PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI DI RUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR DI SUSUN OLEH : SRI UTAMI NIM.P.11054 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 i PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI DI RUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III keperawatan DI SUSUN OLEH : SRI UTAMI NIM.P.11054 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 i ii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Surat yang bertandatangan dibawah ini : Nama : SRI UTAMI NIM : P11054 Program Studi : D III KEPERAWATAN Judul Karya Tulis Ilmiah : PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DI RUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atau perbuatan tersebut ssesui dengan ketetuan akademi yang berlaku. Surakarta, Mei 2014 Yang Membuat Pernyatan Sri Utami NIM.P11054 iii LEMBAR PERSETUJUAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama : SRI UTAMI NIM : P11054 Program Studi : D III KEPERAWATAN Judul : PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI DI RUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Surakarta Hari/Tanggal : Kamis, 8 Mei 2014 Pembimbing : Nurul Izzawati, S.Kep. Ns. NIK.201.389.117 ( ) iv HALAMAN PENGESAHAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama : SRI UTAMI NIM : P11029 Program Studi : D III KEPERAWATAN Judul : PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny.S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI DI RUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Hari/Tanggal : DEWAN PENGUJI Pembimbing :Nurul Izzawati, S. Kep., Ns ( ) ( ) : Atiek Murhayati, S.,Kep.Ns.,M.Kep ( ) NIK.201389117 Penguji I : Diyah Eka Rini, S.Kep., Ns, NIK. 200179001 Penguji II NIK.200680021 Mengetahui, Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta Atiek Murhayati, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK.200680021 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dam karuia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN POST OPERASI APENDIKTOMI DIRUANG KANTHIL RSUD KARANGANYAR”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhomat: 1. Atiek Murhayati.S,Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat serta member masukan,inspirasi perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya tugas akhir dan memberi kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekertaris Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberi kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Nurul Izzawati, S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbimg sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 4. Diyah Eka Rini, S.Kep.,Ns, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Atiek Murhayati.S,Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, v 6. perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 7. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 8. Kedua orang tua saya, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 9. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual Semoga laporan studi kasus ini bermanaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Surakarta, Mei 2014 Penulis vi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Tujuan Penelitian ................................................................... 5 C. Manfaat Penelitian ................................................................. 5 LANDASAN TEORI A. Apendiksitis ........................................................................... 7 B. Asuhan Keperawatan ............................................................. 13 C. Nyeri ...................................................................................... 21 D. Teknik Relaksasi Nafas Dalam ............................................ 29 BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien ...................................................................... 35 B. Pengkajian ............................................................................. 35 C. Pemeriksaan Fisik ................................................................... 39 vii D. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang ........................... 40 E. Terapi ..................................................................................... 41 F. Perumusan Masalah ............................................................... 41 G. Rencana Tindakan Keperawatan ........................................... 42 H. Implementasi Keperawatan ................................................... 44 I. Evaluasi Keperawatan ........................................................... 46 BAB IV PEMBAHASAN BAB V A. Pengkajian ............................................................................. 49 B. Perumusan Masalah ............................................................... 53 C. Intervensi ............................................................................... 56 D. Implementasi ......................................................................... 59 E. Evaluasi ................................................................................. 63 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................ 66 B. Saran ...................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP viii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Skala Nyeri Numerik Lampiran 2 Log Book Lampiran 3 Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah Lampiran 4 Format Pendelegasian Pasien Lampiran 5 Badan Acara Pengelolaan Askep Lampiran 6 Asuhan Keperawatan Lampiran 7 Jurnal Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nanda, 2013: 33). Gejala klinis apendiksitis ialah nyeri samar-samar tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah, nafsu makan menurun dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney (Sjamsuhidayat, 2011: 757). Menurut WHO memperkirakan insidens apendiksitis di dunia tahun 2007 mencapai 7% dari keseluruhan jumlah penduduk di dunia (Juliansyah, 2008). Usia 20-30 tahun adalah usia yang paling sering mengalami apendiksitis. Sementara itu untuk di Indonesia sendiri apendiksitis merupakan penyakit urutan ke empat terbanyak dari pada tahun 2006. Data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 jumlah penderita apendiksitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang. Di Jawa tengah tahun 2009 menurut Dinas Kesehatan jawa tengah, jumlah kasus apendiksitis dilaporkan sebanyak 5.890 dan diantaranya menyebabkan kematian. Jumlah penderita apendiksitis tertinggi di kota Semarang, yakni 970 orang (Eylin, 2009). 1 2 Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, pada umur 20-30 tahun dan insidens laki-laki lebih tinggi. Berbagai hal sebagai pencetusnya. Selain hiperplasia jaringan limfa, sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain dapat menimbulkan apendiksitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Enterobacter histolytica (Sjamsuhidayat, 2011: 756). Bahaya apendiksitis jika tidak segera ditangani maka akan mengakibatkan komplikasi seperti infeksi luka, infeksi intra abdomen, fistula fekal, obstruksi usus, hernia insisional, peritonitis (paling sering) dan kematian (Kimberly, 2012: 61). Penatalaksanaan apendiksitis adalah apendiktomi. Apendiktomi adalah tindakan operasi untuk mengangkat apendiksitis yang dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Jitowiyono, 2010: 5). Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan bedah ablatif atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit (Muttaqin, 2009: 467). Prosedur apendiktomi adalah pembedahan ditunda sampai terapi antibiotik dimulai bila dicurigai abses, puasa sampai setelah menjalani pembedahan, kemudian secara bertahap kembali ke diet normal, ambulasi pasca bedah dan spirometri insentif (Kimberly, 2012: 61). Efek tindakan apendiktomi bisa menimbulkan nyeri daerah operasi. Nyeri menurut beberapa ahli, sebagai suatu fenomena misterius yang tidak dapat didefinisikan secara khusus. Nyeri adalah salah satu alasan paling umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis dan merupakan salah satu keluhan 3 yang paling umum di Amerika Serikat, 9 dari 10 orang amerika berusia 18 tahun atau lebih, menderita nyeri minimal sekali dalam sebulan, dan 42% merasakan setiap hari (Chandra, 2009). Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensori yang dinyatakan sebagai pegal, linu, ngilu, keju, kemeng dan seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas nyeri (Muttaqin, 2009). Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan pengaruhnya pada aktivitas sehari-hari. Efek fisik, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yaitu dapat mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan imunologik Efek perilaku, dapat di amati dari respon vokal (menangis), ekspresi wajah (meringis), gerakan tubuh (perasaan gelisah) dan interaksi sosial (menghindari percakapan). Pengaruh pada aktivitas sehari-hari, yaitu kesulitan dalam melakukan hygiene dan menggangu dalam mempertahankan hubungan seksual (Andarmoyo, 2013: 44). Salah satu tindakan keperawatan untuk mengurangi rasa nyeri adalah teknik relaksasi nafas dalam. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan metode yang efektif untuk menghilangkan rasa nyeri terutama pada klien yang nafas mengalami nyeri yang sifatnya kronis. Rileks sempurna yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga mencegah menghebatkannya stimulasi nyeri (Kusyati, 2006: 198). Prosedur nafas dalam yaitu anjurkan pasien untuk duduk rileks, anjurkan klien untuk tarik nafas dalam dengan pelan, tahan beberapa detik, kemudian lepaskan (tiupkan lewat bibir) dan saat 4 menghembuskan udara anjurkan klien untuk merasakan relaksasi (Prasetyo, 2010: 66). Menurut jurnal Novarizki tahun 2009 dengan penelitian pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta menunjukan ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta (Novarizki, 2009). Hasil pengkajian yang dilakukan penulis terhadap pasien post operasi apendiktomi hari ke-0 di ruang Kanthil RSUD Karanganyar didapatkan hasil pasien mengeluh nyeri didukung data subjektif “pasien mengatakan nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 6 (S), nyeri timbul terusmenerus (T)” dan data objektif “pasien tampak meringis sakit, pasien tampak berhati-hati saat bergerak dan TD : 130/80, N : 84x/menit, RR : 24x/menit, S : 36,9̊C dan terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah dengan balutan kurang lebih 10 cm dengan garis horizontal dan balutan dalam bersih”. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan kasus asuhan keperawatan yang akan dituangkan dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan Post Operasi Apendiktomi di Ruang Kanthil RSUD Karanganyar”. 5 B. Tujuan penulis 1. Tujuan Umum Melaporkan pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi di RSUD karanganyar. 2. Tujuan khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tenik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi. C. Manfaat Penulis 1. Bagi Profesi Keperawatan Sebagai wacana ilmiah dan sumber informasi tentang penanganan nyeri post operasi apendiktomi. 6 2. Bagi Penulis Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang di dapat selama perkuliahan khususnya di bidang keperawatan pada pasien dengan nyeri post operasi apendiktomi. 3. Bagi Institusi/ Pendidikan a. Untuk menambah khasanah kepustakaan di bagaian ilmu kesehatan yaitu dalam bidang ilmu keperawatan. b. Dapat di gunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung dalam Karya Tulis Ilmiah ini untuk tenaga kesehatan khususnya keperawatan. 4. Bagi Rumah Sakit a. Hasil karya tulis ilmiah ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi karya ilmiah yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu kesehatan khususnya dibidang keperawatan. b. Agar dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan, khususnya pada pasien dengan nyeri pada kasus post operasi apendiktomi. 5. Bagi Masyarakat Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai cara penanganan nyeri pada kasus post operasi apendiktomi. BAB II TINJAUAN TEORI A. APENDIKSITIS 1. Pengertian Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau cekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah (Jitowiyono, 2010: 1). Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu (apendiks). Infeksi ini bisa mengkibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nanda, 2013: 33). 2. Klasifikasi Apendiksitis Klasifikasi apendiksitis terbagi atas 3 yakni : a. Apendiksitis akut radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritonium local. b. Apendiksitis rekrens yaitu adalah riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi 7 8 bila serangan apendiksitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis jaringan parut. c. Apendiksitis kronis mermiliki riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh didinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang setelah apendiktomi (Nanda, 2013). 3. Etiologi Apendikitis akut umumya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hipeplasaia jaringan limfoid, penykit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, dan cancer primer. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid (Irga, 2007). Penyebab apendiksitis yang lain diantaranya : a. Inflamasi akut pada apendik dan edema b. Ulserasi pada mukosa c. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras) d. Pemberian barium e. Berbagai macam penyakit cacing f. Tumor atau benda asing 9 g. Struktur karena fibrosis pada dinding usus (Dermawan, 2010). 4. Manifestasi klinik Apendiksitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari: mual, muntah dan nyeri yang hebat diperut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai dari perut sebelah atas atau disekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut bagian kanan bawah setelah beberapa jam. Apabila menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam (Jitowiyono, 2010). Timbulnya gejala ini tergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut ini gejala yang timbul apabila apendiks meradang. a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi mayor yang menegang dari dorsal. b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). 10 c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya (Huda, 2013). 5. Patofisiologi Penyebab dari apendiksitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikeal oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris fekal), atau parasit (Kart, 2009). Studi epidemologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timulnya apendiksitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa (Sjamsuhidayat, 2005). Kondisi obstruksi akan meningkatakan tekanan intralumial dan peningkatan perkembangan bakteri. Hal ini akan terjadi peningkatan kongestif dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini pasien akan mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan berlanjutnya proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan perietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009). Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatakan tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang disebut apendiksitis mukosa, dengan manifestasi 11 ketidaknyamanan abdomen. Penurunan menimbulkan iskemia dan nekrosis perfusi pada dinding akan disertai peningkatan tekanan intraluminal yang disebut apendiksitis nekrosis, hal tersebut akan meningkatkan resiko perforasi dari apendiks (Muttaqin, 2011). Proses fagositosis terhadap respons perlawanan pada bakteri memberikan manifestasi pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks yang disebut apendiksitis supuratif. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini dengan cara menutup apendiks dengan omentum dan usus halus sehingga terbentuk massa periapendikular yang dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Dalam usus halus dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendiksitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Muttaqin, 2011). Kondisi apendiksitis berlanjut akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan massa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akam memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005). 12 6. Komplikasi Beberapa komplikasi apendiksitis di antaranya: a. Perforasi apendiks Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. b. Peritonitis atau abses Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasif untuk menutup asal perforasi. Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. c. Dehidrasi d. Sepsis e. Elektrolit darah tidak seimbang (Dermawan, 2010). 7. Penatalaksanaan Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang paling baik adalah apendiktomi (Sjamsuhidayat, 2005). Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan bedah ablatif atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit (Muttaqin, 2009). 13 Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks di lakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Jitowiyono, 2009). Terapi umum pada pasien apendiksitis yaitu: a. Pembedahan di tunda sampai terapi antibiotik di mulai, bila dicurigai abses. b. Puasa sampai setelah menjalani pembedahan, kemudian secara bertahap kembali ke diet normal. c. Ambulasi pasca bedah dini. d. Spirometri insentif (Kimberly, 2011 ) B. Asuhan Keperawatan Proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang kebutuhan klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah kebutuhan kesehatan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012: 36). Pengkajian keperawatan meliputi pasien apendiksitis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian diagnostik dan pengkajian penatalaksanaan medik. Hasil dari pengkajian selalu berhubungan dengan manifestasi dari progresivitas gangguan dari 14 peradangan pada apendik. Pada anamnesis, keluhan utama yaitu nyeri dengan pendekatan PQRST dapat membantu perawat dalam menentukan rencana intervensi yang sesuai. Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang adanya keluhan yaitu efek sekunder dari peradangan apendiks, berupa gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, ketidaknyamanan abdomen, diare dan anoreksia. Keluhan sistemik biasanya berhubungan dengan kondisi inflamasi dimana didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh. Pengkajian riwayat dahulu diperlukan sebagai sarana dalam pengkajian preoperatif untuk menurunkan resiko pembedahan, seperti adanya penyakit DM, hipertensi, tuberkulosis atau kelainan hematologis. Pengkajian psikososial biasanya kecemasan akan nyeri hebat akibat respon pembedahan. Pada beberapa pasien juga didapatkan mengalami ketidakefektifan koping berhubungan dengan perubahan peran dalam keluarga (Muttaqin, 2011). Pengkajian pola kognitif dan perceptual yaitu keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Pengkajian pola aktivitas dan latihan yaitu malaise. Sirkulasi yaitu klien mungkin takikardi, respirasi yaitu takipnoe, pernafasan dangkal. Eliminasi konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri tekan atau nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. Data psikologis klien tampak gelisah, ada perubahan denyut nadi, pernafasan, ada perasaan takut dan penampilan yang tidak tenang (Jitowiyono, 2010). 15 Pengkajian abdomial, keluhan nyeri pada regio kanan bawah atau pada titik Mc. Burney. Pengkajian diagnostik pada apendiksitis yang diperlukan, meliputi: a. Hitung sel darah komplet Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml dengan peningkatan jumlah netrofil. b. C-Reactive protein (CRP) Sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai respon dari infeksi. Pada apendiksitis didapatkan peningkatan kadar CRP. c. Pemeriksaan USG Pemeriksaan USG untuk menilai inflamasi dari apendiks. d. Pemeriksaan CT Scan Pemeriksaan CT Scan pada abdomial untuk mendeteksi apendiksitis dan adanya kemungkinan perforasi (Muttaqin, 2011: 507). 2. Diagnosa keperawatan Menurut Doenges, 1998 dalam Dermawan (2012: 58) diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan infeksi, ansietas berhubungan dengan proknosis penyakit rencana pembedahan, ketidakseimbangan nutrisi kurang 16 dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mencerna makanan, resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh (Nanda, 2013). 3. Intervensi keperawatan Intervensi keperawatan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilalukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012: 84). Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan SMART, Spesifik, Measurable, Acceptance, Rasional dan Timing. (Deden, 2012 : 99) a. Nyeri akut b.d inflamasi dan infeksi Tujuan: pain level, pain kontrol and comfrot level. Kriteria hasil: 1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan managemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 17 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. a) Intervensi: Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. Rasional: untuk mengetahui sejauh mana nyeri yang dirasakan oleh klien. b) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien. Rasional: untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien. c) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri. Rasional: untuk meningkatkan kenyamanan pasien. d) Ajarkan tentang teknik non farmakologis Rasional: untuk mengurangi rasa nyeri (salah satu tindakan non farmakologis yaitu teknik relaksasi nafas dalam yang dapat meningkatkan ventilasi dan meningkatkan oksigenasi darah). e) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. Rasional: kolaborasi dengan dokter untuk mengurangi nyeri. b. Ansietas berhubungan dengan proknosis penyakit rencana pembedahan Tujuan: anxiety self control, anxiety level and coping. Kriteria hasil: 1) Klien mampu mengidentifikasikan dan mengungkapkan gejala 18 cemas. 2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan teknik unyuk mengontrol cemas. 3) Vital sign dalam batas normal. 4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa dan tingkat aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan. Intrvensi: a) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur. Rasional: agar pasien dapat mengetahui prosedur yang akan dilakukan. b) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut. Rasional: untuk mengurangi kecemasan. c) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan Rasional: agar kecemasan tidak terulang dan cemas hilang. d) Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi. Rasional: untuk mengurangi kecemasan dengan teknik non farmakologis e) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan Rasional: agar kecemasan berkurang. c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mencerna makanan. 19 Tujuan: nutritional status, nutritional status: food and fluid intake, nutrient intake, weight control. Kriteria hasil: 1) Adanya peningkatakan berat badan sesuai dengan tujuan 2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi 5) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan 6) Tidak terjadi penurunan berat badan Intervensi: a) Monitor adanya penurunan berat badan Rasional: untuk mengetahui berat badan normal b) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat Rasional: untuk mencegah konstipasi c) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi Rasional: agar mempercepat penyembuhan luka d) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet Rasional: untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. d. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh. Tujuan: immune status, knowledge: infection control, risk control. Kriteria hasil: 1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 20 2) Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penuluran serta penatalaksanaannya. 3) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4) Jumlah leukosit dalam batas normal 5) Menunjukkan perilaku hidup sehat Intervensi: a) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal Rasional: untuk mengetahui adanya infeksi b) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain Rasional: untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit c) Ajarkan cara menghindari infeksi Rasional: untuk menggunkan proteksi diri d) Berikan terapi antibiotik bila perlu Rasional: untuk mempercepat penyembuhan luka 4. Implementasi keperawatan Menurut Potter & Perry, 1997 dalam Dermawan (2012: 118) implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. 5. Evaluasi Menurut Craven dan Hirnle, 2000 dalam Dermawan (2012: 128) evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon 21 perilaku klien yang tampil. Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan. Format evaluasi menggunakan: S : Subjective adalah Informasi yang berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan diperbaiki O : Objective adalah Informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah dilakukan tindakan. A : Analisa adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi. P : Planning adalah rencana keperawatan lanjutkan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa. C. NYERI 1. Pengertian Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan. Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Musrifatul, 2011). 22 Menurut Hidayat, (2011) dalam Trullyen (2013) mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaan nyeri dapat diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual atau potensial sehingga menjadikan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. 2. Klasifikasi Nyeri a. Klasifikasi nyeri Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis: 1) Nyeri Akut Menurut Meinhart dan McCaffery, 1983: NIH, 1986 dalam Smletzer, (2009) nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan ukuran intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan 23 berkaitan dengan nyeri yang dirasakan. Klien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai (Sulistyo A, 2013: 37). 2) Nyeri Kronik Menurut McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, (2005) nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Manifestasi klinis yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda dengan yang diperlihatkan oleh nyeri akut. Dalam pemeriksaan tanda-tanda vital, sering kali didapatkan masih dalam batas normal dan tidak disertai dilatasi pupil. Manifestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan repons psikososial seperti rasa keputusasaan, kelesuan, penurunan libido (gairah seksual), penurunan berat badan, perilaku menarik diri, iritabel, mudah tersinggung, marah, dan tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal klien mungkin akan melaporkan adanya ketidaknyamanan, kelemahan, dan kelelahan (Andarmoyo, 2013: 38). 3. Penilaian respons intensitas nyeri Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut: a. Skala numerik 24 Menurut AHCPR, 1992 dalam Perry dan Potter, (2006) kala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. 0 1 2 3 4 5 6 Tidak nyeri 7 8 9 10 sangat nyeri b. Skala deskritif Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskritif verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan (Potter & Perry, 2006). Tidak nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri tak ringan sedang berat tertahankan c. Skala analog visual Menurut McGuire, 1884 dalam Potter & Perry, (2006) skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus/horisontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien 25 diminta untuk menunjukkan titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Tidak nyeri Nyeri yang tak tertahankan 4. Karakteristik nyeri Untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah atau keluhannya secara lengkap, pengkajian yang bisa dilakukan oleh perawat untuk mengkaji karakteristik nyeri bisa menggunakan pendekatan analisis symptom. Komponen pengkajian analisis symptom meliputi (PQRST): P (Paliatif/Provocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah), Q (Quality dan Quantity = kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan), R (Region = lokasi nyeri), S (Severity = keparahan), T (Timing = waktu). P Q Provokatif atau Kualitas paliatif R S atau Regional/area Skala kuantitas terpapar/ T Timing atau keparahan waktu Seberapa Kapan gejala radiasi Apakah yang Bagaimana gejala Dimana menyebabkan gejala? (nyeri) dirasakan, gejala terasa? keparahan Apa sejauhmana anda Apakah mulai timbul? dirasakan Seberapa (nyeri) sering gejala dengan terasa? dan skala Apakah tiba- memperberatn berapa? (1- tiba ya? 10) saja yang dapat merasakannya mengurangi menyebar? sekarang? Kejadian awal Kualitas . Area. bertahap? Nyeri yang Onset. atau 26 apakah anda yang Bagaimana gejala Dimana lakukan (nyeri) dirasakan? dirasakan gejala (nyeri) pada Tanggal dan skala jam sewaktu gejala Kuantitas. dirasakan? berapa? terjadi (nyeri) Radiasi/area Apakah Jenis. ringan, tiba Sejauhmana pertama kali gejala dirasakan? Apakah (nyeri) terpapar. dirasakan yang sekarang? Sangat merambat menyebabkan dirasakan hingga pada nyeri? Posisi? tidak Aktivitas melakukan tertentu? aktivitas? Apakah Apakah nyeri sedang, dapat punggung Lebih Merambat leher menghilangkan ringan dari yang atau Apakah dirasakan yang sebelumnya. Tibaatau bertahap atau Frekuensi. tak Setiap jam, tertahankan hari, pagi, atau lengan? (1-10) yang parah atau lebih pada gejala (nyeri)? berat, gejala siang, malam. Mengganggu istirahat tidur? Terjadi merambat kekambuhan pada kaki? Durasi. memperburuk Seberapa gejal (nyeri)? lama gejala dirasakn? 5. Proses terjadinya nyeri Proses terjadinya nyeri ada beberapa tahapan, yaitu (Andarmoyo, 2013: 51-61): a. Stimulasi Persepsi nyeri reseptor, diantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat, dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Terdapat tiga kategori reseptor nyeri, yaitu nosiseptor mekanisme yang berespons terhadap kerusakan mekanisme, 27 nosiseptor termal yang berespons terhadap suhu yang berlebihan terutama panas, nosiseptor polimodal yang berespons setara terhadap semua jenis rangsangan yang merusak, termasuk iritasi zat kimia yang dikeluarkan dari jaringan yang berbeda. b. Transduksi Transduksi merupakan proses ketika suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujungujung saraf. c. Transmisi Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. d. Modulasi Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. e. Persepsi Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang diterima. 6. Efek yang membahayakan dari nyeri Efek nyeri dapat mempengaruhi berbagai komponen dalam tubuh diantaranya meliputi: a. Efek fisik 28 Nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak kunjung mereda dapat mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan imunologik. Pada kondisi seperti ini, terkadang respons stres pasien terhadap trauma bisa juga meningkat. Nyeri yang terjadi sepanjang waktu dan berlangsung dalam waktu yang lama, sering mengakibatkan seseorang menjadi depresi dan ketidakmampuan atau ketidakberdayaan dalam melakukan aktivitasnya. b. Efek perilaku Seorang individu yang mengalami nyeri akan menunjukkan respons perilaku yang abnormal. Hal utama yang bisa di amati dari mengekspresikan nyeri seperti mengaduh, menangis, sesak nafas, dan mendengkur. Ekspresi wajah akan menunjukkan karakteristik seperti meringis, menggelutukkan gigi, menggigit jari, mengerutkan dahi. Gerakan tubuh dapat menunjukkan karakteristik seperti perasaan gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, gerakan melindungi bagian tubuh yang nyeri. Pada interaksi sosial, individu bisa menunjukkan karakterisitik seperti menghindari percakapan, fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri. c. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari 29 Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin. Nyeri juga dapat membatasi mobilisasi pasien pada tingkatan tertentu. Pasien barangkali dapat mengalami kesulitan dalam melakukan hygiene normal, seperti mandi, berpakaian, mencuci rambut, dan sebagainya (Andarmoyo, 2013). 7. Penatalaksanaan nyeri Strategi penatalaksanaan nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang terdiri dari farmakologi dan nonfarmakologi. Manajemen nyeri nonfarmakologis merupakan tindakan menurunkan respons nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi (Sulistyo, 2013: 84). Salah satu penyembuhan non farmakologis atau fase rehabilitasi untuk menurunkan nyeri pada post operasi adalah dengan teknik relaksasi nafas dalam. D. Teknik Relaksasi Nafas Dalam 1. Pengertian Menurut Smeltzer (2002) dalam Trullyen, (2013) teknik relaksasi merupakan intervensi keperawatan secara mandiri untuk menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan tegangan otot yang menunjang nyeri, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri. Sedangkan latihan nafas dalam adalah bernafas dengan perlahan dan menggunakan 30 diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Menurut Smeltzer & Bare dalam Trullyen, (2013) teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. 2. Tujuan Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam Smeltzer dan Bare (2002) dalam Trullyen, (2013) menyatakan bahwa tujuan relaksasi pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, merilekskan tegangan otot, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri (mengontrol atau mengurangi nyeri) dan menurunkan kecemasan. Menurut Suddarth dan Brunner (2002) dalam Trullyen, (2013) tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernafas. 31 3. Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap nyeri Menurut Brunner & Suddarth (2002) dalam Trullyen, (2013) teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang mendasari penurunan oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi p yang akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan saraf simpatis mengalami vasokonstriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah. Mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri. 4. Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Ada beberapa posisi relaksasi nafas dalam yang dapat dilakukan menurut Smeltzer & Bare, (2002) dalam Trullyen, (2013)yaitu : a. Posisi relaksasi dengan terlentang Letakkan kaki terpisah satu sama lain dengan jari-jari kaki agak meregang lurus kearah luar, letakkan pada lengan pada sisi tanpa 32 menyentuh sisi tubuh, pertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang dan gunakan bantal yang tipis dan kecil di bawah kepala. b. Posisi relaksasi dengan berbaring miring Berbaring miring, kedua lutut ditekuk, dibawah kepala diberi bantal dan dibawah perut sebaiknya diberi bantal juga, agar perut tidak menggantung. c. Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang Kedua lutut ditekuk, berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua lengan disamping telinga. d. Posisi relaksasi dengan duduk Duduk dengan seluruh punggung bersandar pada kursi, letakkan kaki datar pada lantai, letakkan kaki terpisah satu sama lain, gantungkan lengan pada sisi atau letakkan pada lengan kursi dan pertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang. 5. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam Prosedur teknik relaksasi nafas dalam menurut Priharjo (2003) dalam Trullyen, (2013) yakni dengan bentuk pernafasan yan digunakan pada prosedur ini adalah pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut : 33 a. Ciptakan lingkungan yang tenang b. Usahakan tetap rileks dan tenang (Dengan memodifikasi tindakan nonfarmakologis yang lain meliputi distraksi. Menurut Andarmoyo (2013), distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain di luar nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak berfokus pada nyeri lagi bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri). c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3. d. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks. e. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali f. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui Mulut. g. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang. h. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan nyeri Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Trullyen, (2013), teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu : a. Dengan merelaksasikan otot-otot skeletal yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi 34 vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic. b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin. c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. 7. Efek Relaksasi Teknik relaksasi yang baik dan benar akan memberi efek yang berharga bagi tubuh, efek tersebut sebagai berikut : a. Penurunan nadi, tekanan darah dan pernafasan b. Penurunan konsumsi oksigen c. Penurunan ketegangan otot d. Penurunan kecepatan metabolisme e. Peningkatan kesadaran global f. Kurang perhatian terhadap stimulasi lingkungan g. Tidak ada perubahan posisi yang volunter h. Perasaan damai dan sejahtera i. Periode kewaspadaan yang santai, terjaga dan dalam (Sulistyo, 2013). Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi. Teknik ini yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Hampir semua orang dengan nyeri mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi (Andarmoyo, 2013). BAB III LAPORAN KASUS Bab ini menjelaskan laporan kasus tentang Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Post Operasi Apendiktomi di Rumah Sakit RSUD Karanganyar. Pengelolaan asuhan keperawatan dilakukan pada tanggal 8 April dan 9 April 2014. Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, kemudian menegakkan diagnosa keperawatan, membuat intervensi keperawatan, memberikan tindakan atau implementasi keperawatan serta melakukan evaluasi dari tindakan yang sudah dilakukan. A. Identitas Pasien Pasien berinisial Ny. S, umur 49 tahun, jenis kelamin perempuan, alamat Gondangmanis. Pendidikan terakhir klien SMP dan sebagai ibu rumah tangga. Penanggung jawab klien selama di Rumah Sakit adalah Tn. F, umur 56 tahun, pendidikan terakhir SMP, bekerja sebagai petani. Hubungan dengan klien adalah suami. B. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada hari selasa, 8 April 2014, pukul 12.05 WIB diruang Kanthil RSUD Karanganyar. Pengkajian dilakukan secara autoanamnesa dan alloanamnesa. Keluhan utama, klien mengatakan nyeri perut sebelah kanan bawah. Dalam riwayat kesehatan sekarang, klien mengatakan sebelum ke RSUD Karanganyar, klien sudah periksa ke Dr. A dengan keluhan nyeri perut sebelah 35 36 kanan bawah dan nyeri muncul saat istirahat dan kadang saat beraktivitas. Dr. A mendiagnoasa dengan suspect Apendiksitis sehingga pasien dirujuk ke RSUD Karanganyar. Pada tanggal 4 April 2014 pasien memeriksakan ke poli bedah, dilakukan cek laboratorium dan USG Abdomen. Hasil dari USG Abdomen yaitu tampak kelainan pada proses radang Mc.Buney (biasanya dari apendiksitis kronis). Sehingga dari poli bedah menyarankan operasi. Pada tanggal 7 April 2014 pukul 19.15 WIB pasien dirawat inap di bangsal Kanthil RSUD Karanganyar. Kemudian pada tanggal 8 April 2014 pukul 09.05 WIB klien menjalani operasi dan selesai operasi pukul 11.35 WIB. Setelah itu kembali rawat inap diruang Kanthil untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. Riwayat penyakit dahulu, klien mengatakan pernah mengalami batukbatuk, demam, pusing dan hanya dibelikan obat dari warung atau berobat ke puskesmas setempat. Klien juga mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami sakit seperti yang dirasakan saat ini, belum pernah rawat inap maupun menjalani operasi serta tidak ada alergi pada makanan atau obat-obatan. Riwayat kesehatan keluarga, klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami apendiksitis sebelumnya dan dari pihak keluarga juga tidak memiliki penyakit menurun seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC). Riwayat kesehatan lingkungan, klien mengatakan tinggal dilingkungan yang bersih dan nyaman. Terdapat ventilasi udara yang cukup, air bersih terpenuhi dan ada tempat pembuangan sampah. Pengkajian pola kesehatan fungsional, pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan sehat itu penting, jika badan sehat kita dapat 37 melakukan aktivitas dengan lancar. Apabila sakit, klien harus berobat ke dokter atau puskesmas setempat. Dan menurut klien sakit itu sesuatu yang tidak enak dan tidak nyaman. Pola nutrisi dan metabolisme, klien mengatakan sebelum sakit makan 3x sehari, habis 1 porsi, makan dengan nasi, sayur dan lauk seadanya (tahu, tempe, telur) dan minum 8 gelas (1600cc) per hari minum dengan air putih, terkadang air teh atau kopi. Sedangkan selama sakit, saat dikaji klien mengatakan masih dipuasakan (dari jam 11.45-17.30 WIB) karena setelah post operasi harus dipuasakan selama 3 jam atau sampai sudah bisa flatus. Pola eliminasi, klien mengatakan sebelum sakit BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak berwarna kuning dan berbau khas, BAK 4-6 kali per hari berwarna kuning jernih dan berbau khas. Sedangkan selama sakit klien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berwarna kuning dan berbau khas, BAK ± 100cc per 2 jam (terpasang kateter), berwarna kuning jernih dan berbau khas. Pola aktivitas dan latihan klien mengatakan selama sakit dalam melakukan aktivitas seperti makan, minum, berpakain, berpindah dan ambulasi dibantu orang lain, klien mengatakan dalam melakukan toileting dibantu orang lain dan menggunakan alat seperti BAB menggunakan pispot dan BAK (terpasang kateter). Pola istirahat tidur, klien mengatakan sebelum sakit bisa tidur nyenyak, tidur ±7-8 jam perhari dari pukul 21.00-04.00 WIB tanpa obat tidur dan saat bangun terasa segar dan nyaman. Selama sakit klien mengatakan tidur ± 6 jam per hari, kadang-kadang terbangun karena merasa nyeri perut sebelah kanan bawah setelah post operasi. Pola hubungan dan peran, klien mengatakan 38 sebelum sakit hubungan dengan keluarga dan tetangga baik, sedangkan selama sakit hubungan dengan keluarga dan tetangga baik, banyak tetangga yang menjenguk klien di RSUD Karanganyar. Pola persepsi dan konsep diri, meliputi body image : klien mengatakan menyukai semua anggota tubuhnya dan klien juga menerima kondisi sakitnya dengan ikhlas, mungkin ini cobaan yang diberikan, identitas diri : klien mengatakan sebagai ibu dari 3 orang anak, peran diri : klien melakukan kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan selama sakit tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, ideal diri : klien berharap cepat sembuh dan cepat pulang, harga diri : klien menerima keadaan dan percaya diri serta mensyukurinya. Pola kognitif dan perceptual, klien mengatakan selama sakit tidak ada gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman dan bicara juga baik. Klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 6 (S), nyeri terus-menerus (T), Pasien tampak meringis menahan sakit, klien tampak berhatihati ketika bergerak. Pola seksualitas reproduksi, klien adalah seorang perempuan yang mempunyai 3 orang anak dan sebagai seorang istri, dan tidak mengalami gangguan reproduksi. Pola mekanisme koping, klien mengatakan bila mempunyai masalah selalu dibicarakan dengan suami, keluarga dan diselesaikan dengan baik-baik. Pola nilai dan keyakianan, sebelum sakit klien mengatakan beragama islam, percaya dengan adanya Allah SWT , selalu melakukan ibadah sholat 5 waktu dan selalu berdoa, selama sakit klien tidak bisa 39 melakukan ibadah sholat 5 waktu dengan teratur karena kondisinya yang sedang sakit dan pasien selalu berdoa untuk kesembuhannya. C. Pemeriksan Fisik Hasil pemeriksaan, keadaan umum baik, tingkat kesadaran klien sadar penuh (compos mentis) dengan nilai Glasglow Coma Scale (GCS) 15 (eyes: 4, motorik: 6, verbal: 5). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 kali per menit dengan irama teratur dan teraba kuat, pernafasan 24 kali per menit dengan irama teratur dan suhu 36,9oC. Pemeriksaan kepala yaitu bentuk mesocephal, tidak ada bekas luka, kulit kepala bersih, rambut keriting dan beruban. Mata, bentuk simetris, konjungtiva tidak anemis, pupil isokor, sklera tidak ikterik, terdapat sedikit lingkar hitam di sekitar mata dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung, bentuk simetris, bersih, tidak ada sekret dan polip. Mulut, bentuk simetris, bibir lembab, tidak ada stomatitis. Telinga, bentuk simetris, sedikit ada serumen, pendengaran baik dan tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Leher, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada kaku kuduk. Pemeriksaan dada paru, untuk inspeksi bentuk simetris, tidak ada jejas dan tidak menggunakan otot bantu pernafasan, saat dipalpasi vocal premitus kanan kiri sama, saat diperkusi bunyi paru sonor (pada semua lapang paru), saat diauskultasi bunyi paru terdengar normal (vesikuler) disemua lapang paru dan tidak ada suara tambahan (ronkhi/wheezing). Jantung, untuk inspeksi ictus cordis tidak tampak, saat dipalpasi ictus cordis teraba di SIC V, saat diperkusi 40 bunyi jantung pekak (ICS III/IV pada garis parasternal kiri), dan saat diauskultasi bunyi jantung I dan bunyi jantung II terdengar murni dan tidak ada suara tambahan (mur-mur). Pemeriksaan abdomen, untuk inspeksi terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah dengan balutan kurang lebih 10 cm dengan garis horizontal, balutan dalam keaadan bersih dan tidak merembes, saat diauskultasi terdengar bising usus 10 kali per menit, palpasi terdapat nyeri tekan pada kuadran IV dan perkusi tidak dilakukan karena pasien tampak meringis kesakitan. Pada genetalia bersih dan terpasang kateter, rektum bersih dan tidak ada hemoroid. Kulit berwarna sawo matang, turgor kulit baik (kembali kurang dari 2 detik). Ekstermitas atas, kekuatan otot kanan kiri (5/5), kekuatan otot ektermitas bawah (4/4), ekstermitas bawah dan atas tidak ada odema, capilary refile kurang dari 3 detik, perabaan akral hangat dan tangan kiri terpasang infus. D. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien sebelum dilakukan operasi pada tanggal 4 April 2014 adalah pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen. Hasil pemeriksaan laboratorium yaitu hemoglobin sebesar 12,7 g/dl (nilai normal untuk perempuan 12-16 g/dl), hematokrit 41,9% (nilai normal 3747%), leukosit 4700/UL (nilai normal 4000 – 11000/UL), trombosit 169 x 10³/UL (nilai normal 150 -300 x 10³UL), eritrosit 4,86 x 10’6/UL (nilai normal 4-5 x 10’6/UL), gula darah 93 mg/dl (nilai normal 70 – 150 mg/dl), ureum 19 41 mg/dl ( nilai normal 10 – 50 mg/dl), creatinin 0,87 mg/dl (nilai normal 0,5 – 0,9 mg/dl) dan HbsAg negatif. Hasil pemeriksaan USG abdomen yaitu area Mc. Burney adanya gambaran hipocholik dengan nyeri tekan, kesan : pada waktu pemeriksaan USG abdomen tampak kelainan proses radang Mc. Burney (biasanya dari apendiksitis cronis). E. Therapy Jenis terapi yang digunakan setelah post operasi apendiktomi pada tanggal 8 April 2014 yaitu infuse Ringer Laktat 20 tetes per menit untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi, infuse Ciprofloxan 2x100 mg untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap Ciprofloxan seperti infeksi saluran cerna, terapi obat yaitu Ranitidine 2x25 mg untuk pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, Pronalges Supp 3x100 mg untuk menurunkan nyeri setelah pasca operasi. F. Perumusan Masalah Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 April 204 pukul 12.05 WIB di bangsal RSUD Karanganyar. Hasil pengkajian ditemukan analisa data sebagai berikut: data subjektif yaitu klien mengatakan nyeri saat bergerak (provocate), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (quality), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (region), skala nyeri 6 (scale), nyeri timbul terus-menerus (time). Data objektif klien tampak meringis menahan sakit, terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah, post operasi hari ke-0, 42 pasien tampak berhati-hati saat bergerak, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit, suhu 36,9 derajat celcius. Berdasarkan pada pengumpulan data, penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi). Analisa data yang kedua ditemukan data subjektif yaitu klien mengatakan badan masih lemas dan aktivitas dibantu keluarga setelah post operasi apendiktomi. Data objektif klien tampak lemas, post operasi hari ke-0, makan, minum, berpakaian, berpindah, ambulasi dengan skala 1 (dibantu orang lain), toileting dengan skala 3 (dibantu orang lain dan alat) dan kekuatan otot ektermitas bawah kanan kiri 4 (otot mampu berkontraksi dan menggerakan tubuh melawan tahanan minimal). Berdasarkan analisa data dapat ditegakkan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri). G. Rencana Tindakan Keperawatan Rencana tindakan keperawaan yang dilakukan pada Ny. S dengan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi) yaitu dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil yaitu klien dapat mengontrol nyeri, wajah tampak rileks, klien mengatakan nyeri berkurang atau skala nyeri 2, 43 tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80mmHg, nadi 60-100 kali per menit, pernafasan 16-24 kali per menit, dan suhu 36,5-37,5̊C. Intervensi keperawatan yang dilakukan antara lain pantau skala nyeri (P,Q,R,S,T) dengan rasional untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indikator secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya, monitor tanda-tanda vital dengan rasional untuk mendeteksi adanya perubahan sistem tubuh, berikan posisi yang nyaman dengan rasional untuk menghilangkan tegangan abdomen yang terlambat dengan posisi terlentang, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan rasional pernafasan yang dalam dapat menghirup oksigen secara adekuat sehingga otot-otot menjadi rileks sehingga dapat mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik dengan rasional sebagai profilaksasi untuk menghilangkan nyeri. Rencana tindakan keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri) dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil yaitu klien tidak tampak lemas, aktivitas atau ADL dengan mandiri, skala ADL 0, dan kekuatan otot 5. Intervensi yang dilakukan antara lain pantau kemampuan klien dalam mobilitas dengan rasional untuk mengetahui sejauh mana klien dalam beraktivitas, latih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan dengan rasional untuk melatih kemandirian dalam beraktivitas secara bertahap, ajarkan klien dalam merubah posisi dengan rasional mencegah kekakuan pada otot, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dengan rasional untuk mencegah terjadinya resiko cedera. 44 H. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan dilakukan penulis pada tanggal 8 April 2014 jam 12.45 WIB adalah mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia untuk latihan nafas dalam, pasien mengatakan setelah latihan nafas dalam nyeri sedikit berkurang, data objektifnya pasien tampak menirukan cara teknik relaksasi nafas dalam. Pada jam 13.00 WIB Memberikan obat analgesik (pronalges supp 1x100mg) dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan obat, data objektifnya obat pronalges supp masuk lewat anus dan pasien tampak meringis sakit ketika dimasukan obat. Pada jam 13.20 WIB Memberikan obat analgesik (pronalges supp 1x100mg) dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan obat, data objektifnya obat pronalges supp masuk lewat anus dan pasien tampak meringis sakit ketika dimasukan obat. Pada jam 13.45 WIB memantau skala nyeri dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih nyeri, nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 6 (S), nyeri terus-menerus (T), data objektifnya pasien tampak meringis sakit, pasien tampak berhati-hati ketika bergerak dan post operasi hari ke-0. Pada jam 13.55 WIB memonitor kemampuan pasien dalam mobilitas dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih lemas dan aktivitas dibantu keluarga, data objektifnya pasien tampak berhati-hati ketika bergerak, berpakaian, berpindah, ambulasi dibantu orang lain (skala 1), toileting dibantu keluarga dan alat (skala 3) dan kekuatan otot ekstermitas bawah kanan kiri 4. 45 Implementasi keperawatan pada tanggal 9 April 2014 jam 07.30 WIB memonitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu) dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa tanda-tanda vital, data objektifnya pasien tampak berbaring dan sudah tidak tampak lemas, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,7̊C. Pada jam 08.00 WIB memantau skala nyeri dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih nyeri, nyeri saat bergerak (P), nyeri seperti cenut-cenut (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 4 (S), nyeri hilang timbul (T), data objektifnya pasien masih tampak meringis menahan sakit, terdapat luka post operasi apendiktomi hari ke-1. Pada jam 08.20 WIB memberikan obat analgesik (pronalges supp 1x100mg) dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan obat, data objektifnya obat pronalges supp masuk lewat anus. Pada jam 08.45 WIB memantau kemampuan pasien dalam mobilitas dengan hasil data subjektif pasien mengatakan sudah tidak lemas tetapi aktivitas/ADL masih dibantu keluarga, data objektifnya pasien tampak dibantu ketika sedang BAB, pasien tampak tidak lemas. Pada jam 09.15 WIB mengajarkan pasien dalam merubah posisi dengan data subjektif pasien mengatakan bersedia untuk merubah posisi, data objektifnya pasien tampak berhati-hati ketika merubah posisi. Pada jam 11.25 WIB melatih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan dengan hasil data subjektif pasien mengatakan ADL masih dibantu keluarga, data objektifnya makan, minum, berpindah, ambulasi, berpakaian dibantu orang lain (skala 1), toileting dibantu orang lain dan alat (skala 3). Pada jam 11.45 46 WIB membantu pasien saat mobilisasi dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia ketika dibantu, data objektifnya pasien tampak masih berhati-hati ketika bergerak, kekuatan otot pada ekstermitas bawah kanan kiri 5. Pada jam 12.10 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan hasil data subjektif pasien mengatakan bersedia untuk diajarkan teknik relaksasi nafas dalam, pasien mengatakan setelah latihan relaksasi nafas dalam nyeri berkurang, data objektifnya pasien tampak lebih rileks setelah latihan teknik relaksasi nafas dalam. Pada jam 13.30 WIB memantau skala nyeri dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih sedikit nyeri dan nyeri berkurang, nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri seperti cenut-cenut (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 3 (S) dan nyeri hilang timbul (T), data objektifnya pasien tampak lebih rileks, pasien tampak masih berhati-hati saat bergerak. I. Evaluasi Evaluasi dilakukan selama dua hari yaitu pada tanggal 8 April 2014 dan 9 April 2014 dengan metode SOAP, pada tanggal 8 April 2014 pukul 14.00 WIB, evaluasi yang diperoleh dari diagnosa nyeri akut yaitu dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih nyeri, nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 5 (S), nyeri terus-menerus (T). Data objektifnya pasien tampak meringis menahan sakit, pasien tampak berhati-hati ketika bergerak, terdapat luka post operasi apendiktomi hari ke-0, tekanan darah 130/80mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit dan suhu 36,9̊C. Hasil 47 analisa nyeri akut belum teratasi, planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau skala nyeri dan monitor tanda-tanda vital, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik. Evaluasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu dengan hasil data subjektif pasien mengatakan masih lemas dan aktivitas dibantu keluarga. Data objektifnya pasien tampak lemas, post operasi apendiktomi hari ke-0, berpakaian, berpindah, ambulasi dibantu orang lain (skala 1), toileting dibantu orang lain dan alat (skala 3) dan kekuatan otot 4 pada ekstermitas bawah kanan kiri. Hasil analisa hambatan mobilitas fisik belum teratasi, planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau kemampuan pasien dalam mobilitas, latih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri, ajarkan pasien dalam merubah posisi, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi. Evaluasi pada tanggal 9 April 2014 jam 14.00 WIB dengan diagnosa nyeri akut yaitu dengan hasil data subjektif pasien mengtakan masih sedikit nyeri, nyeri berkurang, nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri seperti cenut-cenut (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 3 (S) dan nyeri hilang timbul (T). Data objektifnya pasien tampak lebih rileks, pasien tampak masih berhati-hati saat bergerak, terdapat luka post operasi apendiktomi hari ke1, tekanan darah 120/80mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,7̊C. Hasil analisa nyeri akut sebagian teratasi (tekanan darah 120/80mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit dan suhu 36,9̊C, pasien tamapk lebih rileks), planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau skala nyeri, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan 48 dokter pemberian analgesik. Evaluasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu dengan hasil data subjektif pasien mengatakan sudah tidak lemas dan aktivitas/ADL dibantu keluarga. Data objektifnya pasien tampak lemas, post operasi apendiktomi hari ke-1, makan, minum, berpakaian, berpindah, ambulasi dibantu orang lain (skala 1), toileting dibantu orang lain dan alat (skala 3) dan kekuatan otot 5 pada ekstermitas bawah kanan kiri. Hasil analisa hambatan mobilitas fisik sebagian teratasi (pasien tidak tampak lemas, kekuatan otot 5), planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau kemampuan pasien dalam mobilitas, latih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri, ajarkan pasien dalam merubah posisi, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi. BAB IV PEMBAHASAN Bab ini penulis akan membahas tentang hasil dari pelaksanaan pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada asuhan keperawatan Ny.S dengan post operasi apendiktomi diruang Kanthil RSUD Karanganyar. Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan kasus. Asuhan keperawatan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 April 2014. A. Pengkajian Menurut Potter dan Perry, 2009 dalam Andarmoyo (2013) Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien saat ini dan waktu sebelumnya. Pengkajian pada Ny. S dilakukan pada tanggal 8 April 2014 jam 12.05 WIB, untuk keluhan utama yang dirasakan klien mengatakan nyeri perut sebelah kanan bawah. Nyeri yang dirasakan karena setelah post operasi apendiktomi hari ke-0. Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi atau sayatan yang merupakan trauma atau kekerasan bagi penderita yang menimbulkan berbagai 49 50 keluhan dan gejala. Salah satu keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 2005). Hal ini sesuai dengan teori bahwa nyeri pasca operasi disebabkan oleh luka operasi (Dermawan, 2010: 88). Sumber data didapatkan dari pasien, orang terdekat pasien, catatan pasien, catatan medis, hasil pemeriksaan medis dan perawat lain (Nursalam, 2011). Hasil pengkajian kognitif dan perceptual klien mengatakan tidak mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman dan bicara juga normal. Klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak, nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk, nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah, skala nyeri 6 dan nyeri terus-menerus. Hal ini sesuai dengan teori karena pada pasien post operasi akan mengalami nyeri akibat pembedahan. Pengkajian nyeri dilakukan dengan metode PQRST untuk mempermudah perawat dalam melakukan pengkajian nyeri, meliputi provoking incident yaitu faktor penyebab nyeri timbul, quality yaitu seperti apa nyeri dirasakan atau digambarkan klien, apakah nyeri bersifat tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk, region yaitu lokasi nyeri yang dirasakan klien, scale yaitu seberapa jauh nyeri yang dirasakan klien, misalnya skala nyeri 0 tidak ada nyeri, skala nyeri 1-3 yaitu nyeri ringan, skala 4-6 yaitu nyeri sedang, skala nyeri 7-10 yaitu nyeri berat, time yaitu berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah ada waktu-waktu tertentu yang menambah rasa nyeri (Muttaqin, 2009: 73). Hasil pengkajian pola aktivitas dan latihan didapatkan data makan, minum, berpakaian, berpindah, ambulasi dengan dibantu orang lain (skala 1) dan toileting dengan dibantu orang lain dan alat (skala 3). Sesuai dengan teori pada 51 pengkajian pola aktivitas dan latihan adalah malaise, tampak gelisah sehingga pasien tergantung pada orang lain (Jitowiyono, 2010). Apabila nyeri tidak segera ditangani maka akan mengakibatkan seseorang menjadi depresi dan ketidakmampuan dalam melakukan setiap aktivitasnya. Ketidakmampuan dalam melakukan setiap aktivitasnya yaitu sampai tidak bisa memenuhi kebutuhan pribadi seperti makan, minum, dan berpakaian. Respon perilaku nyeri terhadap gerakan tubuh menunjukkan karakteristik seperti malaise, gelisah, imobilisasi, dan ketegangan otot. Sehingga dari efek nyeri tersebut pasien tergantung pada orang lain (Dermawan, 2013). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit, suhu 36,9 derajat celcius. Berdasarkan teori nyeri, nyeri akut sering menyebabkan respon simpatis yang menyebabkan meningkatnya kecepatan denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, keringat dan pucat (Dermawan, 2013). Sesuai dengan hasil pemeriksaan pada klien terdapat kesenjangan dengan teori, dimana hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada Ny. S cenderung stabil. Setiap individu mempunyai koping yang berbeda-beda, psikis dan sikap seseorang sangat berpengaruh terhadap respon nyeri yang menyebabkan peningkatan tanda-tanda vital (Potter, 2005). Pemeriksaan fisik abdomen, terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah dengan balutan kurang lebih 10 cm dengan garis horizontal dan balutan dalam keadaan bersih dan tidak merembes, saat diauskultasi bising usus 10 kali per menit, palpasi terdapat nyeri tekan pada 52 kuadran IV dan perkusi tidak dilakukan karena pasien tampak meringis kesakitan. Nyeri akut adalah memberi peringatan akan suatu cedera atau penyakit yang akan datang, nyeri biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi seperti pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, pasca persalinan dan pasca pembedahan (Andarmoyo, 2013: 36). Kekuatan otot ektermitas kanan kiri pada Ny. S adalah 4 (otot mampu berkontraksi dan menggerakan tubuh melawan tahanan minimal). Ketika penulis melakukan pengkajian kekuatan otot kaki dengan cara menyuruh pasien untuk mengangkat kaki akan tetapi pasien tidak mampu menahan tahanan secara maksimal. Hal tersebut dikarenakan nyeri yang dirasakan menyebabkan seseorang mengalami ketidakmampuan dalam melakukan setiap aktivitas (Dermawan, 2013). Hasil pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebelum operasi dengan hasil tidak normal, dan hasil USG didapatkan hasil adanya pemeriksaan USG tampak kelainan yaitu proses radang Mc. Burney (biasanya dari apendiksitis cronis). Secara umum kegunaan USG adalah untuk menilai inflamasi dari apendiks. USG pada kasus apendiksitis akut adalah bagian kiri yaitu sonogram secara sagital menggambarkan inflamasi apendiks, bagian kanan yaitu kompresi transabdomial secara tranversal didapatkan akumulasi cairan dari apendiks (Muttaqin, 2011). Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Ny.S sudah sesuai dengan teori yang ada, dimana hasil pemeriksaan USG pada Ny. S menunjukan adanya peradangan pada Mc. Burney. Terapi yang digunakan adalah infuse Ringer Laktat 20 tetes per menit untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi, infuse 53 Ciprofloxan 2x100 mg untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap Ciprofloxan seperti infeksi saluran cerna, terapi obat yaitu Ranitidine 2x25 mg untuk pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, Pronalges Supp 3x100 mg untuk menurunkan nyeri setelah pasca operasi (Sirait, 2013). B. Perumusan Masalah Penetapan diagnosa keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan. Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual. Diagnosa keperawatan dibuat untuk mengkomunikasikan masalah klien pada tim kesehatan (Dermawan, 2012: 58). Diagnosa yang mungkin muncul pada penderita apendiksitis adalah nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan infeksi, ansietas berhubungan dengan proknosis penyakit rencana pembedahan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mencerna makanan, resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh (Nanda, 2013). Berdasarkan analisa data, ditegakkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi). Hal ini dilihat dari keluhan yang dirasakan oleh Ny. S yaitu klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak, nyeri terasa panas dan tertusuktusuk, nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah, skala nyeri 6 dan nyeri 54 terus-menerus. Berdasarkan ekspresi atau perilaku, klien tampak meringis menahan sakit, terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah, post operasi hari ke-0, pasien tampak berhati-hati saat bergerak, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit, suhu 36,9 derajat celcius. Nyeri karena post operasi termasuk dalam tipe nyeri akut karena nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (kurang dari 6 bulan). Dikatakan nyeri akut ditandai dengan adanya perubahan respirasi, tekanan darah, denyut jantung. Secara verbal melaporkan adanya ketidaknyamanan dan menunjukkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Andarmoyo, 2013). Berdasarkan batas karakteristik maka etiologi yang diambil penulis adalah agen cidera fisik karena terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi (Nanda, 2014). Diagnosa yang kedua adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri), didapatkan hasil klien mengatakan badan masih lemas dan aktivitas dibantu keluarga setelah post operasi apendiktomi. Klien tampak lemas, post operasi hari ke-0, makan, minum, berpakaian, berpindah, ambulasi dengan skala 1 (dibantu orang lain), toileting dengan skala 3 (dibantu keluarga dan alat) dan kekuatan otot ektermitas bawah kanan kiri 4 (otot mampu berkontraksi dan menggerakan tubuh melawan tahanan minimal). Diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan 55 (nyeri) didapatkan data dari keluhan yang dirasakan oleh klien. Dimana keberadaan nyeri pada klien dapat mencetuskan masalah keperawatan yang lain seperti gangguan pola tidur, defisit perawatan diri, ansietas, dan ketidakberdayaan, hambatan mobilitas fisik atau nyeri yang dialami klien menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari (seperti toileting, makan, minum) secara mandiri (Prasetyo, 2010: 50). Sehingga pada kasus Ny. S didapatkan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri). Diagnosa keperawatan Nanda yang relevan dalam kasus-kasus nyeri khusus hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri muskuloskeletal atau nyeri insisi (Dermawan, 2013). Pada diagnosa yang muncul diatas diambil berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh klien. Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi) sebagai prioritas utama didasarkan pada teori hierarki Maslow (fisiologis, rasa aman nyaman, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri) dan menurut teori Griffith Kenney Christensen yaitu ancaman kehidupan dan kesehatan (Dermawan, 2012). Dimana nyeri memberikan efek ketidaknyamanan pada tubuh. Nyeri dapat mengganggu aktivitas sehari-hari seperti istirahat tidur, pola perilaku dan psikososial. Oleh karena itu nyeri harus harus segera ditangani atau dibebaskan, terbebas dari nyeri merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia secara fisiologis (Andarmoyo, 2013). 56 C. Intervensi Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yan akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. (Dermawan, 2012 : 84). Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnosa keperawatan nyeri akut dan hambatan mobilitas fisik berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) dengan menggunakan metode ONEC (Obsevasi, Nursing intervention, Education, Collaboration). Tujuan dan kriteria hasil ini disusun berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) dengan menggunakkan metode SMART (specific, meausrable, achievable, realistic, time) (Dermawan, 2012). Intervensi diagnosa nyeri akut, yang pertama dilakukan antara lain pantau skala nyeri (P = Provocate, Q = Quality, R = Region, S = Scale, T = Time). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indikator secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya. Intervensi yang kedua monitor tanda-tanda vital dengan rasional untuk mendeteksi adanya perubahan sistem tubuh, pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pengukuran suhu, nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan. Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan untuk menentukan status kesehatan pasien yang lazim (data dasar), seperti terapi medis dan keperawatan atau menandakan perubahan fungsi fisiologis (Muttaqin, 2009: 81). Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan karena 57 tanda-tanda vital menggambarkan status nyeri untuk mendukung diagnosa dan membantu dalam memberikan terapi yang tepat (Prasetyo, 2010). Intervensi yang ke tiga, berikan posisi yang nyaman yaitu untuk menghilangkan tegangan abdomen yang terlambat dengan posisi terlentang. Intervensi yang keempat, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam karena pernafasan yang dalam dapat menghirup oksigen secara adekuat sehingga otot-otot menjadi rileks sehingga dapat mengurangi nyeri. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Trullyen (2013), teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi terhadap penurunan nyeri yaitu dengan merelaksasikan otot-otot skeletal yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic sehingga terjadi penurunan nyeri. Intervensi yang kelima adalah kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik sebagai profilaksasi untuk menghilangkan nyeri. Analgesik adalah metode paling umum untuk mengatasi nyeri, tergolong dalam analgesik nonnarkotik dengan indikasi nyeri pasca operasi, nyeri trauma berat, artritis rematoid (Andarmoyo, 2013: 95). Rencana tindakan tersebut disusun dengan 58 tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil, klien dapat mengontrol nyeri, wajah tampak rileks, klien mengatakan nyeri berkurang atau skala nyeri 2, tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80mmHg, nadi 60-100 kali per menit, pernafasan 16-24 kali per menit, dan suhu 36,5-37,5̊C. Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu pertama. Intervensi yang dilakukan antara lain pantau kemampuan klien dalam mobilitas untuk mengetahui sejauh mana klien dalam beraktivitas, latih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan. Hal ini dilakukan untuk melatih kemandirian dalam beraktivitas secara bertahap, ajarkan klien dalam merubah posisi untuk mencegah kekakuan pada otot. Mobilisasi akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca operasi disisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak negatif dan beban psikologis yang berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik (Gusty, 2011). Intervensi selanjutnya dampingi dan bantu klien saat mobilisasi untuk mencegah terjadinya resiko cedera. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik satu atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah (Nanda, 2014: 304). Rencana tindakan keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri) dengan tujuan 59 setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi. Mobilisasi dini pasca operasi dari 6 jam pertama pasien harus tirah baring, mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, ujung jari kaki dan menggeser kaki. Setelah 6-10 jam pasien dapat miring kanan kiri, setelah 24 jam dapat mulai belajar duduk dan setelah pasien dapat duduk dianjurkan untuk berjalan (Karyati, 2012). Dengan kriteria hasil yaitu klien tidak tampak lemas, aktivitas atau ADL dengan mandiri, skala ADL 0, dan kekuatan otot 5. D. Implementasi Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. (Dermawan, 2012: 118). Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah implementasi dari apa yang sudah direncanakan pada rencana keperawatan. Tindakan keperawatan yang sudah dilakukan oleh penulis pada Ny. S pada tanggal 8 April dan 9 April 2014 meliputi monitor TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu), memantau skala nyeri (PQRST), mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, memberikan obat analgesik, memantau kemampuan pasien dalam mobilitas, mengajarkan pasien dalam merubah posisi, melatih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan, membantu pasien dalam saat mobilisasi dan yang tidak dilakukan adalah memberikan posisi yang nyaman karena pasien sudah 60 tahu posisi yang nyaman buat dirinya agar nyeri tidak timbul. Tindakan keperawatan yang dibahas pada hari kedua tanggal 9 April 2014. Tindakan keperawatan dengan masalah keperawatan nyeri akut adalah yang pertama memonitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu). Pengkajian nyeri dari respon fisiologis dijelaskan apabila nyeri terusmenerus akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi pernafasan, diaforesis, peningkatan frekuensi jantung dan dilatasi pupil (Prasetyo, 2010: 47). Memantau skala nyeri, pengkajian menggunakan metode PQRST meliputi provoking incident yaitu faktor penyebab nyeri timbul, quality yaitu seperti apa nyeri dirasakan atau digambarkan klien, apakah nyeri bersifat tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk, region yaitu lokasi nyeri yang dirasakan klien, scale yaitu seberapa jauh nyeri yang dirasakan klien, misalnya skala nyeri 0 tidak ada nyeri, skala nyeri 1-3 yaitu nyeri ringan, skala 4-6 yaitu nyeri sedang, skala nyeri 7-10 yaitu nyei berat, time yaitu berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah ada waktu-waktu tertentu yang menambah rasa nyeri (Muttaqin, 2009: 73). Berkolaborasi dengan dokter pemberian analgesik (Pronalges supp), pronalges supp tergolong analgetik non-narkotik yang berfungsi untuk mengurangi nyeri pasca operasi (ISO, 2010). Dalam kasus Ny. S terjadi penurunan skala nyeri setelah tindakan teknik relaksasi nafas dalam dan memberikan obat analgesik, skala nyeri menjadi 3. 61 Implementasi selanjutnya mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Menurut Brunner dan Suddart, 2001 dalam Novarizki (2009), teknik relaksasi nafas dalam adalah teknik yang dilakukan untuk menekan nyeri pada thalamus yang dihantarkan ke korteks cerebri dimana sebagai pusat nyeri, yang bertujuan agar pasien dapat mengurangi nyeri selama nyeri timbul. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan saat relaksasi adalah pasien harus dalam keadaan nyaman, pikiran pasien harus tenang dan lingkungan yang tenang. Suasana yang rileks dapat meningkatkan hormon endorphin yang berfungsi menghambat transmisi impuls nyeri sepanjang saraf sensoris dari nosiseptor saraf perifer ke kornu dorsalis kemudian ke thalamus, serebri dan akhirnya berdampak pada menurunnya persepsi nyeri. secara klinis apabila pasien dalam keadaan rileks akan menyebabkan meningkatnya kadar serotinin yang merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus, serta berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuronneuron local medulla spinalis mensekresi enkafalin, karena enkafalin dianggap dapat menimbulkan hambatan presineptik dan postineptik pada serabut-serabut nyeri tipe C sehingga sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada δ dan A tempat masuknya ke medulla spinalis dan memiliki andil dalam memodulasi pada susunan saraf pusat (Guyton, 2005). Teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan sesuai dengan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Rini tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rini menyatakan bahwa teknik relaksasi berpengaruh terhadap respon adaptasi nyeri pada pasien post operasi apendiktomi. Respon adaptasi nyeri yang 62 dimaksudkan dalam penelitian tersebut adalah skala nyeri. Skala nyeri responden pada penelitian tersebut mengalami penurunan 2 poin setelah perlakuan. Pada pasien yang dikelola penulis, skala nyeri turun dari 6 menjadi 3 setelah perlakuan. Teknik relaksasi nafas dalam juga diberikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviarizki, (2009) karena hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa teknik relaksasi nafas dalam mampu menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta. Teknik relaksai nafas dalam yang baik dan benar akan memberi efek yang berharga bagi tubuh, efek tersebut yaitu penurunan nadi, tekanan darah dan pernafasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global, kurang perhatian terhadap stimulasi lingkungan, tidak ada perubahan posisi yang volunteer, perasaan damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai, terjaga dan dalam (Sulistyo, 2013). Setelah pengelolaan asuhan keperawatan selama 2 hari dengan mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri menjadi skala nyeri 3. Tindakan keperawatan dengan masalah hambatan mobilitas fisik yaitu memantau kemampuan klien dalam mobilitas karena untuk mengetahui sejauh mana klien dalam beraktivitas. Melatih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan untuk melatih kemandirian dalam beraktivitas secara bertahap. Membantu klien saat mobilisasi untuk mencegah terjadinya resiko cedera kalau tidak dibantu akan mengakibatkan resiko jatuh dan pemenuhan 63 ADL tidak terpenuhi padahal ADL merupakan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari) dan kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi) (Potter dan Perry, 2006). Mengajarkan klien dalam merubah posisi untuk mencegah kekakuan pada otot karena merubah posisi atau mobilisasi) merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat penyembuhan atau pemulihan luka pacsa bedah serta optimalnya fungsi pernafasan. Keuntungan yang dapat diraih dari latihan naik turun tempat tidur dan berjalan pada periode dini pasca bedah, diantaranya peningkatan kecepatan kedalaman pernafasan, peningkatan sirkulasi, peningkatan berkemih dan metabolisme (Gusty, 2011). E. Evaluasi Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. (Dermawan, 2012 : 128). Evaluasi yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan SOAP, subjective, objective, analisa, planning. (Dermawan, 2012 : 136). Evaluasi dari tindakan yang dilakukan pada tanggal 9 April 2014 dengan metode SOAP, diagnosa nyeri akut yaitu dengan hasil pasien mengatakan masih sedikit nyeri, nyeri berkurang, nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri seperti cenatcenut (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 3 (S) dan nyeri hilang timbul (T), pasien tampak lebih rileks, pasien tampak masih 64 berhati-hati saat bergerak, terdapat luka post operasi apendiktomi hari ke-1, tekanan darah 120/80mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,7̊C. Hasil analisa nyeri akut sebagian teratasi (tekanan darah120/80mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,7̊C, pasien tampak lebih rileks). Analisa masih dikatakan teratasi sebagian karena skala nyeri belum sesuai dengan yang ditetapkan dalam kriteria hasil. Planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau skala nyeri, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter pemberian analgesik. Hasilnya terjadi penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi skala nyeri 3 selama 2 hari pengelolaan asuhan keperawatan. Hal ini sama dengan teori yang dijelaskan dalam jurnal Noviarizki, (2009), dengan penelitian pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta yaitu distribusi nyeri yang dialami responden pada kelompok eksperimen sebelum dilakukan terapi (sebelum perlakuan) rata-rata nyeri hebat yaitu sebanyak 60% dan sesudah menerima terapi (sesudah perlakuan) sebagian besar adalah nyeri ringan dan nyeri sedang dimana masing-masing sebesar 45%. Sedangkan dimana masingmasing pada kelompok kontrol pada saat sebelum perlakuan sebagian besar nyeri hebat (70%) dan saat sesudah perlakuan meskipun terdapat penurunan namun rata-rata tetap mengalami nyeri hebat (45%) (Noviarizki, 2009). Hasil kesimpulan menjelaskan bahwa ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada pasien pasca operasi fraktur 65 femur antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta (Noviarizki, 2009). Evaluasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu dengan hasil pasien mengatakan masih lemas dan aktivitas dibantu keluarga, pasien tidak tampak lemas, post operasi hari ke-1, makan, minum, berpakaian, berpindah, ambulasi dibantu orang lain (skala 1), toileting dibantu orang lain dan alat (skala 3) dan kekuatan otot 5 pada ekstermitas bawah kanan kiri. Hasil analisa hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian (pasien tidak tampak lemas, kekuatan otot 5 pada ekstermitas bawah), planning: intervensi dilanjutkan meliputi pantau kemampuan pasien dalam mobilitas, latih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri, ajarkan pasien dalam merubah posisi, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi. Diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan (nyeri) terjadi perubahan yaitu kekuatan otot menjadi 5 dan pasien sudah tidak tampak lemas. Untuk aktivitas atau ADL masih dibantu orang lain dan alat karena keterbatasan dari penulis yang melakukan pengelolaan asuhan keperawatan selama 2 hari. BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis pada tanggal 8 April 2014 keluhan utama yang dirasakan Ny. S adalah nyeri, klien mengatakan nyeri saat bergerak (provocate ), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (quality), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (region), skala nyeri 6 (scale), nyeri timbul terus-menerus (time), tampak meringis menahan sakit, post op operasi hari ke-0, pasien tampak berhati-hati saat bergerak. Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit, suhu 36,9 derajat celcius Pada pemeriksaan abdomen terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah dengan balutan ± 10 cm dengan garis horizontal dan balutan dalam keadaan bersih, tidak merembes. 2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny. S berdasarkan pada pengumpulan data, penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi). 3. Rencana tindakan keperawaan yang dilakukan pada Ny. S dengan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi post operasi) yaitu dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan nyeri 66 67 berkurang atau hilang dengan kriteria hasil yaitu klien dapat mengontrol nyeri, wajah tampak rileks, klien mengatakan nyeri berkurang atau skala nyeri 2, tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80mmHg, nadi 60-100 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit, dan suhu 36,537,5̊C. 4. Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis pada tanggal 8 April dan 9 April 2014 terhadap Ny. S adalah memantau skala nyeri, monitor tandatanda vital, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, memberikan obat analgesik (Pronalges supp 1x100 mg), monitor kemampuan pasien dalam mobilitas, melatih pasien dalam memenuhi ADL secara mandiri sesuai kemampuan dan membantu pasien dalam mobilisasi. 5. Evaluasi tindakan yang didapatkan selama dua hari masalah nyeri teratasi sebagian. 6. Hasil analisa pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada Ny. S dengan post operasi apendiktomi mampu mengurangi intensitas nyeri pada pasien. B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Hasil aplikasi riset penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang bekualitas dan profesional, sehingga dapat tercipta perawat profesional, terampil, inovatif dan bermutu yang mampu memberikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri 68 pada asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan. 2. Bagi Profesi Keperawatan Dapat digunakan sebagai referensi dan pengetahuan yang mampu dikembangkan untuk memberikan pelayanan kepada klien dengan post operasi apendiktomi yang lebih berkualitas dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, salah satunya pemberian teknik relaksasi nafas dalam penurunan tingkat nyeri. 3. Bagi Rumah Sakit Hasil aplikasi riset penelitian ini diharapkan rumah sakit mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui terapi nonfarmakologi dengan teknik relaksasi nafas dalam khususnya pada pasien post operasi apendiktomi. DAFTAR PUSTAKA Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Dermawan, Deden dan Tutik, R. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Gosyen Plubising. Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Konsep dan Kerangka Kerja. Jilid 1. Yogyakarta: Gosyen Publising. Huda, Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC, Jilid 1. Jakarta: Medication. Huda, Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC, Jilid 2. Jakarta: Medication Ibrahim, Muhtar. 2013. Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Mobilisasi Post Operasi Apendiksitis. http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIKK/article/view/2839. Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 15.25 WIB. Sirait, Midian. 2010. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI. Jitowiyono, S dan Kristiyaningsih, W. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: Yuna Medika. Kimberly, A. 2012. Kapita Selekta Penyakit. Jakarta: EGC. Kusyati, Eni. 2006. Ketrampilan dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: EGC. Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Jilid 1. Jakarta: Salemba Medika. Nanda. 2010. Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC. Nanda. 2012. Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC. 69 70 Noviarizki. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses pada tanggal 15 April 2014 pukul 11.10 WIB. Prasetyo, S. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rini, Fahriani. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Respon Adaptasi Nyeri pada Pasien Apendiktomi Di RSU Aloei Saboe Gorontalo. Jurnal Health & Sport. Volume 5, nomor 3, Agustus 2012. http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JHS/article/download/910/850. Diakses pada Tanggal 14 April 2014 pukul 08.55 WIB. Sjamsuhidayat, R dan Wim de jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC. Sjamsuhidayat, R dan Wim de jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: EGC. Trullyen, V. L. 2013. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Sectio Ceasaria. http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIKK/article/view/2859/2835. Diakses pada tanggal 12 April 2014 pukul 13.55 WIB. Wilkinson, Judith. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.