Ketika Pulsa Berperan Sebagai Alat Pembayaran

advertisement
Ketika Pulsa Berperan Sebagai Alat Pembayaran
Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Redaktur Ahli Jurnal Nasional
Dahulu, nenek moyang manusia mengenal barter, menukarkan sesuatu guna
memperoleh barang lain. Barter merupakan transaksi dagang yang primitif. Dalam
perkembangan selanjutnya, digunakan alat tukar untuk pembayaran transaksi, dari
kerang hingga uang. Penggunaan uang, dalam wujud mata uang kertas atau logam
sebagai alat pembayaran sudah berlangsung lebih dari lima abad. Peran uang ternyata
tidak terbatas hanya sebagai alat pembayaran namun berkembang sebagai ukuran
harta kekayaan, alat investasi, serta dalam keadaaan tertentu berfungsi sebagai
penjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik negara.
Uang berkaitan pula dengan kedaulatan negara. Penggunaan gambar pemimpin
negara atau pahlawan nasional dalam lembar atau koin mata uang semula
dimaksudkan sebagai penghargaan kepada para pemimpin atau pahlawan. Berkenaan
dengan kedaulatan, setiap negara menerbitkan mata uang. Nilai tukar mata uang suatu
negara relatif terhadap mata uang negara lain seringkali dianggap mencerminkan
kekuatan negara yang bersangkutan. Mata uang yang nilai tukarnya paling rendah
dapat mencerminkan kekuatan ekonomi dan politik negara penerbit mata uang
tersebut. Oleh karena itu, ada negara yang rela menggunakan mata uang negara lain
dalam perdagangan sesama penduduk di dalam negerinya, dan transaksi luar
negerinya.
Mata uang kertas pada saat ini sudah dianggap tradisional, tidak praktis, dan rentan
terhadap pemalsuan. Membawa uang kertas dalam jumlah besar, untuk belanja di
mall, bepergian ke luar kota, dapat dianggap aneh atau justru dapat mengundang
petaka. Sebagai penggantinya digunakan kartu kredit atau – yang sekarang mulai
marak - kartu debet. Kedua kartu ini fisiknya serupa, namun ada bedanya. Pengguna
kartu kredit tidak harus membayar tunai pada saat melakukan transaksi, sedangkan
untuk kartu debet, pada saat transaksi, merchant melalui bank penerbit kartu debet,
mengurangi (debet) saldo tabungan atau giro-nya pemilik kartu debet.
Seiring perkembangan telepon selular, terutama setelah operator selular menerbitkan
layanan prabayar, muncul berbagai praktik bisnis yang pembayaran transaksinya
memanfaatkan deposit yang disimpan di fasilitas milik operator selular. Deposit
tersebut, awalnya akan secara otomatis di-debet ketika pelanggan selular
memanfaatkan layanan telepon dan atau short message service (SMS). Secara
berangusr deposit akan berkurang, berbanding terbalik dengan penggunaan pulsa.
Ide operator yang semula hanya ingin memastikan pendapatan di muka (advance
payment) ini, pada akhirnya menyadarkan beberapa pihak bahwa kombinasi uang
deposit, komputer, infrastruktur telekomunikasi digital, dan kebutuhan berbelanja,
mengilhami digunakannya “pulsa telepon” sebagai alat pembayaran. Pada dasarnya
mekanisme alat pembayaran menggunakan pulsa (APMP), tidak jauh beda dengan
mekanisme pembayaran menggunakan kartu debet. Bedanya, pada kartu debet, yang
di-debet saldo tabungan atau giro yang tersimpan di bank, sedangkan pada APMP
ketika terjadi transaksi yang di-debet saldo deposit yang tersimpan di fasilitas
operator selular.
Implikasi dari digunakannya deposit pulsa telepon sebagai alat pembayaran transaksi
cukup signifikan, tidak saja bagi perkembangan bisnis, ekonomi, dan sosial, namun
mau tidak mau masuk ke ranah hukum. Di ranah bisnis, adanya APMP memberi
tambahan altermatif mekanisme pembayaran, yang berarti memperbesar peluang
untuk menambah pendapatan. Sebagai contoh, ketika pembeli lupa atau tidak
membawa uang cash, atau ketika kartu kreditnya sedang tidak dapat digunakan, tidak
berarti transaksi lantas menjadi batal. Transaksi tetap terjadi karena calon pembeli
masih memiliki deposit pulsa yang dapat digunakan untuk membayar barang yang
diinginkannya atau layanan yang telah dimanfaatkannya. Ketika terjadi transaksi
semacam ini, pembeli akan di-debet untuk dua hal: sejumlah nilai barang dan atau
jasa yang harus dibayar, dan biaya pengiriman pesan (SMS) ketika memberitahukan
transaksi pembayaran ini kepada operator atau penyimpan deposit.
Implikasi di ranah ekonomi? Luar biasa besar. Mari kita berandai-andai, statistik
pengguna selular hingga akhir 2007 sudah mencapai kurang lebih 80 juta. 85% -nya
atau 68 juta berstatus pelanggan prabayar. Jika rata-rata belanja per bulan
menggunakan APMP Rp. 100.000,- maka nilai transaksi per tahun minimal mencapai
Rp. 81.6 Triliun. Angka ini di luar pendapatan operator selular yang dihimpun dari
biaya SMS untuk pemberitahuan transaksi.
Bagi merchant, transaksi menggunakan APMP sangat aman, dan pasti terbayar.
Transaksi tidak mungkin terjadi bila saldo deposit tidak mencukupi. Bagi pembeli,
pasca transaksi urusan selesai, tidak perlu ditagih di kemudian hari seperti ketika
menggunakan kartu kredit. Manfaat sosial lain, jika dalam kartu kredit, khususnya
para pengguna pemula, terjadi kecenderungan berbelanja melebihi kemampuan
membayar, sehingga pada suatu hari harus menanggung hutang yang akan selalu
bertambah, maka dalam APMP hal tersebut tidak akan terjadi. Artinya, secara tidak
langsung, perilaku belaja jor-joran dapat dihambat dengan “membatasi” daya beli.
Pertanyaan terkait dengan aspek hukum yang muncul adalah “apakah operator selular
akan berubah, dan diizinkan menjadi lembaga penyimpan uang deposit dan fasilitator
transaksi keuangan? Di banyak negara yang telah menyelenggarakan APMP atau
dengan istilah lain, e-wallet, digital money, e-purse, dan lain sebagainya,
penyelenggaranya dibedakan menjadi tiga: operator telepon, bank, atau integrater. Di
Indonesia, operator selular yang sudah mulai menyelenggarakan APMP
adalah
Telkomsel.
Menyikapi perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu sebagai
alat pembayaran dalam memenuhi kegiatan ekonomi, dan dalam upaya memberikan
perlindungan bagi para pengguna kartu pembayaran, Bank Indonesia telah
menerbitkan
Peraturan
bank
Indonesia
Nomor
7/52/PBI/2005
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)
dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP 30 Desember 2005 tentang Prinsip
Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Kemanan Dalam
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Jika
disimak lebih jauh, kedua peraturan tersebut juga mencakup penggunaan pulsa
sebagai alat pembayaran. Artinya, kebutuhan adanya alternatif baru alat pembayaran
sudah muncul, layanannya juga sudah mulai tersedia, peraturan sudah cukup
memadai, jadi mari kita tunggu masa jaya pembayaran menggunakan pulsa telepon
*****
Download