PERANAN BEBERAPA JENIS SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DARAH PADA TANAMAN PISANG BETTY SAHETAPY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peranan Beberapa Jenis Serangga Sebagai Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Betty Sahetapy NRP A361080011 RINGKASAN BETTY SAHETAPY. Peranan Beberapa Jenis Serangga sebagai Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang. Dibimbing oleh NINA MARYANA, SJAFRIDA MANUWOTO dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN. Penyakit darah pisang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB). Bakteri ini dapat ditularkan melalui bibit yang terinfeksi, peralatan pertanian, tanah yang terbawa air, kontak akar dan serangga pengunjung bunga pisang. Penelitian diawali dengan pengumpulan contoh serangga di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh. Lokasi ini merupakan daerah endemik penyakit darah pisang. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sedangkan isolasi, deteksi dan identifikasi BDB dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai April 2013. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi serangga pengunjung bunga pisang, mengidentifikasi isolat BDB yang berasal dari bagian permukaan dan internal tubuh serangga, deteksi dan identifikasi BDB dari tanaman dan bagian tubuh serangga dengan teknik PCR, dan menguji beberapa serangga berpotensi vektor dalam uji penularan BDB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga yang ditemukan di area pertanaman pisang Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 dan Pante Cermin adalah tergolong dalam ordo Diptera dan Hymenoptera. Drosophilidae (Diptera) ditemukan lebih dominan di antara serangga-serangga tersebut. Kemudian dilakukan juga pengamatan terhadap kelimpahan serangga dan kejadian penyakit. Hasil penelitian di kelima desa contoh menunjukkan bahwa persentase kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi di desa Simpang Betung 1 yaitu 96.90% dan persentasi terendah terjadi di Desa Pante Cermin yaitu 40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat korelasi positif antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian penyakit darah pisang, yaitu semakin tinggi kelimpahan serangga semakin tinggi pula kejadian penyakit. Data mengenai budidaya dan penegelolaan tanaman pisang di Provinsi Aceh tersebut dilakukan dengan mewawancarai 50 orang petani pisang menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka. Parameter yang ditanyakan petani meliputi umur, pendidikan dan pemahaman petani mengenai penyakit darah pisang. Pemahaman petani mengenai penyakit darah pisang sangat minim. Petani responden sama sekali tidak mengetahui tentang penyakit darah pisang pada awal penanaman. Hal ini baru diketahui setelah tanaman pisang di lahannya menunjukkan gejala akibat serangan penyakit darah pisang. Penanganan untuk menekan serangan penyakit darah sudah terlambat karena dari awal penanaman tidak ada penyuluhan mengenai penyakit yang menyerang pisang dan penanganannya. Umur petani yang berkisar antara 31-50 tahun merupakan umur produktif dan mempunyai kemampuan untuk bekerja keras dalam pengelolaan usaha tani pisangnya. Pendidikan petani responden yang umumnya adalah SLTP iv dan SLTA memungkinkan petani untuk bisa menerima teknologi atau inovasi terbaru untuk bisa digunakan dalam memajukan dan mengembangkan usaha taninya sehingga upaya menekan serangan penyakit darah dapat lebih baik dilakukan. BDB berhasil diisolasi dari tubuh serangga, baik permukaan luar maupun internal. Hasil isolasi dan identifikasi BDB dari serangga ordo Diptera (Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae) menunjukkan bahwa seranggaserangga tersebut memiliki kapasitas membawa bakteri tersebut dan berpotensi sebagai vektor BDB. Bakteri yang diisolasi diidentifikasi uji gram, hipersensitifitas dan patogenitas. Satu genus yang tergolong dalam famili Drosophilidae diuji penularan lebih lanjut secara artifisial dari buah pisang ke Heliconia dan menunjukkan serangga tersebut berpotensi sebagai vektor karena kemampuannya dalam menularkan BDB ke tanaman sehat yang kemudian menunjukkan gejala sakit. Keberadaan BDB pada tanaman yang ditularkan positif terdeteksi melalui uji PCR. Deteksi PCR dilakukan dengan menggunakan sepasang primer universal untuk Ralstonia solanacearum 759F dan 760 R terhadap isolat yang berasal dari bagian luar tubuh serangga dan bagian dalam tubuh serangga serta isolat asal tanaman. Hasil deteksi PCR menunjukkan hasil yang positif dengan teramplifikasi pada ukuran 281 bp. Selanjutnya dilakukan uji penularan BDB dengan menggunakan serangga Drosophilidae sebagai salah satu serangga yang berpotensi sebagai vektor BDB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga Drosophilidae mampu menularkan patogen ke tanaman Heliconia yang sehat. Hal ini dibuktikan dengan gejala yang muncul pada bunga. Bunga yang bergejala kemudian diisolasi dan dideteksi keberadaan BDB secara molekuler, hasilnya menunjukkan positif dengan munculnya pita pada ukuran 281 bp. Kata kunci : blood disease bacterium, pisang, serangga, Drosophilidae, PCR SUMMARY Banana blood disease is caused by blood disease bacterium (BDB). These bacteria can be transmitted through the infected seeds, agricultural equipment, water-borne soil, roots contact and insects visiting banana flower. The study begins with the collection of samples of insects in Padang Tiji Subdistrict, Pidie Regency, Banda Aceh Province. This location is a banana blood disease endemic area. Identification of insects was conducted in Insects Biosystematic Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, while the isolation and identification of BDB was conducted in Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The study was conducted from November 2011 until April 2013. The objactives of this study is to observe abundance and to identify insects which visit banana flower, to identify BDB isolated from external and internal insect body, to detect and identify of BDB from plant and insect body parts by PCR, and to examine suspected insect as BDB vector through transmission assay artificially from BDB-infested banana fruit to Heliconia plant. The results showed that the insects found in the area of banana plants in Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 and Pante Cermin Villages are belong to Diptera and Hymenoptera Orders. Drosophilidae (Diptera) are found predominantly among these insects. insect abundance and disease incidence were also observed. The results in the five sample villages showed that the highest percentage of banana blood disease incidence occurred in Simpang Betung 1 village that was 96.90% and the lowest percentage occurred in Pante Cermin village that was 40.68%. The average incidence of the five sample villages was 80.36%. There is a correlation between the abundance of insects Drosophilidae with banana blood disease incidence. Primary data collection was conducted by interviewing 50 banana farmers using a structured questionnaire with mostly open-ended questions. Parameters asked to farmers were age, education and understanding of banana blood disease. Farmers knowledge about banana blood disease was very litle. Farmer generally did not aware that banana blood disease occured at the beginning of the planting. They realized that their plant already infected with the disease when the plants begun to show symptoms of the disease. Treatment to suppress the blood disease was late because of no counseling about the disease affecting banana and its handling. Whereas, the age of farmers are ranging from 31 to 50 showed that they are still in productive age and has the ability to be able to work harder, especially in the management of the banana farm. Farmer respondents’ education that are junior and senior high school should make it easier to farmers to receive latest technology or innovation to be used in advancing and developing their farm so that efforts to suppress the blood disease can be done better. BDB was successfully isolated from the whole body of the insect. Results of isolation and identification of BDB to the Diptera order (Drosophilidae, Tephritidae and Muscidae) showed that these insects were expected as vectors of BDB. Isolated bacteria were confirmed through grams, hypersensitivity and vi pathogenicity tests. A genus belonging to the Drosophilidae family showed as a vector due to its ability to transmit BDB on healthy plants. The BDB was positivelly detected in transmitted plants that through the PCR test. PCR detection using Ralstonia solanacearum Primer 759F and 760 R of the isolates originating from outside body parts of insects, inside body parts of the insect and plant origin isolates. PCR detection showed positive results with the ribbon appeared. Further, BDB transmission test using Drosophilidae as insects potentially as vectors BDB was done and the results showed that Drossophilidae insects are capable of transmitting pathogens to a healthy Heliconia plant. This is proven with symptoms appeared on treated flower parts. The symptomed flower was isolated and the existense of BDB was molecularly detected. The results positively showed the tape at 281 bp. Keywords: blood disease bacterium, banana, insects, Drosophildae, PCR © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. PERANAN BEBERAPA JENIS SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DARAH PADA TANAMAN PISANG BETTY SAHETAPY Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 ii Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. 2. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Si. 2. Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi : Peranan Beberapa Jenis Serangga Sebagai Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang Nama : Betty Sahetapy NRP : A361080011 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Ketua Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si. Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Entomologi Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Tanggal Ujian: 19 Juli 2013 Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Lulus: iv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Peranan Beberapa Jenis Serangga Sebagai Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang”. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. sebagai ketua dan Ibu Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. serta Bapak Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi. sebagai anggota, atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan mulai penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir Aunu Rauf, M.Sc. dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Sc. selaku Penguji pada ujian Prakualifikasi lisan, Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. dan Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. yang telah meluangkan waktu sebagai penguji pada ujian tertutup. Saran, kritik dan pertanyaan sangat membantu penulis dalam penyempurnaan disertasi. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB berserta seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Entomologi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Pertanian serta Ketua Program Studi Agroekoteknologi atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti tugas belajar di Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Maluku yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian. Kepada Bapak Dr. Ir. Giyanto, M.Si. dan Ibu Ir. Ivonne Oley Sumaraw, M.Si. dan rekan-rekan di laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB, Forum Wacana Pascasarjana, penulis menyampaikan terima kasih atas segala bantuan, dukungan dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi. Terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Widodo, MSi, Bapak Wawan, Bapak Abdullah Ali, Ibu Nurbaity, sahabatku Ibu Efi Masauna yang telah banyak membantu penulis mulai penelitian sampai selesainya penelitian. Kepada papa Octofianus Marcus Sahetapy (Alm) dan mama Fransina Martha Sahetapy/Matulatua (Alm) yang telah memberikan kasih sayang serta doa, kakak-kakakku dengan keluarganya, mami Jacoba Sarah Apituley, kakak-kakak ipar dengan keluarganya terima kasih untuk kasih sayang dan doa serta semangat yang selalu diberikan kepada penulis. Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada suami tercinta James Johannes Apituley dan anak-anakku terkasih Adventio Christiano Apituley dan Angelo Johenry Apituley terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat yang selalu diberikan selama penyelesaian pendidikan ini. Ucapan yang sama untuk adikku Aleta Benu terima kasih untuk semua dukungan dan semangat serta doa. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak sempat disebut satu per satu yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi. Semoga budi baik dan semua yang sudah diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga disertasi ini dapat berguna bagi kita semua. Bogor, Agustus 2013 Betty Sahetapy vi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii I. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Tahapan Penelitian 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 4 Sejarah Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Darah di Indonesia 4 Karakteristik Penyakit Darah 5 Kisaran Inang 6 Penularan dan Penyebaran penyakit 6 Jenis-jenis Serangga yang Berpotensi Sebagai Vektor BDB pada Tanaman Pisang 7 Potensi Serangga dalam Penyebaran Bakteri Patogen Tumbuhan 7 Tanaman Pisang 8 Interaksi Serangga dan Bunga Pisang 9 Interaksi Serangga dan Bakteri 10 III. KELIMPAHAN DAN IDENTIFIKASI SERANGGA PENGUNJUNG BUNGA TANAMAN PISANG 11 Abstrak 11 Abstract 11 Pendahuluan 12 Bahan dan Metode 13 Hasil dan Pembahasan 14 Kesimpulan 21 Daftar Pustaka 21 IV. IDENTIFIKASI DAN DETEKSI BLOOD DISEASE BACTERIUM YANG DIISOLASI DARI TUBUH SERANGGA 24 Abstrak 24 Abstract 24 Pendahuluan 24 Bahan dan Metode 25 Hasil Dan Pembahasan 27 Kesimpulan 33 Daftar Pustaka 33 V. UJI PENULARAN BDB PADA SERANGGA YANG BERPOTENSI SEBAGAI VEKTOR 35 DAFTAR ISI (lanjutan) Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Dan Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka VI. PEMBAHASAN UMUM VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN VIII. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP 35 36 35 36 38 43 43 45 48 49 56 59 DAFTAR TABEL 1. Serangga pengunjung bunga pisang yang tertangkap perangkap lekat di desa contoh 2. Serangga yang tertangkap jaring serangga di desa contoh 3. Kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang 4. Umur responden 5. Latar belakang pendidikan responden 6. Pekerjaan petani responden selain usaha tani pisang 7. Pengalaman petani responden dalam berusaha tani pisang 8. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman pisang 9. Sistem budidaya pisang 10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%) 11. Sistem pemasaran pisang yang dilakukan petani responden 12. Skoring penilaian gejala kelayuan 13. Skala virulensi 14. Hasil pengujian hipersensitif, patogenisitas dan PCR beberapa isolat bakteri asal serangga 15. Kejadian penyakit dan masa inkubasi pada uji penularan dengan serangga 16. Hasil uji PCR dengan Primer 759F dan 760R pada beberapa isolat asal tanaman dan serangga 17. Ukuran dan lama hidup imago Drosophilidae 14 15 16 17 18 18 18 19 19 20 20 27 27 32 40 42 43 DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. Peta tahapan penelitian peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor penyakit darah pada tanaman pisang Bunga Pisang Analisa regresi linear kelimpahan serangga Drosophilidae dan kejadian penyakit 3 9 17 viii DAFTAR GAMBAR (lanjutan) 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari bagian tubuh serangga Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari buah pisang pada media TZC Uji Hipersensitif pada daun tembakau Perkembangan gejala penyakit darah pada pisang Cavendish 28 Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R Kurungan yang berisi tanaman Heliconia yang digunakan sebagai tenaman uji Sumber inokulum Serangga Drosophilidae Tanaman Heliconia Isolat BDB asal bunga hasil uji penularan Isolat BDB asal serangga hasil uji penularan pada media TZC Visualisasi DNA hasil PCR menggunakan Primer 759F dan 760R Fase perkembangan seranga Drosophilidae 33 28 29 29 37 37 38 39 41 42 42 44 DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh 53 2. Kuesioner petani 56 3. Komposisi bahan kimia masing-masing media yang digunakan untuk pembiakan bakteri 58 4. Uji patogenisitas pada tanaman pisang Cavendish 55 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan komoditas buah unggulan Indonesia yang dipilih berdasarkan nilai ekonomis dan strategis karena relatif besar volume produksinya dibandingkan dengan komoditas buah lainnya (Deptan 2012). Tanaman pisang dapat tumbuh subur di dataran tinggi atau dataran rendah serta pada iklim basah maupun iklim kering. Buah pisang berbuah sepanjang tahun karena tidak tergantung pada musim. Rataan produksi pisang per tahun di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir (2003 – 2012) adalah sebesar 5.51 juta ton (BPS 2013). Produksi terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu 4.17 juta ton dan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu 6.37 juta ton. Produksi pisang ditahun 2012 mencapai 6.13 juta ton. Tanaman pisang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi apabila dikelola secara intensif dan berorientasi agribisnis. Tanaman pisang di Indonesia umumnya ditanam dengan input produksi dan perhatian yang rendah. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha untuk meningkatkan produksi tanaman pisang menjadi lebih sulit, padahal tanaman ini dapat tumbuh di berbagai tempat, baik di pekarangan sekitar rumah maupun di lahan-lahan sawah (Subandiyah et al. 2005). Di samping budidayanya yang kurang baik, hama dan penyakit tanaman juga menjadi kendala tersendiri dalam usaha meningkatkan produksi tanaman pisang. Penyakit darah merupakan salah satu penyakit yang menyerang pertanaman pisang di samping penyakit layu Fusarium dan Sigatoka. Penyebaran penyakit darah ini dapat terjadi melalui bibit (anakan pisang), tanah, alatalat pertanian dan serangga (Suspendy 2001). Penyakit darah pada tanaman pisang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB) (Eden-Green & Sastraatmadja 1990). Nama lain dari BDB masih belum ada kesepakatan, kadang-kadang disebut Ralstonia solanacearum, walaupun nama ini tidak dianjurkan (CABI 2003). BDB sebelumnya dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum atau Ralstonia solanacearum (E.F. Smith) Yabuuchi et al. Ras 2 yang menyebabkan penyakit layu bakteri, tetapi karena adanya perbedaan kultur dan reaksi biokimia antara BDB dan R. solanacearum, maka nama BDB lebih tepat digunakan untuk penyebab penyakit pada tanaman pisang yang menunjukkan gejala penyakit darah (CPC 2005). Penyakit darah pisang sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang masih mewabah hampir di seluruh daerah sentra produksi pisang di Indonesia. Pada tahun 2004, jumlah tanaman pisang yang terserang dilaporkan mencapai 2 116 829 rumpun (Ditlinhorti 2005). Kejadian penyakit darah dan penyebarannya di lapangan sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh belum adanya tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit ini dan tingginya potensi penularan patogen (Sequeira 1998). Sampai sejauh ini belum ada informasi yang meyakinkan mengenai serangga yang berperan sebagai vektor dalam penyebaran penyakit BDB. Banyak penelitian yang sudah dilakukan terhadap serangga yang berperan sebagai vektor tetapi masih menghasilkan data yang menyatakan serangga yang berpotensi sebagai vektor. 2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi serangga pengunjung bunga pisang. 2. Mengidentifikasi BDB dari isolat yang dibuat dari bagian-bagian tubuh serangga. 3. Deteksi dan identifikasi BDB dari tanaman dan bagian tubuh serangga dengan teknik PCR. 4. Menguji beberapa serangga berpotensi vektor dalam uji penularan BDB. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi tentang peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor penyakit darah pada tanaman pisang sehingga dapat menetapkan strategi pengandalian untuk mendapatkan tanaman pisang yang bebas dari serangan penyakit darah. Tahapan Penelitian Strategi penelitian yang ditempuh dalam mencapai tujuan yang telah diuraikan meliputi tahapan penelitian sebagai berikut: (1). Survei, menghitung kelimpahan serangga, kejadian penyakit dan mengidentifikasi serangga. (2). Identifikasi dan deteksi Blood Disease Bacterium yang diisolasi dari tubuh serangga. (3). Uji penularan BDB pada serangga yang berpotensi sebagai vektor. Bagan alur dari tahapan penelitian disajikan pada Gambar 1. 3 Tanaman pisang yang bebas dari penyakit darah Strategi pengendalian Kelimpahan dan identifikasi serangga pengunjung bunga tanaman pisang (Penelitian I) Mengetahui jenis-jenis serangga pengunjung bunga pisang Hubungan kelimpahan serangga dengan kejadian penyakit Pengelolaan tanaman Memanipulasi lingkungan Profil petani dan pemahamannya tentang penyakit darah pisang Karakteristik BDB dari isolat asal serangga Identifikasi dan deteksi BDB yang disolasi dari tubuh serangga (Penelitian II) Uji penularan BDB pada serangga yang berpotensi sebagai vektor (Penelitian III) Deteksi keberadaan BDB dari isolat asal serangga Mengetahui seranggaserangga yang berpotensi sebagai vektor Kemampuan serangga dalam menularkan patogen BDB Biologi, morfologi dan ekologi vektor Isolasi dan deteksi keberadaan BDB pada serangga dan bagian tanaman yang tertular patogen Gambar 1. Tahapan penelitian peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor penyakit darah pada tanaman pisang. Kotak bergaris tebal adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi. II. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Darah di Indonesia Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan penyakit penting dan berbahaya karena penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian massal tanaman dalam waktu singkat sehingga menurunkan produksi. Penyakit darah pertama kali mewabah tahun 1910 di pulau Selayar (Sulawesi Selatan) yang menyebabkan terhentinya pengiriman lebih kurang 900 ribu sisir pisang tiap tahunnya ke Makassar (Semangun 2000). Beberapa tahun kemudian, penyakit darah sudah meluas hampir ke seluruh Sulawesi Selatan (Gaumann 1923). Sejak tahun 1921 melalui lembaran Negara nomor 532, pemerintah melarang pengangkutan tanaman atau bagian-bagian tanaman pisang dari Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya ke wilayah lain untuk mencegah penyebaran penyakit darah (Semangun 2000). Penyakit darah dilaporkan terdapat di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara serta Jonggol, Jawa Barat (Eden-Green et al. 1988); (Satari & Sumarauw 1990), Yogyakarta dan Jawa Tengah (Arwiyanto 1988) dan Jawa Timur (Sumardiono et al. 1997). Tahun 1993, penyakit darah mewabah di Lampung (Cahyaniati et al. 1997) dan di beberapa sentra produksi pisang lainnya di Sumatera (Kusumoto 2004). Penyakit darah telah menyebar ke berbagai daerah pertanaman pisang di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan juga terdapat di hampir semua negara produsen pisang (Ditlihorti 2005). Sejak tahun 1987-1990, beberapa ilmuwan di berbagai tempat di Indonesia melakukan pengamatan penyakit secara mandiri. Di Sulawesi, penyakit BDB secara aktif mulai menyebar ke Selatan, Utara dan Sulawesi Tengah (Eden-Green et al. 1988; Stover & Espinoza 1992). Sejak temuan pertama di Jonggol, dekat Jakarta pada tahun 1987 oleh Eden-Green et al. 1988), penyakit ini telah ditemukan di berbagai lokasi di Jawa Barat (Hanudin et al. 1993; Satari dan Sumarauw 1990; Supriadi et al. 1995). Di Yogyakarta, Jawa Tengah, penyakit ini juga diamati (Arwiyanto, 1988), sedangkan dari Jawa Timur penyakit ini juga dilaporkan (Sumardiyono et al. 1997; Masnilah et al. 2001; Mulyadi & Hernusa 2001). Di Sumatera, penyakit darah diakui pada tahun 1993 di Lampung (Cahyaniati et al. 1997; Dikin et al. 1997). Di luar Sumatera dan Jawa, penyakit ini ditemukan pada tahun 1994/1995 di Bali (Sudana et al. 1999), Lombok dan pulau Sumbawa tahun 1998/1999 (Supeno 2001). Eden-Green (1994) memperkirakan penyebaran penyakit darah terjadi dengan kecepatan 100 km/tahun dan mengatakan hal ini mengancam semua tanaman pisang di Indonesia karena tidak ada aktifitas yang signifikan untuk menghentikan penyakit tersebut. Penyakit tampaknya semakin menyebar kearah timur dari pemunculan pertamanya di Jonggol, dekat Jakarta yaitu mengarah ke sepanjang pantai utara Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Ke arah barat menyebar ke Lampung dan Solok di Sumatera. Sumber penyakit dapat berasal dari berbagai sumber independen seperti dari Sulawesi ke Kalimantan, Ambon dan Irian Jaya. Serangan terparah pernah terjadi di daerah Kalimantan Timur pada tahun 2004 dengan kisaran luas serangan antara 1 000 000 sampai 1 200 000 pohon. Kisaran luas serangan di Jawa Barat dari tahun 2003 sampai 2005 berkisar antara 10 000 sampai 100 000 pohon. 5 Karakteristik Penyakit Darah Gejala penyakit darah dicirikan oleh gejala luar dan gejala dalam. Gejala luar dapat dilihat pada tajuk tanaman dan pada buah, sedangkan gejala dalam dapat dilihat pada berkas pembuluh batang dan pada daging buah. Gejala luar mulanya terlihat pada daun tua yang berubah warna menjadi kuning, melemah (flaccid) kemudian patah pada bagian pangkalnya sehingga daun terlihat patah menggantung, setelah itu warna daun menjadi kuning kemudian terjadi nekrosis dan akhirnya mengering. Gejala dalam dapat diamati pada bidang potongan bonggol, batang dan buah. Pada bagian bonggol akan terlihat lendir berwarna putih susu atau coklat kehitaman yang merupakan massa bakteri. Kulit buah sering tampak normal, kadang-kadang ada yang tampak kuning terlalu dini dan kemudian menghitam. Bila buah di potong, bagian dalam buah terlihat berwarna merah kecoklatan atau menjadi busuk berlendir (Tjahjono & Eden-Green 1988; Eden–Green & Sastraatmadja 1990; Satari & Sumarauw 1990). Gejala penyakit darah mirip dengan gejala penyakit moko yang terdapat pada tanaman pisang di Amerika Selatan (Eden-Green & Sastraatmadja (1990) dan gejala penyakit bugtok di Filipina yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Ras 2 (Yabuuchi et al. 1995). Namun demikian, karakter penyebab penyakit darah sedikit berbeda dengan R. solanacearum. Penyebab penyakit darah pada tanaman pisang yang mulanya dikenal dengan nama Pseudomonas celebensis Gaum (Gaumman 1923 dalam Semangun 2000), secara fenotip dan genetik berbeda dengan R. solanacearum yang umum dikenal sebagai penyebab penyakit layu (Fegan 2005). Karakter koloni kultur penyebab penyakit darah, di antaranya berbentuk bulat (mukoid), tumbuh lambat, agak lengket (viscid), tidak fluidal, ukuran koloni kecil-kecil (0,5-2mm) setelah diinkubasi selama 72-96 jam pada suhu 28º C (Baharuddin 1994; Supriadi 1999). Secara fisiologis, karakter penyebab penyakit darah hampir mirip dengan R. solanacearum, perbedaannya adalah penyebab penyakit darah tidak mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak mampu menghidrolisis gelatin (Baharuddin 1994). Secara genetik, penyebab penyakit darah berbeda dengan R. solanacearum (Thwaites et al. 1998; Fegan 2005) tetapi berkerabat dekat dengan Pseudomonas syzygii (Fegan et al. 1998) penyebab penyakit pada tanaman cengkeh. Selain itu penyebab penyakit darah bersifat lisogenik sedangkan R. solanacearum tidak bersifat lisogenik (Supriadi 2003). CABI (2003) lebih menganjurkan nama penyebab penyakit darah adalah blood disease bacterium (BDB) dengan nama penyakitnya adalah penyakit darah. Ciri-ciri BDB di antaranya adalah ukuran bakteri sekitar 0.5 x 1.0-1.5 µm, berbentuk batang, gram negatif, tidak aktif bergerak, berflagel, koloni tumbuh lambat, tidak fluidal, pinggiran rata, dan bagian tengah koloni berwarna merah tua pada media TZC dan koloninya tidak berfluoresens pada media King’s. Supriadi (1994) mengemukakan bahwa biakan dari penyakit darah tumbuh lambat, berbentuk bulat dan agak lengket, koloni kecil (diameter 2-3 mm) pada medium SPA atau CPG sesudah 72-96 jam pada suhu 29º C. Ciri dari strain BDB adalah gram negatif, tidak ada fermentasi, reaksi oksidasi dan katalase positif serta adanya akumulasi poly-ß- hidroksibutirat. Pada media TTC koloni bakteri ini berukuran kecil kurang dari 5 mm, tidak fluidal dan tidak motil, reaksi hipersensitifnya bersifat positif (Eden-Green 1994). 6 Kisaran Inang BDB secara umum dapat menyerang berbagai jenis pisang yang dibudidayakan. Hasil survey Muharam et al. (1992) menemukan bahwa di Jawa Barat, pisang ambon putih paling rentan terhadap penyakit darah sedangkan di Sulawesi Selatan, pisang kepok paling umum di jumpai terserang. Menurut Baharuddin (1994), hasil pengujian terhadap 20 spesies tanaman diketahui bahwa BDB mampu menimbulkan gejala penyakit pada Heliconia collinsiena, H. revolata, Strelitzia reginae, Canna indica, Solanum ningrum, dan Asclepias currasiva, tetapi tidak mampu menimbulkan gejala penyakit pada beberapa tanaman yang merupakan inang utama R. solanacearum, seperti tomat, buncis, tembakau, cabai, kacang tanah, kentang dan terung. Berdasarkan uji serologi ternyata penyakit darah (P. celebensis) pada pisang di Indonesia juga mempunyai kemiripan dengan bakteri pada cengkeh (P.syzygii) dan R. solanacearum (Robinson, 1994). Supriadi (1994) mengemukakan bahwa 10 isolat penyakit darah yang diinokulasikan ke tanaman pisang varietas ambon, dapat mematikan tanaman pada umur 3-6 minggu setelah inokulasi. Sedangkan isolat penyakit darah lainnya tidak dapat menimbulkan gejala pada tomat, jahe atau gulma. Penularan dan Penyebaran Penyakit Penyebaran penyakit darah pada pisang di Indonesia yang sangat cepat diduga kuat melalui bibit dan serangga (Eden-Green & Sastraatmadja 1990; Eden-Green 1994; Supriadi 1999, 2005). Jenis-jenis serangga vektor yang diduga menyebarkan R. solanacearum ras pisang di Indonesia adalah serangga pengunjung bunga pisang (male flowering insects), seperti Chloropidae, Drosophilidae, Platypezidae, Culicidae, Muscidae, Antomyiidae, Sarcopangidae (Diptera), Coleophoridae (Lepidoptera), Blattidae (Blattodea) dan Apidae (Hymenoptera) yang diduga sebagai vektor (Leiwakabessy 1999). Menurut CABI (2003), infeksi yang diperkirakan umum terjadi adalah melalui serangga pengunjung bunga seperti yang terjadi pada penyebab penyakit moko. Selanjutnya patogen dapat bertahan beberapa minggu dalam buah (Denny & Hayward 2001). Berdasarkan sifat gejala dalam, patogen diperkirakan menyebar dari buah menuju anakan melalui berkas pembuluh (CABI 2003). Gaumann (1923) menyatakan bahwa patogen mampu bertahan dalam tanah selama 1 tahun, kemudian dari dalam tanah patogen dapat menginfeksi akar tanaman melalui luka. Stover (1972) melaporkan R. solanacearum ras pisang dapat bertahan di dalam tanah selama 3-18 bulan. Infeksi BDB melalui serangga berawal pada bunga berkembang ke arah buah dan tangkai tandan menuju batang sejati hingga ke bonggol dan akar. Penyebaran selanjutnya terjadi melalui perakaran, tanah, air, dan alat pertanian. Penyebaran jarak jauh terjadi melalui distribusi materi tanaman sakit seperti tunas dan buah. Walaupun bersifat soil borne, BDB mengalami penurunan populasi yang cukup cepat di dalam tanah hingga tersisa sekitar 5% setelah terlepas di dalam tanah selama 6 bulan. Sebelum menemukan kembali inangnya bakteri ini mampu bertahan hidup pada tanaman sekerabat pisang seperti Heliconia spp. dan Canna spp (Syahdu et al. 2007). Oleh karena itu, sanitasi kebun perlu lebih diperhatikan. Data tentang berbagai metode penyebaran R. solanacearum mengindikasikan bahwa patogen ini sangat mudah menyebar, baik melalui benih, air, tanah, maupun serangga, sehingga sulit dikendalikan jika telah menjadi wabah (outbreak). 7 Jenis-jenis Serangga yang Berpotensi Sebagai Vektor BDB pada Pertanaman Pisang Serangga-serangga yang mengunjungi bunga pisang dapat berperan menjadi agen utama dalam penyebaran patogen penyebab layu bakteri. Leiwakabessy (1999) menyatakan ada beberapa jenis serangga yang berpotensi sebagai agen penyebar penyakit layu bakteri antara lain dari ordo Hymenoptera (Apidae), Diptera (Chloropidae, Sciaridae, Sarcophagidae, Anthomyiidae, Platypezidae, Tephritidae. Drosophilidae, Muscidae, Syrphidae, Culicidae), Lepidoptera (Coleophoridae), Blattidae (Blattodea). Subandiyah et al. (2005) melaporkan ada dua spesies serangga dominan di daerah pertanaman pisang di Yogyakarta yang mempunyai intensitas penyakit darah pisang yang tinggi. Serangga tersebut adalah Erionota thrax (Hesperiidae) dan Cosmopolites sordidus (Curculionidae). Mairawita et al. (2012) melaporkan juga bahwa pada tanaman pisang yang terserang penyakit darah di Sumatera Barat ditemukan empat ordo serangga yang berperan yaitu Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera dan Hemiptera. Hal ini memperkuat pendapat bahwa serangga merupakan salah satu faktor yang berperanan penting dalam penularan BDB selain melalui bibit terinfeksi, alat-alat pemangkasan, tanah yang dihanyutkan air maupun kontak akar. Potensi Serangga dalam Penyebaran Bakteri Patogen Tumbuhan Harris dan Maramorosch (1980) menyatakan bahwa bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman melalui lubang-lubang alami seperti stomata, hidatoda dan lentisel atau juga melalui luka yang diakibatkan oleh gigitan serangga. Selain itu sel-sel bakteri akan bertahan di dalam tubuh serangga jika kondisi lingkungan kurang menguntungkan untuk perkembangannya. Sel-sel bakteri melekat pada permukaan tubuh serangga sebagai kontaminan maupun masuk ke dalam saluran pencernaan serangga. Sel-sel ini akan terbawa pada saat serangga makan, mengisap nektar bunga atau meletakkan telur (oviposisi), yang kemudian akan menimbulkan luka sebagai tempat masuk bagi bakteri patogen tumbuhan (Atkins 1978). Menurut Harris dan Maramorosch (1980) serangga membantu penyebaran bakteri patogen tumbuhan melalui beberapa cara, 1. serangga membantu survival bakteri patogen; 2. penyebaran inokulum primer maupun sekunder dari satu tanaman ke tanaman yang lain; 3. menimbulkan luka yang diperlukan sebagai jalan masuk bagi bakteri patogen ke dalam jaringan tanaman inang; 4. membantu bakteri patogen bertahan dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Tanaman Pisang Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Scitmineae. Famili Musaceae terdiri dari genus Ensete dan Musa. Semua varietas yang buahnya tidak dapat dimakan termasuk dalam genus Ensete sedangkan yang buahnya dapat dimakan dimasukkan dalam genus Musa. Genus Musa terdiri dari 4 seksi yaitu: australimusa, callimusa, eumusa dan rhodochlamys (Simmonds 1959). Beberapa varietas pisang yang ditemukan di Indonesia mempunyai nama yang khas sesuai dengan daerah asalnya, misalnya pisang ambon putih, ambon hijau, pisang barangan, pisang raja, pisang nangka, pisang tanduk, pisang muli, pisang kepok dan pisang raja sereh. Di Indonesia terdapat lebih kurang 200 kultivar pisang termasuk kerabat liarnya, yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kultivar eumusa dan 8 kultivar australimusa. Kelompok kultivar eumusa merupakan pisang komersil yang banyak mendominasi pasar pisang di Indonesia maupun luar negeri (Nasution 1992). Tanaman pisang terdiri dari bonggol (corm) dengan anakan (sucker), akar, batang semu dan rangkaian bunga (inflorescence). Bonggol merupakan batang sebenarnya dari tanaman pisang yang dalam keadaan normal berada di bawah permukaan tanah. Meristem apical berada paling atas selama siklus pertumbuhan vegetatif. Meristem apical secara terus menerus menghasilkan daun baru yang berasal dari bagian tepi meristem apical. Setelah inisiasi bunga maka meristem apical akan menjadi rangkaian bunga dan tumbuh dengan cepat pada bagian atas tanaman (Simmonds 1959). Rangkaian bunga berbentuk simpodial muncul dari batang semu dan tersusun pada tangkai bunga (peduncle). Setiap bunga terdiri dari bagian bunga betina (gynoecium), dimana satu tangkai kepala putik (style) dikelilingi 5 atau 6 benang sari (stamen) dan satu kelopak bunga (tepal) bebas, warnanya tergantung varietas (Gambar 2). Rangkaian bunga awal menghasilkan bunga betina (pistillate) dengan stamen yang tidak berfungsi yang kemudian berkembang membentuk buah. Selanjutnya rangkaian bunga yang mulai berkembang dan muncul menghasilkan bunga netral (hermaprodit). Pada akhir tandan tumbuh kuncup bunga jantan (male bud). Pada pisang liar bunga jantan yang membuka menghasilkan polen. Kuncup bunga jantan terdiri dari braktea yang saling menutup dengan rapat (Simmonds 1959). A B C Gambar 2. Bunga pisang, (A) bunga pisang, (B) bunga betina, (C) bunga jantan (Sumber: Namu 2008) Interaksi Serangga dan Bunga Pisang Asosiasi serangga dengan tanaman dapat dilihat dari serangga sebagai konsumen dan tanaman sebagai produsen. Perilaku serangga sebagai konsumen dan sifat tanaman sebagai sumber makanan berperan dalam hubungan antara serangga fitofag dengan inangnya. Serangga juga mengadakan pemilihan inang dan memiliki preferensi terhadap inang tertentu. Preferensi inang didefenisikan sebagai kecendrungan serangga dalam melakukan pemilihan tanaman inang yang tepat bagi perkembangannya. Preferensi inang merupakan salah satu aspek mekanisme ketahanan tanaman yang disebut antixenosis atau disebut juga sebagai non preferensi yaitu serangga cendrung tidak memilih tanaman sebagai makanan sebagai tempat bertelur atau tempat berlindung (Painter 1951). 9 Hal yang sama juga terjadi antara serangga dengan tumbuhan berbunga merupakan bentuk asosiasi mutualisme. Interaksi tersebut terjadi karena bunga menyediakan pakan bagi serangga, yaitu serbuk sari dan nektar. Tumbuhan mendapatkan keuntungan dalam penyerbukan. Ketersediaan pakan pada bunga dapat meningkatkan keanekaragaman serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan. Keanekaragaman serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan berkaitan dengan banyaknya bunga yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan. Jumlah nektar dan polen bunga berpengaruh pada keanekaragaman serangga. Nektar disekresikan oleh kelenjar nektar dengan kandungan utama gula (sukrosa). Selain nektar, serbuk sari (polen) juga menarik serangga penyerbuk (Chasanah 2010). Serangga memilih tanaman inang melalui proses seleksi, terdapat beberapa tahap seleksi yang berurutan yaitu proses pencarian kemudian serangga melakukan pengujian secara kontak. Pencarian berakhir dengan penemuan, sedangkan pengujian secara kontak berakhir dengan penerimaan atau penolakan. Penerimaan merupakan keputusan yang penting karena akan dilanjutkan dengan memakan atau meletakkan telur, hal ini beresiko terhadap kesehatan serangga tersebut dan kelangsungan hidup keturunannya (Schoonhoven et al. 2005). Pemilihan tanaman inang oleh serangga melalui lima tahapan yaitu, 1. penemuan habitat inang; 2. penemuan inang; 3. pengenalan inang; 4. penerimaan inang; dan 5. kesesuaian inang. Pada langkah permulaan ini rangsangan yang menarik bukan dari tanaman namun berupa rangsangan fisik seperti cahaya, angin dan daya tarik bumi. Selain itu penemuan inang didorong oleh indra penglihatan terhadap warna dan bentuk tanaman dan indra penciuman terhadap senyawa kimia tanaman. Penilaian kelayakan tanaman sebagai sumber nutrisi dilakukan dengan menggunakan sensor kimia. Penerimaan atau penolakan terhadap tanaman inang dilakukan setelah serangga mengetahui kandungan kimia tanaman. Nilai nutrisi tanaman dan kandungan senyawa yang bersifat toksik akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga, serta mempengaruhi keperidian dan lama hidup imago. Faktor fisik dan kimia tanaman sangat berpengaruh dalam proses pemilihan dan penentuan inang. Faktor tersebut tidak bekerja secara tunggal tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan tanaman (Kogan 1982). Interaksi Serangga dan Bakteri Peranan Bakteri dalam kehidupan inang serangga terutama pada fungsinya di dalam nutrisi inang. Bakteri endosimbion dapat menghasilkan senyawa esensial yang dibutuhkan oleh serangga seperti vitamin, asam amino dan sterol. Serangga tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis 9 asam amino dan keterbatasan ini menjadi masalah yang signifikan dalam kelompok serangga pemakan daun. Hubungan patogen terhadap tanaman menyebabkan kehilangan hasil. Patogen masuk ke jaringan floem, menyebar pada jaringan floem. Masuknya patogen ke dalam tanaman dibantu oleh serangga yang membuat luka pada tanaman sehingga membantu bakteri untuk masuk. Luka disebabkan aktivitas makan atau meletakkan telur yang merupakan agen pembawa (carrier) dari bakteri pada tubuh serangga. Pada beberapa kasus terjadi simbiosis yang menguntungkan antara keduanya dan serangga memfasilitasi asosiasi yang berlanjut antara fitopatogen, serangga dan tanaman inang (Harris & Maramorosch 1980). Beberapa isolat dari bakteri fitopatogenik Erwinia carotovora menempati bagian dalam tubuh Drosophila melanogaster (Diptera:Drosophilidae) dan mengaktifkan 10 respon imun. Ada dua gen yang diperlukan oleh E. carotovora untuk menempati bagian dalam tubuh Drosophila melanogaster. Salah satu gen ini memiliki peran regulasi sedangkan EVF memungkinkan Erwinia meningkatkan kelangsungan hidup di usus dan memicu respon imun. Ekspresi dari Erwinia virulensi faktor (EVF) memungkinkan bakteri untuk memasuki sisi apikal epitel usus dan menyebar ke rongga tubuh. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi spesifik antara patogen tanaman dan lalat Drosophila (Basset et al. 2003). III. KELIMPAHAN DAN IDENTIFIKASI SERANGGA PENGUNJUNG BUNGA TANAMAN PISANG Abstrak Penyakit darah pada pisang yang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB) masih menjadi masalah serius di Indonesia. Bakteri ini termasuk patogen sangat merusak dengan sebaran penyakit yang luas. Diduga bahwa serangga pengunjung bunga pisang berperan dalam penyebaran penyakit darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi jenis-jenis serangga pengunjung bunga pisang yang terserang penyakit darah pisang (BDB) di Kabupaten Pidi, Banda Aceh. Selanjutnya dibahas hubungan kelimpahan serangga dengan kejadian penyakit darah pisang. Penelitian diawali dengan survei pada sentra produksi pisang yang terserang penyakit darah. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring serangga (sweep net) dan perangkap lekat (sticky trap) berwarna kuning yang digantungkan dekat bunga pisang. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis-jenis serangga yang tertangkap di Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 dan Pante Cermin adalah dari ordo Diptera dan Hymenoptera. Jumlah serangga yang dominan tertangkap adalah Famili Drosophilidae, Muscidae dan Tephritidae dari Ordo Diptera. Kejadian penyakit di kelima desa contoh menunjukkan bahwa persentase kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi di Desa Simpang Betung 1 yaitu 96.90% dan persentasi terendah terjadi di Desa Pante Cermin yaitu 40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat hubungan korelasi antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian penyakit darah pisang. Data sekunder diperoleh dengan mewawancarai petani. Hasil survey menunjukkan bahwa usaha tani pisang dikelola pada lahan seluas 2-< 3 ha. Sebahagian lahan merupakan milik sendiri. Pengalaman usaha tani pisang berkisar antara 6 - 10 tahun dan seluruh petani mengetahui adanya penyakit yang menyerang tanaman pisang. Pengetahuan mengenai penyakit darah pisang sama sekali tidak ada karena petani belum pernah mendapatkan penyuluhan mengenai penyakit darah pisang dan bagaimana cara mengendalikannya. Kata kunci: survei, tanaman pisang, kejadian penyakit, BDB, Drosophilidae Abstract Blood disease of banana caused by blood disease bacterium (BDB) was still a serious problem in Indonesia. These bacteria include pathogens that are very damaging to the wide distribution of the disease in Indonesia. It was suspected that insects visiting banana flowers have a role in spreading of blood disease. The purposes of this research were to obtain the abundance and to identify the insects that are present on the banana plants infected with banana blood disease (BDB). Furthermore, studied the relationship between the abundance of insects and banana blood disease occurrence. The insects were collected during a survey on area of banana production center that attacked by blood disease of insects begins with the insect collection using sweep net and sticky trap hanging out near the banana flowers. Attacking areas were then designated as village sample. Insects were collected with sweep net and yellow sticky traps which were hanging near the banana flower. The results on insects colllcted in the Village Capah 12 Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 and Pante Cermin were from Diptera and Hymenoptera order. The insects collected during the survey was dominated by Drosophilidae, Muscidae and Tephritidae that are belong to Diptera order. Disease occurrence in those five sample villages shown that the highest percentage of banana blood disease occurrence found in Simpang Betung 1 Village that is 96.90% while the lowest one found in Pante Cermin Village that is 40.68%. The average of disease occurrence from those five villages is 80.36%. There is a correlation between the abundance of Drosophilidae insects with the occurrence of banana blood disease. Key words: survey, banana plant, disease occurence, BDB, Drosophilidae Pendahuluan Penyakit darah yang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB) menempati urutan pertama dalam daftar prioritas penyakit tanaman pisang di Indonesia (Valmayor et al. 1991) dan bersifat mematikan karena menginfeksi jaringan pembuluh secara sistemik (Eden-Green 1992). Perkembangan dan penyebaran penyakit ini tergolong sangat cepat. Penyebaran geografis penyakit ini di Indonesia sekitar 100 km per tahun (Eden-Green 1994). Cahyaniati et al. (1997) melaporkan bahwa pada bulan Mei 1993 penyakit ini telah menyebar di Kabupaten Lampung Selatan dengan luas areal yang terserang 13.18 ha dan meningkat pada bulan Juni tahun 1993 menjadi 963.38 ha. Sahlan & Nurhadi (1994), melaporkan bahwa dari tiga propinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat dan Lampung diketahui bahwa intensitas serangan BDB tertinggi terjadi di propinsi Lampung yaitu seluas lebih kurang 1 800 ha. Hal ini terjadi karena sebagian besar kebun telah terinfeksi penyakit dan umumnya varietas yang ditanam rentan terhadap penyakit tersebut. Begitu pun yang terjadi di Bondowoso, Jawa Timur kejadian penyakit mencapai 97.7% (Mulyadi & Hernusa 2002) dan di Lombok, Nusa Tenggara Barat mencapai 86.8% (Supeno 2004). Hasil pengamatan langsung oleh penulis di lapangan yaitu serangan BDB di Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh, kerusakan hampir mencapai 100% karena semua perkebunan pisang milik rakyat tidak satupun bisa dipanen (komunikasi pribadi 2011). Menurut petani setempat serangan penyakit ini dimulai pada tahun 2008 dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penyakit BDB mulai menyebar sampai pertanaman pisang yang berada di pekarangan penduduk. Kejadian penyakit darah dan penyebaran di lapangan sangat tinggi. Hal ini disebabkan belum adanya tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit ini dan tingginya potensi penularan patogen (Sequeira 1998). Beberapa peneliti melaporkan adanya indikasi yang kuat bahwa serangga berperan penting dalam penyebaran penyakit darah (Maryam et al. 1994; Soquilon et al. 1995). Serangga-serangga pengunjung bunga yang mungkin berpotensi sebagai vektor penyakit layu bakteri yaitu ordo Diptera (Chloropidae, Platypezidae, Drosophilidae) (Leiwakabessy 1999) dan Lepidoptera (Erionata thrax) (Subandiyah et al. 2006). Informasi tentang kelimpahan dan identifikasi jenis-jenis serangga pengunjung bunga pada tanaman pisang di daerah endemik BDB di Aceh belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan mengidentifikasi jenis-jenis serangga yang hadir di pembungaan tanaman pisang kemudian untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian penyakit BDB di desa contoh. 13 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Oktober - Nopember 2011. Pengambilan contoh serangga dilakukan di Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 dan Desa Pante Cermin yang berada di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh (Lampiran 1). Daerah tersebut merupakan daerah endemik penyakit darah pisang. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan Contoh Serangga Pengunjung Bunga Pisang. Penelitian diawali dengan survei pada sentra produksi pisang yang terserang penyebab penyakit darah. Berdasarkan daerah serangan ditetapkan desa contoh. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring serangga (sweep net) dan perangkap lekat kuning (yellow sticky trap). Perangkap lekat berukuran 10 cm x 20 cm terbuat dari plastik berwarna kuning. Plastik transparan berukuran 10 cm x 50 cm pada salah satu sisinya dioles tipis dengan lem tikus cap gajah yang berwarna bening, kemudian di tempelkan pada plastik warna kuning dengan sisi berperekat di bagian luar. Perangkap lekat dipasang sebanyak 4 buah per rumpun menghadap utara, selatan, timur dan barat. Setiap desa contoh dipilih 5 rumpun tanaman pisang sebagai tanaman contoh. Tanaman contoh yang dipilih yaitu tanaman pisang yang sedang berbunga. Pemasangan perangkap dilakukan selama satu minggu dengan cara digantungkan dekat bunga pisang. Pengambilan contoh dilakukan setelah satu minggu setelah pemasangan. Serangga-serangga yang tertangkap dimasukkan ke dalam botol kecil berisi alkohol 70% untuk keperluan identifikasi serangga. Serangga yang tertangkap diidentifikasi dengan mengacu pada kunci identifikasi serangga McAlpine (1981), Colless (1996) dan Naumann (1996). Penentuan Petani Responden dan Tanaman Contoh Responden terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang memiliki kebun pisang. Jumlah responden keseluruhan untuk masing-masing desa adalah 10 orang dan dari setiap petani diambil lima 5 (lima) tanaman contoh untuk dihitung kejadian penyakitnya. Data pendukung karakteristik petani dan sistem budidaya tanaman pisang dari kelima desa contoh diperoleh dengan mewawancarai petani pisang dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka (lampiran 2). Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan frekuensi jawaban petani.Data pendukung yang ditanyakan kepada petani meliputi faktor internal petani seperti pendidikan, luas lahan yang dikelola, pengalaman berusaha tani pisang dan sistem budidaya tanaman pisang Kejadian Penyakit Pengamatan kejadian penyakit dilakukan terhadap tanaman-tanaman pada kelima desa contoh. Pada setiap desa diambil 5 petani responden dan dari setiap petani responden diambil 5 rumpun pisang sehingga total rumpun pisang per desa adalah 25 rumpun. Jumlah tanaman setiap rumpun dihitung dan diperoleh jumlah tanaman contoh untuk pengamatan kejadian penyakit. Adapun Kejadian penyakit BDB dihitung pada kelima desa contoh dengan rumus: 14 KP = n x 100% N Keterangan: KP = Kejadian Penyakit (%) n = Jumlah tanaman sakit N = Jumlah tanaman contoh Hasil dan Pembahasan Penyebaran Jenis Serangga Pengunjung Bunga Pisang Serangga yang tertangkap dengan perangkap lekat di Desa Simpang Betung 1, Simpang Betung 2, Capah Paloh 1, Capah Paloh 2 dan Pante Cermin adalah ordo Diptera. Famili serangga yang dominan tertangkap adalah Famili Drosophilidae dan famili lain yang cukup banyak tertangkap adalah Famili Muscidae dan Tephritidae (Tabel 1). Banyaknya serangga yang tertangkap di kelima desa ini dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca pada saat dilakukan pemerangkapan. Cuaca mendung dan intensitas penyinaran yang rendah menyebabkan jumlah serangga yang mengunjungi bunga pisang berkurang. Martono (1995), mengatakan bahwa cuaca dan iklim merupakan suatu faktor yang ikut menentukan fluktuasi populasi serangga tanpa tergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada populasi itu sendiri. Tabel 1. Serangga pengunjung bunga pisang yang tertangkap perangkap lekat di desa contoh Jumlah (individu) per Desa Ordo Diptera Simpang Simpang Capah Capah Pante Betung 1 Betung 2 Paloh 1 Paloh 2 Cermin Drosophilidae 110 70 50 81 25 Muscidae 10 2 8 9 6 Calliphoridae 7 3 0 0 3 Micropezidae 8 0 0 0 8 Richartdicidae 5 0 0 0 0 Platypezidae 0 15 0 0 0 Cypselosomatidae 0 5 0 0 0 Tephritidae 8 7 8 6 0 Tethinidae 0 0 5 0 0 Dryomyzidae 0 0 0 5 0 Milichiidae 0 0 0 4 0 Lauxaniidae 0 0 0 3 0 Conopidae 0 0 0 0 4 Phoridae 0 0 0 0 2 Piophilidae 0 0 0 0 4 Neriidae 0 0 0 4 0 Penangkapan serangga dengan menggunakan perangkap lekat lebih efektif dibandingkan dengan jaring serangga yang ditunjukkan pada Tabel 2. Perangkap lekat 15 dipasang terus menerus selama satu minggu sehingga peluang serangga untuk tertangkap cukup tinggi. Penangkapan dengan jaring serangga hanya dilakukan pada saat pengambilan contoh saja. Penggunaan warna kuning pada perangkap lekat bertujuan untuk menarik sebanyak mungkin serangga untuk berkunjung ke bunga pisang. Hal ini sesuai dengan Maryam et al. (1997) yang melaporkan bahwa penangkapan serangga dengan perangkap lekat pada bunga pisang diperoleh lebih banyak jenis serangga daripada perangkap penghisap (suction trap). Serangga yang tertangkap dengan jaring serangga jumlahnya relatif sedikit. Jaring serangga tidak bisa menjangkau serangga yang beraktivitas di sekitar bunga pisang karena pohon pisang kepok terlalu tinggi. Jenis serangga pengunjung bunga pisang yang tertangkap selama penelitian baik dengan perangkap lekat maupun jarring serangga adala Ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropezidae, Richartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae, Dryomyzidae, Milichiidae, Lauxaniidae, Conopidae, Phoridae, Piophilidae) dan Ordo Hymenoptera (Apidae, Vespidae). Tabel 2. Serangga yang tertangkap jaring serangga di desa contoh Jumlah (individu) Ordo Simpang Simpang Capah Capah Hymenoptera Betung 1 Betung 2 Paloh 1 Paloh 2 Apidae 2 0 0 0 Vespidae 0 3 0 0 Pante Cermin 0 0 Kelimpahan dan keanekaragaman serangga pengunjung bunga di kelima desa di dominasi oleh serangga Drosophilidae. Drosophilidae ditemukan dalam jumlah yang tinggi terutama pada desa Simpang Betung 1, Simpang Betung 2, Capah Paloh 1 dan Capah Paloh 2 karena pada keempat desa tersebut merupakan sentra perkebunan pisang yang tingkat serangan paling tinggi dan sanitasi serta kebersihan lahan tidak diperhatikan. Banyak tanaman pisang yang terkena penyakit ditebang dan dibiarkan di dalam kebun, buah-buah pisang yang sudah membusuk dibiarkan berserakan. Kelimpahan serangga Drosophilidae jumlahnya 3 kali lebih banyak ditemukan pada bunga jantan terinfeksi terutama pada keempat desa dari lima desa contoh yang serangannya paling terparah dibandingkan dengan desa Pante Cermin dengan tingkat serangan penyakit BDB masih rendah. Dikatakan rendah karena pisang kepok yang dipanen masih bisa dikonsumsi dan dijual oleh penduduk setempat. Tingginya populasi Drosophilidae yang ditemukan pada bunga tanaman sakit diduga karena adanya aroma yang dikeluarkan oleh bunga dari tanaman yang mulai membusuk. Menurut Markow & Grady (2006), Genus Drosophila selama ini dikenal sebagai fruit flies yang karakteristik dijumpai pada buah lewat matang atau buah yang membusuk. Drosophila mengambil makanannya dari bunga yang membusuk dan mungkin menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak untuk mendukung pertumbuhan larvanya (Kahono et al. 2010). Jumlah serangga yang dominan selain famili Drosophilidae adalah Muscidae dan Tephritidae. Menurut Borror et al. (1981), Tephritidae dapat menyerang berbagai buah dan berperan sebagai hama yang cukup penting. Beberapa Muscidae penting sebagai hama dan ada yang bertindak sebagai vector penyakit. 16 Kelimpahan Serangga Pengunjung Bunga Pisang Serangga yang tertangkap tidak semua ditemukan pada setiap desa contoh (Tabel 1 dan Tabel 2) hanya serangga Drosophilidae dan Muscidae saja yang ditemukan di setiap desa contoh. Kelimpahan serangga hanya dianalisa terhadap serangga Drosophilidae yang ditemukan pada kelima desa contoh tersebut (Tabel 3). Kelimpahan serangga Drosophilidae tertinggi ditemukan pada Desa Simpang Betung 1 yaitu sebanyak 110 ekor dan kelimpahan terendah ditemukan pada Desa Pante Cermin yaitu sebanyak 25 ekor dengan rataan dari kelima desa contoh adalah 67.2 ekor. Drosophilidae ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak. Banyaknya Drosophilidae disebabkan pada tempat ini juga ditemukan tanaman buah-buahan seperti pepaya, rambutan dan buah-buahan lainnya yang banyak ditemukan sebagai media utamanya. Kelimpahan serangga tersebut jumlahnya 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan desa Pante Cermin. Tingginya populasi Drosophilidae pada bunga tanaman sakit diduga karena serangga tertarik pada bau yang dikeluarkan oleh jaringan bunga atau buah yang membusuk. Tabel 3. Kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang Kelimpahan serangga Tanaman Jumlah (individu) Desa sakit tanamDrosoMusci(n) an (N) philidae dae 8 Capah Paloh 1 50 94 116 9 Capah Paloh 2 81 123 129 10 Simpang Betung 1 110 125 129 2 Simpang Betung 2 70 94 107 6 Pante Cermin 25 48 118 Kejadian penyakit (%) 81.03 95.35 96.90 87.85 40.68 Hubungan antara Kelimpahan Serangga Drosophilidae dan Kejadian Penyakit Persentasi kejadian penyakit darah pisang pada kelima desa contoh, tertinggi terjadi pada desa Simpang Betung 1 yaitu 96.90% dan terendah terjadi pada Desa Pante Cermin yaitu 40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Hubungan antara kelimpahan serangga Muscidae dan kejadian penyakit dapat dilihat pada Gambar 3. Dari hasil analisis regresi seperti tertera pada gambar 3, diperoleh nilai regresi (r) adalah 0.879. Dengan menggunakan Tabel nilai korelasi, dengan jumlah pasangan (n) = 5 dan tingkat kepercayaan 95%, maka nilai kritis korelasi adalah 0.878. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelimpahan serangga dengan tingkat kejadian penyakit semakin tinggi kelimpahan serangga maka semakin tinggi pula persentasi kejadian penyakit, dan sebaliknya. Hal ini sama dengan yang ditemukan Shimelash et al. (2008) pada bunga pisang kultivar Kayinja (pisang Awak) yang terserang Banana Xanthomonas Wilt (BXW) yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis pv. musacearum di distrik Mukono, Luwero dan Mpigi, Uganda menemukan serangga pengunjung bunga dalam jumlah yang banyak dari famili Apidae Plebeina denoiti (Vachal) stingless bee, lalat buah (Drosophilidae) dan grass flies (Chloropidae). Ketiga jenis serangga tersebut jumlahnya 4 kali lebih banyak pada bunga jantan tanaman yang terserang penyakit. 17 120.00 y = 0.632x + 37.84 r = 0.879 Kejadian penyakit (%) 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0 20 40 60 80 100 120 Kelimpahan serangga Drosophilidae (individu) Gambar 3. Korelasi kelimpahan serangga Drosophilidae dan kejadian penyakit Karakteristik Petani dan Sistem Budidaya Pisang Responden petani pisang umumnya berusia antara 31-50 tahun (>80%) dan diatas 51 tahun (20%) (Tabel 4). Dilihat dari segi umur, petani responden di kelima desa contoh umumnya tergolong dalam batasan umur produktif. Umur mempengaruhi kualitas kerja petani dalam melaksanakan kegiatan usahataninya, karena terdapat variasi kapasitas kerja dan kemampuan dalam mengembangkan potensi dirinya untuk menerima pengetahuan dan inovasi baru guna meningkatkan usaha budidaya pisang. Lokasi Capah Paloh 1 Capah Paloh 2 Simpang Betung 1 Simpang Betung 2 Pante Cermin Tabel 4. Umur responden Umur (tahun) 31-40 41-50 40 60 30 50 70 10 50 30 40 30 51-60 0 20 20 20 30 Dari segi pendidikan, umumnya petani responden untuk ke lima desa contoh adalah lulusan SLTA sebanyak 54%, lulusan SLTP (28%) sedangkan lulusan SD sebanyak 18% (Tabel 5). Tingkat pendidikan petani pisang di lokasi penelitian sudah cukup baik karena 50 % dari keseluruhan petani responden adalah lulusan SLTA. Pendidikan sangat berpengaruh dalam cara berpikir untuk memajukan usaha tani. Menurut Palebangan et al. (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Jadi berdasarkan pendidikan dan umur petani pisang di lima desa contoh cukup potensial untuk ditingkatkan kompetensi budidaya pisang dan pengetahuan budidaya pertanian 18 Tabel 5. Latar belakang pendidikan responden Persentasi petani (%) berdasarkan pendidikan Desa SD SLTP SLTA PT Capah Paloh 1 20 30 50 0 Capah Paloh 2 10 40 50 0 Simpang Betung 1 30 20 50 0 Simpang Betung 2 30 30 40 0 Pante Cermin 0 20 80 0 Petani pisang responden tidak menggantungkan penghasilannya pada usaha tani pisang saja, tetapi memiliki usaha lain. Hasil wawancara selain mengelola usaha tani pisang, petani responden memiliki pekerjaan lain seperti pegawai negeri sipil (20%), pedagang (14%) dan usaha lainnya (16%) (Tabel 6). Hal ini sangat berkaitan dengan luas lahan yang dimiliki dimana semakin kecil luas lahan maka pendapatan yang diterima juga kecil maka membutuhkan peluang untuk mencari usaha lain guna menambah pendapatannya, dengan demikian petani responden tidak menggantungkan penghasilan sepenuhnya pada berusaha tani pisang. Petani responden di kelima desa contoh sudah cukup berpengalaman dalam budidaya tanaman pisang karena tidak ada yang berpengalaman kurang dari 6 tahun. 74% berpengalaman dalam usaha tani pisang sekitar 6-10 tahun dan 26% berpengalaman lebih dari 10 tahun (Tabel 7). Pengalaman berusaha tani kurang lebih 10 tahun menunjukkan petani responden sudah memiliki kemampuan dan Tabel 6. Pekerjaan petani responden selain usaha tani pisang Desa Capah Paloh 1 Capah Paloh 2 Simpang Betung 1 Simpang Betung 2 Pante Cermin Persentase petani (%) berdasarkan pekerjaan Petani PNS Pedagang Lain-lain 20 10 20 50 10 20 20 50 10 10 20 60 20 20 10 50 40 10 10 40 ketrampilan yang cukup. Dengan demikian petani responden memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi selama menjalankan usaha taninya dan menerima ide-ide baru dalam usaha pengembangan usaha taninya ke depan. Tabel 7. Pengalaman petani responden dalam berusaha tani pisang Persentase petani (%) berdasar pengalaman Usaha Tani Pisang Desa 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun Capah Paloh 1 0 60 40 Capah Paloh 2 0 70 30 Simpang Betung 1 0 80 20 Simpang Betung 2 0 90 10 Pante Cermin 0 70 30 19 Luas lahan yang diusahakan oleh petani responden masih tergolong dalam skala rakyat, dilihat dari luas lahan maka belum digolongkan dalam usaha perkebunan. Besar kecilnya lahan berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan yang diterima dari usaha taninya. Semakin kecil lahan maka semakin besar ketergantungan untuk memiliki usaha lain untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini terlihat pada Tabel 8, luas lahan yang dimiliki 46% sebesar 2 sampai kurang dari 3 ha dan 35% sebesar 1-<2 ha. Tabel 8. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman pisang Persentase petani (%) berdasar luas lahan (Ha) yang diusahakan Desa <1 1 - <2 2 - <3 Capah Paloh 1 0 40 40 Capah Paloh 2 0 40 60 Simpang Betung 1 20 20 40 Simpang Betung 2 20 20 60 Pante Cermin 20 60 20 3 20 0 20 0 0 Sistem Budidaya Pisang Tanaman pisang yang ditanam secara monokultur yaitu jenis pisang atau varietas kepok sebesar 75% dengan jarak tanam yang teratur, 25% penanaman secara polikultur (Tabel 9). Sebagian memiliki tanaman pinggiran yaitu tanaman pinang, papaya, cabe dan rambutan. Pemupukan dilakukan pada awal penanaman karena berkaitan dengan program bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah yang diperoleh petani antara lain berupa bibit pisang dan pupuk. Desa Capah Paloh 1 Capah Paloh 2 Simpang Betung 1 Simpang Betung 2 Pante Cermin Tabel 9. Sistem budidaya pisang Persentase petani (%) berdasar cara penanaman Pola tanam Jarak tanam Pemupukan MonoPoliTidak Tidak Teratur Dipupuk kultur kultur teratur dipupuk 100 0 85 15 100 0 100 0 85 15 100 0 75 25 100 0 100 0 100 0 80 20 100 0 100 0 50 50 100 0 Petani responden dalam praktek usaha taninya khususnya pada awal pengolahan lahan, 75% petani mengendalikan gulma dengan menggunakan herbisida, 25 % tidak menggunakan herbisida. Pengendalian hama dan patogen dilakukan dengan cara eradikasi yaitu penebangan tanaman yang terkena penyakit (Tabel 10). Tanaman pisang yang ditebang tidak langsung dimusnahkan, tandan pisang dipotong dan dibiarkan membusuk. Kondisi seperti ini membiarkan sumber inokulum tetap ada dan memudahkan penyebarannya apalagi di dukung oleh kondisi iklim setempat, curah 20 hujan tinggi. Sistim budidaya, sanitasi kebun yang buruk dan dukungan iklim menyebabkan tingkat kejadian penyakit yang tinggi. Tabel 10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%) Persen petani (%) Persen petani (%) berdasarkan berdasarkan pengendalian hama dan pengendalian gulma penyakit Desa Tidak Tidak DikendaDikendaDikendaDikendalikan likan likan likan Capah Paloh 1 80 20 25 75 Capah Paloh 2 75 25 35 65 Simpang Betung 1 70 30 20 80 Simpang Betung 2 75 25 30 70 Pante Cermin 0 100 0 100 Sistem Panen dan Pemasaran Pisang Sistem pemasaran yang dilakukan adalah menjual langsung ke pasar, melalui pedagang pengumpul atau kelompok tani dan lewat tengkulak/ijon. Yang dimaksud tengkulak adalah pedagang perantara yang membeli pisang hasil produksi dari petani dengan mencari sendiri produk yang dihasilkan oleh petani kemudian dikumpulkan dan selanjutnya dijual (Tabel 11). Panen dilakukan sendiri oleh petani dengan memperhatikan syarat-syarat pemanenan, antara lain panen dilakukan setelah buah tua atau bahkan sudah ada yang masak di pohon. Waktu panen buah pisang dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan menghitung jumlah hari dari bunga mekar sampai siap dipanen atau dengan melihat bentuk buah. Buah yang tua biasanya sudut buah tumpul dan membulat, daun bendera mulai mengering, bekas putik bunga mudah patah. Tabel 11. Sistem pemasaran pisang yang dilakukan petani responden Persen petani (%) berdasarkan cara pemasaran Melalui pedagang Desa Langsung pengumpul atau kelompok Ijon dijual tani Capah Paloh 1 80 10 10 Capah Paloh 2 95 5 0 Simpang Betung 1 85 10 5 Simpang Betung 2 90 10 5 Pante Cermin 100 0 0 Pengetahuan petani tentang penyakit darah pisang Petani responden sama sekali tidak mengetahui tentang penyakit darah pisang pada awal penanaman. Hal ini baru diketahui setelah tanaman pisang di lahannya menunjukkan gejala akibat serangan penyakit darah pisang. Penanganan untuk menekan serangan penyakit darah sudah terlambat karena dari awal penanaman tidak ada penyuluhan mengenai penyakit yang menyerang pisang dan penanganannya. Akibat 21 serangan penyakit darah , petani di desa contoh kehilangan hasil dan pendapatannya. Padahal kalau dilihat dari umur petani yang berkisar 31-50 menunjukkan umur yang masih produktif dan mempunyai kemampuan untuk bisa bekerja dengan lebih keras terutama dalam pengelolaan usaha tani pisangnya. Pendidikan petani responden SLTP dan SLTA lebih memungkinkan petani untuk bisa menerima teknologi atau inovasi terbaru untuk bisa digunakan dalam memajukan dan mengembangkan usaha taninya sehingga upaya menekan serangan penyakit darah dapat lebih baik dilakukan. Kesimpulan Jenis serangga pengunjung bunga pisang pada kelima desa contoh yang tertangkap yaitu ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropetidae, Rhicartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae, Dryomicidae, Milichiidae, Lauxaniidae) dan ordo Hymenoptera (Apidae dan Vespidae). Drosophilidae merupakan serangga yang dominan diantara serangga-serangga yang tertangkap. Famili serangga dari ordo Diptera yang tertangkap adalah famili Drosophilidae, Muscidae, Tephritidae. Kejadian penyakit di kelima desa contoh menunjukkan bahwa persentase kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi pada desa Simpang Betung 1 yaitu 96.90% dan persentasi terendah terjadi pada Desa Pante Cermin yaitu 40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat hubungan korelasi antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian penyakit darah pisang. Petani pisang sebagian besar berumur antara 31-50 tahun dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Petani responden memiliki pekerjaan lain dan tidak menggantungkan sepenuhnya pendapatannya dari usaha tani pisang. Umumnya responden memiliki lahan sendiri dengan luasan <1 sampai ≤3 ha. Tanaman pisang merupakan usaha tani milik sendiri dengan sistem budidaya dimana pisang sebagian besar ditanam secara monokultur dengan jarak tanam yang teratur. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan yaitu pemupukan pada awal penanaman, penyiangan gulma jarang dilakukan tetapi pengendalian gulma lebih sering dengan menggunakan herbisida. Daftar Pustaka Borror DJ, White RE 1970. A Field Guide to The Insects of America North of Mexico, Houghton Mifflin Company Boston Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia, Tech Bull Jakarta: Directorate of Plant Protection. Directorate General of Food Crops and Horticulture. In: Supriadi (2005). Present Status of Blood Disease in Indonesia. In Allen C, Prior P dan Hayward AC (eds). Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species complex. APS Press: St. Paul,449 -461. Colless DH, McAlpine DK. 1996. Diptera. Di dalam Commonwealth Sientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) (Division of Entomology). The Insects of Australia. A text book for students and workers vol 2. Melbourne [AU]. Melbourne University Press. hlm 717-786. Eden-Green SJ. 1992. Diversity of Pseudomonas solanacearum and related bacteria in South East Asia. Di dalam Hartman GL and Hayward AC (editor). Bacterial Wilt. 22 Proceeding of an International Conference held at Kaoshiung, Taiwan, 28-31 Oktober1992. ACIAR Publication No.45. Eden-Green SJ. 1994. Diversity of P. solanacearum and related bacteria in South East Asia : New Direction for Moko Disease Di dalam Hayward AC & Hartman GL (Editor). 1994. Bacterial Wilt : The Disease and its Causative Agent, P. solanacearum, CAB International, pp 25-33. Kahono S, Mursidawati S, Erniwati. 2010. Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma blume (Rafflesiceae) Di luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Provinsi Jawa barat Indonesia. Leiwakabessy C. 1999. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit layu bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada pisang di Lampung [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Markow TA, Grady O. 2006. Drosophila: A guide to species identification and use. London [UK],Elsevier Inc. Martono E. 1995. Pengembangan pemantauan biometeorology dalam program pengendalian hama terpadu (PHT). Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian IV, Yogyakarta [ID] 26-28 Januari 1995. Maryam Abn., Tata Rasta O, Handayani W dan Sihombing D 1994. Beberapa jenis serangga pengunjung bunga pisang yang diduga sebagai penular penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanaceurum E.F. Smith) Disampaikan dalam Prosiding Rapat Kerja Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura, Solok 1719 Nopember 1994. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hotikultura. Maryam Abn., Tata Rasta O, Handayani W dan Sihombing D 1997. Akuisisi dan persistensi bakteri layu pada tanaman pisang oleh serangga. Prosiding Seminar Nasional PEI. McAlpin JF. 1981. Key to families-adults. Di dalam McAlpine JF, Peterson BV, Shewell GE, Teskey HJ, Vockeroth JR and Wood DM (Coor). Manual of Nearctic Diptera vol. 1. Can Govern Pub Cent. P 89-124. Mulyadi, Hernusa T. 2002. Intensitas penyakit darah pada tanaman pisang yang disebabkan bakteri Pseudomonas solanacearum di Kabupaten Bondowoso. Prosiding Kongres XVI dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor: Dept. Proteksi Tanaman, IPB dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 304-305. Naumann ID. 1996. Hymenoptera. Dalam Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) (Division of Entomology). The Insects of Australia. A text book for students and workers vol 2. Melbourne (AU). Melbourne University Press. Hlm 916-1000 Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin, 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan system pertanian organik. J Agrisistem 12(1): 46-53 Sahlan, Nurhadi 1994. Inventarisasi Penyakit pisang di Sentra Produksi Pisang Sumatera Barat, Jawa Barat dan Lampung, Penelitian Hortikultura Vol.6 No.3. Jakarta. Hlm 36-39. Sequeira L. 1998. Bacterial wilt: the missing element in international banana improvement programs. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone JE, editor. Bacterial Wilt Disease, Molecular and Ecological Aspect. Gosier, 22-27 Jun 1997. Berlin: INRA, hlm 6-14. 23 Shimelash DT, Alemu T, Addis FL, Turyagyenda, Blomme G. 2008. Banana Xanthomonas wild in Ethiopia: Occurrence and insect vector transmission. Afr Crop Sci J (Special issue: Research advances in Banana and enset in Eastern Africa) 16(1): 75-87. Subandiyah S, Indarti S, Harjaka T, Utami SNH, Sumardiyono C, Mulyadi. 2005. Bacterial wilt disease complex of banana Indonesia. In Allen C, Prior P, Hayward AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A. Supeno B. 2002. Isolasi dan karakterisasi penyakit darah pisang di Lombok. Prosiding Kongres XVI dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor: Dept. Proteksi Tanaman IPB dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 31-37. Soquilon CE, Magnaye LV 1995. Bugtok disease of banana. Musa Disease Fact, Sheet No. 6. INIBAP, Montpellier. IV. IDENTIFIKASI DAN DETEKSI BLOOD DISEASE BACTERIUM YANG DIISOLASI DARI TUBUH SERANGGA Abstrak Patogen penyebab suatu penyakit perlu dideteksi dan diidentifikasi berdasarkan morfologinya. Identifikasi dilakukan agar dapat dibedakan dengan patogen penyebab penyakit lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mendeteksi BDB yang berasal dari bagian-bagian tubuh serangga. Penelitian dilaksanakan dari bulan Nopember 2011 sampai Oktober 2012 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi dan deteksi BDB dilakukan melalui isolasi BDB dari bagian luar dan bagian dalam tubuh serangga. Setelah itu, isolat diidentifikasi guna membuktikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh serangga benar-benar adalah BDB melalui tahapan uji reaksi gram, uji hipersensitif dan uji patogenisitas. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, dilakukan deteksi BDB secara molekuler melalui uji PCR. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa BDB berhasil diidentifikasi dan dideteksi dari isolat yang dibuat dari bagian-bagian tubuh serangga. Kata kunci: isolat, BDB, Drosophilidae, PCR Abstract The purpose of this study is to identify and detect BDB derived from insect body parts. The study was conducted from November 2011 to October 2012 in Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection,Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Identification and detection of BDB were done through isolation from the outside and the inside of insect’s body parts. After that, the isolates were identified to prove that the bacteria isolated from the insect's body are really BDB through stages: gram reaction test, test hypersensitivity and pathogenicity test. To get more accurate results, BDB performed molecular detection through PCR test. Research results indicate that the BDB has been identified and detected from isolates made from the body parts of insects. Key words: isolates, BDB, Drosophilidae, PCR Pendahuluan Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan salah satu penyakit penting di Indonesia (Supriadi 2005). Penyakit ini disebabkan oleh blood disease bacterium yang sebelumnya dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum atau Ralstonia solanacearum (EF.Smith)Yabuuchi et al. Ras 2 yang menyebabkan penyakit layu bakteri, tetapi karena adanya perbedaan kultur dan reaksi biokimia antara BDB dan Ralstonia solanacearum maka nama BDB lebih tepat digunakan sebagai penyebab penyakit pada tanaman pisang yang menunjukkan gejala penyakit darah (CPC 2005). BDB masuk dalam kompleks spesies R. solanacearum anggota divisi 2, phylotipe IV dan sequevar 10 (Fegan & Prior 2005). BDB menempati urutan pertama dalam daftar prioritas penyakit tanaman pisang di Indonesia (Valmayor et al. 1991) dan bersifat 25 mematikan dengan menginfeksi jaringan pembuluh sistemik (Eden-Green 1992). Infeksi BDB pada pertanaman pisang dapat menyebabkan kematian pada tanaman pisang atau menghasilkan buah yang tidak dapat dikonsumsi. Serangga sebagai salah satu faktor yang mendukung penyebaran patogen penyebab penyakit darah berhasil diperangkap kemudian diisolasi untuk mengidentifikasi BDB yang berasal dari bagian tubuh serangga. Selain diidentifikasi isolat asal serangga, isolat yang berasal dari buah pisang juga diisolasi. Hal ini dilakukan untuk dijadikan kontrol dalam identifikasi dan deteksi BDB secara molekuler. Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan dari bulan Nopember 2011 sampai Oktober 2012 di Laboratorium Bakteri Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Setiap jenis serangga yang tertangkap dipisahkan segera setelah dari lapang dengan cara dimasukkan ke dalam botol kecil berisi air steril. Pemisahan ini bertujuan untuk memudahkan dalam mengisolasi bakteri penyebab penyakit darah pisang dari tubuh serangga. Kemudian contoh-contoh serangga ini dimasukkan ke dalam kotak es (ice box) dan di bawa ke laboratorium untuk dilakukan identifikasi bakteri penyebab penyakit darah pisang. Isolasi untuk melihat keberadaan bakteri penyebab penyakit darah pisang (BDB) di tubuh serangga dilakukan pada tiap jenis serangga yang tertangkap dengan menggunakan metode modifikasi isolasi penyakit darah menurut Cahyaniati et al. (1997). Isolasi Bakteri Penyebab Penyakit Darah (BDB) dari Bagian Luar (permukaan) Tubuh serangga Air pencucian tubuh serangga diambil sebanyak 100 µl dan ditambahkan dengan air steril sebanyak 900 µl selanjutnya dilakukan pengenceran sebanyak lima tingkatan (10¹, 10², 10³, 104, 105) konsentrasi yang dipilih yaitu 101, 103 dan 105. Larutan ini kemudian diteteskan pada media TZC, dengan bantuan glass beat didapatkan bakteri yang tumbuh secara teratur pada media tryphenyl tetrazolium chlorida (TZC ). Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 28 ºC, koloni bakteri yang sudah murni ini dipindahkan ke media SPA selama 1-2 hari pada suhu 28 ºC dan disimpan di dalam air steril. Isolasi Bakteri Penyebab Penyakit Darah (BDB) dari Bagian Dalam Tubuh Serangga Jaringan tubuh serangga yang disimpan di dalam botol kecil didesinfeksi dengan larutan natrium hipoklorit sebanyak 3-4 kali selama 5 menit kemudian dibilas sebanyak 3-4 kali dengan air steril untuk menghilangkan sisa-sisa natrium hipoklorit. Jaringan ini digerus sampai hancur dan ditambahkan air steril sebanyak 10 ml, kemudian diencerkan secara bertingkat sebanyak 5 kali selanjutnya suspensi bakteri digoreskan pada media TZC yang telah disiapkan. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 28 ºC, koloni bakteri yang sudah murni ini dipindahkan ke media SPA (sukrosa peptone agar) selama 1-2 hari pada suhu 28 ºC dan disimpan dalam air steril. 26 Identifikasi BDB Identifikasi dilakukan untuk membuktikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh serangga benar-benar adalah BDB. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi dari isolat BDB asal serangga adalah sebagai berikut: koloninya kecil-kecil (2-3 mm), non fluidal, viscid dan tumbuh lambat. Gram negatif, pigmen fluoresens negatif, hidrolisis arginin negatif, reaksi hipersensitif positif, produksi bakteriofag negatif dan patogenisitas positif. Isolatisolat ini ditumbuhkan pada media TZC kemudian dilanjutkan dengan pemurnian isolat pada media SPA (Lampiran 2). Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk memastikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh serangga benar-benar adalah BDB. Identifikasi terhadap bakteri BDB dilakukan dengan menggunakan 3 tahapan yaitu : Uji Reaksi Gram Pengujian ini merupakan tahapan awal dalam mengidentifikasi suatu spesies bakteri yang belum diketahui. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan larutan KOH 3% dan jika di dalam pengujian ini ada reaksi (lengket) maka digolongkan dalam reaksi gram negatif. Sebaliknya jika tidak ada reaksi, maka bakteri tersebut bersifat gram positif . Koloni bakteri BDB termasuk dalam golongan gram negatif. KOH 3% diteteskan sebanyak 1-2 tetes di atas kaca objek, dengan menggunakan loop, koloni bakteri diambil dan dicampur dengan KOH. Setelah 5-10 detik, campuran diangkatangkat dengan menggunakan loop. Bakteri bereaksi positif (gram negatif) ditandai dengan terbentuknya lendir dan pada loop yang diangkat-angkat tersebut diikuti seperti benang, sebaliknya bakteri bereaksi negatif (gram positif) ditandai dengan tidak terbentuknya lendir dan pada loop yang diangkat-angkat tersebut tidak diikuti seperti benang (Schaad et al 2001). Uji Reaksi Hipersensitif Uji reaksi hipersensitif dilakukan untuk menentukan apakah isolat yang berhasil diisolasi tergolong patogen atau non patogen. Sebagian besar bakteri patogen akan menimbulkan reaksi hipersensitif bila diinokulasikan pada tanaman bukan inang, sedangkan bakteri non patogen tidak akan menimbulkan reaksi hipersensitif. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Lelliott & Stead (1987). Isolat BDB dibiakkan dalam media SPA selama 3 hari kemudian biakkan disuspensikan dengan air steril hingga diperoleh kerapatan populasi 108 (OD600 = 0.1). Suspensi bakteri diinjeksikan ke daun tembakau melalui tulang daun sekunder. Isolat yang bersifat patogen akan menunjukkan gejala putih transparan, kematian jaringan daun (collapse) disekitar tempat injeksi dalam kurun waktu 24-48 jam setelah injeksi dan akhirnya jaringan daun mengering. Uji Patogenisitas Uji ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat BDB menimbulkan gejala penyakit pada inangnya. Pada metode ini digunakan metode inokulasi injeksi, patogen secara langsung diinjeksikan ke dalam jaringan bonggol tanaman pisang sehingga tidak melalui tahapan proses infeksi alami, sedangkan ada juga metode inokulasi pelukaan akar, suspensi patogen disiramkan di sekeliling perakaran tanaman sehingga patogen masih berada di luar permukaan tanaman dan harus melalui semua tahapan proses infeksi agar dapat menimbulkan gejala penyakit (Goodman et al. 1986). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui virulensi dari isolat BDB yang berasal dari serangga. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan varietas pisang Cavendish yang berumur 27 4 minggu berasal dari kultur jaringan (Lampiran 4). Pengamatan dilakukan setiap hari mulai dari tanaman diinokulasikan sampai muncul kelayuan. Untuk mengamati gejala kelayuan ini dilakukan dengan menggunakan skala perkembangan penyakit layu bakteri menurut Winstead & Kelman (1952) seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Skor 0 1 2 3 4 5 Tabel 12. Skoring penilaian gejala kelayuan Deskripsi Tidak ada gejala kelayuan 1 daun layu 2 – 3 daun layu Semua daun layu, kecuali 2 atau 3 daun pucuk Semua daun layu Tanaman mati Penentuan virulensi dari setiap isolat BDB asal serangga dilakukan menggunakan skala virulensi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Skala virulensi Skor 0 1–2 3–4 5 Deskripsi Avirulen Virulensi rendah (*) Virulensi sedang (**) Virulensi tinggi (***) Ekstraksi DNA dan Deteksi BDB secara Molekuler Isolasi DNA bakteri BDB dilakukan dengan menggunakan Kit ekstraksi (Geneaid) sesuai dengan petunjuk pada manualnya. Selanjutnya amplifikasi 13 contoh DNA asal serangga, menggunakan primer Ralstonia solanacearum 759F dan 760R (Opina et al. 1997). PCR menggunakan bahan: dream tag master mix (Fermentas) 10 µl, masing-masing primer 1 µl, dna 1 µl, ddH2O 7 µl. Program PCR: denaturasi awal 95 °C selama 2 menit, diikuti dengan denaturasi 94 °C selama 30 detik, annealing (penempelan primer) pada suhu 55 °C selama 30 detik, ekstensi 72 °C selama 30 detik (ketiga proses ini diulang selama 30 kali) dan diakhiri dengan final ekstensi 72 °C selama 5 menit. Hasil PCR dielektroforesis menggunakan 1% gel agarose (0.3 g dalam 30 ml TAE buffer 0.5x) dan pewarnaan dengan EtBr 1 µl. Kemudian hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator UV dan didokumentasikan dengan kamera digital. Hasil Dan Pembahasan Isolasi Blood Disease Bacterium (BDB) dari Bagian-bagian Tubuh Serangga Hasil isolasi BDB dari bagian-bagian tubuh serangga hasil penangkapan diperoleh koloni bakteri dengan ciri-ciri : tumbuh lambat (4-5 hari), berbentuk bulat, berukuran kecil (diameter <1 mm), berwarna putih dan bagian tengah berwarna merah muda dan agak lengket pada media bersifat gram negatif berdasarkan uji reaksi KOH (Gambar 4 dan Gambar 5). Karakter isolat BDB yang disebutkan ini sesuai dengan yang dilaporkan 28 oleh Eden –Green & Sastraatmadja (1990) dan Supriadi (1999) bahwa koloni BDB tumbuh lambat, berbentuk bulat dengan ukuran kecil-kecil (0,5 – 3 mm), non motil, dan agak lengket (viscid). A B Gambar 4 Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari bagian tubuh serangga, (A) pada media TZC dan (B) pada media SPA. Gambar 5 Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari buah pisang pada media TZC A B Isolat-isolat BDB asal serangga ini sebelum diuji patogenisitas, dilakukan pengujian reaksi hipersensitif untuk mendeteksi dengan cepat suatu bakteri sebagai patogen pada tumbuhan. Dalam pengujian ini digunakan tanaman indikator tembakau yang berumur 2 bulan. Jumlah konsentrasi inokulum bakteri yang disuntikkan ke tanaman sebanyak 0.2 ml. Sedangkan jumlah populasi awal sel bakteri yang diinokulasikan ke tanaman uji adalah 108 CFU/ml. Pengamatan gejala dilakukan setelah 48 jam yang ditandai dengan munculnya gejala hipersensitif pada daun tembakau berupa gejala nekrotik (Gambar 6). Gejala awal berupa terkulainya daun (flaccid) mulai hari ke 7 setelah suspensi BDB diinjeksikan pada bonggol tanaman pisang, daun menjadi layu, menguning dan nekrosis (Gambar 7) setelah itu tanaman mati pada 21- 28 hari setelah inokulasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rustam (2005) bahwa perkembangan gejala BDB diawali dengan mengerut atau melemahnya daun tanaman pisang yang terjadi mulai hari ke-6 dengan metode inokulasi penginjeksi suspense BDB pada bonggol dan hari ke-9 dengan metode inokulasi pelukaan akar dan penyiraman suspensi BDB. 29 A B Gambar 6 Uji Hipersensitif pada daun tembakau, (A) sesaat setelah (B) setelah 48 jam muncul gejala nekrotik disuntik, A B C Gambar 7 Perkembangan gejala penyakit darah pada pisang Cavendish, (A) tanaman pisang sehat (sebelum diinjeksi), (B) daun tanaman pisang yang mulai melemah, (C) daun tanaman pisang yang mulai layu Serangga-serangga yang Berpotensi dalam Penyebaran Penyakit Darah Pisang Berdasarkan beberapa pengujian terhadap isolat BDB yang diperoleh dari permukaan tubuh serangga dan isolat dari bagian dalam tubuh serangga ada beberapa serangga berpotensi dalam penyebaran penyakit darah pisang, yang disajikan pada Tabel 3. Isolat BDB asal serangga yang diuji reaksi hipersensitif sebanyak 38 isolat, 25 isolat memperlihatkan reaksi positif sedangkan 13 isolat menunjukkan reaksi negatif (non patogenik). Hasil pengujian patogenisitas menunjukkan bahwa tanaman pisang yang diinokulasikan dengan bakteri BDB memperlihatkan gejala kelayuan rata-rata pada umur 14 hari setelah diinokulasi dengan skoring penyakit tertinggi adalah 5. Diantara isolat-isolat yang memiliki virulensi tertinggi ada 13 isolat yang terdiri dari 3 isolat yang berasal dari dalam tubuh serangga dan 9 isolat yang berasal dari permukaan tubuh serangga. Sedangkan isolat-isolat yang memiliki virulensi sedang ada 5 isolat dan virulensi rendah ada 7 isolat. Jenis-jenis serangga yang berpotensi sebagai vektor adalah dari ordo Diptera khususnya famili Drosophilidae, Tephritidae, dan Muscidae. Dikatakan berpotensi karena adanya bakteri BDB yang ditemukan di dalam tubuh pada ketiga ordo tersebut. Sedangkan serangga dari ordo lainnya bakteri BDB ditemukan pada bagian luar tubuh serangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Maryam et al. (199e), yang mengatakan bahwa ordo Diptera (famili Drosophillidae) berpotensi sebagai vektor penyakit layu bakteri pada pisang yang ditelitinya yaitu kepok dan ambon jepang. 30 Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada diantaranya bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menunjukkan gejala kelayuan. Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7 sampai 14 hari untuk virulensi tinggi, 21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Siege (1993) bahwa strain-strain Ralstonia solanacearum yang virulensinya tinggi dapat menimbulkan gejala kelayuan yang cepat sebagai akibat dari peningkatan aktivitas enzim yang berupa polisakarida ekstraseluler. Gejala awal dari tanaman pisang muda yang terserang penyakit darah adalah apabila bagian tepi daun berubah warna menjadi kekuningan dan daun-daun ini akan menggulung. Setelah itu bagian pelepah daun pisang menjadi keriput, selanjutnya pada beberapa daun muda terjadi nekrotik dan akhirnya layu. Berdasarkan hasil pengujian patogenisitas, ternyata isolat-isolat BDB asal serangga yang terjaring mampu menimbulkan gejala layu pada varietas uji. Berdasarkan hal diatas maka diketahui beberapa jenis serangga berpotensi dalam penyebaran penyakit darah pada tanaman pisang. Informasi ini sangat penting mengingat serangga yang telah membawa patogen (bagian luar tubuh dan di dalam tubuh serangga) dapat mendukung proses perkembangan dan perluasan kejadian penyakit (Tabel 14). Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada diantaranya bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menimbulkan gejala kelayuan. Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7-14 hari untuk virulensi tinggi, 21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Siege (1993). 31 Tabel 14 Hasil pengujian hipersensitif, patogenisitas dan PCR beberapa isolat bakteri asal serangga Asal isolat No isolat BDBSB1131 BDBSB1132 BDBSB1133 BDBSB1134 BDBSB1135 BDBSB1136 BDBSB1137 BDBSB21310 BDBSB21311 BDBSB21312 BDBSB21313 BDBSB21314 BDBSB21316 BDBSB21317 BDBCP11318 BDBCP11319 BDBCP11320 BDBCP21324 BDBCP21325 BDBCP21326 BDBCP21327 BDBCP21328 BDBCP21329 BDBCP21330 BDBCP21331 BDBCP21332 BDBCP21333 Ordo Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Pengujian Patogenisitas Famili Muscidae (a) Muscidae (b) Calliphoridae (a) Micropetidae (a) Micropetidae (b) Micropetidae (a) Drosophilidae (b) Cypselasomatidae (a) Cypselasomatidae (b) Drosophilidae (b) Tephritidae (b) Platypezidae (b) Asilidae (a) Bombylidae (b) Micropezidae (a) Drosophilidae (b) Tephritidae (a) Tephritidae (a) Tephritidae (b) Micropezidae (a) Micropezidae (b) Neriidae (a) Neriidae (b) Dryomizidae (b) Drosophilidae (a) Drosophilidae (b) Muscidae (a) Reaksi hipersensitif + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + PCR Periode inkubasi (Hari) Skoring penyakit Tingkat virulensi 14 7 0 0 14 28 14 28 0 7 14 14 0 0 28 14 14 28 14 14 21 0 28 21 7 14 21 5 5 0 0 5 2 5 2 0 5 5 5 0 0 2 5 5 2 5 2 3 0 2 3 5 5 3 *** *** A A *** * *** * A *** *** *** A A * *** *** * *** * ** A * ** *** *** ** Hasil deteksi + + + + + + + + + + + + 32 Tabel 14 Hasil Pengujian Hipersensitif, Patogenisitas dan PCR Beberapa Isolat Bakteri Asal Serangga (lanjutan) Asal isolate No isolat BDBCP21334 BDBCP21335 BDBPC1336 BDBPC1337 BDBPC1338 BDBSB1138 BDBSB1139 BDBSB21315 BDBCP11321 BDBCP11322 BDBCP11323 Ordo Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Pengujian Patogenisitas Famili Muscidae (b) Muscidae (b) Phoridae (a) Phoridae (b) Muscidae (a) Vespidae (a) Vespidae (b) Vespidae (b) Apidae (a) Vespidae (a) Vespidae (b) Reaksi hipersensitif + + + + + + + Keterangan: a = isolasi BDB dari permukaan tubuh serangga b = isolasi dari dalam jaringan tubuh serangga *** = tingkat virulensi BDB-SB1-13-1 = BDB-nama desa-tahun 2013-isolat nomor urut 1 PCR Periode inkubasi (Hari) Skoring penyakit Tingkat virulensi 7 0 28 21 0 0 0 21 0 0 0 5 0 2 3 0 0 0 3 0 0 0 *** A * ** A A A ** A A A Hasil deteksi + 33 Deteksi keberadaan BDB secara molekuler Visualisasi hasil PCR terhadap 13 contoh DNA dari serangga yang berpotensi sebagai vektor ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil PCR menunjukkan positif ditandai dengan terbentuknya pita DNA berukuran 281 bp yang merupakan fragmen DNA dari BDB penyebab penyakit darah pada tanaman pisang melalui elektroforesis dengan gel agarose 1%. DNA asal serangga yang berasal dari bagian dalam tubuh dan bagian luar tubuh menunjukkan hasil yang positif setelah dideteksi secara molekuler (Tabel 14). 500 bp 281 bp 200 bp Gambar 8 Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R, (M=marker 100 bp, K+=kontrol positif Ralstonia solanacearum, 1 = BDBSB21314, 2 = BDBSB1137, 3 = BDBSB1132, 4 = BDBSB1134, 5 = BDBSB21313, 6 = BDBCP21325, 7 = BDBCP11319, 8 = BDBPC1337, 9 = BDBSB1131, 10 = BDBCP21333, 11 = BDBSB1136, 12 = BDBCP11320, 13 = BDBCP21331) Kesimpulan Serangga ordo Diptera (famili Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae) berpotensi sebagai vektor penyakit darah pisang (BDB), penyebab penyakit ini ditemukan di dalam jaringan tubuh serangga. Serangga ordo Diptera (famili Muscidae, Micropetidae, Cypselasomatidae, Tephritidae, Drosophilidae dan Phoridae) diduga sebagai pembawa bakteri BDB yang virulen, yang terkontaminasi pada bagian luar jaringan tubuh serangga. Deteksi BDB secara molekuler dari isolat asal serangga baik dari isolat yang berasal dari pemukaan tubuh maupun dari jaringan tubuh serangga menunjukkan hasil yang positif. Daftar Pustaka Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia, Jakarta: Directorate of Food Crops Protection. Indonesia and Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Denmark (DNK): Tech Bull. [CPC] Crop Protection Compendium. 2005. Crop Protection Compendium Global Module. Wallingford. CAB International. Eden-Green SJ, Sastraatmadja AH. 1990. Blood disease bacterium present in Java. FAO Buletin 38:49-90. 34 Eden-Green SJ. 1992. Diversity of Pseudomonas solanacearum and related bacteria in South East Asia. Di dalam Hartman GL and Hayward AC (editor). Bacterial Wilt. Proceeding of an International Conference held at Kaoshiung, Taiwan, 28-31 Oktober1992. ACIAR Publication No.45. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Missouri (US): University of Missouri Press. Leliott RA, Stead DE. 1987. Methodes For The Diagnosis of Bacterial Diseases of Plants. Oxford. Blacwell Scientific Pub. Maryam Abn, Tata RO, Handayani W dan Sihombing D. 1994. Beberapa jenis serangga pengunjung bunga pisang yang diduga sebagai penular penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) Disampaikan dalam Prosiding Rapat Kerja Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura, Solok 17-19 Nopember. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Rustam 2005. Pengendalian penyakit darah pada tanaman pisang dengan bakteri antagonis [Thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Schaad NW, Jones JB & Chun W. 2001. Laboratory Guide For Identijkation of Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. St Paul: APS Press. Siege DC. 1993 Bacterial Plant Patology: Cell and Molecular Aspects. Cambridge University Press. Supriadi. 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis penyebab penyakit darah pada tanaman pisang. J Hortikultura 9(2): 129-136. Supriadi 2005. Prcsent Status of Blood disease In Indonesia. Di dalam Allen C, Prior, Hayward AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia Solanacearum Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A. Valmayor RV, Umali BE, Bejosano CP. 1991. Summary of discussion and recommendation of the INIBAP Brisbane Conference. !-4. In: Banana Disease in Asia and The Pasific. International Network for Asia and The Pasific. INIBAP. Winstead NN and Kelman A. 1952. Inoculation Techniques for Evaluating Resistance to Pseudomonas solanacearum. Phytopathology (42):628-634. V. UJI PENULARAN BDB PADA SERANGGA YANG BERPOTENSI SEBAGAI VEKTOR Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan kemampuan serangga Drosophilidae sebagai vektor dalam menularkan BDB pada tanaman pisang sehat. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematik Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berlangsung dari Januari 2013 sampai April 2013. Serangga Drosophilidae diambil dari lapang kemudian diperbanyak untuk memperoleh keturunan yang bebas dari penyakit atau patogen. Imago Drosophilidae hasil perbanyakan diberi makan sumber inokulum kemudian diinokulasikan pada tanaman sehat. Tanaman yang digunakan adalah Heliconia yang sehat dan sudah berbunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga Drophilidae mampu menularkan BDB pada tanaman Heliconia yang menunjukkan gejala, warna bunga kecoklatan dan mahkota bunga berguguran. Deteksi keberadaan BDB pada isolat yang terbuat dari bagian bunga dan bagian dalam tubuh serangga yang digunakan dalam uji penularan dengan menggunakan metode PCR menunjukkan hasil yang positif. Kata kunci: uji penularan, Drosophilidae, Heliconia, PCR Abstract The purpose of this study is to prove the ability of Drosophilidae insect as vector in transmitting BDB on healthy plants. The study was conducted at Insect Biosystematics and Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection,Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University which lasted from January 2013 until April 2013. Drosophilidae insects taken in the field and then massrared to obtain descendants that are free of the disease or pathogen. Imago Drosophilidae resulted from mass-raring are fed source of inoculum and then inoculated on healthy plants. Healthy and flowering Heliconia plants are used. The results showed that the Drophilidae insect is able to transmit BDB on Heliconia plants whose flowers turned brownish and the falling flower of petals. Detection of BDB presence in isolates made from the flowers and inside body part of insect used in the transmission test using the PCR method showed positive results. Key words: transmition, Drosophilidae, Heliconia, PCR Pendahuluan Penyakit darah pisang (BDB) merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman pisang yang serangannya telah berkembang luas dan menjadi kendala utama usaha pengembangan dan peningkatan produksi pisang di Indonesia. Penularan penyakit darah pisang (BDB) yang dilakukan oleh serangga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Nurhadi (1993) melaporkan bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke tanaman lain setelah melalui 1. periode makan akuisisi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen; 2. periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan 36 pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen; dan 3. periode retensi yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit. Pada patogen yang bersifat persisten terdapat periode laten yaitu waktu yang diperlukan patogen berada dalam tubuh vektor sampai dapat ditularkan (Carter 1973). Patogen persisten bersifat sirkulatif dalam tubuh vektor yaitu apabila patogen masuk melalui stilet menuju saluran pencernaan, kemudian bersama protein, lemak dan unsurunsur lainnya masuk ke darah melalui dinding saluran pencernaan di mesenteron, selanjutnya terbawa aliran darah menuju kelenjar ludah dan dikeluarkan kembali melalui stilet (Carter 1973). Serangga-serangga yang dilaporkan selama ini masih berpotensi sebagai vektor dan belum ada laporan khusus mengenai serangga vektor dari penyakit BDB ini. Dalam penelitian ini serangga-serangga yang teridentifikasi dan terdeksi BDB di dalam tubuhnya maupun pada bagian luar tubuhnya boleh dikatakan berpotensi dalam penularan patogen BDB. Untuk membuktikannya maka dilakukan uji penularan BDB dengan menggunakan serangga Drosophilidae sebagai salah satu serangga yang berpotensi sebagai vektor. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga dan Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Januari sampai dengan April 2013. Pemeliharaan Drosophilidae Lalat Drosophilla yang digunakan dalam uji penularan berasal dari pertanaman pisang di sekitar Darmaga Bogor. Lalat-lalat hasil penangkapan ini kemudian dipelihara dan diperbanyak. Perbanyakan lalat Drosophilla di laboratorium dilakukan untuk menghasilkan generasi kedua, keturunan yang bebas dari penyakit atau patogen. Penyiapan Tanaman Uji Tanaman uji yang digunakan dalam penelitian adalah pisang-pisangan (Heliconia) yang sudah berbunga dan berumur 5 bulan. Tanaman Heliconia ini dipelihara di dalam polibag yang berukuran 25cm x 25cm. Media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Tanaman uji dipelihara di dalam kurungan besar berukuran 150 cm x 40 cm x 60 cm dan dipelihara sampai menghasilkan bunga (Gambar 9). Tanaman Heliconia digunakan sebagai tanaman uji karena Heliconia dan pisang termasuk dalam satu famili yaitu Musaceae. 37 Gambar 9. Kurungan yang berisi tanaman Heliconia yang digunakan sebagai tanaman uji. Penyediaan Sumber Inokulum Sumber inokulum berupa buah pisang yang terkena penyakit darah diperoleh dari Aceh (daerah endemik BDB). Buah pisang yang sakit juga diisolasi untuk menumbuhkan bakteri penyebab penyakit darah pada media TZC dan dimurnikan pada media SPA. Isolat yang berasal dari buah pisang sakit digunakan sebagai sumber inokulum yang dioleskan pada buah pisang matang (Gambar 10). A B C Gambar 10. Sumber inokulum; (A) buah pisang sakit, (B) buah pisang yang diolesi isolat BDB, (C) isolat BDB Uji Penularan BDB menggunakan Serangga Drosophilidae sebagai serangga penular adalah dari stadium A Lalat Drosophilidae yang digunakan B C imago yang diperoleh dari hasil perbanyakan di laboratorium (Gambar 11). Pada pengujian ini, serangga uji dipuasakan selama 6 jam. Setelah itu dibiarkan melakukan periode makan akuisisi (makan pada sumber inokulum) selama 4 hari. Setelah melalui periode makan akuisisi, lalat dipindahkan ke tanaman uji yang sudah disiapkan untuk melakukan periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 4 hari. Untuk uji penularan ini, jumlah masing-masing serangga uji yang digunakan adalah 1, 3, 5, 7 dan 9 ekor/tanaman. Perlakuan pada tanaman kontrol menggunakan lalat yang diberi periode makan akuisisi pada buah pisang yang sehat dengan periode akuisisi, periode laten dan periode inokulasi yang sama dengan perlakuan lainnya. Uji penularan dilakukan untuk mengetahui peranan Drosophilidae sebagai vektor dalam menularkan bakteri BDB pada tanaman pisang dan untuk memperoleh informasi terkait jumlah minimal vektor untuk dapat menularkan penyakit darah. Parameter yang digunakan dalam uji penularan ini adalah kejadian penyakit dan masa inkubasi (waktu 38 dimana gejala penyakit pertama kali muncul setelah inokulasi). Setelah melalui periode makan inokulasi , serangga uji dikeluarkan dari kurungan dan diisolasi untuk melihat keberadaan bakteri BDB baik pada bagian luar tubuh maupun pada bagian dalam tubuh. Metode isolasi sama dengan yang dilakukan untuk serangga hasil penangkapan pada pertanaman pisang. B A Gambar 11. Serangga Drosophilidae; (A) Dorsal, (B) Lateral C A D B C A Tanaman Heliconia; (A) bunga Heliconia (B) yang Gambar 12. digunakan dalam uji penularan, (C) bunga Heliconia hasil uji penularan Deteksi keberadaan BDB Infeksi BDB pada tanaman yang diinokulasi, diisolasi kemudian dideteksi keberadaan BDBnya dengan metode PCR. Bagian tanaman yang diisolasi adalah bagian bunga karena pada uji penularan bagian bunga yang diberi perlakuan. Serangga hasil uji penularan juga diisolasi kemudian dideteksi dengan menggunakan metode PCR. Primer yang digunakan sama dengan yang dipakai untuk mendeteksi keberadaan BDB pada isolat asal serangga yaitu Primer R. solanacearum 759 F dan 760 R. Hasil Dan Pembahasan Uji Penularan BDB menggunakan Serangga Drosophilidae Uji penularan BDB pada tanaman Heliconia menggunakan serangga Drosophilidae. Drosophilidae merupakan salah satu serangga yang telah diuji keberadaan bakteri BDB dan ditemukan dalam tubuhnya lewat isolasi. Bagian tanaman yang digunakan sebagai sumber inokulum yaitu buah pisang yang sakit dan buah pisang yang sudah matang yang diolesi dengan isolat BDB. Selama masa akuisisi, pada kurungan yang diberi pakan buah pisang sakit, lalat Drosophilidae tidak bertahan hidup dalam waktu 1 hari dan lalat-lalat tersebut mati hal ini disebabkan karena lalat selalu tertarik dengan bau yang dikeluarkan oleh buah atau bunga sedangkan pisang sakit, buahnya belum matang dan permukaannya kasar sehingga lalat tidak bisa mengisap zat- 39 zat yang terkandung dalam buah pisang tersebut. Hal ini dikuatkan dengan pendapat dari Nais (2004); Markow & Grady (2006) yang menyatakan bahwa Drosophila selama ini dikenal sebagai fruit flies yang karakteristik pada buah lewat matang atau buah yang membusuk Drosophilla mengambil material dari bunga R. patma yang membusuk dan dimungkinkan menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak untuk pertumbuhan larvanya. Sedangkan pada kurungan yang diberi makan buah pisang yang sudah matang dan diolesi dengan isolat BDB serangga bertahan hidup selama masa akuisisi. Kejadian Penyakit dan Masa Inkubasi Uji penularan dengan menggunakan serangga Drosophilidae yang diberi makan akuisisi selama 4 hari, periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 4 hari menunjukkan hasil yang positif kecuali untuk perlakuan dengan 1 ekor dan pada perlakuan kontrol (Tabel 15). Tabel 15. Kejadian penyakit dan masa inkubasi pada uji penularan dengan serangga Kejadian penyakit Masa inkubasi Jumlah serangga (Gejala/ulangan) (HSP) Kontrol 0/3 1 0/3 3 2/3 79.0 5 2/3 71.0 7 2/3 50.5 9 2/3 31.0 HSP = Hari Sesudah Perlakuan Masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari 31.3 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang diinokulasi 9 ekor yaitu 31.3 hari dan terpanjang 79.0 hari (Tabel 15). Hal ini disebabkan karena makin banyak populasi serangga yang diinfektif, maka makin banyak pula patogen yang ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan masa inkubasi lebih cepat. Mahfud (1987) mengemukakan bahwa konsentrasi patogen dalam sistem tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penularan penyebab penyakit dalam tanaman. Laju penyebaran penyakit pada kondisi alami tergantung dari kepadatan populasi vektor, jumlah inokulum bakteri pada tanaman, lamanya periode makan akuisisi dan lamanya periode inokulasi (Chen 1998). Gejala Penyakit yang Teramati pada Tanaman Uji Bagian bunga yang menunjukkan gejala terlebih dahulu karena inokulasi dilakukan pada bagian bunga. Sewaktu dilakukan uji penularan, bagian bunga dan serangga disungkup supaya tidak diganggu oleh serangga yang lain Gejala yang nampak, bunga mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada mahkota bunga mulai berguguran. Bunga menimbulkan gejala lebih dahulu karena serangga mengisap nektar dan mengeluarkan air liur yang sudah mengandung bakteri dan menularkannya pada bunga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Hadiwiyono (2010) menunjukkan bahwa inokulasi suspensi BDB pada bunga pisang juga dapat menyebabkan gejala penyakit. Sedangkan gejala yang muncul pada bagian lain dari 40 tanaman cukup lama, hal ini disebabkan karena penularan berlangsung secara alami yang dilakukan dengan bantuan serangga. Gejala yang teramati pada tanaman yang diberi perlakuan, pinggiran daun mengalami nekrosis, daun menguning dan layu. Proses terjadinya nekrosis diawali dengan tertularnya jaringan bunga oleh patogen melalui alat mulut serangga pada saat menjilat permukaan bunga, aktivitas yang dilakukan oleh serangga mengakibatkan luka sehingga memudahkan patogen masuk ke dalam jaringan tanaman. Kehadiran patogen dalam jumlah yang relatif banyak dapat menimbulkan gejala klorosis bahkan terjadinya nekrosis (Diah 2002). Isolasi dan Deteksi BDB menggunakan PCR Hasil uji penularan menunjukkan bahwa serangga Drosophilidae mampu menularkan patogen ke bagian bunga dari tanaman Heliconia. Bunga hasil uji penularan setelah diisolasi ditemukan bakteri BDB (Gambar 12). Hal yang sama dilakukan terhadap serangga Drosophilidae selaku serangga uji penularan dimana setelah diinokulasi kemudian diisolasi BDB dari bagian tubuhnya. Hasilnya ditemukan bakteri BDB pada bagian tubuhnya yang digerus sedangkan air cucian tubuhnya tidak ditemukan bakteri (Gambar 14) Setelah itu dideteksi dengan metode PCR baik terhadap isolat asal bunga maupun serangga hasil uji penularan. Primer yang digunakan yaitu Ralstonia solanacearum 759 F dan 760 R. A A B Gambar 13. Isolat BDB asal bunga hasil uji penularan, (A) pada media TZC, (B) pada media SPA Gambar 14. Isolat BDB asal serangga hasil uji penularan pada media TZC 41 500 bp 281 bp Gambar 15. Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R (M=marker 100 bp, + = kontrol positif Ralstonia solanacearum, 1 = BP, 2 = BPh1, 3 = BPh2, 4 = SG1, 5 = SG2) Visualisasi hasil PCR terhadap bagian tanaman dan serangga yang di uji ditunjukkan pada Gambar 15. Bunga dan serangga hasil uji penularan menunjukkan hasil PCR yang positif. Contoh DNA berasal dari bunga pisang pada perlakuan yang menggunakan Drosophilidae 7 dan 9 ekor. Hasil positif juga diperoleh pada serangga Drosophilidae yang digunakan pada uji penularan (Tabel 16). Tabel 16. Hasil uji PCR dengan Primer 759F dan 760R pada beberapa isolat asal tanaman dan serangga No. 1 2 3 4 5 Kode Isolat BP BPh1 BPh2 SG1 SG2 Asal Isolat Buah pisang Bunga pisang Bunga pisang Serangga gerus Serangga gerus Hasil PCR + + + + + Keterangan Uji penularan Uji penularan Uji penularan Uji penularan Biologi dan perilaku Serangga Drosophilidae Metamorfosis pada Drosophilidae termasuk metamorphosis sempurna yaitu dari telur larva–pupa–imago. Perkembangan dimulai segera setelah terjadi fertilisasi, yang terdiri dari dua periode. Pertama, periode embrionik di dalam telur pada saat fertilisasi sampai pada saat larva muda menetas dari telur dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih 24 jam (Tabel 17). Tabel 17 Ukuran dan lama hidup imago Drosophilidae Rentang sayap Panjang tubuh Lama hidup Jumlah contoh Imago (mm) (mm) (hari) (ekor) a 3.20 – 5.70 1.20 – 2.10 Jantan (4.25 ± 0.48)b (1.64 ± 0.48) 4.00 – 19.00 50 (15.76 ± 3.94) 3.50–5.70 1.10 – 2.70 Betina (4.80 ± 0.49) (2.26 ± 0.29) a Kisaran, brata-rata ± standar deviasi Telur Drosophilidae berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya diletakkan di permukaan makanan. Betina dewasa mulai bertelur pada hari kedua setelah menjadi lalat dewasa dan meningkat hingga seminggu sampai betina meletakkan 50-75 telur perhari dan mungkin maksimum 400-500 buah dalam 10 hari (Silvia 2003). Telur Drosophila dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan di anteriornya 42 terdapat dua tangkai tipis. Khorion mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut (Borror et al. 1981). Larva Drosophilidae berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti cacing, dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Untuk pernafasan pada trakea, terdapat sepasang spirakel yang keduanya berada pada ujung anterior dan posterior. Selama makan, larva membuat saluran-saluran di dalam medium dan jika terdapat banyak saluran maka pertumbuhan dapat dikatakan berlangsung baik. Larva yang dewasa biasanya merayap naik pada dinding wadah pemeliharaan dan disini larva akan melekatkan diri pada tempat kering dengan cairan seperti lem yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan kemudian membentuk pupa. Saat larva Drosophilidae membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek, kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar 4. Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki. Puparium (bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada stadium pupa ini, larva dalam keadaan tidak aktif dan dalam keadaan ini, larva berganti menjadi lalat dewasa (Ashburner 1985). Struktur dewasa tampak jelas selama periode pupa pada bagian kecil jaringan dorman yang sama seperti pada tahap embrio. Pembatasan jaringan preadult (sebelum dewasa) disebut anlagen. Fungsi utama dari pupa adalah untuk perkembangan luar dari anlagen ke bentuk dewasa. Setelah keluar dari pupa, lalat dewasa warnanya masih pucat dan sayapnya belum terbentang. Sementara itu, lalat betina akan kawin setelah berumur 8 jam dan akan menyimpan sperma dalam jumlah yang sangat banyak dari lalat buah jantan. Pada ujung anterior terdapat mikrophyle, tempat spermatozoa masuk ke dalam telur, walaupun banyak sperma yang masuk ke dalam mikrophyle tapi hanya satu yang dapat berfertilisasi dengan pronuleus betina dan yang lainnya segera berabsorpsi dalam perkembangan jaringan embrio (Borror et al.1981). Tahapan fase perkembangan lalat Drosophilidae (Gambar 16). Drosophilidae dapat ditemukan dekat pertanaman atau buah yang membusuk, juga muncul di rumah-rumah yang menyimpan buah-buahan. Larva hidup dalam buah yang membusuk dan jamur-jamur yang tumbuh disekitarnya. Sedikit yang bersifat ektoparasit pada ulat, beberapa jenis pada stadia larvanya bersifat predator terhadap kutu dan beberapa homoptera kecil. Lalat ini sering digunakan untuk studi genetika (Borror et al. 1981). 43 A B C D B D Gambar16. Fase perkembangan serangga Drosophilidae; (A) telur, (B) larva, (C) pupa, (D) imago Kesimpulan Pada uji penularan masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari 31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang pada tanaman yang diinokulasikan 3 ekor serangga Drosophilidae yaitu 79.0 hari. Serangga ordo Diptera, famili Drosophilidae mampu menularkan patogen BDB pada tanaman Heliconia yang sehat. Gejala yang muncul dalam uji penularan sangat lambat karena penularan berlangsung secara alami dengan perantara serangga. Deteksi keberadaan BDB dengan pengujian molekuler menunjukkan hasil yang positif dengan terbentuknya pita pada ukuran 281 bp baik pada DNA asal tanaman maupun DNA serangga uji. Daftar Pustaka Ashburner M. 1989. Drosophila, A Laboratory Handbook. USA : Coldspring Harbor Laboratory Press. Borror JD, De Long DM, Triplehorn CA. 1981. Introduction to the study of insect. Philadelphia, Saunders College Publishing. 928 p. Carter W. 1973. Insect in Relation to Plant Diseases. New York (US): John Willey & Sons. Chen CN. 1998. Ecology of the insect of citrus systemic disease and their control in Taiwan. Citrus Greening Control Project in Okinawa. Japan (JP): Extension Bulletin. 459: 1-5. Diah. YIGA. 2002. Penyebaran Bakteri Liberobacter Asiaticum pada Tanaman Jeruk dalam Beberapa Tingkat Gejala Serangan Penyakit CVPD. Tesis. Universitas Udayana, Program Studi Bioteknologi Pertanian. Denpasar. Hadiwiyono, 2010. Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang : Infeksi dan Keanekaragaman Genetika Patogen. Disertasi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. 44 Markow T, Grady O 2006. Drosophila: A guide to species identification and use. London (UK). Elsevier Inc. Mahfud MC. 1987. Penularan penyakit CVPD oleh Diaphorina citri K. Gatra Penelitian Penyakit Tumbuhan dalam Pengendalian Secara Terpadu. Hal 42-43. Nurhadi. 1993. Aspek epidemic penyakit CVPD: prediksi kecepatan perkembangan penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kecepatan perkembangan. Penelitian Hortikultura 5 (2) : 71-72. Nais J. 2004. Rafflesia Bunga Terbesar di Dunia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. [Internet] [diunduh 2010 Agustus 1] Tersedia pada: http://en. Wikipedia.org/wiki/Rafflesia. Silvia T. 2003. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsenterasi Formaldehida Terhadap Perkembangan Larva Drosophila [Skripsi]. Bandung : Fakultas Biologi, Universitas Padjadjaran. VI. PEMBAHASAN UMUM Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan penyakit penting dan berbahaya karena penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian massal tanaman dalam waktu singkat sehingga menurunkan produksi. Penyakit darah sudah lama dikenal di Indonesia. Gejala penyakit darah dicirikan oleh gejala luar dan gejala dalam. Gejala luar dapat dilihat pada tajuk tanaman dan pada buah, sedangkan gejala dalam dapat dilihat pada berkas pembuluh batang dan pada daging buah. Penyebab penyakit darah adalah blood disease bacterium (BDB). Hasil survei penulis di Kabupaten Pidie, Kecamatan Padang Tiji (Banda Aceh) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pisang kepok paling umum terserang penyakit darah. Jenis pisang kepok umumnya ditanam secara monokultur pada kebun-kebun milik petani. Secara umum BDB dapat menyerang berbagai jenis pisang yang dibudidayakan. Hasil survei Muharam et al. (1992) menemukan bahwa di Jawa Barat, pisang ambon putih paling rentan terhadap penyakit darah sedangkan di Sulawesi Selatan, pisang kepok paling umum dijumpai terserang. Patogen dapat ditularkan melalui beberapa cara, diantaranya melalui bibit terinfeksi, alat-alat pemangkasan, tanah yang dihanyutkan air, kontak akar dan serangga yang mengunjungi bunga. Survei kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang dilakukan di lima desa contoh menghasilkan data bahwa serangga-serangga yang hadir di bunga pisang didominasi oleh serangga dari ordo Diptera dan ordo Hymenoptera. Mekanisme penularan BDB umumnya melalui serangga pollinator pada bunga pisang. Bakteri yang terbawa serangga kemudian melakukan penetrasi pada nektartoda atau luka pada bunga pisang yang tidak menjadi buah. Menurut Leiwakabessy (1999), serangga yang mengunjungi bunga dapat berperan sebagai pembawa patogen yang menempel pada bagian luar tubuh serangga dan menjadi salah satu cara penyebaran penyakit. Bakteri masuk kedalam jaringan akar tanaman melalui lubang alami, luka buatan akibat alat pertanian, maupun luka akibat tusukan stilet nematoda. Gejala penyakit darah pada tanaman pisang ditunjukkan oleh pelepah daun melemah kemudian patah pada bagian pangkalnya sehingga daun terlihat patah menggantung. Warna daun menjadi kuning kemudian nekrosis dan kering. Kulit buah sering tampak normal. Kadangkadang ada yang tampak kuning terlalu awal dan menghitam. Kalau buah dipotong,bagian dalam buah akan berwarna merah kecoklatan atau menjadi busuk berlendir. Kelayuan pada daun diawali dengan daun menguning dan mati, pada tanaman muda terjadi kelayuan menyeluruh. Kelimpahan dan keanekaragaman serangga pengunjung bunga hasil survei di dominasi oleh serangga Drosophilidae. Kelimpahan serangga Drosophilidae jumlahnya 3 kali lebih banyak ditemukan pada bunga jantan terinfeksi. Tingginya populasi Drosophilidae yang ditemukan pada bunga tanaman sakit diduga aroma yang dikeluarkan oleh bunga dari tanaman yang mulai membusuk. Genus Drosophila selama ini dikenal sebagai fruit flies yang menyukai buah lewat matang atau buah yang membusuk (Markow dan Grady 2006). Drosophilla mengambil makanan dari bunga yang membusuk dan dimungkinkan menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak untuk pertumbuhan larvanya ( Kahono et al. 2010). Adanya hubungan antara kelimpahan serangga dan kejadian penyakit pada daerah sentra produksi pisang khususnya untuk serangga Drosophilidae populasinya paling tinggi dan dominan kehadirannya pada desa contoh. Hal ini mengindikasikan adanya 46 keterkaitan antara serangga dengan penyakit. Berdasarkan hasil survei kejadian penyakit tertinggi yaitu 96.90 % dengan kelimpahan serangga Drosophilidae sebanyak 110 ekor. Banyaknya Drosophilidae disebabkan pada tempat ini juga ditemukan tanaman buahbuahan terutama pepaya, rambutan dan buah-buahan lainnya yang banyak ditemukan sebagai media utamanya. Kelimpahan serangga tersebut jumlahnya 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan desa Pante Cermin. Tingginya kelimpahan Drosophilidae pada bunga tanaman sakit diduga karena serangga tertarik pada bau yang dikeluarkan bakteri pada jaringan bunga atau buah yang membusuk (Robacker dan Garcia 1993). Usaha tani pisang di Indonesia pada umumnya masih berskala kecil, hal ini dicirikan dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani di desa contoh kurang dari 3 ha. Perhatian dan pengetahuan petani tentang penyakit yang menyerang tanaman pisang masih sangat minim. Pada awal penanaman, petani tidak diberi penyuluhan atau pengetahuan dalam menanggulangi adanya serangan hama atau penyakit yang menyerang tanaman pisang. Umur petani yang masih produktif dan latar belakang pendidikan yang rata-rata lulusan SMP dan SLTA sangat menunjang petani untuk bisa bekerja dengan keras dalam usaha taninya. Petani memiliki kemampuan dalam menerima teknologi atau inovasi baru dalam pengembangan usaha taninya. Penyuluhan jarang diberikan kepada petani terutama masalah kesehatan bibit dan penggunaan pestisida. Petani lebih sering menggunakan hebisida untuk memusnahkan gulma daripada secara mekanis. Petani memiliki pemikiran bahwa dengan menggunakan herbisida pekerjaan pengelolahan lahan menjadi lebih mudah dan praktis. Hal yang sama juga dilakukan terhadap lahan yang baru dibuka untuk melakukan aktifitas tanamnya. Bibit-bibit yang digunakan juga berasal dari lahan sendiri ataupun dari lahan tetangganya. Hal ini berlangsung terus sehingga tanpa pengetahuan mereka bahwa bibit-bibit yang digunakan sudah terkena patogen penyebab penyakit darah. Petani sangat kecewa dan kehilangan hasil yang cukup banyak akibat serangan penyakit darah pisang terutama bagi petani yang lebih menggantungkan pendapatannya dengan usaha tani pisang. Sedangkan petani yang masih memiliki pekerjaan lain selain bertani masih bisa mengalihkan perhatian dan pendapatannya untuk pekerjaannya yang lain. Lahan-lahan yang dibiarkan dengan sumber inokulum yang berserakan menunjukkan ketidaktahuan petani bagaimana menanggulangi adanya serangan suatu penyakit. Jenis-jenis serangga yang berpotensi sebagai vektor adalah dari ordo Diptera khususnya famili, Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae. Dikatakan berpotensi karena adanya bakteri BDB yang ditemukan di dalam tubuh pada ketiga famili tersebut. Sedangkan serangga dari famili lainnya bakteri BDB ditemukan pada bagian luar tubuh serangga. Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada diantaranya bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menimbulkan gejala kelayuan. Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7-14 hari untuk virulensi tinggi, 21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Siege (1993) bahwa strain-strain Ralstonia solanacearum yang virulensinya tinggi dapat menimbulkan gejala kelayuan yang cepat sebagai akibat dari peningkatan aktivitas enzim yang berupa polisakarida ekstraseluler. Gejala awal dari tanaman pisang muda yang terserang penyakit darah adalah bagian tepi daun berubah warna menjadi kekuningan dan daun-daun ini akan menggulung. Bagian pelepah daun pisang menjadi keriput. Selanjutnya pada beberapa daun muda terjadi nekrotik dan akhirnya menimbulkan kelayuan. 47 Berdasarkan hasil pengujian patogenisitas, ternyata isolat-isolat BDB asal serangga yang terjaring mampu menimbulkan gejala layu pada varietas uji. Berdasarkan hal diatas maka diketahui beberapa jenis serangga berpotensi dalam penyebaran penyakit darah pada tanaman pisang. Informasi ini sangat penting mengingat serangga yang telah membawa patogen (bagian luar tubuh dan di dalam tubuh serangga) dapat mendukung proses perkembangan dan perluasan kejadian penyakit. Pengujian keberadaan bakteri patogen sangat diperlukan sebelum mewabah dan menyebabkan kerugian yang makin besar. Metode pendeteksian bakteri patogen biasanya dengan metode penumbuhan mikroba yang kemudian diamati keberadaan bakteri penyebab penyakitnya. Metode pendeteksian yang lebih cepat dan akurat yaitu dengan menggunakan teknik PCR yang mampu menganalisa keberadaan bakteri patogen lebih cepat dan akurat dibandingkan dengan metode konvensional. Uji penularan BDB pada tanaman Heliconia dengan menggunakan serangga Drosophilidae karena telah diuji keberadaan bakteri BDB dan ditemukan dalam tubuhnya lewat isolasi. Masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari 31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang 79.0 hari. Hal ini disebabkan karena makin banyak populasi serangga yang diinfektif, maka makin banyak pula patogen yang ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan masa inkubasi lebih cepat. Mahfud (1987) mengemukakan bahwa konsentrasi patogen dalam sistem tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penularan penyebab penyakit dalam tanaman. Laju penyebaran penyakit pada kondisi alami tergantung dari kepadatan populasi vektor, jumlah inokulum bakteri pada tanaman, lamanya periode makan akuisisi dan lamanya periode inokulasi (Chen 1998). Bagian bunga yang menunjukkan gejala terlebih dahulu karena inokulasi dilakukan pada bagian bunga, bagian bunga dan serangga disungkup supaya tidak diganggu oleh serangga yang lain Gejala yang nampak, bunga mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada mahkota bunga mulai berguguran. Bunga menimbulkan gejala lebih dahulu karena serangga mengisap nektar dan mengeluarkan air liur yang sudah mengandung bakteri dan menularkannya pada bunga. Gejala yang teramati pada tanaman yang diberi perlakuan, pinggiran daun mengalami nekrosis, daun menguning dan layu. Proses terjadinya nekrosis diawali dengan tertularnya jaringan bunga oleh patogen melalui alat mulut serangga pada saat menjilat permukaan bunga, aktivitas yang dilakukan oleh serangga mengakibatkan luka sehingga memudahkan patogen masuk ke dalam jaringan tanaman. Kehadiran patogen dalam jumlah yang relatif banyak dapat menimbulkan gejala klorosis bahkan terjadinya nekrosis. Bunga hasil uji penularan setelah diisolasi dan dideteksi ditemukan bakteri BDB begitupun dengan serangga Drosophilidae setelah diinokulasi kemudian diisolasi BDB dari bagian tubuhnya ditemukan bakteri BDB. Deteksi keberadaan BDB dilakukan secara molekuler PCR dan menunjukkan hasil yang positif. Uji penularan yang dilakukan masih memerlukan pengujian-pengujian yang lebih jauh lagi terutama didalam penentuan suatu serangga sebagai vektor penyakit. Pengelolaan serangga vektor merupakan salah satu cara untuk menekan penyebaran sesuatu penyakit. Mengetahui serangga vektor Untuk menekan penyebaran penyakit diperlukan teknologi penanggulangan vektor yang efektif yang berdasarkan pemahaman biologi dan ekologi serangga vektor. VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Jenis serangga pengunjung bunga pisang pada kelima desa contoh yang tertangkap yaitu: ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropetidae, Rhicartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae, Dryomicidae, Milichiidae, Lauxaniidae) dan ordo Hymenoptera (Apidae dan Vespidae) Drosophilidae merupakan serangga yang dominan diantara serangga-serangga yang tertangkap dengan perangkap lekat. Kejadian penyakit tertinggi terjadi di desa Simpang Betung 1 yaitu 96.9%. Ada hubungan korelasi antara kelimpahan serangga dan kejadian penyakit pada desa contoh. Sanitasi di lima desa contoh tidak diperhatikan, sumber inokulum dibiarkan di dalam kebun tanpa eradikasi. Petani di desa contoh memiliki umur yang produktif dan tingkat pendidikan menengah sangat memungkinkan bagi petani untuk berusaha dan menerima inovasi atau teknologi baru yang diperlukan untuk meningkatkan usaha taninya. Serangga ordo Diptera (famili Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae) berpotensi sebagai vektor penyakit darah pisang (BDB), penyebab penyakit ini ditemukan di dalam jaringan tubuh serangga. Serangga ordo Diptera (famili Muscidae, Micropetidae, Cypselasomatidae, Tephritidae, Drosophilidae dan Phoridae) diduga sebagai pembawa bakteri BDB yang virulen, yang terkontaminasi pada bagian luar jaringan tubuh serangga. Pada uji penularan masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari 31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang 79.0 hari. Serangga ordo Diptera, famili Drosophilidae mampu menularkan patogen.dan bisa dikatakan sebagai vektor Saran Perlu adanya penelitian lanjutan tentang uji penularan dari serangga-serangga yang berpotensi sebagai vektor BDB. Pengujian mengenai serangga Drosophilidae di dalam menularkan patogen apakah bersifat persisten atau non persisten perlu dilakukan. VIII. DAFTAR PUSTAKA Arwiyanto T. 1988. Identifikasi penyebab penyakit bacterial pada tanaman pisang di Yogyakarta. Di dalam: Prosiding Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Jakarta, 29-31 Okt 1985. Jakarta (ID): Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Atkins MD. 1978. Insects in Perspective. London (GB) Macmillan. Pp. 344-345. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia, Jakarta.[Internet][diunduh 2013 Mar 23]. Tersedia pada: http//www.bps.go.id. Baharuddin. 1994. Pathological, biochemical and serelogical of characterization of the blood disease bacterium affecting banana and plantain (Musa spp.) in Indonesia [disertasi]. Gottingen: Cuvillier. Basset A, Tzou P, Lemaitre B, Boccard F. 2003. A single gene that promotes interaction of a phytopathogenic bacterium with its insect vector Drosophila melanogaster. Centre de Génétique Moléculaire du CNRS, Gif-sur-Yvette, France. EMBO reports. Vol 4. No.3. [CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2003. Crop Protection Compedium [cd-rom]. London: CABI Publish.[CPC] Crop Protection Compendium. 2005. Crop Protection Compendium Global Module. Wallingford. CAB International. Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia, Jakarta: Directorate of Food Crops Protection. Indonesia and Danish Government Institute of Seed Pathology for developing countries. Denmark (DK): Tech Bul.22:35-45. Chasanah LR. 2010. Keanekaragaman dan Frekuensi Kunjungan Serangga Penyerbuk serta Efektivitasnya dalam Pembentukan buah Hoya multiflora Blume (Asclepiadaceae) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB. Chen CN. 1998. Ecology of the insect of citrus systemic disease and their control in Taiwan. Citrus Greening Control Project in Okinawa. Japan (JP): Exten Bull. [Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Komoditas Unggulan. Direktorat Jenderal Hortikultura. Jakarta. [Internet] [Diunduh 2013 Maret 2]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id. [Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman. 2005. Luas Serangan OPT utama tanaman pisang. Jakarta.[Internet][diunduh 2005 April 22]. Tersedia pada: http://www.deptan.qo.id/ditlinhorti/. Denny TD, Hayward AC. 2001. Gram negative bacteria. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W (Editor). Laboratory Guide for Identification of plant Phatogenic Bacteria. Third Edition. APS Press, Minnesota[USA]. Eden-Green SJ. 1994. Diversity of P. solanacearum and related bacteria in South East Asia: new direction for Moko Disease Di dalam Hayward AC & Hartman GL (Editor). 1994. Bacterial Wilt: The Disease and its Causative Agent, P. solanacearum, CAB International, pp 25-34. Eden-Green SJ, Sastraatmadja AH. 1990. Blood disease bacterium present in Java. FAO Bul. 38:49-90. Eden-Green SJ, Supriadi and Hartati SY. 1988. Characteristics of P. celebensis, the cause of blood disease of bananas in Indonesia. Proceeding of the 5 th International Congress of Plant Pathology, August 20-27, Kyoto, Japan. 50 Fegan M, Taghavi M, Sly Li, Hayward AC. 1998. Phylogeny, diversity and molecular diagnostics of Ralstonia solanacearum. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone JE, (Editor). Bacterial Wilt Disease: Aspects. Gosier, 22-27 Jun 1997. Berlin: INRA. Hlm 19-33. Fegan M. 2005. Bacterial wilt disease of banana: evolution and ecology. Di dalam: Allen C, Prior P, Hayward AC,(Editor) Bacterial wilt Disease and The Ralstonia solanacearum Species Complex. StnPaul: APS Press. Hlm 379-386. Fegan M, Prior P. 2005. How complex is the “Ralstonia solanacearum species complex”? Di dalam : C Allen, P Prior & AC Hayward. (Editor) Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press Minnesota. pp 449-462. Gaumann E. 1923. Onderzoekingen over de Bloedziekte der Bananen op Celebes II (Investigations on the blood disease of bananas in Celebes II). Mededeelingen Van Het Instituut voor Platenziekten 59. The Netherlands (NL) 45p. Gaumann E. 1921. Onderzoekingen over de Bloedziekte der Bananen op Celebes I (Investigations on the blood disease of bananas in Celebes I) Mededeelingen Van Het Instituut voor Platenziekten 50. The Netherlands (NL). Hanudin B, Tjahjono, Suharso. 1993. Uji resistensi varietas pisang terhadap bakteri layu. J. Hortikultura 3: 37-42. Harris KF and Maramorosch K. 1980. Vectors of plant Pathogens. Academic Press. New York (USA). pp 467. Hayward AC. 1994. The host of P. solanacearum In Hayward AC and Hartman GL (editor) Bacterial Wilt: The Disease and its Causative Agent, P solanacearum. CAB International. pp 9-24. Kahono S, Mursdawati S, Erniwati. 2010. Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar habitat Aslinya Kebun raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia. J Biol Indon 6(3): 429-442. Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. Di dalam: Metcalf RL, Luckman WH (editor). Introduction to Insect Pest Management. Ed ke-2 New York (USA): Jhon Wiley& Sons. Hlm 93-134. Kusumoto S. 2004. Occurrence of blood disease of banana in Sumatera, Indonesia. J Gens Plant Pathol 70:45-49. Leiwakabessy C. 1999. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit layu bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada pisang di Lampung [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Mahfud MC. 1987. Penularan penyakit CVPD oleh Diaphorina citri K. Gatra Penelitian Penyakit Tumbuhan dalam Pengendalian Secara Terpadu. Hal 42-43. Mairawita, Habazar T, Hasyim A, Nasir N, Suswati 2012. Potensi serangga pengunjung bunga sebagai vector penyakit darah bakteri (Ralstonia solanacearum Phylotipe IV) pada pisang di Sumatera Barat. J Entomol Ind 9(4): 38-47 Markow T, Grady O 2006. Drosophila: A guide to species identification and use. London (UK). Elsevier Inc. Masnilah R, Yuliani A, Tjahjani A, Trisosilowati EB. 2001. Karakterisasi bakteri penyakit layu pada pisang di daerah Jember. Proceedings of the XVI Indonesian Phytopathological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001. Muharam A, Sulyo Y, Djatnika I, Marwoto. 1992. Identifikasi dan daerah pencar penyakit penting pada tanaman pisang. Di dalam: Muharam A, Djatnika I, Sulyo 51 Y, Sunarjono H (editor). Pisang sebagai Komoditas Andalan Prospek dan Kendalanya: Cianjur, 5 Nop 1992. Cianjur: Sub-Balai Penelitian Hortikultura Segunung. Hlm 23-28. Mulyadi, Hernusa T. 2001. Intensitas penyakit darah pada tanaman pisang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum di kabupaten Bondowoso. Proceedings of the XVI Indonesian Phytopathological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001. Namu FN 2008. The possible role of stingless bees in the spread of Banana Xanthomonas Wilt in Uganda and the nesting biology of Plebenia hildebrandti and Hypotrigona gribodoi (Hymenoptera-Apidae-Meliponini) [Dissertation], Bonn: Landwirstchaftliche Fakultat, Universitat Bonn. Nasution RE. 1992. Keanekaragaman suku Musaceae (pisang-pisangan) sebagai sumber daya hayati yang potensial untuk pengembangan Di dalam Agus Muharam dkk. (penyunting). Prosiding Seminar Pisang Sebagai Komoditas Andalan Prospek dan Kendalanya. 5 November 1992. Segunung. Painter RH. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. Macmillan, New York (USA). 520 p. Robinson A. 1994. Serological detection of P. solanacearum by ELISA. Di dalam Hayward AC and Hartman GL (Editor) . Bacterial Wilt: Proceedings of the Second Working Group Meeting, 2 Nov 1992. AVRDC, Taiwan. ICRISAT. Robacker D, Garcia J. 1993. Effects of age, time of day, feeding history and gamma irradiation on attraction of Mexican fruit flies (Diptera: Tephritidae) to bacterial odor in laboratory experiments. Environ Entomol. 22:1367-1374. Satari SU, Sumarauw IO. 1990. Penyakit layu bakteri pada tanaman pisang di daerah Bogor dan sekitarnya. J Fitopatol, 2 (1):53-55. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Press. Schoonhoven LM, Jerny T, van Loon JJA. 2005. Insect-Plant Biology: from Physiology to Evolution. London (GB): Chapman & Hall. Sequeira L. 1998. Bacterial wilt: the missing element in international banana improvement programs. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone JE (editor) Bacterial Wilt Disease, Molecular and Ecological Aspect. Gosier, 22-27 Jun 1997. Berlin: INRA, hlm 6-14. Siege DC. 1993 Bacterial Plant Patology: Cell and Molecular Aspects. Cambridge University Press. Simmonds WN. 1959. Bananas Longmans. Green and Co Ltd. 6&7 Clifford Street. London (GB). 466p. Subandiyah S, Indarti S, Harjaka T, Utami SNH, Sumardiyono C, Mulyadi. 2005. Bacterial wilt disease complex of banana Indonesia. Di dalam Allen C, Prior P, Hayward AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A. Sudana IM, Suprapto DN, Arya N, Sukanaya W. 1999. Usaha pengendalian penyakit layu pada pisang di Bali. Proceedings of the XV Indonesian Phytopatological Society, Purwokerto (ID) 16-18 September 1999: 404-410. Sumardiono C, Subandiyah S, Sulandari S, Martoredjo T. 1997. Peningkatan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) pisang dengan radiasi kultur jaringan. Di dalam: Prosiding Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Palembang, 27-29 Okt 1997. Palembang (ID) Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. 52 Supeno B. 2001. Isolasi dan Identifikasi penyakit darah di Lombok. Proceedings of the XVI Indonesian Phytopatological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001. Supriadi 1994. Studies on the characteristics of Pseudomonas solanacearum and related species from Indonesia, and the potential use of bacteriophage and bacteriocin for biological control of bacterial wilt disease, PhD Thesis, Wye College, University of London. Supriadi, Elphinstone JG, Eden-Green, Hartati SY. 1995. Physiological, serological and pathological variation amongst isolates of Pseudomonas solanacearum from ginger and other hosts in Indonsia. J Penel Tan Indus 1(2): 88-98. Supriadi 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis penyebab penyakit darah pada tanaman pisang. J Hortikultura 9(2): 129-136. Supriadi 2003. A simple method for distinguishing isolates of blood disease bacterium (BDB) from Ralstonia solanacearum through detection of bacteriophage production. Austral Plant Pathol 32: 429-431. Supriadi 2005. Present Status of Blood Disease in Indonesia. In : Allen C, Prior P, Hayward AC (Editor). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum complex. Minnesota (USA): APS Press. Pp. 395-404. Suspendy R. 2001. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman pisang. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan (Buku II). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Stover RH, 1972. Banana, Plantain and Abaca Diseases. Commonwealth Mycological Institute, Kew Surrey, England [UK]. 316 pp. Stover RH, Espinoza A. 1992. Blood disease of bananas in Sulawesi. Fruits 47:611613. Syahdu KN, Subandiyah S, Hadiwiyono, 2007. Survival of Blood Disease Bacterium in four spesies of Heliconia and responds of the plant to the disease infection. Di dalam: Y.B. Sumardiyono et al (editor). Ind.Fac. of Agr. UGM p 169-170. Tjahjono B, Eden-Green SJ. 1988. Blood disease of bananas in Indonesia. (Abstrak). International Congress of Plant Pathology 5th , Kyoto Japan. Thwaites R, Eden-Green SJ, Masfield J, Seal S. 1998. Studies on the molecular basis for patogenicity and host specificity in strains of Ralstonia solanacearum phatogenic to banana. Di dalam: Prior PH, Allec C, Elphinstone JE, (editor). Bacterial Wilt Disease: Molecular and Ecological Aspects. Gosier, 22-27 Jun 1997. Berlin (BE): INRA. Hlm 192-194. Yabuuchi E, Kosako Y, Yano I, Hotta H, Nishiuchi Y. 1995. Transfer of two Burkholderia and An Alcaligenes species to Ralstonia Gen. No: proposal of R.. picketii (Ralston, Palleroni and Doudoroff 1973) Comb. Nov. R. solanacearum (Smith 1896) Comb. Nov. R. eutropha (Davis 1969) Comb. Nov. J Microbiol Immuno. 39(11):879-904. 53 Lampiran 1. Peta Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh Lampiran 2. Kuesioner petani I. Karakteristik petani 1. Nama 2. Umur 3. Pendidikan tertinggi a. Tidak sekolah b. Sekolah dasar c. Sekolah menengah pertama d. Sekolah menengah umum e. Perguruan tinggi 4. Pekerjaan selain berusaha tani pisang a. Petani b. PNS c. Pedagang d. Lain-lain 5. Pengalaman berusaha tani pisang a. <5 tahun b. 6 – 10 tahun c. 11-15 tahun 6. Luas kebun yang diusahakan a. <1 ha b. 1- < 2 ha 54 c. 2 -< 3 ha d. > 3 ha II. Budi daya pisang 1. Pola tanam a. Monokultur b. Polikultur 2. Jarak tanam yang digunakan a. Teratur b. Tidak teratur 3. Pengendalian gulma a. Tidak pernah dikendalikan b. Dikendalikan dengan: …… 4. Pengendalian serangga/penyakit a. Tidak pernah dikendalikan b. Dikendalikan dengan: …… III. Panen dan pasca panen 1. Pemasaran a. Dijual ke pedagang pengumpul/ kelompok tani b. Dijual ke pedagang pengumpul dengan sistem ijon 2. Harga jual waktu panen: Rp. …… Per tandan IV. Persepsi petani terhadap penyakit darah pisang 1. Apakah petani mengetahui penyakit darah pisang? a. Ya b. Tidak 2. Apakah petani mengetahui penyebab penyakit darah pisang? a. Tidak tahu b. Tahu 3. Apakah petani pernah melihat hama/serangga pada bunga pisang? a. Pernah b. Tidak pernah 4. Menurut petani, apakah kejadian penyakit ada hubungannya dengan a. Kondisi kebun pisang b. Serangan hama 5. Bagaimana usaha petani mengatasi penyakit darah pisang a. Penyemprotan dengan insektisida b. Penyiangan gulma c. Dibiarkan saja 6. Apakah petani pernah mendapat penyuluhan tentang cara mengendalikan penyakit darah pisang? a. Pernah b. Tidak pernah 55 Lampiran 3. Komposisi bahan kimia masing-masing media yang digunakan untuk pembiakan bakteri Komposisi Larutan TZC Casomina acid Peptone Glukosa Agar Aquades Triphenyl Tetrazalium Chloride 1% (w/v) 1 gram 10 gram 5 gram 17 gram 1 liter 1 ml untuk 200 ml media Sukrosa Peptone Agar (SPA) Sukrosa Peptone Agar Aquades 10 gram 10 gram 12 gram 1 liter Lampiran 4. Uji patogenisitas pada tanaman pisang Cavendish RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 17 Desember 1965 dari ayah Octofianus Markus Sahetapy (Alm) dan ibu Fransina Martha Sahetapy/Matulatua (Alm). Penulis merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan. Tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pertanian. Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Tahun 1998 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di Program Pascasarjana UGM dengan beasiswa BPPS. Tahun 2001 penulis lulus dan mendapat gelar Magister Pertanian (M.P). Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional.