BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Menurut Lewis et al. (2011) menyebutkan bahwa diabetes melitus
merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi insulin atau
resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga gula
darah tubuh mengalami kenaikan (hiperglikemia). Lanywati (2011) juga
menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula,
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun
terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam
tubuh. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa
diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu
memproduksi insulin.
2.1.2. Klasifikasi
Menurut ADA (2014), diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kategori klinis, yaitu; Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel-, biasanya
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kekurangan insulin absolut); Diabetes tipe 2 (karena kerusakan
progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena
penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik
pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang
disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau
setelah transplantasi organ); Diabetes melitus gestasional (diabetes yang
didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti).
2.1.3. Faktor Risiko
Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor
risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang
tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan
diabetes, umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan
diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan
rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai
risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu; berat badan lebih (IMT >23
kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (>140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL), diet yang tidak sehat
(unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan
risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Faktor lain
yang terkait dengan risiko diabetes yaitu; penderita Polycystic Ovary Syndrome
Universitas Sumatera Utara
(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, penderita
sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral
Arterial Diseases (PAD) (PERKENI, 2011).
2.1.4. Patofisiologi
Diabetes tipe 2 merupakan suatu kelainan dengan karakteristik utama
adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas,
faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya
diabetes tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor
lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Mekanisme terjadinya diabetes tipe 2
umumnya disebabkan karena resistensi terhadap insulin atau defek sekresi insulin.
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer
(terutama pada otot dan hati). Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal
dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes
tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah
30-60% daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan
terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan
meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi
terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Kelainan yang juga khas pada diabetes tipe
2 adalah ketidakmampuan sel beta (defek sekresi insulin) yang meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan
lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase
lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi
kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi
defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.
Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun
demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik
(HHNK). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahuntahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti;
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama
sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat
tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama
bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya,
kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi
sebelum diagnosis ditegakkan (Smeltzer & Bare, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien.
Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P"
yaitu; poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan
polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan
yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien juga mengalami
polifagia (peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang
disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala
lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan fungsi penglihatan secara
mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit
atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat
terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika
pasien telah mengalami ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2010).
2.1.6. Diagnosis
Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma (ADA, 2014).
Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL
(7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8
jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr
(TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan
oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara
dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. 3) International
Expert Committee menambahkan tes hemoglobin-glikosilat/A1c sebagai pilihan
ketiga untuk mendiagnosa penyakit diabetes (terdiagnosis diabetes jika nilai
Universitas Sumatera Utara
HbA1C ≥6,5%). Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan
metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization
Program) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications
Trial). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga
pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan
gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dilakukan tes glukosa
plasma acak (sewaktu) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).
2.1.7. Penatalaksanaan
Pengelolaan penyakit diabetes tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), ada
empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011).
1) Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku. Untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus.
2) Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta
pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari; karbohidrat
yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan
sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan
energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurkan mengkonsumsi cukup serat ±25
gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI).
Universitas Sumatera Utara
3) Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan diabetes tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang
relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi diabetes, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi.
Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
4) Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan yang
digunakan untuk penderita diabetes tipe 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO),
insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan, antara lain; pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti
sulfonilurea dan glinid; peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin
dan tiazolidindion; penghambat glukoneogenesis (metformin); penghambat
Universitas Sumatera Utara
absorbsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa, dan DPP-IV (dipeptidyl
peptidase-4) inhibitor.
2.1.8. Komplikasi
Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya
berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan
diabetes.
1) Komplikasi Akut
Ada tiga komplikasi utama diabetes akut yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek yaitu, Ketoasidosis
Diabetik (KAD), Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemia.
KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Pada kondisi SHH terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Dan pada hipoglikemia
ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Gejala
hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma) (PERKENI, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2) Komplikasi Kronik
Permana (2009) menguraikan komplikasi kronis pada diabetes berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular, komplikasi
makrovaskular, dan komplikasi neurologis. Komplikasi mikrovaskular terjadi
akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri
dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2
kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati non
proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,
sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik
ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati
dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes mengakibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein
dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut
dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang progresif.
Komplikasi makrovaskular pada diabetes terjadi akibat aterosklerosis dari
pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun dapat muncul lebih cepat,
lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan
bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati
umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik.
Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan
Universitas Sumatera Utara
faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15
mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan
penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).
Neuropati
diabetik
mengacu
pada
sekelompok
penyakit
yang
mempengaruhi semua jenis saraf, termasuk perifer (sensorimotor), otonom, dan
saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel
saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada
umumnya berupa polineuropati diabetik yang merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes
mengalami komplikasi tersebut. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan
sensorik, motorik, dan otonom. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif di
mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal.
Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan
(Permana, 2009).
2.2. Efikasi Diri
2.2.1. Definisi Efikasi Diri
Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori
sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri
adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu
tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri
Universitas Sumatera Utara
menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan
berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif,
motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood,
2006) menjelaskan efikasi diri adalah penilaian kemampuan personal untuk
mengatur dan menjalankan perilaku promosi kesehatan.
Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk
mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah
akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig,
1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan
dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang mendukung
kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.
2.2.2. Sumber Efikasi Diri
Bandura (1995) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari,
dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber
tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau
pembangkit positif untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang
dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut adalah:
1) Mastery Experiences (Pengalaman keberhasilan). Sumber informasi ini
memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada
pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata yang berupa
keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan
efikasi diri individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya.
Universitas Sumatera Utara
Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan
dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.
2) Vicarious experience (Pengalaman orang lain), yaitu mengamati perilaku dan
pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini
efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki
kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa
mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini
dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan
efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut
mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,
kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta
keanekaragaman yang dicapai oleh model.
3) Verbal persuasion (Persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu diarahkan
dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan
keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat
membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara
verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu
keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-menerus,
pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan.
4) Physiological and emotional state (Keadaan fisiologis dan psikologis), yaitu
situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi, kegelisahan yang
Universitas Sumatera Utara
mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan
dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.
Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka
untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan
dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat
melemahkan perfomansi kerja individu. Karena itu, efikasi diri tinggi
biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya,
efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi
pula.
2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri
Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut
berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan
proses pemilihan/seleksi.
1) Proses kognitif
Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan,
pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia
bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki
efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.
Sebaliknya individu dengan efikasi dirinya rendah lebih banyak membayangkan
kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk
tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin
seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin
Universitas Sumatera Utara
membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen
individu terhadap tujuannya.
2) Proses motivasi
Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu
memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan
melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan
diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan
yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa
tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam
menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi.
Teori pertama adalah causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada
sebab-sebab yang mempengaruhi motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi individu.
Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung
menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup
memadai. Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah, cenderung
menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori
kedua, outcomes experience (harapan akan hasil), yang menyatakan bahwa
motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku
sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori
ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih
dahulu akan dapat meningkatkan motivasi.
Universitas Sumatera Utara
3) Proses afektif
Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi
emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat
stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi
efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan
penting
dalam
timbulnya
kecemasaan.
Individu
yang
percaya
akan
kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal
yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung
mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan
mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesarbesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya
jarang terjadi.
4) Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut
mempengaruhi efek dari
suatu kejadian. Individu cenderung menghindari
aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa
yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung
tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu
kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.
2.2.4. Dimensi Efikasi Diri
Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap
individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),
strength (kekuatan keyakinan), dan generality (generalitas). Masing-masing aspek
Universitas Sumatera Utara
mempunyai implikasi penting di dalam kinerja individu yang secara lebih jelas
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan
derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan
perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada
tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu
yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi
dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.
2) Strength (kekuatan keyakinan), yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan
keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap
pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan
walaupun
mungkin
belum
memiliki
pengalaman-pengalaman
yang
menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan
kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang
tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan tingkat
dimensi, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah
keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
3) Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan
tingkah laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu
terhadap kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan
dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun
pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes
Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui
apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri
juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan diabetes karena
berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu
et al., 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan
pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri
adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai
perilaku manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).
Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes,
seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang
lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang
lebih baik (Hunt et al., 2012).
2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2
Pengembangan instrumen Diabetes Management Self-efficacy Scale
(DMSES) Dutch/English Version untuk pasien diabetes tipe 2 telah dilakukan
oleh Bijl., Poelgeest-Eeltink, & Shortridge-Baggett (1999) yang terdiri dari 20
item pertanyaan untuk mengukur efikasi diri terhadap manajemen diri pada pasien
tipe 2. Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi Australia/Inggris oleh
McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt, Hearnshaw dan
Wakelin (2010). Instrumen (DMSES) Dutch/English Version juga telah
dimodifikasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Wu et al. (2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Manajemen Diri
2.3.1. Definisi Manajemen Diri
Di dalam literatur, manajemen diri (self-management) juga disebut dengan
perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada
fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan
perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri
mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana seseorang harus berusaha untuk
hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk
dalam mendapatkan kepercayaan untuk menangani manajemen medis, manajemen
peran, dan manajemen emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004).
2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes
Manajemen diri pada diabetes merupakan seperangkat perilaku yang
dilakukan oleh individu dengan diabetes untuk mengelola kondisi mereka,
termasuk minum obat, mengatur diet, melakukan latihan fisik, pemantauan
glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010).
Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri
yang mencakup pengaturan pola makan, olahraga, pemantauan glukosa darah
secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan
perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003;
Sousa et al., 2005; Hunt et al., 2012).
Seseorang dengan diabetes perlu mengetahui pemahaman dalam
pengelolaan penyakitnya. Tugas-tugas dalam manajemen diri yang diperlukan
untuk mengontrol diabetes, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1) Pengaturan pola makan (diet)
Diet merupakan faktor utama dalam mengontrol diabetes, yang melibatkan
pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012).
Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola
hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita
diabetes mirip dengan rekomendasi untuk masyarakat umum, misalnya
mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007).
Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien
diabetes akan membutuhkan diet yang lebih terstruktur untuk mencegah
hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan
untuk pasien diabetes tipe 2 sebagai berikut (Amod et al., 2012):
a)
Mengikuti
perencanaan
makan
yang
sehat
dan
seimbang,
yaitu;
mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah,
mengkonsumsi produk susu rendah lemak dan minuman kedelai yang
diperkaya dengan kalsium, mengkonsumsi ikan setidaknya dua kali per
minggu, gunakan alternatif pengganti daging seperti kacang-kacangan,
kedelai dan tahu, dan batasi mengkonsumsi produk olahan.
b) Karbohidrat harus mencukupi 45-60% dari total asupan energi. Pemantauan
asupan karbohidrat dapat dilakukan dengan menghitung karbohidrat, atau
melakukan pertukaran atau memperkirakan jumlah karbohidrat bagi yang
berpengalaman, batasi gula alkohol (maltitol, manitol, sorbitol, laktitol,
isomalt, xylitol) <10 gr per hari, batasi total asupan fruktosa sekitar 60 gr per
hari; meningkatkan asupan serat larut dan tidak larut 25-50 gr per hari, asupan
Universitas Sumatera Utara
sukrosa hingga 10% per hari dapat diterima, dan penggunaan pemanis buatan
dikonsumsi dalam batas harian yang ditetapkan oleh FDA.
c)
Protein harus mencukupi 15-20% dari total asupan energi.
d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak
jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak
polysaturated harus dibatasi <10% dari total asupan energi, meminimalkan
asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam
lemak omega-3 yang berasal dari tumbuhan dan ikan.
e)
Garam. Sumber utama natrium dalam makanan adalah garam yang
terkandung dalam makanan kemasan dan makanan olahan. Kurangi diet
natrium hingga <2300 mg per hari dapat membantu mengontrol tekanan
darah.
f)
Vitamin dan mineral. Suplemen vitamin dan mineral mungkin diperlukan
pada kelompok-kelompok tertentu seperti; lansia, wanita hamil dan
menyusui, suplemen antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, dan beta
karoten, tidak dianjurkan, karena tidak cukup bukti keberhasilan dan
keamanan jangka panjang, akan tetapi suplemen dapat dipertimbangkan pada
penderita diabetes yang merokok.
2) Latihan fisik
Latihan fisik merupakan faktor penting dalam mengelola diabetes dan
mengontrol kadar glukosa darah yang lebih baik. Sebelum meningkatkan pola
aktivitas fisik dari yang biasanya, pasien diabetes harus melakukan pemeriksaan
medis
terlebih
dahulu,
untuk
menyesuaikan
kebutuhan
individu
dan
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan adaptasi latihan terhadap adanya komplikasi diabetes.
Aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin, dan memungkinkan untuk
penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan
fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan
fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti
berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste &
Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot,
dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan
penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga
membantu menurunkan kadar glukosa darah (Nair, 2007).
3) Medikasi
Bagi penderita diabetes tipe 2, kontrol glikemik dapat dipertahankan
dengan intervensi non-farmakologis seperti diet, latihan fisik, dan monitoring gula
darah mandiri. Namun, sebagian besar penderita diabetes tipe 2 memerlukan
pengobatan dengan farmakologi (DeCoste & Scott, 2004). Diabetes tipe 2 dapat
diobati dengan obat tunggal atau kombinasi obat oral dan insulin. Setiap obat
diberikan untuk salah satu ketidaknormalan kadar gula darah dan kombinasi
dengan perawatan medis yang dapat menormalkan kadar gula darah. Jika terapi
oral tidak bekerja, maka terapi insulin satu-satunya cara untuk mengontrol kondisi
hiperglikemia. Insulin hanya akan digunakan jika nilai HbA1c lebih dari 6,5%
setelah terapi oral maksimal. Insulin harus dikombinasi dengan terapi oral untuk
mengurangi risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Garber et al., 2002;
Svartholm & Nylander, 2010).
Universitas Sumatera Utara
4) Monitoring gula darah mandiri
Monitoring gula darah mandiri merupakan bagian penting dalam
manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang
menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk
mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi,
mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2012), mempertahankan kadar
glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10
mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007).
Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan
penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam
meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak
menggunakan insulin (Welschen et al, 2005; Hirsch et al, 2008).
Pasien dengan diabetes tipe 2 non-insulin direkomendasikan untuk
memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et
al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat
melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu
menentukan penyesuaian insulin yang digunakan. Pada pasien diabetes tipe 2
yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post
prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau
aktivitas fisik (DeCoste & Scott, 2004). Pedoman International Diabetes
Federation tentang monitoring gula darah mandiri untuk diabetes tipe 2 noninsulin diobati tipe 2 merekomendasikan bahwa monitoring gula darah mandiri
harus dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan manajemen diri diabetes
Universitas Sumatera Utara
berkelanjutan untuk membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka,
berpartisipasi
dalam
proses
pengambilan
keputusan
pengobatan,
dan
memodifikasi perilaku perawatan dan obat-obatan yang diperlukan (IDF, 2012).
Monitoring glukosa darah mandiri memberikan informasi mengenai efek
terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on
Management T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah
mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan
insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan
insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring
glukosa darah mandiri mungkin berguna dalam mencapai kontrol glikemik.
(Sumber: ADA, 2009; CPG on Management T2DM, 2009)
5) Perawatan kaki
Kaki diabetes dianggap sebagai komplikasi umum dari diabetes. Pasien
dengan risiko ulkus kaki, harus memahami dasar-dasar perawatan kaki. Beberapa
studi menunjukkan bahwa intervensi pendidikan bagi pasien tentang perawatan
kaki sangat efektif dalam pencegahan ulkus kaki diabetik (Spollett, 1998;
Culleton, 1999; Viswanathan et al., 2005; Aalaa et al., 2012). Perawat dapat
mengajarkan pasien bagaimana melakukan pemeriksaan fisik dan merawat kaki
Universitas Sumatera Utara
setiap hari (Clapham, 1997; Aalaa et al., 2012). Misalnya, perawat dapat
menganjurkan pasien untuk melaksanakan serangkaian aturan sederhana untuk
membantu mencegah kekambuhan ulkus kaki atau, seperti memeriksa sepatu
sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku
berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting
(Ramachandran, 2004; Aalaa et al., 2012).
2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada
Diabetes Tipe 2
1)
Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri
yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu
yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam
perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang,
2009).
2) Tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki
pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan
memiliki keterampilan manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan
informasi
peduli
diabetes
yang
diperoleh
melalui
berbagai
media
dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Bai, Chiou & Chang, 2009).
Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat
manajemen diri yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan
gula darah mandiri, dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan
Universitas Sumatera Utara
yang berhubungan dengan diet, aktivitas fisik, dan pemeriksaan gula darah
mandiri (Xu, Pan & Liu, 2010).
3) Pekerjaan. Penderita diabetes yang bekerja memiliki tingkat manajemen diri
lebih rendah untuk latihan fisik daripada penderita yang tidak bekerja.
Penderita diabetes yang lebih muda yang bekerja bisa memiliki jadwal dan
tanggung jawab yang sangat banyak, membuat perilaku manajemen diri
diabetesnya menjadi prioritas rendah bagi mereka (Xu, Pan & Liu, 2010).
4) Efikasi diri. Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe 2 yang memiliki
tingkat efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku
manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin untuk
menunjukkan pengaturan diet secara optimal, olahraga, monitoring glukosa
darah mandiri, dan perawatan kaki (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et
al., 2008; Hunt et al., 2012).
5) Lamanya menderita diabetes. Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama
memiliki pengalaman dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan
perilaku perawatan diri yang lebih baik (Wu et al., 2007). Seseorang yang
telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun dapat menerima diagnosis
penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta memiliki adaptasi yang lebih
baik terhadap penyakitnya dengan mengintegrasikan gaya hidup baru dalam
kehidupan mereka sehari-hari (Xu, Pan & Liu, 2010).
6) Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan prediktor penting dalam
perilaku perawatan diri pada pasien diabetes. Ketika pasien didiagnosis
dengan penyakit kronis, maka pasien tersebut memerlukan bantuan perawatan
Universitas Sumatera Utara
dari teman dan keluarga. Pasien diabetes tipe 2 melakukan perilaku perawatan
diri yang lebih baik ketika mereka menerima dukungan dari keluarga dan
teman-temannya (Bai, Chiou & Chang, 2009).
7) Asuransi. Penderita diabetes yang tidak memiliki asuransi kesehatan biasanya
memiliki perilaku kurang baik dalam minum obat dan memantau kadar
glukosa darah mereka secara teratur (Xu, Pan & Liu, 2010).
8) Komunikasi antara pasien dan provider. Tujuan utama komunikasi antara
pasien dan provider adalah untuk bertukar informasi tentang penyakit dan
perawatannya. Sebuah gaya komunikasi yang positif dapat meningkatkan
pemahaman pasien dan mengingat informasi tentang penyakit (Ong et al.,
1995; Xu et al., 2008). Interaksi antara pasien dan provider dapat memperkuat
kepercayaan pasien dan dapat mempengaruhi hasil kesehatan (Kaplan,
Greenfield & Ware, 1989; Xu et al., 2008). Komunikasi antara pasien dan
provider yang lebih baik dapat membantu membangun hubungan saling
percaya, dan menjadi landasan bersama untuk mempromosikan manajemen
diri pasien dengan diabetes (Xu et al., 2008).
9) Jenis layanan perawatan. Pasien diabetes yang menerima perawatan dari
spesialis menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melaksanakan
praktek perawatan diri yang lebih baik termasuk gaya hidup yang lebih baik,
dan mengontrol diabetes lebih baik daripada pasien yang menerima
perawatan dokter umum. Para pasien yang menerima perawatan dari spesialis
cenderung untuk berolahraga lebih banyak dan mengurangi merokok. Pada
pasien yang mengunjungi dokter umum selama satu tahun terakhir lebih
Universitas Sumatera Utara
sering memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kontrol glikemik yang
buruk (Goudswaard et al.; Lee, Ahn & Kim, 2009). Pasien yang telah
menerima pendidikan tentang perawatan kaki diabetes dan pemeriksaan kaki
oleh spesialis secara signifikan lebih mungkin untuk memeriksa kaki mereka
secara teratur dan cenderung untuk mematuhi pedoman perawatan diabetes,
serta menjaga kadar glukosa darah dalam tingkat optimal daripada pasien
yang menerima perawatan dari dokter umum (De Berardis et al., 2005; Lee,
Ahn & Kim, 2009)
10) Bahasa dan budaya. Keterbatasan bahasa dan budaya pada materi pendidikan
manajemen diri pada diabetes yang tepat dan program yang tersedia untuk
pasien dengan diabetes, misalnya pada etnis Cina-Amerika. Kebanyakan
program pendidikan manajemen diri pada diabetes tersedia dalam bahasa
Inggris dan didasarkan pada budaya Barat, seperti jenis pilihan makanan dan
membaca label, sehingga menyulitkan pasien diabetes Cina-Amerika untuk
mengikuti program tersebut (Xu, Pan & Liu, 2010).
11) Kepercayaan terhadap efektivitas pengobatan. Kepercayaan terhadap
efektivitas pengobatan merupakan faktor penting yang mempengaruhi
manajemen diri diabetes. Xu et al. (2008), mengungkapkan bahwa pada
pasien Cina dapat menggunakan pendekatan medis Barat untuk mengontrol
diabetes mereka, sementara untuk strategi manajemen penyakit, mereka
lakukan berdasarkan tradisi pengobatan Cina. Kepercayaan dalam pengobatan
Cina dapat mengurangi kepercayaan pasien dalam efektivitas pengobatan
medis Barat untuk diabetes.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Pengukuran manajemen diri pada diabetes Tipe 2
Manajemen diri pada diabetes tipe 2 diukur dengan menggunakan
kuesioner Summary of Diabetes Self Care Activities-Revised (SDSCA). Instrumen
ini merupakan self-report manajemen diri secara singkat pada diabetes yang
terdiri dari item-item pertanyaan untuk menilai aspek perawatan pada diabetes
diantaranya; diet umum, diet khusus, olahraga, pemeriksaan glukosa darah,
perawatan kaki, dan merokok (Toobert, Hampson & Glasgow, 2000).
2.4. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan landasan teori self-care dari Dorothea E.
Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) sebagai dasar
untuk pengembangan kerangka konsep penelitian untuk efikasi diri dan
manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.
2.4.1. Orem’s Self-Care Theory
Teori model yang diperkenalkan Dorothea E. Orem adalah Self Care
Deficit Theory of Nursing yang terdiri dari tiga teori utama yaitu teori self-care,
self-care deficit dan nusing system. Teori yang diperkenalkan oleh Orem tersebut
menekankan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk merawat
dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Teori tentang self-care didasarkan pada
kenyataan bahwa setiap orang dewasa lebih atau kurang memiliki kapasitas penuh
untuk menjaga kesehatan mereka dan mengelola diri mereka sendiri saat sakit atau
cedera. Kapasitas ini dapat bervariasi, tergantung pada pengetahuan individu,
pendidikan, usia, pengalaman hidup, ekonomi, budaya dan status kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Pasien membutuhkan pendidikan, motivasi, keterampilan praktik dan kemampuan
mental untuk dapat mengatur dan melakukan perawatan diri mereka.
Keterampilan ini dapat berkembang melalui instruksi dari para profesional
perawatan kesehatan serta dengan mempraktekkan perawatan diri.
Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of Nursing
Untuk memahami tentang teori self-care, perlu dipahami terlebih dahulu
mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri
(self-care agency), terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care
demand), dan syarat perawatan diri (self-care requisites). Perawatan diri (selfcare) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika
perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu
dalam mengembangkan potensi dirinya. Kemampuan perawatan diri (self-care
agency) adalah kemampuan belajar atau kekuatan untuk melakukan perawatan diri
yang digambarkan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan perawatan diri dalam mempertahankan hidup, kesehatan, dan
kesejahteraan. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan
diri (basic conditioning factor), yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status
kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan
keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan
perawatan diri (therapeutic self-care demand), yaitu semua tindakan perawatan
diri yang harus dilakukan oleh individu pada suatu titik waktu untuk menjaga
kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan. Serta syarat perawatan diri yang
dibutuhkan (self-care requisites), yaitu tujuan yang ingin dicapai melalui
perawatan diri (Orem, 1991; Tomey & Alligood, 2006).
2.4.2. Bandura’s Self-Efficacy Theory
Menurut teori self-efficacy oleh Bandura (1994), self-efficacy (efikasi diri)
adalah bentuk kepercayaan diri atau keyakinan dalam kinerja seseorang terhadap
perilaku tertentu, serta sebagai bentuk rasa percaya diri atau keyakinan bahwa
dengan melakukan perilaku tersebut, maka akan mencapai hasil yang diinginkan.
Perubahan perilaku dan kinerja berhubungan dengan keyakinan dalam
kemampuan seseorang dan dengan harapan hasil yang akan ditimbulkan dari
perilaku tersebut. Meskipun efikasi diri merupakan dasar bagi sebagian besar
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, tetapi tanpa adanya kemampuan
dari individu tersebut, maka tidak akan membentuk sebuah perilaku. Ketika
pasien mampu melakukan perawatan diri yang efektif, hal tersebut menunjukkan
bahwa pasien memiliki kesadaran terhadap kondisi penyakitnya. Begitu juga pada
diabetes, pasien yang mampu melakukan perawatan dirinya dengan baik,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa pasien memiliki keyakinan diri terhadap kemampuannya
dalam melakukan perawatan dirinya. Oleh karena itu, landasan teori ini digunakan
sebagai kerangka berfikir dalam memahami efikasi diri pasien terhadap
kemampuannya untuk mengontrol penyakit diabetesnya dan melakukan aktivitas
perawatan dirinya.
2.5. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka teori
(Sumber : ADA, 2014; PERKENI, 2011; Permana, 2009; Bandura, 1994; Orem,
1991; Toobert et al., 2000).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. di atas menjelaskan bahwa diabetes merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, yang dapat
disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi. Penatalaksanaan pasien secara tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi diabetes akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol. Tugas utama
pasien diabetes untuk mencegah komplikasi tersebut adalah menerapkan
manajemen diri diabetes dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengaturan
makanan, olah raga teratur, minum obat secara teratur, memonitor gula darah
secara mandiri, serta melakukan perawatan kaki. Dan salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam pelaksanaan manajemen diri diabetes adalah efikasi diri
pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan aktivitas perawatan dirinya
sehari-hari, dan dari waktu ke waktu. Dengan efikasi diri yang tinggi diharapkan
dapat meningkatkan perilaku manajemen diri yang baik, sehingga dapat mencapai
hasil akhir yang maksimal, baik dalam mengontrol status glikemik dan mencegah
serta meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes.
Dalam penelitian ini, teori self-care dari Dorothea E. Orem (1991) dan
teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) digunakan oleh peneliti sebagai
kerangka berfikir untuk memahami konsep perawatan diri yang harus dilakukan
pasien secara mandiri. Teori self-care dari Orem terdiri dari; self-care, self-care
agency, therapeutic self-care demand, dan self-care requisites. Terkait dengan
teori self-care, bahwa pasien diabetes tipe 2 harus melaksanakan aktivitas
perawatan diri secara mandiri untuk mempertahankan kesehatannya; terkait
dengan teori self-care agency, bahwa untuk melakukan manajemen diri diabetes
Universitas Sumatera Utara
maka pasien harus memiliki kemampuan atau kekuatan, hal ini juga dapat
meningkatkan efikasi dirinya; terkait dengan teori therapeutic self-care demand,
bahwa pasien diabetes harus melakukan semua tindakan perawatan diri diabetes
yang terdiri dari pengaturan makan, latihan fisik, minum obat, pemantauan gula
darah, dan perawatan kaki; dan terkait dengan teori self-care requisites, bahwa
tujuan yang dapat dicapai dari perawatan dirinya yaitu mencegah dan
meminimalkan komplikasi, status glikemik terkontrol, serta peningkatan kualitas
hidup.
2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan keterkaitan antar
variabel penelitian. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat
pada kerangka konsep berikut:
Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. di atas merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini yang
menjelaskan tentang variabel penelitian yang akan diteliti yaitu variabel
independen adalah efikasi diri dan karakteristik responden diabetes tipe 2 dan
variabel dependen adalah manajemen diri pasien diabetes tipe 2, yang bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara efikasi diri dan
karakteristik responden dengan manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe
2, serta mengidentifikasi faktor utama dari variabel independen yang memiliki
hubungan paling tinggi dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.
Universitas Sumatera Utara
Download