BAB 5 KESIMPULAN Dalam dunia Islam, Ahmadiyah

advertisement
BAB 5
KESIMPULAN
Dalam dunia Islam, Ahmadiyah merupakan minoritas, tidak hanya dari sisi
perbandingan jumlah pemeluk, namun juga dari perbedaan perlakuan dan
kurangnya kontrol dalam kehidupan Ahmadiyah sendiri. Ahmadiyah dicap
sebagai aliran yang sesat oleh pemeluk aliran Islam mainstream, dan mengalami
perlakuan diskriminasi, bahkan berujung kekerasan di beberapa negara, seperti
Indonesia, maupun Pakistan.
Pemerintah Israel dan Indonesia pada dasarnya telah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang bisa menjamin hak asasi manusia khususnya
hak kebebasan beragama dan hak terbebas dari diskriminasi bagi warga
negaranya. Adanya Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan The
Basic Law: Human Dignity and Liberty sangat penting bagi kedua negara dalam
memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi hak setiap warga negaranya,
seperti yang diamanatkan dalam konstitusi kedua negara.
Meskipun
negara
sudah
mengeluarkan
kebijakan
tersebut,
implementasinya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam kasus perlindungan
kebebasan terhadap minoritas Ahmadiyah, faktor terpenting dipegang oleh nilai
yang dianut oleh masyarakat, peran institusi pemerintahan dan institusi lainnya.
Nilai terpenting yang dianut oleh mayoritas Jawa dan Yahudi, adalah toleransi,
dan rasa saling menghormati manusia lain. Nilai tersebut sangat penting sebagai
kapasitas modal sosial untuk membangun sebuah tatanan kota yang menghormati
kebebasan beragama, sekaligus untuk menangani permasalahan minoritas
Ahmadiyah. Nilai dan budaya yang dianut dalam level individu di grassroot ini
merupakan sebuah awal yang bagus untuk memulai sebuah interaksi sosial yang
baik, untuk saling menghormati antar umat beragama.
Peran penting lainnya dipegang oleh institusi level kota, yaitu pemimpin
pemerintah kota. Di Haifa, peran walikota Yona Yahav adalah sebagai pemersatu
69
warga kota Haifa. Yahav merupakan walikota yang mengusung semangat
peaceful coexistence dan semangat “kalian adalah warga kota Haifa yang
bersaudara terlepas dari apapun ras dan agama kalian”. Hal serupa juga terjadi di
Yogyakarta. Di Yogyakarta, status sosial Sri Sultan Hamengku Buwono X
sebagai pemimpin tradisional masyarakat Jawa memegang peranan yang lebih
tinggi daripada walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. Sebagai pemimpin
tradisional yang paling dihormati di tatanan masyarakat Yogyakarta, himbauan
Sultan HB X kepada masyarakat Yogyakarta untuk menjaga kedamaian dan
menghormati perbedaaan adalah sebuah perkataan yang harus dilaksanakan bagi
masyarakat Yogyakarta, terutama bagi orang Jawa.
Namun demikian, ada tiga alasan mengapa pemeluk Ahmadiyah di
Yogyakarta menerima perlakuan yang diskriminatif, sedangkan pemeluk
Ahmadiyah di Haifa tidak mengalami perlakuan diskriminatif:
1. Dikeluarkannya SKB Tiga Menteri tentang pelarangan kegiatan JAI
oleh pemerintah pusat, yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 tentang
kebebasan beragama, telah menciptakan kondisi yang tidak aman bagi pemeluk
Ahmadiyah, baik GAI maupun JAI di Yogyakarta. Meskipun SKB Tiga Menteri
tersebut ditujukan terhadap pemeluk JAI, namun pemeluk GAI di Yogyakarta
juga terkena imbasnya, yang berbuntut pada demonstrasi ormas-ormas Islam di
Baciro yang menuntut pembubaran pengajian tahunan GAI. Tabrakan kebijakan
ini menyebabkan masyarakat awam yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya
Ahmadiyah
ini
sebenarnya
terbagi
menjadi
2
yaitu
JAI
dan
GAI,
menggeneralisasi bahwa apapun alirannya, Ahmadiyah adalah tetap Ahmadiyah
dan tetap sesat. Sementara itu, di Israel, tidak ada tabrakan kebijakan seperti ini.
Meskipun tidak memiliki peraturan khusus mengenai kebebasan beragama,
namun The Basic Law: Human Dignity and Liberty secara umum sudah mampu
menghormati hak asasi manusia warga negara Israel, dalam hal ini juga termasuk
minoritas Ahmadiyah di Haifa dari diskriminasi.
70
2. Adanya ormas Islam MUI, yang merupakan perwakilan umat Islam seIndonesia yang telah mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah Lahore
(GAI) dan Ahmadiyah Qadiani (JAI). Fatwa ini jelas bertentangan dengan pasal
29 UUD 1945. Namun, sebenarnya sifat fatwa ini adalah sebuah himbauan.
Sebagai warga negara Indonesia, sudah sewajibnya rakyat lebih mematuhi
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,
bukannya MUI, karena lagipula Indonesia juga bukan negara yang berdasarkan
pada syariat Islam, meskipun mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam.
Keberadaan fatwa MUI ini dapat menimbulkan kebingungan lagi bagi masyarakat
awam. Kebingungan ini disebabkan status mayoritas warga negara Indonesia
adalah beragama islam, sehingga bagi mereka, hukum negara, dan hukum agama
sama-sama bisa berlaku di kehidupan sehari-hari. Sementara itu, di Haifa, institusi
keagamaan tidaklah seketat di Yogyakarta. Keberadaan mereka tidak mengganggu
satu sama lain, karena hanya mengurus urusan internal institusi mereka sendiri,
termasuk masalah pengadilan agama, dan masalah-masalah pribadi seperti
perkawinan dan perceraian. Namun, perlu dicatat bahwa di Haifa, hubungan antar
agama berlangsung dengan harmonis. Hubungan yang baik antara walikota, Qadi,
Uskup, dan Rabbi menjadikan hubungan di level grassroot juga jadi harmonis.
3. Ketiadaan peraturan pemerintah mengenai keberadaan pemeluk
Ahmadiyah di kota Yogyakarta. Sultan HB X maupun Haryadi Suyuti enggan
untuk mengeluarkan kebijakan yang menyangkut keberadaan Ahmadiyah di
Yogyakarta. Hal ini menyebabkan poin 1 dan 2 diatas berkembang menjadi
tindakan aktif dari ormas islam di Yogyakarta untuk melakukan tindakan
diskriminatif terhadap pemeluk Ahmadiyah di Yogyakarta. Adanya peraturan
pemerintah di level kota ini seharusnya bisa menjadi penjelas status pemeluk
Ahmadiyah di Yogyakarta, sekaligus menjadi jembatan bagi kebingungan
masyarakat dalam memahami peraturan pemerintah pusat, dan memberikan
sebuah jembatan kebijakan bagi kebingungan masyarakat dalam memahami
persimpangan hukum negara dan hukum agama.
71
Meskipun sama-sama bernilai toleransi dalam gelar masing-masing kota,
Yogyakarta The City of Tolerance dan Haifa The City of Peaceful Coexistence,
namun pemerintah Yogyakarta harus lebih bersifat aktif lagi dalam menciptakan
perdamaian. Toleransi yang diciptakan di Yogyakarta adalah sebuah toleransi
yang pasif. Sedangkan koeksistensi yang ada di Haifa, berangkat dari toleransi
pasif, yang dibarengi dengan usaha untuk saling mengenal perbedaan budaya
yang ada, dan mewujudkannya dalam sebuah usaha nyata melalui kerjasama
ditengah-tengah perbedaan-perbedaan tersebut.
Toleransi yang ditunjukkan warga kota Yogyakarta adalah sebuah nilai
moral sesama masyarakat Jawa yang menjunjung harmoni, tepo sliro, dan
paternalistik dengan Sultan Hamengkubuwono X sebagai pemimpin tradisional
yang memiliki kedudukan paling tinggi dan paling dihormati. Nilai toleransi
serupa juga terdapat di Haifa dalam nilai-nilai Judaism. Toleransi pasif ini sangat
berguna untuk mencegah munculnya konflik, atau malah justru memendam
konflik laten yang suatu saat bisa muncul.
Namun ketika sudah muncul permasalahan tentang agama, toleransi
pasif ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Dialog dan interaksi antar
pemeluk agama menjadi kunci penting dalam mencegah ataupun menyelesaikan
konflik. Jika institusi-institusi di Haifa sering mengadakan forum bersama yang
membahas perdamaian, ataupun mengadakan kejuaraan-kejuaraan olahraga
maupun pertunjukan seni bersama untuk merekatkan persaudaraan antar umat
beragama, maka institusi-institusi keagamaan di Yogyakarta juga setidaknya
harus melakukan hal yang sama. Dialog antar agama, atau forum perdamaian,
yang dihadiri oleh institusi agama apapun, MUI, FPI, GAI, JAI, dll menjadi suatu
kegiatan yang wajib dilakukan untuk saling mengenal agama dan budaya satu
sama lain. Dialog ini yang masih belum terlihat di Yogyakarta, karena penolakan
yang dilakukan ormas-ormas Islam lain terhadap Ahmadiyah. Sekalipun ada
tantangan untuk melakukan debat agama, MMI malah menantang Ahmadiyah,
jika kalah, maka Ahmadiyah harus masuk Islam kembali.
72
Pemerintah Yogyakarta tidak boleh pasif dalam menangani masalah ini.
Kalaupun pemerintah enggan mengeluarkan peraturan daerah tentang keberadaan
Ahmadiyah, maka pemerintah harus lebih pro-aktif dalam menyelenggarakan dan
memediasi dialog antar agama. Peran Sultan Hamengkubuwono X sebagai
pemimpin tradisional dan pengayom masyarakat tidaklah cukup untuk
menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah. Anjuran Sultan HB X untuk tetap
menjaga toleransi di Yogyakarta hanyalah bersifat pengobatan sementara, yang
suatu saat, masalah yang sama akan bisa muncul kembali jika tidak dibarengi
dengan tindakan proaktif dari institusi agama dan pemerintah Yogyakarta sendiri.
73
Download