur, profil. Ketelitian bisa mencapai 15 m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi. 1.5.1.1.1 Data DEM a. Sumber Data DEM • FU stereo • Citra satelit stereo • Data pengukuran lapangan : GPS, Theodolith, EDM, Total Station, Echosounder • Peta topografi • Linier array image b. Struktur Data DEM 1. Grid Grid atau Lattice menggunakan sebuah bidang segitiga teratur, segiempat, atau bujursangkar atau bentuk siku yang teratur grid. Data dapat disimpan dengan berbagai cara, biasanya metode yang digunakan adalah koordinat Z berhubungan dengan rangkaian titik-titik sepanjang profil dengan titik awal dan spasi grid tertentu (Moore et al., 1991). 2. TIN TIN adalah rangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih pada ruang tak beraturan dengan koordinat x, y, dan nilai z yang menyajikan data elevasi. Model TIN disimpan dalam topologi berhubungan antara segitiga dengan segitiga didekatnya, tiap bidang segitiga digabungkan dengan tiga titik segitiga yang dikenal sebagai facet. Titik tak teratur pada TIN biasanya merupakan hasil sampel permukaan titik khusus, seperti lembah, igir, dan perubahan lereng (Mark, 1975). 7 3. Kontur Kontur dibuat dari digitasi garis kontur yang disimpan dalam format seperti DLGs (Digital Line Graphs) koordinat (x, y) sepanjang tiap garis kontur yang menunjukkan elevasi khusus. Kontur paling banyak digunakan untuk menyajikan permukaan bumi dengan simbol garis. 1.5.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ESRI mendefinisikan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografi dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (“An organized collection of computer hardware, softwere, geographic data and personnal designed to efficiently capture, store, update, manipulate, analyze, and display all forms of geographicaly referenced information”). Menurut Lucas dalam PHPA dan WWF (1997), sebuah sistem adalah suatu himpunan atau variabel yang terorganisasi, saling berinteraksi, saling bergantung satu sama lain dan terpadu serta mempunyai tujuan dan sasaran. Informasi Geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Jadi informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut dan waktu. Sistem Informasi Geografis atau SIG secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem manual atau digital (dengan menggunakan komputer sebagai alat pengolahan dan analisis) yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau geografis (Projo Danoedoro: 1996). SIG memiliki rujukan spasial (keruangan) yang dapat berujud lokasi (titik, garis, area), distribusi, serta terintegrasikan dengan data atribut yang berkaitan dengan tiga unsur penting geografis tersebut secara keruangan. 8 SIG muncul sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan peta yang dihasilkan dengan teknik kartografi manual. Keterbatasan itu meliputi pembuatan, penyimpanan, pemanfaatan, dan pembaruan/modifikasi peta sesuai dengan perkembangan dan keperluan yang dikehendaki. Peta konvensional yang dihasilkan dari proses kartografi manual bersifat statis, sukar untuk diolah kembali, sukar untuk dipadukan (integrated) antara beberapa peta tematik, terbatas kapasitas penanganannya, sukar untuk menyimpan dan memanipulasi datanya, usaha untuk memperoleh informasi baru dari peta konvensional yang ada juga sulit dilakukan apabila data yang akan dipadukan dalam jumlah besar. Perencanaan pembangunan atau pengambilan keputusan yang berkaitan dengan spasial diperlukan analisis data yang bereferensi geografis. Analisis ini harus didukung oleh sejumlah konsep-konsep ilmiah dan sejumlah data yang handal. Data/informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan harus dipilih dan diolah melalui pemrosesan yang akurat. SIG merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. SIG memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan menampilkan dan menganalisa data. SIG menyediakan sejumlah komponen atau subsistem antara lain: 1. Masukan data (data input) Subsistem masukan data adalah fasilitas dalam Sistem Informasi Geografi yang digunakan untuk memasukan data dan merubah data dari bentuk data asli ke dalam bentuk data yang dapat diterima dan dipakai dalam SIG. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan 3 cara, yakni: a. Pelarikan (scanning) Pelarikan atau penyiaman adalah proses pengubahan data grafis kontinyu menjadi data diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar 9 (pixel). Data hasil penyiaman disimpan dalam bentuk raster. Data raster ini dapat diubah menjadi data vektor melalui proses digitasi. b. Digitasi Digitasi adalah proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam struktur vektor. Pada struktur vektor ini data disimpan dalam bentuk titik (point), garis (lines) atau segmen, data poligon (area) secara matematis-geometris (Lo, 1986). Contoh tipe data titik adalah kota, lapangan terbang, pasar. Tipe data garis diantaranya adalah sungai, jalan, kontur topografik. Tipe data poligon/area antara lain ditunjukkan oleh bentuk-bentuk penggunaan lahan, klasifikasi tanah, daerah aliran sungai. Tipe data ini bergantung pada skalanya. c. Tabulasi Basis data dalam SIG dikelompokkan menjadi dua, yakni basis data grafis dan basis data non-grafis (atribut). Data grafis adalah peta itu sendiri, sedangkan data atribut adalah semua informasi non-grafis, seperti derajat kemiringan lereng, jenis tanah, dan lain-lain. Data atribut ini disimpan dalam bentuk tabel, sehingga sering disebut basis data tabuler. Data tabel ini kemudian dikaitkan dengan data grafis untuk keperluan analisis. 2. Pengelolaan data Pengelolaan data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari input data. Beberapa langkah penting lainnya, seperti pengorganisasian data, perbaikan, pengurangan, dan penambahan dilakukan pada subsistem ini. 3. Manipulasi dan Analisis data Fungsi subsistem ini adalah untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG. Untuk merubah format data, mendapatkan parameter dan proses dalam pengelolaan dapat dilakukan pada subsistem ini. Beberapa fasilitas yang biasa terdapat dalam paket SIG untuk manipulasi dan analisis, meliputi empat unsur, yakni: fasilitas penyuntingan, 10 interpolasi spasial, tumpang susun, modeling, dan analisis data (Danoedoro, 1996). Fasilitas yang terdapat pada Sistem Informasi Geografi antara lain: a. Penyuntingan Sebenarnya, sebagian fungsi penyuntingan telah dilakukan dalam subsistem manajemen data (khususnya data spasial), tetapi ada yang belum dikerjakan secara detail, yakni pemutakhiran (up dating) data. Sebagai contoh antara lain, peta pola persebaran pemukiman untuk tahun terbaru tidak perlu digitasi ulang, tetapi cukup diperbaharui dengan menambah data baru. b. Interpolasi spasial Interpolasi spasial merupakan jenis fasilitas SIG yang rumit, bahkan dapat dikatakan bahwa langkah ini tidak dapat dilakukan secara manual. Setiap titik pada koordinat tertentu dalam peta memuat sejumlah informasi koordinat dan nilai-nilai tertentu suatu variabel yang dikehendaki. Misal, pemasukan data berupa posisi koordinat dan kemiringan lereng, dapat diinterpolasi. Hasil dari proses interpolasi tersebut adalah peta kontinyu dimana setiap titik pada peta digital tersebut menyajikan informasi berupa nilai riil. c. Tumpang susun (overlay) Tumpang susun ini sebenarnya merupakan langkah di dalam SIG yang dapat dilakukan secara manual, tetapi cara manual terbatas kemampuannya. Bila peta yang akan ditumpangsusunkan lebih dari 4 lembar peta tematik, maka kan terjadi kerumitan besar dan sukar dirunut kembali dalam menyajikan satuan-satuan pemetaan baru (Danoedoro, 1996). Software SIG yang berbasis raster dapat melakukan proses tumpang susun secara lebih cepat daripada software SIG berbasis vektor. Proses tumpang susun lebih cepat pada SIG berbasis raster karena proses ini dilakukan antar pixel dari masing-masing input data peta pada koordinat yang sama, tidak harus merumuskan lagi 11 topologi baru untuk satuan pemetaan baru yang dihasilkan dari proses ini sebagaimana yang terjadi pada SIG berbasis vektor. d. Pembuatan Model dan Analisis data Bila input data telah masuk dan tersusun dalam bentuk basis data, maka proses pembuatan model (modeling) dan analisis data menjadi efisien, dapat dilakukan kapan saja dan dapat dipadukan dengan input peta baru. Bagian inilah terletak manfaat SIG yang besar, yakni ketika seluruh data telah tersedia dalam bentuk digital. 4. Keluaran data (data output) Subsistem ini berfungsi untuk menayangkan (displaying) informasi baru dan hasil analisis data geografis secara kuantitatif maupun kualitatif. Wujud keluaran ini berupa peta, tabel atau arsip elektronik (file). Keluaran data ini tidak hanya ditayangkan pada monitor, tetapi selanjutnya perlu disajikan dalam bentuk cetakan (hardcopy), dengan maksud agar dapat dibaca, dianalisis, dan diketahui persebarannya secara visual (data peta). Peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi yang dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Manfaat Sistem Informasi Geografis (SIG) antara lain: a. Memudahkan dalam melihat fenomena kebumian dengan perspektif lebih baik. b. Mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta bahkan data statistik. c. Mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. d. Menyongsong pembangunan di masa mendatang yang semakin lama akan 12 e. semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupakan informasi keruangan dan kewilayahan untuk inventarisasi data keruangan yang berkaitan dengan sumber daya alam. 1.5.2.1 Perangkat Lunak ArcGIS ArcGIS merupakan suatu software yang diciptakan oleh ESRI yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografi. ArcGIS merupakan Software pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan dari tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai kemampuan komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah diaplikasikan dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu Arc Map, Arc Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model bolder. Arc Map mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis peta, proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain secara kartografis. Arc Catalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen file-file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explor. Arc Globe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang universal, untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunakan untuk menampilkan geogle earth. Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder/diagram alur. Arc Toolbox digunakan untuk menampilkan tools-tools tambahan. Pembuatan sebuah tampilan peta pada ArcGIS dilakukan dalam ArcMap. Pada modul ArcMap tersebut tampilan sajian peta dilakukan dalam sebuah layout. Dalam tampilan layout ini terdapat tools layout yang berfungsi sebagai penuntun tampilan peta pada sebidang media cetak/kertas ukuran tertentu. Pengaturan tata letak peta pada ArcMap dikenal sebagai map templat. Map Template adalah susunan tata letak tampilan terdiri dari 13 obyek-obyek berupa atahn orientasi peta, legenda, skala, judul peta, wilayah liputan dan lain-lain. Susunan tat letak obyek-obyek ini yang bisa kita buat sendiri ataupun yang sudah bisa kita pilih sesuai dengan peta yang ingin kita layout. Map template ini dapat disimpan sebagi file dengan extensi *.mxt. 1.5.2.2 Perangkat Lunak ENVI ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu sistem pengolahan citra digital penginderaan jauh yang revolusioner dibuat oleh Research System, Inc (RSI). Sekarang ENVI terbaru memberikan fitur dan fungsionalitas lebih mempermudah alur kerja dan mengurangi waktu untuk pengolahan citra digital penginderaan jauh dan analisis. ENVI terbaru berintegrasi dengan GIS yang dapat mempermudah menyadap informasi terkini dari citra digital penginderaan jauh dengan memberikan alat analisis citra digital penginderaan jauh secara langsung dari lingkungan ArcGIS. Fungsi terbaru ENVI dapat menampilkan data LIDAR dan dapat secara langsung menggabungkan data penginderaan jauh lain dengan data LIDAR. Kegunaan lain ENVI dirancang untuk berbagai kebutuhan spesifik yang menggunakan data penginderaan jauh dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang menyuluruh dan analisa untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan. ENVI Pengolah Data Penginderaan Jauh menggunakan a Graphical User Interface (GUI). Format data raster dan Ascii (text) sebagai header file. Data raster disimpan sebagai ‘binary stream of bytes’ berupa format Band Sequential (BSQ), Band Interleaved by Pixel (BIP) dan Band Interleaved by Line (BIL). ENVI juga mendukung berbagai tipe format lainnya seperti: byte, interger, long interger, floating-point, double-precision, complex,dan double-precision complex. ENVI memiliki tiga jendela utama yaitu The Main Display Window untuk menampilkan semua tampilan citra dalarn full resolution yang dibatasi oleh kotak pada scroll, The Scroll Window untuk menampilkan seluruh citra 14 pada file, dan The Zoom Window untuk menampilkan perbesaran dari main display window yang dibatasi oleh kotak pada window. ENVI penginderaan jauh memiliki beberapa menu utama diantaranya adalah : File Management, Display Management, Interactive Display Functions, Basic Tools, Classification, Transform, Filters, Spectral Tools, Map Tools, Vector Tools, Topographic Tools, Radar Tools. 1.5.3 Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai 1.5.3.1 Klasifikasi Kesesuaian Lahan Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu ordo, kelas, sub kelas dan unit. 15 Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara umum atau global. Ordo dibedakan antara lahan yang tergolong Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N). Kemudian tingkat kesesuaian dalam tingkat kelas terdiri dari: Sangat Sesuai (S1), Cukup Sesuai (S2) dan Sesuai Marginal (S3) dan Tidak Sesuai (N). Satuan unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Kelas S1 Sangat Sesuai : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau terhadap produktivitas lahan secara nyata Kelas S2 Cukup Sesuai : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3 Sesuai Marginal : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan datau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N Lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Lahan kelas N (Tidak Sesuai). Dari tingkatan Orde di atas kemudian disesuaikan dengan sifat dan karakter tanah sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman yaitu sebagai berikut : Kondisi perakaran (r): yang dipengaruhi oleh pengatusan (drainage), tekstur, dan jeluk (effective depth) Ketersediaan Hara (f) dan retensi hara (n): Merupakan kombinasi atau tunggal dari ketersediaan hara makro (N, P, dan K) 16 Kegaraman (c): berasumsi bahwa untuk tanaman tebu tidak tanah pada kondisi kegaraman yang tinggi, hal ini dicerminkan dengan nilai DHL Keracunan (x): terutama oleh pirit, dapat tercermin pada kombinasi dari H dan Al tertukarkan Kelerengan (s): kelerengan dicerminkan pada pasisi kemiringan lahan dan kemudahan dalam pengolahan dan bahaya erosi Bahaya banjir (b): menyangkut data tinggi genangan dan lama genangan Pada bagian belakang tingkatan Orde kemudian diberikan tambahan notasi sifat dan karakter tanah sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman (contoh: S2.f.r - lahan cukup sesuai untuk pertumbuhan tanaman namun bermasalah dengan kesuburan dan perakaran). Berdasarkan tingkatan Orde dan persyaratan tumbuh tanaman inilah yang kemudian digunakan sebagai acuan untuk menyusun peta kesesuaian lahan bagi komoditas tanaman tertentu. 1.5.3.2 Matching Kesesuaian Lahan Matching merupakan penentuan kemungkinan adapatasi tipe penggunaan lahan dan kemungkinan-kemungkinan perbaikan kualitas lahan (Hauzing, 1986). Metode matching didasarkan pada pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan data kualitas lahan. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses matching meliputi : 1. Kualitas lahan pada setiap satuan pemetaan lahan 2. Kualitas lahan yang dipertimbangkan untuk setiap tipe pengunaan lahan 3. Rating kualitas lahan ( persyaratan tipe penggunaan lahan ) Macam-macam matching, antara lain: 1. Weight Factor Matching yaitu teknik matching untuk mendapatkan faktor pembatas dan kelas kesesuaian lahan 2. Aritmatic Matching yaitu matching dengan mempertimbangkan faktor yang dominan sebagai penentu kelas kesesuaian lahan. 3. Subjective Matching, yaitu teknik matching dengan menggunakan pertimbangan subyektif dalam penentuan kelas kesesuaian lahan 17 1.5.4 Jambu Mete Jambu mete (Annacardium occidentale) merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut Portugis ke India 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbedabeda (di Sumatera Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki. Tabel 1.1 Tabel Persyaratan Tumbuh Tanaman Jambu mete (Anacardium occidentale L.) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N 25 - 28 28 - 30 30 - 35 > 35 Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) < 25 Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) 800 - 1.200 500 - 800 < 500 1.500 - 2.000 2.000 - 2.500 > 2.500 2,5 - 4 4-5 5-6 >6 baik, agak terhambat agak cepat, sedang terhambat sangat terhambat, cepat halus, agak halus, sedang - agak kasar kasar Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55 Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 < 50 Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200 Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan < 140 140 - 200 200 - 400 > 400 Lamanya masa kering (bln) 1.200 - 1.500 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur Gambut: 18 Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Kematangan Kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N saprik+ saprik, hemik, fibrik hemik+ fibrik+ - - - ≥ 20 < 20 5,2 - 7,5 4,8 - 5,2 < 4,8 7,5 - 8,0 > 8,0 Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) > 0,8 ≤ 0,8 <2 2-3 - Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) 3-4 >4 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) < 15 ≥15 Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 < 60 <8 8 - 16 16 - 30 > 30 sangat rendah rendah - sedang berat sangat berat F0 - - > F0 Batuan di permukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40 Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25 Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Sumber: Badan Litbang Pertanian. 1.5.4.1 Manfaat Jambu Mete Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Kacang mete dapat diperoleh dari hasil pengupasan gelondong. Kacang mete dapat digunakan sebagai campuran kue-kue kering, permen coklat dan es krim. Buah semu jambu mete dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, jem jambu mete, dan anggur jambu mete. Anggur adalah sejenis minuman 19 beralkohol yang dibuat secara fermentasi dari sari buah-buahan dengan sejenis ragi/bakteri untuk merombak gula menjadi alkohol. Menurut Charalambous et al. (1978) rasa anggur ada empat, yaitu rasa asam, manis, asin dan pahit. Oleh karena itu buah semu jambu mete dapat diolah menjadi anggur. Buah semu jambu mete juga dapat diolah menjadi sirup. Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti gengat yang sering menggerogoti buku. 1.6 Kerangka Pemikiran Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran. 20 1.7 Batasan Istilah Bentuklahan Bentuklahan adalah konfigurasi permukaaan lahan yang mempunyai relief khas, yang dikontrol oleh struktur geologi tertentu, akibat bekerjanya proses geomorfologi pada batuan penyusunnya, dalam skala ruang dan waktu tertentu. (Strahler, 1983), (Verstappen, 1983), (Whitton, 1984) Definisi Kompilasi dalam Materi Geomorfologi Dasar. Citra Citra adalah gambar yang diperoleh dari satelit atau pesawat terbang melalui bantuan scanner, disimpan, dimanipulasi dan ditampilkan dalam bentuk basis logika binner (Danoedaoro, 1996). Clinometer Clinometer adalah sejenis alat yang dipergunakan untuk mengukur sudut kemiringan lereng. Alat ini dapat juga digunakan untuk mengukur ketinggian benda seperti pohon, rumah, dan lain sebagainya. Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaanya dengan membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus, 1985). Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh lahan untuk irigasi, tambak, pertanian tanaman tahunan, atau pertanian tanaman semusim. Lahan Menurut FAO, lahan diartikan sebagai tempat di permukaan bumi yang sifat-sifatnya layak disebut seimbang dan saling berkaitan satu sama lain, memiliki atribut mulai dari biosfer atmosfer, batuan induk, bentuk-bentuk lahan, tanah dan ekologinya, hidrologi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan hasil dari aktivitas manusia pada masa lalu dan sekarang yang menegaskan 21 bahwa variabel itu berpengaruh nyata pada penggunaan manusia saat ini dan akan datang (1970). Matching Matching merupakan penentuan kemungkinan adapatasi tipe penggunaan lahan dan kemungkinan-kemungkinan perbaikan kualitas lahan (Hauzing, 1986). Penginderaan jauh Penginderaan jauh adalah ilmu atau tekhnik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dengan suatu alat, tanpa hubungan langsung dengan objek wilayah atau gejala yang dikaji (Lillesand and Keifer, 1990). SIG SIG adalah suatu sistem yang terorganisir dan terdiri atas perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Termometer Termometer adalah alat untuk menyatakan derajat panas dingin suatu benda dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu. Weight Factor Matching Weight Factor Matching yaitu teknik matching untuk mendapatkan faktor pembatas dan kelas kesesuaian lahan. Overlay Overlay merupakan proses penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda. Secara sederhana overlay disebut sebagai operasi visual yang membutuhkan lebih dari satu layer untuk digabungkan secara fisik. 22