Hasil ketik ulang dari dolumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : Harian Umum ANGKATAN BERSENJATA SABTU, 26 JANUARI 1991 Bung Usmar dan panggung teater modern kita SEJARAH Perfilman Indonesia sudah diyakini tidak lepas dari kehadiran sosok Usmar Ismail. Lewat Perfini, misalnya sosok Usmar berhasil memupuk benih di bidang seni peran dan teknologi dalam jagat film kita. Tapi nama besarnya setidaknya tidak cuma terkatrol dari urusan film melulu lantaran masih banyak bidang yang sempat ia tekuni sebagai budayawan, usahawan, perwira militer, politikus dan intelektual. Memang serentetan “jabatan” yang mengagumkan terlebih jika dalam kiprahnya ia mengesankan akan kelahiran tradisi baru yakni idedalisme. Bahkan di luar film, Usmar ternyata punya banyak andil dalam memberi wajah teater modern Indonesia setelah sebelumnya ia cukup kuat menunjukkan bakatnya di bidang karang-mengarang. “Usmar menaruh minat besar terhadap susastra Indonesia,” begitu kata Rosihan dalam sebuah catatan Biografi Usmar Ismail. Kolumnis dan wartawan senior itu memang pernah hidup satu kost di Jogya. Bukti ini ditegaskan Usmar ketika ia mulai banyak terlihat dalam penulisan sajaksajak dan cerpen. Bidang lain yang tidak kalah menarik minatnya adalah bidang sandiwara (drama). Terlebih setelah ia bekerja pada sebuah pusat kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) sebuah wadah yang dibentuk Jepang pada April 1943 sebenarnya bertugas menghimpun seniman dari berbagai cabang untuk keperluan propaganda. Di kantor itulah Usmar bekerja di bagian drama (kesusasteraan) di bawah pimpinan Sanusi Pane. Eksperimen “naskah” Ketekunannya dalam menyelami bidang sandiwara sempat mencuat bahkan di luar kantornya ketia ia bersama kawan-kawannya seperti Rosihan Anwar, Sudjojono, Corneli Simanjuntak, HB. Jassin dan Abu Hanifah (kakak Usmar) terlibat dalam pendirian perkumpulan Sandiwara Penggemar (Amatir) Maya di tahun 1943. dalam kelompok sandiwara itu ia duduk sebagai sutradara. Sementara nama-nama seperti HB. Jassin, Tasrif SH, Hadjari, Tienne Mamahit, Purnomo (dikenal sebagai Mang Udel) adalah nama-nama yang terlibat dalam pementasan sandiwara pimpinan Usmar. Bahkan lewat perkumpulan sandiwara Maya ini Usmar berhasil melakukan beberapa eksperimen terhadap jagat teater moderen Indonesia yang memang sudah lahir sejak lebih 50 tahun sebelum Maya berdiri. Perhitungan ini dimulai manakala tahun 1891 (seabad lalu) di Surabaya dibentuk rombongan sandiwara moderen yang dikenal dengan sebutan komedia Stamboel oleh August Mahieu (1860-1906), seorang indo-prancis kelahiran Surabaya (lih. 100 tahun teater moderen kita, HAB 12/1/91). Eksperimen yang dikerjakan Usmar lewat rombongan sandiwara Maya adalah dengan cara mempergunakan naskah/skript sebagai panduan atas lakon-lakon yang dipentaskannya. Kenyataan ini dianggap sebagai hal yang tidak lumrah dilakukan oleh perkumpulan sandiwara yang hidup di masa itu. Tidak berlebihan jika di kalangan seniman Angkatan 45 Usmar dianggap telah mencoba terobosan dengan mempelopori wajah teater moderen kita. Persentuhan Usmar di bidang sandiwara ini ditandai dengan dipentaskannya lakon Taufan di atas Asia karya El Hakim. Lakon itulah yang untuk ppertama kalinya dipentaskan di Gedung Komedie (Gedung Kesenian Jakarta, sekarang) dengan dibantu rekan-rekannya dari kantornya bekerja seperti Cornel Simanjuntak dan Asrul Sani, keduanya menggawangi bidang ilustrasi musiknya. Setelah mementaskan lakon perdananya Usmar pun menyutradarai lakon-lakon lain seperti Insan Kamil, karya Abi Hanifah (kakaknya sendiri), Liburan Seniman dan Api (Usmar Ismail) dan beberapa lakon dalam bentuk gubahan pujangga barat seperti Litle Eyoli, karya Hendrik Ibsen dari Norwegia. Kecenderungan mementaskan lakonlakon hasil tulisan sendiri (dan beberapa rekannya) setidaknya ikut memberikan kesan bahwa drama, tonil atau sandiwara moderen ketika itu mulai mempunyai kekayaan dalam hal memilih naskah “pribumi”. Kehadiran sandiwara Maya-nya Usmar setidaknya sudah mencoba melawan arus ketika banyak grup-grup sandiwara sezamannya lebih getol mementaskan lakon-lakon yang berasal dari “luar” seperti Sam Pek Eng Tay dan Sam Gie Kong (dari kisah klasik Cina), Ali baba dan Aladin (Persia) dan dari Eropa seperti lakon Hamlet, Romeo Juliet, Cinderella dan lain-lain. Rupanya tidak cuma dikenal sebagai sutradara sandiwara panggung Usmar pun kemudian dikenal sebagai salah seorang pemimpin Indonesische Jeugd Vereniging, sebuah perhimpunan Pemuda Indonesia yang antara lain bergerak dalam bidang sandiwara. Bahkan di situ ia terhitung sebagai orang yang suka terjun langsung sebagai aktor tonil. Pembuat Opstell Keterlibatan lebih jauh Usmar Ismail terhadap jagat teater moderen – lewat eksperimen penggunaan naskah – setidaknya mempunyai andil besar terhadap pembentukan wajah teater moderen kita. Bahkan sesungguhnya latar belakang ketertarikan Usmas – jika mau ditelisik lebih jauh – sudah menunjukkan arah keseriusan untuk menekuni bidang tonil atau sandiwara. Apalagi sejak awalnya ia sudah menaruh minat pada bidang susastra seperti yang pernah diungkapkan Rosihan, “Ia suka bersyair dan membawa koran berbahasa Indonesia”. Terlebih setelah ia duduk sebagai pemimpin Indonesische Jeugd Vereneging. Bakat mengarangnya selain itu juga diketahui diturunkan oleh sang ayah, Usmar Gelar Datuk Panggung. Kecenderungan itu pula yang – setidaknya – menggiring Usmar untuk melanjutkan Algemeene Middelbare School atau AMS-A H (semacam SMA jurusan bahasa) di Jogya setamat dari MULO tahun 1938. Bahkan seperti yang pernah diungkapkan teman sekostnya, Rosihan Anwar, dari 22 murid sekelasnya hanya ada 8 orang pribumi, selebihnya siswa Belanda, indo dan Cina. Di antara mereka Usmar dan Rosihanlah yang dinilai sudah pandai membuat opstell (karangan dalam bahasa Belanda). Dan karangan mereka tidak jarang dimuat di majalah sekolah yang dikenal amat bergengsi lantaran tidak sembaran orang bisa diterima mengarang di sana, kata Rosihan. Keterlibatan dan kedalaman Usmar menyelami jauh sektor seni sandiwara ini dari kilasan gambaran di atas setidaknya mengesankan bahwa sesungguhnya ia juga merupakan pelopor dalam teater moderen kita. Lantas kalau baru belakangan ini saja muncul kecenderungan “kekuatan” orang teater di kancah perfilman (sebut saja Arifin C. Noer, Teguh Karya, Putu Wijaya dan banyak lagi) gejala ini sesungguhnya sudah bisa kita tangkap sejak zaman Usmar Ismail, yang ketika itu akrab dengan sebutan Bung Usmar. Ya, memang keterlibatan Usmar di teater tidak sehebat ketika ia mulai merambah dunia film yang ketika itu memang “belum bisa apa-apa:. Tapi kehadiran Usmar toh patut kita hargai, sebagai mana dunia film “berhutang” kepadanya. (a.setiono/3.15).**