BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Definisi dan Nalar Konsep 2.1.1. Kepemimpinan Strategis 2.1.1.1. Definisi Kepemimpinan Strategis Finkelstein dan Hambrick (1996) mengartikan kepemimpinan strategis adalah kemampuan para eksekutif yang memiliki tanggungjawab karakteristik individu, aktivitas setiap penuh terhadap individu dan cara setiap setiap individu melakukan aktivitas serta dampak yang ditimbulkan dari aktivitas itu memengaruhi hasil dan tujuan organisasi. Hitt dan Ireland (2009) mendefinisikan kepemimpinan strategis sebagai “the ability to anticipate, envision, maintain flexibility and empower others to create strategic change as necessary. Dan, Serfontein and Hough (2011) sependapat dengan Rowe mendefinisikan kepemimpinan strategis adalah “the ability to influence others to voluntarily make day-to-day decisions that enhance the long-term viability of the organisation, while at the same time maintaining its short-term financial stability”. Phipps dan Burbach (2011) mengutip pendapat Cannella & Monroe menyebutkan hal mendasar dari kepemimpinan strategis yakni visi pemimpin dan interpretasinya terhadap informasi yang datang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, kemampuan berpikir (wawasan) dan kepribadian dari pemimpin itu sendiri. Pendapat ini mendukung pernyataan Hambrick dan Mason yang mengusulkan apa yang kemudian dikenal sebagai Upper Echelon Theory. Penegasan utama teori ini adalah bahwa para “pemimpin pada umumnya beroperasi pada tingkat strategis, sehingga organisasi merupakan refleksi dari kognisi dan nilai-nilai dari manajer puncak mereka. Karena itu, pengetahuan khusus, pengalaman, nilai-nilai, dan preferensi dari manajer puncak akan mempengaruhi penilaian mereka tentang lingkungan eksternal dan pilihan yang mereka buat terkait dengan Maksudnya adalah dalam strategi organisasi”. mengembangkan kapasitas kepemimpinan strategis harus dimulai dengan perubahan pola pikir baik individu/karyawan strategis adalah maupun proses organisasi. bukanlah posisi, Kepemimpinan yang menuntut keterlibatan dan komitmen untuk belajar. 2.1.1.2. Komponen Kepemimpinan Strategis Hitt,et.,all (2009) mengusulkan ada lima komponen utama kepemimpinan strategis yang efektif yaitu 1) menentukan arah strategis organisasi (visi dan misi), 2) efektif mengelola sumber daya organisasi (kompetensi inti, sumber daya manusia dan modal sosial), 3) mempertahankan budaya organisasi yang efektif, 4) menekankan praktek etika dan 5) membangun keseimbangan kontrol organisasi. Sejalan dengan itu, Carpenter dan Sanders (2009) menggambarkan bahwa bertanggung jawab untuk keputusan substantif kepemimpinan strategis (1) membuat dukungan pelaksanaan dan pengalokasian sumber daya, (2) mengembangkan dukungan terhadap strategi dari para pemangku kepentingan utama (stakeholders). kepemimpinan strategis memerlukan Menurut keduanya orang yang tepat sebagai informan kunci dalam menyebarkan keputusan-keputusan penting dalam perusahaan. Selanjutnya kemampuan Yukl pemimpin (2010) juga melakukan berpendapat tindakan bahwa strategisnya bergantung pada faktor historis organisasi (budaya organisasi) yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternal (hadirnya kompetitor baru, perkembangan teknologi, menurunnya permintaan jasa/produk, iklim politik/peraturan yang berbeda), penguatan strategi dan peningkatan konsistensi antara strategi, struktur organisasi, budaya dan sumber daya manusia. Nilai budaya yang kuat dalam memahami prosedur kerja, kekuatan dari stabilitas (status quo) atau kekuatan untuk berubah, kekuatan koalisi dari para pemimpin puncak untuk mempertahankan kekuasaan dan masa jabatan, adalah faktor-faktor lain yang turut berpengaruh. Sedangkan Kuncoro (2011) menjelaskan bahwa karena sifatnya yang multifungsi, maka kepemimpinan strategis harus melibatkan segenap sumber daya manusia dalam organisasi. Dalam menghadapi kompleksitas dan sifat global dari kompetitif, maka perkataan, tindakan dan medan yang kemampuannya mewujudkan visi yang hendak dicapai haruslah secara efektif dapat memengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan para karyawan yang dipimpinnya. Pendekatan strategis dalam gambaran ini tidak hanya dilakukan pada organisasi profit. Menurut Phipps dan Burbach (2010) dalam penelitiannya terhadap organisasi non-profit bahwa inti kepemimpinan strategis adalah tentang kemampuan pemimpin untuk “menciptakan dan memelihara kapasitas dalam organisasi yakni kapasitas belajar (learning capacity), kapasitas perubahan (capacity for change), kapasitas kebijakan manajerial (managerial wisdom), konteks organisasi (context matters), inovasi organisasi (organizational innovation) dan terobosan misi ( mission trajectory)”. Sedangkan Kahar (2008) sependapat dengan Nanus dan Dobbs yang menemukan model khusus untuk memahami peran pemimpin terutama di organisasi non-profit yaitu: 1) inside the organization (interaksi, inspirasi, motivasi dan pemberdayaan), 2) outside organization (kerjasama dengan donatur, mitra bisnis yang potensial di luar organisasi), 3) present organization (fokus pada kualitas dan pelayanan, struktur, sistem informasi dan aspek lainnya), 4) on future possibilities (antisipasi trends dan mengembangkan arah masa depan organisasi). 2.1.1.3. Karakteristik Kepemimpinan Kepemimpinan Tranformasional Strategis Vs Pendekatan Kepemimpinan Transformasional memiliki kesamaan pendekatan dengan pendekatan kepemimpinan strategis. Gagasan James MacGregor Burns tahun 1978 telah membedakan 2 jenis kepemimpinan yakni Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional. Burns dalam Bass dan Riggio (2006) mengemukakan bahwa pemimpin transaksional adalah mereka yang memimpin lewat pertukaran sosial. Misalnya, politisi memimpin dengan cara “menukar satu hal dengan hal lain: pekerjaan dengan kampanye”. suara atau subsidi dengan kontribusi Sedangkan pemimpin tipe transformasional adalah mereka yang merangsang dan mengispirasikan pengikutnya untuk mencapai sesuatu yang tidak biasa dan dalam prosesnya mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri; membantu pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi pemimpin baru dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang bersifat individual dari para pengikut; memberdayakan para pengikut dengan cara menselaraskan tujuan yang lebih besar individual para pengikut, pemimpin, kelompok dan organisasi. Lebih lanjut dikatakan kepemimpinan transformasional dapat mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan, sebagaimana mereka mampu mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas kelompok ataupun organisasi. Pendekatan kepemimpinan strategis memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan kepemimpinan tranformasional. Dari paparan Yukl (2010) dalam temuan empirisnya dapatlah dikemukakan beberapa karakteristik perilaku pemimpin strategis yakni 1) berani mengambil tindakan tegas terutama disaat menghadapi krisis, 2) kompetensi melakukan perubahan yang tahan lama, 3) tahu apa yang dilakukan dan mampu mengendalikan peristiwa/situasi, 4) menghargai kinerja yang baik namun tidak menyalahkan kondisi eksternal karena kinerja yang buruk. Karakteristik lain dari kepemimpinan strategis disebutkan dalam tulisan Creative Centre Leadership CCL Strategi – Whitepaper (2004) bahwa ada beberapa karakteristik/ciri utama kepemimpinan strategis berkualitas untuk meningkatkan kinerja unggul : 1) loyalty (kemampuan dan efektifitas menunjukkan kesetiaan pada visi, kata-kata dan tindakan), 2) keeping them updated (menjaga pembaharuan informasi tentang organisasi), 3) judicious use of power (bijaksana menggunakan kekuasaan dalam mengembangkan persetujuan bagi ide-ide ketimbang memaksakan ide-ide tersebut) 4) have wide perspective/outlook (memiliki wawasan, ketrampilan dan pengetahuan yang luas), 5) motivation (memiliki semangat untuk bekerja melampaui uang dan kekuasaan), 6) compassion (memahami persepsi dan perasaan bawahan, keputusan diambil setelah mempertimbangkan bawahan), 7) self-control (memiliki potensi untuk mengendalikan suasana hati dan keinginan yang mengganggu; berpikir sebelum bertindak) 8) social skills (ramah dan punya sifat sosial), 9) self awareness (potensi untuk memahami suasana hati dan emosi serta dampaknya terhadap orang lain), 10) readiness to delegate and authorize (menyadari bahwa delegasi akan menghindari over-loading tanggungjawab, mengakui kenyataan bahwa bawahan juga punya otoritas untuk membuat keputusan yang akan memotivasi mereka), 11) articularly (artikulasi yang cukup untuk mengkomunikasikan visi kepada anggota organisasi dalam meningkatkan peran para anggota), 12) constancy/ reliability (menjadikan visi organisasi menjadi komponen budaya organisasi) Bianco dan Schermerhorn (2004), berpendapat bahwa ciri atau karakteristik kepemimpinan strategis yakni: terlibat dalam perubahan, lebih proaktif dalam mengkomunikasikan perubahan, tidak bersedia mengubah kepemimpinan menjadi konsultan eksternal serta tidak sekedar memiliki visi perubahan namun disertai kapasitas berkelanjutan untuk implementasi perubahan, selalu mendorong terciptanya perubahan perilaku secara positif, mandiri dan memungkinkan orang lain melakukan hal yang sama serta berani mengambil resiko. Para peneliti terdahulu menemukan bahwa seorang pemimpin memiliki peran yang strategis dalam membawa organisasi yang dipimpinnya mencapai tujuan organisasi baik melalui motivasi untuk meningkatkan kinerja karyawan. Ogbonna dan Harris (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini akan membuat karyawan lebih hati-hati perusahaan, berusaha mencapai target yang diharapkan hal tersebut berdampak pada kinerjanya. Susanto dan Aisyah (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya kepada karyawan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kebumen bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan terhadap motivasi dan kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga Hayatuddin (2012) menyarankan dalam penelitiannya bahwa faktor kepemimpinan tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pegawai non struktural apabila pola kepemimpinan yang ditampilkan tidak sesuai dengan dinamika organisasi yang dipimpinnya. Dari beberapa pengertian dan hasil penelitian diatas dapatlah disimpulkan bahwa karakteristik kepemimpinan strategis adalah 1) memahami visioner, dan merumuskan misioner dan strategis mengkomunikasikan dan visi merealisasikan yakni dan strategi misi, serta memiliki, mampu memiliki pengetahuan, terampil dan berwawasan luas, 2) berorientasi pada perubahan menunjukkan bahwa pemimpin menyukai dan selalu terlibat dalam perubahan, memiliki tujuan dan arah yang jelas, future-oriented dan suka menetapkan prioritas, membangun relasi yang kuat tergambar dari bijaksana, melibatkan bawahan dalam 3) mampu selalu bertindak mengembangkan ide, memberi kesempatan kepada bawahan untuk membuat keputusan, selalu menyelesaikan tanggungjawab dengan segera dan memiliki jejaring sosial luas dengan berbagai pihak, 4) memiliki personal style dan personal skills seperti proaktif, pengendalian emosi, bersemangat, peduli terhadap bawahan, bekerja melampaui uang dan kekuasaan serta berani mengambil resiko. 2.1.2. Budaya Organisasi 2.1.2.1. Pengertian Budaya Organisasi Robbins et al. (2008) mendefinisikan budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasiorganisasi lainnya. organisasi adalah Hofstede hasil (2010) susunan mendefinisikan pemikiran budaya bersama yang membedakan anggota-anggota sebuah organisasi dengan yang lain. Schein (2004) mendefinisikan budaya organisasi sebagai “pola asumsi dasar – diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal – yang telah bekerja cukup baik serta dianggap berharga dan karena itu diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut”. Sementara itu, pendapat Carwright yang dikutip Wibowo (2013) memahami budaya sebagai penentu yang kuat dari keyakinan, sikap dan perilaku orang dan pengaruhnya dapat diukur melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons lingkungan budaya mereka. 2.1.2.2. Karakteristik, Tipe dan Fungsi Budaya Organisasi Ada 7 karakteristik budaya organisasi menurut Robbins,et.al., (2008) yakni : inovasi dan keberanian mengambil resiko, perhatian terhadap detail, berorientasi pada hasil, berorientasi kepada manusia, berorientasi pada tim, agresivitas dan stabilitas. Terkait dengan karakteristik budaya organisasi, menurut Luthans (2009) ada beberapa yang penting diantaranya aturan perilaku yang diamati, norma, nilai dominan, filosofi, aturan, iklim organisasi. Menurut Hofstede (2010) ada 6 dimensi budaya organisasi yakni 1) process oriented – result oriented (orientasi proses atau orientasi hasil), 2) employee oriented-job oriented (orientasi pada karyawan atau orientasi pada pekerjaan), 3) parochial-professional (berhubungan dengan organisasi atau berhubungan dengan pribadi yang profesional, 4) open system-closed system( sistem terbuka atau sistem tertutup), 5) loose control-tight control( pengawasan yang lemah atau pengawasan yang ketat), 6) pragmative-normative (pragmatis atau normatif). Sedangkan Djatmiko (2008) mengutip pemahaman Greenberg dan Baron yang menyebutkan “budaya adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri atas sikap, nilai, norma perilaku dan harapan yang dibentuk oleh para anggotanya” maka menurut pendapat mereka ada 7 unsur budaya organisasi yakni inovasi, stabilitas, orientasi terhadap orang, orientasi terhadap hasil, perhatian yang mendetail, easy-goingness dan orientasi pada kerjasama. Mengenai tipe budaya organisasi, Kreitner dan Kinicki (2005) mengemukakan bahwa tipe-tipe budaya sebagai berikut : pertama, tipe budaya konstruktif (terkait dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri, penghargaan dan persatuan), kedua, tipe budaya pasif-defensif (berhubungan dengan persetujuan, konvensional, ketergantungan dan penghindaran) dan ketiga, tipe budaya agresifdefensif. Berkaitan dengan tipe budaya sebelumnya. Kreitner dan Kinicki seperti disebutkan juga menyebutkan bahwa terdapat 4 fungsi budaya organisasi yaitu 1) memberikan identitas organisasi kepada karyawannya (misalnya karyawan yang inovatif diberi penghargaan dari perusahaan), 2) memudahkan komitmen kolektif, (seorang karyawan terdorong berkomitmen dan merasa bangga karena diberi banyak kesempatan melakukan pekerjaan berbeda dan meningkatkan karier), 3) mempromosikan stabilitas sistem sosial (mengkondisikan lingkungan kerja positif dan mendukung serta mengelola konflik dengan efektif), 4) membentuk perilaku dengan manajer merasakan keberadaannya,(berfungsi menolong karyawan memahami mengapa perusahaan melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana mencapai tujuan jangka panjangnya). 2.1.2.3. Kekuatan dan Penghambat Budaya Organisasi Kotter dan Heskett dalam tulisannya yang dikutip Wibowo (2013) memberikan beberapa indikator kekuatan budaya organisasi sebagai berikut : a) memiliki dampak signifikan pada kinerja ekonomi untuk jangka panjang, b) dapat menentukan kesuksesan atau kemunduran perusahaan beberapa tahun yang akan datang, c) mencerminkan kinerja finansial yang lama dan kokoh serta mudah perkembangannya, d) meningkatkan kinerja karyawan. Sekalipun demikian, budaya organisasi dapat juga menjadi penghambat dalam aktivitas dan kelangsungan sebuah organisasi. Robbins et al., (2008) menggambarkan hambatan-hambatan tersebut sebagai 1) hambatan terhadap perubahan terjadi ketika konsistensi perilaku tidak bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan bisnis, 2) hambatan bagi keragaman saat kultur yang kuat berhadapan dengan masuknya kekuatan-kekuatan unik yang beragam latar belakang yang dibawa oleh anggota-anggota organisasi yang baru, 3) hambatan bagi akuisisi dan merger, pertentangan kultur antar perusahaan menjadi sebab gagalnya akuisisi dan merger mencapai sasarannya. Tika dalam Brahmasari,et.al (2008) menyimpulkan proses pembentukan budaya organisasi melewati 4 tahapan, yaitu tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan kelompok/perorangan dalam adalah interaksi memunculkan organisasi; ide-ide tahap kedua yang ditransformasikan menjadi artifak, nilai dan asumsi; artifak, nilai, dan asumsi kemudian diimplementasikan sehingga organisasi adalah tahap ketiga; dan membentuk budaya tahapan terakhir adalah mempertahankan budaya organisasi melalui pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi. Koesmono (2005) mengemukakan bahwa bila organisasi menjadi kuat serta tujuannya dapat terakomodir merupakan bukti bahwa budaya organisasi itu produktif. Pendapatnya ini disimpulkan dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa budaya organisasi memengaruhi motivasi serta kinerja karyawan Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah di Jawa Timur. Berdasarkan pengertian dan hasil penelitian diatas maka elemen-elemen yang melekat dalam budaya organisasi itu ialah 1) profesionalisme yakni karyawan mengetahui apa tujuan pekerjaannya, berpikir jauh kedepan, penghargaan dan senang berinovasi, 2) keterbukaan dan keteraturan yaitu organisasi memiliki sistem dan aturan main yang jelas, karyawan bebas mengembangkan ide dan kemampuan diri sendiri, kesetiakawanan sosial dan saling menghargai, perasaan aman dan nyaman dalam bekerja, 3) ketaatan pada peraturan adalah promosi jabatan yang transparan, selalau terarah dan fokus dalam melaksanakan tugas, berkomitmen menjaga citra baik organisasi serta disiplin. 2.1.3. Motivasi 2.1.3.1. Pengertian Motivasi Robbins et al. (2008) mengemukakan bahwa motivasi adalah “keinginan mengeluarkan untuk upaya yang melakukan” tinggi untuk sebagai kesediaan tujuan organisasi, sebagaimana yang dikondisikan oleh kemampuan itu dalam upaya memenuhi suatu kebutuhan individual”. Definisi lain dari Jones seperti yang dikutip dalam Wijono (2010) mendefinisikan motivasi sebagai “how behavior get started, is energized, is sustained, is director, is stopped and what kind of subjective reaction is presentin the organism while all this is oing on”. Selanjutnya Steers dan Porter mengemukakan bahwa motivasi dapat dipahami melalui tiga aspek ini yaitu yang membangkitkan (energizes) tingkah laku, yang mengarahkan (direct) atau menghubungkan (channels) tingkah laku dan mempertahankan (maintained) tingkah laku. 2.1.3.2. Teori Motivasi 2.1.3.2.1 Teori Kebutuhan Ada beberapa ahli yang telah mengembangkan Teori Kebutuhan sebagaimana yang dikutip Stoner (1996). David Mc Cleland yang menekankan kebutuhan itu pada tiga hal : 1) kebutuhan berprestasi 2) kebutuhan untuk berafiliasi dan 3) kebutuhan terhadap kekuatan. Frederick Herzberg,et.al dikenal dengan Teori Dua Faktor. Menurut Herzberg, faktor penyebab kepuasan (faktor hygiene) seperti gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan mempengaruhi konteks lingkungan kerja, sedangkan faktor penyebab ketidakpuasan (faktor memotivasi) termasuk prestasi, pengakuan, tanggung jawab dan kemajuan terkait dengan isi pekerjaan dan imbalan atas prestasi kerja. Teori Hierarki Kebutuhan menurut Abraham Maslow (1970) mengasumsikan bahwa individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat baginya diwaktu tertentu. Ada lima macam kebutuhan individu secara hierarki adalah 1) kebutuhan fisiologis (physiological needs), 2) kebutuhan keamanan (safety and security needs), 3) kebutuhan sosial (social needs), 4) kebutuhan harga diri ( esteem needs) dan 5) kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs). 2.1.3.2.2 Teori ERG Teori Kebutuhan ini dikembangkan oleh Clayton Alderfer dan disebut Teori ERG. Teori ini motivasi dengan teori mendukung pengukuran Maslow namun, Alderfer membedakan teorinya dengan dua hal prinsip ini sebagai berikut : pertama, membedakan kebutuhan hanya menjadi tiga kategori 1) kebutuhan eksistensi (Excistence), 2) kebutuhan keterkaitan (Relatedness) dan 3) kebutuhan pertumbuhan (Growth), kedua, Alderfer memandang bahwa setiap individu berjalan naik turun pada hirarki kebutuhan sesuai waktu dan situasinya, sedangkan Maslow menyatakan bahwa individu akan bergerak naik mencapai puncak teratas kebutuhannya, (Wijono, 2012). Teori ERG berbeda dengan Teori Kebutuhan Maslow dalam tiga cara berikut yang lebih fleksibel: 1) tidak seperti hierarki Maslow yang kaku, teori ERG memberi kemungkinan berbagai tingkat kebutuhan dapat diupayakan secara bersamaan, 2) teori ini memungkinkan bahwa urutan kebutuhan individu yang satu berbeda dengan urutan kebutuhan individu yang lain, 3) teori ERG mengakui bahwa jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tetap terpenuhi, individu tersebut bisa mundur dengan kebutuhan tingkat yang lebih rendah yang muncul lebih mudah untuk dipenuhi. 2.1.3.3. Motif dan Faktor Motivasi Dalam diri individu terdapat beberapa motif atau kebutuhan. Implikasi dari teori ERG yang dikembangkan Alderfer maka motif kebutuhan berdasarkan teori ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu pertama, kebutuhan eksistensi (needs of existence) yang berhubungan dengan kelangsungan hidup (kesejahteraan fisiologis), kedua, kebutuhan hubungan (needs of relatedness) yang menekankan pentingnya hubungan sosial atau relasi antar pribadi, dan ketiga, kebutuhan perkembangan (needs of growth) yaitu keinginan intrinsik individu untuk mengembangkan diri, (Luthans,2006). Chaudary dan Sharma (2012) menulis dalam tulisan mereka mengenai Impact of Employee Motivation on Performance (Productivity) in Private Organization bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor motivasi adalah kepuasan kerja, prestasi, lamanya bekerja, kebutuhan keduanya, seorang uang/gaji pemimpin serta penghargaan. mempunyai peran Menurut untuk membangkitkan minat, menciptakan antusiasme agar karyawan melakukan yang terbaik dari kemampuan yang mereka miliki. Kegagalan organisasi umumnya terletak pada kurangnya pemimpin memahami pentingnya motivasi dalam mencapai visi dan misi organisasi. Bahkan pendapat mereka, bahwa walaupun pemimpin memahami pentingnya keterampilan dan motivasi, jika pengetahuan ia tidak untuk mempunyai menyediakan lingkungan/budaya organisasi yang dapat memotivasi karyawan, maka hal tersebut tak efektif mendorong terjadinya peningkatan produktivitas kinerja karyawan. Cong dan Van (2013) menyebutkan dalam penelitian mereka pada sejumlah karyawan PVNC Vietnam, dibutuhkan faktor-faktor lain selain gaji dan promosi untuk memotivasi karyawan, seperti pengembangan karir, kondisi pekerjaan yang nyaman sekalipun dalam hasil penelitian gaji, promosi menempati peringkat pertama dan kondisi kerja di peringkat kedua. Penelitian Murti dan Srimulyani (2013) terhadap kinerja pegawai PDAM menemukan hasil bahwa motivasi tidak berpengaruh signifikan apabila kebutuhannya telah terpuaskan, sebaliknya motivasi berpengaruh signifikan jika kebutuhan pegawai tersebut belum terpenuhi. Kesimpulan dari beberapa pengertian dan teori tersebut diatas adalah setiap orang menginginkan kebutuhannya terpenuhi melalui apa yang dikerjakannya. Dorongan atau motivasi kerja berasal dari terpenuhinya dimensi a) kebutuhan (existence needs), terdiri dari kebutuhan dasar dan eksistensi kebutuhan tunjangan tambahan b) kebutuhan relasi (relatedness needs) yakni kebutuhan dalam hubungan dengan atasan dan kebutuhan dalam hubungan dengan rekan kerja, dan c) kebutuhan untuk bertumbuh (growth needs). 2.1.4. Kinerja 2.1.4.1. Pengertian Kinerja Rivai dan Basri (2005) menulis bahwa “kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama”. Donnelly, Gibson dan Ivancevich dalam kutipan Rivai,et.al (2005) menyebutkan “kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik”. Kata kinerja juga disebut oleh Mathis dan Jackson (2011) sebagai “apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan“. 2.1.4.2. Kriteria Penilaian Kinerja Kriteria penilaian kinerja adalah sebuah upaya untuk mengetahui dan mendapatkan informasi kinerja individu atau tim untuk memenuhi standar kinerja yang sesuai dengan strategi organisasi. Untuk memperoleh input/masukan tersebut, organisasi dapat menggunakan Jackson,et.,al (2011) tiga yaitu tipe kriteria kriteria kinerja, berdasarkan menurut kepribadian, kriteria perilaku dan kriteria hasil. Kriteria berdasarkan kepribadian memusatkan kesetiaan, perhatian keandalan, kepada karakteristik kemampuan personal berkomunikasi seperti dan kepemimpinan. Kriteria perilaku memusatkan konsentrasi pada bagaimana kerja individu dilaksanakan. Adapun kriteria perilaku ini seperti ketidakhadiran, kelambatan, kecerobohan, kepercayaan, memberi semangat, mendorong perubahan, menciptakan kerjasama serta berorientasi pada pelanggan. Dengan mengkombinasikan timbal balik dari kinerja, penilaian perilaku ini akan sangat berguna bagi perkembangan pekerja. Fokus dari kriteria hasil ialah pada apa bagaimana yang diselesaikan atau dihasilkan daripada pekerjaan dihasilkan dan diselesaikan. Kriteria penilaian ini tidak dapat efektif diterapkan kepada individu tetapi lebih kepada tim atau unit kerja. Kelemahan dari hasil penilaian ini adalah menghilangkan aspek kerja dan mementingkan hasil . Bagi Mathis dan Jackson (2011) selain elemen-elemen kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran dan kemampuan bekerjasama, kriteria pekerjaan penting dimasukkan ke dalam penilaian kinerja. 2.1.4.3 Kriteria Penilaian Kinerja Karyawan Medik Pada organisasi rumah sakit terdapat kriteria penilaian kinerja yang spesifik dalam menilai kinerja karyawannya. Perlu ada perbedaan terhadap kriteria penilaian kinerja karyawan administrasi dan kriteria penilaian kinerja karyawan medik. Kriteria penilaian kinerja karyawan medik menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dan Peraturan Pemerintah RI No 65 tahun 2005 tentang sifat Stándar Pelayanan Minimal Rumah Sakit semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Reliable (relevan dan dapat diandalkan), Time specific (ada batasan waktu). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 228 tahun 2002 adalah standar penyelenggaraan pelayanan pelayanan keperawatan termasuk dalam pelayanan penunjang, dan manajemen rumah sakit. Yang manajemen sumberdaya manusia, medik, rumah sakit ialah manajemen manajemen keuangan, manajemen sistem informasi rumah sakit, sarana prasarana dan mutu pelayanan. Berdasarkan kriteria penilaian kinerja tersebut maka kriteria penilaian kinerja karyawan medik adalah sebagai berikut: (a). akses terhadap pelayanan (access) menyangkut informasi prosedur keperawatan dan tindakan penanganan atau diagnosis, (b). efektifitas dan efisiensi (efficacy and eficiency) dalam menangani pasien termasuk saran terhadap pasien dan keluarganya terkait perawatan yang efisien, (c). safety (keamanan) yakni mengetahui dengan tepat dan menjaga kerahasiaan riwayat kesehatan pasien serta updated perubahan data intervensi yang diberikan terhadap pasien, (d). continuity of care (kesinambungan pelayanan) yaitu peduli kepada faktor keluarganya, emosional dan kebutuhan pasien dan (e). technical competence (kompetensi tehnis) terkait dengan standar operasional prosedur yang harus dilakukan dalam tindakan keperawatan pasien, (f). amenities (kenyamanan) adalah bekerja dengan jadwal dan sesuai intervensi berdasarkan SOP, (g). human relation (hubungan antar manusia) ialah selalu menjalin hubungan kerja yang baik antar sesama rekan paramedis baik konsultasi maupun berbagi pengalaman. Sinambela (2012) mengemukakan bahwa kinerja memiliki tiga dimensi yang saling terkait dan terhubung yakni kemampuan, motivasi dan peluang. Motivasi yang berasal dari kepuasan akan hasil yang dicapai memberikan dampak dalam meningkatkan kinerja. Dari beberapa pengertian dan uraian ini maka dapatlah dikatakan yang dikemukakan bahwa kinerja karyawan sebagai hasil akhir individu terhadap suatu kegiatan yang disengaja, terencana dan terstruktur didasarkan pada tujuan, misi dan visi organisasi tersebut. Kinerja karyawan akan tercapai bila didukung oleh sejumlah faktor diantaranya kepemimpinan, budaya organisasi dan motivasi. Indikator mengkombinasikan kinerja karyawan dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu misalnya antara kriteria berdasarkan kepribadian dan kriteria perilaku. 2.2. Penelitian Terdahulu Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu Variabel No Penulis/ Dependen Judul Interve Indepen ning/ den Alat Analisis Sampel Hasil Penelitian Modera ting 01 Iis Torisa Motiva gaya metode Karya-wan Gaya Utami,SE,MM si kepemimp kuantita PT transformasional (2011) karyawan i-nan tif dan hasil Servista-ma secara transform penelitian Indone-sia berpengaruh terhadap a -sional Pengaruh kerja gaya kepemimpinan kepemimpinan parsial diolah berjum-lah motivasi Transformasional dengan kurang karyawan terhadap menggunaka lebih n orang. kerja pada motivasi karyawan PT Trade program SPSS Servistama 02 Trade 256 versi kerja kepemimpinan transformasional secara 15.0 simultan berpengaruh terhadap Indonesia motivasi Tangerang karyawan Ni Motivasi , Budaya SEM Laswitarni (2010) Ketut Kinerja Organisasi dibantu Budaya Karyawan yang kerja Seluruh 1)budaya karyawan mempunyai hubungan , dengan signifikan Organisasi, Kepuasan program dengan Kepuasan kerja AMOS Kerja,Motivasi dan 2.Gaya Versi organisasi danpositif motivasi. Hubungan 7.0 dan 2) signifikan positif antara Kinerja Karyawan motivasi kerja dengan (Suatu studi di PT kinerja karyawan Delta Satria Dewata Denpasar) 03 Kiruja EK, Elegwa Mukuru (2013) Motivasi Kinerja Karyawan SPSS Analysis Effect of Motivation variance on (ANOVA Employee Performance In 20 of 315 Hasil analisis korelasi adminis dalam trator menunjukkan penelitian ini bahwa motivasi karyawan memiliki hubungan Public Middle Level positif yang signifikan Technical dengan TrainingInstitutions karyawan In Kenya kinerja 04. Heri Susanto dan Kinerja Motivasi Kepemimp program Seluruh 1.Pengaruh Nuraini karyawan Karyawan inan,Buda partial pegawai kerja terhadap kinerja ya kerja leastsquare negeri sipil karyawan /PLS berjumlah KantorPertanahan 85 orang Kabupaten Aisiyah (2010) Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan budaya di Kebumen Budaya Kerja dengan Motivasi signifikan. 2.Pengaruh sebagai variable motivasi adalah intervening terhadap tidak terhadapkinerja Kinerja karyawan karyawan di adalah signifikan, Kantor Pertanahan 3.Pengaruh Kabupaten terhadap Kebumen adalah signifikan, Hal ini motivasi kinerja berarti motivasi sebagai variabel intervening terhadap kinerja bagus 05 Kamaliah, Ahmad Kinerja Gaya Rifqi, Akuntan Kepemimp Mitha SPPS 17.0 32 gaya Responden budaya organisasi dan kepemimpinan, Elistha inan motivasi kerja ketiga (2013) Budaya variabel secara Organisasi parsial ,Motivasi berpengaruh Pengaruh Gaya Kepemimpinan, ini semuanya secara Budaya Organisasi positif dan Motivasi Kerja signifikanmeningkatka terhadap n kinerja akuntan. Kinerja Akuntan Pemerintah (Studi Empiris padaAkuntan BPKP) Gambaran dalam tabel 2.1. diatas menjelaskan tentang penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan variabel-variabel sama yang juga hendak diteliti dalam penelitian ini. Tetapi variabel kepemimpinan yang disoroti oleh Utami (2011) adalah gaya kepemimpinan transformasional dan pengaruhnya terhadap motivasi karyawan, sedangkan dalam penelitian ini melihat menurut konsep pengaruh kepemimpinan strategis terhadap motivasi karyawan serta dampaknya kepada kinerja karyawan. Demikian juga dengan yang diteliti oleh Laswitarni (2010) melihat pengaruh organisasi dan kepuasan kerja terhadap motivasi dan sedangkan dalam penelitian faktor kepuasan kerja menjadi indikator yang diteliti dalam variabel motivasi kerja. Kiruju dan Mukuru (2013) tidak melihat pengaruh tetapi hubungan antara kinerja karyawan dengan motivasi kerja. Kemudian Susanto et al (2010) dan Kamaliah et al (2013) menggunakan variabel-variabel yang sama dengan yang dipakai dalam penelitian ini tetapi melihat pengaruhnya secara langsung (parsial) dan bersama-sama (simultan). Objek penelitian terhadap kinerja karyawan medic merupakan hal yang membedakan dengan penelitian penelitian ini sehingga penelitian ini bersifat research gap sebab ada variabelvariabel baru dan indikator pengukuran yang tidak sama dengan penelitian sebelumnya. 2.3. Perumusan Hipotesis 2.3.1. Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Motivasi Kerja Hughes dan Beatty (2005) menulis dalam buku mereka “Becoming a Strategic Leader” bahwa fokus dari kepemimpinan strategis adalah “sustainable competitive advantages” organisasi untuk mendorong dan menggerakkan segenap kemampuan karyawan sehingga akan berkembang. Lebih lanjut penjelasan keduanya bahwa kepemimpinan strategis adalah kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki seseorang atau kelompok yang bertanggungjawab dan memiliki pengaruh penting untuk menjamin organisasi itu tetap bertahan hidup. Cara mereka menjaga keberlanjutan organisasinya adalah dengan bagaimana memotivasi karyawannya dengan tepat untuk mengubah sumber daya yang tak bernilai menjadi bernilai, menciptakan peluang dan kesempatan yang sama bagi para karyawannya untuk terlibat dalam proses itu. Kemampuan alergi mengambil menciptakan keputusan-keputusan budaya organisasi lebih strategis, tidak efektif dan menjalankan bisnis secara beretika serta fokus atau berorientasi pada masa depan. Dalam aksi-aksi itulah yang menempatkan kepemimpinan strategis dapat mengelola dan mendorong sumber daya yang tersedia di organisasinya untuk memberikan kontribusi lebih dan unik dalam jangka panjang. H1 : Kepemimpinan strategis berpengaruh terhadap motivasi Kerja 2.3.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu (Koesmono, 2005). Kegagalan pemimpin menata dan menciptakan budaya yang bersih dan sehat, maka tidaklah mengherankan kalau organisasi itu dibiarkan. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, pasti mempunyai budaya yang berbeda-beda. Hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya antara perusahaan jasa berbeda dengan perusahaan manufaktur dan trading. Hofstede (2010) berpendapat bahwa perbedaaan itulah yang akan menjadikan budaya organisasi menjadi heteroginitas. Dalam organisasi, budaya organisasi berfungsi sebagai (1) alat menciptakan perbedaan yang khas ini tidak bahwa organisasi satu sama dengan organisasi indentitas bagi yang lain tidak sama, (2) sebagai anggota organisasi, (3) budaya memudahkan lahirnya komitmen terhadap kepentingan yang lebih luas daripada kepentingan individu/perseorangan, (4) dapat memantapkan sistem, (5) berfungsi sebagai mekanisme penciptaan makna dan sistem pengendalian yang menuntun dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. H2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi kerja 2.3.3. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan Melalui teori ERG-nya, Alderfer hendak mengemukakan bahwa seorang pemimpin harus menyadari bahwa masing-masing karyawannya memiliki beberapa kebutuhan untuk dipenuhi secara bersamaan. Kebutuhan yang dimaksud ialah kebutuhan keberadaan, kebutuhan hubungan antar personal dan kebutuhan pertumbuhan dan pengembangan diri. Selain itu, jika peluang pertumbuhan tidak diberikan kepada karyawan, mereka mungkin akan memengaruhi hubungan antar personal dalam organisasi. Kepemimpinan strategis seharusnya mampu mengenali situasi ini, agar dapat mengambil langkah untuk berkonsentrasi pada kebutuhan relasi antar personal sampai karyawannya terdorong untuk mengejar kebutuhan pengembangan dirinya lagi. Jika proses ini terjalani dengan baik maka kinerja karyawan dapat ditingkatkan sesuai dengan harapan dan tujuan organisasipun tercapai. Disini mengarahkan dibutuhkan dan kemampuan menciptakan budaya pemimpin kerja dan untuk budaya organisasi yang kondusif. Hal ini untuk mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras lagi, kinerja lebih terpacu demi mencapai tujuan organisasi. Namun, haruslah diperhatikan bahwa pemberian motivasi harus diarahkan dengan baik menurut prioritas dan dapat diterima dengan baik oleh karyawan H3 : Motivasi Kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 2.3.4.1 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Kinerja Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel Mediating Kinerja dipahami sebagai yang menunjukkan hasil kerja yang dicapai seseorang setelah melaksanakan tugas pekerjaan yang dibebankan oleh organisasi. Sedangkan ukuran baik tidaknya hasil kerja dapat dilihat dari mutu atau kualitas yang dicapai karyawan sesuai dengan tuntutan organisasi. Tuntutan terhadap hasil kerja dari organisasi terhadap masing-masing karyawan, tidak terlepas dari peran strategis dari pemimpin yang mendorong dan mengarahkan dalam menghasilkan sesuatu serta meningkatkannya sesuai dengan harapan dan tujuan yang ingin dicapai. H4.1 : Kepemimpinan Strategis berpengaruh terhadap kinerja karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating. 2.3.4.2 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel Mediating Soeprihantono (1988) mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama apabila karyawan mampu bekerja sesuai dengan standar penilaian yang ditetapkan organisasi. diharapkan memerlukan Dan untuk dukungan mencapai budaya kinerja yang organisasi yang profesional, terbuka dan teratur serta memiliki sistem dan aturan yang jelas. Selain sebagai sebuah perangkat perekat dan penghubung keragaman antar individu dalam organisasi, budaya organisasi juga mampu menciptakan kondisi lingkungan kerja yang aman dan nyaman untuk memotivasi para karyawan meningkatkan kinerjanya. H4.2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating. 2.4. Model Penelitian Untuk mendukung penelitian ini maka model penelitiannya sebagai berikut : Kepemimpinan Strategis (X1) Motivasi Kerja Kinerja Karyawan Medik (Y2) (Y1) Budaya Organisasi (X2) 2.5. Hipotesis H1 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan terhadap motivasi H2 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi H3 : motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan H41 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan kinerja karyawan dengan motivasi sebagai terhadap variabel mediating H42 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan dengan motivasi sebagai variabel mediating