BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap pasangan yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Setiap pasangan yang sudah menikah pasti mendambakan hadirnya seorang
anak untuk melengkapi kebahagaian mereka. Anak adalah karunia besar yang
titipkan oleh tuhan kepada orang tua. Semua orang tua pasti ingin anaknya
berkembang secara sempurna. Namun, pada beberapa kejadian awalnya baik-baik
saja tapi di tahap perkembangan, anak mulai memperlihatkan masalah dalam
perkembangannya. Salah satu contohnya adalah Autis.
Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak
sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Gejala autis biasanya lebih sering
terlihat adalah mereka lebih cenderung terlambat berbicara atau penguasaan
bahasa yang lambat. Ciri anak autis lainnya adalah interaksi social, mereka tidak
ekspresif dan tidak ada kontak mata dengan orang lain.
Orang tua yang memiliki anak autis pada usia di bawah 3 tahun mungkin
awalnya tidak mengetahui jika anaknya mengalami autis. Karena gejala autis
tidak terlihat begitu menonjol. Anak-anak yang mengalami autis biasanya lebih
diam atau tidak memperdulikan keadaan sekitar, dan orang tua biasanya dengan
bangganya memuji anak tersebut karena anak tersebut dianggap tidak rewel.
Autis adalah cacat
perkembangan yang ditandai dengan gangguan
perkembangan dalam interaksi social dan komunikasi. Anak dengan autis
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan yang tepat, dan mereka
menunjukan berbagai perilaku merusak seperti perilaku berulang, dan perilaku
melukai diri sendiri (Frith, 1993; Mundy & Sigman, 1989; Bromley, Hare,
Davison, & Emerson, 2004 dalam Koydemir & Tosun, 2009).
Gangguan
autisme
sama
sekali
tidak
membedakan
penyandangnya
berdasarkan latarbelakang social ekonomi, ras, ataupun suku. Autis bisa diderita
siapa saja dari kalangan mana saja. Banyak faktor yang mempengaruhi contohnya
seperti pola hidup yang tidak sehat dan lingkungan yang tidak mendukung.
Reaksi pertama orang tua yang mengetahui anaknya dikatakan bermasalah
atau didiagnosa mengalami autis adalah tidak percaya, marah, kecewa, sedih,
merasa bersalah, malu, menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang memiliki anak
autis mengalami fase ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan. Tidak
sedikit orang tua yang memilih untuk tidak terbuka mengenai keadaan anaknya
pada siapapun kecuali kepada medis yang menangani anaknya tersebut
(Mangunsong, 2011) .
Studi menunjukan bahwa keluarga dengan anak gangguan autis memiliki
beberapa tantangan. Karakteristik anak autis seperti hiperaktif, perilaku melukai
diri sendiri, ketidak seimbangan dalam makan dan suasana hati, membuat orang
tua kesulitan untuk berinteraksi dengan mereka. Tantangan yang dihadapi tinggal
bersama anak autis berupa tuntutan perawatan yang sangat berat, kualitas
hubungan antara anggota keluarga, menangani perbedaan dengan saudara yg lain,
kekhawatiran masa depan dan pendidikan, serta kesulitan keuangan (Fong,
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wilgosh, & Sobsey, 1993; Hastings, & Johnson, 2001 dalam Koydemir & Tosun,
2009).
Tidak hanya itu memiliki anak autis dalam keluarga juga berhubungan dengan
stress orang tua, kemampuan coping serta masalah beradaptasi. Orang tua dengan
anak autis menunjukan berbagai jenis gejala psikologis termasuk depresi
kecemasan dan memiliki rasa pesimis. (Davis & Carter, 2008; Montes &
Halterman, 2007, Hastings, Kovshoff, Brown, dkk., 2005; Higgins, Bailey &
Pearce, 2005 dalam Shur Fen Gau, dkk., 2011).
Ibu adalah sosok orang yang paling dekat dengan anaknya karena ibu
mengalami langsung dari proses kehamilan sampai proses melahirkan. Ibulah
yang mengalami bermacam-macam ingatan, harapan, kecemasan, ketakutan,
trauma-trauma, dan rasa kebahagiaan. Cinta kasih ibu terhadap anaknya
merupakan jalinan emosi yang sangat kuat dan kompleks. Oleh karena itu, jalinan
yang kuat dan unik antara ibu dan anak disebut dengan cinta kasih ibu. Tambahan
pula, pengalaman-pengalaman fisik dan psikis yang paling awal pada bayi dan
kanak-kanak itu adalah pengalaman pertama bagi sang anak bersama dengan
ibunya. Oleh sebab itu, peran ibu sangat penting dalam tumbuh kembang anaknya
(Kartono, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Schwichtenberg dan Poehlmann (2007, dalam
Myers dkk., 2009) ibu dari anak autis telah berulang kali ditemukan memiliki
kesehatan mental yang lebih buruk, kesehatan fisik yang lebih terganggu, dan
kualitas hidup yang lebih rendah ketika mereka mengasuh anak autis. Ibu terus
menanggung beban yang tidak seimbang dalam membesarkan seorang anak autis,
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sehingga menjadi lebih rentan mengalami stress yang berhubungan dengan
perawatan anak dan sering menunjukan depresi, kecemasan, kekhawatiran
kesehatan, isolasi dan harga diri rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Griffith, Hastings, Nash, Hill (2009) yang menemukan
bahwa ibu dari anak autis menunjukan stress yang tinggi secara signifikan.
Penting bagi orang tua khususnya ibu untuk mengatasi masalah atau stress
yang dihadapi karena stress yang dialami oleh ibu yang memiliki anak autis akan
berpengaruh pada bagaimana cara ibu mengasuh anak tersebut dan secara tidak
langsung berpengaruh pada perkembangan kemampuan anak dalam intelegensi,
social maupun pada fungsi mental lainnya. Diperkuat oleh Cram dkk (2001) ibu
adalah pengasuh utama dan kedekatan keluarga serta interaksi ibu dan anak
mampu memprediksi perkembangan komunikasi, social dan keterampilan hidup
sehari-hari pada lima tahun pertama usia anak.
Secara khusus, ibu mengalami stres lebih besar dari ayah (Tehee dkk., 2009,
dalam Sakhiyyatus sa’diyah, 2016). Bila ibu memiliki tingkat stress tinggi,ia akan
cenderung menginterpretasi perilaku anak mereka lebih negative dan bermasalah.
Penelitian Heller, Hsieh dan Marks (1998, dalam Koydemir & Tosun, 2009)
menunjukan bahwa ibu memiliki beban merawat anak yang lebih besar dari pada
ayah. Dalam keluarga dengan anak berkebutuhan khusus, ibu adalah pengasuh
utama anak. Selain itu, ibu dari anak-anak autis lebih cenderung merasa bersalah,
tegang, dan khawatir tentang keterampilan pengasuh anak mereka dibandingkan
ayah (Harris, 1984, dalam Koydemir & Tosun, 2009).
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kesehatan mental yang buruk sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan
psikologis atau psychological well being bagi orang tua yang memiliki anak autis.
Dari reaksi-reaksi yang ditampilkan oleh ibu, bukan berarti ibu tidak bisa
menerima keadaan yang dimiliki oleh anaknya, namun penerimanaan mereka
akan muncul dan berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan psikologis
dalam keadaan yang baik, dimana penerimaan tersebut merupakan salah satu
aspek dari Psychological Well-being (Ryff, 1989).
Hasil penelitian yang dilakukan Abbeduto dkk (2004) ibu yang memiliki
anak
autis
menampilkan level Psychological
Well-being
lebih rendah
dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak Frigle X syndrome dan Down
Syndrome.
Psychological well-being menurut Ryff (1989) adalah realisasi dan
pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala
kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang
positif dengan orang lain, dapat mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan
dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.
Individu yang memiliki Psychological well-being yang positif adalah individu
yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi Psychological well-being
yang berkesinambungan. Pada intinya Psychological well-being merujuk pada
perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat
berkisar dari kondisi mental negative misalnya, ketidak-puasan hidup, kecemasan,
merasa tertekan, rasa percaya diri yang rendah, dan sering berperilaku agresif,
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi
diri (Bradburn, 1989).
Dalam mengasuh anak autis yang memiliki keterbelakangan mental bukan hal
yang mudah, orang tua akan merasa terganggu secara psikologis. Oleh karena itu,
orang tua dengan anak autis membutuhkaan suatu usaha dan strategi yang
melibatkan kognitif dan berperan aktif dalam mencari cara untuk mengatasi suatu
keadaan yang penuh dengan tekanan.
Dari berbagai macam penelitian tentang psychological well-being terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi psychological pada individu. Faktor-faktor
tersebut adalah dukungan social, usia, jenis kelamin, status social dan ekonomi,
dan kepribadian.
Menurut Ryff (1995), perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aspek-aspek
kesejahteraan psikologis. Di temukan bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang lebih positif dengan orang lain
serta memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik dari pada pria.
Dalam mengamati perbedaan yang dialami oleh ibu dan ayah, penelitian
menunjukkan bahwa penurunan kadar dukungan dari keluarga dekat cenderung
meningkatkan tekanan psikologis yang lebih terhadap ibu (Bromley, Hare,
Davison, & Emerson, 2004, dalam Sakhiyyatus sa’diyah, 2016). Seorang ibu yang
memiliki anak autis memerlukan dukungan dari orang-orang sekitar untuk
mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak
autis dengan keterbatasan yang dimiliki anak tersebut berupa keterbatasan secara
intelegensi dan social membuat ibu lebih banyak mengeluarkan tenaga, pikiran
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan biaya dalam merawat anaknya sehingga bantuan dari orang-orang sekitar
untuk meringankan beban yang dirasakan dapat membantu meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan psikologi ibu.
Hasil penelitian yang dilakukan Sakhiyyatus sa’diyah (2016) menjelaskan
bahwa ibu yang memiliki anak autis mendapatkan dukungan sosial dari orang
sekitar. Sehingga ibu yang memiliki anak autis tersebut mampu menjaga anaknya
dengan baik dan memiliki kelekatan emosional terhadap anak tersebut. Selain itu,
ibu yang memiliki anak autis juga mampu mengembangkan potensi dalam diri
mereka dan menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup
mereka. Sehingga ibu yang memiliki anak autis tidak merasa terganggu akan
kondisi anaknya tersebut.
Pada umumnya individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi
merupakan individu yang mendapat dukungan social yang baik, memiliki kendali
diri, memiliki rasa kepuasan diri, dan penerimaan diri. Sedangkan ibu yang
memiliki anak autis dari beberapa penelitian mengatakan mengalami kecemasan,
tingkat stress meningkat, kualitas hidup yang rendah, harga diri rendah dan ada
beberapa menunjukan depresi dimana keadaan-keadaan buruk tersebut akan
sangat mempengaruhi kondisi ibu dalam mengasuh anaknya yang mengalami
autis.
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai gambaran dari Psychological Well-being pada ibu yang memiliki anak
autis.
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
utama yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran
Psychological well-being pada ibu yang memiliki anak autis?”
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi dan memperoleh gambaran
mengenai keadaan Psychological well-being ibu yang memiliki anak autis.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Dapat
menambah
informasi
teoritis
mengenai
Gambaran
Psychological well-being pada ibu yang memiliki anak autis sehingga dapat
dijadikan bahan pembelajaran bagi pihak yang membutuhkan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Dapat mengetahui Gambaran Psychological well-being pada ibu yang
memiliki anak autis sehingga dapat di aplikasikan dikehidupan sehari-hari
bagi para ibu yang memiliki anak autis.
1.5
Sistematika Penulisan
Penulis menggunakan sitematika penulisan untuk mempermudah
pembaca memahami skripsi. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing dijelaskan sebagai berikut:
BAB 1
Merupakan pendahuluan mengenai latar belakang tentang
penjabaran
permasalahan,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan.
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB 2
Bab ini menerangkan tentang kerangka dasar teotitik yang
membahas
kajian
autis
dan
psychological
well-being,
mengawali pembahasan ini maka penulis akan menguraikan
tentang pengertian psychological well being, dimensi-dimensi
psychological well being, faktor-faktor yang mempengaruhi
psychological well being. Yang terakhir definisi mengenai
definisi
Autis,
ciri-ciri
autis,
faktor
penyebab
autis,
karakteristik anak autis, orang tua dengan anak .
BAB 3
Bab ini merupakan Metodologi Penelitian yang berisikan, jenis
penelitian, subjek penelitian, karakteristik penelitian, metode
pengumpulan data, prosedur penelitian dan perencanaan
pelaksanaan penelitian.
BAB 4
Bab ini membahas analisis dan hasil penelitian, lokasi
penelitian, karakteristik dari objek yang diteliti, yaitu ibu yang
memiliki anak autis
BAB 5
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran yang berisikan, kesimpulan,
saran dan diskusi
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download