Analisis Kesenjangan Pendapatan Regional

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi tidak dapat diartikan sama dengan pertumbuhan
ataupun industrialisasi. Pembangunan ekonomi berarti pertumbuhan ditambah
dengan terjadinya perubahan-perubahan (grow plus change), Karena adanya
dimensi-dimensi kualitatif yang cukup penting dalam proses pembangunan
tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana
pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi dalam wilayah tersebut. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu
negara salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik
Bruto atau Produk Nasional Bruto.
Syarat utama bagi pembangunan adalah proses pertumbuhannya harus
bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam negeri. Sehingga pembangunan
yang terjadi tidak bersifat bias karena misalkan mengandalkan dana dari utang
luar negeri. Walaupun terjadi perubahan dalam pembangunan, namun bukan
merupakan hasil bersih karena masih harus dikurangi dengan pembayaran utang
dan bunga.
Keberhasilan pembangunan ekonomi menurut Todaro (2003) ditunjukkan
oleh tiga nilai pokok yaitu: (1) perkembangan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya (basic needs); (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)
masyarakat sebagai manusia, dan; (3) meningkatnya kemampuan masyarakat
untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi
manusia. Ketiga hal tersebut merupakan tujuan pokok yang harus tercapai oleh
setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara
langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang
terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua
masyarakat dan budaya sepanjang jaman.
2.1.2 Kesenjangan Pendapatan Antar Wilayah
Kesenjangan regional diartikan sebagai ketidakseimbangan pertumbuhan
antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor sosial di suatu negara, distrik
atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di
semua wilayah dengan kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspekaspek umum yang dapat memberikan beberapa generalisasi. Penyebab utama
kesenjangan antar wilayah adalah: (a) faktor geografis; (b) faktor historis; (c)
faktor politis; (d) faktor kebijakan pemerintah; dan (e) faktor administrasi
(birokrasi) (Fitria, 2006).
Berdasarkan tingkat kemajuannya, wilayah-wilayah dalam suatu negara
dapat dikelompokan secara ringkas sebagai berikut (Hanafiah, 1998):
1.
Wilayah terlalu maju, terutama kota-kota besar terdapat batas pertumbuhan
atau polarisasi.
2.
Wilayah netral, dicirikan dengan pendapatan dan kesempatan kerja yang
tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan sosial. Wilayah ini merupakan satelit
bagi wilayah yang telah maju.
3.
Wilayah sedang, dicirikan oleh distribusi pendapatan dan kesempatan kerja
yang relatif baik dan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang
maju dimana ditemui pula kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.
4.
Wilayah kurang berkembang, dicirikan dengan tingkat pertumbuhan yang
jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk
mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional.
5.
Wilayah tidak berkembang, dicirikan oleh adanya industri modern yang tidak
pernah dapat berkembang dalam berbagai skala. Umumnya ditandai oleh
daerah pertanian dengan usaha tani sub-sistem dan kecil, berpenduduk jarang
dan tersebar serta tidak terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif
besar.
Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang
merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi.
Semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat
diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat
ataupun antar wilayah tertentu dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut
terlihat pada nilai PDRB-nya. Ketimpangan pendapatan terjadi di negara-negara
yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih
tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya
rendah.
Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Myrdal (1957)
yang membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar
ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional dengan
menggunakan ide “spread effect” dan “backwash effect” sebagai bentuk pengaruh
penjalaran dari pusat perumbuhan ke daerah sekitar. Penyebab utama
ketimpangan regional menurut Myrdal adalah kuatnya dampak balik (backwash
effect) dan lemahnya dampak sebar (spread effect) di negara terbelakang.
Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang
merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah
sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga
mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang
sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.
Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang
menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan
investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.
Kesenjangan pendapatan regional dapat dianalisis dengan menggunakan
Indeks Ketimpangan Williamson. Williamson (1965) meneliti hubungan antara
disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data
negara yang sudah maju dan negara sedang berkembang. Ditemukan bahwa
selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan
pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.
2.1.3 Kebijakan Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan
pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang
selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Tujuan pokok UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah untuk
mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah
untuk mewujudkan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan
sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945.
Sedangkan tujuan pokok UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomian
daerah,
menciptakan
sistem
pembiayaan
yang
adil
dan
mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat
dan daerah.
Kaho (1997) menyatakan bahwa ada empat unsur yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi, yaitu: (1) Sumber daya manusia
merupakan sektor esensial dari otonomi sebagai subjek dan objek dalam
pelaksanaan otonomi, (2) Keuangan menentukan PAD yang bersumber dari
retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah dan sebagainya, (3) Peralatan
yang cukup baik, berupa sarana dan prasarana fisik yang memperlancar
pembangunan, dan (4) Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan
organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi eksekutif dan legislatif di
daerah.
Awal pelaksanaan otonomi daerah pemerintah menjalankan berdasarkan
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, tahun 2004
pemerintah telah mengeluarkan undang-undang baru, yaitu UU No. 32 Tahun
2001 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Maka setelah tahun 2004 kebijakan
otonomi daerah berlandaskan pada undang-undang baru tersebut.
Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun
1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi
daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 merupakan hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam UU ini pemberian kewenangan otonomi kepada
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi yang
dilaksanakan secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Penyelenggaraan desentralisasi ini merupakan urusan pemerintahan antara
pemerintah pusat dengan daerah otonom, dengan bagian urusan pemerintah yang
bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian/bidang tertentu dapat dilaksanakan secara bersama antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Untuk mewujudkan pembangunan kewenangan yang
concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Kota seperti yang tercermin dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004, maka di susunlah kriteria yang meliputi :
1. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang di timbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
2. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu
bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan
dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
3. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan
peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan
menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk mendukung pemerintahan dan
pembangunan di daerah, adapun sumber-sumber keuangan daerah di antaranya
adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain
pendapatan yang sah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang digantikan oleh UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
adalah dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lainlain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber
pembiayaan berasal dari daerah sendiri, yang terdiri dari (1) hasil pajak daerah;
(2) hasil retribusi daerah; (3) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan; (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,
diharapkan dapat menjadi penyangga uama dalam membiayai kegiatan-kegiatan
pembangunan di daerah. Semakin banyak kebutuhan daerah yang dapat dibiayai
dengan pendapatan asli daerah, maka semakin tinggi pula kualitas otonomi
daerah, juga semakin baik dalam bidang keuangan daerahnya.
2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dalam bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) adalah nilai semua
barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Produk
Domestik Bruto merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan
nasional. Menurut Gillis, et. al (1987) PDB adalah penjumlahan nilai produk akhir
barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara, dalam penghitungan
mengeluarkan pendapatan warga negara yang berada di luar negeri termasuk
pendapatan yang diterima warga asing. Di tingkat regional, PDB menjadi Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).
Produk Domestik Nasional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah
nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi/usaha di
dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu (BPS, 2006). Untuk mengetahui tingkat perkembangan pendapatan
penduduk suatu daerah secara rata-rata dapat digunakan angka PDRB per kapita.
PDRB perkapita penduduk di suatu daerah dihasilkan dengan membagi
pendapatan domestik dengan jumlah penduduk pertengahan tahun di daerah yang
bersangkutan.
Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode, antara lain
(Dumairy, 1996):
a.
Metode Langsung
Penghitungan PDRB dengan metode langsung didasarkan pada data yang
terpisah antara data daerah dan data nasional, sehingga hasil penghitungannya
mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah
tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan,
yaitu:
1. Pendekatan Produksi
PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan
oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah
menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian,
(2) pertambangan dan galian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan
air minum, (5) bangunan, (6) perdagangan, (7) pengangkutan dan
komunikasi, (8) bank dan lembaga keuangan lainnya, (9) sewa rumah, (10)
pemerintah, (11) jasa-jasa.
2. Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu satu tahun. Balas jasa produksi yang dimaksud meliputi
upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya
dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.
Dalam hal ini mencakup juga pajak penyusutan dan pajak-pajak tak
langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor disebut
nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu, PDRB menurut pendekatan
pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor
atau lapangan usaha.
3. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir,
meliputi: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta
yang tidak mencari keuntungan, (2) pembentukan modal tetap domestik
bruto dan perubahan stok, (3) pengeluaran konsumsi pemerintah, (4)
ekspor netto (yaitu ekspor dikurang impor), dalam jangka waktu satu
tahun.
b.
Metode Tidak Langsung atau Alokasi
Penghitungan PDRB melalui metode tidak langsung dilakukan dengan
cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan
mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kegiatan
ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang
paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan
ekonomi tersebut.
Penghitungan PDRB pada suatu daerah/wilayah dengan menggunakan
metode langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada data yang
tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang
satu sama lain karena penghitungan dengan metode langsung akan mendorong
peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedangkan penghitungan dengan
menggunakan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi
data daerah.
Berdasarkan penjelasan di atas, PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih
menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pada pendapatan yang
sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Meskipun
demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan
pedapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.
2.1.5 Konvergensi Mutlak dan Bersyarat
Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah
kecenderungan perekonomian-perekonomian daerah miskin tumbuh lebih cepat
dibanding perekonomian daerah kaya. Sehingga diharapkan perekonomian daerah
miskin akan mengejar ketertinggalan dan ketimpangan perekonomian antar daerah
akan menurun. Model standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat
pertumbuhan tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara
pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami
pertumbuhan ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung
konvergen secara mutlak. Proses konvergen seperti ini disebut dengan
konvergensi mutlak (Absolut Convergence). Oleh karena kenyatannya bahwa
antar
daerah
mempunyai
karakteristik
perekonomian
yang
beragam
mengakibatkan dugaan proses konvergensi mutlak pada umumnya diikuti oleh
konvergensi bersyarat (Conditional Convergence) (Romer, 2006).
Terdapat dua konsep utama konvergensi dalam perekonomian, yaitu sigma
(σ) corvengence dan beta (β) convergence. Kegunaan sigma convergence adalah
untuk mengukur tingkat dispersi dari pertumbuhan. Sedangkan kegunaan beta
convergence adalah untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor yang
diperkirakan menentukan tingkat konvergensi.
Prosedur untuk menguji beta convergence adalah dengan terlebih dahulu
mencari tahu apakah terdapat konvergensi nonkondisional (unconditional
convergence) atau konvergensi absolut (absolute convergence). Kemudian
barulah menguji “’konvergensi yang dapat dijelaskan” (explained convergence)
atau konvergensi kondisional (conditional convergence).
Konvergensi absolut dilakukan dengan mengestimasi model ekonometrika
dimana varibel dependen awal periode (initial conditionaI) sebagai satu-satunya
variabel penjelas bagi variabel dependen. Sedangkan konvergensi kondisional
dilakukan dengan mengikutsertakan sejumlah variabel penjelas dalam pengujian
selain variabel dependen awal periode.
Konvergensi bruto atau sigma (σ) diukur dengan menggunakan ukuran
dispersi yang dalam hal ini adalah koefisien variasi dan standar deviasi dari nilai
logaritma variabel dependen. Spesifikasi model yang digunakan untuk konvergen
absolut adalah:
Yit = β0 + β1 Y(i,t −1) + eit
dimana variabel dependen adalah pertumbuhan PDRB dengan variabel
penjelasnya pertumbuhan PDRB awal periode Y(i,t-1). Jika koefisien tersebut
negatif dan signifikan secara statistik maka dikatakan σ convergence telah terjadi
dengan implikasi dalam konteks Provinsi Jawa Barat, kabupaten/kota dengan
tingkat awal PDRB per kapita yang rendah cenderung mengejar ketertinggalannya
dari kabupaten/kota yang tingkat awal PDRB per kapitanya tinggi.
Dalam
penelitian ini akan digunakan pendekatan data panel dalam upaya mengestimasi
model yang ada.
Sedangkan untuk menghitung β convergence menurut Barro dan Martin
(1995) dalam Fitria (2006) adalah:
β=
dimana β1 adalah koefisien variabel penjelas dan T adalah lama periode waktu. β
convergence atau konvergensi bersyarat (kondisional) adalah koefisien tingkat
awal PDRB per kapita bila laju pertumbuhan PDRB per kapita diregresi terhadap
tingkat awal PDRB per kapita dan variabel bebas sebagai control seperti kondisi
awal anggaran belanja pemerintah, angka harapan hidup dan tingkat partisipasi
SMP per kapita (tingkat pendidikan). β convergence mensyaratkan faktor-faktor
awal yang harus dipenuhi agar konvergensi itu terjadi.
Saldana dalam Tambunan (2003) menyatakan bahwa pada saat σ
convergence terjadi maka β convergence juga terjadi. Namun tidak sebaliknya σ
convergence tidak selalu terjadi apabila β convergence terjadi.
2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu
Perhatian mengenai kesenjangan di tingkat nasional mulai dilakukan pada
awal tahun 1970-an. Tim peneliti dibawah Esmara merupakan pelopor dalam hal
ini. Kesimpulan umum yang dicapai oleh Asmara adalah bahwa kesenjangan antar
daerah adalah cukup menonjol, terutama yang berkaitan dengan sumber daya
alam, tingkat produktivitas per kapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi
penggunaan sumber daya dan organisasi.
Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional
pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dalam Jaenudin (2007) dengan
menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan
Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan
PDRB diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat
tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum
mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan
ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan
kepada propinsi.
Tabel 4. Indeks Ketimpangan Pendapatan Penelitian Terdahulu
Diluar Migas
Tahun
Uppal &
Tadjoeddin Tadjoeddin, et al.
Handoko
1971
1972
1973
1974
1975
1976
0,4631
1977
0,4609
1978
0,4344
1979
0,5240
1980
0,4435
1981
1982
1983
1984
0,4875
1985
0,4714
1986
0,4600
1987
0,4567
1988
0,4609
1989
0,5632
1990
0,5385
1991
0,5392
1992
0,5442
1993
0,5489
0,932
1994
0,938
1995
0,962
1996
0,966
1997
0,982
1998
0,965
Sjafrizal
0,396
0,406
0,415
0,483
0,462
0,415
0,396
0,429
0,417
0,425
0,445
0,438
0,498
0,515
0,494
0,474
0,471
0,465
0,493
0,484
0,536
0,535
0,544
0,643
0,653
0,654
0,671
0,605
Sumber: Uppal dan Handoko dalam Jaenudin (2007) dan Tadjoeddin (1996) dan
Tadjoeddin, et al. (2001) dan Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003).
Tadjoeddin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional
dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama untuk periode 1984-1993.
Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan
pendapatan selama periode analisis. Tadjoeddin, Suharyo dan Mishra (2001)
melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional selama tahun
1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita
menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga tahun 1998.
Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin meningkat.
Sjafrijal (2000) dalam Tambunan (2003), menganalisis ketimpangan antara
Indonesi Kawasan Barat (IKB) dengan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dengan
memakai data PDRB untuk periode 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi
yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya tendensi peningkatan
ketimpangan ekonomi antara propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an.
Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dan
tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data negara yang sudah
maju dan sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal
pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan
terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.
Matolla (1985) menganalisis besarnya kesenjangan pendapatan antar
daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi
Williamson. Matolla juga menganalisis peranan sektor pertanian dalam
mengurangi kesenjangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut,
bandingkan besarnya kesenjangan pendapatan daerah dengan dan tanpa
memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang diperoleh
dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya kesenjangan dengan
memasukkan sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil bila dibandingkan
dengan tanpa memasukan PDRB sektor pertanian. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sektor pertanian mempunyai peranan untuk mengurangi tingkat
kesenjangan pendapatan yang terjadi.
Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat
CVw
Persentase Penurunan
Tahun
Kesenjangan Pendapatan
Tanpa PDRB
Dengan PDRB
Daerah
Sektor Pertanian
Sektor Pertanian
1977
0,467
0,323
44,6
1978
0,380
0,256
48,4
1979
0,382
0,269
42,3
1980
0,377
0,274
37,6
1981
0,316
0,222
42,3
Sumber: Mattola (1985)
Fitria (2006) menganalisis tentang kesenjangan antara kabupaten/kota di
Pulau Jawa. Dari hasil analisisnya dapat diperoleh bahwa kesenjangan antara
kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis selama periode 1993-1998
memburuk. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota sebesar
0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924, tetap setelah krisis
kesenjangan membaik, tahun 2004 tingkat kesenjangan 0,991. Tingkat
kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak
terjadi dengan menganggap pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan,
maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi secara
signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Jaenudin (2007) mengenai analisis
ketimpangan pendapatan antar daerah di Jawa Barat tahun 1997-2005,
menyatakan bahwa pada periode 1997-2000, Kota Cirebon merupakan daerah
yang termasuk masuk kategori maju dan berkembang cepat. Sedangkan daerah
yang lainnya terdapat pada klasifikasi daerah yang berkembang cepat, daerah
maju tapi tertekan, dan daerah kurang berkembang. Sedangkan pada masa
otonomi daerah, pada kategori 1 terdapat Kota Bandung dan kota Sukabumi.
Secara umum, berdasarkan penghitungan Indeks CVw pada setiap tahun analisis,
diperoleh kesimpulan bahwa indeks ketimpangan antar daerah di Provinsi Jawa
Barat cenderung meningkat.
Masrukhin (2009) meneliti tentang konvergensi pendapatan antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode 2000-2007. Berdasarkan hasil
estimasi, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar – 0,933 (< 0) hal ini
berarti pendapatan antar kabupaten/kota cenderung konvergen (makin merata)
atau daerah miskin tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Sedangkan untuk
variabel jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja koefisien regresinya
– 2,025 (< 0) menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang
bekerja cenderung konvergen dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
PDRB per kapita. Hasil analisis data panel dengan menggunakan software EViews
6 menunjukkan bahwa PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat dipengaruhi secara
positif dan signifikan oleh PAD, PDRB per pekerja, pengeluaran pembangunan
pemerintah kabupaten/kota, persentase penduduk yang tamat SMA dan
dipengaruhi secara negatif oleh pangsa sektor pertanian terhadap PDRB.
Sedangkan jumlah penduduk, penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja,
pangsa sektor industri terhadap PDRB dan pangsa sektor perdagangan terhadap
PDRB tidak berpengaruh terhadap PDRB.
Berdasarkan penelitian terdahulu, yang membedakan penelitian ini adalah
waktu, metode, serta variabel yang digunakan untuk melihat dan menganalisis
faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi kesenjangan pendapatan
regional di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008.
2.3 Kerangka Pemikiran
Keanekaragaman karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya
menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda di masing-masing daerah
sehingga beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah
lainnya tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk tumbuh tersebut
menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan antar
golongan, antar sektor, antar wilayah, desa-kota, dan antar daerah dengan
sumberdaya alam melimpah dan daerah dengan sumberdaya alam sedikit.
Sebagai suatu provinsi, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat juga
sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten dan kota yang
ada. Potensi yang ada diharapkan dapat memberikan sumbangan atau suatu
kontribusi yang besar dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai
upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Berdasarkan hal diatas penelitian ini berupaya menjawab beberapa tujuan
yaitu mengukur tingkat kesenjangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa
Barat dengan menggunakan Indeks Williamson. Sehingga besarnya nilai
ketimpangan daerah setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui. Untuk
melihat turun-naiknya indeks ketimpangan, angka-angka ketimpangan daerah
diplot ke dalam sebuah grafik sehingga diperoleh trend ketimpangan yang terjadi
di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan data PDRB per kapita, dapat dianalisis konvergensi
pendapatan antar kabupaten/kota agar dapat diketahui kecenderungan pola
pertumbuhan
ekonomi
kabupaten/kota di
Provinsi
Jawa
Barat
dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis data panel. Selain
itu, untuk menfidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan selama
periode analisis digunakan Klassen Typology. Sehingga dapat diketahui
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang mengalami kemajuan/kemunduran
selama periode analisis.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Atas Dasar
Harga Konstan tahun 2000 di tiap kabupaten/kota agar diperoleh prioritas
kebijakan yang tepat untuk meningkatkan pendapatan itu sendiri maka akan
dianalisis bagaimana pengaruh pengaruh jumlah penduduk, pangsa sektor
pertanian terhadap PDRB, pangsa sektor industri terhadap PDRB, indeks
pendidikan dan indeks kesehatan.
Kesenjangan bisa dikurangi dengan cara mengembangkan sektor-sektor
ekonomi yang mempunyai potensi terhadap pembentukan PDRB dan mampu
menyerap tenaga kerja yang besar. Selain itu perlu adanya perbaikan atau
pengembangan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
tersebut.
Di era otonomi daerah sekarang ini, masing-masing daerah dituntut untuk
bisa mengembangkan perekonomian daerahnya sesuai dengan potensi yang
dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sehingga dapat mengurangi kesenjangan
pembangunan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan
pembagian pendapatan yang merata bagi semua golongan dan lapisan masyarakat.
Keanekaragaman dalam
Karakteristik Wilayah
Analisis
Ketimpangan (CVw)
Kesenjangan Pendapatan
Antar Kabupaten/Kota
Konvergensi Antar
Kabupaten/Kota
Analisis Deskriptif
Kualitatif
Trend Ketimpangan
Analisis Trend
Ketimpangan
Analisis
Panel Data
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi PDRB
Kabupaten/Kota
Pola Pertumbuhan
Ekonomi Daerah
Klassen Typology
Analisis Panel Data
Faktor-faktor yang Harus diperhatikan untuk
Meningkatkan Laju PDRB
Rekomendasi/ Masukan Pemerintah/
Pembuat Kebijakan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
2.4. Hipotesis Penelitian
Untuk
memberikan
pengarahan
dalam
melakukan
analisis
data,
berdasarkan penelitian terdahulu dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
1. Kesenjangan pendapatan dan trend ketimpangan kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat selama periode analisis cenderung meningkat.
2. Diduga terjadi konvergensi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
3. Varibel-variabel yang dianalisis berpengaruh secara signifikan terhadap
PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000.
Download