Operasional Bank Mulai Merugi Kamis, 12 Maret 2009 | 05:04 WIB Jakarta, Kompas - Perbankan mulai mencatat kerugian operasional per Januari 2009. Kerugian dipicu antara lain oleh seretnya penyaluran kredit, meningkatnya pencadangan kredit bermasalah, dan tergerusnya margin bunga bersih. Berdasarkan data Bank Indonesia, industri perbankan mencatat rugi operasional senilai Rp 301 miliar per Januari 2009. Laba atau rugi operasional merupakan indikator guna mengukur kinerja inti perbankan, yakni penyaluran kredit, transaksi valas, dan fungsi pembayaran. Pencapaian kinerja operasional perbankan nasional pada Januari 2009 jauh menurun dibandingkan dengan Januari 2008 yang mencatat laba Rp 2,7 triliun. Merosotnya kinerja perbankan nasional secara umum merupakan dampak dari krisis keuangan global yang telah menyebabkan pelambatan pertumbuhan dan keketatan likuiditas di pasar keuangan domestik. Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono, Rabu (11/3) di Jakarta, menjelaskan, kerugian operasional dipicu antara lain oleh anjloknya margin bunga bersih dan meningkatnya kredit bermasalah (nonperforming loan/ NPL). Sejak krisis mendera pada triwulan IV-2008, perbankan mulai kesulitan memperluas basis pendapatan dari kredit karena ekspansi pinjaman berjalan lambat. Bahkan, posisi kredit per Januari 2009 turun 2,1 persen dibandingkan dengan Desember 2008. Artinya, lebih banyak pihak yang melunasi ketimbang meminjam. Padahal, penyaluran kredit merupakan sumber utama pendapatan perbankan. Seretnya penyaluran kredit terjadi seiring dengan menurunnya permintaan dari sektor riil. Selain itu, perbankan juga sangat berhati-hati melakukan ekspansi karena khawatir NPL meningkat. Operasional bank makin merugi karena bank harus lebih banyak menyisihkan pencadangan aktiva produktif seiring dengan meningkatnya NPL. Rasio kredit bermasalah per Januari 2009 sebesar 4,24 persen, naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang 4 persen. Namun, kata Tony, faktor yang paling signifikan merugikan bank adalah anjloknya margin bunga bersih. Akibat adanya segmentasi likuiditas dan macetnya pasar uang antarbank, suku bunga deposito melambung menjadi 12-13 persen per tahun. Bank tidak kuasa menolak permintaan deposan besar karena khawatir deposan akan pindah ke bank lain. Agar margin tidak tergerus, bank pun enggan menurunkan bunga kredit. Namun, bank tetap merugi dari dana yang ditanam di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bunganya jauh lebih kecil dibandingkan bunga deposito. Karena itulah, meski suku bunga acuan telah berada di level 7,75 persen, bank tetap meminta suku bunga SBI yang tinggi, di atas 8 persen, agar kerugian tidak terlalu dalam. BI mau tidak mau harus memenuhi permintaan bank karena khawatir jika tidak diserap, likuiditas yang berlebih di pasar akan menghantam nilai tukar yang kini berada di kisaran Rp 11.000-Rp 12.000 per dollar AS. Terbukti, dalam lelang SBI satu bulan lalu, rata-rata tertimbang mencapai 8,37 persen. Likuiditas yang diserap BI dari lelang itu sebesar Rp 30,6 triliun. Sikap perbankan yang ragu-ragu menurunkan bunga deposito terbukti tidak hanya merugikan bank sendiri, tetapi juga perekonomian secara umum. Akibat tingginya bunga kredit, pelaku usaha berpikir ulang untuk meminjam kredit. Dampaknya, kegiatan sektor riil mandek dan pertumbuhan melambat drastis. Pelopori penurunan bunga Persoalan suku bunga ini pun direspons Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang langsung meminta Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil menginstruksikan bank-bank BUMN untuk memelopori penurunan suku bunga deposito dan kredit. Tujuannya agar sektor riil bisa bergerak dengan tingkat suku bunga pinjaman yang rendah. ”Bunga bank harus turun. Kita akan menurunkannya dan meminta bank-bank BUMN untuk memeloporinya,” ujar Wapres. Menurut Wapres, pekan lalu BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 7,75 persen. Namun, hingga kini, tingkat bunga pinjaman masih tinggi di 14-15 persen. Oleh sebab itu, masyarakat dan industri masih banyak mengeluh tidak bisa meminjam dari bank. ”Kalau BI Rate sudah turun, seharusnya tingkat bunga pinjaman juga turun, setidaknya sampai 12 persen,” lanjutnya. Namun, Wapres Kalla mengingatkan agar pengusaha juga jangan meminta suku bunga deposito yang tinggi. ”Pengusaha maunya bunga kredit turun, tapi kalau bunga deposito maunya naik,” ujarnya. Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengusulkan agar bank- bank BUMN bersama-sama menurunkan suku bunga deposito sebesar 200 basis poin. Namun, langkah tersebut harus diikuti oleh bank-bank lain. Ekonom BRI, Djoko Retnadi, mengatakan, kerugian yang terjadi pada awal tahun belum tentu akan mencerminkan kinerja pada bulan-bulan mendatang. ”Pada awal tahun, bank biasanya masih berkonsolidasi,” katanya. (FAJ/HAR)