Bimafika, 2012, 3, 355 - 359 PATOLOGI BAKTERI VIBRIO PADA IKAN Inem Ode* Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon Diterima 02-02-2012; Terbit 25-03-2012 ABSTRACT Vibrio sp disease cause bacteria kind vibriosis the presence very harm fish cultivation effort because in a short time can evoke hight mortality. the infection can pass water or direct contact delivers fish and scattered very fast in fishes that maintained with hight density. Fish dies to guessed caused by toxin, lose liquid in backside digestion channel, and doesn't functioned it a part organ. Fast not it fish experiences death very depend on level patogenitas. patogenitas bacteria can be influenced by toxin with enzymes that produced by bacteria. Keywords: Pathology, bacteria Vibrio sp, infection, fish, enzymes. PENDAHULUAN Vibrio sp adalah bakteri pathogen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang ikan-ikan air laut dan ikan air tawar, udang dan juga kerang-kerangan. Infeksi bakteri Vibrio diduga sebagai penyebab rendahnya laju sintasan (survival rate) pada pembenihan ikan kerapu tikus yaitu berkisar antara 1,2 – 2,9 % (Koesharyani dkk., 2000). Kehadiran vibriosis sangat merugikan usaha budidaya ikan laut karena dalam waktu singkat dapat menimbulkan kematian yang tinggi (Kamiso 1996). Vibriosis juga dapat menyebabkan kematian lebih dari 80% pada budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (Yuasa et al., 2000). Sedangkan untuk budidaya udang, baik di pembenihan maupun pembesaran di tambak kematian dapat mencapai 100% (Chen, Huang, and Kou, 1992). Vibriosis mula-mula ditemukan oleh Canesterini pada tahun 1893 di Italia, dan saat ini vibriosis merupakan penyakit yang umum dijumpai dan merupakan masalah yang serius di seluruh usaha budidaya ikan laut dan air payau di dunia. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi (Sunyoto, 1994). Bakteri Vibrio sp. Bersifat oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya air payau dan laut karena dapat bertindak sebagai pathogen primer dan sekunder. Sebagai pathogen primer bakteri masuk ke dalam tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai pathogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain misalnya parasit. Di Indonesia vibriosis ditemukan pada pembenihan ikan kerapu tikus (Wijayati dan Hamid, 1997), sedangkan Kamiso (1996) melaporkan bahwa penyebab vibriosis adalah bakteri vibrio sp,. Yang saat ini telah dikenal sekitar 20 jenis yang menyerang berbagai komoditas perikanan seperti ikan, moluska, crustacean, termasuk kepiting, lobster dan berbagai jenis udang. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika dan Sifat Biokimia Bakteri Vibrio sp. Bakteri Vibrio sp. mempunyai ciri-ciri antara lain berbentuk batang pendek, bersifat gram negative, bergerak dengan flagellum polar, tidak berspora, tidak berkapsul bersifat fakultatif aerob dan berkembangbiak dengan pembelahan biner. Disamping itu mempunyai sifat-sifat biokimia seperti oksidase dan katalase positif, fermentasi anaerobic pada glukosa, reduksi nitrat positif, sensitive terhadap O/129, dan beberapa spesies dapat mendegradasi gelatin, chitine, lipid, amylum dan aesculin (Austin and Austin, 1989). Koloni bakteri berwarna putih sampai krem, bentuk bulat, konvek, tepi rata dan tanpa pigmen serta 355 Bimafika, 2012, 3, 355 - 359 tumbuh pada media selektif Thiosulphate Citrate Bile Sucrose Agar (TCBSA) dengan koloni berwarna kuning atau hijau. Berdasarkan database Gene bank (2003), bakteri Vibrio sp. diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Bacteria Class : Schizomycetes Order : Vibrionales Family : Vibrionaceae Genus : Vibrio Jenis : Vibrio sp. Dinding sel bakteri gram negative terdiri atas senyawa kompleks yang mengandung fosfolipid dan karbohidrat (Lipopolisakarida, LPS), pili yang merupakan struktur protein berbentuk batang yang terdapat pada permukaan bakteri, outer membrane, dan peptidoglycan. Di alam, bakteri vibrio sp. mempunyai keragaman atau heterositas yang tinggi. Heterogenitas pada bakteri vibrio sp. Khususnya pada heterogenitas serotype, keanekaragan sifat biokimia dan keanekaragaman patogenitas (Pelezar, et.al. 1986) sering terjadi adalah mata menonjol (exopthalmia), perut kembung berisi cairan warna kuning muda, pendarahan hemorhagik) pada insang, mulut, tubuh, usus, dan organ dalam. Kamiso (1996) mengemukakan bahwa apabila sampai fase ini ikan belum mati gegala penyakit seperti kulit koreng atau nekrosis pada beberapa bagian tubuh. Merurut Ransom (1978) dalam Ode (2009) tanda-tanda lain adalah jumlah leukosit akan menurun, bakteri banyak terdapat dalam darah (septisemia). Ikan mati diduga karena adanya toksin, kehilangan cairan pada saluran pencernaan bagian belakang, dan tidak berfungsinya sebagian organ. Cepat tidaknya ikan mengalami kematian sangat tergantung pada tingkat patogenitas bakteri pathogen. Patogenitas bakteri dapat dipengaruhi oleh toksin serta enzim-enzim yang dapat diproduksi. Beberapa enzim tersebut menurut Pelezar, et.al. (1986) adalah sebagai berikut : a. Hyaluronidase, enzim ini mempengaruhi masuknya pathogen ke dalam jaringan dengan cara menghidrolisis asam hialuronat. Asam ini merupakan bahan utama perekat sel dan jaringan. Hialuronat merupakan enzim adaptif dan hanya dibentuk oleh mikroorganisme tertentu. b. Lesitinase, enzim ini mempunyai kemampuan merusak sel-sel jaringan, terutama menyebabkan lisis pada sel darah merah. c. Kolagenase, mempunyai kemampuan merusak kolagen yaitu serabut jaringan yang terdapat dalam otot, tulang, sera tulang rawan, dan membentuk semacam jala di tempat jaringan sel terbentuk. d. Koagulase, merupakan activator plasma untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. e. Leokosidin, adalah enzim yang dapat membunuh leukosit. f. Hemolisin, adalah substansi yang melisis sel-sel darah merah, membebaskan haemoglobinnya. Tidak semua pathogen yang masuk ke dalam tubuh ikan akan menimbulkan penyakit, Patogenitas dan Patologi Bakteri Vibrio sp. Patogenitas adalah potensi suatu mikroorganisme (bakteri) menimbulkan penyakit atau menginfeksi. Sedangkan patologi adalah pengetahuan tentang perubahan-perubahan fisik dan fungsional pada tubuh organisme akibat serangan pathogen. Vibriosis tergolong penyakit gram negative septisemia (bakteri Vibrio sp.) banyak terdapat dalam darah dan dapat menyebabkan suhu tinggi yang disebarkan ke seluruh tubuh inang. Bakteri dapat menular melalui persinggungan dengan ikan yang sakit atau yang paling sering adalah melalui air. Serangan dapat melalui luka, insang, kulit dan saluran pencernaan (Wood et.al., 1981 dalam Murdjani,2002). Gejala yang ditimbulkan tergantung tingkat serangan, yaitu kronis dan akut. Pada tingkat kronis, gejala penyakit yang ditimbulkan cukup jelas. Beberapa gejala yang terlihat adalah punggung kehitam-hitaman, bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, bergerak lamban, keseimbangan terganggu, dan nafsu makan kurang. Gejala lain yang 356 Bimafika, 2012, 3, 355 - 359 sebab banyak pathogen yang memerlukan jalan masuk tertentu untuk dapat menimbulkan penyakit pada ikan. Bakteri menyerang ikan dapat melalui mulut, saluran pencernaan, insang kulit dan gurat sisi. Tetapi ada kemungkinan suatu jenis bakteri Vibrio mempunyai kelebihan untuk menerobos suatu bagian tubuh ikan dibanding jenis bakteri lainnya. Hal ini diakibatkan oleh adanya produksi enzim-enzim yang sangat penting peranannya pada proses patogenitas. Menurut hasil penelitian Ransom et.al (1984) dalam Murdjani (2002) pada uji infeksi dengan cara perendaman yang dilanjutkan dengan pengamatan histopatologi pada bakteri Vibrio anguillarum dan V. ordalii sebagian besar menyerang ikan melalui saluran pencernaan terutama usus dan sebagian kecil melalui kulit. Selanjutnya menurut Kamiso (1996) dengan cara yang sama menemukan bahwa 24 jam sesudah inveksi Vibrio anguillarum lebih sedikit waktu yang digunakan sampai timbulnya gejala infeksi dibandingkan dengan di insang dan saluran pencernaan. Penelitian yang dilakukan oleh Murdjani 2002, menemukan bahwa ikan kerapu tikus yang diinfeksi bakteri pathogen menunjukan gejala penyakit seperti perubahan perilaku, yaitu bergerak lamban, keseimbangan terganngu, yaitu berputar-putar (whirling) dan nafsu makan berkurang. Perubahan perilaku tersebut terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri Vibrio alginolyticus pada 3 -12 jam setelah diinjeksi. Perubahan perilaku ini diikuti dengan perubahan morfologi ikan seperti warna tubuh kegelapan, peradangan sampai abses pada bekas injeksi, timbul bercak merah pada pangkal sirip, timbul pendarahan pada insang dan mulut, perut menggelembung hingga terjadi kematian. kolonisasi bakteri merupakan system pertahanan bakteri pada sel inang. Kolonisasi dibutuhkan untuk perlekatan, nutrisi, motilitas dan mengelak dari system imun serta invasi. Setelah kolonisasi terjadi proses invasi, yaitu penyebaran lokal atau sistematik dalam tubuh inang yang ditandai dengan kerusakan tubuh. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri pathogen Derajat patogenitas (virulensi) tidak hanya tergantung dari bakteri itu sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemampuan bakteri memproduksi toksin baik eksotoksin maupun endotoksin, enzim, mengatasi ketahanan inang, dan kecepatan berkembangbiak (Pelezar et.al.,1986). Beberapa jenis bakteri telah diketahui dapat menghasilkan toksin yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan penyakit (Kamiso, 1996). Eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada dasarnya adalah protein yang diekskresikan oleh sel bakteri ke dalam medium biakan atau ke dalam system peredaran dan jaringan inang. Pada umumnya toksin tersebut mempunyai sifat thermolabil sehingga sifat racunnya dapat hilang dengan pemanasan pada titik didih air selama 10 menit atau ditambah asam. Sifat toksin tergantung pada susunan asam amino dari molekul protein. Secara imunologi toksin dapat dirubah menjadi toxoid sehingga dapat dinetralisir oleh antibody. Masing-masing eksotoksin mempunyai karakter mekanisme kerja yang amat berbeda diantara bakteri yang satu dengan yang lainnya (Wood et.al., 1981 dalam Ode, 2009)). Senjutnya dijelaskan bahwa endotoksin dihasilkan oleh beberapa jenis bakteri gram negative yang terdapat dalam dinding sel dan baru dibebaskan apabila sel bakteri mengalami lisis. Endotoksin merupakan senyawa kompleks yang mengandung fosfolipid dan karbohidrat (Lipopolisakarida, LPS) dan merupakan protein yang thermostabil. Endotoksin tidak dapat dibuat sebagai toksoid sehingga netralisasinya dengan anti toksin akan sangat sulit. Efek yang ditimbulkan antara bakteri yang satu dengan yang lainnya hampir sama. Mekanisme Infeksi Bakteri Infeksi bakteri diawali oleh interaksi pathogen yang mengadakan perlekatan atau adhesi (attachment) pada permukaan inang, diikuti masuknya bakteri ke dalam sel inang, dilanjutkan proses kolonisasi pada jaringan target dari hospes dengan satu bagian sel yang spesifik (Rambukkana,1998 dalam Ode ,2009). Selanjutnya dikatakan bahwa 357 Bimafika, 2012, 3, 355 - 359 Mekanisme kerja endotoksin dicirikan dengan timbulnya demam (phyrogenisitas), gangguan aliran darah bahkan dapat menyebabkan shok. Menurut Wren (1992) toksin dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan aktivitasnya (misalnya enterotoksin, neurotoksin, cytotoksin, haemolisin, leukosidin dan ciliostatis toksin). Meskipun demikian, beberapa toksin tersebut ada yang memperlihatkan aktivitas ganda sperti shiga toksin yang bersifat neurotoksik, sitotoksik dan enterotoksik. Berdasarkan aktiviatsnya (mode of action) pada inang, toksin yang dihasilkan oleh bakteri pathogen dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe, yaitu ; Type I : toksin yang melakukan penempelan pada permukaan sel kemudian masuk ke dalam molekul transmembrane signal Type II : toksin yang langsung berada pada membrane sel atau dengan formasi saluran atau dengan menggunakan lipid bilayer. Type III : toksin langsung berada pada cytosol melalui translokasi komponen enzim yang dimodifikasi sebagai target molekul intrasellular dengan modifikasi tempat transkripsi. cara untuk mencegah timbulnya penyakit adalah dengan menjaga lingkungan, yaitu menjaga kualitas air tetap baik terutama kandungan bahan organik. disamping itu pengenceran air dapat dilakukan agar jumlah 3 bakteri tidak mencapai 10 sel/ml atau lebih rendah dari LD50. Cara lain yang dapat juga dilakukan adalah dengan memutus atau mengurangi sumber penular antara lain dengan memusnahkan ikan yang terserang atau terinfeksi bakteri serta mengurangi atau mencegah kontak dengan hewan air termasuk ikan liar yang membawa bakteri (Murdjani 2002). KESIMPULAN 1. Gejala patologi akibat serangan bakteri Vibrio pada ikan yaitu punggung kehitamhitaman, bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, mata menonjol (exopthalmia), perut kembung berisi cairan warna kuning muda, pendarahan (hemorhagik) pada insang, mulut, tubuh, usus, dan organ dalam. tanda-tanda lain adalah jumlah leukosit akan menurun, bakteri banyak terdapat dalam darah (septisemia). perubahan perilaku, yaitu bergerak lamban, keseimbangan terganngu, yaitu berputar-putar (whirling) dan nafsu makan berkurang. 2. Ikan mati diduga karena adanya toksin, kehilangan cairan pada saluran pencernaan bagian belakang, dan tidak berfungsinya sebagian organ. 3. Infeksi bakteri diawali dengan perlekatan, kolonisasi dan invasi. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Penyakit Lingkungan terutama sifat fisika, kimia dan biologi perairan akan mempengaruhi keseimbangan antara ikan sebagai inang dan bakteri sebagai penyebab penyakit. Lingkungan yang baik akan meningkatkan daya tahan ikan sedangkan lingkungan yang kurang baik akan menyebabkan ikan mudah stress dan menurunkan daya tahan terhadap serangan bakteri, pada dasarnya kehadiran penyakit adalah merupakan hasil interaksi antara lingkungan, inang dan pathogen (Ode, 2009). Vibrio bersifat Mengingat bakteri oportunistik, maka serangan akan timbul apabila bakteri telah berkembang cukup banyak dan daya tahan inang lemah. Salah satu faktor yang menentukan timbulnya penyakit adalah kualitas lingkungan yang rendah, misalnya tingginya kandungan bahan organik di perairan. Oleh karena itu salah satu DAFTAR PUSTAKA Austin,B and D.A. Austin. 1989. Methods for the Micribiological Examination of Fish and Shellfish. Ellis Horwood Ltd. Chichester, England. 317 p. Chen, S.C., S.L. Huang and G.H. Kou, 1992. Studies on epizootiology and phatogenicity of bacterial infections in cultured giant tiger prawns, Penaeus monodon in Taiwan. Oceanic Institute, Honolulu 358 Bimafika, 2012, 3, 355 - 359 Gene Bank.,2003. Classification of Vibrio algynolyticus. Pelezar, M.J., E.S.C Chan and N.R. Krieg, 1986. Microbiology.pp. 687-702. McGrawHill Book Company. Kamiso, H.N. 1996. Vibriosis pada ikan dan alternative cara penanggulangannya. Jurnal Perikanan UGM. Sunyoto, P.,1994. Pembesaran kerapu di Penebar keramba jarring apung. Swadaya. Jakarta. Koesharyani, I.,mahardika,K., Yuasa,K. 2004. Infeksi VNN pada ikan kerapu bebek, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Wijayati, A., dan N.,Hamid. 1997. Identifikasi bakteri pada pembenihan ikan kerapu tikus. Ditjen. Perikanan. Deptan., 9 hal. Murdjani. M. 2002. Identifikasi dan patologi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (Cromyleptes altivelis) Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Wren, B.W. 1992. Bacterial enterotoxin interaction. In molecular biology of bacterial phatogen, Aeromonas hydrophila by bacteriophage AH 1. J. of Fish pathology. 15 (3/4): 271-276. Ode, I.,2009. Identifikasi dan ekspresi protein reseptor organ otak ikan kerapu tikus dan spesifikasinya pada infeksi vibriosis. Tesis. Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Yuasa, K., Des Roza., I. Koesharyani., F. Johnny and K. Mahardika. 2000. General Remarks On Fish Desease Diagnosis. Pp. 5-18. Lolitkanta-JICA Booklet No. 12. 359