UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S. Farm. ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S. Farm. 1306434263 ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014 ii Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan praktek kerja profesi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Depok, Juni 2014 Yuni Arista Ningrum Kumesan iii Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Laporan praktek kerja profesi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua baik yang dikutip atau dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Yuni Arista Ningrum Kumesan NPM : 1306434263 Tanda Tangan : Tanggal : Juni 2014 iv Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 v Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati pada bulan April – Mei 2014. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan laporan ini, sangatlah sulit bagi Penulis untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 2) Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 3) Dra. Etin Ratna Martiningsih, Apt., selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. 4) Dra. Alfina Rianti, Apt., M. Pharm., selaku pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan inspirasi kepada penulis selama PKPA berlangsung. 5) Santi Purna Sari, S.Si., M.Si., selaku pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan inspirasi kepada penulis selama PKPA berlangsung. 6) Pegawai Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati yang telah banyak memberi bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan PKPA. 7) Bapak dan Ibu staf pengajar beserta segenap karyawan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 8) Keluarga tercinta yang telah memberikan doa dan dukungan moral serta material sehingga program PKPA dan penyusunan laporan ini dapat dilaksanakan dengan lancar. 9) Rekan – rekan Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia angkatan LXXVIII atas kebersamaan dan dukungan selama menempuh pendidikan. vi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 10) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan laporan ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani Praktik Kerja Profesi Apoteker ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan. Penulis 2014 vii Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya : Yuni Arista Ningrum Kumesan : 1306434263 : Apoteker : Farmasi : Laporan Praktek Kerja demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universita Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya akhir saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Periode 1 April – 30 Mei 2014 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juni 2014 Yang menyatakan Yuni Arista Ningrum Kumesan viii Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 ABSTRAK Nama NPM Program Studi Judul : : : : Yuni Arista Ningrum Kumesan 1306434263 Profesi Apoteker Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Periode 1 April – 30 Mei 2014 Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati bertujuan untuk mengetahui gambaran umum RSUP Fatmawati, mengetahui struktur dan pembagian kerja di instalasi farmasi RSUP Fatmawati, dan mengetahui peran dan tanggung jawab apoteker dalam Peran Lintas Farmasi. Tugas khusus yang diberikan berjudul Pemantauan Terapi Obat Pasien Tuberkulosis Paru dan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) di Lantai V Selatan Teratai RSUP Fatmawati bertujuan agar calon apoteker dapat mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien terpilih dan memberikan rekomendasi intervensi untuk masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dapat terjadi. Kata kunci : Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Pasien Tuberkulosis Paru, Hospital Acquired Pneumonia (HAP) Tugas umum : xii + 136 halaman; 27 lampiran Tugas khusus : v + 66 halaman; 2 gambar; 9 tabel; 6 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 12 (2004 – 2014) Daftar Acuan Tugas Khusus : 10 (2003 – 2014) ix Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 ABSTRACT Nama NPM Program Studi Judul : : : : Yuni Arista Ningrum Kumesan 1306434263 Apothecary profession Pharmacist Internship Program at Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Period April 1st – May 30th 2014 Pharmacists Professional Practice in Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati aims to know a general overview of the RSUP Fatmawati, knowing the structure and division of work in pharmacy installation of RSUP Fatmawati, and to know the roles and responsibilities of pharmacists at the other of division of work in RSUP Fatmawati. While the tittle of the special assignment is Therapeutic Drug Monitoring of Pulmonary Tuberculosis Patient and Hospital Acquired Pneumonia (HAP) in South V Floor Teratai Fatmawati aims to prospective pharmacists can identify the problems associated with drug use in selected patients and provide recommendations for the intervention of the problems associated with the use of drugs that can happen. Keywords : Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Pasien Pulmonary Tuberculosis Patient, Hospital Acquired Pneumonia (HAP) General Assignment : xii + 136 pages; 27 appendices Specific Assignment : v + 66 pages; 2 pictures; 9 table; 6 appendices Bibliography of General Assignment : 12 (2004 – 2014) Bibliography of Specific Assignment : 10 (2003 – 2014) x Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR ISI JUDUL ....................................................................................................... HALAMAN JUDUL .................................................................................. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI.................................................. ABSTRAK .................................................................................................. DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. i ii iii iv v vi viii vix xi xii 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Tujuan .............................................................................................. 1 1 3 2. TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT .............................................. 2.1 Rumah Sakit ................................................................................ 2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit ..................................................... 2.3 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit ............................................................................................. 4 4 16 24 3. TINJAUAN KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI ..................................................................................... 3.1 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati ........................... 3.2 Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati ............................................. 3.3 Ruang Lingkup Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati ................... 3.4 Farmasi Klinis RSUP Fatmawati .................................................. 3.5 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit .. 3.6 Instalasi Sanitasi dan Pertamanan RSUP Fatmawati .................... 29 29 33 37 79 85 90 4. PEMBAHASAN ................................................................................... 4.1 Administrasi dan Penunjang ......................................................... 4.2 Perbekalan Farmasi ...................................................................... 4.3 Pelayanan Farmasi ........................................................................ 4.4 Farmasi Klinis ............................................................................... 4.5 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit .. 4.6 Instalasi Sanitasi dan Pertamanan ................................................. 93 93 94 97 103 104 106 5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 5.2 Saran ............................................................................................ 107 107 107 DAFTAR ACUAN .................................................................................... LAMPIRAN .............................................................................................. 109 110 xi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25. Lampiran 26. Lampiran 27. Stuktur organisasi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati... Stuktur organisasi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati ....... Alur hak akses sistem informasi farmasi ............................ Alur perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi ....... Alur perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi cito . Alur penerimaan perbekalan farmasi ................................... Alur pendistribusian perbekalan farmasi gudang induk ke depo farmasi ........................................................................ Alur pendistribusian perbekalan farmasi gudang induk ke satuan kerja ......................................................................... Alur pelayanan penanganan obat sitostatika ...................... Alur pelayanan obat dan alat kesehatan di depo Instalasi Bedah Sentral ...................................................................... Alur Pelayanan OK Elektif ................................................ Alur pengkajian resep .......................................................... Alur monitoring medication error ....................................... Peresepan dan catatan pengobatan pasien IRJ..................... Alur distribusi obat IRJ 1 ................................................... Alur distribusi obat IRJ 2 ................................................... Alur pelayanan pasien emergency RSUP Fatmawati ......... Alur pendistribusian perbekalan farmasi ke ruangan rawat Inap ..................................................................................... Alur rekonsiliasi obat pasien .............................................. Alur rekonstitusi injeksi high alert ..................................... Alur Serah terima perbekalan farmasi dengan perawat ...... Daftar nilai kritis pemeriksaan laboratorium ...................... Alur pemantauan efek samping obat .................................. Alur Pelayanan Informasi Obat ........................................... Struktur organisasi ISB........................................................ Denah Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) Sterilisasi ..... Alur retur dan pemusnahan perbekalan farmasi ................. xii Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam bidang kesehatan, pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, selain itu pemerintah juga bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Presiden Republik Indonesia, 2009b). Upaya kesehatan merupakan setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Upaya pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah dengan mendirikan rumah sakit, salah satunya adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati didirikan pada tahun 1953 oleh Ibu Fatmawati sebagai RS Tuberkulose Anak dan pada tahun 1984 resmi sebagai RS Rujukan Wilayah Jakarta Selatan. Pada tahun 2010 menjadi Rumah Sakit Kelas A Pendidikan yang sekaligus berhasil memenuhi standar Paripurna Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), dan pada Desember 2013, RSUP Fatmawati berhasil mempertahankan standar Paripurna KARS dan lulus sertifikasi Joint Commission International (JCI) (Rumah Sakut Umum Pusat Fatmawati, 2014). Sebagai rumah sakit yang telah berstandar internasional, sudah semestinya RSUP Fatmawati dapat memberikan pelayanan yang optimal. Adapun pelayanan 1 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 2 yang terdapat di RSUP Fatmawati adalah pelayanan rawat jalan, klinik amarilis, klinik wijaya kusuma, klinik tumbuh kembang, rawat jalan eksekutif griya husada, hemodialisa, unit transfusi darah, rawat inap, orthopedi, rehabilitasi medik, patologi (laboratorium), diagnostik khusus, radiologi, program terapan rumatan metadon, dan pelayanan kefarmasian (Rumah Sakut Umum Pusat Fatmawati, 2014). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien melalui pekerjaan kefarmasiaan. Adapun pekerjaan kefarmasian antara lain pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Di RSUP Fatmawati, pekerjaan kefarmasiaan berada dibawah Instalasi Farmasi yang dipimpin oleh seorang apoteker. Selain apoteker, pekerjaan kefarmasian juga dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Selain itu, ada juga peran lintas farmasi, dimana apoteker dan tenaga teknis kefarmasian berperan di satuan kerja selain instalasi farmasi RSUP Fatmawati, seperti di SPI (Satuan Pengawas Intern), KFT (Komite Farmasi dan Terapi), ISB (Instalasi Sterilisasi dan Binatu), PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), dan ULP (Unit Layanan Pengadaan). Dalam mempersiapkan apoteker yang profesional dan siap menjalankan fungsinya dalam masyarakat, maka perlu dilakukan praktek kerja di Rumah Sakit sebagai pelatihan untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan serta dapat mempelajari segala kegiatan dan permasalahan yang ada di rumah sakit. Oleh karena itu, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 3 bekerja sama dengan RSUP Fatmawati melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah sakit bagi calon Apoteker. Kegiatan ini diharapkan dapat mempersiapakan para calon apoteker agar dapat mengenal, mengerti, dan menghayati peran dan tanggung jawab seorang apoteker di rumah sakit serta menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan dalam pekerjaan kefarmasiannya. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui gambaran umum RSUP Fatmawati 2. Mengetahui struktur dan pembagian kerja di instalasi farmasi RSUP Fatmawati 3. Mengetahui peran dan tanggung jawab apoteker dalam Peran Lintas Farmasi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Presiden Republik Indonesia, 2009c). 2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Rumah sakit bertugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna sehingga rumah sakit memiliki fungsi sebagai berikut (Presiden Republik Indonesia, 2009c) : a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya (Presiden Republik Indonesia, 2009c). 2.1.3.1 Berdasarkan Jenis Pelayanan Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus (Presiden Republik Indonesia, 2009c). 4 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 5 a. Rumah Sakit Umum Rumah Sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri dari: 1) Rumah Sakit Umum Kelas A Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain, dan 13 (tiga belas) sub spesialis. 2) Rumah Sakit Umum Kelas B Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) sub spesialis dasar. 3) Rumah Sakit Umum Kelas C Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. 4) Rumah Sakit Umum Kelas D Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar. b. Rumah Sakit Khusus Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas : 1) Rumah Sakit Khusus Kelas A Rumah Sakit Khusus Kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik sub spesialis sesuai kekhususan yang lengkap. 2) Rumah Sakit Khusus Kelas B Rumah Sakit Khusus Kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 6 mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik sub spesialis sesuai kekhususan yang terbatas. 3) Rumah Sakit Khusus Kelas C Rumah Sakit Khusus Kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. 2.1.3.2 Berdasarkan Pengelolaan Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat (Presiden Republik Indonesia, 2009c). a. Rumah Sakit Publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat. b. Rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. 2.1.4 Persyaratan Rumah Sakit Rumah sakit dapat didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau swasta. Rumah Sakit yang didirikan Pemerintah Daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit yang didirikan oleh harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan (Presiden Republik Indonesia, 2009c). a. Lokasi Rumah Sakit harus memenuhi ketentuan mengenai kesehatan, keselamatan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 7 lingkungan dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit. b. Bangunan Persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Bangunan Rumah Sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan pelatihan, ruang ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat Rumah Sakit, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, pelataran parkir yang mencukupi. c. Prasarana Prasarana harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggara Rumah Sakit Prasarana Rumah Sakit meliputi: 1) Instalasi air 2) Instalasi mekanikal dan elektrikal 3) Instalasi gas medik 4) Instalasi uap 5) Instalasi pengelolaan limbah 6) Pencegahan dan penanggulangan kebakaran 7) Petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat 8) Instalasi tata udara 9) Sistem informasi dan komunikasi 10) Ambulan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 8 d. Sumber daya manusia Rumah Sakit harus memilii tenaga tetap yang meliputi : 1) Tenaga medis dan penunjang medis 2) Tenaga keperawatan 3) Tenaga kefarmasian 4) Tenaga manajemen Rumah Sakit 5) Tenaga nonkesehatan Jumlah dan jenis sumber daya manusia harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien e. Kefarmasian Pesyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu. Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi Rumah Sakit harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah. f. Peralatan Peralatan meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai. Peralatan medis harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang. Penggunaan peralatan medis dan nonmedis di Rumah Sakit harus dilakukan sesuai dengan indikasi medis pasien. 2.1.5 Pelayanan Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Rumah Sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya pelayanan medik umum, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 9 gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat jalan, rawat inap, operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen, penyuluhan kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry, dan ambulance, pemeliharaan sarana rumah sakit, serta pengolahan limbah. 2.1.6 Kewajiban Rumah Sakit Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban (Presiden Republik Indonesia, 2009c): a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat. b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya. e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien. h. Menyelenggarakan rekam medis. i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia. j. Melaksanakan sistem rujukan. k. Menolak keinginan pesien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 10 serta peraturan perundang-undangan. l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien. m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien. n. Melaksanakan etika Rumah Sakit. o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana. p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional. q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya. r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws). s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas. t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok. 2.1.7 Pengorganisasian Rumah Sakit (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia. Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit. 2.1.8 Akreditasi Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012, setiap Rumah Sakit baru yang telah memperoleh izin operasional dan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 11 beroperasi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun wajib mengajukan permohonan Akreditasi. Akreditasi adalah pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit itu memenuhi Standar Pelayanan Rumah Sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan. Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali. Rumah Sakit wajib mengikuti Akreditasi nasional. Dalam upaya meningkatkan daya saing, Rumah Sakit dapat mengikuti Akreditasi internasional sesuai kemampuan. Akreditasi dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Penetapan status Akreditasi nasional dilakukan oleh lembaga independen pelaksana Akreditasi berdasarkan rekomendasi dari surveior Akreditasi. Akreditasi internasional hanya dapat dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang sudah terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua). 2.1.9 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Indikator pelayanan Rumah Sakit berguna untuk mengetahui tingkat pemanfaatan mutu dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Beberapa indikator pelayanan di rumah sakit antara lain (Siregar, 2004) : a. Bed Occupancy Ratio (BOR) BOR digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat tidur Rumah Sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Sedangkan angka BOR yang tinggi (lebih dari 85%) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. b. Length Of Stay (LOS) LOS digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan Rumah Sakit yang tidak dapat dilakukan sendiri tetapi harus bersamaan dengan interpretasi BTO dan TOI. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 12 c. Bed Turn Over (BTO) Bersama-sama indikator TOI dan LOS dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur Rumah Sakit. d. Turn Over Interval (TOI) Bersama-sama dengan LOS merupakan indikator tentang efisiensi penggunaan tempat tidur. Semakin besar TOI maka efisiensi penggunaan tempat tidur semakin buruk. 2.1.10 Rekam Medis Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis (Medical Records), yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan. pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik yang memadai dari setiap pasien, baik untuk pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Rekam medik harus didokumentasikan secara akurat, mudah ditelusuri kembali dan lengkap informasi. Kegunaan rekam medis ini yaitu sebagai (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008) : a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien b. Alat bukti dalam proses penegakan hokum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi, dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi c. Keperluan pendidikan dan penelitian d. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan e. Data statistik kesehatan Isi rekam medis sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis (Medical Records), yaitu : a. Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan sekurang-kurangnya memuat : 1) Identitas pasien 2) Tanggal dan waktu 3) Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 13 4) Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik 5) Diagnosis 6) Rencana penatalaksanaan 7) Pengobatan dan/atau tindakan 8) Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien 9) Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik 10) Persetujuan tindakan bila diperlukan. b. Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurangkurangnya memuat : 1) Identitas pasien 2) Tanggal dan waktu 3) Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit 4) Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik 5) Diagnosis 6) Rencana penatalaksanaan 7) Pengobatan dan/atau tindakan 8) Persetujuan tindakan bila diperlukan 9) Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan 10) Ringkasan pulang (discharge summary) 11) Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan 12) Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu 13) Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik c. Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat : 1) Identitas pasien 2) Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan 3) Identitas pengantar pasien 4) Tanggal dan waktu 5) Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit 6) Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 14 7) Diagnosis 8) Pengobatan dan/atau tindakan 9) Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut 10) Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan 11) Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan lain 12) Pelayanan lain yang tekah diberikan kepada pasien. Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurangkurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Setelah batas waktu lima tahun, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik. Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut. 2.1.11 Pusat Sterilisasi di Rumah Sakit Istilah untuk pusat sterilisasi bervariasi, mulai dari Central Steril Supply Department (CSSD), Central Service (CS), Central Supply (CS), Central Processing Department (CPD), dan lain-lain, namun kesemuanya mempunyai fungsi utama yang sama yaitu menyiapkan alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Secara lebih rinci fungsi dari pusat sterilisasi adalah menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan, menyimpan serta mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan perawatan pasien (Depkes RI, 2009). Instalasi Pusat Sterilisasi adalah unit pelayanan non struktural yang berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar/pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit. Instalasi Pusat Sterilisasi ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit sesuai kebutuhan rumah sakit. Instalasi Pusat Sterilisasi dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan rumah sakit. Kepala Instalasi Pusat Sterilisasi dalam melaksanakan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 15 tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga fungsional dan atau non medis (Depkes RI, 2009). 2.1.11.1 Tujuan Pusat Sterilisasi (Depkes RI, 2009) a. Membantu unit lain di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, untuk mencegah terjadinya infeksi. b. Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mecegah serta menanggulangi infeksi nosokomial. c. Efisiensi tenaga medis/paramedis untuk kegiatan yang berorientasi pada pelayanan terhadap pasien. d. Menyediakan dan menjamin kualits sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan. 2.1.11.2 Tugas Instalasi Pusat Sterilisasi (Depkes RI, 2009) Tugas utama pusat sterilisasi adalah : a. Menyiapakan peralatan medis untuk perawatan pasien. b. Melakukan proses sterilisasi alat/bahan. c. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi, maupun ruangan lainnya. d. Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu. e. Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan perawatan pasien. f. Mempertahankan standar yang telah ditetapkan. g. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu. h. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. i. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sterilisasi. j. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi pusat sterilisasi baik yang bersifat intern maupun ektern. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 16 k. Mengevaluasi hasil sterilisasi. 2.1.12 Limbah Rumah Sakit Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004, limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas. Limbah cair artinya semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikrooganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan. Limbah Gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insenerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat Sitotoksik. Limbah padat adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan limbah padat non medis. Limbah medis padat adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Limbah medis padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi. Limbah padat non medis artinya limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat di manfaatkan kembali apabila ada teknologinya. Limbah padat non medis meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkaitan dengan cairan tubuh. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah medis padat dan ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah medis non padat (Depkes RI, 2004) 2.2 Instalasi Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau unit di suatu Rumah Sakit yang berada di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundangundangan yang berlaku dan kompeten secara profesional. IFRS juga merupakan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 17 tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan, pengendalian mutu, pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di Rumah Sakit, serta pelayanan farmasi klinik yang mencakup layanan langsung pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Siregar, 2004). Instalasi farmasi menjalankan sistem pelayanan satu pintu. Yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah bahwa rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan, pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. 2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Farmasi Rumah Sakit Tugas pokok dan fungsi farmasi rumah sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah: a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi c. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) d. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi e. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi g. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi h. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit Fungsi farmasi rumah sakit yang tertera pada Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit adalah sebagai berikut : Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 18 a. Pengelolaan Perbekalan Farmasi b. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan 2.2.2 Bagan Organisasi Bagan organisasi adalah bagan yang menggambarkan pembagian tugas, koordinasi, kewenangan dan fungsi. Bagan organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan perbekalan, pelayanan farmasi klinik, manajemen mutu, selalu harus dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai harapan pelanggan (Depkes RI, 2004). 2.2.3 Analisa Kebutuhan Tenaga di Instalasi Farmasi (Depkes RI, 2004) 2.2.3.1 Jenis Ketenagakerjaan a. Untuk pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga apoteker, sarjana farmasi, dan asisten apoteker (AMF, SMF) b. Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga operator komputer/ teknisi yang memahami kefarmasian dan tenaga administrasi c. Pembantu pelaksana 2.2.3.2 Beban Kerja Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor - faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu: a. Kapasitas tempat tidur dan BOR (Bed Occupation Rate) b. Jumlah resep atau formulir per hari c. Volume perbekalan farmasi d. Idealnya 30 tempat tidur = 1 Apoteker (untuk pelayanan kefarmasian) untuk rawat inap 2.2.3.3 Jenis Pelayanan a. Pelayanan IGD (Instalasi Gawat Darurat) b. Pelayanan rawat inap intensif c. Pelayanan rawat inap d. Pelayanan rawat jalan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 19 e. Penyimpanan dan pendistribusian f. Produksi obat 2.2.4 Pelayanan Farmasi Rumah Sakit (Depkes RI, 2004) Secara umum pelayanan farmasi rumah sakit memiliki dua fungsi, yaitu pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. Fungsi dalam pengelolaan perbekalan farmasi terdiri dari: a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan. b. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. c. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku. d. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. e. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. f. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian. g. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit. Sedangkan fungsi pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan terdiri dari: a. Mengkaji instruksi pengobatan / resep pasien. b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan. c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan. d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan. e. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan serta pasien atau keluarga pasien. f. Memberi konseling kepada pasien. g. Melakukan IV admixture. h. Melakukan penanganan obat kanker. i. Melakukan penentuan kadar obat dalam darah. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 20 j. Melakukan pencatatan setiap kegiatan. k. Melaporkan setiap kegiatan. 2.2.5 Pengelolaan Perbekalan Farmasi (Depkes RI, 2004) Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. 2.2.5.1 Pemilihan (Depkes RI, 2004) Pemilihan merupakan proses identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan purna transaksi pembelian. 2.2.5.2 Perencanaan (Depkes RI, 2004) Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode antara lain metode konsumsi, metode morbiditas atau epidemiologi, dan metode kombinasi konsumsi dan mobirditas. Metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. 2.2.5.3 Pengadaan (Depkes RI, 2004) Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian, produksi / pembuatan sediaan farmasi, maupun sumbangan / droping / hibah. 2.2.5.4 Produksi (Depkes RI, 2004) Produksi merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk, dan mengemas Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 21 kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi adalah : a. Sediaan farmasi dengan formula khusus b. Sediaan farmasi dengan harga murah c. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran e. Sediaan farmasi untuk penelitian f. Sediaan nutrisi parenteral g. Rekonstitusi sediaan obat kanker 2.2.5.5 Penerimaan (Depkes RI, 2004) Penerimaan merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi : a. Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa. b. Barang harus bersumber dari distributor utama. c. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS). d. Khusus untuk alat kesehatan / kedokteran harus mempunyai certificate of origin. e. Expire date minimal 2 tahun 2.2.5.6 Penyimpanan (Depkes RI, 2004) Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan dan disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. 2.2.5.7 Pendistribusian (Depkes RI, 2004) Pendistribusian merupakan kegiatan menyalurkan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medik. Peranan Apoteker dalam distribusi obat ialah dalam hal pemeriksaan kelengkapan resep dan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 22 menganalisa resep yang menyangkut tentang 7 tepat yaitu, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat rute penggunaan obat, tepat waktu penggunaan obat, tepat penyimpanan obat, dan tepat dalam memberikan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan maupun pasien. Sistem distribusi obat dibagi menjadi tiga sistem yaitu : a. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi) Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu Instalasi Farmasi. Pada sentralisasi seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai, baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari Instalasi Farmasi tersebut. b. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi) Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan atau pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi atau satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi. c. Sistem kombinasi sentralisasi dan desentralisasi Sistem kombinasi sentralisasi dan desentralisasi terdiri atas : 1) Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis, dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi. 2) Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh Apotek rumah sakit. 3) Pendistribusian perbekalan farmasi di luar jam kerja Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 23 Pendistibusian perbekalan farmasi di luar jam kerja merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh Apotek rumah sakit / satelit farmasi yang dibuka 24 jam adalah ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi. 2.2.6 Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan Pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan perilaku apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya. Kegiatan yang dilakukan antara lain (Depkes RI, 2004) : a. Pengkajian resep Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari skrining resep yang meliputi seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. b. Dispensing Dispensing merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan / meracik obat, memberikan label / etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi. c. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat Pemantauan dan pelaporan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada pasien untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. d. Pelayanan informasi obat Pelayanan informasi obat merupakan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. e. Konseling Konseling merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 24 dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. f. Pemantauan kadar obat dalam darah Pemantauan kadar obat dalam darah dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena obat tersebut memiliki indeks terapi yang sempit. g. Ronde / visite Ronde / visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. h. Pengkajian penggunaan obat Pengkajian pengguanaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien. 2.3 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi Rumah Sakit (Depkes RI, 2004) 2.3.1 Panitia Farmasi dan Terapi Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dibentuknya Panitia Farmasi dan Terapi yaitu untuk : a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medik dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi - spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.Susunan kepanitian Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 25 dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat : a. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada. b. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. c. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi. d. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat. e. Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat. Salah satu fungsi Panitia Farmasi dan Terapi adalah mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Formularium adalah himpunan obat yang diterima / disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi setiap 1 tahun sekali. Komposisi formularium berisi halaman judul, daftar nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi, daftar isi, informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, produk obat yang diterima untuk digunakan dan lampiran. Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. Peran apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini. Agar dapat mengemban tugasnya Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 26 secara baik dan benar, para apoteker harus secara mendasar dan mendalam dibekali dengan ilmu-ilmu farmakologi, farmakologi klinik, farmakoepidemologi, dan farmakoekonomi disamping ilmu-ilmu lain yang sangat dibutuhkan untuk memperlancar hubungan profesionalnya dengan para petugas kesehatan lain di rumah sakit. Tugas Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi yaitu: a. Menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris) b. Menetapkan jadwal pertemuan c. Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan d. Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam pertemuan e. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada pimpinan rumah sakit f. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada seluruh pihak yang terkait g. Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan h. Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain i. Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia Farmasi dan Terapi j. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan k. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat l. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat pada pihak terkait. 2.3.1.1 Sistem Formularium (Depkes RI, 2004) Sistem formularium adalah suatu metode yang digunakan staf medik dari suatu rumah sakit yang bekerja melalui PFT, mengevaluasi, menilai dan memilih dari berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia, serta dianggap paling berguna dalam perawatan pasien. Sistem formularium merupakan sarana penting dalam memastikan mutu penggunaan obat dan pengendalian harganya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Formularium adalah dokumen berisi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 27 kumpulan produk obat yang dipilih PFT disertai informasi tambahan penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan prosedur berkaitan obat yang relevan untuk rumah sakit tersebut, yang terus-menerus direvisi agar selalu akomodatif bagi kepentingan pasien dan staf professional pelayanan kesehatan, berdasarkan data konsumtif dan data morbiditas serta pertimbangan klinik staf medik rumah sakit tersebut. Formularium rumah sakit berisi antara lain: halaman judul, daftar nama anggota PFT, daftar isi, informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, produk obat yang diterima untuk digunakan, dan lampiran. Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak PFT mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Sistem formularium dapat memberikan pedoman kepada dokter, apoteker, perawat dan petugas administrasi di rumah sakit, yang meliputi : a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi. b. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap instalasi. c. Staf medis harus menerima kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi. d. Nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik. e. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi farmasi. f. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama, seperti : 1) Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan nama obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 28 2) Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat pasien tertentu harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi. 3) Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan untuk mendiagnosa dan mengobati pasien. 2.3.2 Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (Depkes RI, 2004) Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit adalah organisasi yang terdiri dari staf medik, apoteker yang mewakili farmasi rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya. Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit ini memiliki tujuan untuk : a. Menunjang pembuatan pedoman pencegahan infeksi. b. Memberikan informasi untuk menetapkan disinfektan yang akan digunakan di rumah sakit. c. Melaksanakan pendidikan tentang pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit. d. Melaksanakan penelitian surveilans infeksi nosokomial rumah sakit. 2.3.3 Panitia Lain yang Terkait dengan Tugas Farmasi Rumah Sakit (Depkes RI, 2004) Apoteker juga berperan dalam tim / panitia yang menyangkut dengan pengobatan antara lain : a. Panitia mutu pelayanan kesehatan rumah sakit b. Tim perawatan paliatif dan bebas nyeri c. Tim penanggulangan AIDS d. Tim transplantasi e. Tim PKMRS, dan lain - lain. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS 3.1 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati 3.1.1 Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (Rumah Sakut Umum Pusat Fatmawati, 2014) Pendirian Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati bermula dari gagasan Ibu Fatmawati Soekarno untuk mendirikan rumah sakit tuberkulose anak yang dikhususkan untuk penderita TBC anak dan rehabilitasinya. Dana yang dihimpun oleh Yayasan Ibu Soekarno dan bantuan dari Yayasan Dana Bantuan Kementerian Sosial RI dilaksanakan pembangunan Gedung Rumah Sakit Ibu Soekarno. Pada tanggal 15 April 1961, status dan fungsi rumah sakit tersebut berubah menjadi rumah sakit umum dan penyelenggaraan serta pembiayaannya diserahkan kepada Departemen Kesehatan RI sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Rumah Sakit Ibu Soekarno. Pada tanggal 20 Mei 1967, nama RSU Ibu Soekarno diganti menjadi RSU Fatmawati. Selanjutnya, pada tahun 1984 RSU Fatmawati ditetapkan sebagai pusat rujukan wilayah Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum (RSU) Kelas B Pendidikan. Rumah Sakit Fatmawati ditetapkan sebagai Rumah Sakit Unit Swadana Bersyarat pada tahun 1992 dan dua tahun berikutnya yakni tahun 1994 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Unit Swadana Tanpa Syarat. Pada tahun 1997 sesuai dengan diberlakukannya UU No. 27 Tahun 1997, rumah sakit mengalami perubahan kebijakan dari swadana menjadi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), selanjutnya pada tahun 2000 Rumah Sakit Fatmawati ditetapkan sebagai RS perusahaan jawatan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 117 tahun 2000 tentang Pendirian Perusahaan Jawatan RSUP Fatmawati Jakarta. Pada tanggal 11 Agustus 2005 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1243/MENKES/SK/VIII/2005, RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU). Penilaian Tim Akreditasi Rumah Sakit pada tahun 1997, RS Fatmawati memperoleh Status 29 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 30 Akreditasi Penuh untuk 5 pelayanan. Pada tahun 2002, RSUP Fatmawati memperoleh status Akreditasi Penuh Tingkat Lanjut untuk 12 pelayanan. Pada tahun 2004, RSUP Fatmawati terakreditasi 16 Pelayanan dan pada tahun 2007 memperoleh status Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap 16 Pelayanan. RSUP Fatmawati pada tanggal 2 Mei 2008 ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI sebagai Rumah Sakit Umum dengan pelayanan Unggulan Orthopedi dan Rehabilitasi Medik sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/SK/V/2008. Pada tahun 2010 RSUP Fatmawati tercatat menjadi Rumah Sakit A Pendidikan dan mendapat Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap 16 Pelayanan (Paripurna). Pada tahun 2011, RSUP Fatmawati telah menyandang sertifikat Terakreditasi ISO 9001 : 2008 dan OHSAS 18001 : 2007 dan pada akhir tahun 2013 RSUP Fatmawati berhasil mendapatkan akreditasi paripurna dari KARS dan terakreditasi JCI (Joint Commission International). 3.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi RSUP Fatmawati 3.1.2.1 Tugas Pokok RSUP Fatmawati RSUP Fatmawati Jakarta mempunyai tugas pokok menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, dan berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan dan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penelitian (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012). 3.1.2.2 Fungsi RSUP Fatmawati Fungsi RSUP Fatmawati adalah menyelenggarakan (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) : a. Pelayanan medis b. Pelayanan penunjang medis dan non medis c. Pelayanan dan asuhan keperawatan d. Pengelolaan sumber daya manusia rumah sakit e. Pelayanan rujukan f. Pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 31 g. Penelitian dan pengembangan h. Administrasi umum dan keuangan 3.1.3 Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati memiliki visi terdepan, paripurna dan terpercaya di Indonesia. Menurut Keputusan Direktur Utama RSUP Fatmawati Nomor : HK.03.05/II.1/2468/2012 tentang organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, yang dimaksud dengan terdepan, paripurna, dan terpercaya di Indonesia ialah rumah sakit pelopor yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian dengan : a. Terdepan karena ketersediaan sumber daya yang lengkap. b. Paripurna karena memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan pelayanan berkesinambungan (continuum of care) serta tuntas. c. Terpercaya karena senantiasa mengikuti kaidah - kaidah IPTEK terkini. d. Menjangkau seluruh lapisan masyarakat. e. Berorientasi kepada para pelanggan. Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati memiliki misi: a. Memfasilitasi dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian di seluruh disiplin ilmu, dengan unggulan bidang orthopaedi dan rehabilitasi medik, yang memenuhi kaidah manajemen resiko klinis. b. Mengupayakan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. c. Mengelola keuangan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel serta berdaya saing tinggi. d. Meningkatkan sarana dan prasarana sesuai perkembangan IPTEK terkini. e. Meningkatkan kompetensi, pemberdayaan dan kesejahteraan sumber daya manusia. 3.1.4 Motto dan Falsafah (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Motto RSUP Fatmawati adalah “Percayakan Pada Kami”. Sedangkan falsafah yang dianut sebagai pegangan dalam menjalankan organisasi adalah : a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 32 b. Menjunjung tinggi kehidupan dan nilai - nilai luhur kemanusiaan c. Menghargai pentingnya persatuan dan kerjasama d. Menjunjung keseimbangan dan kelestarian lingkungan e. Kebersamaan dalam kemajuan dan kesejahteraan 3.1.5 Nilai (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Nilai yang diterapkan di RSUP Fatmawati adalah jujur, profesional, komunikatif dan ikhlas, serta peduli dalam melaksanakan tugas. a. Jujur Menerapkan transparansi dalam melaksanakan tugas. b. Profesional Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan, dan peka budaya). c. Komunikatif Mampu melaksanakan hubungan interpersonal yang asertif dan responsif. d. Ikhlas Selalu memegang teguh ketulusan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. e. Peduli Selalu tanggap terhadap kebutuhan pelanggan. 3.1.6 Tujuan (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Tujuan RSUP Fatmawati adalah : a. Terwujudnya pelayanan kesehatan prima dan paripurna yang memenuhi kaidah keselamatan pasien (patient safety). b. Terwujudnya pelayanan rumah sakit yang bermutu tinggi dengan tarif yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. c. Mewujudkan pengembangan berkesinambungan dan akuntabilitas bagi pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian. d. Terwujudnya SDM yang profesional dan berorientasi kepada pelayanan pelanggan. e. Terwujudnya kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh sumber Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 33 daya manusia rumah sakit. 3.1.7 Struktur Organisasi RSUP Fatmawati Susunan organisasi RSUP Fatmawati terdiri dari (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) : 1. Dewan Pengawas. 2. Direktur Utama membawahi : a. Direktur Medik dan Keperawatan b. Direktur Umum, Sumber Daya Manusia Dan Pendidikan c. Direktur Keuangan Bagan struktur organisasi RSUP Fatmawati dalat dilihat di lampiran 1. 3.2 Instalasi Farmasi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati merupakan satuan kerja (satker) di RSUP Fatmawati yang menjalankan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Instalasi Farmasi berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Fatmawati. Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang kepala dengan sebutan Kepala Instalasi Farmasi dan dibantu oleh 3 koordinator yaitu Koordinator Pelayanan Farmasi, Koordinator Perbekalan Farmasi dan Koordinator Penunjang dan Administrasi Umum. Instalasi Farmasi mempunyai struktur organisasi sebagaimana tercantum dalam lampiran 2 (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012). 3.2.1 Visi dan Misi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Visi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati adalah “Terdepan, Paripurna, Terpercaya dalam Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian di Indonesia” sedangkan Misi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati adalah : 1) Melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. 2) Mengupayakan pencapaian rasionalisasi penggunaan obat di RSUP Fatmawati. 3) Menjalankan pengelolaan perbekalan farmasi rumah sakit secara efektif dan efisien. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 34 4) Meningkatkan dan mengembangkan pelayanan farmasi terutama bidang orthopedi dan rehabilitasi medik. 3.2.2 Tugas Pokok Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati mempunyai tugas pokok sebagai berikut (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) : 1) Menjalankan pelayanan kefarmasian di RSUP Fatmawati. 2) Menjalankan pengelolaan perbekalan farmasi dengan kegiatan perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusian perbekalan farmasi di RSUP Fatmawati. 3) Menjalankan integrasi dan sinkronisasi terkait dengan pelaksanaan tugas pelayanan dan pengelolaan perbekalan farmasi di RSUP Fatmawati. 4) Turut serta menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan kefarmasian di RSUP Fatmawati. 5) Melaksanakan kegiatan penelitian dan ikut serta dalam uji klinik obat. 6) Turut serta menyelenggarakan pembinaan etika dan pengembangan profesi kefarmasian. 7) Melaksanakan manajemen pengelolaan perbekalan farmasi. 8) Melaksanakan pelayanan kefarmasian pada pasien berdasarkan Asuhan Kefarmasian (pharmaceutical care) guna tercapainya standarisasi pelayanan kefarmasian di RSUP Fatmawati. 9) Menyusun anggaran belanja Instalasi Farmasi terkait dengan kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan penelitian dalam bidang kefarmasian di RSUP Fatmawati. 10) Pengelolaan resep dan perbekalan farmasi yang kadaluarsa, rusak dan mutu tidak memenuhi standar serta pemusnahannya dilaksanakan sesuai dengan prosedur/ketentuan yang berlaku. 11) Instalasi Farmasi melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulan, semesteran, atau tahunan dengan menerapkan sistem informasi manajemen berdaya guna dan tepat guna. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 35 12) Penyusunan standarisasi kualifikasi sumber daya manusia (SDM) Instalasi Farmasi dalam melaksanakan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian kefarmasian di RSUP Fatmawati. 13) Melaksanakan standarisasi kemampuan SDM Instalasi Farmasi terkait dengan kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan dan penelitian kefarmasian di RSUP Fatmawati. 14) Melaksanakan program orientasi pegawai baru. 15) Melaksanakan pengembangan kompetensi SDM melalui program pendidikan berkelanjutan, pelatihan, dan pertemuan ilmiah secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan bagi pegawai instalasi farmasi. 16) Melaksanakan program pendidikan kefarmasian baik internal maupun eksternal. 17) Melaksanakan program pelatihan kefarmasian baik internal maupun eksternal. 18) Evaluasi kinerja pegawai Instalasi Farmasi dilaksanakan secara berkala sesuai dengan ketentuan. 19) Melaksanakan monitoring dan evaluasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi dan farmasi klinik yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. 20) Program peningkatan dan pengawasan mutu, pengendalian perbekalan farmasi, serta evaluasi mutu pelayanan farmasi dilaksanakan secara berkala. 21) Instalasi Farmasi menyelenggarakan rapat pertemuan berkala secara rutin untuk membicarakan masalah-masalah dalam peningkatan pelayanan farmasi. 22) Terlibat dalam pelaksanaan uji klinik perbekalan farmasi di Rumah Sakit. 23) Menyusun anggota tim pelaksana uji klinik obat di RSUP Fatmawati. 24) Melaksanakan program penelitian kefarmasian baik dari aspek manajemen maupun klinik sejalan dengan perkembangan ilmu kefarmasian. 25) Melaksanakan pendidikan dan penelitian bagi mahasiswa farmasi tingkat Diploma III (D3), Sarjana (S1), Profesi Apoteker dan Magister (S2). 26) Menyusun usulan tarif jasa pelayanan farmasi di RSUP Fatmawati. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 36 27) Melakukan kegiatan penyebaran informasi terkait dengan obat baik melalui media cetak (leaflet, bulletin, brosur, dan lain-lain) melalui media Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) kepada sejawat, tenaga kesehatan dan masyarakat. 28) Turut serta dan aktif terlibat dalam keanggotaan tim khusus terkait dengan terapi dan pengobatan pasien di RSUP Fatmawati. 29) Turut serta dan aktif terlibat dalam Panitia Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) yang ada di RSUP Fatmawati. 30) Turut serta dan aktif terlibat dalam keanggotaan Komite Farmasi dan Terapi di RSUP Fatmawati. 31) Turut serta dan aktif terlibat dalam perumusan dan pembuatan MOU Ikatan Kerja Sama (IKS) dalam bidang pendidikan dan penelitian kefarmasian di RSUP Fatmawati. 32) Turut serta dan aktif terlibat dalam keanggotaan organisasi profesi kefarmasian guna peningkatan kompetensi dan pengembangan keilmuan dalam bidang kefarmasian di RSUP Fatmawati. 3.2.3 Fungsi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati mempunyai fungsi sebagai berikut (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) : 1) Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian dan manajemen pengelolaan perbekalan farmasi di RSUP Fatmawati dengan pihak-pihak terkait. 2) Melaksanakan pengawasan mutu pelayanan kefarmasian di RSUP Fatmawati. 3) Turut serta dalam pengembangan pelayanan kefarmasian di RSUP Fatmawati berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. 4) Menetapkan indikator pencapaian kinerja dan pelaksanaan evaluasi serta tidak lanjut terkait dengan pelayanan dan pengelolaan perbekalan farmasi di RSUP Farmasi. 5) Menjamin pelayanan farmasi rumah sakit yang professional dan bertanggung jawab atas semua penggunaan perbekalan farmasi di rumah sakit. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 37 6) Mewujudkan kerasionalan pengobatan yang berorientasi kepada pasien. 7) Mewujudkan farmasi rumah sakit sebagai pusat informasi obat bagi seluruh masyarakat rumah sakit. 8) Meningkatkan peran Instalasi Farmasi sebagai bagian integral dari Tim Pelayanan Kesehatan untuk mewujudkan manfaat yang maksimal dari pelayanan farmasi. 9) Ikut menjamin keamanan dan keselamatan kerja seluruh staf rumah sakit, masyarakat, serta lingkungan. 10) Meningkatkan kemampuan tenaga kefarmasian melalui pendidikan dan pelatihan. 11) Menjamin pelayanan bermutu melalui pemantauan analisa dan evaluasi pelayanan. 12) Mengadakan penelitian dan peningkatan metode di bidang farmasi. 3.3 Ruang Lingkup Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati 3.3.1 Penunjang dan Administrasi Umum 3.3.1.1 Tata Usaha IFRS (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Tata usaha IFRS merupakan suatu unit kerja di lingkungan Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati yang melakukan kegiatan administrasi, penyusunan program, dan pelaporan. Tata usaha berada di bawah Koordinator Penunjang dan Administrasi Umum. Terdapat 2 penyelia di Tata Usaha Farmasi, yaitu Penyelia Pencatatan dan Pelaporan serta Penyelia Tata Usaha (TU) dan SDM Farmasi. Kegiatan yang dilakukan oleh bagian tata usaha IFRS RSUP Fatmawati, yaitu : a. Membukukan surat masuk dan surat keluar 1) Surat Masuk Setiap surat yang masuk akan diterima oleh petugas tata usaha, kemudian diberi nomor urut surat masuk yang kemudian akan disampaikan kepada Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati untuk diketahui dan diparaf. Selanjutnya surat tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan untuk diproses. Surat yang telah diproses akan di arsipkan. 2) Surat Keluar Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 38 Setiap Surat dari Instalasi Farmasi yang akan dikirim keluar RSUP Fatmawati harus melalui tata usaha dan ditandatangani oleh Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. Surat yang akan dikirim dibuat rangkap dua, yaitu satu untuk dikirim dan satu untuk arsip. Pengiriman surat untuk ekstern rumah sakit melalui Sub Bagian Tata Usaha Rumah Sakit. b. Membuat laporan di Instalasi Farmasi Laporan-laporan yang dibuat oleh Penyelia Pelaporan Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati adalah laporan yang dibuat setiap bulan dan setiap akhir tahun. Laporan yang dibuat setiap bulan sebelum tanggal 20 (kecuali laporan penggunaan narkotika dibuat sebelum tanggal 10) meliputi : 1) Laporan Keuangan dan Laporan Pengeluaran Barang Farmasi. Data laporan keuangan dan laporan pengeluaran barang farmasi diambil dari jumlah permintaan atau pemakaian Barang Farmasi (Formulir Permintaan Barang) oleh ruang/ unit/ instalasi/ poliklinik. 2) Laporan Narkotika. Data laporan narkotika diperoleh dari jumlah pemasukan dan pengeluaran narkotika oleh Gudang Farmasi dan Depo-depo Farmasi. Laporan kemudian dikirim ke Pelaporan Rumah Sakit untuk diproses selanjutnya. Kemudian dikirim ke Dinas Kesehatan Kota Jakarta, tembusan ke Balai POM Jakarta, Penanggung Jawab Narkotika RSUP Fatmawati, dan sebagai arsip. 3) Laporan Generik dan Non Generik. Data laporan generik dan non generik diperoleh dari jumlah penulisan resep-resep generik dan non generik oleh: Gudang Farmasi, Depo IGD, Depo Rawat Jalan dan Depo Askes, Depo Teratai, dan Depo IBS. 4) Laporan Tagihan Depo Farmasi. Data laporan tagihan depo farmasi diperoleh dari jumlah perincian penggunaan obat oleh pasien dari Depo-depo Farmasi. 5) Laporan Kegiatan. Data laporan kegiatan diperoleh dari penjumlahan lembar resep dan jumlah resep dari Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap. 6) Laporan Pemakaian Kas Kecil Instalasi Farmasi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 39 Data laporan pemakaian kas kecil instalasi farmasi diperoleh dari data kwitansi dan faktur pembelian perbekalan farmasi. Laporan yang dibuat setiap akhir tahun meliputi laporan Psikotropika dan laporan stok opname barang farmasi setiap bulan. Semua laporan dibuat rangkap 2 (dua). Pengiriman laporan pemakaian obat narkotika dan psikotropika dilakukan ke Bagian Umum RSUP Fatmawati untuk dibuatkan surat pengantar yang ditandatangani oleh Direktur Medik dan Keperawatan, lalu dikirim ke Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, 1 (satu) berkas untuk arsip. Pengiriman laporan keuangan, laporan pengeluaran perbekalan farmasi per depo farmasi, laporan pemantauan penulisan obat generik dan non generik, laporan tagihan obat pasien per depo farmasi, dan laporan kegiatan instalasi farmasi ditujukan kepada Direktur Medik dan Keperawatan dan Kepala Instalasi Rekam Medik dan Informasi Kesehatan dan 1 (satu) berkas untuk arsip. c. Menyimpan arsip IFRS Pemisahan arsip di Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati didasarkan atas: 1) Arsip surat masuk/ surat keluar/ SK Direktur RSUP Fatmawati/ SK Kemenkes. 2) Arsip Kepegawaian terdiri dari map masing-masing pegawai Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. 3) Arsip laporan - laporan. 4) Arsip resep rawat jalan dan rawat inap. 5) Arsip catatan kehadiran pegawai (absensi) di Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. 6) Arsip catatan lembur pegawai Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. 7) Arsip catatan rekapitulasi rencana pengadaan bulanan. 8) Arsip rekapitulasi rencana pengadaan bulanan. Setiap kelompok arsip tersebut disimpan terpisah satu dengan lainnya, disimpan perbulan, dan diurutkan dari tanggal termuda. Penyimpanan resep-resp 3 bulan terakhir disimpan di masing-masing depo farmasi untuk memudahkan pencarian apabila diperlukan. Setiap tahun, bagian tata usaha IFRS RSUP Fatmawati akan melakukan pemusnahan terhadap laporan-laporan dan resep-resep Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 40 yang berumur lebih dari 3 tahun dan juga pemusnahan terhadap surat masuk dan surat keluar yang berumur 5 tahun. 3.3.1.2 Sistem Informasi Farmasi (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Sistem Informasi Farmasi adalah sistem komputerisasi manajemen pengelolaan persediaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi rumah sakit. Sistem informasi terdiri dari aplikasi referensi, setting, katalog, tarif, pengadaan, mutasi, distribusi, dan pelaporan. Tujuan sistem informasi farmasi ini adalah agar seluruh data transaksi perbekalan farmasi yang telah diberikan pada pasien tercatat juga dalam data transaksi dalam sistem informasi rumah sakit (SIRS). Sistem informasi farmasi ditanggungjawabkan kepada seorang penyelia yang berkoordinasi dengan Kepala Instalasi dalam melakukan kegiatan di instalasi farmasi terkait dengan : a. Entri pada aplikasi pengadaan, mutasi, distribusi, referensi, tarif, katalog, dan pelaporan b. Entri data penyimpanan dan verifikasi pada aplikasi mutasi, distribusi, referensi, tarif, katalog, dan pelaporan c. Perubahan data yang telah diverifikasi pada aplikasi pengadaan, mutasi, distribusi, referensi, tarif, dan katalog Apoteker dan penyelia Instalasi Farmasi, berkoordinasi dengan penyelia sistem informasi farmasi dalam melakukan kegiatan di bagian (depo dan gudang farmasi), masing-masing : a. Entri pada pengadaan, mutasi, dan distribusi b. Melakukan entri data penyimpanan dan verifikasi pada aplikasi distribusi, mutasi, dan pengadaan c. Melakukan perubahan data yang telah diverifikasi pada aplikasi pengadaan, mutasi, dan distribusi. Tenaga teknis kefarmasian dan petugas administrasi (entri data) berkoordinasi dengan penyelia terkait di masing-masing bagian (depo dan gudang farmasi) dalam melakukan : a. Melakukan entri pada aplikasi pengadaan, mutasi, dan distribusi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 41 b. Melakukan penyimpanan dan verifikasi pada aplikasi distribusi. Alur hak akses sistem informasi farmasi dapat dilihat pada lampiran 3. 3.3.2 Perbekalan Farmasi (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Koordinator perbekalan farmasi membawahi penyelia gudang farmasi, penyelia perencanaan, penyelia distribusi, penyelia produksi farmasi, penyelia IBS, dan penyelia gudang farmasi teratai. 3.3.2.1 Gudang Farmasi (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Gudang adalah bangunan yang dipergunakan untuk menyimpan suatu barang. Penyimpanan di gudang dilakukan berdasarkan kondisi dan stabilitasnya menjadi kelompok sediaan, gas, cairan, injeksi, tablet/kapsul, suppositoria, salep, bahan baku, reagensia, sirup, B3, narkotika, high alert, alkes, pembalut dengan memperhatikan karakteristik suhu penyimpanan seharusnya dari setiap item barang, kategori High Alert dan LASA. Di gudang farmasi RSUP Fatmawati terdapat 3 orang penyelia, yaitu penyelia gudang farmasi, penyelia perencanaan perbekalan farmasi, dan penyelia penerimaan dan distribusi. Fungsi gudang farmasi RSUP Fatmawati antara lain perencanaan dan pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pelaporan perbekalan farmasi. a. Perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan dalam penentuan jumlah dan harga perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia, dengan menggunakan dasar - dasar perencanaan dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain metode konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi. Perencanaan dibuat paling lambat tanggal 15 pada bulan berjalan untuk memenuhi kebutuhan bulan berikutnya. Hal ini agar pemesanan dapat dilakukan sesuai jadwal, yaitu dua kali dalam sebulan. Di RSUP Fatmawati, perencanaan kebutuhan bulanan dibuat menggunakan gabungan metode konsumsi dan epidemiologi. Analisa yang digunakan berupa analisa pembelian dan penjualan perbekalan farmasi, yaitu dengan melihat rata-rata pemakaian tiga bulan sebelumnya, terutama satu bulan sebelumnya. Selain itu, dilakukan juga analisa peningkatan atau penurunan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 42 pemakaian perbekalan farmasi dengan melakukan pengecekan ke masingmasing depo, melihat tren pemakaian perbekalan farmasi untuk cross check data perencanaan, dan menyerap informasi khusus dari depo-depo. Perencanaan yang dibuat adalah perencanaan obat, alkes habis pakai, gas medis, reagen, bahan baku, dan bahan untuk radiologi seperti film rontgen. Kesemua perencanaan yang dibuat merujuk pada Formularium Nasional (FORNAS) dan Formularium perencanaan kebutuhan RSUP tersebut Fatmawati. dilakukan Untuk kegiatan merealisasikan pengadaan melalui pembelian, baik secara E-catalogue maupun lelang, produksi/pembuatan sediaan farmasi, dan juga sumbangan / dropping / hibah. Tujuan perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi adalah : 1) Tersedianya pedoman perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi di rumah sakit 2) Tersedianya perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan, pola penyakit, dan jenis pelayanan dirumah sakit 3) Tersedianya perbekalan farmasi tepat waktu, jumlah yang benar, harga yang terjangkau, dan mutu terjamin Perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi yang telah dibuat oleh gudang diajukan kepada Kepala Instalasi Farmasi untuk diminta persetujuannya dan ditandatangani. Perencanaan dari Instalasi Farmasi dikirimkan ke Direktur Medik dan Keperawatan, yang selanjutnya dikirimkan ke Direktur Keuangan. Direktur Keuangan mengirimkan ke Bagian Anggaran dan dikirim kembali ke Direktur Keuangan. Direktur Keuangan selanjutnya mengirimkan ke Direktur Utama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Setelah mendapat persetujuan pengadaan, dokumen perencanaan disampaikan ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPK akan mengirimkan ke Sekretariat PPK untuk dibuatkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS dikirimkan kembali ke PPK dan dikirim ke Direktur Keuangan, yang selanjutnya dikirim ke Bagian Anggaran untuk disetujui dan dikirim kembali ke Direktur Keuangan. Oleh Direktur Keuangan, HPS akan dikirimkan ke PPK. Bila perencanaan di bawah 200 juta, maka diberikan kepada Pejabat Pengadaan barang Medik untuk dilakukan pemilihan harga. Bila perencanaan di atas 200 juta, maka harus ke ULP (Unit Layanan Pengadaan) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 43 untuk dilakukan lelang secara LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Sekretariat PPK akan membuatkan Surat Pesanan (SP) untuk perencanaan di bawah 50 juta, atau membuatkan Surat Permintaan Penawaran Harga (SPPH) untuk perencanaan antara 50 juta sampai 200 juta, dan mengirimkan ke distributor terkait untuk dilakukan negosiasi. Setelah kesepakatan negosiasi dicapai, dilakukan penandatangan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak PPM dan Kacab dari distributor serta dibuat Berita Acara Negosiasi. Selanjutnya, dikeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang juga ditandatangi kedua pihak tersebut. Dengan adanya SPK, maka proses pengadaan barang akan segera berjalan. Alur perencanaan pengadaan perbekalan farmasi dapat dilihat pada lampiran 4. Perencanaan dan pengadaan obat cito hampir sama dengan alur biasa. Bedanya adalah sumber dana yang digunakan berasal dari kas kecil Pejabat Pengadaan barang Medik yang diperoleh dengan membuat disposisi meminta persetujuan Direktur Medik dan Keperawatan, sedangkan bila di luar jam kerja dapat menggunakan kas kecil Duty Manager. Pembelian dapat dilakukan melalui distributor, apotek rekanan, ataupun rumah sakit lain. Alur perencanaan pengadaan perbekalan farmasi cito dapat dilihat pada lampiran 5. Syarat pengadaan kebutuhan cito antara lain : 1) Perbekalan Farmasi Masuk dalam Formularium RSF 2) Perbekalan Farmasi dapat di Bayar Tunai atau diklaim ke Penjamin (BPJS) 3) Merupakan obat live saving, namun tidak tersedia alternatif pengganti di RSUP Fatmawati 4) Alasan CITO dapat dibenarkan secara klinis dan EBM berdasarkan Kajian dari tim. 5) Mendapatkan Acc persetujuan Direktur 6) Harga perbekalan farmasi < 5 juta rupiah. b. Penerimaan perbekalan farmasi Penerimaan adalah suatu proses kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan pada proses pengadaan, baik melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi, atau sumbangan. Adapun tujuan penerimaan perbekalan farmasi adalah: Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 44 1) Terjaminnya penerimaan perbekalan farmasi sesuai dengan Surat Pesanan (SP) atau kontrak yang telah dibuat oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP), baik dari segi spesifikasi mutu yang telah ditetapkan, jumlah, jangka waktu kadaluarsa yang mencukupi, dan waktu kedatangan. 2) Terpeliharanya mutu perbekalan farmasi selama penyimpanan 3) Terjaminnya ketersedian perbekalan farmasi 4) Terhindarnya kehilangan perbekalan farmasi 5) Terbantunya pencarian dan pengawasan terhadap persediaan perbekalan farmasi Pengiriman perbekalan farmasi oleh distributor ke RSUP Fatmawati diterima oleh Tim Penerima Barang. Prosedur penerimaan perbekalan farmasi (lampiran 6) adalah sebagai berikut : 1) Penerimaan perbekalan farmasi yang berasal dari distributor/rekanan/rumah sakit/Apotek/donatur lain oleh Tim Penerima Barang Medik, diserahkan ke gudang farmasi untuk disimpan. Penerimaan perbekalan farmasi di luar jam kerja dilakukan oleh Tim Penerima Barang Medik untuk obat/alkes yang termasuk dalam pengadaan rutin. Untuk obat/alkes yang dibeli di apotek luar atau rumah sakit lain atau dari distributor karena pemesanan mendadak (Cito) diterima oleh Asisten Apoteker Depo IGD untuk selanjutnya diserahkan ke Tim Penerima Barang Medik. 2) Serah terima perbekalan farmasi yang diterima dari Tim Penerima Barang Medik dengan Petugas Gudang Farmasi disesuaikan dengan: a) Faktur perbekalan farmasi; b) Kesesuaian nama perbekalan farmasi dengan SP/SPK; c) Kondisi perbekalan farmasi; d) Jumlah perbekalan farmasi; e) Tanggal kadaluarsa minimal 2 tahun, kecuali untuk perbekalan farmasi tertentu (vaksin, reagensia) bisa kurang dari 2 tahun dengan persetujuan user; f) Certificate of analysis untuk bahan baku obat; Certificate of origin untuk alat kesehatan; Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan berbahaya. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 45 3) Pelaksanaan verifikasi administrasi penerimaan barang oleh Penyelia Gudang Farmasi berdasarkan Bukti Penyerahan Barang dari Tim Penerima Barang Medik yang disesuaikan dengan faktur barang datang. 4) Pembuatan Bukti Penerimaan Barang oleh Penyelia Gudang Farmasi yang akan diserahkan ke Bagian Akuntansi. 5) Pembuatan Berita Acara Penerimaan Barang oleh Tim Penerima Barang Medik, Penyelia Gudang Farmasi, dan Kepala Instalasi Farmasi. 6) Penyimpanan perbekalan farmasi di Gudang Farmasi. c. Penyimpanan perbekalan farmasi Penyimpanan perbekalan farmasi merupakan proses menyimpan, memelihara, dan menempatkan perbekalan farmasi kegiatan yang telah diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian maupun gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Jenis perbekalan farmasi harus disimpan pada tempat yang terpisah sesuai dengan pengelompokannya, yaitu dikelompokan berdasarkan bentuk sediaan serta jenisnya dan disusun secara alfabetis. Metode penyimpanan yang digunakan adalah First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO). Tujuan penyimpanan perbekalan farmasi adalah : 1) Terjaminnya mutu perbekalan farmasi selama penyimpanan 2) Terhindarnya kehilangan persediaan perbekalan farmasi selama penyimpanan 3) Terjaminnya ketersediaan perbekalan farmasi melalui administrasi pencatatan persediaan perbekalan farmasi 4) Terbantunya pencarian dan pengawasan persediaan perbekalan farmasi Di RSUP Fatmawati, penyimpanan perbekalan farmasi dibedakan menjadi empat ruang besar yaitu: 1) Ruang penyimpanan alat kesehatan Alat kesehatan disusun berdasarkan kegunaan (fungsi) dan ukurannya. 2) Ruang penyimpanan cairan Cairan disimpan diruang yang terpisah dengan sediaan injeksi dan alat kesehatan. Disusun di dalam dus dan diletakkan di atas pallet. 3) Ruang penyimpanan sediaan tablet, obat injeksi, dan semisolid Sediaan tablet, obat injeksi dan semisolid disusun berdasarkan suhu Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 46 kestabilan, bentuk sediaan dan alfabetis. 4) Ruang penyimpanan gas medik Gas medik disimpan di gedung terpisah, terletak dibelakang gedung teratai. Penyimpanannya disusun berdasarkan jenis gas medis seperti oksigen, helium, nitrous oksida, dan karbondioksida. Penyimpanan obat juga memperhatikan LASA (Look Alike Sound Alike) untuk patient safety. Perbekalan farmasi yang bentuknya mirip dan nama/ pengucapannya mirip tidak boleh diletakkan berdekatan walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama, harus diselingi dengan minimal 2 obat non kategori LASA di antaranya dan pada rak/tempat obat diberikan stiker LASA. Untuk penempatan perbekalan farmasi yang mudah pecah di rak yang kondisinya masih layak pakai, disusun dengan rapi sehingga tidak ada kemungkinan jatuh karena tersenggol dan diberikan tanda peringatan “Awas Hati-Hati Perbekalan Farmasi Mudah Pecah”. Selain itu, untuk perbekalan farmasi mudah pecah atau perbekalan farmasi masih dalam kemasan besar tidak boleh ditempatkan pada posisi rak yang tinggi untuk mencegah resiko jatuh dan menimpa petugas. Perbekalan farmasi dalam kemasan besar yang berat akan diletakkan di lantai menggunakan alas pallet untuk menghindari kelembaban. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan, antara lain : 1) Suhu selama penyimpanan a) Penyimpanan pada suhu kamar (25oC) untuk obat - obat, cairan infus, alat kesehatan, pembalut, dan gas medik. b) Penyimpanan suhu dingin (dalam lemari pendingin) pada suhu 2 - 8oC c) Penyimpanan untuk reagensia, obat-obatan tertentu dan produk biologis yang membutuhkan suhu dingin untuk mempertahankan stabilitasnya sesuai dengan persyaratan penyimpanan pada etiket. Setiap hari ada petugas yang mencatat suhu lemari pendingin pada “kartu monitor suhu”. d) Sediaan vaksin membutuhkan “cold chain” khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan matinya aliran listrik menggunakan alarm yang akan berbunyi jika aliran listrik mati. 2) Kelembaban Kelembaban dipantau menggunakan alat thermohygrometer atau alat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 47 pemantau kelembaban udara di ruang penyimpanan perbekalan farmasi antara 65 % - 98 %. 3) Cahaya matahari Penyimpanan obat tidak boleh terkena cahaya matahari langsung. 4) Sirkulasi udara Tempat penyimpanan perbekalan farmasi harus mempunyai ventilasi yang cukup untuk pertukaran udara di ruangan penyimpanan. 5) Resiko kebakaran Bahan berbahaya mudah terbakar atau mudah meledak harus disimpan pada Gudang Tahan Api yang dilengkapi dengan APAR (Alat Pemadam Api Ringan). 6) Kebersihan tempat dan sarana penyimpanan dari debu atau kotoran lainnya. 7) Pengaturan tata ruang gudang farmasi dengan memperhatikan kemudahan bergerak dan mobilisasi perbekalan farmasi. 8) Pengawasan dan monitoring tempat dan fasilitas penyimpanan untuk menjamin mutu perbekalan farmasi yang ada. Prosedur penyimpanan digudang berlaku bagi semua perbekalan farmasi. Namun, terdapat perlakuan khusus untuk obat-obat jenis tertentu, seperti obat narkotika dan psikotropika, obat high alert, obat kemoterapi, dan bahan berbahaya dan beracun. Penyimpanan obat narkotika dan psikotropika menggunakan lemari sesuai ketentuan, yaitu lemari double lock (kunci ganda) pada dua pintu dengan susunan berlapis. Kondisi kunci kedua pintu dapat berfungsi dengan baik dan dalam kondisi terkunci guna pembatasan akses pengambilan obat. Lemari tersebut terpasang menempel pada dinding sehingga tidak dapat dipindahkan kecuali dengan membongkarnya dan dilengkapi dengan kartu stok. Pada jam kerja, kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika dibawah tanggung jawab Penyelia gudang farmasi, sedangkan diluar jam kerja dilakukan serah terima kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika kepada petugas penanggung jawab pada shift jaga berikutnya dan dicatat dalam buku serah terima kunci. Obat high alert disimpan pada lemari penyimpanan obat yang bertanda khusus (stiker high alert) dan tidak tercampur dengan obat lainnya. Sedangkan untuk obat kemoterapi, penyimpanan menggunakan lemari khusus dengan label / Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 48 logo karsinogenik. Untuk bahan berbahaya dan beracun disimpan di ruangan penyimpanan sediaan tablet, obat injeksi dan semisolid, namun di letakkan dibagian tersendiri untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja. Selain melaksanakan penyimpanan perbekalan farmasi, petugas farmasi di gudang juga melaksanakan penyusunan persediaan perbekalan farmasi pada tempat penyimpanan secara aman, pencatatan pemasukan, pelaporan, dan stok perbekalan farmasi ke dalam Kartu Stok dan dalam Sistem Informasi manajemen Rumah Sakit (SIRS). d. Pendistribusian perbekalan farmasi Pendistribusian perbekalan farmasi yang dilakukan gudang RSUP Fatmawati ada dua macam yakni pendistribusian amprahan obat berdasarkan permintaan dari depo-depo farmasi melalui sistem online dan pendistribusian floor stock dari ruangan/satuan kerja secara manual atau menggunakan formulir. Untuk pendistribusian amprahan obat (lampiran 7) dilakukan dengan sistem SIRS (Sistem Informasi manajemen Rumah Sakit) secara komputerisasi dan dilakukan setiap hari. Alur distribusinya adalah setiap pagi petugas gudang farmasi mengecek sistem untuk melihat permintaan obat dari setiap depo farmasi. Print out permintaan dari masing-masing depo farmasi kemudian diberi nomor dan disesuaikan dengan ketersediaan perbekalan farmasi yang ada digudang, baik jenis maupun jumlahnya. Setelah perbekalan farmasi disiapkan, selanjutnya dilakukan pengecekan ulang terhadap nama dan jumlah perbekalan farmasi, kondisi fisik, dan tanggal kadaluarsa perbekalan farmasi oleh petugas gudang farmasi dan petugas depo. Kemudian dilakukan input perbekalan farmasi yang telah diperiksa pada sistem SIRS (Sistem Informasi manajemen Rumah Sakit) untuk verifikasi ketersediaan stok di gudang farmasi maupun masing-masing depo. Print out daftar perbekalan farmasi yang telah diverifikasi ditandatangai oleh petugas gudang farmasi dan petugas depo saat terah terima perbekalan farmasi dan merupakan bukti pelayanan dari gudang induk farmasi. Alur pendistribusian floor stock (lampiran 8) hampir sama dengan pendistribusian amprahan. Perbedaannya adalah pendistribusian floor stock dilakukan secara manual dan jadwal pengambilan tiap ruangan berbedabeda untuk memudahkan kerja petugas gudang farmasi. Ruangan atau satuan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 49 kerja menyerahkan permintaan secara offline kepada gudang sehari sebelum jadwal pengambilan. Permintaan floor stock biasanya berupa alkes dan antiseptik. e. Pelaporan perbekalan farmasi Pelaporan perbekalan farmasi di gudang farmasi, antara lain: 1) Buku induk penerimaan barang. 2) Rekapitulasi penerimaan barang. 3) Rekapitulasi pengeluaran barang gudang induk farmasi dan gudang gas medik. 4) Rekapitulasi pengeluaran barang harian gudang induk farmasi dan gudang gas medik. 5) Laporan persediaan floor stock. 6) Laporan stok opname setiap 1 bulan sekali di gudang dan 3 bulan sekali ke Depkeu. 7) Laporan narkotika setiap 1 bulan sekali. 8) Laporan psikotropika setiap 1 tahun sekali. 9) Laporan barang sumbangan. Selain pelaporan diatas, di gudang farmasi juga dilakukan retur perbekalan farmasi yang merupakan merupakan proses pengembalian perbekalan farmasi ke distributor disebabkan karena rusak, kadaluarsa, dan penarikan produk (recall) oleh produsen. Tujuannya ialah agar tersedianya produk perbekalan farmasi yang bermutu di rumah sakit dan terlindunginya pasien dari penggunaan perbekalan farmasi yang tidak bermutu. Prosedur retur perbekalan farmasi ialah sebagai berikut : 1) Pelaksanaan pemeriksaan dan pengecekan sediaan farmasi di gudang farmasi, depo farmasi, lemari emergency, dan instalasi rawat inap untuk perbekalan farmasi floor stock. Tujuannya untuk mengetahui perbekalan farmasi yang rusak, kadaluarsa, recall, ataupun adanya usulan penarikan oleh tenaga kesehatan (dokter / apoteker / perawat) dilengkapi dengan data pendukung yang lengkap. 2) Dilakukan pencatatan perbekalan farmasi yang meliputi nama produk, nama pabrik, nomor batch, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan jumlah sediaan. 3) Pengembalian dan pengumpulan perbekalan farmasi ke gudang farmasi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 50 untuk produk : a) Rusak dan tidak dapat digunakan. b) Dalam masa 3 bulan sebelum mencapai masa kadaluarsa. c) Recall berdasarkan surat Kementerian Kesehatan RI, edaran dari pabrik pembuat produk, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) berdasarkan hasil audit investigasi. 4) Penyimpanan perbekalan farmasi yang tidak layak pakai di gudang farmasi dilakukan pada lemari penyimpan khusus yang diberi label: “Penyimpanan Obat Tidak Layak Pakai”. 5) Pengembalian ke distributor untuk produk yang dapat diretur dan dilakukan penggantian produk, dengan melengkapi dokumen faktur pembelian, surat pesanan, dan berita acara serah terima. 6) Pembuatan laporan oleh penyelia perbekalan farmasi untuk disampaikan pada Kepala Instalasi Farmasi dan disampaikan ke Direksi. Perbekalan farmasi yang telah mencapai masa tanggal kadaluarsa dan tidak dapat diretur ke distributor akan dimusnahkan secara bersamaan dalam waktu tertentu oleh Tim Pemusnahan Barang dengan prosedur sebagai berikut : 1) Pembuatan surat rencana penghapusan dan pemusnahan oleh Kepala Instalasi Farmasi ke Direktur Utama melalui Direktur Medik dan Keperawatan. 2) Pembentukan Tim / Panitia Penghapusan dan Pemusnahan Perbekalan Farmasi Rusak dan Kadaluarsa melalui usulan SK ke Direktur Utama melalui Kepala Bagian Umum. 3) Pembuatan dan pengiriman surat permohonan persetujuan penghapusan dan pemusnahan perbekalan farmasi rusak dan kadaluarsa oleh Kepala Bagian Umim dari Direktur Utama untuk disetujui oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Bina Kefarmasian dan Alkes, Kementerian Kesehatan. 4) Pengiriman surat kepada Kepala Balai Besar POM DKI Jakarta dan Kepala SUDIN Kesehatan Jakarta Selatan mengenai permohonan saksi pemusnahan perbekalan farmasi. 5) Penyerahan perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa yang akan dimusnahkan kepada Tim/Panitia Penghapusan dan Pemusnahan Perbekalan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 51 Farmasi Rusak dan Kadaluarsa menggunakan Formulir Serah Terima Perbekalan Farmasi untuk dimusnahkan. 6) Pembuatan Berita Acara Penghapusan dan Pemusnahan Perbekalan Farmasi Rusak dan Kadaluarsa oleh Tim/Panitia Penghapusan dan Pemusnahan Perbekalan Farmasi Rusak dan Kadaluarsa 7) Pelaksanaan pemusnahan perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa disaksikan oleh Kepala Instalasi Sanitasi dan Pertamanan, Bagian Akuntansi, saksi-saksi dari Balai Besar POM DKI Jakarta, dan SUDIN Kesehatan Jakarta Selatan dengan cara : a) Pembakaran di incinerator untuk obat dan atau alat kesehatan b) Pembuangan ke saluran limbah cair untuk perbekalan farmasi cair dan bukan obat atau per reagen. 8) Penghapusan data stok perbekalan farmasi yang telah dimusnahkan dari SIRS (Sistem Informasi manajemen Rumah Sakit) 9) Pengiriman Berita Acara pelaksanaan pemusnahan perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa ke Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Bina Kefarmasian dan Alkes, Kementerian Kesehatan. 3.3.2.2 Produksi Farmasi (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Produksi farmasi RSUP Fatmawati terbagi menjadi 2 bagian, yaitu produksi non steril dan produksi steril. Tujuan dilakukannya produksi di RSUP Fatmawati antara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, penghematan anggaran, dan untuk menjamin ketersediaan sediaan dengan formula khusus dan sediaan obat yang dibutuhkan segera seperti rekonstitusi intra vena dan obat kanker. a. Produksi non steril Kegiatan yang dilakukan di produksi non steril adalah pembuatan sediaan farmasi, pengenceran sediaan, dan pengemasan kembali. Semua bentuk sediaan dibuat berdasarkan master formula RSUP Fatmawati. Perencanaan di produksi non steril meliputi bahan baku, alat produksi, bahan pengemas, bahan etiket, dan Alat Pelindung Diri (APD) dilakukan setiap bulan berdasarkan laporan bulanan sebelumnya kemudian perencanaan ini dikirimkan ke gudang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 52 farmasi untuk dilanjutkan dengan proses pengadaan. Penyimpanan di produksi non steril terbagi menjadi 2, yaitu penyimpanan bahan baku (disusun berdasarkan kegunaannya) dan penyimpanan produk (berdasarkan alfabetis) yang masing-masing disesuaikan dengan kondisi dan stabilitasnya. Permintaan produk non steril dilakukan melalui gudang farmasi, namun pendistribusiannya dapat dilakukan langsung melalui ruang produksi non steril. Pelaporan yang dilakukan oleh produksi non steril adalah laporan jumlah perbekalan farmasi, laporan produk yang rusak, dan laporan produk yang kadaluarsa. b. Produksi steril Kegiatan yang dilakukan di ruang steril hanya penanganan obat sitostatika, sedangkan IV admixture dilakukan di depo teratai. Penanganan obat sitostatika adalah mempersiapkan obat sitostatika untuk pengobatan kanker pada pelayanan kemoterapi di RSUP Fatmawati. Formulir permintaan pencampuran atau resep kemoterapi sudah diserahkan ke produksi steril sehari sebelumnya. Adapun prosedur pelayanan penanganan obat sitostatika (Lampiran 9), yaitu : 1) Pemeriksaan kelengkapan dokumen (formulir) permintaan oleh petugas farmasi (Asisten Apoteker) berupa : a) Benar obat b) Benar waktu dan frekuensi pemberian c) Benar dosis d) Benar pasien e) Benar rute pemberian f) Tanggal permintaan g) Ruangan perawatan h) Jumlah pelarutan i) Volume pelarutan 2) Pelaksanaan konfirmasi formulir permintaan pencampuran ke ruang perawatan pasien. 3) Pemeriksaan obat pasien, yaitu nama, jumlah, nomor batch, dan tanggal kadaluarsa obat. 4) Perhitungan kesesuaian dosis lazim, pemiliha jenis pelarut, dan menghitung Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 53 volume pelarut oleh Apoteker. 5) Pembuatan label obat dan kemasan pengiriman oleh AA, yaitu : a) Label obat : nama pasien, nomor rekam medik, tanggal lahir / umur, nama obat, dosis, jenis pelarut, rute pemberian, tanggal pembuatan, dan tanggal kadaluarsa setelah pelarutan obat. b) Label kemasan pengiriman : nama pasien, nomor rekam medik, tanggal lahir / umur, ruang perawatan, jumlah paket pengiriman, tanggal pengiriman. 6) Penyiapan obat sitostatika di ruang steril oleh petugas farmasi (Asisten Apoteker) sesuai dengan SOP. 7) Obat yang telah disiapkan kemudian diantarkan ke ruang perawatan. 8) Pembuatan billing jasa pelayanan. 3.3.2.3 Instalasi Bedah Sentral (IBS) (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Depo Farmasi IBS khusus melayani permintaan obat dan alat kesehatan bagi pasien yang akan dioperasi di IBS. IBS terdiri dari dua lantai, lantai pertama ditujukan untuk operasi Cito, sedangkan lantai kedua ditujukan untuk operasi elektif dan operasi bedah prima. Operasi Cito adalah operasi yang tidak direncanakan sebelumnya dan dilakukan sesegera mungkin misalnya pengambilan serpihan kaca untuk pasien yang mengalami kecelakaan. Operasi elektif adalah operasi yang telah direncanakan sebelumnya misalnya bedah syaraf. Operasi bedah prima adalah operasi yang dilakukan untuk pasien tunai, dimana biaya yang dibebankan sudah dalam bentuk paket. OK Cito terdiri dari dua kamar. Pada OK Cito terdapat paket obat dan alkes OK Cito dan lemari emergensi. Lemari emergensi terdiri dari lemari emergensi obat dan lemari emergensi alat kesehatan. Saat pasien masuk ke OK Cito, maka penata anestesi mengambil Paket obat dan alkes OK Cito yang telah disiapkan oleh petugas depo farmasi. Bila obat dan alat kesehatan dalam paket kurang, maka penata anestesi dapat mengambilnya di lemari emergensi dan mencatatnya di Lembar Pemakaian. Setelah selesai operasi, Lembar Pemakaian dimasukkan ke dalam Paket obat dan alkes OK Cito yang telah terpakai oleh Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 54 pasien. Lemari emergensi akan dicek jumlah pemakaian, serta diisi kembali oleh petugas depo farmasi. Pada lantai dua, terdapat delapan kamar operasi yang digunakan untuk operasi elektif dan bedah prima serta Depo Farmasi IBS. Sehari sebelum operasi belangsung, depo farmasi menerima jadwal operasi serta permintaan obat dan alkes untuk anestesi. Depo farmasi kemudian menyiapkan paket anestesi dan memberi label nama pasien pada paket tersebut, sehingga pada hari operasi penata anestesi cukup meminta paket berdasarkan nama pasien. Penata bedah akan menuliskan resep permintaan obat dan alkes pada hari operasi, kemudian paket bedah akan disiapkan oleh petugas depo farmasi. Bila terdapat kekurangan obat dan alat kesehatan saat operasi sedang berlangsung, maka penata bedah atau penata anestesi dapat meminta secara langsung ke depo farmasi dengan menyebutkan nama pasien dan kamar operasi. Petugas depo farmasi akan mencatat permintaan obat dan alat kesehatan tersebut. Bila pasien telah selesai dioperasi, maka paket akan dikembalikan ke depo farmasi dan petugas depo farmasi akan merekapitulasi semua penggunaan obat dan alat kesehatan ke administrasi perincian. Perincian selanjutnya akan dikirimkan ke depo farmasi di mana pasien dirawat. Depo Instalasi Bedah Sentral juga menyiapkan Paket Bedah Prima yang merupakan sistem paket untuk pasien tunai. Sebelum operasi, pasien tunai harus melunasi pembayaran terlebih dahulu. Alur pelayanan obat dan alat kesehatan di depo instalasi bedah sentral dapat dilihat pada lampiran 10 dan alur pelayanan OK elektif dapat dilihat di lampiran 11. Karyawan yang bekerja di Depo Farmasi Instalasi Bedah Sentral berjumlah tiga orang. Karyawan tersebut terdiri dari satu orang penyelia, satu orang juru resep, dan satu orang petugas administrasi. Pengadaan barang berasal dari Gudang Perbekalan Farmasi yang diminta setiap hari dengan menggunakan formulir permintaan barang secara online. Di depo IBS terdapat pula barangbarang konsinyasi, seperti implan. Tujuan dari pengadaan secara konsinyasi adalah untuk mencegah kerugian akibat alat yang tidak terpakai. Penyimpanan obat dan alat kesehatan dilakukan berdasarkan bentuk sediaan. Pemeriksaan lemari emergensi di IBS dilakukan setiap hari oleh petugas Depo Farmasi IBS. Laporan yang yang disiapkan oleh depo IBS antara lain adalah laporan pemakaian Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 55 narkotika dan psikotropika, laporan pemakaian obat generik dan non generik, laporan analisa penjualan harian dan bulanan. 3.3.3 Pelayanan Farmasi (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Koordinator Pelayanan Farmasi membawahi penyelia Depo Farmasi Instalasi Rawat Jalan (IRJ) 1, Depo Farmasi Instalasi Rawat Jalan (IRJ) 2, Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Instalasi Rawat Intensif (IRI), Depo Farmasi Teratai, Depo Farmasi Anggrek dan Griya Husada. Dalam menunjang kegiatan pelayanan obat di setiap depo farmasi dilakukan kegiatan meliputi pengkajian resep, monitoring medication error, dan pengelolaan troli emergency. a. Pengkajian Resep Pengkajian resep adalah tata cara dan urutan proses kegiatan analisa dan screening resep untuk mengetahui kesesuaian resep dengan persyaratan administratif, farmasetis, dan klinis. Pengkajian peresepan obat dilakukan terhadap resep pasien dengan menggunakan prosedur pengkajian resep. Untuk resep yang telah memenuhi persyaratan, akan diberikan “penanda” berupa stempel keterangan “Resep/Obat telah di review Farmasi” pada resep pasien. Untuk resep yang belum dinyatakan memenuhi syarat, dilakukan komunikasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk menemukan solusi permasalahan yang ditemukan terkait dengan pengobatan pasien. Alur pengkajian resep dapat dilihat pada lampiran 12. Prosedurnya adalah sebagai berikut : (1) Penerimaan resep oleh petugas depo farmasi dengan ketentuan: (a) Depo Farmasi Rawat Inap hanya melayani resep pasien rawat inap internal dari RSUP Fatmawati (b) Depo Farmasi IGD dan Rawat Jalan melayani dari poli rawat jalan RSUP Fatmawati (2) Pelaksanaan screening resep oleh Apoteker atau Penyelia Instalasi Farmasi untuk menilai kelengkapan: (a) Persyaratan administrasi resep dengan menilai ada atau tidak : Nama dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan / paraf dokter penulis Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 56 resep, nomor rekam medik pasien, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, berat badan pasien, nama obat, jumlah yang diminta dalam resep obat, instruksi pengerjaan dispensing resep, dan aturan pemakaian obat. (b) Persyaratan Farmasetis dengan menilai: Bentuk sediaan, kekuatan sediaan, kompatibilitas / ketercampuran farmasetis, stabilitas sediaan, cara penyimpanan obat (c) Persyaratan Klinis dengan menilai: indikasi obat, riwayat alergi obat, duplikasi pengobatan, interaksi obat dengan obat, interaksi obat dengan makanan, kontraindikasi obat, biaya obat (3) Pelaksanaan kegiatan komunikasi oleh Apoteker atau Penyelia Instalasi Farmasi dengan dokter penulis resep. Untuk konfirmasi bila ditemukan : (a) Ketidaklengkapan pada aspek administratif resep (b) Ketidaklengkapan pada aspek farmasetik resep (c) Ketidaklengkapan pada aspek klinis resep (d) Resep tidak terbaca (e) Obat tidak tersedia (f) Temuan masalah resep lainnya (4) Klarifikasi dan problem solving (5) Klarifikasi dan komunikasi verbal langsung ke dokter penulis resep (6) Apabila terjadi hambatan jarak untuk komunikasi langsung, dilakukan dengan komunikasi melalui telepon (7) Pelaksanaan pencatatan hasil komunikasi dengan dokter oleh Apoteker atau (8) Penyelia Instalasi Farmasi untuk penyempurnaan dan pembenaran resep. (9) Pelaksanaan penandaan resep yang telah di screening oleh Apoteker atau Penyelia Instalasi Farmasi dengan melakukan : (a) Untuk resep yang telah memenuhi persyaratan, akan diberikan “penanda” berupa stempel keterangan “Resep telah di review Farmasi” pada resep pasien. (b) Penandaan cap stempel HETIP yaitu: Harga (billing), Etiket, Timbang, Isi, Penyerahan dan pemeriksaan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 57 (c) Untuk resep yang tidak dapat dipenuhi dan tidak d apat diklarifikasi kebenarannya atau resep tidak setuju dibeli, resep dikembalikan kepada user (pemilik resep). b. Monitoring medication error Medication error adalah suatu kejadian “kesalahan” dalam rangkaian pengobatan yang seharusnya dapat dicegah, dimana kesalahan tersebut dapat menyebabkan bahaya pada pasien atau dapat berkembang menjadi penggunaan obat yang tidak tepat, dimana pengobatan masih berada dalam tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau keluarga pasien. Prosedur program monitoring medication error adalah suatu proses atau tata cara menganalisa kejadian kesalahan dalam proses dan tata cara menganalisa kejadian kesalahan dalam proses pengobatan yang dapat mengakibatkan perburukan secara klinis pada pasien. Laporan kejadian medication error dibuat oleh dokter, perawat, apoteker, tenaga kesehatan lainnya termasuk pasien dan keluarga pasien. Bentuk laporan awal dapat berupa penyampaian secara lisan atau tulisan kronologis temuan. Monitoring / pelaporan medication error dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan pengobatan yang dapat menimbulkan keberbahayaan pada pasien dengan jenis insiden : 1) Sentinel 2) Kejadian tidak diharapkan 3) Kejadian tidak cedera 4) Kejadian nyaris cedera 5) Kejadian potensial cedera Alur prosedur monitoring medication error dapat dilihat pada lampiran 13 dengan prosedur sebagai berikut: 1) Pelaksanaan kegiatan monitoring oleh tenaga kesehatan terhadap timbulnya kejadian medication error pada pasien dari seluruh tahapan proses pelayanan obat. 2) Pelaksanaan kegiatan penerimaan laporan kejadian medication error dari dokter, perawat, Apoteker, pasien, keluarga pasien atau dari petugas lainnya. 3) Pelaksanaan kegiatan komunikasi/ interview oleh tim monitoring medication error yang terdiri dri dokter DPJP, perawat ruangan, Apoteker ruangan. Untuk Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 58 pendalaman observasi data temuan medication error. Observasi dilakukan kepada pasien atau keluarga pasien saat kunjungan ke pasien (visite) untuk mendapatkan informasi lengkap kejadian medication error. 4) Pelaksanaan kegiatan pencatatan temuan kejadian medication error dalam formulir pelaporan oleh tim monitoring. Formulir medication error dapat dilihat pada lampiran. 5) Pelaksanaan kegiatan analisa (assesment) terhadap hasil interview maupun laporan medication error dari semua sumber dengan analisa akar masalah pada tahapan (a) peresepan, (b) penyalinan resep, (c) penyiapan obat, (d) pengiriman obat, (e) pemberian obat, (f) penyimpanan obat, dan (g) pemantauan obat 6) Pelaksanaan identifikasi error oleh tim monitoring medication error pada tahap peresepan dengan melakukan identifikasi pada a) Adanya penulisan resep tidak terbaca dengan jelas b) Adanya penulisa resep tidak lengkap secara administratif c) Adanya kesalahan dalam menulis (1) nama obat, (2) dosis obat, (3) aturan pakai, (4) rute pemberian dan (5) nama pasien. 7) Pelaksanaan identifikasi error oleh tim monitoring medication error pada tahap penyalinan/pembacaan resep dengan melakukan identifikasi pada a) Adanya kesalahan membaca resep b) Adanya kesalahan interprestasi resep c) Adanya kesalahan menyalin (copy) resep yaitu kesalahan dalam menulis (1) nama obat, (2) dosis obat, (3) aturan pakai, (4) rute pemberian, (5) nama pasien, dan (6) instruksi pembuatan resep. 8) Pelaksanaan identifikasi error oleh tim monitoring medication error pada tahap penyiapan dengan melakukan identifikasi pada: a) Adanya kesalahan menyiapkan obat b) Adanya kesalahan perhitungan dosis obat (1) high dose (2) under dose c) Adanya kesalahan pembuatan etiket obat d) Adanya kesalahan pelarutan obat (obat injeksi) baik volume maupun jenis pelarut spesifik e) Adanya kesalahan pencatatan identitas pasien Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 59 9) Pelaksanaan identifikasi error oleh tim monitoring medication error pada tahap pemberian obat dengan melakukan identifikasi pada: a) Kesalahan obat b) Kesalahan dosis obat (1) high dose (2) under dose c) Kesalahan aturan pakai (1) frekuensi pemberian terlalu cepat (2) tidak mendapatkan obat d) Kesalahan rute pemberian e) Salah pasien 10) Pelaksanaan identifikasi error oleh tim monitoring medication error pada tahap penyimpanan obat dengan melakukan identifikasi pada a) Adanya kesalahan peletakan obat tidak pada tempat seharusnya b) Adanya kesalahan pada sistem penyimpanan (1) tidak dijalankannya sistem FIFO, (2) tidak dijalankannya sistem FEFO, dan (3) tidak dijalankannya sistem LASA c) Adanya kesalahan dalam pemantauan penyimpanan (1) monitoring pemantauan tempat fasilitas tidak pernah dilakukan (2) pengecekan jumlah stok tidak pernah dilakukan 11) Penyusunan laporan temuan oleh kepala satuan kerja tempat kejadian medication error a) Kejadian medication error kategori I dan II dibuat tabulasi data kuantitatif dan dilaporkan setiap bulan dengan analisa dan rencana tindak lanjut. b) Kejadian medication error kategori III, IV dan V dibuat segera dalam waktu 48 jam dengan formulir KMKP. 12) Penyampaian laporan oleh kepala satuan kerja a) Laporan kejadian medication error kategori I dan II dilaporkan secara berkala setiap bulan oleh kepala satuan kerja dalam Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) dalam bentuk rekap laporan setiap bulan. b) Laporan kejadian medication error oleh kepala satuan kerja dengan grading III, IV dan V kepada Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) dalam waktu 48 jam untuk tindakan pencegaha hal serupa. 13) Pelaksanaan tindak lanjut kejadian Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 60 a) Pembentukan tim leader oleh KMKP untuk perumusan analisa akar masalah dan penyusunan rekomendasi dan pengatasan kejadian medication error grading III, IV dan V anggota tim dari seluruh satuan kerja. b) Pelaksanaan kerja tim leader dalam perumusan analisa akar masalah dan penyusunan rekomendasi dan pengatasan kejadian dalam masa 30 hari kerja. c) Penyusunan laporan oleh tim leader. d) Penyampaian laporan tim leader kepada direktur utama RSUP Fatmawati 14) Pelaksanaan tindak lanjut kejadian oleh direksi secara manajemen dalam pengatasan dan pencegahan medication error c. Troli emergency Perbekalan farmasi emergency meliputi obat-obat yang terdaftar sebagai obat emergency dan alat kesehatan yang tergolong emergency di RSUP Fatmawati. Daftar perbekalan farmasi emergency sesuai yang terdapat dalam formulir baku obat dan alkes emergency atau sesuai dengan kebutuhan ruang perawatan terkait. Penyimpanan perbekalan farmasi emergency dilakukan di lemari / troli emergency. Jumlah stok dalam troli emergency adalah stok baku. Perbekalan farmasi emergency hanya digunakan pada kondisi emergency. Pencatatan penggunaan dilakukan oleh perawat ruangan yang menggunakan ke dalam kartu stok. Pengelolaan pengecekan / monitoring jumlah sediaan stok perbekalan farmasi emergency di troli emergency dilakukan oleh petugas farmasi. Pengecekan dilakukan setiap hari sesuai jadwal petugas depo farmasi, dengan mencocokkan obat dan alat kesehatan dalam troli emergency dengan jumlah stok bakunya. Apabila ditemukan obat rusak atau kadaluarsa, segera dilakukan penggantian dari depo farmasi sesuai jumlah obat yang rusak atau kadaluarsa dan dibuatkan laporannya. Apabila terjadi ketidakcocokan jumlah obat, petugas farmasi bersama perawa menelusuri / melihat pasien yang menggunakan obat dan alat kesehatan tersebut serta memintakan resepnya kepada dokter terkait. Pemasangan kunci segel oleh petugas farmasi pada troli emergency yang telah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 61 digunakan dan telah dilakukan penggantian perbekalan farmasi sesuai dengan stok bakunya. 3.3.3.1 Depo Farmasi Instalasi Rawat Jalan (IRJ) 1 (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Depo farmasi IRJ 1 berada di bawah tanggung jawab seorang apoteker yang dibantu oleh asisten apoteker, juru resep dan petugas administrasi. Depo farmasi IRJ adalah depo farmasi yang khusus melayani semua pasien rawat jalan dengan jaminan JKN, Jamkesda dan tunai. a. Pengadaan dan Penyimpanan Perbekalan Farmasi Pengadaan obat dilakukan setiap hari langsung dari Gudang Induk Farmasi menggunakan formulir permintaan barang melalui komputer secara online. Jenis perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) disimpan pada tempat yang terpisah, sesuai dengan pengelompokannya yaitu bentuk sediaan serta jenisnya dan dan disusun secara alfabetis. Obat-obat fast moving diletakkan terpisah di meja. Penyimpanan barang menggunakan sistem FIFO (Fist In First Out) berdasarkan waktu kedatangan dan FEFO (First Expired First Out) berdasarkan waktu kadaluarsa. Penyimpanan obat juga memperlihatkan LASA (Look Alike Sound Alike) untuk “Patient Safety”. Perbekalan farmasi yang bentuknya mirip dan nama / pengucapannya mirip tidak diletakkan berdekatan walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama, diselingi dengan minimal 2 obat non kategori LASA diantara atau ditengahnya dan pada rak / tempat obat dan diberikan stiker LASA. Obat narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari tersendiri dan terkunci ganda (double lock). Kondisi kunci kedua pintu dapat berfungsi dengan baik dan dalam kondisi terkunci guna pembatasan akses pengambilan obat. Lemari tersebut terpasang menempel pada dinding sehingga tidak dapat dipindahkan kecuali dengan membongkarnya. Pada jam kerja, kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika dibawah tanggung jawab Penyelia Instalasi Farmasi, sedangkan diluar jam kerja kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika diserahterimakan dengan petugas penanggung jawab pada shieft jaga berikutnya. Serah terima kunci dilakukan pencatatan dalam buku Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 62 serah terima kunci. Lemari tersebut juga dilengkapi kartu stok. Pelaksanaan pengaturan penyimpanan obat narkotika dan psikotropika oleh petugas farmasi dengan berpedoman pada ketentuan dan persyaratan sebagai berikut: 1) Menurut bentuk sediaan dan jenisnya 2) Menurut suhu dan kestabilan sediaan: a) Obat disimpan dalam suhu kamar yaitu suhu 15-25oC b) Obat disimpan dalam suhu dingin yaitu suhu 2-8oC 3) Menurut sifatnya mudah/tidak terbakar 4) Menurut ketahanan terhadap cahaya / tidak Pencatatan penggunaan obat nakotika dan psikotropika oleh petugas farmasi sesuai unit pelayanan. Depo farmasi dengan mencatat setiap pengambilan obat-obat tersebut hanya dengan resep dokter untuk terapi pasien. Pencatatan dilakukan dengan: 1) Tanggal pengambilan 2) Mencatat nama pasien yang menggunakan 3) Jumlah yang digunakan 4) Jumlah stok awal 5) Jumlah stok akhir 6) Petugas yang mengambil 7) Pemberian tanda dengan bolpoin warna merah pada lembar resep 8) Pengarsipan resep narkotika dan psikotropika Penempatan perbekalan farmasi yang mudah pecah di rak yang kondisinya masih layak pakai, disusun dengan rapi sehingga tidak ada kemungkinan jatuh karena tersenggol dan diberikan tanda peringatan “Awas Hati-Hati Perbekalan Farmasi Mudah Pecah”. Penempatan perbekalan farmasi mudah pecah atau masih dalam keadaan besar tidak boleh pada posisi rak yang tinggi untuk mencegah risiko jatuh menimpa petugas. Penempatan perbekalan farmasi dalam kemasan besar yang berat diletakkan di lantai menggunakan alas pallet untuk menghindari kelembaban. Kelembaban dipantau dengan menggunakan alat thermohygrometer atau pemantau kelembaban udara di ruang penyimpanan perbekalan farmasi antara 68%-95%. Penyimpanan obat tidak boleh terkena cahaya matahari langsung. Tempat penyimpanan juga harus mempunyai ventilasi yang cukup Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 63 untuk pertukaran udara di ruangan penyimpanan. IRJ 1 juga menyediakan obat TBC dan HIV. Untuk obat HIV terdapat penyiapan paket-paket obat HIV yaitu neviral dengan duviral, duviral dengan efavirenz, neviral dengan coviro-LS, dan duviral dengan tenofovir dan efavirenz. Untuk mengambil obat tersebut, pasien HIV/AIDS harus mempunyai nomor registrasi masing-masing yang diterbitkan oleh klinik Wijaya Kusuma. Khusus untuk pasien HIV/AIDS baru, diberikan konseling. Pasien dapat mengambil obat HIV per bulan, dan jika pasien ingin mengambil lebih awal hanya bisa dilakukan minimal 1 minggu sebelum tanggal pengambilan ditetapkan. Setiap sebulan sekali pemakaian semua obat HIV di rekapitulasi dan dikirimkan ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta dan Kementerian Kesehatan. Penyelia Instalasi Farmasi memonitoring jumlah stok pesediaan selama proses penyimpanan, yaitu dengan melakukan pengecekan kesesuaian jumlah fisik sediaan dengan jumlah stok obat narkotik dan psikotropik dalam SIRS (Sistem Informasi Rumah Sakit) dan kartu stok setiap hari. Bila ditemukan adanya ketidaksesuaian jumlah fisik dan pencatatan SIRS atau dengan kartu stok, maka dilakukan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait hingga didapat penyelesaian masalah secara benar. b. Peresepan dan catatan pengobatan pasien Prosedur penulisan resep dan catatan pengobatan pasien instalasi rawat jalan (IRJ) adalah tata cara urutan proses kegiatan penulisan resep dan pencatatn obat secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, farmasetis dan klinis untuk pasien rawat jalan. Adapun prosedur peresepan dan catatan pengobatan pasien IRJ adalah sebagai berikut lampiran 14. Penyiapan dokumen dan perlengakapan untuk penulisan resep perbaikan famasi oleh petugas rawat jalan 1) Penulisan resep oleh dokter penanggung jawab (DPJP) atau oleh dokter yang representatif DPJP dengan menulis lembar resep dengan aturan: a) Penulisan resep secara lengkap, jelas, dan mudah terbaca. Apabila resep tidak jelas terbaca, kurang lengkap maka akan dilakukan klarifikasi pada dokter penulis resep hingga didapat kejelasan informasi dalam resep dokter. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 64 b) Pilihan diutamakan dengan obat generik. Nama paten obat ditulis apabila sediaan obat belum tersedia sediaan generiknya. c) Tidak boleh menulis dengan singkatan (akronim) yang tidak terstandar terkait dengan nama obat, alat kesehatan, pasien dan dokter. Tidak boleh menulis akronim seperti: < ; > ; ± ; ↑ ; ↓ ; ↕ ; → ; ←. Seluruh singkatan yang digunakan dalam penulisan sesuai dengan standar penulisan singkatan baku di RSUP Fatmawati. d) Pada kondisi emergency (gawat darurat) dan obat tidak tersedia di paket emergency baik dalam lemari emergency maupun emergency kit, maka order dapat dilakukan melalui telepon sesuai dengan protap. e) Obat kategori LASA maka jika disorder secara verbal (melalui telepon) maka harus dilakukan spelling (pengejaan kata) sesuai dengan protap. f) Untuk aturan pakai resep obat tidak boleh ditulis “usus cognitus” (tahu aturan pakainya), iterasi (ulangan) untuk obat narkotika, mihi (m.i. = ipsi = untuk dipakai sendiri). Instruksi khusus dapat ditulis dalam resep yaitu pada kolom intruksi khusus antara lain, cito dispencantur, iter, no repetatur, signa pro renata. g) Resep harus ditulis dan tidak boleh “diorder” melalui telepon terhadap obat narkotika, obat psikotropika, obat kemoterapi, dan obat high alert. Menulis dengan lengkap untuk aspek administratif, farmasetis dan klinis. h) Jika dosis obat dalam resep melebihi dosis maksimal, maka diberikan tanda seru dan paraf dokter penulis resep pada obat tersebut. Untuk resep yang membutuhkan perhitungan dosis individual berdasarkan berat badan (BB) maka apabila belum disebutkan jumlah dosis secara implisit dalam resep, maka apoteker dapat menghitung dosis yang dimaksudkan dengan menggunakan rumus dosis obat berdasarkan berat badan. i) Pengisian riwayat alergi j) Obat narkotika harus ditulis pada resep tersendiri: menyertakan alamat pasien dan aturan pakai (signa) yang jelas 2) Pencatatan dan pendokumentasian oleh dokter (DPJP atau dokter tim terapi) terhadap peresepan obat / alkes pada rekam medis yaitu dalam formulir pencatatan dan pemantauan penggunaan obat pasien dengan mencatat data Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 65 pasien, nama obat, dosis, frekuensi, rute pemberian, informasi, tanggal mulai dan stop. 3) Pengiriman lembar resep pasien ke depo farmasi oleh pasien atau keluarga pasien sebagai dokumen permintaan obat pasien. 4) Pelaksanaan pelayanan obat secara individual prescribing oleh petugas depo farmasi. 5) Pembuatan billing pasien ntuk permintaan obat/alkes yang telah dilayani oleh petugas depo farmasi. 6) Penyerahan obat kepada pasien oleh petugas farmasi. 7) Pelaksanaan pendokumentasian kegiatan oleh petugas depo farmasi. c. Penyerahan obat Penyerahan obat dari farmasi ke pasien dilakukan pada pelayanan obat untuk pasien rawat jalan dengan menggunakan prosedur penyerahan obat pasien rawat jalan. Kegiatan ini dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Kegiatan Harga, Etiket, Timbang, Isi, dan Penyerahan (HETIP) yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan penyerahan obat dan apabila terjadi kesalahan dapat ditelusuri dan diatasi dengan segera karena adanya double check oleh petugas yang berbeda. Rawat Jalan menerapkan sistem distribusi obat rawat jalan secara individual prescription. Prosedur penyiapan obat rawat jalan secara individual prescription merupakan tata cara dan urutan proses kegiatan menyiapkan obat pasien rawat jalan berdasarkan resep pasien yang dibuat oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Jumlah obat diberikan seluruhnya sesuai yang tertera dalam resep yang telah melalui kajian peresepan oleh Apoteker. Tujuan prosedur penyiapan obat rawat jalan secara individual prescription adalah agar : 1) Tersedianya prosedur dalam menyiapkan obat secara resep individual. 2) Tercapainya jaminan kebenaran dan keamanan dalam proses dispensing obat pada pasien rawat jalan. 3) Tercapainya peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keamanan dalam penggunaan obat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 66 Adapun prosedur distribusi obat rawat jalan secara individual prescription adalah sebagai berikut lampiran 15. 1) Masuknya resep ke bagian penerimaan resep (bagian sortir). Pada bagian ini petugas depo farmasi IRJ akan memeriksa kelengkapan berkas yang menjadi persyaratan yang harus dibawa oleh pasien. 2) Pelaksanaan skrining resep untuk menilai kesesuaian penulisan resep. 3) Pelaksanaan pelayanan obat pasien yang telah memenuhi persyaratan pada skrining resep. 4) Pemeriksaan berkas kelengkapan resep untuk pasien jaminan. (BPJS dan Jamkesda). 5) Pembuatan billing transaksi untuk resep yang telah memenuhi persyaratan dari skrining dan kajian peresepan obat dan peng-input-an data resep ke komputer. 6) Pembayaran resep berdasarkan billing resep untuk pasien tunai. Pembayaran dilakukan di kasir RSUP Fatmawati. 7) Pengambilan nomor obat oleh pasien dimana nomor sama dengan nomor yang ada pada resep. 8) Pembuatan etiket obat dengan pemilihan etiket : a) Etiket warna putih untuk penggunaan melalui enteral (oral / sublingual / dan lain - lain). b) Etiket warna biru untuk penggunaan melalui parenteral dan topikal. 9) Pembuatan etiket obat dengan mencantumkan nomor rekam medik, nama pasien, nama obat, dosis obat, waktu dan frekuensi pemberian, rute pemberian, dan tanggal kadarluarsa. 10) Pelaksanaan pembuatan copy resep untuk obat yang tidak jadi dibeli pasien atau obat yang tidak terlayani oleh depo farmasi. 11) Dispensing obat: a) Pengisian obat jadi dalam kemasan obat b) Apabila obat racikan maka dilakukan: menghitung dosis kebutuhan, menghitung obat yang diperlukan (bila dalam bentuk khusus), meracik obat yang diperlukan, bila resep diminta obat racikan. 12) Pengecekan obat: benar pasien, benar obat (nama obat), benar dosis, benar Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 67 waktu dan frekuensi, benar rute pemberian 13) Pengecekan obat tentang kebenaran obat yang sudah disiapkan dengan klarifikasi 7 benar, yaitu benar obat, benar dosis, benar waktu dan frekuensi pemberian, benar rute pemberian, benar pasien, benar informasi, dan benar dokumentasi. 14) Pelaksanaan penyerahan obat yang sudah disiapkan kepada pasien. Pelaksanaan penyerahan obat kepada pasien rawat jalan dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian dengan kriteria: a) Apoteker yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) b) Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang telah mendapatkan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK). c) Terdaftar sebagai tenaga kefarmasian di RSUP Fatmawati d) Selesai mengikuti masa orientasi. 15) Pemanggilan nama pasien rawat jalan melalui pengeras suara untuk menuju loket pengambilan obat. 16) Pelaksanaan konseling obat apabila pasien membutuhkan penjelasan lebih lanjut. 17) Pencatatan data penerima pada kolom penerimaan di resep obat yaitu nama penerima, tanda tangan penerima, alamat penerima, nomor telepon pasien atau penerima obat yang bisa dihubungi. 18) Pendokumentasian resep dan bukti print out dalam file sesuai dengan status pembiayaan pasien. d. Pelaporan Laporan - laporan yang dibuat oleh depo instalasi Rawat Jalan yaitu: 1) Laporan penggunaan obat narkotika dan psikotropika. 2) Laporan penulisan obat generik dan non generik. 3) Laporan pemakaian obat HIV/AIDS 4) Laporan analisa penjualan. 5) Laporan jumlah lembar dan jumlah resep. 6) Laporan barang rusak dan kadaluarsa. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 68 3.3.3.2 Depo Farmasi Instalasi Rawat Jalan (IRJ) 2 (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Depo IRJ 2 adalah depo farmasi yang khusus melayani semua pasien rawat jalan peserta JKN. Depo Farmasi IRJ 2 dibawahi oleh apoteker, asisten apoteker, juru resep dan petugas administrasi. Persyaratan - persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan pengobatan pasien Askes di Depo Farmasi IRJ 2 adalah: 1) Resep asli dan fotokopi resep 1 lembar. 2) SEP merah dan kuning (dari loket pendaftaran), 3) Surat rujukan asli dari Puskesmas dengan 2 lembar fotokopi surat rujukan 4) 1 lembar foto copy Kartu BPJS, KTP, dan Kartu Keluarga Dalam melayani pasien, Depo farmasi IRJ 2 mengacu pada pedomanpedoman yang disesuaikan dengan status pasien yakni Formularium Nasional (Fornas) dan Formularium Rumah Sakit. a. Pengadaan dan Penyimpanan Perbekalan Farmasi Sama halnya seperti depo farmasi IRJ 1, pengadaan obat dilakukan setiap hari langsung dari Gudang Induk Farmasi menggunakan formulir permintaan barang melalui komputer secara online. Jenis perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) disimpan pada tempat yang terpisah, sesuai dengan pengelompokannya yaitu bentuk sediaan serta jenisnya dan dan disusun secara alfabetis. Obat narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari tersendiri dan terkunci (double lock). Kondisi kunci kedua pintu dapat berfungsi dengan baik dan dalam kondisi terkunci guna pembatasan akses pengambilan obat. Lemari tersebut terpasang menempel pada dinding sehingga tidak dapat dipindahkan kecuali dengan membongkarnya. Pada jam kerja, kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika dibawah tanggung jawab Penyelia Instalasi Farmasi, sedangkan diluar jam kerja kunci lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika diserahterimakan dengan petugas penanggung jawab pada shieft jaga berikutnya. Serah terima kunci dilakukan pencatatan dalam buku serah terima kunci. Lemari tersebut juga dilengkapi kartu stok. Pelaksanaan pengaturan penyimpanan obat narkotika dan psikotropika oleh petugas farmasi dengan berpedoman pada ketentuan dan persyaratan SPO. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 69 b. Peresepan dan catatan pengobatan pasien Prosedur peresepan dan catatan pengobatan pasien di depo farmasi IRJ 2 sama dengan di depo farmasi IRJ 2 terdapat pada lampiran 14. c. Penyerahan obat Penyerahan obat dari farmasi ke pasien juga dilakukan di depo farmasi IRJ 2. Kegiatan ini dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Kegiatan Harga, Etiket, Timbang, Isi, dan Penyerahan (HETIP) yang dilakukan di IRJ 2 dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan penyerahan obat dan apabila terjadi kesalahan dapat ditelusuri dan diatasi dengan segera karena adanya double check oleh petugas yang berbeda. Depo farmasi IRJ 2 juga menerapkan sistem distribusi obat rawat jalan secara individual prescription. Prosedur penyiapan obat secara individual prescription merupakan tata cara dan urutan proses kegiatan menyiapkan obat pasien rawat jalan berdasarkan resep pasien yang dibuat oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Jumlah obat diberikan seluruhnya sesuai yang tertera dalam resep yang telah melalui kajian peresepan oleh Apoteker. Adapun prosedur distribusi obat secara individual prescription di depo IRJ 2 adalah sebagai berikut Lampiran 16. 1) Masuknya resep ke bagian penerimaan resep (bagian sortir). Pada bagian ini petugas depo farmasi IRJ akan memeriksa kelengkapan berkas yang menjadi persyaratan yang harus dibawa oleh pasien. 2) Pelaksanaan skrining resep untuk menilai kesesuaian penulisan resep. 3) Pelaksanaan pelayanan obat pasien yang telah memenuhi persyaratan pada skrining resep. 4) Pemeriksaan berkas kelengkapan resep untuk pasien jaminan. (BPJS dan Jamkesda) 5) Pembuatan billing transaksi untuk resep yang telah memenuhi persyaratan dari skrining dan kajian peresepan obat dan peng-input-an data resep ke komputer 6) Pembayaran resep berdasarkan billing resep untuk pasien tunai. Pembayaran dilakukan di kasir RSUP Fatmawati. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 70 7) Pengambilan nomor obat oleh pasien dimana nomor sama dengan nomor yang ada pada resep. 8) Pembuatan etiket obat dengan pemilihan etiket: 9) Pembuatan etiket obat dengan mencantumkan nomor rekam medik, nama pasien, nama obat, dosis obat, waktu dan frekuensi pemberian, rute pemberian, dan tanggal kadarluarsa. 10) Pelaksanaan pembuatan copy resep untuk obat yang tidak jadi dibeli pasien atau obat yang tidak terlayani oleh depo farmasi. 11) Dispensing obat. 12) Pengecekan obat: benar pasien, benar obat (nama obat), benar dosis, benar waktu dan frekuensi, benar rute pemberian 13) Pengecekan obat tentang kebenaran obat yang sudah disiapkan dengan klarifikasi 7 benar, yaitu benar obat, benar dosis, benar waktu dan frekuensi pemberian, benar rute pemberian, benar pasien, benar informasi, dan benar dokumentasi. 14) Pelaksanaan penyerahan obat yang sudah disiapkan kepada pasien. Pelaksanaan penyerahan obat kepada pasien rawat jalan dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian dengan kriteria: 15) Pemanggilan nama pasien rawat jalan melalui pengeras suara untuk menuju loket pengambilan obat. 16) Pelaksanaan konseling obat apabila pasien membutuhkan penjelasan lebih lanjut. 17) Pencatatan data penerima pada kolom penerimaan di resep obat yaitu nama penerima, tanda tangan penerima, alamat penerima, nomor telepon pasien atau penerima obat yang bisa dihubungi. 18) Pendokumentasian resep dan bukti print out dalam file sesuai dengan status pembiayaan pasien. d. Pelaporan Laporan - laporan yang dibuat oleh depo Askes (JKN), yaitu: 1) Laporan penggunaan obat narkotika dan psikotropika. 2) Laporan penulisan obat generik dan non generik. 3) Laporan analisa penjualan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 71 4) Laporan jumlah lembar dan jumlah resep. 5) Laporan barang rusak dan kadaluarsa. 3.3.3.3 Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Instalasi Rawat Intensif (IRI) (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu pelayanan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati yang melayani kegawatdaruratan medik selama 24 jam. Depo IGD dan IRI buka 24 jam dengan 3 shift dan melayani pasien rawat inap serta pasien rawat jalan dan Cath lab. Pasien rawat inap terdiri dari pasien yang masuk ruang Intensive Care Unit (ICU), Neonatus Intensive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), dan Intermediate Ward (IW). Sedangkan pasien rawat jalan merupakan pasien yang masuk ruang IGD seperti ruang t r i a s e , resusitasi, ruang P2, maupun poli IGD (RSUP Fatmawati, 2009). Alur pelayanan pasien emergency Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati dapat dilihat pada lampiran 16. IGD terdiri dari beberapa ruangan: a. Ruang Triase Merupakan ruang pemilahan pasien. Dalam ruang ini pasien diperiksa dan dinilai keparahannya oleh dokter dan perawat, kemudian ditentukan akan masuk ruang hijau, kuning atau merah untuk penanganan lebih lanjut. b. Ruang hijau Pasien yang masuk ruangan ini adalah pasien non gawat darurat dengan kondisi tidak terlalu parah seperti dispepsia, vertigo, observasi fibris. Di ruang ini terdapat poli-poli klinik, tidak terdapat paket dan trolley emergency. c. Ruang P2 (Ruang kuning) Merupakan ruangan untuk pasien-pasien dengan kondisi cukup buruk namun tidak mengancam jiwa. Ruangan ini dibagi menjadi ruang bedah dan ruang non bedah. Terdapat 1 trolley emergency dalam ruangan ini. d. Ruang resusitasi (Ruang merah) Pasien-pasien yang masuk ruang ini merupakan pasien dengan kondisi yang parah dan mengancam jiwa. Dalam ruang merah terdapat 1 trolley emergency, dan paket resusitasi. Trolley emergency digunakan jika terjadi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 72 kegawatdaruratan medik sehingga jika pasien butuh penanganan segera, perawat tidak perlu berlari ke depo farmasi di IGD untuk mengambil obat maupun alat kesehatan. Trolley emergency di cek 3 kali setiap hari tiap shift dan dilengkapi jumlahnya sesuai dengan daftar yang ditetapkan oleh RSUP Fatmawati. Depo IGD dan IRI memiliki 1 9 S D M dengan 1 apoteker , 14 asisten apoteker, 3 juru resep dan 1 petugas administrasi. Pelayanan farmasi di depo IGD dan IRI setiap harinya dilakukan dalam 3 shift selama 24 jam sehingga dapat selalu mengantisipasi kebutuhan pasien IGD yang kondisinya dapat berubah-ubah setiap saat. Kegiatan depo farmasi IGD dan IRI yaitu melakukan pelayanan farmasi klinis dan pengelolaan perbekalan farmasi. Kegiatan farmasi klinik di IGD telah berjalan dengan adanya seorang Apoteker klinis. Beberapa jenis pelayanan farmasi klinik yang telah dilakukan, antara lain : a. Pengkajian Penggunaan Obat : dilakukan dengan cara menyesuaikan antara obat yang diresepkan oleh dokter dengan rencana pengobatan dalam status pasien dan pemberian obat oleh perawat yang tercatat dalam kardeks. Selain itu dilakukan pula analisa kesesuaian obat dengan indikasi terapi, dosis obat, aturan pakai dan waktu pemberian, rute pemberian, interaksi antar obat, dll. b. Monitoring Efek Samping Obat c. Pelayanan Informasi Obat: dilakukan pada saat penyerahan obat kepada pasien yang akan pulang. Pemberian informasi obat pulang di IGD diutamakan untuk pasien dengan penggunaan obat khusus dan berkelanjutan. Pengelolaan perbekalan farmasi di depo IGD dan IRI meliputi perencanaan, pengadaan, dan penerimaan, penyimpanan, distribusi perbekalan farmasi dan pelaporan. Depo IGD dan IRI melakukan permintaan obat dan alat kesehatan ke gudang farmasi setiap hari secara online. Penyimpanan perbekalan farmasi di depo IGD telah diatur sesuai dengan persyaratan dan standar kefarmasian. Sistem distribusi obat dan perbekalan farmasi yang diberlakukan di depo IGD dan IRI adalah sistem individual prescription untuk pasien rawat jalan dan unit dose untuk pasien rawat inap. Laporan - laporan yang disiapkan oleh Depo Farmasi IGD adalah sebagai Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 73 berikut: a. Laporan daftar pelunasan yang dibuat harian. b. Laporan pemakaian obat–obat narkotika yang dibuat setiap bulan. c. Laporan penulisan resep obat generik dan non generik yang dibuat setiap bulan. d. Laporan analisa penjualan yang dibuat setiap bulan. e. Laporan barang rusak dan expired yang dibuat setiap 3 bulan. f. Laporan jumlah dan lembar resep setiap bulan. 3.3.3.4 Depo Farmasi Teratai (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Depo Farmasi Teratai berada di lantai pertama gedung teratai. Depo Farmasi Teratai melayani pasien rawat inap dengan jumlah pasien kurang lebih 700 bed. Depo Farmasi Rawat Inap Teratai (Depo Farmasi Teratai) merupakan depo farmasi yang menyediakan perbekalan bagi pasien rawat inap Gedung Teratai, Gedung Prof. Soelarto, dan Gedung Anggrek. Gedung Teratai terdiri dari enam lantai dengan rincian tiap lantai sebagai berikut : a. Lantai pertama yaitu ruangan kebidanan (emergency kebidanan, contohnya pada kondisi pre eklampsia berat) dan high care unit di selatan Teratai. b. Lantai kedua yaitu ruangan perawatan khusus kebidanan dan high care unit di selatan Teratai. c. Lantai ketiga yaitu ruangan khusus pasien anak - anak (<18 tahun) dan high care unit di selatan Teratai. d. Lantai keempat yaitu ruangan pasien pasca bedah dan high care unit di utara Teratai. e. Lantai kelima yaitu ruangan pasien penyakit dalam (internis) dan high care unit di selatan Teratai. f. Lantai keenam yaitu ruangan untuk pasien penyakit saraf dan kardiovaskular dan high care unit di selatan Teratai. Gedung Prof. Soelarto terdiri dari 6 lantai, terletak antara diantara Gedung Teratai dan Gedung Anggrek dengan perincian sebagai berikut: Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 74 a. Lantai pertama yaitu ruangan perawatan khusus orthopedic kelas 3. b. Lantai kedua yaitu ruangan perawatan bedah umum. c. Lantai ketiga yaitu ruangan khusus perawatan non bedah. d. Lantai keempat yaitu ruangan pasien rehabilitasi medik kelas 1 dan 2. e. Lantai kelima yaitu ruangan pasien VIP. f. Lantai keenam yaitu ruangan pasien VIP dan High Care Unit. Gedung Anggrek terbagi menjadi 4 unit, dengan perincian sebagai berikut: a. Ruangan VIP : Paviliun Catteliya. b. Ruangan Eksekutif : Paviliun Vanda, Paviliun Calante dan Paviliun Larat. c. Ruangan kelas I : Paviliun Bulan dan Paviliun Cordelia. d. Unit Stroke. Setiap lantai atau unit ruangan memiliki petugas yang menjadi penanggung jawab pelayanan. Depo ini memiliki jumlah sumber daya manusia sebanyak 41 orang, dengan perincian Apoteker sebanyak 5 orang, tenaga teknis kefarmasian sebanyak 22 orang, petugas perincian (billing) sebanyak 8 orang, dan juru resep sebanyak 6 orang. Kegiatan yang dilakukan di Depo Farmasi Teratai meliputi pengadaan obat, penerimaan obat, penyimpanan obat, penyiapan obat, distribusi obat dan dokumentasi. a. Pengadaan obat Sistem pengadaan obat dilakukan berdasarkan sistem satu pintu dari Instalasi Farmasi. Setiap harinya depo rawat inap akan membuat perincian kebutuhan ke gudang farmasi yang diinput ke komputer yang online dengan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIRS). b. Penerimaan Pelaksanaan pemeriksaan penerimaan perbekalan farmasi yang dikirim dari gudang farmasi oleh petugas depo farmasi dengan melakukan pemeriksaan kecocokan perbekalan farmasi dengan dokumen print out bukti transfer dari gudang farmasi. c. Penyimpanan obat Perbekalan farmasi di depo rawat inap, disimpan terpisah berdasarkan bentuk sediaan dan kestabilan yang disusun berdasarkan alfabetis dan sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out). Penyimpanan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 75 obat high alert dilakukan secara khusus dalam lemari penyimpanan obat obat yang bertanda khusus (stiker high alert) dan ditempel stiker high alert pada setiap kemasan. Penyimpanan narkotika dan psikotropika di instalasi farmasi secara teratur di lemari khusus narkotika dan lemari khusus psikotropika, terkunci dan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Dicatat jumlah penerimaan obat dan penggunaannya dalam kartu stok. Obat LASA (Look Alike Sound Alike) penyusunannya diberi jarak 2 box antar obat LASA dan diberikan stiker LASA. d. Distribusi obat Sistem distribusi yang diterapkan di depo farmasi rawat inap beragam, diantaranya yaitu sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD), sistem distribusi resep individual, dan sistem paket. 1) Distribusi unit dose adalah penyampaian obat kepada pasien sesuai permintaan dokter berupa kemasan unit tunggal untuk sekali pakai dan obat disiapkan untuk pemakaian selama 24 jam. 2) Distribusi resep individual adalah penyampaian obat oleh IFRS meliputi penyiapan etiket sesuai dengan identitas pasien dan sesuai dengan signa yang tertera pada resep yang ditujukan bagi pasien tersebut. 3) Sistem distribusi floor stock Pada sistem distribusi floor stock, kelompok obat dan alat kesehatan tertentu disimpan di ruang perawatan untuk digunakan oleh seluruh pasien. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat penggunaan umum yang terdiri dari obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan oleh TFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat. Sistem distribusi floor stock juga diterapkan pada penggunaan obat dan alat kesehatan yang ada di dalam lemari/ troli emergency. Depo Teratai memiliki beberapa troli emergency yang berisi obat dan alat kesehatan life saving. Lemari-lemari ini disediakan di ruang HCU (High Care Unit) yang ada di setiap lantai gedung. Tiap troli emergency berisi obat dan alat kesehatan dengan jumlah yang telah distandardisasi. 4) Sistem distribusi paket dilakukan khusus untuk pasien kebidanan yang terdiri dari 8 paket yaitu Paket Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Paket Ketuban Pecah Dini (KPD), Paket Hamil Kontraksi, Paket Partus Sectio, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 76 Paket Abortus Curetage, Paket Haemorrhagic Post Partum (HPP), Paket Preeklamsi Berat (PEB) dan Paket Partus Normal. Pendistribusian perbekalan farmasi dengan sistem UDD dan Resep Individual di depo farmasi dilakukan berdasarkan resep dokter dan hanya untuk pelayanan pasien. Depo farmasi rawat inap hanya melayani resep pasien rawat inap internal dari RSUP Fatmawati. Alur pendistribusian perbekalan farmasi ke ruangan rawat inap dapat dilihat di Lampiran 18. 1) Peresepan Penulisan resep dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP) atau oleh dokter yang mewakili DPJP di RSUP Fatmawati dalam lembar resep dengan aturan dan SPO di RSUP Fatmawati dan dicatat di rekam medik pasien di catatan pemberian dan pemantauan obat pasien. 2) Skrining resep Pelaksanaan distribusi perbekalan farmasi dilakukan dengan pelaksanaan pengkajian resep sesuai dengan SPO pengkajian resep dan dilakukan klarifikasi resep apabila ada ketidaklengkapan data dalam resep. Skrining resep dilakukan untuk mengetahui kesesuaian resep dengan persyaratan administratif, farmasetis dan klinis. Pengkajian/skrining resep oleh apoteker atau penyelia instalasi farmasi untuk menilai kelengkapan resep. 3) Penyiapan Perbekalan Farmasi Perbekalan Farmasi disiapkan sesuai dengan sistem distribusi yang digunakan. Untuk pasien rawat inap pada umumnya menggunakan sistem UDD. Pada sistem unit dose dispensing (UDD) obat disiapkan sejumlah dosis harian yang dibutuhkan pasien selama menjalani rawat inap untuk pemakaian selama 24 jam berdasarkan daftar obat yang tertera pada formulir catatan pemberian dan pemantauan obat pasien. Pada pasien pulang digunakan sistem resep individual, obat disiapkan sesuai dengan kebutuhan resep dan pada pasien kebidanan perbekalan farmasi disiapkan sesuai dengan paket pasien. Obat-obat bawaan pasien (obat rekonsiliasi) yang digunakan selama terapi di RSUP Fatmawati, diserahkan oleh perawat kepada petugas depo farmasi dengan mencatat pada buku serah terima obat. Penyimpanan obat bawaan pasien di depo farmasi oleh petugas depo farmasi di dalam box obat bawaan pasien. Obat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 77 tersebut disiapkan bersama dengan obat lainnya di depo farmasi. Alur rekonsiliasi obat dapat dilihat pada lampiran 19. Untuk menghindari kesalahan dalam penggunaannya, pengenceran KCl 7.46% dan Natrium bicarbonat (Meylon 8.4%) dilakukan oleh petugas di depo farmasi teratai. Penyiapan obat high alert yang akan dilarutkan harus sesuai dengan 5 benar yaitu benar obat, benar dosis, benar rute pemberian, benar waktu dan frekuensi pemberian. Pencampuran obat high alert dalam bentuk injeksi harus dilakukan dengan metode aseptik (steril) untuk menjaga mutu dan kualitas produk serta sebagai upaya menghindari kesalahan dalam penggunaannya. KCl 7.46% injeksi harus diencerkan sebelum digunakan dengan perbandingan 1 ml KCl : 10 ml pelarut (WFI/ NaCl 0.9%). Konsentrasi maksimum KCl adalah 10 mEq/100 ml. Natrium bicarbonat (meylon vial 8.4%) injeksi harus diencerkan sebelum digunakan. Untuk penggunaan bolus, Natrium bicarbonat diencerkan dengan perbandingan 1 ml Na Bicarbonat : 1 ml pelarut WFI. Petugas memberikan label obat high alert dan label identitas pada setiap infus yang berisi data tentang nama pasien, nomor rekam medik, nama obat, dosis obat, pelarut dan volume pelarut, rute pemberian, tanggal pembuatan dan tanggal kadaluarsa setelah pelarutan obat. Alur pencampuran injeksi obat high alert di depo farmasi rawat inap dapat dilihat pada lampiran 20. Sebelum didistribusrikan ke ruangan perawatan pasien, petugas harus melakukan pemeriksaan 5 benar yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara pemberian dan benar waktu pemberian. 4) Serah terima perbekalan farmasi Penyerahan perbekalan farmasi pasien dengan perawat adalah proses penyerahan perbekalan farmasi yang akan digunakan untuk pengobatan rawat inap oleh petugas farmasi dengan perawat ruangan. Seluruh obat pasien rawat inap yang telah disiapkan dalam bentuk unit dose dispensing oleh petugas farmasi dikirim ke ruanng perawatan pasien dan dilakukan serah terima dengan perawat ruangan dengan menggunakan prosedur serah terima perbekalan farmasi dengan perawat. Hal ini dilakukan untuk menjamin kebenaran dan keamanan perbekalan farmasi. Penempatan obat oral dalam laci kereta obat secara terpisah untuk setiap pasien dilakukan oleh petugas depo farmasi di depo farmasi. Penyiapan obat oral, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 78 injeksi dan alat kesehatan yang telah disiapkan secara unit dose dispensing dicatat dalam buku serah terima obat per ruangan oleh petugas depo farmasi. Pengiriman kereta obat pada pukul 14.00-15.30 ke ruangan untuk diserah terimakan dari asisten apoteker penanggung jawab ruangan kepada perawat di ruangan yang bersangkutan dengan pengecekan yang meliputi 7 benar yaitu (a) benar obat, (b) benar dosis, (c) benar aturan pakai dan waktu pemberian, (d) benar rute pemberian, (e) benar pasien, (f) benar informasi dan (g) benar dokumentasi. Pelaksanaan pengecekan kondisi perbekalan farmasi yang diterima oleh perawat ruangan dengan memeriksa a) Jumlah perbekalan farmasi b) Bentuk sediaan obat c) Jenis perbekalan farmasi d) Tanggal expired date Pelaksanaan penandatanganan serah terima perbekalan farmasi di buku serah terima oleh perawat ruangan dengan melengkapi data: a) Waktu (tanggal/bulan/tahun/jam) b) Nama ruangan IRNA c) Nama pemberi dan penerima Alur Serah terima perbekalan farmasi dengan perawat dapat dilihat pada lampiran 21. e. Dokumentasi Pelaporan yang dikerjakan di depo farmasi rawat inap sama halnya dengan depo-depo farmasi lainnya, di antaranya adalah: 1) Laporan daftar pelunasan yang dibuat harian. 2) Laporan pemakaian narkotika dan psikotropika yang dibuat setiap bulan. 3) Laporan penulisan resep obat generik dan non generik yang dibuat setiap bulan. 4) Laporan analisa penjualan yang dibuat setiap bulan. 5) Laporan barang rusak dan expired yang dibuat setiap 3 bulan. 6) Laporan medication error Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 79 Farmasi Klinis RSUP Fatmawati 3.4 Dalam menunjang pelayanan kefarmasian di RSUP Fatmawati dilakukan kegiatan farmasi klinis yang meliputi pengkajian penggunaan obat, visite, monitoring efek samping, pelayanan informasi obat, edukasi farmasi dan konseling (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012). 3.4.1 Pengkajian Penggunaan Obat (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Menurut Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien. Tujuan pengkajian penggunaan obat adalah : 1) Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan / dokter tertentu. 2) Membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang lain. 3) Penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik. 4) Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian penggunaan obat antara lain : 1) Indikator peresepan 2) Indikator pelayanan 3) Indikator fasilitas Berdasarkan Standar Prosedur Operasional RSUP Fatmawati, pengkajian penggunaan obat adalah rangkaian proses analisa dan audit secara retrospektif dan prospektif terhadap tatalaksana pengobatan pasien yang menjalani pengobatan di RSUP Fatmawati. Tujuan dari pengkajian penggunaan obat di RSUP Fatmawati adalah : 1) Tercapainya rasionalisasi penggunaan obat. 2) Terjaminnya kebenaran proses terapi pasien selama menjalani perawatan di RSUP Fatmawati. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 80 3) Terwujudnya pencegahan kesalahan dalam pelayanan obat pasien. 4) Tersedianya standar prosedur operasional (SPO) tentang pengkajian. penggunaan obat pasien di RSUP Fatmawati guna pengatasan terhadap adanya Drug Related Problems (DRPs). Seluruh penggunaan obat pada pasien di RSUP Fatmawati dilakukan evaluasi dan pengkajian dengan menggunakan prosedur Pengkajian Penggunaan Obat yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang telah memenuhi standar kualifikasi yang dipersyaratkan. Kegiatan pengkajian penggunaan obat dilakukan dengan menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) pengkajian penggunaan obat yaitu dengan melakukan : 1) Analisa kesesuaian obat dengan indikasi terapi, dosis obat, aturan pakai dan waktu pemberian, dan rute pemberian. 2) Potensial dan aktual efek samping obat (ESO). 3) Potensial dan aktual duplikasi terapi dengan membandingkan antara obat yang akan digunakan saat ini dengan obat yang telah diberikan sebelumnya. 4) Respon alergi dan reaksi hipersensitifitas lainnya. 5) Interaksi antar obat dengan obat. 6) Interaksi obat dengan makanan. 7) Keberhasilan pengobatan dengan menilai fungsi ginjal pada obat nefrotoksik, fungsi hepar untuk obat menginduksi hepatotoksik, tanda infeksi pada obat antibiotik, keluhan nyeri untuk obat analgetik, koagulasi darah untuk obat antikoagulan, terhadap kontraindikasi obat dengan kondisi pasien seperti kontra indikasi obat untuk pasien hamil atau sedang masa menyusui. 8) Analisa terhadap biaya pengobatan pasien. 9) Pelaksanaan kegiatan komunikasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk konfirmasi bila ditemukan adanya masalah pada pengobatan (drug related problems / DRPs) 10) Pelaksanaan kegiatan komunikasi dan klarifikasi untuk problem solving dengan klarifikasi dan komunikasi verbal langsung dengan dokter DPJP. Apabila terjadi hambatan jarak untuk komunikasi langsung maka dilakukan degan komunikasi melalui telepon. 11) Pembuatan dan penyusunan saran rekomendasi pengatasan DRP’s dengan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 81 menghentikan pengobatan, mengganti dengan obat yang lebih aman, mengatur jadwal penggunaan, menurunkan dosis obat, atau monitoring obat secara intensive. 12) Pelaksanaan penyusunan laporan hasil kajian oleh Apoteker pelaksana dengan penyusunan laporan dan penentuan kesimpulan apakah rasional atau tidak rasional. 3.4.2 Visite (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Visite pasien oleh apoteker adalah kunjungan rutin yang dilakukan apoteker kepada pasien di ruang rawat dalam rangka mencapai hasil terapi yang lebih baik. Aktivitas ini dapat dilakukan secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan tim dokter dan profesi kesehatan lainnya dalam proses penetapan keputusan terkait terapi obat pasien. Praktek visite yang dilakukan oleh apoteker bertujuan untuk : a. Meningkatkan pemahaman mengenai riwayat pengobatan pasien, perkembangan kondisi klinik , dan rencana terapi secara komprehensif; b. Memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika, bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat pasien; c. Memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam pemilihan terapi, implementasi dan monitoring terapi; d. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat akibat keputusan klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya; Di dalam melakukan pelayanan visite maka hal lain yang harus dipertimbangkan adalah jumlah sumber daya manusia (apoteker). Terkait keterbatasan jumlah apoteker, maka dilakukan pembatasan pasien yang menerima pelayanan visite oleh apoteker. Beberapa kriteria pasien yang dapat menerima pelayanan visite oleh apoteker adalah sebagai berikut : a. Pasien baru (dalam 24 jam pertama); b. Pasien dalam perawatan intensif; c. Pasien yang menerima ≥ 5 macam obat; d. Pasien yang mengalami penurunan fungsi organ terutama organ hati dan ginjal; Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 82 e. Pasien yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai kritis (critical value), misalnya: ketidakseimbangan elektrolit, penurunan kadar albumin. Nilai kritis pemeriksaan laboratorium dapat dilihat di lampiran 22. f. Pasien yang mendapatkan obat yang mempunyai indeks terapi sempit, berpotensi menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang fatal. Setelah melakukan seleksi terhadap pasien yang akan mendapatkan pelayanan visite maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi penggunaan obat. Informasi tersebut dapat diperoleh dari rekam medik, wawancara dengan pasien / keluarga. Setelah informasi didapatkan maka selanjutnya dilakukan pengkajian masalah terkait obat. Pengkajian yang dilakukan yaitu pengkajian bagi pasien yang mendapatkan obat yang memiliki risiko mengalami masalah terkait penggunaan obat baik yang aktual (nyata terjadi) maupun yang potensial (mungkin terjadi). 3.4.3 Monitoring Efek Samping (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping. Pengertian efek samping menurut WHO adalah tiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan, yang terjadi pada dosis yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Efek samping tidak mungkin dihindari / dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor - faktor risiko. Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Adanya efek samping obat dapat meningkatkan morbiditas sehingga meningkatkan penderitaan, meningkatkan perawatan / perpanjangan masa perawatan, dan dapat menyebabkan kematian. Alur pemantauan efek samping obat dapat dilihat pada lampiran 23. MESO dapat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya bagi badan pengawas obat, perusahaan obat, dan bagi akademis. Beberapa tujuan diadakannya MESO diantaranya adalah : 1) Menemukan efek samping obat sedini mungkin, terutama yang berat, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 83 tidak dikenal dan frekuensinya jarang 2) Menentukan frekuensi dan insiden efek samping obat baik yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan 3) Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya efek samping obat atau mempengaruhi angka kejadian efek samping obat 4) Memberi umpan balik adanya interaksi pada petugas kesehatan 5) Membuat peraturan yang sesuai 6) Memberi peringatan pada umum bila dibutuhkan 7) Membuat data esensial yang tersedia sesuai sistem yang dipakai WHO MESO dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1) Laporan insidentil Jenis laporan ini biasanya dikemukakan pada pertemuan di rumah sakit atau laporan kasus di majalah. 2) Laporan sukarela Biasa disebut dengan laporan spontan dan dikoordinir oleh pusat. 3) Laporan intensif di RS Data yang diperoleh untuk laporan ini berasal dari data yang terkumpul kelompok tim di rumah sakit (dokter, perawat, ahli farmasi, dan lain - lain). Data yang terkumpul selanjutnya dianalisa oleh tim. 4) Laporan wajib Ada peraturan yang mewajibkan setiap petugas kesehatan melaporkan efek samping obat di tempat tugas / praktek sehari - hari. 5) Laporan catatan 3.4.4 Pelayanan Informasi Obat RSUP Fatmawati telah melakukan pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh apoteker selama 24 jam atau on call. Berbagai bentuk kegiatan pelayanan informasi obat seperti yang ada pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi telah dilakukan di RSUP Fatmawati. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meliputi pertanyaan yang berkaitan dengan identifikasi, stabilitas, harga, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 84 efek samping, dosis, interaksi, kompatibilitas, ketersediaan, kontraindikasi, farmakokinetik/farmakodinamik, toksisitas, cara pemakaian, cara penyimpanan, cara pemberian, komposisi, indikasi, dan keracunan dari suatu obat, serta pertanyaan lain-lain. Untuk dapat menjawab setiap pertanyaan dengan tepat, maka dilakukan usaha penggalian informasi penanya mengenai identitas pasien, riwayat penyakit pasien, riwayat pengobatan pasien, dan riwayat alergi/efek samping obat yang pernah dialami pasien. Berbagai literatur telah digunakan di pelayanan informasi obat RSUP Fatmawati, baik literatur primer, sekunder, maupun tersier. Alur proses menjawab pertanyaan pada kegiatan pelayanan informasi obat di RSUP Fatmawati dapat dilihat pada lampiran 24 (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012). 3.4.5 Konseling Kegiatan konseling di RSUP Fatmawati berupa pemberian penjelasan dan pemahaman kepada pasien mengenai pengobatan yang diperoleh oleh pasien dengan tujuan dapat menimbulkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan secara benar dan aman. Prosedur konseling obat adalah tata cara dalam pemberian pemahaman kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang benar dan aman. Seluruh penyerahan obat kepada pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan harus dilengkapi dengan informasi yang memadai dan dapat menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang obat yang digunakan sehingga dapat menghindari kesalahan dalam penggunaan obat. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan dengan menggunakan prosedur konseling obat (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012). Pelaksanaan konseling obat pada pasien rawat inap dilakukan oleh apoteker pada pasien dengan kriteria (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : 1) Pasien dengan rujukan dokter untuk konsultasi obat dengan apoteker. 2) Pasien dengan keinginan sendiri untuk konsultasi obat dengan apoteker. 3) Pasien yang akan pulang. Apoteker mendapatkan informasi pasien yang akan pulang dari perawat ruangan atau petugas depo farmasi rawat inap. Pelaksanaan konseling obat pada pasien rawat inap dilakukan oleh Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 85 apoteker di ruang perawatan pasien. Pelaksanaan konseling obat pada pasien rawat jalan dilakukan oleh apoteker berdasarkan kriteria pasien tertentu diantaranya: 1) Pasien dengan rujukan dokter untuk konseling dengan apoteker. 2) Pasien dengan keinginan sendiri untuk konseling dengan apoteker. 3) Pasien dengan penggunaan obat khusus, seperti: a) Pasien dengan pengobatan lebih dari 4 macam obat (poli farmasi). b) Pasien dengan pengobatan kronis. c) Pasien dengan riwayat alergi. d) Pasien dengan penggunaan antibiotik tunggal maupun kombinasi. e) Pasien dengan pengobatan khusus seperti pengobatan Kemoterapi, pengobatan HIV / AIDS, pengobatan Tuberkulosis. Pengisian data pasien dan data informasi obat dalam formulir konseling dilakukan oleh apoteker secara lengkap dan benar. Pelaksanaan konsultasi obat oleh apoteker dengan tahapan berikut: 1) Perkenalan. 2) Penilaian pemahaman pasien terhadap obatnya. 3 ) Pemberian penjelasan dan konsultasi obat secara lengkap. Penjelasan obat meliputi indikasi obat, cara kerja obat, dosis penggunaan obat, cara pemakaian obat yang benar, waktu pemakaian obat, efek samping obat yang mungkin terjadi, cara pemakaian obat yang benar, interaksi antara obat dan makanan baik yang potensial maupun aktual, dan informasi lain yang mendukung. 4) Pengujian pemahaman pasien atas informasi yang telah diberikan. 5) Penutup. 3.5 Peran Lintas Farmasi Terkait dalam Pelayanan Farmasi di RSUP Fatmawati 3.5.1 KFT Badan yang membantu pimpinan rumah sakit untuk menetapkan kebijakan menyeluruh tentang pengelolaan dan penggunaan obat di RSUP Fatmawati disebut Komite Farmasi dan Terapi (KFT). Manfaat KFT antara lain untuk Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 86 membangun hubungan kerja sama yang baik antara farmasi dan tenaga kesehatan lainnya untuk menyusun formularium rumah sakit. Ketua KFT yaitu dokter, sekretaris KFT berasal dari apoteker. Anggota KFT terdiri dari dokter, apoteker, dan perawat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 3.5.1.1 Tugas Komite Farmasi dan Terapi Tugas Komite Farmasi dan Terapi di RSUP Fatmawati yaitu (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012): a) Monitoring dan evaluasi perencanaan obat dan alat kesehatan habis pakai b) Monitoring dan evaluasi pencegahan obat dan alat kesehatan habis pakai c) Monitoring dan evaluasi ketersediaan obat dan alat kesehatan habis pakai d) Mengendalikan pemakaian obat sesuai formularium e) Mengendalikan dan memonitor pembayaran pembelian obat dan alat f) Kesehatan habis pakai 3.5.1.2 Kegiatan Pokok Komite Farmasi Terapi RSUP Fatmawati Kegiatan Pokok Komite Terapi RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) : a) Revisi formularium. b) Pembuatan Addendum Formularium, Standar Terapi dan Antibiotic Guideline. c) Pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. d) Edukasi staf farmasi dan profesi lain. e) Monitoring efek samping obat. f) Rapat rutin. g) Memberikan rekomendasi dalam pemilihan penggunaan obat dan alkes habis pakai. h) Menyusun formularium yang menjadi dasar dalam penggunaan obat dan i) alkes habis pakai di rumah sakit dan apabila perlu dapat diadakan perubahan ecara berkala. j) Menyusun Antibiotic Guideline bersama-sama dengan Sub Komite Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 87 KFT bertugas untuk menyusun standar diagnosa dan terapi, formularium RSUP Fatmawati, tata laksana obat, pengkajian penggunaan obat, dan monitoring efek samping obat. RSUP Fatmawati telah menerbitkan formularium sebanyak 6 (enam) kali yaitu pada tahun 1990, 1995, 2003, 2007, 2010, dan tahun 2012. Berdasarkan SK Direktur Utama RSUP Fatmawati tentang Pemberlakuan Formularium RSUP Fatmawati Edisi VI tahun 2012, Formularium RSUP Fatmawati disusun atas dasar masukan Satuan Medik Fungsional (SMF) melalui KFT, dengan mengutamakan penggunaan Obat Generik. Formularium RSUP Fatmawati digunakan sebagai acuan Instalasi Farmasi dalam perencanaan dan pengadaan obat di RSUP Fatmawati, sehingga penatalaksanaan obat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Penggunaan obat-obat yang tercantum dalam Formularium RSUP Fatmawati merupakan tanggung jawab profesional dokter dan apoteker dalam pengobatan kepada pasien. Apabila ada alasan rasional untuk tidak menggunakan obat yang tidak tercantum dalam formularium, maka dapat dimintakan izin kepada KFT dengan mengisi Formulir Permintaan Obat Non Formularium. 3.5.2 Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) merupakan instalasi yang bertanggung jawab atas proses sterilisasi alat-alat medik dan pencucian linen rumah sakit. Adanya ISB di Rumah Sakit Fatmawati adalah sebagai upaya pencegahan Health Care Associated Infections (HAIs) di rumah sakit. ISB RSUP Fatmawati Dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi yang merupakan Apoteker. Kepala Instalasi dibantu oleh dua orang koordinator, yaitu koordinator sterilisasi dan koordinator binatu. Koordinator sterilisasi membawahi dua orang penanggung jawab, yaitu penanggung jawab dekontaminasi dan sterilisasi serta penanggung jawab pengawasan mutu sterilisasi dan alkes habis pakai. Koordinator binatu membawahi dua orang penanggung jawab, yaitu penanggung jawab binatu dan penjahitan serta penanggung jawab pengawasan mutu dan distribusi linen. Struktur organisasi ISB dapat dilihat pada lampiran 25. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 88 Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) terdiri dari dua bagian yaitu sterilisasi dan binatu. Sterilisasi merupakan tempat dilaksanakannya proses sterilisasi alatalat medik dan alat lain. Sterilisasi bertanggung jawab atas penerimaan dan pendistribusian semua alat / instrumen yang memerlukan kondisi steril. Binatu merupakan tempat dilaksanakannya proses pencucian linen rumah sakit. Binatu bertanggung jawab atas penerimaan dan pendistribusian semua linen yang memerlukan kondisi bersih, terbebas dari noda/kotoran dan mikroorganisme penyebab infeksi, kering, rapi, utuh, dan siap pakai. Bagian sterilisasi terletak di lantai satu Instalasi Bedah Sentral, denah ruangan dapat dilihat pada lampiran 26. Proses sterilisasi adalah langkah–langkah dalam melakukan kegiatan sterilisasi baik instrumen logam, linen, kassa, dan karet, untuk menghilangkan spora yang ada pada alat tersebut. Sterilisasi hanya digunakan untuk alat-alat kritis yaitu alat medis yang masuk ke dalam jaringan tubuh steril atau sistem pembuluh darah. Proses sterilisasi dimulai dari dekontaminasi alat. Dekontaminasi adalah proses fisik atau kimia untuk membersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi oleh mikroba yang berbahaya sehingga aman untuk proses selanjutnya. Proses dekontaminasi terdiri dari perendaman, pencucian dan pembilasan. Perendaman dilakukan dengan air biasa, air hangat, dan detergen enzimatik. Pencucian dilakukan dengan menggunakan sikat untuk menghilangkan noda-noda yg menempel. Pembilasan dilakukan dengan air mengalir. Proses dekontaminasi selain dilakukan secara manual dapat juga dilakukan dengan menggunakan mesin Miele. Proses selanjutnya adalah pengeringan dengan menggunakan handuk dan kompresor. Alat yang sudah kering kemudian dikemas dengan menggunakan linen, pouches, atau rigid container dan diberi indikator internal. Pouches kemudian direkatkan dengan mesin perekat. Untuk kemasan linen dan rigid container diberi indikator autoclave tape. Kemasan jadi diberi label aplikator yang berisi no lot, no alat, waktu sterilisasi, dan tanggal kadaluarsa. Alat yang sudah dikemas disusun pada troli sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat dapat menjangkau bagian yang paling sulit. Alat yang akan disterilkan dicatat pada formulir, kemudian alat dimasukkan ke mesin sterilisasi. Metode sterilisasi yang digunakan di ISB adalah Autoclave/panas basah untuk alat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 89 yang tahan panas dan low temperature dengan menggunakan H2O2/plasma untuk alat yang tidak tahan panas. Sterilisasi dengan Autoclave dilakukan pada suhu 134oC untuk bahan logam, linen dan kassa serta suhu 121oC untuk bahan karet. Alat yang sudah disterilisasi disimpan sementara di gudang steril atau didistribusikan ke ruangan masing-masing. Binatu merupakan tempat dilaksanakannya proses pencucian linen rumah sakit. Tujuan dilakukan pencucian : 1. Membersihkan linen dari kotoran dan noda. 2. Mengembalikan kecemarlangan warna linen. 3. Membunuh bakteri dan kuman pada linen. 4. Memperpanjang umur linen. 5. Menjaga sifat-sifat asli warna linen. Pencucian dimulai dari penerimaan linen kotor dari ruangan, penimbangan, pemilahan, pencucian, pengeringan, pelicinan, pengemasan, dan penyimpanan / pendistribusian. Linen yang diterima dari tiap-tiap rungan ditimbang dan dicatat pada formulir penerimaan linen. Pemilahan linen dilakukan berdasarkan kriteria : 1. Linen dari OK non infeksius dan infeksius. 2. Linen putih non infeksius dan infeksius. 3. Linen berwarna non infeksius dan infeksius. 4. Linen bayi non infeksius dan infeksius. Area infeksius dan non infeksius dipisahkan dengan garis merah. Linen yang sudah dipisahkan kemudian ditimbang kembali untuk disesuaikan dengan kapasitas mesin cuci. Pencucian harus seimbang antara gaya mekanik, chemical, teperatur, waktu pencucian, prosedur, kualitas air, jenis pengotor, dan jenis linen. Chemical yang digunakan dalam proses pencucian antara lain emulsifier, alkali, detergen, l-chloro bleach, oxygen bleach, neutralizer, softener, disinfektan. Setelah proses pencucian selesai linen dikeringkan di mesin pengering. Linen yang akan dikeringkan dipisahkan berdasarkan ketebalannnya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Linen sebaiknya jangan terlalu kering, karena dapat menyebabkan hasil pelicinan kurang halus. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 90 Proses pelicinan adalah proses menghaluskan permukaan linen dengan menggunakan plat panas. Metode pelicinan terdiri dari flatwork ironer dan pressing machine. Linen yang telah dilicinkan kemudian dilipat dan dirapikan untuk memudahkan dalam penyimpanan dan distribusinya. Linen selanjutnya di simpan di ruang penyimpanan linen, untuk kemudian didistribusikan ke ruangan masing-masing 3.6 Instalasi Sanitasi dan Pertamanan (ISP) RSUP Fatmawati (Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, 2012) Instalasi Sanitasi dan Pertamanan (ISP) merupakan instalasi yang bertanggung jawab terhadap program pengawasan kualitas air bersih, program pengelolaan air limbah, program penanganan sampah, program pengawasan penanganan makanan dan minuman di rumah sakit, program penyehatan tempat pencucian linen rumah sakit, program pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu, program penyehatan lingkungan kerja, program disinfeksi dan sterilisasi di rumah sakit, program perlindungan radiasi, dan program upaya penyuluhan kesehatan lingkungan serta program pemeliharaan taman rumah sakit. Limbah cair Di RSUP Fatmwati diolah secara sentralisasi. Secara teknis, limbah cair dari seluruh bagian akan ditampung di bak penampungan (RSUP Fatmawati saat ini memiliki 16 bak pengumpul limbah cair). Cairan yang terkumpul akan dipompa masuk ke sistem pengolahan (proses floatasi). Setelah dilakukan floatasi, globul–globul yang terbentuk diendapkan di bak sedimentasi (untuk memisahkan partikel sampah dengan air sehingga diperoleh cairan yang lebih bersih dari sebelumnya). Selanjutnya cairan tersebut dialirkan ke bak aerasi. Pada tahap ini umumnya terjadi proses biologis untuk mengurangi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme yang tumbuh di dalamnya. Di dalam bak ini oksigen dialirkan secara continue dengan tujuan agar proses biologis dalam menguraikan bahan organik bisa berjalan lebih cepat. Tahap selanjutnya adalah klorinasi dalam bak klorinasi. Tujuan klorinasi adalah untuk mendesinfeksi cairan yang telah diperoleh dari hasil aerasi. Tahap terakhir dari pengolahan air limbah ini yaitu penyaringan (filtrasi). Pada tahap ini digunakan pasir dan karbon sebagai media filter. RSUP Fatmawati melakukan pemeriksaan kualitas air hasil olahan limbah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 91 setiap hari. Dalam pemeriksaan tersebut, indikator mutu yang digunakan adalah pH, suhu, Total Disolve Solid (TDS), Total Solve Solid (TSS), COD, DOD kandungan zat organik dan amoniak. Pengolahan limbah padat di RSUP Fatmawati tidak dilakukan sendiri melainkan bekerjasama dengan perusahaan pengolah limbah. Prosedur Penanganan Limbah Sitostatik dan Medis di Rumah Sakit Fatmawati adalah sebagai berikut. Sampah medis di kumpulkan berdasarkan jenisnya yaitu: sampah jarum suntik, sampah sitotoksik (kantong plastik warna ungu) dan sampah infeksius (kantong plastik warna kuning). Sampah medis tersebut diangkut oleh petugas kebersihan yang telah dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang sesuai di masing-masing ruangan. Sampah dalam plastik yang sudah penuh dikeluarkan dari tempat atau bak sampah kemudian ditutup kuat dan diganti kembali bak sampah tersebut dengan plastik sesuai peruntukannya. Sampah yang sudah diikat dimasukkan ke dalam sulo dorong (tempat sampah berukuran besar). Sulo dorong yang berisi sampah medis tersebut diangkut atau di bawa ke TPS (tempat pembuangan sampah) sesuai jenisnya oleh petugas cleaning service. Penggunaan rute atau jalur pengangkutan sampah tidak boleh bersamaan dengan rute pengiriman makanan pasien dan jam besuk keluarga pasien. Pengangkutan sampah di ruangan dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali sehari (pukul 06.0009.00 WIB dan 15.00-19.00 WIB). Pembuangan sampah medis dilakukan di TPS sampah medis. Di dalam TPS sampah medis sudah disediakan BIN (tempat sampah tertutup) berwarna kuning yang digunakan untuk menyimpan atau menampung sampah medis, benda tajam dan sampah sitotoksik. Sampah dimasukkan ke dalam BIN berwarna kuning oleh pembawa sampah (cleaning service). BIN yang sudah diisi sampah medis ditutup kembali agar tidak ada paparan dari sampah medis ke lingkungan sekitar dan di catat jumlah sampah yang di buang ke TPS dalam formulir: “penerimaan sampah medis ruangan” yang telah disediakan di TPS sampah medis oleh pembawa sampah tersebut. Penyimpanan sampah medis di TPS tidak boleh lebih dari 24 jam pada musim kemarau dan 48 jam pada musim hujan. Sampah medis dalam BIN tersebut selanjutnya diangkut oleh perusahaan pengolah sampah untuk dibakar di Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 92 incenerator. Petugas pengangkut harus mencuci tangan setelah menyelesaikan pekerjaan tersebut. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 4 PEMBAHASAN Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati merupakan salah satu Instalasi di dalam RSUP Fatmawati yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melakukan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit. Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang Apoteker yang bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan. Kegiatan kefarmasian di RSUP Fatmawati berorientasi kepada kepentingan pasien yaitu dengan menyediakan, mengelola, dan mendistribusikan sediaan farmasi, menyelenggarakan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta kegiatan lain seperti pendidikan dan pelatihan. Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati membawahi 3 Koordinator yaitu Koordinator Penunjang dan Administrasi Umum, Koordinator Perbekalan Farmasi, dan Koordinator Pelayanan Farmasi dimana Koordinator Penunjang dan Administrasi Umum membawahi Tata Usaha dan Sistem Informasi, Koordinator Perbekalan Farmasi membawahi Gudang Farmasi dan Produksi Farmasi, dan Koordinator Pelayanan Farmasi membawahi Depo Rawat Jalan Askes, Depo Rawat Jalan Non Askes, Depo Griya Husada, Depo IGD, Depo IBS, dan Depo Teratai. 4.1 Penunjang dan Administrasi Umum Tata Usaha Instalasi Farmasi melaksanakan kegiatan pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan secara rutin dalam perode bulanan dan tahunan sehingga tercapai tertib administrasi perkantoran, pelaporan, dan penyimpanan informasi secara berkesinambungan. Untuk melaksanakan tugasnya, Tata Usaha mempunyai 2 penyelia yatu Penyelia Pencatatan dan Pelaporan serta Penyelia Tata Usaha (TU) dan SDM Farmasi. Laporan pemakaian obat narkotika dan psikotropika dibuat berdasarkan data jumlah pemasukan dan pengeluaran obat-obat narkotika dan psikotropika di Gudang Farmasi dan di seluruh depo-depo farmasi. Pengambilan data jumlah pemasukan dan pengeluaran obat narkotika dilakukan setiap akhir bulan dan untuk obat psikotropika dilakukan setiap akhir tahun. Pelaporan narkotika dan 93 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 94 psikotropika di RSUP Fatmawati masih menggunakan cara manual dan belum menggunakan aplikasi SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika) yang dilakukan secara online. Hal ini dikarenakan keterbatasan akses internet di IFRS dan juga karena sering terjadi keterlambatan pengiriman laporan penggunaan narkotika dan psikotropika dari depo-depo farmasi. Pelaporan secara manual ini tidak menyalahi aturan namun sebaiknya pelaporan Narkotika dan Psikotropika dilakukan menggunakan aplikasi SIPNAP karena lebih memudahkan pemerintah dalam merekapitulasi laporan Narkotika dan Psikotropika dari seluruh Indonesia sehingga pemerintah dapat memiliki data penggunaan Narkotika dan Psikotropika yang akurat, valid dan real time. Selain itu juga lebih memudahkan Instalasi Farmasi karena tidak perlu lagi mengirimkan berkas ke Dinas Kesehatan Jakarta Selatan. 4.2 Perbekalan Farmasi Koordinator perbekalan farmasi membawahi penyelia gudang farmasi, penyelia perencanaan, penyelia distribusi, penyelia produksi farmasi, penyelia IBS, dan penyelia gudang farmasi teratai. Di gudang farmasi RSUP Fatmawati terdapat 3 orang penyelia, yaitu penyelia gudang farmasi, penyelia perencanaan perbekalan farmasi, dan penyelia penerimaan dan distribusi. Kegiatan yang dilakukan di gudang farmasi RSUP Fatmawati antara lain perencanaan dan pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pencatatan, pendistribusian, dan pelaporan perbekalan farmasi. Perencanaan yang dibuat merujuk pada Formularium Nasional (FORNAS) dan Formularium RSUP Fatmawati 2012. Selain itu, DPHO Askes 2013 juga masih digunakan sampai E-catalogue siap direalisasikan. Untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan tersebut dilakukan kegiatan pengadaan melalui pembelian, baik secara E-catalogue maupun lelang, produksi/pembuatan sediaan farmasi, maupun sumbangan/dropping/hibah. Metode perencanaan yang digunakan adalah metode konsumsi dan epidemiologi yang dibuat paling lambat tanggal 15 pada bulan berjalan, dengan jadwal pemesanan dua kali dalam sebulan. Meskipun sistem perencanaan dan pengadaan telah dibuat sedemikian rupa, namun ketersediaan perbekalan farmasi di gudang farmasi masih beberapa Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 95 mengalami kekosongan stok. Hal ini biasanya disebabkan oleh kekosongan stok dari pabrik atau distributor, keterlambatan pengiriman dari pihak distributor, dan juga perencanaan yang kurang terprediksi akibat adanya peningkatan penggunaan perbekalan farmasi. Akibatnya, seringkali dilakukan perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi cito. Alur perencanaan pengadaan perbekalan farmasi dan cito dapat dilihat pada lampiran 27. Penerimaan perbekalan farmasi dilakukan oleh Tim Penerima Barang Medik. Namun, pemeriksaan dilakukan bersama-sama dengan Petugas Gudang Farmasi untuk efisiensi waktu kerja. Selanjutnya perbekalan farmasi disimpan di gudang farmasi berdasarkan stabilitas, bentuk sediaan serta jenisnya, dan disusun secara alfabetis dengan metode First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO) di masing-masing ruangannya, baik itu di ruangan penyimpanan alkes, ruangan penyimpanan cairan, ruangan penyimpanan sediaan tablet, obat injeksi, dan semisolid, maupun ruangan penyimpanan gas medik. Selain itu, terdapat perlakuan khusus untuk obat-obat jenis tertentu, seperti obat narkotika dan psikotropika, obat high alert, dan obat kemoterapi. Penyimpanan obat narkotika dan psikotropika menggunakan lemari sesuai ketentuan, yaitu lemari double lock (kunci ganda) pada dua pintu dengan susunan berlapis dan lemari tersebut terpasang menempel pada dinding sehingga tidak dapat dipindahkan kecuali dengan membongkarnya serta dilengkapi dengan kartu stok. Untuk obat-obatan high alert disimpan pada lemari penyimpanan obat yang bertanda khusus (stiker high alert) dan tidak tercampur dengan obat lainnya. Sedangkan untuk obat kemoterapi, penyimpanan menggunakan lemari khusus dengan label/logo karsinogenik. Bahan berbahaya dan beracun masih disimpan dalam ruangan yang sama dengan ruang penyimpanan obat lainnya dan belum tergolong gudang tahan api. Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja, maka pihak farmasi menempatkan bahan berbahaya beracun tersebut di tempat yang terpisah dari obat lainnya, diberi garis merah sebagai penanda, dan juga melengkapi gudang dengan APAR tambahan dan eyewash, serta dekat dengan jalur evakuasi. Selain melaksanakan penyimpanan perbekalan farmasi, petugas farmasi di gudang juga melaksanakan penyusunan persediaan perbekalan farmasi pada tempat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 96 penyimpanan secara aman, pencatatan pemasukan, pelaporan, dan stok perbekalan farmasi ke dalam Kartu Stok dan dalam Sistem Informasi manajemen Rumah Sakit (SIRS). Pendistribusian perbekalan farmasi yang dilakukan gudang RSUP Fatmawati ada dua macam yakni pendistribusian amprahan obat berdasarkan permintaan dari depo-depo farmasi melalui sistem online dan pendistribusian floor stock dari ruangan/satuan kerja secara manual atau menggunakan formulir. Alur pendistribusian amprahan hampir sama dengan pendistribusian floor stock. Perbedaannya adalah pendistribusian amprahan dapat dilakukan setiap hari, sedangkan pendistribusian floor stock dilakukan sesuai jadwal pengambilan tiap satuan kerja/ruangan. Selain itu, permintaan floor stock hanya berupa alkes, antiseptik, dan lain-lain, tidak termasuk obat-obatan seperti permintaan amprahan. Kegiatan terakhir yang dilakukan di gudang adalah pelaporan, yang terdiri dari pelaporan buku induk penerimaan barang, rekapitulasi penerimaan barang, rekapitulasi pengeluaran barang gudang induk farmasi dan gudang gas medik, rekapitulasi pengeluaran barang harian gudang induk farmasi dan gudang gas medik, laporan persediaan floor stock, laporan stok opname setiap 1 bulan sekali di gudang dan 3 bulan sekali ke Depkeu, laporan narkotika setiap 1 bulan sekali, laporan psikotropika setiap 1 tahun sekali, dan laporan barang sumbangan. Selain itu, dilakukan juga pelaporan retur dan pemusnahan perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa. Produksi farmasi RSUP Fatmawati terbagi menjadi 2 bagian, yaitu produksi non steril dan produksi steril. Tujuan dilakukannya produksi di RSUP Fatmawati antara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan untuk obat-obatan yang tidak tersedia di pasaran, penghematan anggaran, dan untuk menjamin ketersediaan perbekalan farmasi dengan formula khusus dan sediaan obat yang dibutuhkan segera seperti rekonstitusi intra vena dan obat kanker. Kegiatan yang dilakukan di produksi non steril adalah pembuatan sediaan farmasi, pengenceran sediaan, dan pengemasan kembali. Sediaan farm asi dibuat berdasarkan master formula RSUP Fatmawati, contohnya OBH dan salep kemicetin. Pengenceran sediaan biasanya dilakukan pada alkohol 70% dan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 97 betadine. Dan untuk sediaan kapsul CaCO3, NaCl, dan Bicnat yang dilakukan termasuk dalam kegiatan pengemasan kembali dan merupakan produk non steril yang paling banyak digunakan di RSUP Fatmawati. Permintaan produk non steril dilakukan melalui gudang farmasi, namun pendistribusiannya dapat dilakukan langsung melalui ruang produksi non steril. Di ruang steril hanya dilakukan penanganan obat sitostatika, sedangkan IV admixture dilakukan di depo teratai. Permintaan pencampuran obat sitostatika di RSUP Fatmawati terbanyak adalah untuk pengobatan kanker payudara, kanker rahim, kanker colon, dan limfoma. Depo Farmasi IBS khusus melayani permintaan obat dan alat kesehatan bagi pasien yang akan dioperasi di IBS. Depo farmasi IBS berada di bawah Koordinator Perbekalan Farmasi karena depo farmasi lebih fokus terhadap penyediaan dan pengadaan obat dan alkes bukan pada pelayanan kefarmasiannya. Pelayanan obat dan alkes pada OK Cito berbeda dengan pelayanan di OK Elektif . Pada OK Cito paket obat sudah disiapkan di ruangan operasi. Jika terdapat kekurangan, maka petugas dapat mengambilnya pada lemari emergensi. Pada OK elektif permintaan obat dan alat kesehatan dilakukan langsung ke Depo IBS dengan menggunakan resep. Obat dan alat kesehatan disusun pada lemari terpisah. Penyusunan alkes dan obat tidak alfabetis sehingga menyulitkan pengambilan obat saat diperlukan. Fasilitas lemari penyimpanan yang sempit mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan obat secara alfabetis. Obat yang memerlukan suhu dingin telah disimpan di pharmaceutical refrigerator yang dilengkapi dengan monitor suhu. Keterbatasan ukuran pharmaceutical refrigerator menyebabkan obat tidak tertata secara alfabetis. 4.3 Pelayanan Farmasi Pelayanan farmasi di Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati terdiri dari pelayanan rawat jalan, pelayanan IGD dan IRI, dan pelayanan rawat inap. Dalam menunjang kegiatan pelayanan farmasi di setiap depo pelayanan farmasi dilaksanakan kegiatan pengkajian resep, monitoring medication error dan pengelolaan troli emergency. Monitoring medication error dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam proses pengobatan yang dapat mengakibatkan perburukan secara Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 98 klinis pada pasien. Medication error sebaiknya dicegah dan segera diatasi bila terjadi. Oleh karena itu setiap apoteker depo pelayanan harus dapat memantau dan mengidentifikasi adanya medication error. Akan tetapi karena sedikitnya jumlah Apoteker dan kesibukan pada pekerjaan masing-masing menyebabkan monitoring medication error tidak optimal. Troli emergency terdapat di setiap unit ruang perawatan pasien. Namun pengelolaannya tetap dilakukan oleh farmasi. Hal ini dilakukan agar penggunaannya efektif dan efisien. Stok perbekalan farmasi emergency tidak boleh kosong karena digunakan untuk keadaan darurat. Pada troli digunakan segel agar penggunaannya bisa dikendalikan. Akan tetapi seringkali ketika segel telah terbuka, segel tidak segera diganti sehingga besar kemungkinan terjadi penggunaan perbekalan emergency bukan untuk keadaan darurat. Depo Farmasi IRJ 1 dan IRJ 2 melayani pelayanan rawat jalan. Depo Farmasi IRJ 1 melayani pasien tunai, BPJS, dan Jamkesda. Sedangkan Depo Farmasi IRJ 2 adalah depo farmasi yang khusus melayani semua pasien rawat jalan peserta JKN. Depo farmasi IRJ 1 dan 2 terletak di lantai 1 gedung IRJ. Depo farmasi IRJ 1 dan 2 mempunyai ruangan yang cukup luas yang terdiri dari ruang penulisan etiket, penyiapan obat, ruang racikan, ruang kerja apoteker, dan ruangan untuk menyimpan obat dan alkes. Kedua depo ini mempunyai petugas farmasi yang terdiri dari apoteker, asisten apoteker, juru resep dan petugas administrasi. Pengadaan obat yang disediakan di depo farmasi IRJ sesuai dengan yang tertera dalam formularium nasional (Fornas) dan formularium RSUP Fatmawati serta jumlahnya sesuai kebutuhan. Permintaan barang dan obat-obatan dilakukan setiap hari melalui komputer yang langsung terhubung ke gudang secara online. Namun apabila saat penyiapan resep terdapat obat yang tidak ada di depo IRJ, maka petugas depo dapat mengambil obat ke depo lain yang memiliki barang atau obat tersebut dengan membawa memo permintaan obat. Penyimpanan obat di depo IRJ 1 dan 2 telah diletakkan sesuai dengan stabilitas sediaan, bentuk sediaan, disusun berdasarkan alfabetis, FIFO dan FEFO, dan LASA. Penyimpanan obat-obat LASA juga telah diselingi dengan minimal 2 obat non kategori LASA di antara keduanya. Untuk obat psikotropika dan narkotika disimpan di lemari dengan kunci ganda. Seharusnya kunci lemari Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 99 penyimpanan psikotropika dan narkotika dibawah tanggung jawab Penyelia Instalasi Farmasi, namun terkadang terlihat kunci masih tergantung di lemari penyimpanan psikotropika dan narkotika. Untuk obat-obat fast moving diletakkan terpisah di meja. Namun, pada IRJ 1 terdapat juga penyimpanan khusus untuk obat-obatan HIV/AIDS dan TBC. Oleh sebab itu, pelaporan IRJ 1 sedikit berbeda dengan IRJ 2, yaitu dengan adanya laporan obat HIV/AIDS dan TBC. Pelayanan resep di depo farmasi IRJ 1 dimulai dengan penyerahan resep oleh pasien, resep tersebut akan disortir dan dicek kelengkapan berkas (untuk pasien pengguna jaminan). Kemudian dihargai oleh petugas administrasi dan diberitahukan harganya ke pasien (untuk pasien tunai). Apabila pasien menyetujui harga yang diberikan, pasien kemudian melakukan pembayaran di kasir dilanjutkan resep akan diberikan nomor antrian dan diserahkan ke bagian etiket melalui loket kecil. Di bagian etiket, resep akan dipisahkan antara resep racikan dan non racikan. Resep racikan yang kemudian diserahkan ke bagian peracikan untuk ditulis etiketnya, dihitung dan disiapkan, dan resep non racikan yang kemudian ditulis etiketnya oleh asisten apoteker berdasarkan nomor antrian. Obat yang telah selesai disiapkan diberikan pada petugas bagian depan (front liner) yang bertugas memberikan obat kepada pasien melalui loket kecil. Petugas memanggil pasien dan memberikan obat beserta informasi cara penggunaannya. Kegiatan harga, etiket, timbang, isi, dan penyerahan atau biasa disebut dengan HETIP yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan penyerahan obat dan apabila terjadi. kesalahan dapat ditelusuri dan diatasi dengan segera karena adanya double check oleh petugas yang berbeda. Akan tetapi, terkadang petugas yang melakukan kegiatan HETIP dan penyerahan obat adalah petugas yang sama. Selain pelayanan resep, depo IRJ 1 juga melayani konseling bagi pasien HIV. Adapun kriteria pasien HIV yang diutamakan untuk diberikan pelayanan konseling adalah pasien HIV yang baru, pasien dengan regimen obat yang baru, dan pasien dengan kondisi yang memburuk. Waktu yang dibutuhkan untuk konseling per pasien adalah 15-30 menit. Alur pelayanan resep di IRJ 2 sedikit berbeda dengan IRJ 1, yaitu dimulai dari pasien membawa resep beserta berkas-berkas yang diperlukan sebagai Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 100 persyaratan dan diberikan kepada petugas. Petugas akan melakukan pengecekan kelengkapan berkas dan pengecekan obat-obat dalam resep (apakah obat-obat tersebut sesuai dengan pedoman dan dapat diserahkan kepada pasien). Resep kemudian di-input untuk pemotongan stok obat, lalu dilakukan pembuatan etiket, penyiapan obat, dan penyerahan obat. Masing-masing tahap dikerjakan oleh orang yang berbeda dan akan diberikan stempel HETIP (Harga Etiket Timbang Isi Penyerahan). Pemberian stempel tersebut bertujuan agar dapat dilakukan pengecekan kembali apabila terjadi kesalahan. Petugas akan membuatkan salinan resep (copy resep) untuk obat-obat yang tidak terdapat di depo IRJ 2 sehingga pasien dapat menebusnya di apotek lain. Setelah etiket dibuat, selanjutnya petugas akan melakukan penyiapan obat, baik obat non racikan maupun obat racikan. Penyiapan obat non racikan dilakukan dengan memasukkan obat ke dalam etiket sesuai dengan jumlah yang tertera di etiket. Untuk penyiapan obat racikan, disediakan mortar, alu dan blender. Setelah peracikan, blender yang telah dipakai terkadang dibersihkan dengan kuas untuk mempersingkat waktu. Hal ini dapat menyebabkan interaksi obat. Blender yang telah dipakai akan lebih baik bila dibersihkan dengan air terlebih dahulu, kemudian dikeringkan dengan alkohol atau hair dryer. Namun, karena jumlah blender yang digunakan terbatas serta pengerjaan dengan mortir dan alu yang cenderung lama, maka proses pembersihan dengan pencucian terlebih dahulu sulit dilakukan. Pembersihan mortir dan alu terkadang juga hanya menggunakan alkohol. Setelah obat disiapkan, obat dibawa oleh petugas ke bagian penyerahan. Apabila obat yang diresepkan tidak tersedia, maka petugas depo akan memberikan salinan resep dan diberi cap Tidak Ada Persediaan (TAP). Alur penyerahan obat dimulai dengan verifikasi nomor pasien, verifikasi identitas pasien, pemberian informasi singkat mengenai penggunaan obat, permintaan nomor telepon pasien yang dapat dihubungi, dan diakhiri dengan permintaan tanda tangan pasien. Informasi yang diberikan kepada pasien hanyalah informasi mengenai indikasi dan aturan pakai obat. Keterbatasan informasi obat yang diberikan disebabkan oleh banyaknya jumlah pasien yang harus dilayani Depo IRJ sehingga waktu pemberian informasi obat menjadi sangat singkat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 101 Jumlah resep yang dilayani depo IRJ 1 dapat mencapai 200-300 resep/hari. sedangkan depo IRJ 2 dapat mencapai 500 resep/hari dengan obat yang sering diresepkan adalah obat-obat kardiovaskular dan penyakit dalam. Dengan jumlah tersebut, terkadang tidak semua pasien dapat dilayani. Beban kerja yang tinggi juga seringkali menyebabkan pekerjaan yang berbeda dilakukan oleh orang yang sama, misalnya seorang petugas dapat melakukan penyiapan obat dan penyerahan obat dalam hari yang sama. Depo Farmasi IGD dan IRI melayani pasien rawat inap i nt en si f ( IC U , IC C U, N IC U , P IC U , d an IW ), rawat jalan, dan Cath lab. Kegiatan di depo farmasi IGD dan IRI yaitu melakukan pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi klinis. Pengelolaan perbekalan farmasi di depo IGD dan IRI meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian perbekalan farmasi, dan pelaporan. Perencanaan, pengadaan, penerimaan, dan penyimpanan di depo IGD sama dengan di depo farmasi lainnya. Permasalahan yang terjadi di lapangan yaitu obat-obat narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus yang sama. Pendistribusian obat untuk pasien rawat inap dilakukan dengan sistem Unit Dose Dispensing (UDD), sedangkan untuk pasien rawat jalan dilakukan dengan sistem resep individual. Selain itu, distribusi perbekalan farmasi juga dengan menggunakan sistem paket sesuai dengan kebutuhan. Apabila terdapat perbekalan farmasi yang tidak terpakai, dapat dikembalikan (retur). Dari hasil pengamatan, jumlah perbekalan farmasi yang diretur dari ruangan dinilai terlalu banyak. Hal ini diduga disebabkan karena permintaan dari ruangan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. Kegiatan farmasi klinis di IGD dan IRI telah berjalan dengan baik. Dengan adanya seorang Apoteker yang bertugas secara khusus di ruang rawat intensif. Apoteker di Depo Farmasi ICU melakukan ronde bersama dokter dan perawat. Melalui kegiatan ronde, tim tersebut dapat mengetahui kondisi pasien yang sebenarnya. Pada saat melakukan ronde, dapat terjadi perubahan terapi ataupun tindakan. Peran apoteker pada saat itu adalah memberikan rekomendasi dan berkoordinasi dengan dokter terkait rencana terapi atau tindakan yang akan diterapkan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 102 Pelayanan farmasi rawat inap Gedung Teratai, Gedung Prof. Soelarto, Gedung Anggrek, dan Gedung Griya Husada dilakukan di Depo Farmasi Teratai. Jumlah tempat tidur yang berada dalam tanggung jawab depo farmasi teratai + 700 tempat tidur. Jika dibandingkan dengan jumlah Apoteker di depo farmasi teratai yang hanya berjumlah lima orang, maka perbandingan jumlah apoteker dengan pasien adalah 1:140. Hal ini tidak sesuai dengan persyaratan yang berlaku, dimana standar perbandingan apoteker dengan pasien adalah 1:50. Akibatnya pelayanan kefarmasian menjadi tidak optimal. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Depo Teratai meliputi pengadaan obat, penerimaan obat, penyimpanan obat, penyiapan obat, distribusi obat dan dokumentasi. Pengadaan, penerimaan dan penyimpanan sama dengan depo lainnya. Penyimpanan perbekalan farmasi di Depo Teratai telah dilakukan dengan cukup baik. Namun beberapa sediaan obat LASA masih ada yang belum diberi jarak dua obat yang bukan LASA dan belum diberi stiker LASA, sehingga sebaiknya dilakukan pengecekan kembali terhadap adanya obat-obat LASA tersebut. Sistem distribusi yang digunakan di Depo Teratai adalah resep individual (Individual Prescription), Unit Dose Dispensing (UDD), floor stock, dan Paket (Unit Use). Diantara keempat sistem distribusi yang digunakan, sistem UDD merupakan sistem distribusi yang paling menguntungkan. Beberapa keuntungan dari sistem ini diantaranya adalah pasien menerima pelayanan 24 jam sehari dan hanya perlu membayar obat yang dikonsumsinya saja, serta pengurangan beban kerja perawat karena semua dosis yang diperlukan untuk pasien telah disiapkan oleh petugas depo. Sistem distribusi ini juga dapat mengurangi kemungkinan kesalahan waktu pemberian obat. Sekalipun demikian, sistem distribusi UDD juga memilki beberapa keterbatasan, yaitu diperlukan teknik kerja yang cepat dan tepat oleh karena obat harus sudah siap dikonsumsi sebelum jam makan pasien, serta dibutuhkan tenaga kefarmasian yang lebih banyak. Obat yang disiapkan untuk terapi pasien tidak hanya obat depo teratai, juga terdapat obat rekonsiliasi. Obat rekonsiliasi merupakan obat bawaan pasien yang digunakan selama terapi yang telah dikaji oleh perawat dan diserahkan kepada petugas depo farmasi. Obat rekonsiliasi dapat berasal dari penggunaan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 103 terapi sebelum pasien masuk rumah sakit atau obat resep yang di copy karena stok di depo farmasi sedang kosong. Selain melakukan kegiatan pelayanan distribusi obat, depo teratai juga melakukan kegiatan IV admixture service obat high alert yaitu rekonstitusi cairan KCl 7.47% dan Meylon 8.4%. Konsentrasi maksimum larutan KCl adalah 10 mEq/100 mL dan dapat menyebabkan kematian apabila terjadi salah penggunaan. Oleh karena itu rekonstitusinya harus dilakukan oleh petugas farmasi yang berkompeten dengan menggunakan teknik aseptik. Sama seperti depo farmasi lainnya, Depo Teratai juga melakukan pencatatan dan pelaporan. Laporan yang disusun di Depo Teratai adalah laporan analisa penjualan dan laporan tagihan pasien, laporan narkotika dan psikotropika, laporan obat generik dan non generik, laporan jumlah resep, serta laporan medication error. 4.4 Farmasi Klinis Terkait dengan akreditasi JCI yang diterima oleh RSUP Fatmawati pada Desember 2013, kegiatan farmasi klinik seharusnya ditingkatkan mengingat misi JCI memperbaiki kualitas dan keamanan pelyanan kesehatan di masyarakat dunia. Kegiatan farmasi klinik yang telah dilaksanakan di RSUP Fatmawati meliputi pengkajian penggunaan obat, visite, monitoring efek samping, pelayanan informasi obat, dan konseling. Kegiatan yang aktif dilaksanakan di RSUP Fatmawati yaitu pengkajian penggunaan obat, visite, dan pelayanan informasi obat. Kegiatan pengkajian penggunaan obat dilakukan untuk menilai adanya masalah yang terkait pada penggunaan obat pada pasien rawat inap dengan melihat catatan pemberian dan pemantauan obat pasien yang terdapat di rekam medik pasien. Kegiatan ini lebih banyak dilakukan di rawat inap intensif, sedangkan pada rawat inap lainnya kegiatan ini belum dilaksanakan secara optimal. Visite aktif dilakukan di Lantai IV Gedung Prof. Soelarto, Lantai VI Teratai dan Instalasi Rawat Intensif (IRI). Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa pertanyaan atau rekomendasi yang diminta oleh tim visite kepada Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 104 apoteker di antaranya adalah pemilihan terapi obat (misalnya dalam pemilihan jenis dan regimen), obat alternatif yang dapat diberikan kepada pasien, efek samping obat, interaksi obat, dan pertimbangan obat dari sisi cost effectiveness. Pelayanan Informasi Obat di RSUP Fatmawati telah dilakukan dengan baik. PIO RSUP Fatmawati melayani pertanyaan melalui telepon, sms atau secara langsung bertatap muka. Selama 2 bulan terakhir terdapat rata-rata 56 pertanyaan per bulan dan 3 pertanyaan/hari. Jumlah penanya terbanyak adalah Apoteker dan jenis pertanyaan terbanyak adalah dosis obat. Pustaka terbanyak yang digunakan sebagai referensi adalah MIMS. Kegiatan MESO dilakukan untuk mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi Drug Related Problem (DRP) pada pasien, sehingga mendorong penggunaan obat yang aman dan rasional bagi pasien. Proses ini merupakan kegiatan kolaboratif yang melibatkan semua tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun apoteker yang ada di rumah sakit, dan pasien beserta keluarganya. Setiap temuan efek samping obat akan dikaji oleh tenaga kesehatan. Seluruh kronologis kejadian efek samping obat dan tindakan penanggulangan harus terdokumentasi dalam catatan rekam medik pasien serta dibuatkan laporan untuk disampaikan pada Komite Mutu dan Manajemen Risiko (KMMR) dalam waktu maksimal 48 jam setelah temuan oleh kepala satuan kerja terkait. Kegiatan MESO belum berjalan maksimal di RSUP Fatmawati karena karena kurangnya kerjasama antar profesi kesehatan di RSUP Fatmawati. Konseling obat yang dilakukan oleh apoteker di RSUP Fatmawati biasanya dilakukan untuk pasien dengan pengobatan poli farmasi, pasien dengan pengobatan kronis, pasien dengan riwayat alergi, pasien dengan penggunaan antibiotik tunggal maupun kombinasi, dan pasien dengan pengobatan khusus seperti HIV AIDS, TBC, dan kanker. Kegiatan konseling obat belum berjalan maksimal karena Apoteker farmasi klinik memiliki tanggung jawab pada unit kerjanya masing-masing. 4.5 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Apoteker tidak hanya berperan di Instalasi Farmasi saja, tetapi dapat juga di satuan kerja lainnya di RSUP Fatmawati yaitu di Instalasi Sterilisasi dan Binatu Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 105 (ISB), Komite Farmasi dan Terapi (KFT), Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI), dan Satuan Pengawas Intern (SPI). Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) merupakan instalasi yang bertanggung jawab atas proses sterilisasi alat-alat medik dan pencucian linen rumah sakit. ISB (Instalasi Sterilisasi dan Binatu) dibawahi oleh Kepala Instalasi yang merupakan seorang apoteker. Peranan apoteker pada instalasi ini dibutuhkan karena, apoteker mengetahui metode sterilisasi. ISB terdiri dari Sterilisasi dan Binatu. Sterilisasi merupakan tempat dilaksanakannya proses sterilisasi alat-alat medik dan alat lain. Sterilisasi bertanggung jawab atas penerimaan dan pendistribusian semua alat/instrumen yang memerlukan kondisis steril. Binatu merupakan tempat dilaksanakannya proses pencucian linen rumah sakit. Binatu bertanggung jawab atas penerimaan dan pendistribusian semua linen yang memerlukan kondisi bersih, terbebas dari noda/kotoran dan mikroorganisme penyebab infeksi, kering, rapi, utuh, dan siap pakai. Adanya ISB di Rumah Sakit Fatmawati terkait dengan banyaknya kebutuhan dari satuan kerja akan alat-alat steril dan tersedianya linen bersih serta sebagai upaya pencegahan Health Care Associated Infections (HAIs) di rumah sakit. ISB memiliki keterkaitan hubungan kerja dengan Instalasi Farmasi, yaitu adalah dalam hal pengadaan barang-barang di sterilisasi. Komite Farmasi dan Terapi (KFT) merupakan badan yang membantu pimpinan rumah sakit untuk menetapkan kebijakan menyeluruh tentang pengelolaan dan penggunaan obat di RSUP Fatmawati. Salah satu tugas KFT RSUP Fatmawati adalah menyusun formularium obat rumah sakit yang menjadi pedoman penggunaan obat di rumah sakit. Formularium Rumah Sakit bertujuan untuk membantu pengelolaan persediaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Penyusunan formularium rumah sakit berdasarkan atas kesepakatan dalam rapat dari masing-masing utusan tiap SMF untuk mengajukan jenis obat-obatan yang ditulis dalam resep, sehingga obat yang digunakan adalah benar-benar obat yang ada dalam formularium. Salah satu cara untuk mengetahui berjalan atau tidaknya KFT rumah sakit adalah dengan melihat edisi formularium yang digunakan. RSUP Fatmawati telah menerbitkan formularium sebanyak 6 (enam) kali yaitu pada tahun 1990, 1995, 2003, 2007, 2010, dan tahun 2012. Dan saat ini sedang dilakukan kegiatan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 106 penyusunan Formularium edisi ke-7 tahun 2014. Hal ini menunjukkan kinerja KFT yang semakin baik dari tahun ke tahun, yaitu secara berkala berupaya melakukan perubahan dan penyesuaian Formularium. Selain formularium obat, RSUP Fatmawati juga sedang berupaya menyusun formularium alat kesehatan habis pakai, namun formularium ini masih belum diterbitkan. 4.6 Instalasi Sanitasi dan Pertamanan Selama masa PKPA, peserta PKPA juga berkesempatan untuk mengunjungi Instalasi Sanitasi dan Pertamanan (ISP) yang berperan dalam pengelolaan limbah rumah sakit dan pertamanan. Limbah yang dikelola antara lain limbah padat baik medis maupun non medis dan limbah cair. Pada saat ini limbah padat non medis di RSUP Fatmawati langsung dikirim ke TPA Bantar Gebang. Sedangkan pengolahan limbah padat medis masih bekerja sama dengan pihak lain dikarena incenerator yang dimiliki oleh RSUP Fatmawati dalam keadaan tidak memenuhi persyaratan. Limbah farmasi yang dikelola oleh ISP berupa obat-obatan kadaluarsa, rusak, dan limbah dari proses produksi obat. Limbah ini dimasukkan ke dalam wadah berwarna coklat. Selain itu, terdapat juga limbah sitotoksik yang dimasukkan ke dalam wadah berwarna ungu yang diberi label bertuliskan “limbah sititoksik”. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Fatmawati selama periode 1 April - 30 Mei 2014 maka dapat disimpulkan bahwa : a. RSUP Fatmawati merupakan Rumah Sakit Kelas A Pendidikan yang telah memenuhi standar Paripurna KARS dan sertifikasi Joint Commission International (JCI). Pelayanan kesehatan di RSUP Fatmawati terdiri dari pelayanan rawat jalan, klinik amarilis, klinik wijaya kusuma, klinik tumbuh kembang, rawat jalan eksekutif griya husada, hemodialisa, unit transfusi darah, rawat inap, orthopedi, rehabilitasi medi, patologi (laboratorium), diagnostik khusus, radiologi, program terapan rumatan metadon, dan pelayanan kefarmasian. b. Instalasi Farmasi dipimpin oleh Kepala Instalasi Farmasi yang membawahi 3 koordinator, yaitu koordinator penunjang dan administrasi umum, koordinator perbekalan, dan koordinator pelayanan. c. Peranan dan tanggung jawab seorang Apoteker di RSUP Fatmawati tidak hanya terbatas di instalasi farmasi saja, tetapi juga dalam peran lintas farmasi antara lain di SPI (Satuan Pengawas Intern), KFT (Komite Farmasi dan Terapi), ISB (Instalasi Sterilisasi dan Binatu), PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), dan ULP (Unit Layanan Pengadaan). 5.2 a. Saran Perencanaan perbekalan farmasi diharapkan dapat lebih cermat agar jumlah copy resep dan pengadaan cito dapat diminimalisir. Hal ini juga sebaiknya didukung oleh setiap depo farmasi agar membuat perencanaan pada saat perbekalan farmasi mencapai stok minimal, bukan pada saat stok di depo farmasi telah habis. b. Penyimpanan B3 sebaiknya ditempatkan di gedung terpisah untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja. c. Perlu ditingkatkan koordinasi kerja antara petugas depo farmasi dengan 107 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 108 petugas ruang perawatan rawat inap, sehingga pasien maupun keluarga pasien tidak perlu mengambil sendiri obat yang akan digunakan oleh pasien. Peningkatan koordinasi kerja ini juga diharapkan dapat meminimalisir jumlah retur perbekalan farmasi. d. Untuk meningkatkan pelayanan di rawat inap, sebaiknya setiap unit perawatan memiliki seorang Apoteker dan asisten apoteker yang bertanggung jawab terhadap pelayanan farmasi baik penyiapan obat maupun farmasi klinis. e. Pengaktifan kembali kinerja farmasi klinis RSUP Fatmawati dapat dilakukan dengan menempatkan SDM yang berkompeten dibidang klinis secara khusus tanpa adanya beban kerja lainnya. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR ACUAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Department/CSSD) di Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 012 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009a). Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : Presiden Republik Indonesia. Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta : Presiden Republik Indonesia. Presiden Republik Indonesia. (2009c). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta : Presiden Republik Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. (2012). Standar Prosedur Operasional. Jakarta : Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. (2014). Sejarah Singkat. Diakses pada 25 Mei 2014. http://www.fatmawatihospital.com/mode1.php?id=1&mode=2 Siregar, Charles J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 109 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 LAMPIRAN Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 110 Lampiran 1. Stuktur Organisasi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 111 Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati Direktur Utama Direktur Medik dan Keperawatan Kepala Instalasi Farmasi Koordinator Pelayanan Farmasi Koordinator Perbekalan Farmasi Koordinator Penunjang dan Administrasi Umum PJ Farmasi IRJ 1 PJ Gudang Farmasi PJ Tata Usaha dan SDM Farmasi PJ Farmasi IRJ 2 PJ Farmasi IBS PJ Farmasi Anggrek dan Griya Husada PJ Distribusi PJ Pencatatan dan Pelaporan PJ Produksi Farmasi PJ Sistem Informasi PJ Farmasi IGD PJ Farmasi Teratai PJ Gudang Farmasi Teratai Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 112 Lampiran 3. Alur hak akses sistem informasi farmasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 113 Lampiran 4. Alur perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 114 Lampiran 5. Alur perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi cito Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 115 Lampiran 6. Alur penerimaan perbekalan farmasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 116 Lampiran 7. Alur pendistribusian perbekalan farmasi gudang induk ke depo farmasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 117 Lampiran 8. Alur pendistribusian perbekalan farmasi gudang induk ke satuan kerja Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 118 Lampiran 9. Alur pelayanan penanganan obat sitostatika Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 119 Lampiran 10. Alur pelayanan obat dan alat kesehatan di depo instalasi bedah sentral Pasien OK Cito Petugas mengambil paket obat dan alkes OK Cito Kekurangan obat dan alkes diambil di lemari emergensi Catat dilembar pemakaiaam, masukkan ke dalam paket yang digunakan pasien Depo farmasi IBS melakukan perincian biaya Perincian dikirim ke depo tempat pasien dirawat Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 120 Lampiran 11. Alur Pelayanan OK Elektif Jadwal operasi diberikan ke Depo Farmasi IBS sehari sebelum operasi Obat dan alkes untuk anastesi disiapkan sehari sebelum Obar dan alkes bedah disiapkan pada hari operasi Obat disiapkan dalam paket dan diberi nama pasien Kekurangan Obat dan alat dapat diminta langsung ke Depo Farmasi Selesai operasi semua alat yang tidak di gunakan di kembalikan ke depo farmasi Depo farmasi IBS melakukan perincian biaya Perincian dikirim ke depo farmasi tempat pasien dirawat Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 121 Lampiran 12. Alur pengkajian resep Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 122 Lampiran 13. Alur monitoring medication error Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 123 Lampiran 14. Peresepan dan catatan pengobatan pasien IRJ MULAI Dokter DPJP / Representatif DPJP 1. 2. Menulis resep obat pasien Melengkapi persyaratan resep (bila diperlukan) Dokter DPJP / Representatif DPJP Mencatat seluruh data pengobatan dalam Rekam Medik Pasien Petugas Farmasi (Apoteker/Penyelia) 1. 2. BELU MPJ Menerima resep dokter Screening resep dokter Lengkap? Perenc anaan YA Petugas Farmasi (AA) 1. 2. Pelayanan Resep Obat pasien yang lengkap/benar secara individual prescribing Pembuatan billing dalam SIRS SELESEI Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 124 Lampiran 15. Alur distribusi obat IRJ 1 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 125 Lampiran 16. Alur distribusi obat IRJ 2 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 126 Lampiran 17. Alur pelayanan pasien emergency RSUP Fatmawati PEMILAHAN Keluarga pasien mendaftar di tempat pendaftaran Non Gawat Darurat Pelayanan Media : 1. Pemeriksaan oleh dokter & perawat 2. Pemeriksaan penunjang (Lab: kecil-sedang & Rontgen) 3. Konsultasi dr spesialis 4. Pelaksanaan hasil konsultasi (pasang gips, dll) Pulang/rawat jalan - Pembayaran di kasir -Penyerahan resep, rontgen kepada keluarga pasien -Informasi waktu kontrol ke poliklinik Gawat Darurat Mengancam Nyawa Tidak Mengancam Nyawa -Bantuan Pernafasan -Perbaikan kerja jantung/sirkulasi sampai kondisi stabil Kondisi Tidak stabil Kamar operasi/ICU/PICU /NICU Kondisi stabil Masuk ruang gawat darurat SELESAI Pelayanan Medis : 1.Pemeriksaan oleh dokter & perawat 2. Pemeriksaan penunjang (Lab: besar/canggih, rontgen, CT Scanning/USG 3. Konsultasi dokter spesialis 4. Pelaksanaanhasil konsultasi (pasang gips/armsling/cuci luka/ jahit luka, dll) Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 127 Lampiran 18. Alur pendistribusian perbekalan farmasi ke ruangan rawat inap. Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 128 Lampiran 19. Alur rekonsiliasi obat pasien Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 129 Lampiran 20. Alur rekonstitusi injeksi high alert Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 130 Lampiran 21. Alur Serah terima perbekalan farmasi dengan perawat Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 131 Lampiran 22. Daftar nilai kritis pemeriksaan laboratorium No 1. 2. 3. 1. 2 3. 4. 5. 1. 2 3. 4. 5. 6. 7 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 1. 2. 3. Jenis Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Leukosit Trombosit Hemostasis Waktu Pendarahan (BT) Protrombine Time (PT) INR APTT Fibrinogen Kimia Klinik Ureum Creatinin Bilirubin (bayi) Glukosa darah (dewasa) Glukosa darah (bayi) Calcium total darah Calcium ion Natrium / Na Kalium / K Chlorida / Cl Magnesium / Mg Phosphat / P Laktat (anak) Laktat (dewasa) Troponin TAstrup/ Analisa gas darah pH pCO2 pO2 Nilai Rendah Nilai Tinggi Satuan <5 < 1000 < 20.000 > 20 > 50.000 > 800.000 g/dL /uL (kasus baru) /uL (kasus baru) - > 15 menit - > 30 detik < 100 > 3.6 > 70 - detik mg/dL < 40 > 214 > 10 > 15 > 500 mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL < 40 > 325 mg/dL <6 > 13 meq/L < 0.78 < 120 < 2.5 < 80 <1 <1 - > 1.58 > 160 >6 > 115 >4 > 4.1 > 3.4 Positip meq/L meq/L meq/L meq/L meq/L meq/L mmol/dL mmol/dL < 7.25 < 20 < 40 > 2.55 > 60 - mmHg mmHg mmHg Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 132 Lampiran 23. Alur pemantauan efek samping obat Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 133 Lampiran 24. Alur Pelayanan Informasi Obat Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 134 Lampiran 25. Struktur organisasi ISB Direktur Utama Direktur Umum, SDM, dan Pendidikan Kepala Instalasi Sterilisasi dan Binatu Koordinator Sterilisasi PJ Dekontaminasi dan Sterilisasi PJ Pengawasan Mutu Sterilisasi dan Alkes Habis Pakai Koordinator Binatu PJ Binatu dan Penjahitan Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 PJ Pengawasan Mutu dan Distribusi Linen 135 Lampiran 26. Denah Instalasi Sterilisasi dan Binatu (ISB) Sterilisasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 136 Lampiran 27. Alur retur dan pemusnahan perbekalan farmasi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA PEMANTAUAN TERAPI OBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU DAN HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA (HAP) DI LANTAI V SELATAN TERATAI RSUP FATMAWATI TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014 YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S. Farm. 1306434263 ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................iii DAFTAR TABEL ..............................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................v 1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3 2.1 Tuberkulosis ............................................................................................... 3 2.2 HAP (Hospital Acquired Pneumonia) atau Pneumonia Nosokomial ....... 19 2.3 Masalah Terkait Obat (Drug-Related Problems/DRPs) ........................... 27 2.4 Evaluasi Kualitas Penggunaan Antibiotik ................................................. 29 3. METODE PENELITIAN ................................................................................ 32 3.1 Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 32 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian .............................................................. 32 3.3 Prosedur Penelitian .................................................................................... 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 34 4.1. Hasil ............................................................................................................ 34 4.2. Pembahasan ............................................................................................... 38 5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 44 5.1. Kesimpulan ................................................................................................ 44 5.2. Saran ........................................................................................................... 44 DAFTAR ACUAN ............................................................................................... 45 LAMPIRAN ........................................................................................................... 46 ii Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB ...................................................................12 Bagan Alur Penilaian Kualitas Pemberian Antibiotik Metode Gyssens ........................................................................30 iii Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT ..........................................................13 Dosis Pandian OAT KDT Kategori 1 ...........................................14 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 ..........................................15 Dosis KDT Sisipan .......................................................................16 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit ..................................................................24 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR .....................................24 Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR ......................................................................25 Hasil Analisis Masalah yang Berkaitan dengan Obat Menggunakan PCNE ....................................................................34 Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens ....37 iv Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Informasi Pasien .........................................................................46 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ...............................................48 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik .................................................51 Pemantauan Terapi Pasien ...........................................................53 Catatan Pemberian Obat Pasien...................................................62 Ringkasan Pulang (Discharge Summary) ....................................66 v Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 6 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metode pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Masalah terkait obat (Drug-Related Problems / DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu : (1) masalah efektivitas terapi, (2) masalah Reaksi Obat yag Tidak Dikehendaki (ROTD), (3) masalah biaya, (4) masalah lainnya (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010). Penggunaan obat pada penyakit Tuberkulosis dan Pneumonia cukup kompleks sehingga kemungkinan terjadinya masalah terkait obat semakin besar. Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan obat secara rasional, melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan obat secara sistematis, terstandar dan dilaksanakan secara teratur di rumah sakit maupun di pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan obat tersebut. 1 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 2 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan tugas khusus ini adalah : a. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien terpilih. b. Memberikan rekomendasi intervensi untuk masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dapat terjadi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). 2.1.2 Patogenesis Penyebaran TB Paru dari penderita terjadi melalui nuklei droplet infeksius yang keluar bersama batuk, bersin dan bicara dengan memproduksi percikan yang sangat kecil berisi kuman TB. Kuman ini melayang-layang di udara yang dihirup oleh penderita lain. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah kedekatan dan durasi kontak serta derajat infeksius penderita dimana semakin dekat seseorang berada dengan penderita, makin banyak kuman TB yang mungkin akan dihirupnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). 2.1.2.1 Tuberkulosis Primer Penyebaran tuberkulosis ini terjadi pada penderita yang belum pernah terinfeksi sebelumnya. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Limfangitis regional bisa sembuh tanpa mengalami cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas dan mengalami penyebaran. Penyebarannya dengan beberapa cara yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009): a. Perkontinuitatum adalah penyebaran kuman tuberkulosis di sekitar paru yang terserang kuman tuberkulosis tersebut. b. Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus. 3 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 4 c. Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang adekuat. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. 2.1.2.2 Tuberkulosis Post-Primer Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberculosis primer. Penyebaran tuberkulosis ini dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia kecil yang bisa sembuh tanpa meninggalkan cacat, meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis tetapi bisa juga meluas dan membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009). 2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis 2.1.3.1 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis TB paru dapat dibagi, yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) : a. TB Paru BTA (Basil Tahan Asam) Positif yaitu: 1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif. 2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. 3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. TB Paru BTA (Basil Tahan Asam) Negatif 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 5 2.1.3.2 Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus, saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Berdasarkan tingkat keparahannya, TB ekstra paru ini dibagi menjadi TB ekstra paru berat (severe) dan TB ekstra paru ringan (not/less severe). Contohnya adalah tuberkulosis milier dimana patogen ke seluruh paru-paru dan memberikan gambaran bintik-bintik kecil seperti mutiara (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009). 2.1.3.3 Tipe Penderita TB Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) : a. Kasus baru Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b. Kasus kambuh (relaps) Kasus kambuh adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan : 1) Infeksi sekunder 2) Infeksi jamur 3) TB paru kambuh c. Kasus lalai berobat Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 6 d. Kasus Gagal Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan. e. Kasus kronik Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik f. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik. 2.1.4 Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologic, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dengan ditemukannya basil tuberkulosis, dapat dipastikan bahwa proses masih aktif dan perlu diberikan pengobatan yang sesuai (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009). 2.1.4.1 Gejala Klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. a. Gejala respiratorik Gejala respiratorik yaitu : 1) Batuk ≥ 3 minggu 2) Batuk darah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 7 3) Sesak napas 4) Nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. b. Gejala sistemik Gejala sistemik yaitu : 1) Demam 2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 2.1.4.2 Pemeriksaan Jasmani (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum . Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 8 auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. 2.1.4.3 Pemeriksaan Bakteriologi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa. Bahannya dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi. Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopis dan biakan. a. Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan hapusan dahak mikroskopis langsung yang merupakan metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi BTA yang memegang peranan utama dalam diagnosis TB Paru. Selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan, akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan derajat penularan, risiko kematian serta prioritas pengobatan. b. Pemeriksaan biakan kuman Melakukan pemeriksaan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi mikobakterium tuberkulosis dan juga Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). 2.1.4.4 Pemeriksaan Radiologik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif yaitu : 1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 9 2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3) Bayangan bercak milier. 4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu : 1) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas. 2) Kalsifikasi atau fibrotik. 3) Kompleks ranke. 4) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura. 2.1.4.5 Pemeriksaan Penunjang Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009). 1. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. 2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain : a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 10 terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M. tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. 3. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 11 4. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 5. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH = biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan 6. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik / daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 7. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 12 mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Gambar 2.1. Alur diagnosis TB (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 13 2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009) 2.1.5.1 Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis sebagaimana pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT 2.1.5.2 Prinsip pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 14 c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan. 1) Tahap awal (intensif) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 2.1.5.3 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu : 1. Kategori 1 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : a) Pasien baru TB paru BTA positif. b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 sebagaimana dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 15 2. Kategori 2 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya : a) Pasien kambuh b) Pasien gagal c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3 sebagaimana dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 3. OAT Sisipan (HRZE) Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana dalam Tabel 4. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 16 Tabel 2.4. Dosis KDT Sisipan : (HRZE) 2.1.5.4 Pengobatan TB Pada Kondisi Khusus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009) a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancer dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 17 d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TBHIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsipprinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV). e. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. g. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 18 fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti : 1) Meningitis TB 2) TB milier dengan atau tanpa meningitis 3) TB dengan Pleuritis eksudativa 4) TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. j. Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: 1) Untuk TB paru: a) Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. b) Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. c) Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir. 2) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 19 2.2 HAP (Hospital Acquired Pneumonia) atau Pneumonia Nosokomial 2.2.1 Definisi Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 2.2.2 Etiologi Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S. pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara invasive misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 2.2.3 Patogenesis Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) : 1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia lanjut 2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien 3. Hematogenik 4. Penyebaran langsung Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 20 Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 2.2.4 Faktor Resiko Pneumonia Nosokomial Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) : a. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis. b. Faktor eksogen adalah : 1) Pembedahan Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%). 2) Penggunaan antibiotik Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 21 Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring. 3) Peralatan terapi pernapasan. Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi. 4) Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0. 5) Lingkungan rumah sakit a) Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur b) Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter, dan lain-lain. c) Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi. 6) Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004) a) Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir. b) Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari. c) Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut. d) Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 22 2.2.5 Diagnosis Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) : 1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit. 2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar : a) Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif b) Ditambah 2 diantara kriteria berikut : 1) Suhu tubuh > 38oC 2) sekret purulen 3) leukositosis Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS : 1. Dirawat di ruang rawat intensif 2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 % 3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrat paru 4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau disfungsi organ yaitu : a) Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg) b) Memerlukan vasopresor > 4 jam c) Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam d) Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis Pemeriksaan yang diperlukan adalah : 1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan 106 colony-forming units/ml dari sputum, 105 – 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, 104 – 105 colony-forming units/ml dari Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 23 bronchoalveolar lavage (BAL), 103 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk. 2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit. 3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal. 2.2.6 Pengobatan 2.2.6.1 Terapi Antibiotik Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah (American Thoracic Society, 2004) : 1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat. 2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. 3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 24 4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR. 5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk. 6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan. Tabel 2.5. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004) Patogen Potensial Antibiotik yang Direkomendesikan Streptocoocus pneumonia Betalaktam + antibetalaktamase Haemophilus influenza (Amoksisilin klavulanat) Metisilin-sensitif Staphylocoocus atau aureus Sefalosporin G3 nonpseudomonal Antibiotik sensitif basil Gram (Seftriakson, sefotaksim) negatif enterik atau o Escherichia coli Kuinolon respirasi (Levofloksasin, o Klebsiella pneumonia Moksifloksasin) o Enterobacter spp o Proteus spp o Serratia marcescens Tabel 2.6. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA 2004) Patogen Potensial Antibiotik yang Direkomendesikan Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal patogen pada Tabel 5 (Sefepim, seftasidim, sefpirom) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 25 Pseudomonas aeruginosa atau Klebsiella pneumonia (ESBL) Karbapenem antipseudomonal Acinetobacter sp (Meropenem, imipenem) Methicillin resisten Staphylococcus atau aureus (MRSA) ß-laktam / penghambat ß lactamase (Piperasilin – tasobaktam) ditambah Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau tobramisin) ditambah Linesolid atau vankomisin atau teikoplanin Tabel 2.7. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004) Antibiotik Dosis Sefalosporin antipseudomonal Sefepim 1-2 gr setiap 8 – 12 jam Seftasidim 2 gr setiap 8 jam Sefpirom 1 gr setiap 8 jam Karbapenem Meropenem 1 gr setiap 8 jam Imipenem 500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8 jam ß-laktam / penghambat ß-laktamase Piperasilin - tasobaktam 4,5 gr setiap 6 jam Aminoglikosida Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 26 Gentamisin 7 mg/kg BB/hr Tobramisin 7 mg/kg BB/hr Amikasin 20 mg/kg BB/hr Kuinolon antipseudomonal Levofloksasin 750 mg setiap hari Siprofloksasin 400 mg setiap 8 jam Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam Linesolid 600 mg setiap 12 jam Teikoplanin 400 mg / hari Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari. Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata (American Thoracic Society, 2004). Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain) (American Thoracic Society, 2004). Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten (American Thoracic Society, 2004). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 27 Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai (American Thoracic Society, 2004). 2.3 Masalah Terkait Obat (Drug-Related Problem/DRPs) 2.3.1 Definisi Masalah Terkait Obat Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010). 2.3.2 Klasifikasi Masalah Terkait Obat Klasifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat menurut PCNE adalah sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010) : a. Masalah efektivitas meliputi obat tidak efektif atau pengobatan gagal, efek obat tidak optimal, efek obat salah (idiosinkrasi), dan ada indikasi yang tidak diterapi. b. Masalah Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki meliputi pasein menderita ROTD bukan alergi, pasein menderita ROTD alergi, dan pasien menderita efek toksik. c. Masalah biaya meliputi biaya pengobatan lebih mahal dari yang diperlukan dan obat tidak diperlukan. d. Lain-lain meliputi pasien tidak puas dengan terapi yang diterimanya dan keluhan pasien atau masalah tidak jelas. Adapun beberapa hal yang dapat menjadi penyebab timbulnya masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat adalah: a. Pemilihan obat / dosis obat, meliputi : Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 28 1) Pemilihan obat tidak tepat (bukan indikasi yang paling tepat) termasuk penggunaan obat yang kontraindikasi. 2) Tidak ada indikasi penggunaan obat atau indikasi obat tidak jelas. 3) Kombinasi obat – obat atau obat – makanan tidak tepat termasuk kejadian interaksi obat. 4) Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda diresepkan untuk indikasi yang sama. 5) Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan. 6) Banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda) diresepkan untuk indikasi yang sama. 7) Tersedia obat yang lebih hemat biaya. 8) Kebutuhan obat yang bersifat sinergis atau preventif tidak diresepkan. 9) Ada indikasi baru dan obat belum diresepkan b. Pemilihan bentuk meliputi mentuk sediaan obat tidak tepat. c. Pemilihan dosis, meliputi 1) Dosis obat terlalu rendah. 2) Dosis obat terlalu tinggi. 3) Pengaturan dosis kurang sering. 4) Tidak dilakukan pemantauan kadar obat dalam darah. 5) Masalah terkait farmakokinetika obat yang memerlukan penyesuaian dosis. 6) Perburukan atau perbaikan kondisi sakit yang memerlukan penyesuaian dosis. d. Penentuan lama pengobatan, meliputi lama pengobatan terlalu pendek dan lama pengobatan terlalu panjang. e. Proses penggunaan obat, meliputi: 1) Waktu penggunaan obat atau interval pemberian dosis tidak tepat. 2) Menggunakan obat lebih sedikit dari pedoman pengobatan atau pemberian obat lebih jarang dari aturan penggunaan. 3) Menggunakan obat berlebih atau pemberian obat melebihi aturan penggunaan. 4) Obat tidak diminum atau tidak diberikan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 29 5) Minum obat yang salah atau memberikan obat yang salah. 6) Penyalahgunaan obat. 7) Pasien tidak menggunakan obat atau bentuk sediaan sesuai aturan. f. Logistik (kefarmasian), meliputi: 1) Obat yang diresepkan tidak tersedia. 2) Kesalahan peresepan (dalam menulis resep). 3) Kesalahan peracikan obat (dispensing error). g. Pasien 1) Pasien lupa untuk minum obat. 2) Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan. 3) Pasien makan makanan yang berinteraksi dengan obat. 4) Penyimpanan obat oleh pasien tidak tepat. h. Lain-lain 1) Lain-lain, sebutkan. 2) Penyebab tidak jelas 2.4 Evaluasi Kualitas Penggunaan Antibiotik Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian antibiotik dan rekam medik pasien. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan, dan harga (Gyssens, 2005). Bagan alur penilaian menggunakan kategori / klasifikasi Gyssens seperti pada gambar 2.2 berikut ini. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 30 Gambar 2.2. Bagan Alur Penilaian Kualitas Pemberian Antibiotik Metode Gyssens (Gyssens, 2005) Kriteria kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan bagan alur Gyssens adalah sebagai berikut (Gyssen, 2005). 1) Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak 2) Kategori I = Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu 3) Kategori IIA = Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis 4) Kategori IIB = Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 31 5) Kategori IIC = Penggunaan antibiotik tidak tepat cara / rute pemberian 6) Kategori IIIA = Penggunaan antibiotik terlalu lama 7) Kategori IIIB = Penggunaan antibiotik terlalu singkat 8) Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif 9) Kategori IVB = Ada antibiotik lain yang kurang toksik / lebih aman 10) Kategori IVC = Ada antibiotik lain yang lebih murah 11) Kategori IVD = Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit 12) Kategori V = Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik 13) Kategori VI = Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Pembuatan laporan ini dilakukan pada tanggal 4 – 30 Mei 2014 di RSUP Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian termasuk dalam penelitian observasional analitik yang dilakukan secara concurrent yaitu penelitian dilakukan sejalan dengan proses perawatan pasien di rumah sakit. Data yang digunakan adalah data primer yang berasal dari rekam medik pasien Tn. K. A di Lantai V Selatan Teratai. Kegiatan evaluasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dari data pemantauan terapi obat dilakukan secara studi pustaka menggunakan data-data atau informasi yang diperoleh dari literatur-literatur. 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Penetapan Data Pengobatan yang akan Dianalisa Data pengobatan yang akan dianalisa adalah data pemberian obat kepada pasien Tn. K. A yang dirawat di Lantai V Selatan Teratai dari tanggal 5 Mei – 20 Mei 2014. 3.3.2 Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan melalui pencatatan rekam medik di ruang perawatan lantai V Selatan Teratai meliputi data informasi pasien, hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik, rencana keperawatan, dan catatan pemberian obat. Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan dan selanjutnya dilakukan analisa. Data diambil dapat dilihat pada lampiran. 32 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 33 3.3.3 Penetapan Standar Penggunaan Obat Standar penggunaan obat ditetapkan berdasarkan standar terapi yang berlaku dan literatur-literatur ilmiah lainnya. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Hasil Analisis Masalah yang Berkaitan dengan Obat Menggunakan PCNE Tabel 4.1. Hasil Analisis Masalah yang Berkaitan dengan Obat Menggunakan PCNE No 1. Kasus Terjadi duplikasi terapi yaitu obat Sistenol dan Fluimucil yang diberikan pada tanggal 4 – 8 Mei 2014. Sistenol mengandung Nacetylsistein dan paracetamol, sedangkan Fluimucil mengandung nasetylsistein. Kedua obat samasama mengandung acetylsistein. Kode 3. Utama Masalah Efektivitas terapi Penyebab Pemilihan obat Intervensi Pada tataran penulis resep Hasil Intervensi 2. Domain Pada tataran obat Masalah terselesaikan secara tuntas Efektivitas terapi Terjadi duplikasi terapi yaitu obat Metoklopramid dan Ondansentron yang diberikan pada tanggal 6 – 14 Mei 2014. Masalah Penyebab Pemilihan obat Berdasarkan hasil Masalah Efektivitas 34 Sub Domain Ket Obat tidak efektif atau pengobatan gagal Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang tidak tepat. Menanyakan atau mengkonfirma si masalah terkait obat kepada penulis resep Mengubah jenis obat Saran agar diberikan 1 obat saja yaitu fluimucil. Saran diterima, resep diganti. Obat tidak efektif atau pengobatan gagal Banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda) diresepkan untuk indikasi yang sama. Obat tidak Saran agar diberikan 1 obat saja. Saran agar Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 35 No Kasus laboratorium tanggal 14 Mei 2014, Kotrimoksasol resisten, tetapi obat ini tetap diberikan. 4. 5. 6. Dosis Amikasin : HAP : IV : 20 mg/kg/day bersama antipseudomonal beta-lactam atau Karbapenem (American Thoracic Society/ATS Guidelines, 2004). Dosis Amikasin yang diberikan : 1 x 750 mg, artinya dosis Amikasin kurang. Paracetamol tepat untuk menurunkan panas/demam, tetapi sebaiknya dihindari penggunaannya pasien dengan gangguan hati (hasil laboratorium tgl 12/5/2014, kadar SGOT 435 u/l, SGPT 331 u/l). Serious – Use Alternative : Ofloxacin + Ondansentron : Ofloxacin dan Ondansentron Kode Domain Utama terapi Penyebab Pemilihan obat Masalah Efektivitas terapi Pemilihan dosis Penyebab Masalah Efektivitas terapi Penyebab Pemilihan obat Masalah Efektivitas terapi Pemilihan obat Penyebab Sub Domain Ket efektif atau pengobatan gagal Pemilihan obat tidak tepat (bukan untuk indikasi yang paling tepat) termasuk penggunaan obat yang kontraindikasi Efek obat tidak optimal Dosis obat terlalu rendah kotrimoksasol dihentikan sebab obat sudah resisten. Efek obat salah (idiosinkrasi) Pemilihan obat tidak tepat (bukan untuk indikasi yang paling tepat) termasuk penggunaan obat yang kontraindikasi Saran agar parasetamol dihentikan atau hanya digunakan dengan pertimbangan manfaat yang lebih menguntungka n. Efek obat tidak optimal Kombinasi obat-obat atau obat-makanan tidak tepat Memonitor keadaan pasien terhadap kemungkinan dari interaksi yang terjadi. Saran agar dosis Amikasin dinaikkan menjadi 1 x 860 mg. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 36 No 7. 8. Kasus keduanya meningkatkan interval QTc. Significant – monitor closely: Trimethoprim + Potassium Klorida : keduanya meningkatkan serum potassium. Trimethoprim menurunkan ekskresi potassium urin, sehingga dapat menyebabkan hiperkalemia. Nistatin drop yang seharusnya digunakan 4 x sehari, tetapi hanya diberikan 3 x sehari. Pada tanggal 14 dan 15 Mei 2014, KSR yang seharusnya diberikan 3 x sehari, tetapi hanya diberikan 1x sehari. Hal ini disebabkan karena tidak ada persediaan (TAP). Kode Domain Utama Sub Domain Ket termasuk kejadian interaksi obat Masalah Penyebab Masalah Penyebab Efektivitas terapi Proses penggunaan obat Efek obat tidak optimal Obat tidak diminum atau tidak diberikan Efektivitas terapi Logistik (kefarmasian) Efek obat tidak optimal Obat yang diresepkan tidak tersedia Saran agar Apoteker lebih memantau pemberian obat dari perawat ke pasien. Saran agar persediaan obat di depo lebih diperhatikan lagi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 37 4.1.2 Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens Tabel 4.2. Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens No. 1. Nama Antibiotik Ethambutol Kategori Gyssens Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak 2. Streptomisin Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak 3. Cotrimoksasol Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif 4. Ceftriaxone Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif 5. Levofloksasin Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif 6. Ofloksasin Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotik 7. Meropenem Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak 8. Amikasin Termasuk kategori IIA = penggunaan antibiotik tidak tepat dosis Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 38 4.2 Pembahasan 4.2.1 Pembahasan Hasil Analisis Masalah Terkait Obat Menggunakan PCNE Pasien Tn. KA (65 tahun) masuk ke RSUP Fatmawati pada tanggal 4 Mei 2014 dengan mengeluhkan batuk berdahak kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna kekuningan, tetapi tidak ada darah. Pasien mengalami sesak, demam pada siang dan malam hari dan juga mengalami mata kuning. Pasien juga mengalami mual dan muntah, buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan. Pada 2 bulan sebelumnya, pasien pernah mengalami operasi dada karena tumor mediastinum di RSUP Fatmawati, selain itu pasien memiliki riwayat TBC, Hepatitis, dan Tumor Paru. Pemeriksaan umum yang dilakukan pertama kali dirawat yaitu tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 26 x/menit, suhu 36,5˚C, tinggi badan 158 cm dan berat badan 43 kg. Pasien mengalami penurunan berat badan 5% dalam 3 bulan terkahir. Pasien kemudian dibawa ke ruang perawatan lantai V Selatan Gedung Teratai untuk dirawat lebih lanjut. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, pasien Tn. KA didiagnosis mengalami sepsis yang disebabkan oleh Hospital Acquired Pneumonia (HAP), TB Paru aktif BTA negatif, Ikterus Obstruktif, Candidiasis Oral, Malnutrisi berat, Hipokalemia, dan Hipernatremia. Selama dirawat di RSUP Fatmawati, pasien mendapatkan pengobatan yang cukup banyak. Beberapa masalah dalam pengobatan pasien Tn. KA dapat dilihat pada tabel 4.1. Pada tanggal 4 – 8 Mei 2014, pasien mendapatkan obat Sistenol dan Fluimucil. Obat Sistenol itu sendiri mengandung N-acetylsistein dan paracetamol, sedangkan Fluimucil mengandung n-asetylsistein. Kedua obat samasama mengandung asetilsistein. Indikasi asetilsistein adalah sebagai mukolitik pada pasien dengan sekresi lendir yang abnormal atau lengket pada penyakit bronkopulmonalis akut dan kronis (American Pharmacists Association, 2013). Asetilsistein sebenarnya cukup tepat diberikan kepada pasien Tn KA, tetapi sebaiknya hanya diberikan salah satu obat saja yaitu Fluimucil, sebab Sistenol juga mengandung Paracetamol dimana paracetamol ini tidak perlu selalu diberikan karena suhu badan pasien juga tidak selalu tinggi, selain itu paracetamol Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 39 juga tidak tepat digunakan untuk pasien dengan gangguan hati. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Mei 2014 diketahui pasien mengalami gangguan fungsi hati yaitu SGOT pasien 146 u/l, SGPT 164 u/l, bilirubin total 4,90 mg/dl, bilirubin direk 4,40 mg/dl dan bilirubin indirek 0,50 mg/dl. Intervensi yang dilakukan untuk masalah ini adalah memberitahukan kepada apoketer penanggung jawab dan selannjutnya diberitahukan kepada dokter penanggung jawab pasien. Saran diterima dan obat yang diberikan adalah Fluimucil. Masalah lainnya mengenai duplikasi obat yang terjadi adalah pemberian Metoklopramid dan Ondansentron. Metoklopramid dan Ondansentron merupakan obat antiemetik yang indikasikan untuk mual dan muntah yang dialami oleh pasien Tn. KA. Untuk pemberian antiemetik sebaiknya dipilih salah satu obat saja sebab dengan duplikasi obat, dosis untuk menjadi berlebih, efek samping dan biaya pengobatan pun semakin meningkat,. Metoklopramid dan Ondansentron, keduanya dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif. Pemberian obat ini dapat memperberat kerja hati sehingga dapat memperburuk kondisi hati pasien (American Pharmacists Association, 2013). Pasien Tn. KA didiagnosa mengalami sepsis yang disebabkan oleh HAP dan pasien diberikan obat Ceftriaxone dan Cotrimoksasol. Kedua obat ini diberikan sebagai antibiotik awal secara empirik sambil menunggu hasil kultur bakteri keluar. Dari pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Mei 2014 mengenai pemeriksaan biakan dan resistensi, didapatkan hasil pembiakan dari sputum yaitu Klebsiella pneumoniae dan hasil uji sensitivitas yaitu Cefriaxone dan Cotrimoksasol resisten. Berdasarkan data laboratorium ini, dokter mengganti Ceftriaxone dengan Meropenem dan Amikasin, sedangan Cotrimoksasol tidak diganti ataupun dihentikan. Pemberian Cotrimoksasol ini sebaiknya dihentikan sebab bakteri Klebsiella pneumonia sudah resisten tehadap Cotrimoksasol sehingga obat tidak efektif lagi untuk digunakan. Selain itu juga dapat menambah biaya pengobatan pasien bila obat tetap diberikan. Pemberian Meropenem dan Amikasin untuk pengobatan HAP sudah tepat sesuai dengan terapi antibiotik yang direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia yang juga mengacu pada American Thoracic Society (ATS) tahun 2004 (lihat tabel 2.6), namun pemberian dosis Amikasin masih belum tepat. Dosis Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 40 Amikasin yang direkomendasikan adalah 20 mg/kg BB/hari, sedangkan dosis Amikasin yang diberikan adalah 750 mg/hari. Pemberian dosis antibiotik yang kurang (under dose) dapat menyebabkan peningkatan resistensi dan memperlambat proses penyembuhan. Masalah yang ditemukan dalam pengobatan Tn. KA ini tidak hanya dari pemilihan obat dan dosis, tetapi juga dari proses penggunaan obat. Nistatin drop yang seharusnya diberikan 4 x sehari 1 cc hanya diberikan oleh perawat 3 x 1 cc. Pemberian dosis yang kurang menyebabkan proses penyembuhan menjadi lebih lambat dan peningkatan resistensi, oleh sebab itu Apoteker penanggung jawab perlu memantau pemberian obat oleh perawat agar lebih mengoptimalkan pengobatan pasien. Masalah dari proses penggunaan obat berikutnya adalah obat yang diresepkan tidak tersedia yaitu pada tanggal 14 dan 15 Mei 2014, KSR yang seharusnya diberikan 3 x sehari 1 tablet, tetapi hanya diberikan 1 x sehari 1 tablet. Hal ini disebabkan karena tidak ada persediaan (TAP) di depo farmasi. Ketersediaan obat di depo perlu menjadi perhatian penting, sebab dengan tidak tersedianya obat, pasien tidak dapat meminum obatnya yang akhirnya berdampak pada tidak efektifnya pengobatan pasien. Interaksi obat yang terjadi pada pengobatan Tn. KA tergolong dalam kategori Serious – Use Alternative yaitu Ofloksasin dan Ondansentron. Ofloxacin dan Ondansentron keduanya meningkatkan Interval QTc. Sindroma Long QT adalah kelainan pada sistem elektrikal jantung, yang bisa menyebabkan hilangnya kesadaran atau kematian mendadak sehingga perlu pemantauan EKG, kelainan elektrolit, CHF, atau bradyarrhytmia. Kategori interaksi obat lainnya yaitu Significant – monitor closely (Trimethoprim dan Potasium Klorida). Trimethoprim dan Potasium Klorida keduanya meningkatkan kadar serum kalium. Trimethoprim menurunkan ekskresi potassium urin sehingga dapat menyebabkan hiperkalemia, khususnya dengan dosis tinggi, insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasikan dengan obat lain yang menyebabkan hiperkalemia. Penggunaan bersamaan kedua obat ini perlu dipantau karena berpotensi terjadi interaksi (Medscape, 2014). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 41 Cukup banyaknya masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat yang ditemukan dalam pengobatan pasien menuntut peran apoteker untuk lebih aktif berkontribusi bersama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam rangka pencegahan masalah dalam pengobatan yang dapat merugikan pasien sehingga pada akhirnya tercapai terapi yang optimal bagi setiap pasien. Peran apoteker dalam evaluasi pengobatan pasien tidak hanya sampai menemukan masalah yang terkait dengan obat, tetapi juga memberikan intervensi untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan. 4.2.2 Pembahasan Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens Antibiotik yang diberikan untuk pengobatan Tn. KA, dianalisis kualitas penggunaannya dengan menggunakan algoritma Gyssens untuk menilai apakah penggunaan antibiotik tersebut tepat atau tidak. Dari analisis tersebut didapatkan hasil : a. Ethambutol dan Streptomisin Pemberian Ethambutol dinilai tepat untuk mengobati penyakit TB pasien. Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 384/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, disebutkan bahwa Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan Streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. Kedua obat ini yg paling dianjurkan sebab hanya ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB dan tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan pada penggunaan Streptomisin (Kishore, et al. 2007). b. Cotrimoksasol Cotrimoksasol merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Cotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi (Trimethoprim dan Sulfametoksasol) yang diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR, namun pemberian antibiotik ini dinilai tidak tepat (termasuk kategori IVA) yaitu ada Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 42 antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan HAP. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial / HAP, terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA antipseudomonal 2004) yaitu (Sefepim, direkomendasikan seftasidim, antibiotik sefpirom) atau Sefalosporin Karbapenem antipseudomonal (Meropenem, imipenem) atau ß-laktam / penghambat ß lactamase (Piperasilin – tasobaktam) ditambah Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau tobramisin). Dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Cotrimoksasol sehingga sebaiknya antibiotik ini tidak perlu diberikan. c. Cefriaxone Ceftriaxone merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang digunakan sebagai terapi awal antibiotik secara empiris. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Ceftriaxone dinilai belum tepat, termasuk kategori IVA yaitu ada antibiotik lain yang lebih efektif. Ceftriaxone merupakan lini pertama untuk membunuh bakteri Klebsiella pneumonia yang ditemukan dari hasil kultur sputum pasien (American Pharmacists Association, 2013), namun dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Ceftriaxone sehingga ketika hasil laboratorium ini keluar, pemberian Ceftriaxone dihentikan dan diganti dengan antibiotik alternatif yang lebih sensitif membunuh bakteri Klebsiella pneumonia yaitu Meropenem dan Amikasin. d. Levofloxacin Levofloxacin merupakan antibiotik yang dikombinasikan dengan Ceftriaxone untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Levofloxacin dinilai belum tepat, termasuk kategori IVA yaitu ada antibiotik lain yang lebih efektif. Levofloxacin merupakan terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 43 faktor risiko patogen MDR (ATS / IDSA, 2004), namun dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Levofloxacin sehingga ketika hasil laboratorium ini keluar, pemberian Levofloxacin dihentikan. e. Ofloksasin Pemberian Ofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang dinilai tidak tepat (kategori V) yaitu tidak ada indikasi penggunaan antibiotik. Ofloksasin lebih diindikasikan untuk pengobatan Community-Acquired Pneumonia (CAP) (American Pharmacists Association, 2013). Pemberian Ofloksasin sebaiknya dihentikan sebab sudah ada antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan HAP. f. Meropenem Meropenem merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Meropenem dinilai tepat. Meropenem direkomendasikan oleh ATS / IDSA sebagai terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR. Meropenem dikombinasikan dengan Amikasin sebagai pengganti antibiotik Ceftriaxone dan Levofloxacin yang sudah resisten. Meropenem juga merupakan antibiotik alternatif untuk membunuh bakteri Klebsiella pneumonia apabila drug of first choice (Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefepim, atau Ceftazidime) sudah tidak efektif lagi. g. Amikasin Amikasin merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Analisis Pemberian Amikasin menggunakan Gyssens mendapatkan hasil yaitu termasuk kategori IIA (penggunaan antibiotik tidak tepat dosis). Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia yang juga mengacu pada American Thoracic Society (ATS) tahun 2004, dosis Amikasin yang dikombinasikan dengan Meropenem adalah 20 mg/kg BB/hari, sehingga dengan berat badan pasien 43 kg, dosis yang harus diberikan adalah 860 mg/hari, sedangkan dosis Amikasin yang diberikan adalah 750 mg. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : a. Masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dari pasien terpilih meliputi masalah interaksi, pemilihan, efek samping, dosis, dan penggunaan obat. b. Intervensi yang dapat diberikan untuk masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat meliputi pemantauan kondisi klinis pasien, perubahan dosis obat, dan penghentian / penggantian obat. 5.2 Saran Kegiatan pemantauan terapi obat pasien yang telah ada di RSUP Fatmawati sebaiknya terus dilakukan agar dapat selalu teridentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat demi tercapainya hasil terapi yang optimal bagi pasien. 44 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 DAFTAR ACUAN American Pharmacists Association. (2013). Drug Information Handbook. Edisi ke-21. Ohio: Lexi-Comp. American Thoracic Society. (2004). Hospital-acquired pneumonia in adults : Diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Ohio : Am J Respir Crit Care Med. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Gyssens, Inge C. (2005). Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. New York : Kluwer Academic Publishers. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kishore, et al. (2007). Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotheraphy : Challenges and Difficulties in Treatment. Nepal : Khatmandu University Medical Journal Vol 5, No. 2. Medscape. (2014). http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker diakses pada tanggal 17 Mei 2014. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2009). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia Nosokomial : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pharmaceutical Care Network Europe. (2010). PCNE Classification for Drug Related Problems. Zuidlaren : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 45 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 LAMPIRAN Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 46 Lampiran 1. Informasi Pasien Data Pasien Nama : Kasimin Asmorejo Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Lahir : 31-12-1961 BB : 43 kg TB : 158 cm Alamat : Cilandak Barat, Jln. Albarakah RT 06 RW 13 No. Telepon : 087887320454 Tanggal Masuk RS : 04-05-2014 Ruang Rawat : Lantai V Selatan Keluhan Utama Keluhan utama pada saat pasien masuk rumah sakit yaitu pasien mengeluh mual, muntah selama 4 hari, batuk berdahak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluhkan batuk berdahak kurang lebih 2 minggu terakhir. Batuk dengan dahak berwarna kekuningan dan tidak berdarah, tidak sesak. Pasien merasakan demam terutama saat siang hari. Terdapat penurunan berat badan, merasakan keringat pada malam hari, mual tapi tidak muntah, buang air kecil dan besar tidak ada keluhan. Pasien mengeluhkan mata kuning. Perut dan dada tidak terasa nyeri. Riwayat Penyakit Terdahulu Dua bulan lalu pasien pernah mengalami operasi dada karena tumor mediastinum di Rumah Sakit Fatmawati. Tidak ada riwayat DM, Hipotensi, dan riwayat trauma. Pasien dulunya perokok aktif namun sudah berhenti 2 tahun terakhir. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Riwayat Keluarga Pasien tidak tahu riwayat penyakit keluarga. Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 47 Riwayat Sosial Nilai budaya yang dimiliki terkait penyebab penyakit : Takdir. Pola komunikasi : Introvert. Social support : istri dan 2 orang anak. Tidak mempunyai pengaruh kepercayaan yang dianut terhadap penyakit. Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 48 Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Nilai Normal Tanggal Satuan 12/5/ 16/5/ 19/5/ 14 14 14 - - - - 5/5/14 8/5/14 mmHg 7,360 Analisa Gas Darah 7,370 – pH 7,440 PCO2 35 – 45 mmHg 37,5 - - - - PO2 83 – 108 mmHg 73,6 - - - - mmHg 752 - - - - 20,7 - - - - 94,4 - - - - -4,2 - - - - 21,9 - - - - g/dl 11,5 13 12 - 12,9 BP HCO3 21 – 28 O2 Saturasi BE CBase Excess Total CO2 95 – 99 -2,5 – 2,5 19 – 24 mmol/ L % mmol/ L mmol/ L Hematologi Hemoglobin 13,2 – 17,3 Hematokrit 33 – 45 % 35 42 39 - 40 Lekosit 5 – 10 Ribu/ul 12,3 27,4 25 - 35,9 150 – 440 Ribu/ul 463 476 410 - 309 Juta/ul 3,77 4,39 4,12 - 4,30 Trombosit Eritrosit 4,40 – 5,90 Fungsi Hati SGOT 0 - 34 u/l 146 375 435 335 - SGPT 0 – 40 u/l 164 196 331 237 - Bilirubin 0,10 – mg/dl 4,90 - 3,90 3,50 - Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 49 Pemeriksaan total Bilirubin Nilai Normal Tanggal Satuan 5/5/14 8/5/14 12/5/ 16/5/ 19/5/ 14 14 14 1,00 < 0,2 mg/dl 4,40 - 0,10 3,00 - 20 – 40 mg/dl 15 24 21 - - 0,6 – 1,5 mg/dl 0,6 0,5 0,5 - - 70 – 140 mg/dl 95 - - - - Natrium 135 – 147 mmol/l 131 135 135 - - Kalium 3,10 – mmol/l 2,66 3,49 3,63 - - 95 – 108 mmol/l 95 98 98 - - VER 80 – 100 fl - 95,8 94,9 - 93,1 HER 26 – 34 pg - 29,7 29,2 - 30 KHER 32 – 36 g/dl - 31 30,8 - 32,2 RDW 11,5 – % - 15 15,1 - 15,4 direk Fungsi Ginjal Ureum darah Kreatinin darah Glukosa darah sewaktu Elektrolit darah 5,10 Klorida VER/ HER/ KHER/ RDW 14,5 Hitung Jenis Basofil 0–1 % - 1 1 - 0 Eosinofil 1–3 % - 0 0 - 0 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 50 Pemeriksaan Nilai Normal Tanggal Satuan 5/5/14 8/5/14 12/5/ 16/5/ 19/5/ 14 14 14 Netrofil 50 – 70 % - 79 76 - 51 Limfosit 20 - 40 % - 15 17 - 16 Monosit 2–8 % - 4 5 - 2 Luc < 4,5 % - 1 1 - 0 140 – 300 u/l - 1,815 - - - - - - - 10,2 - - - - 1,9 Jantung LDH Asam Laktat 0,5 – 2,2 mmol/ L SeroImunologi CRP Kuantattif < 1,0 mg/dl Riwayat Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan tanggal 05-05-2014 Bahan : Sputum Pemeriksaan : Pewarnaan Gram Hasil : Gram positif coccus dan gram negatif batang ditemukan Sel Epitel = 4-6/LPK Leukosit = 30-35/LPK Pemeriksaan Dahak Nanah lendir : Pagi (B) = Negatif; Sewaktu (C) = Negatif Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 51 Lampiran 3. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Tanggal Terima : 5 Mei 2014 Tanggal ACC : 14 Mei 2014 Keterangan Klinis : TB Paru Pemeriksaan Biakan MO & Resistensi Pemeriksaan Mikroskopis Bahan : Sputum Sel Epitel : 4-6/LPK Hasil Pembiakan : Klebsiella pneumonia Leukosit : 30 – 45/LPK No. I Jenis Obat Kons. Hasil Pemeriksaan ( R/I/S) 30 µg R µg R Cefixime 5 µg R Cefuroxime 30 µg R Ceftazidime 30 µg R Cefoperason 75 µg R Cefotaxime 30 µg R Ceftriaxone 30 µg R Imipenem 10 µg S Meropenem 10 µg S Amikasin 30 µg S Gentamisin 10 µg R Kanamisin 20 µg R 5 µg R Golongan Penicilin Amoxyclav / Augmentin* Ampicilin Sulbactam* II III IV V Golongan Sefalosporin Golongan Karbapenem Golongam Aminoglikosida Golongan Kuinolon Levofloksasin Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 52 No. VI Jenis Obat Kons. Hasil Pemeriksaan µg R Tetrasiklin 30 µg R Kloramfenikol 30 µg S Fosfomisin 50 µg S Golongan Antibiotik Lain Cotrimoksasol Keterangan : * = Kombinasi Beta Laktamase Inhibitor; R = Resisten; I = Intermediate; S = Sensitif Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 53 Lampiran 4. Pemantauan Terapi Pasien Tanggal S 5/5/2014 6/5/2014 O A P Batuk sulit kesadaran : CM berhenti waktu TD : 140/70 mmHg pagi, sesak nadi : 120 x /menit setelah batuk, suhu : 37,8˚C muntah, demam Saturasi O2 : 96% pagi ini mata : konjungtiva pucat, sklera ikterik Paru : lendir tidak ada 1. Sepsis ec HCAP 2. TB paru aktif hari ke-28 3. Ikterus Obstruktif suspek meta tumor 4. Candidiasis oral 5. Malnutrisi berat 6. Riwayat tumor mediastinum suspek tumor ganas saluran limfa 7. Hypokalemia 8. Hipernatremia ringan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Panas, mual, batuk belum berkurang, tidak nyeri dada, tidak sesak, mual muntah ada 1. Sepsis ec HCAP 1. Cefriaxone 2 x 2 g IV (H3) 2. TB Paru BTA negatif dengan 2. Ethambutol 1 x 1000 mg infeksi sekunder 3. Streptomisin 1 x 1000 IM 3. Ikterik Obstruktif 4. Ofloxacin 1 x 400 mg PO 4. Oral hygine buruk (H28) 5. Malnutrisi berat 5. Dexamenthason 3 x 5 mg IV Kesadaran : CM TD : Nadi : 80 x/menit Mata : sklera ikterik Paru : lendir tidak ada Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 Diet TKTP 1900 kkal/hari Cefriaxone 2 x 2 g IV (H2) Levofloxacin stop Ethambutol 1 x 1000 mg Streptomisin 1 x 1000 IM Ofloxacin 1 x 400 mg PO (H28) 7. Dexamenthason 3 x 5 mg IV 8. Sistenol 3 x 500 mg 9. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 / 6 jam 10. Kotrimoksasol 2 x 960 mg (H1) 11. Fluimucyl 3 x 1 sacch 12. Curcuma 3 x 200 mg 13. KSR 3 x 600 mg 14. Ondansentron 3 x 8 mg IV 15. Rantin 2 x 500 mg IV 16. Nistatin drop 4 x 1 cc 54 Tanggal 7/5/2014 S Batuk masih ada, lemas, sakit kepala dan nyeri dada tiap batuk, sesak tiap batuk, mual muntah berkurang, tidak demam, BAB sulit. O A Kesadaran : CM TD : 140/80 mmHg Nadi : 88 x/menit Saturasi O2 : 98% Mata : sklera ikterik P 6. Riwayat timuma tipe AB stadium (H2) IV 6. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 7. Hypokalemia koreksi 1 : 1 / 6 jam 8. Hiponatremia ringan 7. Kotrimoksasol 2 x 960 mg (H1) 8. Curcuma 3 x 200 mg 9. KSR 3 x 600 mg 10. Ondansentron 2 x 8 mg IV 11. Metoklopramid 3 x 1 12. Rantin 2 x 500 mg IV 13. Nistatin drop 4 x 1 cc 1. Sepsis ec HCAP 1. Clinimix /24 jam 2. TB Paru BTA negatif 2. D 1O /12 jam 3. Ikterik obstruktif 3. Cefriaxone 2 x 2 g IV (H4) 4. Oral hygine buruk 4. Ethambutol 1 x 1000 mg 5. Malnutrisi berat (H37) 6. Riwayat timuma tipe AB stadium 5. Streptomisin 1 x 1000 mg IM IV (H30) 7. Hypokalemia koreksi 6. Ofloxacin 1 x 400 mg (H3) 8. Hiponatremia ringan 7. Dexamethason 3 x 5 mg IV (H3) 8. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 / 6 jam 9. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H3) 10. Curcuma 3 x 200 mg 11. KSR 3 x 600 mg 12. Ondansentron 2 x 8 mg IV 13. Metoklopramid 3 x 1 Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 55 Tanggal S O A P 14. Rantin 2 x 500 mg IV 15. Nistatin drop 4 x 1 cc 16. MST 2 x 15 mg 17. Laxadine 3 x 10 cc 18. Ketorolac 3 x 30 mg Extra jika masih nyeri > 6 19. Betadine kumur 3x/hari 8/5/2014 Nyeri berkurang, tidak demam, batuk masih ada, masih nyeri menelan Kesadaran : CM TD : 140/80 mmHg Nadi : 108 x/menit suhu : 36,9˚C Saturasi O2 : 97% Mata : sklera ikterik Paru : basah kasar 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sepsis ec HCAP TB Paru BTA negatif Ikterik obstruktif Oral hygine buruk Malnutrisi berat Riwayat timuma tipe AB stadium IV 7. Hipokalemia dan hiponatremia ringan Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 1. 2. 3. 4. 5. Clinimix / 24 jam D 1O / 12 jam Diet TKTP 1900 kkal/hari Ceftriaxone 2 x 2 mg (H5) Ethambutol 1 x 1000 mg (H31) 6. Streptomisin 1 x 1000 mg (H31) 7. Ofloxacin 1 x 400 mg (H31) 8. Dexamethason 3 x 5 mg IV (H4) 9. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 / 6 jam 10. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H4) 11. Curcuma 3 x 200 mg 12. KSR 3 x 1200 mg 13. Ondansentron 2 x 8 mg IV 14. Metoklopramid 3 x 1 15. Rantin 2 x 500 mg IV 16. Nistatin drop 4 x 1 cc 56 Tanggal 9/5/2014 S Batuk masih ada namun berkurang, tidak demam, mual muntah berkurang O A Kesadaran : CM TD : 140/80 mmHg Nadi : 92 x/menit Suhu : 36˚C Saturasi O2 : 99% Mata : sklera ikterus 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. P 17. MST 2 x 15 mg 18. Laxadine 3 x 10 cc 19. Ketorolac 3 x 30 mg extra jika nyeri 20. Betadine kumur 3 x Sepsis ec HCAP 1. Clinimix / 24 jam TB paru BTA negatif H31, 2. D 1O / 12 jam streptomisin stop 3. Diet TKTP 1900 kkal/hari Ikterus parenkimal ec nodul hepar 4. Ceftriaxone 2 x 2 g (H6) Candidiasis oral 5. Ethambutol 1 x 1000 g (H32) Malnutrisi berat pada keganasan 6. Ofloxacin 1 x 400 mg (H32) Riwayat timuma tipe AB stadium 7. Dexamethason 3 x 5 g (H5) IV 8. Inhalasi Ventolin : Bisolvon Hipokalemia dan hiponatremia 1 : 1 /6 jam perbaikan 9. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H5) 10. Curcuma 3 x 200 mg 11. KSR 3 x 600 mg 12. Ondansentron 3 x 8 mg IV 13. Metoklopramid 3 x 1 ampul IV 14. Codein 3 x 10 mg 15. MST 2 x 10 mg 16. Rantin 2 x 50 mg IV 17. Nistatin drop 4 x 1 cc 18. Laxadine 3 x 10 cc 19. Ketorolac 3 x 30 mg IV 20. Neurodex 1 x 1 mg 21. Betadine kumur 3x Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 57 Tanggal 12/5/2014 S Ada mual, tidak muntah, BAK dan BAB dalam batas normal. Saat ini perawatan hari ke-8. Pasien tidak sesak, batuk berkurang O A Kesadaran : CM TD : 140/90 mmHg Nadi : 105 x/menit Saturasi O2 : 95% Suhu : 36˚C Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik Pulmo : Vesikuler, bronkhi basah kasar bilateral, wheezing tidak ada. 1. Sepsis ec HCAP 2. TB paru BTA negatif h-31 (Streptomisin sudah stop) 3. Ikterus parenkimal ec nodul hepar suspek metastasis 4. Candidiasis oral 5. Malnutrisi berat pada keganasan 6. Riwayat timuma tipe AB stadium IV 7. Hipokalemia dan hiponatremia perbaikan Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 P 22. Fluimucyil 3 x 1 sacchet 23. Paracetamol 3 x 500 mg kalau demam. 1. Clinimix /24 jam stop (nafsu makan membaik) 2. D 10 /12 jam 3. Diet TKTP 1900 kkal/hari 4. Ceftriaxone 2 x 2 g IV (H9) 5. Ethambutol 1 x 1000 mg (H35) 6. Ofloxacin 1 x 400 mg (H35) 7. Dexametason 3 x 5 mg (H8) 8. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 /6 jam 9. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H8) 10. Curcuma 3 x 200 mg 11. KSR 3 x 600 mg 12. Ondansentron 3 x 8 mg IV 13. Metoklopramid 3 x 1 ampul 14. Codein 3 x 10 mg 15. MST 2 x 10 mg 16. Rantin 2 x 50 mg IV 17. Nistatin drop 4 x 1 cc 18. Laxadine 3 x 10 cc 19. Ketorolac 3 x 30 mg 20. Neurodex 1 x 1 21. Betadine gargle 3 x/hari 22. Fluimucil 3 x 15 cc 58 Tanggal S O A 13/5/2014 Makan mulai Kesadaran : CM banyak (1/2 TD : 120/80 mmHg porsi), tidak Nadi : 120 x/menit demam, batuk Saturasi O2 : 95% berdahak Suhu : 36,5˚C Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Pulmo : vesikuler, bronkhi basah kasar bilateral, wheezing tidak ada 1. Sepsis ec HCAP klinis perbaikan 2. TB paru BTA negatif h-32 3. Ikterus parenkimal ec nodul hepar suspek metastasis 4. Candidiasis oral 5. Malnutrisi berat pada keganasan 6. Riwayat timuma tipe AB stadium IV 7. Hipokalemia perbaikan 14/5/2014 Batuk, kental 1. Sepsis berat ec HCAP klinis perbaikan 2. TB paru BTA negatif h-33 3. Ikterus parenkimal ec nodul hepar suspek metastasis 4. Candidiasis oral 5. Malnutrisi berat pada keganasan 6. Riwayat timuma tipe AB stadium dahak Kesadaran : CM TD : 120/80 mmHg Nadi : 118 x/menit Suhu : 36,7˚C Saturasi : 98% Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Pulmo : vesikuler, bronkhi Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 P 23. Paracetamol 3 x 500 mg kalau perlu 1. D 10 500 cc/12 jam 2. Diet TKTP 1900 kkal/hari 3. Ceftriaxone 2 x 2 g IV (H10) 4. Ethambutol 1 x 1000 mg (H36) 5. Dexamethason 3 x 5 mg (H9) 6. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1/6 jam 7. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H9) 8. Curcuma 3 x 200 mg 9. KSR 3 x 600 mg stop 10. Ondansentron 3 x 8 mg IV 11. Metoklopramid 3 x 1 ampul stop 12. Codein 3 x 10 mg 13. MST 2 x 10 mg 14. Nistatin drop 4 x 1 cc 15. Rantin 2 x 50 mg IV 1. Infus D 10 500 mg/12 jam : NaCl 0,9 500/12 jam 2. Diet TKTP 1900 kkal/hari 3. Ceftriaxone 2 x 2 mg IV (H11) 4. Ethambutol 1 x 1000 (H37) 5. Ofloxacin 1 x 400 mg (H37) 6. Dexamethason 3 x 5 mg 59 Tanggal S O A basah kasar bilateral, wheezing tidak ada 16/5/2014 Sesak berkurang, batuk berkurang, tidak demam Kesadaran : CM TD : 150/90 mmHg Nadi : 112 x/menit Suhu : 36,5˚C Saturasi : 95% Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Pulmo : vesikuler, bronkhi basah kasar bilateral, wheezing tidak ada P IV 1. 2. 3. 4. 5. 6. (H10) 7. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1/6 jam 8. Cotrimoksasol 2 x 960 mg (H10) 9. Curcuma 3 x 200 mg 10. Ondansentron 3 x 8 mg 11. Codein 3 x 10 mg 12. MST 2 x 10 mg 13. Nistatin drop 4 x 1 cc 14. Rantin 2 x 50 mg IV Sepsis berat ec HAP klinis 1. NaCl 0,9 500 cc/6 jam perbaikan 2. Diet TKTP 1900 kkal/hari TB paru BTA negatif h-35 3. Meropenem 3 x 1 g IV (H2) Ikterus parenkimal ec nodul hepar 4. Amikasin 1 x 750 mg (H2) suspek metastasis 5. Ethambutol 1 x 1000 mg Candidiasis oral perbaikan (H39) Malnutrisi berat pada keganasan 6. Ofloxacin 1 x 400 mg (H39) Riwayat timuma tipe AB stadium 7. Dexamethason 3 x 5 mg IV (H12) 8. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 /6jam 9. Kotrimoksasol 1 x 960 mg (H12) 10. Curcuma 3 x 200 mg 11. Ondansentron 3 x 8 mg 12. Codein 3 x 10 mg 13. MST 2 x 10 mg 14. Nistatin 4 x 1 cc Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 60 Tanggal S O A 19/5/2014 Batuk ada, demam masih Kesadaran : CM tidak TD : 140/90 mmHg Nadi : 107 x/menit Suhu : 36,5˚C Saturasi : 99% Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik 1. Sepsis berat ec HAP klinis perbaikan 2. TB paru BTA negatif h-38 3. Ikterus parenkimal ec nodul hepar suspek metastasis 4. Candidiasis oral perbaikan 5. Malnutrisi berat pada keganasan 6. 20/5/2014 Batuk, dahak Kesadaran : CM warna putih TD : 130/80 mmHg Nadi : 100 x/menit Suhu : 36,5˚C Saturasi O2 : 98% Mata ; konjungtiva tidak pucat, sclera tak ikterik Pulmo : vesikuler, bronchi basah kasar, wheezing tidak ada 1. Sepsis berat ec HAP klinis perbaikan 2. TB Paru dengan efusi pleura kiri BTA negatif (H34) 3. Ikterus parenkimal ec nodul hepar suspek metastasis 4. Candidiasis oral 5. Malnutrisi pada keganasan 6. Riwayat timoma tipe AB stadium IV Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 P 15. Rantin 2 x 50 mg IV 1. NaCl 0,9 500 cc/6 jam 2. Diet TKTP 1900 kkal/hari 3. Meropenem 3 x 1 g (H5) 4. Amikasin 1 x 750 mg 5. Ethambutol 1 x 1000 mg 6. Ofloxocin 1 x 400 mg (H42) 7. Dexamethason stop 8. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1 /6 jam 9. Kotrimoksasol 1 x 960 mg 10. Curcuma 3 x 200 mg 11. Ondansentron 3 x 8 mg 12. Codein 3 x 10 mg 13. MST 2 x 10 mg 14. Nistatin 4 x 1 cc 15. Rantin 2 x 50 mg IV 1. NaCl 0,9 500 cc/12 jam 2. Aminofluid 500/24 jam 3. Meropenem 3 x 1 g IV (H6) 4. Amikasin 1 x 750 mg (H6) 5. Ethambutol 1 x 1000 mg (H43) 6. Ofloxacin 1 x 400 mg (H43) 7. Inhalasi Ventolin : Bisolvon 1 : 1/6 jam 8. Kotrimoksasol 1 x 960 mg 9. Curcuma 3 x 200 mg 10. Ondansentron 3 x 4 mg 61 Tanggal S O A P 11. Fluimucil 3 x 15 ml 12. MST 2 x 10 mg 13. Nistatin drop 4 x 1 cc 14. Ranitidin 2 x 50 mg IV Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 62 Lampiran 5. Catatan Pemberian Obat Pasien No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Nama Obat Sistenol Ethambutol Streptomisin Ofloksasin Fluimucil Curcuma Ventolin : Bisolvon Nistatin drop Kotrimoksasol Betadine gargle MST Ketorolac Metoklopramid Dexametason OMZ Ondansentron Levofloksasin Rantin Ceftriakson Ondansentron KCL Clinimix NaCl 0,9% Dosis Rute √ 3x50 mg 1x750 mg 1x1000 mg 1x400 mg 3x1 sacchet 3x20 mg PO PO IM PO PO PO 1:1/6 jam Inhalasi 4x1 cc 2x960 mg 2x 2x15 mg 3x30 mg 3x1 ampul 3x5 mg 1x40 mg 2x4 mg 1x500 mg 2x50 mg 2x2 g 3x8 mg Drop PO ue PO IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV 500 mg IV 500 cc/6jam IV 4 Mei 2014 5 Mei 2014 6 Mei 2014 7 Mei 2014 P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 8 Mei 2014 P S Sr M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 √ √ √ 63 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama Obat 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Ethambutol Streptomisin Ofloksasin Fluimucil MST Kotrimoksasol Nistatin drop Ventolin : Bisolvon Curcuma Betadine gargle KSR Neurodex Codein Paracetamol MST Ceftriakson Ketorolac Metoklopramid Dexametason Ondansentron Clinimix 22 D 10 23 Cernevit 8. Dosis 1x750 mg 1x1000 mg 1x400 mg 3x1 sacchet 2x15 mg 2x960 mg 4x1 cc Rute 9 Mei 2014 10 Mei 2014 11 Mei 2014 12 Mei 2014 P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M √ √ √ √ PO IM PO PO PO PO Drop √ √ √ √ √ √ 13 Mei 2014 S Sr M √ Stop √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Stop 1:1/6 jam Inhalasi 3x200mg 3x 3x1200 mg 1x1 tab 3x10 mg 3x500 mg 2x10 mg 2x2 g 3x30 mg 3x1 ampul 3x5 mg 2x4 mg 500 mg 500 cc/12 jam PO ue PO PO PO PO PO IV IV IV IV IV IV 1x1 IV IV √ P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP √ √ TAP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Stop √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 √ √ √ TAP √ √ TAP √ √ √ √ √ √ √ 64 No. 1. 2. 3. 4. Nama Obat 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Ethambutol Ofloksasin Fluimucil Nistatin drop Ventolin : Bisolvon Curcuma Betadine gargle KSR Neurodex Codein Paracetamol MST Kotrimoksasol Kotrimoksasol Ceftriakson Metoklopramid Dexametason Ondansentron Levofloksasin Meropenem Amikasin 22. D 10 23 24. Cernevit NaCl 0,9% 5. Dosis 1x750 mg 1x400 mg 3x1 sacchet 4x1 cc Rute 14 Mei 2014 15 Mei 2014 16 Mei 2014 17 Mei 2014 P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M √ PO PO PO Drop √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1:1/6 jam Inhalasi 3x200mg 3x 3x1200 mg 1x1 tab 3x10 mg 3x500 mg 2x15 mg 2x960 mg 1x960 mg 2x2 g 3x1 ampul 3x5 mg 2x4 mg 1x750 mg 2x1 g 1x750 mg 500 cc/12 jam 1x1 500cc/6 jam PO ue PO PO PO PO PO PO PO IV IV IV IV IV IV IV IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ P 18 Mei 2014 S Sr M √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP √ TAP Stop Stop √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Stop √ IV Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 √ 65 No. 1. 2. 3. 4. Nama Obat 6. 7. 9. 10. 11. 12. 14. 17. 18. 20. 21. Ethambutol Ofloksasin Fluimucil Nistatin drop Ventolin : Bisolvon Curcuma Betadine gargle Neurodex Codein Paracetamol MST Kotrimoksasol Dexametason Ondansentron Meropenem Amikasin 22. NaCl 0,9% 5. Dosis Rute 1x750 mg 1x400 mg 3x1 sacchet 4x1 cc PO PO PO Drop 1:1/6 jam Inhalasi 3x200mg 3x 1x1 tab 3x10 mg 3x500 mg 2x15 mg 1x960 mg 3x5 mg 2x4 mg 2x1 g 1x750 mg 500 cc/6 jam PO ue PO PO PO PO PO IV IV IV IV 19 Mei 2014 20 Mei 2014 P S Sr M P S Sr M √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ TAP TAP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ IV Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014 √ √ √ √ √ √ √ 66 Lampiran 6. Ringkasan Pulang (Discharge Summary) Pengobatan Selama Dirawat Obat Untuk Pulang Kondisi Pulang 1. NaCl 0,9 500 cc/12 jam 1. Cefixime 2 x 200 mg 1. KU : TSB 2. Aminofluid 500 cc/24 jam 2. Ethambutol 1 x 1000 mg 2. Kesadaran : CM 3. Diet TKTP 1900 kkal/hari 3. Ofloxacin 1 x 1000 mg 3. TD : 100/60 mmHg 4. Meropenem 3 x 1 g 4. Curcuma 3 x 200 mg 4. Nadi : 28 x/menit 5. Amikasin 1 x 750 mg 5. MST 2 x 10 mg 6. Ethambutol 1 x 1000 mg (H43) 7. Ofloxacin 1 x 400 mg (H43) 8. Kotrimoksasol 1 x 960 mg 9. Curcuma 3 x 200 mg 10. Ondansentron 3 x 4 mg IV 11. MST 2 x 10 mg 12. Fluimucil 3 x 15 ml 13. Nistatin 4 x 1 cc 14. Ranitidin 2 x 50 mg IV Laporan praktek…, Yuni Arista Ningrum Kumesan, FFar UI, 2014