BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA

advertisement
7 BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pemasaran
Istilah pemasaran dalam bahas inggris dikenal dengan nama marketing. Kata
marketing bisa dikatakan telah diserap dalam bahasa kita, namun juga diterjemahkan
dengan istilah pemasaran.
Asal kata pemasaran ialah pasar = market.
Apa yang
dipasarkan itu ialah barang dan jasa. Dalam Buchari (2009, p1) dikatakan, memasarkan
tidak hanya menawarkan atau menjual saja, namun lebih luas dari itu.
Didalamnya
terdapat berbagai kegiatan seperti membeli, menjual, dengan segala macam cara,
mengangkut barang, menyimpan, mensortir, dan sebagainya. Didalam marketing usaha
ini kita kenal sebagai fungsi-fungsi marketing.
Beberapa pengertian pemasaran menurut beberapa pakar dalam Buchari (2009,
p1-p3) didefinisikan sebagai berikut:
1. Charles F. Philips dan Delbert J. Duncan dalam bukunya marketing ”Principles
and Methods” menyatakan bahwa ” Marketing which is often reffered to as
”distribution” by businessman-includes all to activities neccessary to place
tangible goods in the hand of house hold consumer and user”.
Artinya
pemasaran yang sering disebut sebagai ”distribusi” oleh pengusaha-termasuk
semua kegiatan yang diperlukan untuk menempatkan barang nyata di rumah
tangga konsumen dan pengguna.
Selanjutnya ditambahkan bahwa excluding
only such activities as involve a significant change in the form goods. Jadi dalam
kegiatan marketing itu tidak termasuk kegiatan perubahan bentuk barang yang
kita jumpai di dalam industri.
8 2. Maynard and Beckman dalam bukunya ”Principles Of Marketing” menyatakan
”Marketing embraces all business activities involved in the flow of goods and
services from physical production to consumption. Artinya, marketing berarti
segala usaha yang meliputi penyaluran barang dan jasa dari sektor produksi ke
sektor konsumsi.
3. Converse dan Jones dalam bukunya ”Introduction to Marketing” mengemukakan
bahwa dunia bisnis itu dibagi dua, yaitu production dan marketing. Production
diartikan sebagai kegiatan mencetak barang, sedangkan marketing diartikan
sebagai pekerjaan memindahkan barang-barang ketangan konsumen.
4. William J. Shultz dalam bukunya ”Outlines of Marketing” menyebutkan bahwa
marketing atau distribusi adalah usaha atau kegiatan yang menyalurkan barang
dan jasa dari produsen ke konsumen. Pendapat ini sama dengan kesimpulan
yang telah diambil oleh The Committe of Definition of The American Association.
5. Tousley, Eugine Clark, Fred E. Clark dalam bukunya ”Priciples of Marketing”
menyatakan
bahwa
marketing
terdiri
dari
usaha
yang
mempengaruhi
pemindahan pemilikan barang dan jasa termasuk distribusinya.
6. Converse, Huege, dan Mitchell dalam bukunya ”Elements of Marketing”
menyatakan bahwa, marketing didefinisikan sebagai kegiatan membeli dan
menjual, dan termasuk didalamnya menyalurkan barang dan jasa antar produsen
dengan konsumen.
Dan marketing terdiri dari kegiatan-kegiatan penciptaan
tempat, waktu dan pemiliknya.
7. Beberapa definisi dalam Hermawan Kertajaya dikutip dari Buchari (2009, p2):
•
Pemasaran adalah menghubungkan penjual dengan pembeli potensial.
•
Pemasaran adalah menjual barang, dan barang tersebut tidak kembali
ke orang yang menjualnya.
9 •
Pemasaran adalah memberikan sebuah standar kehidupan.
•
Brech mendefinisikan pemasaran suatu proses dalam menentukan
permintaan konsumen akan barang dan jasa, memotivasi penjualan,
mendistribusikan ke konsumen akhir, dengan keuntungan sebagai
imbalannya.
•
Peter Drucker, mengatakan pemasaran bukanlah sekedar perluasan
penjualan, pemasaran meliputi keseluruhan bisnis, dan harus dilihat dari
sudut pandang pelanggannya. Hanya pemasaran dan inovasilah yang
menghasilkan uang, kegiatan yang lainnya adalah pos biaya saja.
Dikatakan bahwa pemahaman Drucker ini merupakan peletakan sendi
dasar pemasaran sebagai bisnis kunci bagi perusahaan.
•
Kotler, pemasaran adalah sekumpulan aktivitas manusia yang ditujukan
untuk memfasilitasi dan melaksanakan pertukaran.
•
Baker, pemasaran berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan
hubungan yang saling menguntungkan.
•
AMA (American Marketing Assotiation) menyatakan pemasaran adalah
proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penentuan harga,
promosi, dan pendistribusian barang, jasa dan ide serta dapat
memuaskan pelanggan sebagai tujuan perusahaan.
•
MAANZ
(Marketing Association of Australia and New Zealand),
pemasaran adalah aktivitas yang memfasilitasi dan memperlancar suatu
hubungan pertukaran yang saling memuaskan melalui penciptaan,
pendistribusian, promosi dan penentuan harga dari barang, jasa, dan
ide.
10 •
Menurut Hermawan Kertajaya, pemasaran ialah sebuah disiplin bisnis
strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan
perubahan values dari suatu inisiator kepada stekholdernya.
2.2 Kualitas pelayanan
2.2.1 Kualitas
Kualitas
memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang, tergantung
darimana kita memandangnya.
Pengertian kualitas menurut beberapa pakar
dalam Dorothea Wahyu (2003, p8) :
•
Menurut Juran : Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi
availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectivenes.
•
Menurut Deming : Kualitas harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan sekarang dan dimasa mendatang.
•
Menurut Feigenbaum : Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk
dan
jasa
yang
meliputi
merketing, engineering, manufacture, dan
maintenence dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan
sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
•
Menurut Scherkenbach : Kualitas ditentukan oleh pelanggan, pelanggan
menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya pada satu tingkat harga tertentu yang menunjukan nilai produk
tersebut.
•
Menurut Elliot : Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang
berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat atau dikatakan sesuai
dengan tujuan.
11 •
Menurut Goetch dan Davis : Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang
berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan.
•
Perbendaharaan istilah Iso 8402 dan dari standar Nasional Indonesia (SNI
19-8402-1991) : Kualitas adalah ciri dan karakteristik produk atau jasa yang
kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara
tegas maupun tersamar.
Pengertian kualitas menurut beberapa pakar dalam Yamit (2010;P7)
•
Deming : Mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan
dan keinginan konsumen.
•
Crosby : Mempersepsikan kualitas adalah sebagai nihil cacat, kesempurnaan
dan kesesuaian terhadap persyaratan
•
Juran : Mendefinisikan mutu sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi.
Menurut Davis dalam Yamit (2010, p8), membuat definisi kualitas yang
lebih luas cakupannya, yaitu kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang di kemukakan Goetsch Davis
ini menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir,
yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas proses
dan kualitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang
berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.
Perusahaan jasa dan pelayanan lebih menekankan pada kualitas proses,
karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan
perusahaan yang menghasilkan produk tersebut.
Sedangkan perusahaan yang
menghasilkan produk lebih menekankan kepada hasil, karena konsumen umumnya
12 tak terlibat langsung di dalam prosesnya. Untuk itu di perlukan sistem manajemen
kualitas yang dapat memberikan jaminan kepada pihak konsumen bahwa produk
tersebut di hasilkan oleh proses yang berkualitas.
Menurut Garvin dalam Yamit (2010,p9) terdapat lima pendekatan perspektif
kualitas yang dapat di gunakan oleh para praktisi bisnis, yaitu :
1. Transcendental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat di rasakan, tetapi
sulit di definisikan dan di operasionalkan maupun di ukur.
Perspektif ini
umumnya di terapkan dalam karya seni seperti seni musik, seni tari, seni
drama,
dan
seni
mempromosikan
rupa.
dengan
Untuk
produk
menggunakan
dan
jasa
pelayanan
pernyataan-pernyataan
dapat
seperti
kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik),
pelayanan prima (bank) dan tempat berbelanja yang nyaman (mall). Definisi
ini sangat sulit untuk di jadikan sebagai dasar perencanaan dalam manajemen
kualitas.
2. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang
dapat di ukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut
yang di miliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual.
3. User-bassed Approach
Kualitas dalam pendekatan ini di dasarkan pada pemikiran bahwa kualitas
tergantung pada orang yang memangdangnya, dan produk yang paling
memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitness for used)
merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang subjektif
13 ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan
yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan
maksimum yang di rasakannya.
4. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini bersifat supply-based atau terdiri dari sudut
pandang produsen yang mengidentifikasi kualias sebagai sesuatu yang sesuai
dengan persyaratan (conformance quality) dan prosedur.
Pendekatan ini
berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang di tetapkan perusahaan secara
internal. Oleh karena itu yang menentukan kualitas adalah standar-standar
yang di tetapkan perusahaan, dan bukan konsumen yang menggunakannya.
5. Value-based approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai dan
harga. Kualitas di definisikan sebagai “affordable excellent”. Oleh karena itu
kualitas dalam pandangan ini bersifat relatif. Sehingga produk yang memiliki
kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Produk yang
paling bernilai adalah produk yang paling tepat beli. Dikutip dari Zulian Yamit
(2010;p5-10)
2.2.2 Pelayanan/Jasa (Service)
Pengertian Service menurut beberapa pakar dalam Buchari (2009, p243):
•
Stanton : ”Service are those separately, essentially intangible activities that
provide want statisfaction, and that are not necessarily tied to the sale of a
product or another service. To produce a service may or may not require the
use of tangible goods. However, when such use required, there is no transfer
14 of the title (permanent ownership) to these tangible goods.” Artinya : Jasa
adalah sesuatu yang dapat diidentifikasikan secara terpisah tidak berwujud,
ditawarkan untuk memenui kebutuhan. Jasa dapat dihasilkan melalui bendabenda berwujud, namun bisa juga tidak.
•
Zeithaml dan Bitner : menyatakan broad definition is one that defines service
”include all economics activities whose output is not a physical product or
construction, is generally consumed at the time it is produced, and provides
added value in form (such as convinience, amusement, timelines, comfort, or
health) that are essentially intangible concern of its first purchaser”. Artinya :
Jasa adalah suatu kegiatan ekonomi yang outputnya bukan produk
dikonsumsi bersamaan dengan waktu diproduksi dan memberikan nilai
tambah (seperti kenikmatan, hiburan, santai, sehat) bersifat tidak berwujud.
Menurut Kotler dalam Tjiptono (2006, p6) :
jasa adalah setiap
tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain,
yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidaka
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produk jasa bisa berhubungan dengan
produk fisik, namun bisa juga tidak.
Kotler juga memberi definisi service dalam bukunya ”Prinsip-Prinsip
Pemasaran” (2008, p266) dimana service adalah bentuk produk yang terdiri
dari aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual dan pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan akan sesuatu.
Contohnya, perbankan, hotel, maskapai penerbangan, pajak, dan jasa
perbaikan rumah.
Dalam Yamit (2010, p20), jasa pelayanan di definisikan lebih baik
dalam waktu tertentu tetapi tidak cocok pada waktu yang lain. Secara formal
15 sering di jumpai pengertian pekerjaan jasa adalah pekerjaan di bidang
pertanian dan pabrik seperti pekerjaan bidang hotel, restoran dan toko
reparasi; hiburan seperti bioskop, teater, taman hiburan; fasilitas perawatan
kesehatan seperti rumah sakit dan jasa dokteri; jasa profesional seperti
konsultan hukum, akuntan; pendidikan; keuangan; asuransi dan real estate;
pedagang besar dan pedagang pengecer; Jasa transportasi dan lain
sebagainya.
Berdasarkan penelitian jasa pelayanan yang dilakukan Olsen dan
Wyckoff dalam Yamit (2010,p22), jasa pelayanan adalah sekelompok manfaat
yang berdaya guna baik secara eksplisit maupun inplisit atas kemudahan
untuk mendapatkan barang maupun jasa pelayanan.
2.2.3 Karakteristik Jasa Pelayanan
Meskipun terjadi beberapa perbedaan terhadap pengertian jasa pelayanan
secara
terus
menerus
perbedaan
tersebut
akan
mengganggu,
beberapa
karakteristik jasa pelayanan berikut memberikan jawaban yang lebih mantap
mengenai pengertian jasa pelayanan. Karakteristik jasa tersebut adalah :
1. Tidak dapat di raba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang sering kali tidak
dapat di sentuh atau tidak dapat di raba.
Jasa mungkin berhubungan
dengan sesuatu secara fisik, seperti pesawat udara, kursi, meja dan
peralatan
makan
Bagaimanapun
di
juga
restoran,
pada
tempat
kenyataannya
tidur
pasien
konsumen
rumah
membeli
sakit.
dan
memerlukan sesuatu yang tidak dapat diraba. Hal ini banyak terdapat pada
biro perjalanan atau biro travel dan tidak terdapat pada pesawat terbang
maupun kursi, meja dan peralatan makan, bukan terletak pada tempat tidur
16 di rumah sakit, tetapi pada nilai. Oleh karena itu jasa atau pelayanan yang
terbaik menjadi penyebab khusus yang secara alami di sediakan.
2. Tidak dapat di simpan (inability to inventory). Salah satu ciri khusus dari
jasa adalah tidak dapat di simpan. Misalnya, ketika kita menginginkan jasa
tukang potong rambut, maka apabila pemotongan rambut telah di lakukan
tidak dapat sebagaiannya di simpan untuk besok. Ketika kita menginap di
hotel tidak dapat di lakukan untuk setengah malam dan setengahnya di
lanjutkan lagi besok, jika hal ini di lakukan konsumen tetap di hitung
menginap dua hari.
3. Produksi dan konsumsi secara bersama.
Jasa adalah sesuatu yang di
lakukan secara bersama dengan produksi. Misalnya tempat praktek dokter,
restoran, pengurusan asuransi mobil dan lainj sebagainya.
4. Memasukinya lebih mudah. Mendirikan usaha bidang jasa membutuhkan
investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih mudah dan banyak tersedia,
tidak membutuhkan teknologi tinggi. Untuk kebanyakan usaha jasa
hambatan untuk memasukinya lebih rendah.
5. Sangat di pengaruhi oleh faktor dari luar. Jasa sangat di pengaruhi oleh
faktor dari luar seperti : teknologi, peraturan pemerintah dan kenaikan harga
energi.
Sektor jasa keuangan merupakancontoh yang paling banyak di
pengaruhi oleh peraturan dan perundang-undangan pemerintah, dan
teknologi komputer dengan kasus mellinum bug pada abad dua satu.
Karakteristik jasa pelayanan tersebut di atas akan menentukan definisi
kualitas jasa pelayanan dan model kualitas jasa pelayanan.
Mendefinisikan
kualitas jasa pelayanan membutuhkan pengetahuan dari beberapa disiplin ilmu
seperti : pemasaran, psikologi, dan strategi bisnis.
17 2.2.4 Kualitas Pelayanan
Menurut Olsen dan Wyckoff (Yamit , 2010 (p22)) definisi secara umum
dari kualitas jasa pelayanan adalah perbandingan antara harapan konsumen
dengan kinerja kualitas pelayanan.
Collier dalam Yamit (2010,p22) memiliki pandangan lain dari kualitas jasa
pelayanan ini, yaitu lebih menekankan pada kata pelanggan, pelayanan, kualitas
dan level atau tingkat. Pelayanan terbaik pada pelanggan (excelent) dan tingkat
kualitas pelayanan merupakan cara terbaik yang konsisten untuk dapat
mempertemukan harapan konsumen (standar pelayanan eksternal dan biaya) dan
sistem kinerja cara pelayanan (standar pelayanan internal, biaya dan keuntungan).
Pelayanan terbaik pada pelanggan dan tingkat kualitas dapat di capai
secara konsisten dengan memperbaiki pelayanan dan memberikan perhatian
khusus pada standar kinerja pelayanan baik standar pelayanan internal maupun
standar pelayanan eksternal.
Beberapa pengertian yang terkait dengan definisi
kualitas jasa pelayanan adalah :
•
Excellent adalah standar kinerja pelayanan yang diperoleh.
•
Custumer adalah perorangan, kelompok, departemen atau perusahaan
yang menerima, membayar output pelayanan (jasa dan sistem)
•
Service adalah kegiatan utama atau pelengkap yang tidak secara langsung
terlibat dalam proses pembuatan produk, tetapi lebihmenekankan pada
transaksi antar pembeli dan penjual.
•
Quality adalah sesuatu yang secara khusus dapat di raba atau tidak dapat
di raba dan sifat yang di miliki produk atau jasa.
18 •
Levels adalah suatu pernyataan atas sistem yang di gunakan untuk
memonitor dan mengevaluasi.
•
Consistent adalah tidak memiliki variasi dan semua pelayanan berjalan
sesuai standar yang telah di tetapkan
•
Delivery adalah memberikan pelayanan yang banar dengan cara yang
benar dan dalam waktu yang tepat.
Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa, memuaskan kebutuhan
pelanggan berarti harus memberikan pelayanan berkualitas (service quality)
kepada pelanggan, terdapat dua pendekatan pelayanan berkualitas yang populer
di gunakan kalangan bisnis Amerika dan kini telah menyebar ke berbagai negara di
dunia.
Pendekatan pertama di kemukakan oleh Albrcht dalam yang mendasarkan
pendekatannya pada dua konsep pelayanan berkualitas, yaitu (a) service tiangle
dan (b) total quality service (TQS).
Service triangle di terjemahkan sebagai
segitiga layanan dan total quality service di terjemahkan sebagai layanan mutu
terpadu (Budi W, Soetjipto). Dikutip dari Yamit (2010, p23)
Zeitham, Berry dan Parasuratman (dalam Yamit (2010, p10)) telah
melakukan penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi
dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi
kualitas pelayanan. Kelima karakteristik kualitas pelayanan itu adalah :
1. Tengiables (bukti langsung) yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai
dan sarana komunikasi.
2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan
dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah dijanjikan.
19 3. Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk membantu
para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun
keragu-raguan.
5. Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi
yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
Dalam Yamit (2010, p10), dikatakan terdapat beberapa faktor penghambat
dalam pelayanan yang diidentifikasi sebagai berikut :
•
Kurang otoritas yang diberikan terhadap bawahan.
•
Terlalu birokrasi sehingga lambat dalam menghadapi keluhan konsumen.
•
Bawahan tidak berani mengambil keputusan sebelum ada izin dari atasan.
•
Petugas sering bertindak kaku dan tidak memberikan jalan keluar yang baik.
•
Petugas sering tidak ada ditempat pada waktu jam kerja sehingga sulit untuk
dihubungi.
•
Banyak interest pribadi.
•
Budaya tip.
•
Aturan yang tidak jelas dan terbuka.
•
Kurang profesional (kurang terampil menguasai bidangnya).
•
Banyak instansi atau bagian lain yang terlibat.
•
Disiplin kerja sangat kurang dan tidak tepat waktu.
•
Tidak ada keselarasan antar bagian dalam memberikan pelayanan.
•
Kurang kontrol sehingga petugas agak “nakal”
•
Ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan.
•
Belum ada sistem informasi manajemen (SIM) yang terintegrasi.
20 Menurut Parasuraman, Zeitham, Berry dalam Yamit (2010, p31),
keseluruhan faktor penghambat dalam pelayanan tersebut diatas dapat dijadikan
dasar bagi manager untuk meningkatkan atau memperbaiki pelayanan agar dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan yang terjadi antara pihak
perusahaan dengan pelanggan. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pelayanan dapat menyangkut faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Reliability
a. Pengaturan fasilitas.
b. Sistem dan prosedur dilaksanakan taat azas.
c.
Meningkatkan efektivitas jadwal kerja.
d. Meningkatkan koordinasi antar bagian.
2.
Responsiveness
a. Mempercepat pelayanan.
b. Pelatihan karayawan.
c.
Komputerisasi dokumen.
d. Penyederhanaan sistem dan prosedur.
e. Pelayanan yang terpadu (one-stop-shoping).
f.
Penyederhanaan birokrasi.
g. Mengurangi pemusatan keputusan.
3.
Competence
a. Meningkatkan profesionalitas karyawan.
b. Meningkatkan mutu administrasi.
4.
Credibility
a. Meningkatkan sikap mental karyawan untuk bekerja giat.
b. Meningkatkan kejujuran karyawan.
21 c.
5.
Menghilangkan kolusi.
Tangiables
a. Perluasan kapasitas.
b. Penataan fasilitas.
c.
Meningkatkan infrastruktur.
d. Menambah peralatan.
e. Menambah/menyempurnakan fasilitas komunikasi.
f.
6.
Perbaikan sarana dan prasarana.
Understanding the customers
a. Sistem dan prosedur pelayanan yang mengharagai konsumen.
b. Meningkatkan keberpihakan kepada konsumen.
7.
Communication
a. Memperjelas pihak yang bertanggungjawab dalam setiap kegiatan.
b. Meningkatkan efektifitas komunikasi klien.
c.
Membuat SIM yang terintegrasi.
2.3 Citra Merek (Brand Image)
2.3.1 Brand (Merek)
Dalam Buchari (2009, p149) menjelaskan bahwa maksud perusahaan
member merek pada mulanya hanyalah sebagai identitas. Dengan merek tersebut
perusahaan mengharapkan agar konsumen mempunyai kesan positif pada
produknya.
Misalnya seseorang yyang ingin membeli barang “X” kemudian ia
membelinya, setelah merasakan nikmatnya serta merasa cocok dengan barang itu,
maka ia akan terus membeli barang “X” tersebut. Jadi dalam konteks ini merek
dibuat agar bisa menjadi pembeda dari pesaingnya.
22 Pengertian merek menurut American Marketing Association didalam
Rangkuti (2009,2) : Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan
atau kombinasi dari hal-hal tersebut.
Tujuan pemberian merek adalah untuk
mengidentifikasi produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk
atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing.
Dalam Tjiptono (2005, p2) Menurut UU No. 15 Tahun 2001 pasal 1 ayat
1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan nama, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi dari American Marketing Association
yang
menekankan
peranan
merek
sebagai
identifier
dan
differentiator.
Berdasarkan definisi ini secara teknis apabila seorang membuat nama, logo, atau
simbol baru untuk sebuah produk baru, maka ia telah menciptakan sebuah merek.
Pengertian merek menurut Rangkuti (2009, p14), merek merupakan
sebuah nama atau simbol (seperti logo, merek dagang, desain kemasan, dan
sebagainya) yang dibuat untuk membedakan satu produk dengan produk lainnya.
Merek dapat juga dijadikan ciri untuk membedakan satu produk dari pesaing.
Selain itu, merek yang telah dipatenkan dapat membuat produk tersebut menjadi
lebih terlindungi dari upaya pemalsuan dan pembajakan.
Berikut ini pengertian merek menurut beberapa pakar dalam Rangkuty (2009, p35p37):
Pengertian merek menurut Philip Kotler, “A brand is a name, term, sign,
symbol, or design or combination of them, intended to identify the good of service
of one seller of group of seller and differentiate them from those of competitors”.
23 Merek adalah sebuah nama, istilah, tanda, lambang atau desain, atau kombinasi
semua ini, yang menunjukan identitas pembuat atau penjuat produk atau jasa.
Jadi merek membedakan penjual, produsen atau produk dari penjual,
produsen atau produk yang lain. Merek dapat berupa nama, merek dagang, logo,
atau simbol lain. Berdasarkan Undang-Undang Merek Dagang, penjual diberi hak
ekslusif untuk menggunakan merek selama-lamanya.
Jadi merek berbeda dari
aktiva lain, seperti paten dan hak cipta yang mempunyai batas waktu.
Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten
memberikan feature, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek
terbaik memberikan jaminan kualitas.
Merek dapat memiliki enam tingkat
pengertian, yaitu :
•
Atribut, yaitu merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
•
Manfaat, yaitu suatu merek lebih daripada serangkaian atribut. Pelanggan
tidak membeli atribut, mereka membeli manfaat. Atribut diperlukan untuk
diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan/atau emosional.
•
Nilai, yaitu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
•
Budaya, yaitu merek juga mewakili budaya tertentu.
•
Kepribadian, yaitu merek juga mencerminkan kepribadian tertentu.
•
Pemakai, yaitu merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan produk tersebut.
Semua ini menunjukan bahwa merek memang kompleks dan sebuah
perusahaan selayaknya memperlakukan merek tidak hanya sebagai sebuah nama
atau pajangan toko, tetapi melihat arah tujuan merek itu sesungguhnya.
Pengertian merek menuruut Aeker : Merek adalah sebuah nama dan atau
simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan)
24 dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau
sebuah
kelompok
penjual
tertentu.
Dengan
demikian
suatu
merek
membedakannya dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh kompetitor.
Sedangkan merek menurut Stanton, merek adalah nama, istilah, simbol
atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur yang dirancang untuk
mengidentifikasi barang atau jasa yang ditawarkan oleh penjual.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai dua unsur,
yaitu nama merek yang terdiri dari huruf-huruf atau kata-kata yang dapat terbaca,
serta brand mark yang terbentuk dari simbol, desain atau warna tertentu yang
spesifik. Kedua unsur dari sebuah merek, selain berguna untuk membedakan satu
produk dari produk pesaingnya juga berguna untuk mempermudah konsumen
untuk mengenali dan mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli.
Dengan demikian, merek tersebut meliputi :
a) Nama merek harus menunjukkan manfaat dan mutu produk tersebut.
b) Nama merek harus mudah diucapkan, dikenali, dan diingat.
Nama yang
singkat sangat membantu.
c) Nama merek harus mudah terbedakan, artinya harus spesifik dan khas.
d) Nama merek harus mudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.
e) Nama merek harus bisa memperoleh hak untuk didaftarkan dan mendapat
perlindungan hukum.
Menurut Kotler dan Garry, dalam Buchari (2009, p10):
•
A brand name is that part of a brand which can be vocalized – the unterable.
Nama merek ialah bagian dari merek yang dapat di ucapkan.
menunjukan nama perusahaan, seperti alfabeta.
Biasanya
25 •
A brand mark is that part of brand which can be recognized, but is not
utterable such as symbol, design, or distrinctive coloring or lettering. Tanda
merek ialah bagian dari merek, yang dapat dikenal/diketahui, tapi tidak
dapat diucapkan, misalnya simbol-simbol, lambang, logo, desain, atau
bentuk-bentuk spesifik huruf atau warna (contoh : Logo singa MGM, gambar
setir Mercedez Benz, dan sebagainya).
•
A trademark is a brand or part of brand that given legal protection, it
protects the seller’s exclusive rights to use brand name or brand mark.
Merek dagang ialah merek atau bagian dari merek yang memberikan
perlindungan hukum, melindungi hak-hak pemilik untuk menggunakan nama
merek atau tanda merek.
2.3.2 Image (Citra)
Dalam Buchari (2009, p10) mengatakan bahwa merek dapat membuat
citra terhadap perusahaan. Citra menurut Kotler, image is the set of beliefs, ideas
and impression that a person holds regarding an object. People’s attitude and
action towards an object are highly conditioned by that objects image.
Citra
adalah seperangkat keyakinan, gagasan dan kesan bahwa seseorang memegang
mengenai objek. Sikap masyarakat dan tindakan terhadap objek sangat di
kondisikan oleh citra objek tersebut.
Menurut Assasel dalam Buchari (2009, p10) menyatakan bahwa an image
is total perception of the subject that is formed by processing information from
various sources over time. Citra adalah persepsi total dari subjek yang dibentuk
dari informasi dari berbagai sumber dari waktu ke waktu.
26 Menurut Aaker dalam Buchari (2009, p10) image is the total impression of
what person or group people think and know about an object. Citra adalah kesan
total dari apa yang seseorang atau sekelompok orang pikir dan tahu tentang suatu
objek.
Sedangkan Engle dalam Buchari (2009, p10) menyatakan bahwa
imaginary is a process by which sensory information and experiences are
respresented in working memory.
Pencitraan adalah sebuah proses dimana
informasi sensorik dan pengalaman yang dipersembahkan dalam kerja memori.
Jadi image atau citra akan terbentuk dalam jangkan waktu tertentu, sebab
ini merupakan akumulasi persepsi terhadap suatu objek, apa yang terpikirkan,
diketahui dialami yang masuk kedalam memory seseorang berdasarkan masukanmasukan dari berbagai sumber sepanjang masa.
2.3.3 Citra Merek
Citra merek menurut Rangkuti (2009, p43), adalah sekumpulan asosiasi
merek yang terbentuk dibenak konsumen. Dalam Rangkuti (2009, p43) Aaker
mendefinisikan Asosiasi merek sebagai segala hal yang berkaitan dengan ingatan
mengenai merek.
Beberapa pengertian lain tentang citra merek dalam Lesmana (2009, p17-34) :
•
Menurut Shimp: Citra merek merupakan jenis asosiasi yang akan muncul di
benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu.
•
Syzmanski dan Hernard: Mendifinisikan citra merek merupakan cara dimana
konsumen memandang perusahaan.
27 Citra merek atau brand corporate atau brand description didefinisikan
dalam Tjiptono (2005, p49) sebagai deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan
konsumen terhadap merek tertentu.
Citra merek menurut Aeker dalam buku Simamora (2003, p63) adalah
bagaimana merek dipersepsikan oleh konsumen, sedangkan menurut Kotler
(Simamora, 2003, p63) citra merek adalah sejumlah keyakinan tentang merek.
Syarat merek yang kuat adalah citra merek. Kotler juga mempertajam bahwa citra
merek itu sebagai posisi merek (brand position). Dari pengertian diatas, dapat
disimpulkan
citra
dipersepsikan
oleh
merek
adalah
konsumen.
sejumlah
Asosiasi
–
keyakinan
asosiasi
bagaimana
itu
merek
menyatakan
apa
sesungguhnya merek dan apa yang dijanjikan oleh konsumen.
Menurut Tjiptono (2005, p10) merek sebagai citra. Merek merupakan
serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu,sebagai
hasil pengalaman langsung maupun tidak langsung atas sebuah merek tertentu.
Dapat dikatakan bahwa citra merek merupakan konsep yang diciptakan oleh
konsumen karena alasan subyektif dan emosi pribadinya.
Definisi citra merek menurut beberapa ahli dalam Sitinjak dan Tumpal (2005,
p172):
•
Keller, citra merek adalah sebagai persepsi atau kesan tentang suatu merek
yang
direfleksikan
oleh
sekumpulan
asosiasi
yang
menghubungkan
pelanggan dengan merek dalam ingatannya.
•
Aeker dan Joachimsthaler, citra merek adalah identitas (personality,simbol,
proporsi nilai brand essence dan posisi merek).
•
Davis, citra merek memiliki dua komponen yaitu asosiasi merek (brand
association) dan pesona merek (brand personal). Asosiasi merek membantu
28 memahami manfaat merek yang diterima konsumen dan persona merek
adalah deskripsi dari merek dalam kontek karakteristik manusia. Hal ini akan
membantu memahami kekuatan dan kelemahan merek.
•
Hawkins, citra merek cenderung kepada skematik memori tentang merek
yang berisi interpretasi pasar target pada atribut / karakteristik produk,
manfaat, situasi penggunaan dan karaktersitik perusahaan.
Peter dan Olson, menyatakan hal yang ada Hawkins bahwa citra merek terdiri dari
pengetahuan dan kepercayaan terhadap atribut merek, konsekuensi pengguna
merek dan situasi mengkonsumsi, seperti evaluasi dari perasaan dan emosi
(respon efektif) yang berasosiasi dengan merek.
Keller
(2003),
mengemukakan
dimensi
dari
citra
perusahaan/citra
merek
(corporate image ), yang secara efektif dapat mempengaruhi brand equity yaitu
terdiri dari :
•
Atribut produk, manfaat dan perilaku secara umum, terkait kualitas dan
inovasi.
•
Orang dan relationship, terkait orientasi pada pelanggan (customer
orientation).
•
Nilai dan program, terkait keperdulian lingkungan dan tanggung jawab
sosial.
•
Kredibilitas perusahaan (corporate kredibility), terkait keahlian, kepercayaan
dan menyenangkan.
Dalam penelitian ini, dimensi atau indikator dari variabel citra merek
perusahaan (citra merek), diproyeksi berdasarkan dimensi corporate image yang
dikemukakan oleh Keller (2003) tersebut, yang dikembangkan menjadi 5 dimensi
sebagai berikut :
29 •
Profesionalisme yang mewakili pendekatan kualitas (quality) dari atribut,
manfaat dan perilaku.
•
Modern yang mewakili pendekatan inovasi dari atribut, manfaat dan
perilaku.
•
Melayani semua segmen masyarakat yang mewakili nilai dan program dari
keperdulian terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial.
•
Concern pada konsumen yang merupakan pendekatan dari orientasi pada
pelanggan (customer orientation).
•
Popular pada konsumen yang merupakan strategi agar masuk dalam benak
pelanggan dengan baik.
Menurut Tjiptono dalam Rahman (2010, p181), terdapat tiga tipe utama merek
yang masing-masing memiliki citra yang berbeda sebagai berikut :
•
Attribute brand, yakni merek yang mampu mengkomunikasikan kepercayaan
terhadap fungsional produknya.
•
Asoiritional brand, yakni merek yang menyampaikan citra tentang tipe orang
yang membeli merek tersebut.
•
Experience brand, yakni mencerminkan merek yang menyampaikan citra
asosiasi dan emosi bersama antara merek dan konsumen secara individu.
Evelyn dan Fenelli menyampaikan bagaimana kekuatan merek akan memiliki nilai
moneter yang merupakan asset perusahaan dalam Rahman (2010, p178).
Beberapa alasan pembentuk nilai moneter tersebut adalah sebagai berikut :
•
Citra merek mempengaruhi laba karena brand product dapat dijual dengan
harga lebih tinggi daripada produk generik setara-produk sejenis.
•
Citra merek memberikan cara singkat untuk memberitahu pemilih produk
tentang apa yang dapat mereka harapkan dari perusahaan.
Citra merek
30 memiliki karakteristik dan tingkat kualitas tertentu yang dianggap pada
brand tertentu.
•
Jauh lebih murah untuk memperkenalkan brand baru atau brand extension
(perluasan merek), jika produk atau merek yang baru dapat dikaitkan
dengan produk yang sudah dikenal.
•
Yang paling penting adalah brand produk bersifat unik. Brand merupakan
satu karakteristik produk yang tidak dapat ditiru oleh pesaing.
Manfaat merek (brand) bagi produsen menurut Keller dalam Tjiptono (2005, p20p21), dikatan bahwa merek berperan sebagai :
•
Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan
produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan
pencatatan akuntansi.
•
Bentuk proteksi hukum terhadap fitur yang unik. Merek bisa mendapatkan
perlindungan property intelektual.
Nama merek bisa diproteksi melalui
merek dagang terdaftar (registered trademarks), proses pemanufakturan
bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan bisa diproteksi melalu hak
cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak property intelektual ini memberikan
jaminan bahwa perusahaan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek
yang dikembangkannya dan meraup manfaat dari aset bernilai tersebut.
•
Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas , sehingga mereka
bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi dilain waktu.
Loyalitas
merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan bagi
perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan bagi
perusahaan lain untuk masuk pasar.
31 •
Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari
para pesaing.
•
Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum,
loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk didalam benak konsumen.
•
Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Bagi konsumen, merek memberikan beraneka macam nilai melalui sejumlah fungsi
dan manfaat potensial.
Keller juga mengungkapkan tujuh manfaat merek bagi
konsumen sebagai berikut :
•
Sebagai identifikasi sumber produk.
•
Sebagai penetapan tanggung jawab pada pemanufakturan atau distributor
tertentu.
•
Pengurangan risiko.
•
Penekan biaya pencarian (search cost) internal dan eksternal.
•
Janji atau ikatan khusus dengan produsen.
•
Alat symbolis yang memproyeksikan citra diri.
•
Signal kualitas.
Menurut Kepferer dalam Tjiptono (2005, p21) fungsi potensial merek meliputi :
•
Identifikasi
Bisa dilihat dengan jelas, memberikan makna bagi produk, gampang
mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari.
•
Praktikalisasi
Memfasilitasi penghematan waktu dan energi melalui pembelian ulang
identik dan loyalitas.
•
Garansi
32 Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa mendapatkan
kualitas yang sama, sekalipun pembelian dilakukan pada waktu dan tempat
yang berbeda.
•
Optimalisasi
Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternative terbaik
dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik.
•
Karakterisasi
Mendapat konfirmasi mengenai citra diri konsumen atau citra yang
ditampilkan kepada orang lain.
•
Kontinuitas
Kepuasan terrwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan merek yang
telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun.
•
Hedonistik
Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan komunikasinya.
•
Dan fungsi etis
Kepuasan
berkaitan
dengan
perilaku
bertanggung
jawab
merek
bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat.
Sementara itu menurut Ambler dalam Tjiptono (2005, p21) memanfaatkan
manfaat merek kedalam tiga kategori, yaitu :
•
Raritas (manfaat ekonomik atau value for money)
a. Merek merupakan sarana bagi perusahaan untuk saling bersaing
memperebutkan pasar.
b. Konsumen memilih merek berdasarkan value for money yang ditwarkan
berbagai macam merek.
33 c.
Relasi antara merek dan konsumen dimulai dengan penjualan. Premium
harga bisa berfungsi layaknya asuransi risiko bagi perusahaan.
•
Virtuositas (manfaat fungsional atau kualitas)
a. Merek memberi peluang bagi diferensiasi. Selain memperbaiki kualitas
(diferensiasi
vertikal),
perusahan–perusahaan
juga
memperluas
mereknya dengan tipe-tipe produk baru (diferensiasi horizontal).
b. Merek memberikan jaminan kualitas.
Apabila konsumen apabila
konsumen membeli merek yang sama lagi, maka ada jaminan bahwa
kinerja merek tersebut akan konsisten dengan sebelumnya.
c.
Pemasar merek berempati dengan para pemakai akhir dan masalah yang
akan diatasi merek yang ditawarkan.
d. Merek mefasilitasi ketersediaan produk secara luas.
e. Merek memudahkan iklan dan sponsorship.
•
Complacibilitas (manfaat psikologis atau kepuasan pribadi)
a. Merek
merupakan
penyederhanaan
atau
simplifikasi
dari
semua
informasi produk yang perlu diketahui konsumen.
b. Pilihan merek tidak selalu didasarkan pada pertimbangan rasional.
Dalam banyak kasus, faktor emosional seperti gengsi dan citra sosial
memainkan peran dominan dalam keputusan pembelian.
c.
Merek bisa memperkuat citra diri dan persepsi orang lain terhadap
pemakai/pemiliknya.
d. Brand symbolism
tidak hanya berpengaruh pada persepsi orang lain,
namun juga identifikasi diri sendiri dengan obyek tertentu.
2.4 Minat Beli Dan Keputusan Pembelian
34 Minat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang
membentuk
suatu
persepsi.
Minat
yang
muncul
dalam
melakukan
pembelian
menciptakan suatu motivasi yang terus terekam dalam benaknya dan menjadi suatu
kegiatan yang sangat kuat yang pada akhirnya ketika seorang konsumen harus
memenuhi kebutuhannya akan mengaktualisasikan apa yang ada didalam benaknya itu.
Dengan demikian, minat beli akan timbul/bisa timbul saat dalam proses pengambilan
keputusan.
Dalam jurnal sains pemasaran oleh Yoestini dan Eva (2007, p270) dimensi-dimensi yang
membentuk minat beli dikemukakan oleh Spiro and McGee, MacKay dan Häubl sebagai
berikut:
•
Pencarian informasi lanjut.
•
Kemauan untuk memahami produk.
•
Keinginan untuk mencoba produk.
•
Kunjungan ke outlet.
Pencarian informasi lanjut diwujudkan dengan upaya konsumen untuk
mendapatkan informasi secara lebih lengngkap tentang produk tertentu lewat kunjungan
ke outlet produk tersebut.
Kemauan memahami produk dimaksudkan sebagai sikap positif yang ditunjukkan
oleh konsumen apabila diperkenalkan pada sebuah produk terbaru.
Sedangkan
keinginan mencoba produk yang dimaksud ialah keinginan meminjam produk (barang)
dari temannya sebelum ia membeli untuk mendapatkan pengalaman.
Kunjungan ke
outlet yang dijelaskan dalam produk ini ialah konsumen melakukan sebuah kunjungan ke
otlet untuk melakukan pencarian informasi.
Dalam penelitian ini, model ini diadaptasi untuk produk jasa sehingga tidak
mungkin seorang konsumen mencoba produk dengan cara meminjam dari kawannya,
35 karena hal ini sangat bertentangan dengan karakteristik jasa yang menunjukan bahwa
produk jasa ialah produk yang tidak berwujud.
Menurut Ajay dan Goodstein dalam Yoestini dan Eva (2007, p270) jika kita ingin
mempengaruhi seseorang, maka cara yang terbaik adalah mempelajari apa yang
dipikirkannya, dengan demikian yang akan didapatkan tidak hanya sekedar informasi
tentang orang itu tentu lebih bagaimana proses informasi itu dapat berjalan dan
bagaimana memanfaatkannya. Hal ini yang dinamakan “The Buying Process” (Proses
Pembelian).
2.4.1 Proses Pengambilan Keputusan Pembelian
Berdasarkan tujuan pembelian, konsumen dapat di klasifikasikan menjadi
dua kelompok. yaitu konsumen akhir (individual) dan konsumen organisasional
(konsumen industrial, konsumen antara, konsumen bisnis). Konsumen akhir terdiri
atas individu dan rumah tangga yang tujuan pembeliannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk di konsumsi.
Sedangkan konsumen
organisasional terdiri atas organisasi., pemakai industri, pedagang, dan lembaga
non profit yang tujuan pembeliannya adalah untuk keperluan bisnis (memperoleh
laba) atau meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Sejalan dengan dua tipe
konsumen tersebut, maka akan di jumpai pula dua macam produk barang/produk,
yaitu barang konsumen dan barang industrial.
Dalam keputusan membeli barang konsumen seringkali ada lebih dari dua
pihak yang terlibat dalam proses pertukaran atau pembeliannya. Umumnya ada
lima macam peranan yang dapat di lakukan seseorang. Ada kalanya kelima peran
ini di pegang oleh satu orang, namun sering kali pula peran tersebut di lakukan
beberapa orang. Pemahaman mengenai masing-masing peran ini sangat berguna
36 dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.
Kelima peran
tersebut meliputi (Kotler, et al., dalam Tjiptono,(2008, p20):
1. Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyadari adanya
keinginan atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan mengusulkan ide untuk
membeli suatu barang atau jasa tertentu.
2. Pemberi pengaruh (influencer), yaitu orang yang pandangan, nasihat atau
pendapatnya mempengaruhi keputusan pembelian.
3. Pengambil keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan
pembelian, misalnya apakah jadi membeli, apa yang di beli, bagaimana cara
membeli, atau di mana membelinya.
4. Pembeli (buyer), yakni orang yang melakukan pembelian aktual.
5. Pemakai (user), yaitu orang yang mengkonsumsi atau menggunakan barang
atau jasa yang di beli.
Proses pengambilan keputusan pembeli sangat bervariasi.
Ada yang
sederhana ada pula yang kompleks. Hawkins et al dan Engel et al (Tjiptono (2008,
p20)) membagi proses pengambilan keputusan kedalam tiga jenis, yaitu
pengambilan keputusan yang luas (extended decision making), pengambilan
keputusan yang terbatas (limited decision making), dan pengambilan keputusan
yang bersifat kebiasaan (habitual decision making).
Proses pengambilan keputusan yang luas merupakan jenis pengambilan
keputusan yang paling lengkap, bermula dari pengenalan masalah konsumen yang
dapat di pecahkan melalui pembelian beberapa produk.
konsumen
mencari
informasi
tentang
produk
atau
Untuk keperluan ini,
merek
tertentu
dan
mengevaluasi seberapa baik masing-masing alternatif tersebut dapat memecahkan
masalahnya.
Evaluasi produk atau merek akan mengarah kepada keputusan
37 pembelian.
Selanjutnya konsumen akan mengevaluasi hasil dari keputusannya.
Proses pengambilan keputusan yang luas terjadi untuk kepentingan khusus bagi
konsumen atau untuk pengambilan keputusan yang membutuhkan tingkat
keterlibatan tinggi, misalnya pembeli produk yang mahal mengandung nilai
prestise, dan di pergunakan untuk waktu yang lama, bisa pula untuk pembelian
produk yang di lakukan pertama kali.
Proses
pengambilan
keputusan
terbatas
terjadi
apabila
konsumen
mengenal masalahnya, kemudian mengevaluasi beberapa alternatif produk atau
merek berdasarkan pengetahuan yang di miliki tanpa berusaha (atau hanya
melakukan sedikit usaha)mencari informasi baru tentang produk atau merek
tersebut.
Ini biasanya berlaku untuk pembelian produk-produk yang kurang
penting atau pembelian produk yang bersifat rutin.
Dimungkinkan pula bahwa
proses pengambilan keputusan ini terjadi pada kebutuhan yang sifatnya emosional
atau pada environmental needs (Hawkins,dalam Tjiptono, 2008, p21), misalnya
seseorang memutuskan untuk membeli suatu merek atau produk baru dikarenakan
bosan dengan merek yang sudah ada, atau karena ingin mencoba/merasakan
sesuatu yang baru.
Keputusan yang demikian hanya mengevaluasi aspek
sifat/corak baru (novelty or newness) dari alternatif-alternatif yang tersedia.
Proses pengambilan keputusan yang bersifat kebiasaan merupakan proses
yang paling sederhana, yaitu konsumen mengenal masalahnya kemudian langsung
mengambil keputusan untuk membeli merek favorit/kegemarannya (tanpa evaluasi
alternatif). Evaluasi hanya terjadi bila merek yang di pilih tersebut ternyata tidak
sebagus/sesuai dengan yang di harapkan.
Sebuah proses pengambilan keputusan pembelian tidak hanya berakhir
dengan terjadinya transaksi pembelian, akan tetapi diikuti pula oleh tahap perilaku
38 purnabeli (terutama dalam pengambilan keputusan yang luas). Dalam tahap ini
konsumen merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu yang akan
mempengaruhi perilaku berikutnya.
Jika konsumen merasa puas, ia akan
memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang atau
membeli produk lain diperusahaan yang sama dimasa mendatang.
Seorang
konsumen yang merasa puas cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik
tentang produk dan perusahaan yang bersangkutan kepada orang lain.
Oleh
karena itu pembeli yang puas merupakan iklan yang terbaik (Bayus dalam
Tjiptono, 2008, p21).
Kotler (2008, p179-181) Menjelaskan Proses pengambilan keputusan
diawali dengan pengenalan kebutuhan, kemudian proses pencarian/pengumpulan
informasi, evaluasi alternative, keputusan pembelian, perilaku pasca pembelian.
Pengenalan kebutuhan,
pada proses ini pembeli menyadari
suatu masalah
atau suatu kebutuhannya. Kebutuhan dapat dipicu dengan rangsangan internal.
Misalnya ketika kita merasa lapar, maka hal itu bisa menjadi sebuah dorongan.
Kebutuhan juga bisa dipicu oleh rangsangan eksternal, contohnya suatu iklan atau
diskusi dengan teman bisa membuat seseorang untuk membeli mobil baru. Pada
tahap ini pemasar harus meneliti konsumen untuk menemukan jenis kebutuhan
atau masalah apa yang timbul, dan apa yang menyebabkannya, serta bagaimana
masalah itu bisa mengarahkan konsumen pada produk tertentu.
Pencarian informasi, konsumen yang tertarik mungkin akan mencari informasi
atau mungkin akan tidak mencarinya.
Jika dorongan/rangsangan itu kuat dan
produk yang memuaskan ada di dekat konsumen itu, konsumen mungkin akan
membelinya.
Jika tidak, ia bisa menyimpan kebutuhan itu dalam ingatan atau
39 melakukan
pencarian
informasi
yang
berhubungan
dengan
kebutuhan.
Contohnya, setelah anda memutuskan akan membeli mobil baru, paling tidak anda
mungkin akan memperhatikan iklan mobil, mobil milik teman, dan percakapan
tentang mobil. Atau mungkin anda akan aktif mencari bahan bacaan, menelepon
teman, dan mengumpulkan informasi dengan cara lain.
Konsumen dapat
memperoleh informasi dari beberapa sumber. Sumber-sumber ini meliputi sumber
pribadi (keluarga, teman, tetangga, rekan), sumber komersial (iklan, wiraniaga,
situs web, penyalur, kemasan, tampilan), sumber publik (media massa, organisasi
pemeringkat
konsumen,
pencarian
internet),
dan
sumber
pengalaman
(penanganan, pemeriksaan, pemakaian produk)
Evaluasi alternative, yaitu bagaimana konsumen memproses informasi untuk
sampai pada pilihan merek. Bagaimana cara konsumen mengevaluasi alternatif,
bergantung pada konsumen pribadi dan situasi pembelian tertentu. Dalam
beberapa kasus, konsumen menggunakan kalkulasi yang cermat dan pemikiran
yang logis. Pada waktu yang lain, konsumen yang sama hanya sedikit melakukan
evaluasi, atau bahkan tidak mengevaluasi, sebagai gantinya mereka akan membeli
berdasarkan dorongan dan bergantung pada institusi. Kadang-kadang konsumen
membuat keputusan pembelian sendiri, kadang-kadang mereka meminta nasihat
pembelian dari teman, pemandu konsumen, atau wiraniaga.
Pemasar harus
mempelajari pembeli untuk menemukan bagaimana cara mereka sebenarnya
dalam mengevaluasi pilihan merek. Jika mereka tahu proses evaluasi apa yang
berlangsung, pemasar dapat mengambil langkah untuk mempengaruhi keputusan
pembelian
Keputusan pembelian. Dalam tahap evaluasi, konsumen menentukan peringkat
merek dan membentuk niat pembelian.
Pada umumnya keputusan pembelian
40 (purchase decision) konsumen adalah membeli merek yang paling disukai, tetapi
dua faktor bisa berbeda antara niat pembelian dan keputusan pembelian. Faktor
pertama adalah sikap orang lain. Jika seseorang yang memiliki arti penting bagi
diri anda membuat anda berpikir bahwa anda seharusnya membeli mobil dengan
harga yang paling murah, maka peluang anda untuk membeli mobil yang lebih
mahal berkurang. Faktor kedua adalah faktor situasional yang tidak diharapkan.
Konsumen mungkin membentuk niat pembelian berdasarkan faktor-faktor seperti
pendapatan, harga, dan manfaat produk yang diharapkan. Namun kejadian tak
terduga bisa merubah niat pembelian.
Sebagai contoh, ekonomi mungkin
memburuk, pesaing dekat mungkin menurunkan harganya, atau seorang teman
mungkin memberitahu anda bahwa ia pernah kecewa dengan mobil yang anda
sukai.
Oleh karena itu, preferensi dan niat tidak selalu menghasilkan niat
pembelian yang aktual.
Perilaku pasca-pembelian.
Setelah membeli produk, konsumen akan
merasakan puas atau tidak puas dan terlibat dalam perilaku pasca-pembelian
(portpurchase behavior) yang harus diperhatikan oleh pemasar. Jika produk tidak
memenuhi ekspektasi, konsumen kecewa,
jika produk memenuhi ekspetasi,
konsumen puas, dan jika produk melebihi ekspektasi maka konsumen akan sangat
puas. Semakin besar antara kesenjangan ekspetasi dan kinerja, semakin besar
pula ketidak puasan konsumen. Hal ini menunjukan bahwa penjual hanya boleh
menjanjikan apa yang dapat diberikan mereknya sehingga pembeli terpuaskan .
41 Keterlibatan rendah
Pengambilan keputusan
Kebiasaan
Pengenalan Masalah selektif Keterlibatan tinggi
Pengambilan keputusan
Terbatas
Pengambilan keputusan
Yang luas
Pengenalan Pengenalan masalah generik masalah generik Pencarian informasi Pencarian informasi Pencarian internal eksternal internal eksternal informasi internal (terbatas)
(terbatas) Evaluasi Alternatif Pembelian Purnabeli Tak ada Evaluasi Alternatif Sedikit Banyak atribut Aturan atribut Aturan Keputusan Keputusan Kompleks Sederhana Sedikit Alternatif Banyak Alternatif Pembelian
Pembelian
kecocokan Eveluasi sangat terbatas Purnabeli Tak ada ketidakcocokan Purnabeli Tak ada ketidakcocokan Gambar 2.1 Tipe-tipe proses pengambilan keputusan konsumen
Hawkins, DI., R.J. Best, and K.A. Coney. Dikutip dari Fandy Tjiptono (2008, p1923)
Dalam Buchari (2009, p101), dikatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelian. Faktor-faktor tersebut ialah:
1. Faktor sosial, yaitu berupa grup-grup yang turut mempengaruhi, dimana
seseorang masuk sebagai anggota, misalnya kelompok family, teman,
tetangga, teman sekerja, klub olahraga, klub seni, dan lain-lain.
42 2. Faktor budaya, yaitu faktor budaya yang begitu banyak kelompoknya. Mulai
dari kelompok negara, sampai kelompok etnis/suku yang memiliki budaya
dan kebiasaan adat sendiri. Di negara kita ada suku Sunda, Jawa, Minang,
Batak, dsb. Masing-masing memiliki pola konsumsi dan barang kesenangan
masing-masing.
3. Faktor personal, yaitu menyangkut masalah usia, pekerjaan, jabatan,
keadaan ekonomi pribadi, gaya hidup, kepribadian.
4. Faktor psikologis, yaitu menyangkut motivasi seseorang untuk membeli
apakah mengikuti teory motivasi Maslow atau karena dorongan lainnya.
Juga menyangkut masalah persepsi seseorang terhadap sesuatu. Menurut
Kotler dalam Buchari (2009, p101) dikatakan bahwa dua orang yang
mendapat stimuli yang sama, bisa mengambil keputusan lain, karena
persepsinya yang berbeda.
Keputusan membeli juga bisa karena faktor
belajar (learning). Belajar yang berhasil ialah yang menimbulkan perubahan
perilaku karena ada saling mendorong dan mempengaruhi antar stimulus,
keinginan, respon, reinformcement. Dan faktor yang mempengaruhi proses
belajar ialah adanya pengulangan, motivasi, pengkondisian, hubungan dan
organisasi.
43 2.5 Kerangka Berpikir
Citra Merek:
•
•
•
•
•
Kualitas Pelayanan:
Profesional
Modern
Melayani semua segmen
Popular
Concern pada
konsumen
T2
•
•
•
•
•
T1
T3
Minat Beli:
•
Pencarian informasi lanjut.
•
Kemauan untuk
memahami produk
•
Kunjungan ke outlet.
T4
Keputusan Pembelian:
•
•
•
Pengenalan Kebutuhan
Pencarian Informasi
Evaliasi alternative
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Realibility
Responsiveness
Assurance
Empathy
Tangibles
44 T1 = pengaruh kualitas pelayanan terhadap citra merek
T2 = Pengaruh citra merek terhadap minat beli
T3 = Pengaruh kualitas pelayanan terhadap minat beli
T4 = Pengaruh minat beli terhadap keputusan pembelian
2.6 Pengaruh Antar Variabel (Penelitian Terdahulu)
Penelitian terdahulu yang membahas pengaruh antara kualitas pelayanan dan
citra merek yang berdampak kepada keputusan pembelian yang dilakukan di Indonesia
dilakukan oleh Andriyo dengan judul pengaruh citra merek dan kualitas terhadap minat
beli dan berdampak kepada keputusan pembelian. Penelitian ini ditujukan untuk menguji
pengaruh citra merek dan kualitas layanan terhadap minat membeli dalam meningkatkan
keputusan pembelian.
Sampel penelitian ini adalah pengguna handphone di kota
semarang, sejumlah 100 responden. Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan
dengan perangkat lunak AMOS, digunakan untuk menganalisis data, Hasil analisis
menunjukkan bahwa citra merek dan kualitas layanan berpengaruh terhadap minat
membeli
dalam
meningkatkan
keputusan
pembelian.
Temuan
empiris
tersebut
mengindikasikan sebagai berikut:
•
Kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap minat membeli dengan nilai
korelasi sebesar 0,28.
•
Citra merek berpengaruh signifikan terhadap minat membeli dengan nilai korelasi
sebesar 0,30.
•
Minat membeli berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian dengan nilai
korelasi sebesar 0,41.
Penelitian lain yang membahas pengaruh antara kualitas pelayanan dan citra
merek terhadap minat beli dan dampaknya terhadap keputusan pembellian juga pernah
45 dilakukan oleh Yoestini, dan Eva (2007). Penelitian ini sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Adrian menggunakan model Structural Equation Modeling (SEM).
Penelitian ini dilakukan di Semarang, dengan meneliti pengguna produk Sony Ericsson.
Sampel penelitian ini adalah pengguna handphone di kota semarang, sejumlah 100
responden. Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan perangkat lunak
AMOS, digunakan untuk menganalisis data, hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan dan citra merek berpengaruh terhadap minat membeli dalam meningkatkan
keputusan pembelian. Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa:
•
Kualitas layanan berpengaruh signifikan terhadap citra merek dengan nilai korelasi
sebesar 0,34.
•
Citra merek berpengaruh signifikan terhadap minat membeli dengan nilai korelasi
sebesar 0,30.
•
Kualitas layanan berpengaruh signifikan terhadap minat membeli dengan nilai
korelasi sebesar 0,32.
•
Minat membeli berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian dengan nilai
korelasi sebesar 0,60.
Penelitian lain dan pendapat beberapa pakar yang menunjukan pengaruh antrara
citra merek dan kualitas pelayanan terhadap minat beli dan dampaknya terhadap
keputusan pembelian dalam jurnal sains pemasaran (Yoestini dan Eva, 2007, p265-267) :
Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Citra Merek
Menurut Tjiptono (1999) dalam Yoestini dan Eva (2007, p265), reputasi
perusahaan merupakan bagian dari konsep citra perusahaan (corporate image)
merupakan bagian dari konsep kualitas total jasa. Zeithaml (1988) dalam Yoestini dan
Eva (2007, p265) mengemukakan bahwa kualitas yang dirasakan dari suatu produk atau
46 jasa erat kaitannya dengan reputasi yang diasosiasikan dengan nama merek.
Dalam
kondisi tertentu, pelanggan hanya akan mengasosiasikan produk atau jasa dengan
mereknya. Selain itu juga dikatakan bahwa kualitas yang diterima dari sebuah produk
atau layanan (perceived quality) adalah berhubungan dengan reputasi dihubungkan
dengan brand name. Dalam industri jasa dan bisnis lainnya, merek seringkali dikaitkan
dengan reputasi perusahaan daripada produk atau layanan itu sendiri (Selnes, 1993).
Oleh Sullivan (1998) dalam Yoestini dan Eva (2007, p265), dibuktikan bahwa reputasi
dari perusahaan dalam sudut pandang pelanggan dapat dijadikan jaminan bagi
pelanggan untuk menilai kualitas produk atau jasa. Menurut Lau dan Lee (1999) dalam
Yoestini dan Eva (2007, p265), menganggap reputasi perusahaan sebagai salah satu
faktor terpenting dari karakteristik perusahaan yang dapat membentuk kepercayaan
pelanggan terhadap merek. Reputasi perusahaan sangat penting dari sudut pandang
pelanggan untuk memberikan gambaran terhadap kualitas produk atau jasa yang
dihasilkan, sebagaimana dikemukakan oleh Brown dan Dacin (1997) dalam Yoestini dan
Eva (2007, p265). Sedangkan menurut Dick, Chakravanty and Biehal (1990) dalam
Yoestini dan Eva (2007, p265), melalui penelitiannya megemukakan bukti bahwa
reputasi perusahaan secara langsung membentuk kepercayaan pelanggan terhadap
produk atau jasa dari perusahaan sehingga akan mempengaruhi pertimbangan
pelanggan dalam menentukan pilihan.
Keller (2003) dalam Yoestini dan Eva (2007,
p265) mengemukakan bahwa penciptaan persepsi pelanggan bahwa perusahaan
membuat produk maupun layanan yang berkualitas tinggi akan berpengaruh terhadap
persepsi pelanggan terhadap corporate image, demikian juga sebaliknya. Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa reputasi perusahaan (bagian dari corporate
image) lekat dengan reputasi merek, dan berdasarkan temuan Selnes (1993 : 30) dalam
Yoestini dan Eva (2007, p265) yang mengatakan bahwa kualitas pelayanan ternyata
47 berpengaruh terhadap reputasi perusahaan, yang merupakan bagian dari corporate
image atau citra perusahaan.
Evelyn dan Duke Fenelli menyampaikan bagaimana kekuatan brand akan
memiliki nilai moneter yang merupakan asset perusahaan. Citra merek memberikan cara
singkat untuk memberitahu pemilih produk tentang apa yang dapat mereka harapkan
dari perusahaan. Citra merek memiliki karakteristik dan tingkat kualitas tertentu yang
dianggap pada brand tertentu. menurut Ambler dalam Tjiptono (1999) dalam Yoestini
dan Eva (2007, p265) memanfaatkan manfaat merek. Merek memberikan jaminan
kualitas. Apabila konsumen apabila konsumen membeli merek yang sama lagi, maka
ada jaminan bahwa kinerja merek tersebut akan konsisten dengan sebelumnya.
Pengaruh Citra Merek Terhadap Minat Beli
Kaitan antara citra merek dengan minat beli dikemukakan Häubl (1996) dalam
Yoestini dan Eva (2007, p266), dikemukakan bahwa citra merek akan berpengaruh
langsung terhadap tingginya minat beli terhadap suatu produk. Hal tersebut didukung
oleh pendapat Gaeff (1996) dalam Yoestini dan Eva (2007, p266) yang menyatakan
bahwa perkembangan pasar yang demikian pesat mendorong konsumen untuk lebih
memperhatikan citra merek dibandingkan karakteristik fisik suatu produk dalam
memutuskan pembelian. Hal tersebut menjustifikasi pengaruh citra merek terhadap
minat beli.
Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Minat Beli
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Isnandar (2002) dalam Yoestini dan Eva
(2007, p267), terdapat pengaruh antara kualitas pelayanan dengan minat beli.
Penelitian ini meneliti pengaruh antara harga, variasi produk, kepuasan pelanggan dan
48 minat beli.
Penelitian yang dilakukan oleh isnandar menggunakan Structural Model
Equation (SEM). Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai penilaian pelanggan atas
keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh
(Zeithaml,1998) dalam Yoestini dan Eva (2007, p266). Kualitas kinerja layanan
merupakan suatu proses evaluasi menyeluruh pelanggan mengenai kesempurnaan
kinerja layanan (Mowen, 1995) dalam Yoestini dan Eva (2007, p266). Kualitas pelayanan
terutama untuk sektor jasa selalu diidentikkan dengan mutu usaha itu sendiri. Semakin
baik dan memuaskan tingkat pelayanannya maka akan semakin bermutu usaha tersebut
begitu pula sebaliknya. Sehingga usaha untuk meningkatkan pelayanan selalu dilakukan
agar dapat memaksimalkan kualitas jasa. Ruyter et al (1996) dalam Yoestini dan Eva
(2007, p266) mengemukakan tentang kaitan antara kualitas layanan dan minat beli.
Dalam penelitiannya, diungkapkan bahwa kualitas layanan yang baik akan mendorong
minat beli konsumen. Jika perusahaan asuransi mampu memberikan layanan yang
berkualitas, seperti adanya pengenalan produk yang baik, fasilitas penunjang pelayanan
yang nyaman, serta jaminan keamanan atas investasi nasabah, diharapkan mampu
mendorong konsumen untuk membeli.
Pengaruh Minat Beli Terhadap Keputusan Pembelian
Penelitian yang dilakukan oleh Herche (1994) dalam Yoestini dan Eva (2007,
p267) menunjukkan kaitan antara minat beli dan keputusan pembelian. Minat beli
konsumen yang tinggi akan mendorong konsumen membeli suatu produk. Sebaliknya,
minat beli konsumen yang rendah akan mencegah konsumen untuk membeli produk.
49 2.7 Pengujian Hipotesis
Menurut Sugiono (2006, p51) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya
disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan
masalah penelitian, belum jawaban empirik.
Penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan
pendekatan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak merumuskan hipotesis, tetapi
justru menemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis, tersebut akan diuji oleh peneliti
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Hipotesis 1:
Ho =
Kualitas pelayanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap citra merek
PT. A.J Central Asia Raya.
Ha =
Kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap citra merek
PT.A.J Central Asia Raya.
Hipotesis 2:
Ho =
Citra merek tidak berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli nasabah
PT. A.J Central Asia Raya.
Ha =
Citra merek berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli pada nasabah
PT.A.J Central Asia Raya.
50 Hipotesis 3 :
Ho =
Kualitas pelayanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli
nasabah PT. A.J Central Asia Raya.
Ha =
Kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli pada
nasabah PT.A.J Central Asia Raya.
Hipotesis 4 :
Ho =
Minat beli tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan
pembelian nasabah PT. A.J Central Asia Raya.
Ha =
Minat beli berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian
pada nasabah PT.A.J Central Asia Raya.
Download