BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi sindrom nefrotik Sindrom

advertisement
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik ditandai oleh adanya proteinuria masif (>3.5 g/ 24 jam atau
40 mg/ m2/ jam atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia (<2.5 g/dL ), edema,
dan hiperlipidemia / hiperkolesterolemia. Secara umum etiologi SN dibagi
menjadi primer dan sekunder. Sindrom nefrotik primer atau dikenal juga
dengan sebutan sindrom nefrotik idiopati terjadi berkaitan dengan adanya
penyakit glomerulopati yang menjadi penyebab intrinsik pada ginjal dan tidak
berkaitan dengan penyakit sistemik. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder
berkaitan dengan adanya penyebab ekstrinsik pada ginjal autoimun
(Henoch- Schonlein Purpura (HSP), Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
dan sebagainya), penyakit infeksi, keganasan, paparan lingkungan dan obatobatan, dan penyakit sistemik (diabetes mellitus).1,2,11
Sindrom
nefrotik
dilaporkan
juga
disebabkan
oleh
adanya
abnormalitas genetik yang berkaitan dengan adanya defek pada gen. Seperti
pada sindrom nefrotik infantil, muncul sebelum bayi berusia 3 bulan dan
sindrom nefrotik kongenital, muncul pada bayi berusia 4-12 bulan.12,13
2.2.
Klasifikasi sindrom nefrotik
Kelainan
histopatologi
glomerulus
pada
sindrom
nefrotik
primer
diklasifikasikan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
6
Universitas Sumatera Utara
Kidney Disease ini Children). Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom
nefrotik primer, yaitu:6,14,15
1. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
2. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)
3. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial Difus (GNPMD)
4. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
5. Glomerulopati Membranosa (GM)
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa SNKM. Di Indonesia, gambaran histopatologi SN primer berbeda
dengan data-data di luar negeri. Di Amerika, terdapat sebanyak 44.2% tipe
SNKM dari 364 anak dengan SN primer yang dibiopsi. Sedangkan di
Surabaya, Indonesia, terdapat sebanyak 39.7% tipe SNKM dari 401 anak
dengan SN primer yang dibiopsi.13,14,15
Sindrom nefrotik primer pada anak sebagian besar (80-90%)
mempunyai
gambaran
patologi
anatomi
berupa
SNKM.
Sementara
gambaran patologi anatomi lainnya adalah 7-8% GSFS; 1.9-2.3% GNPMD;
6.2% GNMP; dan 1.3% GNM.16
Saai ini respons terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai
menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.
Oleh karena itu, klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinis, yaitu:16,17
1. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)
2. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
7
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum (pada laki-laki).
Kadang-kadang disertai oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang
dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
peritonitis.18
Diagnosis pada SN berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis pasien,
dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan
fisik, harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan
tekanan darah. Dalam laporan ISKDC, pada SNKM ditemukan 22% dengan
hematuria mikroskopi, 15-20% dengan hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. 17,19
2.4.
Tatalaksana
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi, pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi kepada orangtua.20
Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi lain, muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
dapat disesuaikan dengan kemampuan pasien.20,21
8
Universitas Sumatera Utara
2.4.1. Dietetik
Pemberian diet yang tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang
dianggap kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan terjadinya
sklerosis glomerulus. Cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan
RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Namun diet
rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan
hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.20,21
2.4.2. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2
minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. 20,22
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema
refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia
berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.
Dapat juga diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari. 18,19
9
Universitas Sumatera Utara
Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari
untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi
hepatitis, HIV, dan lainnya. 20
2.4.3. Antibiotik Profilaksis
Dibeberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan
antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai
edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik
profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tandatanda infeksi segera diberikan antibiotik. 20,21
2.4.4. Pengobatan dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama.
Dapat diberikan prednison atau prednisolon.22,23
a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison
dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal
80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah
pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus,
dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
10
Universitas Sumatera Utara
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Gambar 1. Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid14
b. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka
panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat
efek samping steroid yang lebih kecil. Bila telah dinyatakan sebagai SN
relaps sering / dependent steroid, setelah mencapai remisi dengan
prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating. Dosis
diturunkan perlahan 0.2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
11
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan relaps, antara 0.1 – 0.5 mg/kgBB. Dosis ini disebut dosis
threshold, diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
2.5.
16,17
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat
dilakukan penanggulangan yang cepat.2-4,24
2.5.1. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis
dan peritonitis. Hal ini disebabkan terjadinya kebocoran IgG dan komplemen
faktor di urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risiko terjadinya
infeksi. Bila terjadi peritonitis primer, maka perlu diberikan antibiotik, selama
10-14 hari.11
2.5.2. Tromboemboli
Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi
antitrombin III. Trombosis dapat terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya
dehidrasi meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis. Pencegahan
tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirin dan dipiridamol,
tetapi sampai saat ini belum ada studi terkontrol terhadap efektivitas
pengobatan ini.11,12
12
Universitas Sumatera Utara
2.5.3.. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
kolesterol LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein, sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat trombogenik.25
2.5.4.. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat mengakibatkan hipovolemia. Gejala yang didapati hipotensi, takikardia,
dan anggota gerak dingin.19,26
2.5.5. Hipokalsemia
a. Metabolisme kalsium27
Dasar fisiologi metabolisme kalsium harus
dipahami sebelum
menentukan keadaan hipokalsemia. Secara umum, keseimbangan kalsium
sendiri sangat kompleks, dan bersifat multicompartmental. Dipertahankan
oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin
melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal,
dan saluran pencernaan.
Kalsium merupakan ion penting bagi fungsi metabolisme seluler dan
pengembangan tulang kerangka. Asupan kalsium diserap aktif dari saluran
pencernaan proksimal, terutama di duodenum dan jejunum. Bentuk bioaktif
vitamin D, 1,25(OH)2D3, dibentuk pada ginjal, merupakan stimulus hormonal
tunggal untuk transportasi kalsium (Gambar 2).
13
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Diagram skematik biokonversi vitamin D untuk mempertahankan
homeostasis kalsium27
Sistem
rangka
adalah
tempat
utama
penyimpanan
kalsium
(99%); hanya 1% berada di kompartemen intraseluler dan ekstraseluler
(Gambar
3).
Dalam
plasma,
40%
kalsium
terikat
dengan
plasma
protein dan non-ultrafilterable di glomeruli. Sekitar 50% kalsium serum
ditemukan dalam bentuk terionisasi dan 10% kalsium kompleks dengan
anion, seperti fosfat atau karbonat. Fraksi kalsium terikat protein plasma,
90% dengan albumin dan sisanya dengan globulin. Setiap gram albumin,
pada pH fisiologis akan mengikat 0.8 mg / dL kalsium. Sehingga dalam
14
Universitas Sumatera Utara
keadaan hipoalbuminemia, nilai kalsium serum tidak dapat dijadikan acuan
kalsium yang sebenarnya.27
Gambar 3. Distribusi kalsium dalam berbagai kompartemen dalam tubuh27
b. Regulasi kalsium oleh ginjal
Baik kalsium terionisasi dan kalsium anion-kompleks yang bebas akan
disaring di glomerulus. Untuk mempertahankan keseimbangan kalsium,
tubulus ginjal harus menyerap sebagian besar (98-99%) dari kalsium dari
filtrasi glomerulus. Tubulus proksimal akan menyerap hampir 70% dari
kalsium disaring sebagian besar secara transport pasif melalui pelarut
parasellular digabungkan dengan natrium dan air (Gambar 4).
Lengkung Henle akan menyerap kembali sekitar 25% dari kalsium
yang disaring. Lumen di bagian ini akan mempertahankan muatan positif
karena transporter Na-K-Cl, yang membantu dengan reklamasi kalsium
15
Universitas Sumatera Utara
melalui paracellular. Sisa kalsium dalam ultrafiltrate akan diserap secara aktif
di segmen tubular distal.27
Gambar 4. Reabsorbsi kalsium pada nefron36
c. Hipokalsemia pada sindroma nefrotik
Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total <
8.8 mg/dL (2.2 mmol/L) pada pasien yang serum albuminnya normal, atau
ketika nilai kalsium darah terionisasi < 4.2 mg/dl (1.05 mmol/L). Beberapa
formula telah dirumuskan untuk 'menormalkan' nilai serum kalsium total
dalam keadaan hipopoalbuminemia, namun tidak lebih baik daripada
pengukuran kalsium serum terionisasi.2,27
16
Universitas Sumatera Utara
Tabel. 1. Penyebab hipokalsemia27
Serum albumin rendah
Penggunaan agen kontras berbasis gadolinium
Vitamin D
Kekurangan vitamin D:
• Nutrisi
• paparan sinar matahari yang tidak memadai
• Lemak malabsorpsi
Gangguan metabolisme vitamin D:
• Terapi antikonvulsan
• Penyakit ginjal
• Penyakit Hati
Vitamin D – Rakhitis:
• Tipe I, 25-hydroxyvitamin D defisiensi 1α-hidroksilase
• Tipe II, menonaktifkan mutasi dari reseptor vitamin D (resistensi vitamin D)
Paratiroid hormon
Kurangnya hormon paratiroid:
• Hipoparatiroidisme kongenital
• Post-paratiroidektomi
• Post-tiroidektomi
• Hypomagnesemia
Resistensi hormon paratiroid:
• Pseudohipoparatiroidisme
Pada SN sendiri hipokalsemia dapat terjadi selain karena gangguan
regulasi kalsium yang tidak baik oleh ginjal. Kalsium sebagian besar akan
berikatan dengan protein, sehingga kadar kalsium total serum sangat
dipengaruhi oleh kadar protein, terutama albumin. Penurunan kalsium total
serum pada SN terjadi akibat bertambah jumlah protein-binding, yang ikut
terbuang melalui urin. Disamping itu juga karena penggunaan steroid jangka
panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia, serta kebocoran
metabolit vitamin D (Tabel 1).
17
Universitas Sumatera Utara
2.5.6. Gangguan pendengaran
Organ pada telinga dalam dan ginjal secara fisiologi memiliki
kesamaan dalam mengatur keseimbangan konsentrasi elektrolit pada cairan
di dalam telinga dalam dan ginjal. Pada anak dengan sindrom nefrotik
idiopati
terdapat
abnormalitas
elektrolit
seperti
hiponatremia
dan
hipokalsemia. Abnormalitas elektrolit inilah yang berkaitan dengan terjadinya
gangguan pendengaran. Selain itu penggunaan diuretik dalam jangka waktu
yang lama untuk penatalaksanaan sindrom nefrotik juga berkaitan dengan
timbulnya gangguan pendengaran.28,29
Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yakni gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan
gabungan keduanya (tipe campuran).5
Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang
berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga
luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif. Tuli sensorineural
disebabkan
oleh
kerusakan
pada
koklea
ataupun
retrokoklea.
Tuli
sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli
sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan
pasti dan chronic sensorineural deafness, tuli sensorineural yang terjadi
secara perlahan. 4,5,28
Gangguan pendengaran merupakan gejala dari penyakit telinga yang
sangat merisaukan, terutama bila terjadi pada kehidupan tahun-tahun
18
Universitas Sumatera Utara
pertama pada anak-anak. Pendengaran sangat penting fungsinya bagi
perkembangan penguasaan bahasa dan belajar bicara, sehingga anak yang
lahir dengan tuli atau tuli sebelum dapat berbicara, akan mengalami
kesukaran-kesukaran di dalam perkembangan bahasa. Bicara dan bahasa
sangat penting dalam sistem komunikasi, dan sangat diperlukan pada
kehidupan sosial, perkembangan mental, dan masa depan. Kemampuan
berbicara
dan
berbahasa
berhubungan
sangat
erat
dengan
fungsi
pendengaran.5,27
Tanpa mendengar, perkembangan bahasa tidak akan terjadi sehingga
anak tersebut tidak akan dapat berbicara. Meskipun demikian pada anak
yang tuli masih dapat dikembangkan bahasa dan bicaranya dengan
pendidikan khusus, walaupun akan memerlukan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan anak yang normal. 4,5
Gangguan pendengaran yang didapat setelah anak sudah mampu
berbicara, perbendaharaan kata dan struktur kalimat umumnya tidak
mengalami gangguan, tetapi anak dapat mengalami gangguan cara
pengucapan dan kualitas suara. Hal tersebut karena anak tidak dapat lagi
mendengar dengan jelas kata-kata yang didengarnya begitu juga halnya
dengan umpan balik suaranya sendiri dibandingkan dengan sebelum
mengalami gangguan pendengaran. 4
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa anak dengan sindrom
nefrotik memiliki risiko untuk terjadinya gangguan pendengaran. Hal ini
19
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh penggunaan jangka panjang dan dosis kumulatif furosemid
yang tinggi serta adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada pasien sindrom
nefrotik berhubungan dengan hilangnya 25- hydroxyvitamin D3 dan kadar
calcitriol yang tidak sesuai.27
Selain faktor risiko yang sudah dipaparkan di atas, seiring dengan
perjalanan penyakit sindrom nefrotik, maka akan semakin banyak akumulasi
dari produk-produk sisa seperti urea dan kreatinin dalam darah. Produkproduk sisa tersebut dapat merusak sel-sel pada telinga dalam sehingga
memicu terjadinya gangguan pendengaran pada anak dengan SN.29,30
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif
steroid maupun SN resisten steroid. Gangguan pendengaran merupakan
salah satu komplikasi yang bisa saja dijumpai. Pada pemakaian diuretik lebih
lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. Deteksi
dini sangat diperlukan sehingga dapat dilakukan penanggulangan.24
2.6.
Pemeriksaan Gangguan pendengaran
Telinga normal dapat mendengar nada antara 20 sampai 18 000 Hz (tabel1).
Pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500 sampai 2000 Hz.28
2.6.1. Audiometri nada murni
Audiometri nada murni (pure tone audiometry) adalah tes dasar untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya disebut
20
Universitas Sumatera Utara
audigram. Selama pemeriksaan akan diperdengarkan nada murni yang
diberikan pada frekuensi berbeda melalui sebuah headphone atau
earphone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang
dengar dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui.
Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan dalam
audiogram.29,30
Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat mengetahui jenis dan
tingkat gangguan pendengaran. Kelemahannya pemeriksaan ini hanya
dapat dilakukan pada anak diatas usia 6 tahun dan bersifat subjektif.31
2.6.2. Otoacustic emission (OAE)
Otoacustic emission (OAE) merupakan pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai respon koklea oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut
saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan selsel rambut akan menginduksi depolarisasi sel. Hal ini menunjukkan
bahwa dan merefleksikan fungsi koklea. Sedangkan sel rambut dalam
dipersarafi serabut aferen yang berfungsi mengubah suara menjadi
bangkitan listrik.31,32
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan suatu
probe kedalam liang telinga luar. Didalam probe tersebut terdapat
pengeras suara yang berfungsi memberikan stimulus suara dan mikrofon
yang berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah
21
Universitas Sumatera Utara
pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan alat untuk
mencatat respon yang timbul dari koklea setelah pemberian stimulus.32,33
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan diruangan yang sunyi atau
kedap suara, hal ini untuk mengurangi bising lingkungan. Keuntungan
OAE tidak berbatas umur bahkan dapat dilakukan pada neonatus, tidak
memerlukan waktu yang lama, tersedia alat portable. Pemeriksaaan
OAE dapat digunakan untuk memonitor efek otoksik obat. Sensitivitas
OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%.32
2.6.3. Brainstem evoked response audiometry (BERA)
Merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai integritas sistem
auditorik, bersifat objektif dan tidak invasif.30,33
Pemeriksaan ini mengukur aktivitas listrik yang dihasilkan N.VII,
pusat-pusat neural dan trastus didalam batang otak sebagai respon
terhadap stimulus auditorik. Stimulus yang digunakan berupa bunyi click
yang diberikan melalui headphone atau insert probe. Dimana stimulus
tersebut merupakan impuls listrik dengan onset cepat dan singkat,
menghasilkan respon pada frekuensi 2000 Hz sampai 4000 Hz, dengan
intensitas dapat mencapai 105 dB. Respon stimulus berupa evoked
potential direkam melalui elektroda permukaan yang ditempelkan pada
dahi dan prosessus mastoideus.33
Pemeriksaan ini tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga
luar dan tengah. Namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan
22
Universitas Sumatera Utara
tenaga terlatih dalam mengoperasikan alat, serta menginterpretasikan
hasilnya. Sensitivitas BERA 99,96% dan spesifisitasnya 98,7%. 32
Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran32
Tingkat gangguan pendengaran
Ambang batas pendengaran
(dB)
< 20
21-40
41-60
61-70
71-90
> 90
Normal
Mild
Moderate
Moderate-Severe
Severe
Profund
2.7.
Kerangka Konseptual
Sindroma
Nefrotik Remisi
Sindroma
Nefrotik Relaps
 Efek Ototoksis
obat
 Gangguan
keseimbangan
elektrolit
Audiometri
Test fungsi ginjal
Keseimbangan elektrolit
Pemberian
diuretik dan
steroid jangka
lama
Gangguan
pendengaran
 Akumulasi sisa produk
seperti urea & creatinin
dalam darah
 Edema epitelium &
stria vaskularis yang
mengganggu produksi
cairan endolimfe dalam
koklea
: Yang diamati dalam penelitian
Gambar 5. Kerangka konsep penelitian
23
Universitas Sumatera Utara
Download