peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor penyakit darah

advertisement
PERANAN BEBERAPA JENIS SERANGGA
SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DARAH
PADA TANAMAN PISANG
BETTY SAHETAPY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peranan Beberapa
Jenis Serangga Sebagai Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Betty Sahetapy
NRP A361080011
RINGKASAN
BETTY SAHETAPY. Peranan Beberapa Jenis Serangga sebagai Vektor
Penyakit Darah pada Tanaman Pisang. Dibimbing oleh NINA MARYANA,
SJAFRIDA MANUWOTO dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Penyakit darah pisang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB).
Bakteri ini dapat ditularkan melalui bibit yang terinfeksi, peralatan pertanian,
tanah yang terbawa air, kontak akar dan serangga pengunjung bunga pisang.
Penelitian diawali dengan pengumpulan contoh serangga di Kecamatan Padang
Tiji, Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh. Lokasi ini merupakan daerah
endemik penyakit darah pisang. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium
Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor sedangkan isolasi, deteksi dan identifikasi BDB
dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai April 2013. Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi serangga
pengunjung bunga pisang, mengidentifikasi isolat BDB yang berasal dari bagian
permukaan dan internal tubuh serangga, deteksi dan identifikasi BDB dari
tanaman dan bagian tubuh serangga dengan teknik PCR, dan menguji beberapa
serangga berpotensi vektor dalam uji penularan BDB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga yang ditemukan di area
pertanaman pisang Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1,
Simpang Betung 2 dan Pante Cermin adalah tergolong dalam ordo Diptera dan
Hymenoptera.
Drosophilidae (Diptera) ditemukan lebih dominan di antara
serangga-serangga tersebut. Kemudian dilakukan juga pengamatan terhadap
kelimpahan serangga dan kejadian penyakit.
Hasil penelitian di kelima desa contoh menunjukkan bahwa persentase
kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi di desa Simpang Betung 1 yaitu
96.90% dan persentasi terendah terjadi di Desa Pante Cermin yaitu 40.68%.
Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat
korelasi positif antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian
penyakit darah pisang, yaitu semakin tinggi kelimpahan serangga semakin tinggi
pula kejadian penyakit.
Data mengenai budidaya dan penegelolaan tanaman pisang di Provinsi Aceh
tersebut dilakukan dengan mewawancarai 50 orang petani pisang menggunakan
kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka. Parameter yang
ditanyakan petani meliputi umur, pendidikan dan pemahaman petani mengenai
penyakit darah pisang. Pemahaman petani mengenai penyakit darah pisang sangat
minim. Petani responden sama sekali tidak mengetahui tentang penyakit darah
pisang pada awal penanaman. Hal ini baru diketahui setelah tanaman pisang di
lahannya menunjukkan gejala akibat serangan penyakit darah pisang. Penanganan
untuk menekan serangan penyakit darah sudah terlambat karena dari awal
penanaman tidak ada penyuluhan mengenai penyakit yang menyerang pisang dan
penanganannya. Umur petani yang berkisar antara 31-50 tahun merupakan umur
produktif dan mempunyai kemampuan untuk bekerja keras dalam pengelolaan
usaha tani pisangnya. Pendidikan petani responden yang umumnya adalah SLTP
iv
dan SLTA memungkinkan petani untuk bisa menerima teknologi atau inovasi
terbaru untuk bisa digunakan dalam memajukan dan mengembangkan usaha
taninya sehingga upaya menekan serangan penyakit darah dapat lebih baik
dilakukan.
BDB berhasil diisolasi dari tubuh serangga, baik permukaan luar maupun
internal. Hasil isolasi dan identifikasi BDB dari serangga ordo Diptera
(Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae) menunjukkan bahwa seranggaserangga tersebut memiliki kapasitas membawa bakteri tersebut dan berpotensi
sebagai vektor BDB.
Bakteri yang diisolasi diidentifikasi uji gram,
hipersensitifitas dan patogenitas. Satu genus yang tergolong dalam famili
Drosophilidae diuji penularan lebih lanjut secara artifisial dari buah pisang ke
Heliconia dan menunjukkan serangga tersebut berpotensi sebagai vektor karena
kemampuannya dalam menularkan BDB ke tanaman sehat yang kemudian
menunjukkan gejala sakit. Keberadaan BDB pada tanaman yang ditularkan positif
terdeteksi melalui uji PCR.
Deteksi PCR dilakukan dengan menggunakan sepasang primer universal
untuk Ralstonia solanacearum 759F dan 760 R terhadap isolat yang berasal dari
bagian luar tubuh serangga dan bagian dalam tubuh serangga serta isolat asal
tanaman. Hasil deteksi PCR menunjukkan hasil yang
positif dengan
teramplifikasi pada ukuran 281 bp. Selanjutnya dilakukan uji penularan BDB
dengan menggunakan serangga Drosophilidae sebagai salah satu serangga yang
berpotensi sebagai vektor BDB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga Drosophilidae mampu
menularkan patogen ke tanaman Heliconia yang sehat. Hal ini dibuktikan dengan
gejala yang muncul pada bunga. Bunga yang bergejala kemudian diisolasi dan
dideteksi keberadaan BDB secara molekuler, hasilnya menunjukkan positif
dengan munculnya pita pada ukuran 281 bp.
Kata kunci : blood disease bacterium, pisang, serangga, Drosophilidae, PCR
SUMMARY
Banana blood disease is caused by blood disease bacterium (BDB). These
bacteria can be transmitted through the infected seeds, agricultural equipment,
water-borne soil, roots contact and insects visiting banana flower. The study
begins with the collection of samples of insects in Padang Tiji Subdistrict, Pidie
Regency, Banda Aceh Province. This location is a banana blood disease endemic
area. Identification of insects was conducted in Insects Biosystematic Laboratory,
Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural
University, while the isolation and identification of BDB was conducted in Plant
Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture,
Bogor Agricultural University.
The study was conducted from November 2011 until April 2013. The
objactives of this study is to observe abundance and to identify insects which visit
banana flower, to identify BDB isolated from external and internal insect body, to
detect and identify of BDB from plant and insect body parts by PCR, and to
examine suspected insect as BDB vector through transmission assay artificially
from BDB-infested banana fruit to Heliconia plant.
The results showed that the insects found in the area of banana plants in
Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 and Pante
Cermin Villages are belong to Diptera and Hymenoptera Orders. Drosophilidae
(Diptera) are found predominantly among these insects. insect abundance and
disease incidence were also observed.
The results in the five sample villages showed that the highest percentage of
banana blood disease incidence occurred in Simpang Betung 1 village that was
96.90% and the lowest percentage occurred in Pante Cermin village that was
40.68%. The average incidence of the five sample villages was 80.36%. There is a
correlation between the abundance of insects Drosophilidae with banana blood
disease incidence. Primary data collection was conducted by interviewing 50
banana farmers using a structured questionnaire with mostly open-ended
questions. Parameters asked to farmers were age, education and understanding of
banana blood disease.
Farmers knowledge about banana blood disease was very litle. Farmer
generally did not aware that banana blood disease occured at the beginning of the
planting. They realized that their plant already infected with the disease when the
plants begun to show symptoms of the disease. Treatment to suppress the blood
disease was late because of no counseling about the disease affecting banana and
its handling. Whereas, the age of farmers are ranging from 31 to 50 showed that
they are still in productive age and has the ability to be able to work harder,
especially in the management of the banana farm. Farmer respondents’ education
that are junior and senior high school should make it easier to farmers to receive
latest technology or innovation to be used in advancing and developing their farm
so that efforts to suppress the blood disease can be done better.
BDB was successfully isolated from the whole body of the insect. Results of
isolation and identification of BDB to the Diptera order (Drosophilidae,
Tephritidae and Muscidae) showed that these insects were expected as vectors of
BDB. Isolated bacteria were confirmed through grams, hypersensitivity and
vi
pathogenicity tests. A genus belonging to the Drosophilidae family showed as a
vector due to its ability to transmit BDB on healthy plants.
The BDB was positivelly detected in transmitted plants that through the
PCR test. PCR detection using Ralstonia solanacearum Primer 759F and 760 R of
the isolates originating from outside body parts of insects, inside body parts of the
insect and plant origin isolates. PCR detection showed positive results with the
ribbon appeared. Further, BDB transmission test using Drosophilidae as insects
potentially as vectors BDB was done and the results showed that Drossophilidae
insects are capable of transmitting pathogens to a healthy Heliconia plant. This is
proven with symptoms appeared on treated flower parts. The symptomed flower
was isolated and the existense of BDB was molecularly detected. The results
positively showed the tape at 281 bp.
Keywords: blood disease bacterium, banana, insects, Drosophildae, PCR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERANAN BEBERAPA JENIS SERANGGA
SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DARAH
PADA TANAMAN PISANG
BETTY SAHETAPY
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
2. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Si.
2. Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi : Peranan Beberapa Jenis Serangga Sebagai Vektor
Penyakit Darah pada Tanaman Pisang
Nama
: Betty Sahetapy
NRP
: A361080011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Anggota
Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Tanggal Ujian: 19 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian
dan penulisan disertasi yang berjudul “Peranan Beberapa Jenis Serangga Sebagai
Vektor Penyakit Darah pada Tanaman Pisang”. Disertasi ini dibuat sebagai salah
satu syarat bagi mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor
pada Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada komisi
pembimbing Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. sebagai ketua dan Ibu Prof. Dr. Ir.
Sjafrida Manuwoto, M.Sc. serta Bapak Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi.
sebagai anggota, atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan mulai
penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir Aunu Rauf, M.Sc. dan Dr. Ir.
Pudjianto, M.Sc. selaku Penguji pada ujian Prakualifikasi lisan, Dr. Ir. Abdjad
Asih Nawangsih, M.Si. dan Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. yang telah meluangkan
waktu sebagai penguji pada ujian tertutup. Saran, kritik dan pertanyaan sangat
membantu penulis dalam penyempurnaan disertasi. Selain itu, ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti, Rektor IPB, Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB berserta seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi yang
telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada
Program Studi Entomologi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan
Fakultas Pertanian serta Ketua Program Studi Agroekoteknologi atas izin dan
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti tugas belajar di Program Doktor
Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi,
Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas bantuan Beasiswa
Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Pemerintah Daerah Maluku yang telah memberikan bantuan dana untuk
penelitian.
Kepada Bapak Dr. Ir. Giyanto, M.Si. dan Ibu Ir. Ivonne Oley Sumaraw,
M.Si. dan rekan-rekan di laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman IPB, Forum Wacana Pascasarjana, penulis menyampaikan
terima kasih atas segala bantuan, dukungan dan waktu yang diluangkan untuk
berdiskusi. Terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Widodo, MSi, Bapak Wawan,
Bapak Abdullah Ali, Ibu Nurbaity, sahabatku Ibu Efi Masauna yang telah banyak
membantu penulis mulai penelitian sampai selesainya penelitian.
Kepada papa Octofianus Marcus Sahetapy (Alm) dan mama Fransina
Martha Sahetapy/Matulatua (Alm) yang telah memberikan kasih sayang serta doa,
kakak-kakakku dengan keluarganya, mami Jacoba Sarah Apituley, kakak-kakak
ipar dengan keluarganya terima kasih untuk kasih sayang dan doa serta semangat
yang selalu diberikan kepada penulis.
Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada suami tercinta James Johannes
Apituley dan anak-anakku terkasih Adventio Christiano Apituley dan Angelo
Johenry Apituley terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat yang
selalu diberikan selama penyelesaian pendidikan ini. Ucapan yang sama untuk
adikku Aleta Benu terima kasih untuk semua dukungan dan semangat serta doa.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak sempat
disebut satu per satu yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan studi. Semoga budi baik dan semua yang sudah diberikan
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga disertasi ini dapat
berguna bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2013
Betty Sahetapy
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
I.
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Tahapan Penelitian
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
Sejarah Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Darah di Indonesia 4
Karakteristik Penyakit Darah
5
Kisaran Inang
6
Penularan dan Penyebaran penyakit
6
Jenis-jenis Serangga yang Berpotensi Sebagai Vektor BDB pada
Tanaman Pisang
7
Potensi Serangga dalam Penyebaran Bakteri Patogen Tumbuhan
7
Tanaman Pisang
8
Interaksi Serangga dan Bunga Pisang
9
Interaksi Serangga dan Bakteri
10
III. KELIMPAHAN DAN IDENTIFIKASI SERANGGA
PENGUNJUNG BUNGA TANAMAN PISANG
11
Abstrak
11
Abstract
11
Pendahuluan
12
Bahan dan Metode
13
Hasil dan Pembahasan
14
Kesimpulan
21
Daftar Pustaka
21
IV. IDENTIFIKASI DAN DETEKSI BLOOD DISEASE
BACTERIUM YANG DIISOLASI DARI TUBUH
SERANGGA
24
Abstrak
24
Abstract
24
Pendahuluan
24
Bahan dan Metode
25
Hasil Dan Pembahasan
27
Kesimpulan
33
Daftar Pustaka
33
V. UJI PENULARAN BDB PADA SERANGGA YANG
BERPOTENSI SEBAGAI VEKTOR
35
DAFTAR ISI (lanjutan)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil Dan Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
VI. PEMBAHASAN UMUM
VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
VIII. DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
35
36
35
36
38
43
43
45
48
49
56
59
DAFTAR TABEL
1. Serangga pengunjung bunga pisang yang tertangkap perangkap lekat
di desa contoh
2. Serangga yang tertangkap jaring serangga di desa contoh
3. Kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang
4. Umur responden
5. Latar belakang pendidikan responden
6. Pekerjaan petani responden selain usaha tani pisang
7. Pengalaman petani responden dalam berusaha tani pisang
8. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman pisang
9. Sistem budidaya pisang
10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%)
11. Sistem pemasaran pisang yang dilakukan petani responden
12. Skoring penilaian gejala kelayuan
13. Skala virulensi
14. Hasil pengujian hipersensitif, patogenisitas dan PCR beberapa isolat
bakteri asal serangga
15. Kejadian penyakit dan masa inkubasi pada uji penularan dengan
serangga
16. Hasil uji PCR dengan Primer 759F dan 760R pada beberapa isolat
asal tanaman dan serangga
17. Ukuran dan lama hidup imago Drosophilidae
14
15
16
17
18
18
18
19
19
20
20
27
27
32
40
42
43
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
Peta tahapan penelitian peranan beberapa jenis serangga sebagai
vektor penyakit darah pada tanaman pisang
Bunga Pisang
Analisa regresi linear kelimpahan serangga Drosophilidae dan
kejadian penyakit
3
9
17
viii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari bagian tubuh serangga
Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari buah pisang pada
media TZC
Uji Hipersensitif pada daun tembakau
Perkembangan gejala penyakit darah pada pisang Cavendish
28
Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R
Kurungan yang berisi tanaman Heliconia yang digunakan sebagai
tenaman uji
Sumber inokulum
Serangga Drosophilidae
Tanaman Heliconia
Isolat BDB asal bunga hasil uji penularan
Isolat BDB asal serangga hasil uji penularan pada media TZC
Visualisasi DNA hasil PCR menggunakan Primer 759F dan 760R
Fase perkembangan seranga Drosophilidae
33
28
29
29
37
37
38
39
41
42
42
44
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh
53
2. Kuesioner petani
56
3. Komposisi bahan kimia masing-masing media yang digunakan
untuk pembiakan bakteri
58
4. Uji patogenisitas pada tanaman pisang Cavendish
55
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan komoditas buah unggulan Indonesia yang dipilih
berdasarkan nilai ekonomis dan strategis karena relatif besar volume produksinya
dibandingkan dengan komoditas buah lainnya (Deptan 2012). Tanaman pisang dapat
tumbuh subur di dataran tinggi atau dataran rendah serta pada iklim basah maupun iklim
kering. Buah pisang berbuah sepanjang tahun karena tidak tergantung pada musim.
Rataan produksi pisang per tahun di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir
(2003 – 2012) adalah sebesar 5.51 juta ton (BPS 2013). Produksi terendah terjadi pada
tahun 2003 yaitu 4.17 juta ton dan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu 6.37
juta ton. Produksi pisang ditahun 2012 mencapai 6.13 juta ton.
Tanaman pisang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi apabila dikelola secara
intensif dan berorientasi agribisnis. Tanaman pisang di Indonesia umumnya ditanam
dengan input produksi dan perhatian yang rendah. Kondisi inilah yang menyebabkan
usaha untuk meningkatkan produksi tanaman pisang menjadi lebih sulit, padahal
tanaman ini dapat tumbuh di berbagai tempat, baik di pekarangan sekitar rumah maupun
di lahan-lahan sawah (Subandiyah et al. 2005). Di samping budidayanya yang kurang
baik, hama dan penyakit tanaman juga menjadi kendala tersendiri dalam usaha
meningkatkan produksi tanaman pisang. Penyakit darah merupakan salah satu penyakit
yang menyerang pertanaman pisang di samping penyakit layu Fusarium dan Sigatoka.
Penyebaran penyakit darah ini dapat terjadi melalui bibit (anakan pisang), tanah, alatalat pertanian dan serangga (Suspendy 2001).
Penyakit darah pada tanaman pisang disebabkan oleh blood disease bacterium
(BDB) (Eden-Green & Sastraatmadja 1990). Nama lain dari BDB masih belum ada
kesepakatan, kadang-kadang disebut Ralstonia solanacearum, walaupun nama ini tidak
dianjurkan (CABI 2003). BDB sebelumnya dikenal dengan nama Pseudomonas
solanacearum atau Ralstonia solanacearum (E.F. Smith) Yabuuchi et al. Ras 2 yang
menyebabkan penyakit layu bakteri, tetapi karena adanya perbedaan kultur dan reaksi
biokimia antara BDB dan R. solanacearum, maka nama BDB lebih tepat digunakan
untuk penyebab penyakit pada tanaman pisang yang menunjukkan gejala penyakit darah
(CPC 2005).
Penyakit darah pisang sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang masih
mewabah hampir di seluruh daerah sentra produksi pisang di Indonesia. Pada tahun
2004, jumlah tanaman pisang yang terserang dilaporkan mencapai
2 116 829 rumpun
(Ditlinhorti 2005).
Kejadian penyakit darah dan penyebarannya di lapangan sangat tinggi. Hal ini
disebabkan oleh belum adanya tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit ini dan
tingginya potensi penularan patogen (Sequeira 1998).
Sampai sejauh ini belum ada informasi yang meyakinkan mengenai serangga yang
berperan sebagai vektor dalam penyebaran penyakit BDB. Banyak penelitian yang
sudah dilakukan terhadap serangga yang berperan sebagai vektor tetapi masih
menghasilkan data yang menyatakan serangga yang berpotensi sebagai vektor.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah:
1. Mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi serangga pengunjung bunga pisang.
2. Mengidentifikasi BDB dari isolat yang dibuat dari bagian-bagian tubuh serangga.
3. Deteksi dan identifikasi BDB dari tanaman dan bagian tubuh serangga dengan
teknik PCR.
4. Menguji beberapa serangga berpotensi vektor dalam uji penularan BDB.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi tentang
peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor penyakit darah pada tanaman pisang
sehingga dapat menetapkan strategi pengandalian untuk mendapatkan tanaman pisang
yang bebas dari serangan penyakit darah.
Tahapan Penelitian
Strategi penelitian yang ditempuh dalam mencapai tujuan yang telah diuraikan
meliputi tahapan penelitian sebagai berikut: (1). Survei, menghitung kelimpahan
serangga, kejadian penyakit dan mengidentifikasi serangga. (2). Identifikasi dan deteksi
Blood Disease Bacterium yang diisolasi dari tubuh serangga. (3). Uji penularan BDB
pada serangga yang berpotensi sebagai vektor. Bagan alur dari tahapan penelitian
disajikan pada Gambar 1.
3
Tanaman pisang yang bebas dari
penyakit darah
Strategi
pengendalian
Kelimpahan dan
identifikasi
serangga
pengunjung bunga
tanaman pisang
(Penelitian I)
Mengetahui jenis-jenis
serangga pengunjung
bunga pisang
Hubungan kelimpahan
serangga dengan
kejadian penyakit
Pengelolaan
tanaman
Memanipulasi
lingkungan
Profil petani dan
pemahamannya tentang
penyakit darah pisang
Karakteristik BDB dari
isolat asal serangga
Identifikasi dan
deteksi BDB yang
disolasi dari tubuh
serangga
(Penelitian II)
Uji penularan
BDB pada
serangga yang
berpotensi sebagai
vektor
(Penelitian III)
Deteksi keberadaan
BDB dari isolat asal
serangga
Mengetahui seranggaserangga yang
berpotensi sebagai
vektor
Kemampuan serangga
dalam menularkan
patogen BDB
Biologi,
morfologi dan
ekologi vektor
Isolasi dan deteksi
keberadaan BDB pada
serangga dan bagian
tanaman yang tertular
patogen
Gambar 1. Tahapan penelitian peranan beberapa jenis serangga sebagai vektor
penyakit darah pada tanaman pisang. Kotak bergaris tebal adalah tahapan
penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Darah di Indonesia
Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan penyakit penting dan berbahaya
karena penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian massal tanaman dalam waktu
singkat sehingga menurunkan produksi. Penyakit darah pertama kali mewabah tahun
1910 di pulau Selayar (Sulawesi Selatan) yang menyebabkan terhentinya pengiriman
lebih kurang 900 ribu sisir pisang tiap tahunnya ke Makassar (Semangun 2000).
Beberapa tahun kemudian, penyakit darah sudah meluas hampir ke seluruh Sulawesi
Selatan (Gaumann 1923). Sejak tahun 1921 melalui lembaran Negara nomor 532,
pemerintah melarang pengangkutan tanaman atau bagian-bagian tanaman pisang dari
Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya ke wilayah lain untuk mencegah penyebaran
penyakit darah (Semangun 2000).
Penyakit darah dilaporkan terdapat di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara serta Jonggol, Jawa Barat (Eden-Green et al. 1988); (Satari &
Sumarauw 1990), Yogyakarta dan Jawa Tengah (Arwiyanto 1988) dan Jawa Timur
(Sumardiono et al. 1997). Tahun 1993, penyakit darah mewabah di Lampung
(Cahyaniati et al. 1997) dan di beberapa sentra produksi pisang lainnya di Sumatera
(Kusumoto 2004). Penyakit darah telah menyebar ke berbagai daerah pertanaman pisang
di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan juga terdapat di hampir semua
negara produsen pisang (Ditlihorti 2005).
Sejak tahun 1987-1990, beberapa ilmuwan di berbagai tempat di Indonesia
melakukan pengamatan penyakit secara mandiri. Di Sulawesi, penyakit BDB secara
aktif mulai menyebar ke Selatan, Utara dan Sulawesi Tengah (Eden-Green et al. 1988;
Stover & Espinoza 1992). Sejak temuan pertama di Jonggol, dekat Jakarta pada tahun
1987 oleh Eden-Green et al. 1988), penyakit ini telah ditemukan di berbagai lokasi di
Jawa Barat (Hanudin et al. 1993; Satari dan Sumarauw 1990; Supriadi et al. 1995). Di
Yogyakarta, Jawa Tengah, penyakit ini juga diamati (Arwiyanto, 1988), sedangkan dari
Jawa Timur penyakit ini juga dilaporkan (Sumardiyono et al. 1997; Masnilah et al.
2001; Mulyadi & Hernusa 2001). Di Sumatera, penyakit darah diakui pada tahun 1993
di Lampung (Cahyaniati et al. 1997; Dikin et al. 1997). Di luar Sumatera dan Jawa,
penyakit ini ditemukan pada tahun 1994/1995 di Bali (Sudana et al. 1999), Lombok dan
pulau Sumbawa tahun 1998/1999 (Supeno 2001).
Eden-Green (1994) memperkirakan penyebaran penyakit darah terjadi dengan
kecepatan 100 km/tahun dan mengatakan hal ini mengancam semua tanaman pisang di
Indonesia karena tidak ada aktifitas yang signifikan untuk menghentikan penyakit
tersebut. Penyakit tampaknya semakin menyebar kearah timur dari pemunculan
pertamanya di Jonggol, dekat Jakarta yaitu mengarah ke sepanjang pantai utara Jawa,
Bali, Lombok dan Sumbawa. Ke arah barat menyebar ke Lampung dan Solok di
Sumatera. Sumber penyakit dapat berasal dari berbagai sumber independen seperti dari
Sulawesi ke Kalimantan, Ambon dan Irian Jaya.
Serangan terparah pernah terjadi di daerah Kalimantan Timur pada tahun 2004
dengan kisaran luas serangan antara 1 000 000 sampai 1 200 000 pohon. Kisaran luas
serangan di Jawa Barat dari tahun 2003 sampai 2005 berkisar antara 10 000 sampai 100
000 pohon.
5
Karakteristik Penyakit Darah
Gejala penyakit darah dicirikan oleh gejala luar dan gejala dalam. Gejala luar
dapat dilihat pada tajuk tanaman dan pada buah, sedangkan gejala dalam dapat dilihat
pada berkas pembuluh batang dan pada daging buah. Gejala luar mulanya terlihat pada
daun tua yang berubah warna menjadi kuning, melemah (flaccid) kemudian patah pada
bagian pangkalnya sehingga daun terlihat patah menggantung, setelah itu warna daun
menjadi kuning kemudian terjadi nekrosis dan akhirnya mengering. Gejala dalam dapat
diamati pada bidang potongan bonggol, batang dan buah. Pada bagian bonggol akan
terlihat lendir berwarna putih susu atau coklat kehitaman yang merupakan massa
bakteri. Kulit buah sering tampak normal, kadang-kadang ada yang tampak kuning
terlalu dini dan kemudian menghitam. Bila buah di potong, bagian dalam buah terlihat
berwarna merah kecoklatan atau menjadi busuk berlendir (Tjahjono & Eden-Green
1988; Eden–Green & Sastraatmadja 1990; Satari & Sumarauw 1990).
Gejala penyakit darah mirip dengan gejala penyakit moko yang terdapat pada
tanaman pisang di Amerika Selatan (Eden-Green & Sastraatmadja (1990) dan gejala
penyakit bugtok di Filipina yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Ras 2
(Yabuuchi et al. 1995). Namun demikian, karakter penyebab penyakit darah sedikit
berbeda dengan R. solanacearum.
Penyebab penyakit darah pada tanaman pisang yang mulanya dikenal dengan
nama Pseudomonas celebensis Gaum (Gaumman 1923 dalam Semangun 2000), secara
fenotip dan genetik berbeda dengan R. solanacearum yang umum dikenal sebagai
penyebab penyakit layu (Fegan 2005). Karakter koloni kultur penyebab penyakit darah,
di antaranya berbentuk bulat (mukoid), tumbuh lambat, agak lengket (viscid), tidak
fluidal, ukuran koloni kecil-kecil (0,5-2mm) setelah diinkubasi selama 72-96 jam pada
suhu 28º C (Baharuddin 1994; Supriadi 1999). Secara fisiologis, karakter penyebab
penyakit darah hampir mirip dengan R. solanacearum, perbedaannya adalah penyebab
penyakit darah tidak mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak mampu
menghidrolisis gelatin (Baharuddin 1994).
Secara genetik, penyebab penyakit darah berbeda dengan R. solanacearum
(Thwaites et al. 1998; Fegan 2005) tetapi berkerabat dekat dengan Pseudomonas syzygii
(Fegan et al. 1998) penyebab penyakit pada tanaman cengkeh. Selain itu penyebab
penyakit darah bersifat lisogenik sedangkan R. solanacearum tidak bersifat lisogenik
(Supriadi 2003). CABI (2003) lebih menganjurkan nama penyebab penyakit darah
adalah blood disease bacterium (BDB) dengan nama penyakitnya adalah penyakit
darah. Ciri-ciri BDB di antaranya adalah ukuran bakteri sekitar 0.5 x 1.0-1.5 µm,
berbentuk batang, gram negatif, tidak aktif bergerak, berflagel, koloni tumbuh lambat,
tidak fluidal, pinggiran rata, dan bagian tengah koloni berwarna merah tua pada media
TZC dan koloninya tidak berfluoresens pada media King’s.
Supriadi (1994) mengemukakan bahwa biakan dari penyakit darah tumbuh
lambat, berbentuk bulat dan agak lengket, koloni kecil (diameter 2-3 mm) pada medium
SPA atau CPG sesudah 72-96 jam pada suhu 29º C. Ciri dari strain BDB adalah gram
negatif, tidak ada fermentasi, reaksi oksidasi dan katalase positif serta adanya akumulasi
poly-ß- hidroksibutirat. Pada media TTC koloni bakteri ini berukuran kecil kurang dari
5 mm, tidak fluidal dan tidak motil, reaksi hipersensitifnya bersifat positif (Eden-Green
1994).
6
Kisaran Inang
BDB secara umum dapat menyerang berbagai jenis pisang yang dibudidayakan.
Hasil survey Muharam et al. (1992) menemukan bahwa di Jawa Barat, pisang ambon
putih paling rentan terhadap penyakit darah sedangkan di Sulawesi Selatan, pisang
kepok paling umum di jumpai terserang. Menurut Baharuddin (1994), hasil pengujian
terhadap 20 spesies tanaman diketahui bahwa BDB mampu menimbulkan gejala
penyakit pada Heliconia collinsiena, H. revolata, Strelitzia reginae, Canna indica,
Solanum ningrum, dan Asclepias currasiva, tetapi tidak mampu menimbulkan gejala
penyakit pada beberapa tanaman yang merupakan inang utama R. solanacearum, seperti
tomat, buncis, tembakau, cabai, kacang tanah, kentang dan terung. Berdasarkan uji
serologi ternyata penyakit darah (P. celebensis) pada pisang di Indonesia juga
mempunyai kemiripan dengan bakteri pada cengkeh (P.syzygii) dan R. solanacearum
(Robinson, 1994). Supriadi (1994) mengemukakan bahwa 10 isolat penyakit darah yang
diinokulasikan ke tanaman pisang varietas ambon, dapat mematikan tanaman pada umur
3-6 minggu setelah inokulasi. Sedangkan isolat penyakit darah lainnya tidak dapat
menimbulkan gejala pada tomat, jahe atau gulma.
Penularan dan Penyebaran Penyakit
Penyebaran penyakit darah pada pisang di Indonesia yang sangat cepat diduga
kuat melalui bibit dan serangga (Eden-Green & Sastraatmadja 1990; Eden-Green 1994;
Supriadi 1999, 2005). Jenis-jenis serangga vektor yang diduga menyebarkan R.
solanacearum ras pisang di Indonesia adalah serangga pengunjung bunga pisang (male
flowering insects), seperti Chloropidae, Drosophilidae, Platypezidae, Culicidae,
Muscidae, Antomyiidae, Sarcopangidae (Diptera), Coleophoridae (Lepidoptera),
Blattidae (Blattodea) dan Apidae (Hymenoptera) yang diduga sebagai vektor
(Leiwakabessy 1999).
Menurut CABI (2003), infeksi yang diperkirakan umum terjadi adalah melalui
serangga pengunjung bunga seperti yang terjadi pada penyebab penyakit moko.
Selanjutnya patogen dapat bertahan beberapa minggu dalam buah (Denny & Hayward
2001). Berdasarkan sifat gejala dalam, patogen diperkirakan menyebar dari buah
menuju anakan melalui berkas pembuluh (CABI 2003). Gaumann (1923) menyatakan
bahwa patogen mampu bertahan dalam tanah selama 1 tahun, kemudian dari dalam
tanah patogen dapat menginfeksi akar tanaman melalui luka. Stover (1972) melaporkan
R. solanacearum ras pisang dapat bertahan di dalam tanah selama 3-18 bulan. Infeksi
BDB melalui serangga berawal pada bunga berkembang ke arah buah dan tangkai
tandan menuju batang sejati hingga ke bonggol dan akar. Penyebaran selanjutnya terjadi
melalui perakaran, tanah, air, dan alat pertanian.
Penyebaran jarak jauh terjadi melalui distribusi materi tanaman sakit seperti tunas
dan buah. Walaupun bersifat soil borne, BDB mengalami penurunan populasi yang
cukup cepat di dalam tanah hingga tersisa sekitar 5% setelah terlepas di dalam tanah
selama 6 bulan. Sebelum menemukan kembali inangnya bakteri ini mampu bertahan
hidup pada tanaman sekerabat pisang seperti Heliconia spp. dan Canna spp (Syahdu et
al. 2007).
Oleh karena itu, sanitasi kebun perlu lebih diperhatikan. Data tentang berbagai
metode penyebaran R. solanacearum mengindikasikan bahwa patogen ini sangat mudah
menyebar, baik melalui benih, air, tanah, maupun serangga, sehingga sulit dikendalikan
jika telah menjadi wabah (outbreak).
7
Jenis-jenis Serangga yang Berpotensi Sebagai Vektor BDB pada Pertanaman
Pisang
Serangga-serangga yang mengunjungi bunga pisang dapat berperan menjadi agen
utama dalam penyebaran patogen penyebab layu bakteri. Leiwakabessy (1999)
menyatakan ada beberapa jenis serangga yang berpotensi sebagai agen penyebar
penyakit layu bakteri antara lain dari ordo Hymenoptera (Apidae), Diptera
(Chloropidae, Sciaridae, Sarcophagidae, Anthomyiidae, Platypezidae, Tephritidae.
Drosophilidae, Muscidae, Syrphidae, Culicidae), Lepidoptera (Coleophoridae),
Blattidae (Blattodea).
Subandiyah et al. (2005) melaporkan ada dua spesies serangga dominan di daerah
pertanaman pisang di Yogyakarta yang mempunyai intensitas penyakit darah pisang
yang tinggi. Serangga tersebut adalah Erionota thrax (Hesperiidae) dan Cosmopolites
sordidus (Curculionidae). Mairawita et al. (2012) melaporkan juga bahwa pada tanaman
pisang yang terserang penyakit darah di Sumatera Barat ditemukan empat ordo serangga
yang berperan yaitu Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera dan Hemiptera. Hal ini
memperkuat pendapat bahwa serangga merupakan salah satu faktor yang berperanan
penting dalam penularan BDB selain melalui bibit terinfeksi, alat-alat pemangkasan,
tanah yang dihanyutkan air maupun kontak akar.
Potensi Serangga dalam Penyebaran Bakteri Patogen Tumbuhan
Harris dan Maramorosch (1980) menyatakan bahwa bakteri masuk ke dalam
jaringan tanaman melalui lubang-lubang alami seperti stomata, hidatoda dan lentisel
atau juga melalui luka yang diakibatkan oleh gigitan serangga. Selain itu sel-sel bakteri
akan bertahan di dalam tubuh serangga jika kondisi lingkungan kurang menguntungkan
untuk perkembangannya.
Sel-sel bakteri melekat pada permukaan tubuh serangga sebagai kontaminan
maupun masuk ke dalam saluran pencernaan serangga. Sel-sel ini akan terbawa pada
saat serangga makan, mengisap nektar bunga atau meletakkan telur (oviposisi), yang
kemudian akan menimbulkan luka sebagai tempat masuk bagi bakteri patogen
tumbuhan (Atkins 1978).
Menurut Harris dan Maramorosch (1980) serangga membantu penyebaran bakteri
patogen tumbuhan melalui beberapa cara, 1. serangga membantu survival bakteri
patogen; 2. penyebaran inokulum primer maupun sekunder dari satu tanaman ke
tanaman yang lain; 3. menimbulkan luka yang diperlukan sebagai jalan masuk bagi
bakteri patogen ke dalam jaringan tanaman inang; 4. membantu bakteri patogen
bertahan dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.
Tanaman Pisang
Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Scitmineae. Famili
Musaceae terdiri dari genus Ensete dan Musa. Semua varietas yang buahnya tidak dapat
dimakan termasuk dalam genus Ensete sedangkan yang buahnya dapat dimakan
dimasukkan dalam genus Musa. Genus Musa terdiri dari 4 seksi yaitu: australimusa,
callimusa, eumusa dan rhodochlamys (Simmonds 1959).
Beberapa varietas pisang yang ditemukan di Indonesia mempunyai nama yang
khas sesuai dengan daerah asalnya, misalnya pisang ambon putih, ambon hijau, pisang
barangan, pisang raja, pisang nangka, pisang tanduk, pisang muli, pisang kepok dan
pisang raja sereh. Di Indonesia terdapat lebih kurang 200 kultivar pisang termasuk
kerabat liarnya, yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kultivar eumusa dan
8
kultivar australimusa. Kelompok kultivar eumusa merupakan pisang komersil yang
banyak mendominasi pasar pisang di Indonesia maupun luar negeri (Nasution 1992).
Tanaman pisang terdiri dari bonggol (corm) dengan anakan (sucker), akar, batang
semu dan rangkaian bunga (inflorescence). Bonggol merupakan batang sebenarnya dari
tanaman pisang yang dalam keadaan normal berada di bawah permukaan tanah.
Meristem apical berada paling atas selama siklus pertumbuhan vegetatif. Meristem
apical secara terus menerus menghasilkan daun baru yang berasal dari bagian tepi
meristem apical. Setelah inisiasi bunga maka meristem apical akan menjadi rangkaian
bunga dan tumbuh dengan cepat pada bagian atas tanaman (Simmonds 1959).
Rangkaian bunga berbentuk simpodial muncul dari batang semu dan tersusun
pada tangkai bunga (peduncle). Setiap bunga terdiri dari bagian bunga betina
(gynoecium), dimana satu tangkai kepala putik (style) dikelilingi 5 atau 6 benang sari
(stamen) dan satu kelopak bunga (tepal) bebas, warnanya tergantung varietas (Gambar
2). Rangkaian bunga awal menghasilkan bunga betina (pistillate) dengan stamen yang
tidak berfungsi yang kemudian berkembang membentuk buah. Selanjutnya rangkaian
bunga yang mulai berkembang dan muncul menghasilkan bunga netral (hermaprodit).
Pada akhir tandan tumbuh kuncup bunga jantan (male bud). Pada pisang liar bunga
jantan yang membuka menghasilkan polen. Kuncup bunga jantan terdiri dari braktea
yang saling menutup dengan rapat (Simmonds 1959).
A
B
C
Gambar 2. Bunga pisang, (A) bunga pisang, (B) bunga betina, (C) bunga jantan
(Sumber: Namu 2008)
Interaksi Serangga dan Bunga Pisang
Asosiasi serangga dengan tanaman dapat dilihat dari serangga sebagai konsumen
dan tanaman sebagai produsen. Perilaku serangga sebagai konsumen dan sifat tanaman
sebagai sumber makanan berperan dalam hubungan antara serangga fitofag dengan
inangnya. Serangga juga mengadakan pemilihan inang dan memiliki preferensi terhadap
inang tertentu. Preferensi inang didefenisikan sebagai kecendrungan serangga dalam
melakukan pemilihan tanaman inang yang tepat bagi perkembangannya. Preferensi
inang merupakan salah satu aspek mekanisme ketahanan tanaman yang disebut
antixenosis atau disebut juga sebagai non preferensi yaitu serangga cendrung tidak
memilih tanaman sebagai makanan sebagai tempat bertelur atau tempat berlindung
(Painter 1951).
9
Hal yang sama juga terjadi antara serangga dengan tumbuhan berbunga
merupakan bentuk asosiasi mutualisme. Interaksi tersebut terjadi karena bunga
menyediakan pakan bagi serangga, yaitu serbuk sari dan nektar.
Tumbuhan
mendapatkan keuntungan dalam penyerbukan. Ketersediaan pakan pada bunga dapat
meningkatkan keanekaragaman serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan.
Keanekaragaman serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan berkaitan dengan
banyaknya bunga yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan. Jumlah nektar dan polen bunga
berpengaruh pada keanekaragaman serangga. Nektar disekresikan oleh kelenjar nektar
dengan kandungan utama gula (sukrosa). Selain nektar, serbuk sari (polen) juga menarik
serangga penyerbuk (Chasanah 2010).
Serangga memilih tanaman inang melalui proses seleksi, terdapat beberapa tahap
seleksi yang berurutan yaitu proses pencarian kemudian serangga melakukan pengujian
secara kontak. Pencarian berakhir dengan penemuan, sedangkan pengujian secara
kontak berakhir dengan penerimaan atau penolakan. Penerimaan merupakan keputusan
yang penting karena akan dilanjutkan dengan memakan atau meletakkan telur, hal ini
beresiko terhadap kesehatan serangga tersebut dan kelangsungan hidup keturunannya
(Schoonhoven et al. 2005). Pemilihan tanaman inang oleh serangga melalui lima
tahapan yaitu, 1. penemuan habitat inang; 2. penemuan inang; 3. pengenalan inang; 4.
penerimaan inang; dan 5. kesesuaian inang. Pada langkah permulaan ini rangsangan
yang menarik bukan dari tanaman namun berupa rangsangan fisik seperti cahaya, angin
dan daya tarik bumi. Selain itu penemuan inang didorong oleh indra penglihatan
terhadap warna dan bentuk tanaman dan indra penciuman terhadap senyawa kimia
tanaman. Penilaian kelayakan tanaman sebagai sumber nutrisi dilakukan dengan
menggunakan sensor kimia. Penerimaan atau penolakan terhadap tanaman inang
dilakukan setelah serangga mengetahui kandungan kimia tanaman. Nilai nutrisi tanaman
dan kandungan senyawa yang bersifat toksik akan menentukan pertumbuhan dan
perkembangan serangga, serta mempengaruhi keperidian dan lama hidup imago. Faktor
fisik dan kimia tanaman sangat berpengaruh dalam proses pemilihan dan penentuan
inang. Faktor tersebut tidak bekerja secara tunggal tetapi bersama-sama membentuk
suatu sistem pertahanan tanaman (Kogan 1982).
Interaksi Serangga dan Bakteri
Peranan Bakteri dalam kehidupan inang serangga terutama pada fungsinya di
dalam nutrisi inang. Bakteri endosimbion dapat menghasilkan senyawa esensial yang
dibutuhkan oleh serangga seperti vitamin, asam amino dan sterol. Serangga tidak
memiliki kemampuan untuk mensintesis 9 asam amino dan keterbatasan ini menjadi
masalah yang signifikan dalam kelompok serangga pemakan daun. Hubungan patogen
terhadap tanaman menyebabkan kehilangan hasil. Patogen masuk ke jaringan floem,
menyebar pada jaringan floem. Masuknya patogen ke dalam tanaman dibantu oleh
serangga yang membuat luka pada tanaman sehingga membantu bakteri untuk masuk.
Luka disebabkan aktivitas makan atau meletakkan telur yang merupakan agen pembawa
(carrier) dari bakteri pada tubuh serangga. Pada beberapa kasus terjadi simbiosis yang
menguntungkan antara keduanya dan serangga memfasilitasi asosiasi yang berlanjut
antara fitopatogen, serangga dan tanaman inang (Harris & Maramorosch 1980).
Beberapa isolat dari bakteri fitopatogenik Erwinia carotovora menempati bagian
dalam tubuh Drosophila melanogaster (Diptera:Drosophilidae) dan mengaktifkan
10
respon imun. Ada dua gen yang diperlukan oleh E. carotovora untuk menempati bagian
dalam tubuh Drosophila melanogaster. Salah satu gen ini memiliki peran regulasi
sedangkan EVF memungkinkan Erwinia meningkatkan kelangsungan hidup di usus dan
memicu respon imun. Ekspresi dari Erwinia virulensi faktor (EVF) memungkinkan
bakteri untuk memasuki sisi apikal epitel usus dan menyebar ke rongga tubuh. Hasil
penelitian menunjukkan adanya interaksi spesifik antara patogen tanaman dan lalat
Drosophila (Basset et al. 2003).
III. KELIMPAHAN DAN IDENTIFIKASI SERANGGA
PENGUNJUNG BUNGA TANAMAN PISANG
Abstrak
Penyakit darah pada pisang yang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB)
masih menjadi masalah serius di Indonesia. Bakteri ini termasuk patogen sangat
merusak dengan sebaran penyakit yang luas. Diduga bahwa serangga pengunjung bunga
pisang berperan dalam penyebaran penyakit darah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengamati kelimpahan dan mengidentifikasi jenis-jenis serangga pengunjung bunga
pisang yang terserang penyakit darah pisang (BDB) di Kabupaten Pidi, Banda Aceh.
Selanjutnya dibahas hubungan kelimpahan serangga dengan kejadian penyakit darah
pisang. Penelitian diawali dengan survei pada sentra produksi pisang yang terserang
penyakit darah. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring serangga
(sweep net) dan perangkap lekat (sticky trap) berwarna kuning yang digantungkan dekat
bunga pisang. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis-jenis serangga yang
tertangkap di Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang
Betung 2 dan Pante Cermin adalah dari ordo Diptera dan Hymenoptera. Jumlah
serangga yang dominan tertangkap adalah Famili Drosophilidae, Muscidae dan
Tephritidae dari Ordo Diptera. Kejadian penyakit di kelima desa contoh menunjukkan
bahwa persentase kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi di Desa Simpang
Betung 1 yaitu 96.90% dan persentasi terendah terjadi di Desa Pante Cermin yaitu
40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat
hubungan korelasi antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian penyakit
darah pisang. Data sekunder diperoleh dengan mewawancarai petani. Hasil survey
menunjukkan bahwa usaha tani pisang dikelola pada lahan seluas 2-< 3 ha. Sebahagian
lahan merupakan milik sendiri. Pengalaman usaha tani pisang berkisar antara 6 - 10
tahun dan seluruh petani mengetahui adanya penyakit yang menyerang tanaman pisang.
Pengetahuan mengenai penyakit darah pisang sama sekali tidak ada karena petani belum
pernah mendapatkan penyuluhan mengenai penyakit darah pisang dan bagaimana cara
mengendalikannya.
Kata kunci: survei, tanaman pisang, kejadian penyakit, BDB, Drosophilidae
Abstract
Blood disease of banana caused by blood disease bacterium (BDB) was still a
serious problem in Indonesia. These bacteria include pathogens that are very damaging
to the wide distribution of the disease in Indonesia. It was suspected that insects visiting
banana flowers have a role in spreading of blood disease. The purposes of this research
were to obtain the abundance and to identify the insects that are present on the banana
plants infected with banana blood disease (BDB). Furthermore, studied the relationship
between the abundance of insects and banana blood disease occurrence. The insects
were collected during a survey on area of banana production center that attacked by
blood disease of insects begins with the insect collection using sweep net and sticky trap
hanging out near the banana flowers. Attacking areas were then designated as village
sample. Insects were collected with sweep net and yellow sticky traps which were
hanging near the banana flower. The results on insects colllcted in the Village Capah
12
Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang Betung 2 and Pante Cermin were
from Diptera and Hymenoptera order. The insects collected during the survey was
dominated by Drosophilidae, Muscidae and Tephritidae that are belong to Diptera order.
Disease occurrence in those five sample villages shown that the highest percentage of
banana blood disease occurrence found in Simpang Betung 1 Village that is 96.90%
while the lowest one found in Pante Cermin Village that is 40.68%. The average of
disease occurrence from those five villages is 80.36%. There is a correlation between
the abundance of Drosophilidae insects with the occurrence of banana blood disease.
Key words: survey, banana plant, disease occurence, BDB, Drosophilidae
Pendahuluan
Penyakit darah yang disebabkan oleh blood disease bacterium (BDB)
menempati urutan pertama dalam daftar prioritas penyakit tanaman pisang di Indonesia
(Valmayor et al. 1991) dan bersifat mematikan karena menginfeksi jaringan pembuluh
secara sistemik (Eden-Green 1992). Perkembangan dan penyebaran penyakit ini
tergolong sangat cepat. Penyebaran geografis penyakit ini di Indonesia sekitar 100 km
per tahun (Eden-Green 1994).
Cahyaniati et al. (1997) melaporkan bahwa pada bulan Mei 1993 penyakit ini
telah menyebar di Kabupaten Lampung Selatan dengan luas areal yang terserang 13.18
ha dan meningkat pada bulan Juni tahun 1993 menjadi 963.38 ha. Sahlan & Nurhadi
(1994), melaporkan bahwa dari tiga propinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat dan
Lampung diketahui bahwa intensitas serangan BDB tertinggi terjadi di propinsi
Lampung yaitu seluas lebih kurang 1 800 ha. Hal ini terjadi karena sebagian besar
kebun telah terinfeksi penyakit dan umumnya varietas yang ditanam rentan terhadap
penyakit tersebut. Begitu pun yang terjadi di Bondowoso, Jawa Timur kejadian penyakit
mencapai 97.7% (Mulyadi & Hernusa 2002) dan di Lombok, Nusa Tenggara Barat
mencapai 86.8% (Supeno 2004). Hasil pengamatan langsung oleh penulis di lapangan
yaitu serangan BDB di Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh, kerusakan hampir
mencapai 100% karena semua perkebunan pisang milik rakyat tidak satupun bisa
dipanen (komunikasi pribadi 2011). Menurut petani setempat serangan penyakit ini
dimulai pada tahun 2008 dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Pada tahun 2011
penyakit BDB mulai menyebar sampai pertanaman pisang yang berada di pekarangan
penduduk. Kejadian penyakit darah dan penyebaran di lapangan sangat tinggi. Hal ini
disebabkan belum adanya tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit ini dan
tingginya potensi penularan patogen (Sequeira 1998). Beberapa peneliti melaporkan
adanya indikasi yang kuat bahwa serangga berperan penting dalam penyebaran penyakit
darah (Maryam et al. 1994; Soquilon et al. 1995). Serangga-serangga pengunjung
bunga yang mungkin berpotensi sebagai vektor penyakit layu bakteri yaitu ordo Diptera
(Chloropidae, Platypezidae, Drosophilidae) (Leiwakabessy 1999) dan Lepidoptera
(Erionata thrax) (Subandiyah et al. 2006). Informasi tentang kelimpahan dan
identifikasi jenis-jenis serangga pengunjung bunga pada tanaman pisang di daerah
endemik BDB di Aceh belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kelimpahan dan mengidentifikasi jenis-jenis serangga yang hadir di
pembungaan tanaman pisang kemudian untuk mengetahui hubungannya dengan
kejadian penyakit BDB di desa contoh.
13
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober - Nopember 2011. Pengambilan contoh
serangga dilakukan di Desa Capah Paloh 1, Capah Paloh 2, Simpang Betung 1, Simpang
Betung 2 dan Desa Pante Cermin yang berada di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten
Pidie, Propinsi Banda Aceh (Lampiran 1). Daerah tersebut merupakan daerah endemik
penyakit darah pisang. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biosistematika
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pengambilan Contoh Serangga Pengunjung Bunga Pisang.
Penelitian diawali dengan survei pada sentra produksi pisang yang terserang
penyebab penyakit darah. Berdasarkan daerah serangan ditetapkan desa contoh.
Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring serangga (sweep net) dan
perangkap lekat kuning (yellow sticky trap). Perangkap lekat berukuran 10 cm x 20 cm
terbuat dari plastik berwarna kuning. Plastik transparan berukuran 10 cm x 50 cm pada
salah satu sisinya dioles tipis dengan lem tikus cap gajah yang berwarna bening,
kemudian di tempelkan pada plastik warna kuning dengan sisi berperekat di bagian luar.
Perangkap lekat dipasang sebanyak 4 buah per rumpun menghadap utara, selatan, timur
dan barat. Setiap desa contoh dipilih 5 rumpun tanaman pisang sebagai tanaman contoh.
Tanaman contoh yang dipilih yaitu tanaman pisang yang sedang berbunga.
Pemasangan perangkap dilakukan selama satu minggu dengan cara digantungkan
dekat bunga pisang. Pengambilan contoh dilakukan setelah satu minggu setelah
pemasangan. Serangga-serangga yang tertangkap dimasukkan ke dalam botol kecil
berisi alkohol 70% untuk keperluan identifikasi serangga. Serangga yang tertangkap
diidentifikasi dengan mengacu pada kunci identifikasi serangga McAlpine (1981),
Colless (1996) dan Naumann (1996).
Penentuan Petani Responden dan Tanaman Contoh
Responden terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang
memiliki kebun pisang. Jumlah responden keseluruhan untuk masing-masing desa
adalah 10 orang dan dari setiap petani diambil lima 5 (lima) tanaman contoh untuk
dihitung kejadian penyakitnya. Data pendukung karakteristik petani dan sistem
budidaya tanaman pisang dari kelima desa contoh diperoleh dengan mewawancarai
petani pisang dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan
bersifat terbuka (lampiran 2). Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan
frekuensi jawaban petani.Data pendukung yang ditanyakan kepada petani meliputi
faktor internal petani seperti pendidikan, luas lahan yang dikelola, pengalaman berusaha
tani pisang dan sistem budidaya tanaman pisang
Kejadian Penyakit
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan terhadap tanaman-tanaman pada kelima
desa contoh. Pada setiap desa diambil 5 petani responden dan dari setiap petani
responden diambil 5 rumpun pisang sehingga total rumpun pisang per desa adalah 25
rumpun. Jumlah tanaman setiap rumpun dihitung dan diperoleh jumlah tanaman contoh
untuk pengamatan kejadian penyakit. Adapun Kejadian penyakit BDB dihitung pada
kelima desa contoh dengan rumus:
14
KP =
n
x 100%
N
Keterangan:
KP = Kejadian Penyakit (%)
n = Jumlah tanaman sakit
N = Jumlah tanaman contoh
Hasil dan Pembahasan
Penyebaran Jenis Serangga Pengunjung Bunga Pisang
Serangga yang tertangkap dengan perangkap lekat di Desa Simpang Betung 1,
Simpang Betung 2, Capah Paloh 1, Capah Paloh 2 dan Pante Cermin adalah ordo
Diptera. Famili serangga yang dominan tertangkap adalah Famili Drosophilidae dan
famili lain yang cukup banyak tertangkap adalah Famili Muscidae dan Tephritidae
(Tabel 1). Banyaknya serangga yang tertangkap di kelima desa ini dipengaruhi oleh
kondisi iklim dan cuaca pada saat dilakukan pemerangkapan. Cuaca mendung dan
intensitas penyinaran yang rendah menyebabkan jumlah serangga yang mengunjungi
bunga pisang berkurang. Martono (1995), mengatakan bahwa cuaca dan iklim
merupakan suatu faktor yang ikut menentukan fluktuasi populasi serangga tanpa
tergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada populasi itu sendiri.
Tabel 1. Serangga pengunjung bunga pisang yang tertangkap perangkap lekat di desa
contoh
Jumlah (individu) per Desa
Ordo Diptera
Simpang
Simpang
Capah
Capah
Pante
Betung 1
Betung 2
Paloh 1
Paloh 2 Cermin
Drosophilidae
110
70
50
81
25
Muscidae
10
2
8
9
6
Calliphoridae
7
3
0
0
3
Micropezidae
8
0
0
0
8
Richartdicidae
5
0
0
0
0
Platypezidae
0
15
0
0
0
Cypselosomatidae
0
5
0
0
0
Tephritidae
8
7
8
6
0
Tethinidae
0
0
5
0
0
Dryomyzidae
0
0
0
5
0
Milichiidae
0
0
0
4
0
Lauxaniidae
0
0
0
3
0
Conopidae
0
0
0
0
4
Phoridae
0
0
0
0
2
Piophilidae
0
0
0
0
4
Neriidae
0
0
0
4
0
Penangkapan serangga dengan menggunakan perangkap lekat lebih efektif
dibandingkan dengan jaring serangga yang ditunjukkan pada Tabel 2. Perangkap lekat
15
dipasang terus menerus selama satu minggu sehingga peluang serangga untuk
tertangkap cukup tinggi. Penangkapan dengan jaring serangga hanya dilakukan pada
saat pengambilan contoh saja. Penggunaan warna kuning pada perangkap lekat
bertujuan untuk menarik sebanyak mungkin serangga untuk berkunjung ke bunga
pisang. Hal ini sesuai dengan Maryam et al. (1997) yang melaporkan bahwa
penangkapan serangga dengan perangkap lekat pada bunga pisang diperoleh lebih
banyak jenis serangga daripada perangkap penghisap (suction trap).
Serangga yang tertangkap dengan jaring serangga jumlahnya relatif sedikit.
Jaring serangga tidak bisa menjangkau serangga yang beraktivitas di sekitar bunga
pisang karena pohon pisang kepok terlalu tinggi. Jenis serangga pengunjung bunga
pisang yang tertangkap selama penelitian baik dengan perangkap lekat maupun jarring
serangga adala Ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropezidae,
Richartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae,
Dryomyzidae, Milichiidae, Lauxaniidae, Conopidae, Phoridae, Piophilidae) dan Ordo
Hymenoptera (Apidae, Vespidae).
Tabel 2. Serangga yang tertangkap jaring serangga di desa contoh
Jumlah (individu)
Ordo
Simpang
Simpang
Capah
Capah
Hymenoptera
Betung 1
Betung 2
Paloh 1
Paloh 2
Apidae
2
0
0
0
Vespidae
0
3
0
0
Pante
Cermin
0
0
Kelimpahan dan keanekaragaman serangga pengunjung bunga di kelima desa di
dominasi oleh serangga Drosophilidae. Drosophilidae ditemukan dalam jumlah yang
tinggi terutama pada desa Simpang Betung 1, Simpang Betung 2, Capah Paloh 1 dan
Capah Paloh 2 karena pada keempat desa tersebut merupakan sentra perkebunan pisang
yang tingkat serangan paling tinggi dan sanitasi serta kebersihan lahan tidak
diperhatikan. Banyak tanaman pisang yang terkena penyakit ditebang dan dibiarkan di
dalam kebun, buah-buah pisang yang sudah membusuk dibiarkan berserakan.
Kelimpahan serangga Drosophilidae jumlahnya 3 kali lebih banyak ditemukan pada
bunga jantan terinfeksi terutama pada keempat desa dari lima desa contoh yang
serangannya paling terparah dibandingkan dengan desa Pante Cermin dengan tingkat
serangan penyakit BDB masih rendah. Dikatakan rendah karena pisang kepok yang
dipanen masih bisa dikonsumsi dan dijual oleh penduduk setempat. Tingginya populasi
Drosophilidae yang ditemukan pada bunga tanaman sakit diduga karena adanya aroma
yang dikeluarkan oleh bunga dari tanaman yang mulai membusuk. Menurut Markow &
Grady (2006), Genus Drosophila selama ini dikenal sebagai fruit flies yang karakteristik
dijumpai pada buah lewat matang atau buah yang membusuk. Drosophila mengambil
makanannya dari bunga yang membusuk dan mungkin menaruh telurnya pada bagian
bunga yang lunak untuk mendukung pertumbuhan larvanya (Kahono et al. 2010).
Jumlah serangga yang dominan selain famili Drosophilidae adalah Muscidae dan
Tephritidae. Menurut Borror et al. (1981), Tephritidae dapat menyerang berbagai buah
dan berperan sebagai hama yang cukup penting. Beberapa Muscidae penting sebagai
hama dan ada yang bertindak sebagai vector penyakit.
16
Kelimpahan Serangga Pengunjung Bunga Pisang
Serangga yang tertangkap tidak semua ditemukan pada setiap desa contoh (Tabel
1 dan Tabel 2) hanya serangga Drosophilidae dan Muscidae saja yang ditemukan di
setiap desa contoh.
Kelimpahan serangga hanya dianalisa terhadap serangga
Drosophilidae yang ditemukan pada kelima desa contoh tersebut (Tabel 3).
Kelimpahan serangga Drosophilidae tertinggi ditemukan pada Desa Simpang
Betung 1 yaitu sebanyak 110 ekor dan kelimpahan terendah ditemukan pada Desa Pante
Cermin yaitu sebanyak 25 ekor dengan rataan dari kelima desa contoh adalah 67.2 ekor.
Drosophilidae ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak. Banyaknya
Drosophilidae disebabkan pada tempat ini juga ditemukan tanaman buah-buahan seperti
pepaya, rambutan dan buah-buahan lainnya yang banyak ditemukan sebagai media
utamanya. Kelimpahan serangga tersebut jumlahnya 3 kali lebih banyak dibandingkan
dengan desa Pante Cermin. Tingginya populasi Drosophilidae pada bunga tanaman sakit
diduga karena serangga tertarik pada bau yang dikeluarkan oleh jaringan bunga atau
buah yang membusuk.
Tabel 3. Kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang
Kelimpahan serangga
Tanaman Jumlah
(individu)
Desa
sakit
tanamDrosoMusci(n)
an (N)
philidae
dae
8
Capah Paloh 1
50
94
116
9
Capah Paloh 2
81
123
129
10
Simpang Betung 1
110
125
129
2
Simpang Betung 2
70
94
107
6
Pante Cermin
25
48
118
Kejadian
penyakit
(%)
81.03
95.35
96.90
87.85
40.68
Hubungan antara Kelimpahan Serangga Drosophilidae dan Kejadian Penyakit
Persentasi kejadian penyakit darah pisang pada kelima desa contoh, tertinggi
terjadi pada desa Simpang Betung 1 yaitu 96.90% dan terendah terjadi pada Desa Pante
Cermin yaitu 40.68%. Rataan kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah
80.36%.
Hubungan antara kelimpahan serangga Muscidae dan kejadian penyakit dapat
dilihat pada Gambar 3. Dari hasil analisis regresi seperti tertera pada gambar 3,
diperoleh nilai regresi (r) adalah 0.879. Dengan menggunakan Tabel nilai korelasi,
dengan jumlah pasangan (n) = 5 dan tingkat kepercayaan 95%, maka nilai kritis korelasi
adalah 0.878.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelimpahan
serangga dengan tingkat kejadian penyakit semakin tinggi kelimpahan serangga maka
semakin tinggi pula persentasi kejadian penyakit, dan sebaliknya. Hal ini sama dengan
yang ditemukan Shimelash et al. (2008) pada bunga pisang kultivar Kayinja (pisang
Awak) yang terserang Banana Xanthomonas Wilt (BXW) yang disebabkan oleh
Xanthomonas axonopodis pv. musacearum di distrik Mukono, Luwero dan Mpigi,
Uganda menemukan serangga pengunjung bunga dalam jumlah yang banyak dari famili
Apidae Plebeina denoiti (Vachal) stingless bee, lalat buah (Drosophilidae) dan grass
flies (Chloropidae). Ketiga jenis serangga tersebut jumlahnya 4 kali lebih banyak pada
bunga jantan tanaman yang terserang penyakit.
17
120.00
y = 0.632x + 37.84
r = 0.879
Kejadian penyakit (%)
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
0
20
40
60
80
100
120
Kelimpahan serangga Drosophilidae (individu)
Gambar 3. Korelasi kelimpahan serangga Drosophilidae dan kejadian penyakit
Karakteristik Petani dan Sistem Budidaya Pisang
Responden petani pisang umumnya berusia antara 31-50 tahun (>80%) dan
diatas 51 tahun (20%) (Tabel 4). Dilihat dari segi umur, petani responden di kelima
desa contoh umumnya tergolong dalam batasan umur produktif. Umur mempengaruhi
kualitas kerja petani dalam melaksanakan kegiatan usahataninya, karena terdapat variasi
kapasitas kerja dan kemampuan dalam mengembangkan potensi dirinya untuk
menerima pengetahuan dan inovasi baru guna meningkatkan usaha budidaya pisang.
Lokasi
Capah Paloh 1
Capah Paloh 2
Simpang Betung 1
Simpang Betung 2
Pante Cermin
Tabel 4. Umur responden
Umur (tahun)
31-40
41-50
40
60
30
50
70
10
50
30
40
30
51-60
0
20
20
20
30
Dari segi pendidikan, umumnya petani responden untuk ke lima desa contoh
adalah lulusan SLTA sebanyak 54%, lulusan SLTP (28%) sedangkan lulusan SD
sebanyak 18% (Tabel 5). Tingkat pendidikan petani pisang di lokasi penelitian sudah
cukup baik karena 50 % dari keseluruhan petani responden adalah lulusan SLTA.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam cara berpikir untuk memajukan usaha tani.
Menurut Palebangan et al. (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani
diharapkan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Jadi berdasarkan pendidikan
dan umur petani pisang di lima desa contoh cukup potensial untuk ditingkatkan
kompetensi budidaya pisang dan pengetahuan budidaya pertanian
18
Tabel 5. Latar belakang pendidikan responden
Persentasi petani (%) berdasarkan pendidikan
Desa
SD
SLTP
SLTA
PT
Capah Paloh 1
20
30
50
0
Capah Paloh 2
10
40
50
0
Simpang Betung 1
30
20
50
0
Simpang Betung 2
30
30
40
0
Pante Cermin
0
20
80
0
Petani pisang responden tidak menggantungkan penghasilannya pada usaha tani
pisang saja, tetapi memiliki usaha lain. Hasil wawancara selain mengelola usaha tani
pisang, petani responden memiliki pekerjaan lain seperti pegawai negeri sipil (20%),
pedagang (14%) dan usaha lainnya (16%) (Tabel 6). Hal ini sangat berkaitan dengan
luas lahan yang dimiliki dimana semakin kecil luas lahan maka pendapatan yang
diterima juga kecil maka membutuhkan peluang untuk mencari usaha lain guna
menambah pendapatannya, dengan demikian petani responden tidak menggantungkan
penghasilan sepenuhnya pada berusaha tani pisang.
Petani responden di kelima desa contoh sudah cukup berpengalaman dalam
budidaya tanaman pisang karena tidak ada yang berpengalaman kurang dari 6 tahun.
74%
berpengalaman dalam usaha tani pisang sekitar 6-10 tahun dan 26%
berpengalaman lebih dari 10 tahun (Tabel 7). Pengalaman berusaha tani kurang
lebih 10 tahun menunjukkan petani responden sudah memiliki kemampuan dan
Tabel 6. Pekerjaan petani responden selain usaha tani pisang
Desa
Capah Paloh 1
Capah Paloh 2
Simpang Betung 1
Simpang Betung 2
Pante Cermin
Persentase petani (%) berdasarkan pekerjaan
Petani
PNS
Pedagang
Lain-lain
20
10
20
50
10
20
20
50
10
10
20
60
20
20
10
50
40
10
10
40
ketrampilan yang cukup. Dengan demikian petani responden memiliki kemampuan
dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi selama menjalankan
usaha taninya dan menerima ide-ide baru dalam usaha pengembangan usaha taninya ke
depan.
Tabel 7. Pengalaman petani responden dalam berusaha tani pisang
Persentase petani (%) berdasar
pengalaman Usaha Tani Pisang
Desa
1-5 tahun
6-10 tahun
11-15 tahun
Capah Paloh 1
0
60
40
Capah Paloh 2
0
70
30
Simpang Betung 1
0
80
20
Simpang Betung 2
0
90
10
Pante Cermin
0
70
30
19
Luas lahan yang diusahakan oleh petani responden masih tergolong dalam skala
rakyat, dilihat dari luas lahan maka belum digolongkan dalam usaha perkebunan. Besar
kecilnya lahan berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan yang diterima dari usaha
taninya. Semakin kecil lahan maka semakin besar ketergantungan untuk memiliki usaha
lain untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini terlihat pada Tabel 8, luas lahan yang
dimiliki 46% sebesar 2 sampai kurang dari 3 ha dan 35% sebesar 1-<2 ha.
Tabel 8. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman pisang
Persentase petani (%) berdasar
luas
lahan (Ha) yang diusahakan
Desa
<1
1 - <2
2 - <3
Capah Paloh 1
0
40
40
Capah Paloh 2
0
40
60
Simpang Betung 1
20
20
40
Simpang Betung 2
20
20
60
Pante Cermin
20
60
20
3
20
0
20
0
0
Sistem Budidaya Pisang
Tanaman pisang yang ditanam secara monokultur yaitu jenis pisang atau varietas
kepok sebesar 75% dengan jarak tanam yang teratur, 25% penanaman secara polikultur
(Tabel 9). Sebagian memiliki tanaman pinggiran yaitu tanaman pinang, papaya, cabe
dan rambutan. Pemupukan dilakukan pada awal penanaman karena berkaitan dengan
program bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah yang diperoleh petani antara lain
berupa bibit pisang dan pupuk.
Desa
Capah Paloh 1
Capah Paloh 2
Simpang Betung 1
Simpang Betung 2
Pante Cermin
Tabel 9. Sistem budidaya pisang
Persentase petani (%) berdasar cara penanaman
Pola tanam
Jarak tanam
Pemupukan
MonoPoliTidak
Tidak
Teratur
Dipupuk
kultur
kultur
teratur
dipupuk
100
0
85
15
100
0
100
0
85
15
100
0
75
25
100
0
100
0
100
0
80
20
100
0
100
0
50
50
100
0
Petani responden dalam praktek usaha taninya khususnya pada awal pengolahan
lahan, 75% petani mengendalikan gulma dengan menggunakan herbisida, 25 % tidak
menggunakan herbisida. Pengendalian hama dan patogen dilakukan dengan cara
eradikasi yaitu penebangan tanaman yang terkena penyakit (Tabel 10). Tanaman pisang
yang ditebang tidak langsung dimusnahkan, tandan pisang dipotong dan dibiarkan
membusuk. Kondisi seperti ini membiarkan sumber inokulum tetap ada dan
memudahkan penyebarannya apalagi di dukung oleh kondisi iklim setempat, curah
20
hujan tinggi. Sistim budidaya, sanitasi kebun yang buruk dan dukungan iklim
menyebabkan tingkat kejadian penyakit yang tinggi.
Tabel 10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%)
Persen petani (%)
Persen petani (%) berdasarkan
berdasarkan
pengendalian hama dan
pengendalian gulma
penyakit
Desa
Tidak
Tidak
DikendaDikendaDikendaDikendalikan
likan
likan
likan
Capah Paloh 1
80
20
25
75
Capah Paloh 2
75
25
35
65
Simpang Betung 1
70
30
20
80
Simpang Betung 2
75
25
30
70
Pante Cermin
0
100
0
100
Sistem Panen dan Pemasaran Pisang
Sistem pemasaran yang dilakukan adalah menjual langsung ke pasar, melalui pedagang
pengumpul atau kelompok tani dan lewat tengkulak/ijon. Yang dimaksud tengkulak
adalah pedagang perantara yang membeli pisang hasil produksi dari petani dengan
mencari sendiri produk yang dihasilkan oleh petani kemudian dikumpulkan dan
selanjutnya dijual (Tabel 11). Panen dilakukan sendiri oleh petani dengan
memperhatikan syarat-syarat pemanenan, antara lain panen dilakukan setelah buah tua
atau bahkan sudah ada yang masak di pohon. Waktu panen buah pisang dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu dengan menghitung jumlah hari dari bunga mekar sampai siap
dipanen atau dengan melihat bentuk buah. Buah yang tua biasanya sudut buah tumpul
dan membulat, daun bendera mulai mengering, bekas putik bunga mudah patah.
Tabel 11. Sistem pemasaran pisang yang dilakukan petani responden
Persen petani (%) berdasarkan cara pemasaran
Melalui pedagang
Desa
Langsung
pengumpul atau kelompok
Ijon
dijual
tani
Capah Paloh 1
80
10
10
Capah Paloh 2
95
5
0
Simpang Betung 1
85
10
5
Simpang Betung 2
90
10
5
Pante Cermin
100
0
0
Pengetahuan petani tentang penyakit darah pisang
Petani responden sama sekali tidak mengetahui tentang penyakit darah pisang
pada awal penanaman. Hal ini baru diketahui setelah tanaman pisang di lahannya
menunjukkan gejala akibat serangan penyakit darah pisang. Penanganan untuk menekan
serangan penyakit darah sudah terlambat karena dari awal penanaman tidak ada
penyuluhan mengenai penyakit yang menyerang pisang dan penanganannya. Akibat
21
serangan penyakit darah , petani di desa contoh kehilangan hasil dan pendapatannya.
Padahal kalau dilihat dari umur petani yang berkisar 31-50 menunjukkan umur yang
masih produktif dan mempunyai kemampuan untuk bisa bekerja dengan lebih keras
terutama dalam pengelolaan usaha tani pisangnya. Pendidikan petani responden SLTP
dan SLTA lebih memungkinkan petani untuk bisa menerima teknologi atau inovasi
terbaru untuk bisa digunakan dalam memajukan dan mengembangkan usaha taninya
sehingga upaya menekan serangan penyakit darah dapat lebih baik dilakukan.
Kesimpulan
Jenis serangga pengunjung bunga pisang pada kelima desa contoh yang
tertangkap yaitu ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropetidae,
Rhicartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae,
Dryomicidae, Milichiidae, Lauxaniidae) dan ordo Hymenoptera (Apidae dan Vespidae).
Drosophilidae merupakan serangga yang dominan diantara serangga-serangga yang
tertangkap. Famili serangga dari ordo Diptera yang tertangkap adalah famili
Drosophilidae, Muscidae, Tephritidae.
Kejadian penyakit di kelima desa contoh menunjukkan bahwa persentase
kejadian penyakit darah pisang tertinggi terjadi pada desa Simpang Betung 1 yaitu
96.90% dan persentasi terendah terjadi pada Desa Pante Cermin yaitu 40.68%. Rataan
kejadian penyakit dari kelima desa contoh adalah 80.36%. Terdapat hubungan korelasi
antara kelimpahan serangga Drosophilidae dengan kejadian penyakit darah pisang.
Petani pisang sebagian besar berumur antara 31-50 tahun dengan tingkat
pendidikan SLTP dan SLTA. Petani responden memiliki pekerjaan lain dan tidak
menggantungkan sepenuhnya pendapatannya dari usaha tani pisang. Umumnya
responden memiliki lahan sendiri dengan luasan <1 sampai ≤3 ha.
Tanaman pisang merupakan usaha tani milik sendiri dengan sistem budidaya
dimana pisang sebagian besar ditanam secara monokultur dengan jarak tanam yang
teratur. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan yaitu pemupukan pada awal penanaman,
penyiangan gulma jarang dilakukan tetapi pengendalian gulma lebih sering dengan
menggunakan herbisida.
Daftar Pustaka
Borror DJ, White RE 1970. A Field Guide to The Insects of America North of
Mexico, Houghton Mifflin Company Boston
Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia,
Tech Bull Jakarta: Directorate of Plant Protection. Directorate General of Food
Crops and Horticulture. In: Supriadi (2005). Present Status of Blood Disease in
Indonesia. In Allen C, Prior P dan Hayward AC (eds). Bacterial wilt disease and
the Ralstonia solanacearum species complex. APS Press: St. Paul,449 -461.
Colless DH, McAlpine DK. 1996. Diptera. Di dalam Commonwealth Sientific and
Industrial Research Organisation (CSIRO) (Division of Entomology). The Insects
of Australia. A text book for students and workers vol 2. Melbourne [AU].
Melbourne University Press. hlm 717-786.
Eden-Green SJ. 1992. Diversity of Pseudomonas solanacearum and related bacteria in
South East Asia. Di dalam Hartman GL and Hayward AC (editor). Bacterial Wilt.
22
Proceeding of an International Conference held at Kaoshiung, Taiwan, 28-31
Oktober1992. ACIAR Publication No.45.
Eden-Green SJ. 1994. Diversity of P. solanacearum and related bacteria in South East
Asia : New Direction for Moko Disease Di dalam Hayward AC & Hartman GL
(Editor). 1994. Bacterial Wilt : The Disease and its Causative Agent, P.
solanacearum, CAB International, pp 25-33.
Kahono S, Mursidawati S, Erniwati. 2010. Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia
patma blume (Rafflesiceae) Di luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Provinsi
Jawa barat Indonesia.
Leiwakabessy C. 1999. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit
layu bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada pisang
di Lampung [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Markow TA, Grady O. 2006. Drosophila: A guide to species identification and use.
London [UK],Elsevier Inc.
Martono E. 1995. Pengembangan pemantauan biometeorology dalam program
pengendalian hama terpadu (PHT). Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian
IV, Yogyakarta [ID] 26-28 Januari 1995.
Maryam Abn., Tata Rasta O, Handayani W dan Sihombing D 1994. Beberapa jenis
serangga pengunjung bunga pisang yang diduga sebagai penular penyakit layu
bakteri (Pseudomonas solanaceurum E.F. Smith) Disampaikan dalam Prosiding
Rapat Kerja Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura, Solok 1719 Nopember 1994. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hotikultura.
Maryam Abn., Tata Rasta O, Handayani W dan Sihombing D 1997. Akuisisi dan
persistensi bakteri layu pada tanaman pisang oleh serangga. Prosiding Seminar
Nasional PEI.
McAlpin JF. 1981. Key to families-adults. Di dalam McAlpine JF, Peterson BV,
Shewell GE, Teskey HJ, Vockeroth JR and Wood DM (Coor). Manual of
Nearctic Diptera vol. 1. Can Govern Pub Cent. P 89-124.
Mulyadi, Hernusa T. 2002. Intensitas penyakit darah pada tanaman pisang yang disebabkan
bakteri Pseudomonas solanacearum di Kabupaten Bondowoso. Prosiding Kongres
XVI dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor: Dept.
Proteksi Tanaman, IPB dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 304-305.
Naumann ID. 1996. Hymenoptera. Dalam Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organisation (CSIRO) (Division of Entomology). The Insects of
Australia. A text book for students and workers vol 2. Melbourne (AU).
Melbourne University Press. Hlm 916-1000
Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin, 2006. Persepsi petani terhadap
pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan system
pertanian organik. J Agrisistem 12(1): 46-53
Sahlan, Nurhadi 1994. Inventarisasi Penyakit pisang di Sentra Produksi Pisang
Sumatera Barat, Jawa Barat dan Lampung, Penelitian Hortikultura Vol.6 No.3.
Jakarta. Hlm 36-39.
Sequeira L. 1998. Bacterial wilt: the missing element in international banana
improvement programs. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone JE, editor.
Bacterial Wilt Disease, Molecular and Ecological Aspect. Gosier, 22-27 Jun 1997.
Berlin: INRA, hlm 6-14.
23
Shimelash DT, Alemu T, Addis FL, Turyagyenda, Blomme G. 2008. Banana
Xanthomonas wild in Ethiopia: Occurrence and insect vector transmission. Afr Crop
Sci J (Special issue: Research advances in Banana and enset in Eastern Africa) 16(1):
75-87.
Subandiyah S, Indarti S, Harjaka T, Utami SNH, Sumardiyono C, Mulyadi. 2005.
Bacterial wilt disease complex of banana Indonesia. In Allen C, Prior P, Hayward
AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia solanacearum Species Complex.
APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A.
Supeno B. 2002. Isolasi dan karakterisasi penyakit darah pisang di Lombok. Prosiding
Kongres XVI dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor:
Dept. Proteksi Tanaman IPB dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 31-37.
Soquilon CE, Magnaye LV 1995. Bugtok disease of banana. Musa Disease Fact, Sheet
No. 6. INIBAP, Montpellier.
IV. IDENTIFIKASI DAN DETEKSI BLOOD DISEASE
BACTERIUM YANG DIISOLASI DARI TUBUH SERANGGA
Abstrak
Patogen penyebab suatu penyakit perlu dideteksi dan diidentifikasi berdasarkan
morfologinya. Identifikasi dilakukan agar dapat dibedakan dengan patogen penyebab
penyakit lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan
mendeteksi BDB yang berasal dari bagian-bagian tubuh serangga. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Nopember 2011 sampai Oktober 2012 di Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Identifikasi dan deteksi BDB dilakukan melalui isolasi BDB dari
bagian luar dan bagian dalam tubuh serangga. Setelah itu, isolat diidentifikasi guna
membuktikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh serangga benar-benar adalah
BDB melalui tahapan uji reaksi gram, uji hipersensitif dan uji patogenisitas. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat, dilakukan deteksi BDB secara molekuler melalui
uji PCR. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa BDB berhasil diidentifikasi dan dideteksi
dari isolat yang dibuat dari bagian-bagian tubuh serangga.
Kata kunci: isolat, BDB, Drosophilidae, PCR
Abstract
The purpose of this study is to identify and detect BDB derived from insect body
parts. The study was conducted from November 2011 to October 2012 in Plant
Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection,Faculty of Agriculture, Bogor
Agricultural University. Identification and detection of BDB were done through
isolation from the outside and the inside of insect’s body parts. After that, the isolates
were identified to prove that the bacteria isolated from the insect's body are really BDB
through stages: gram reaction test, test hypersensitivity and pathogenicity test. To get
more accurate results, BDB performed molecular detection through PCR test. Research
results indicate that the BDB has been identified and detected from isolates made from
the body parts of insects.
Key words: isolates, BDB, Drosophilidae, PCR
Pendahuluan
Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan salah satu penyakit penting di
Indonesia (Supriadi 2005). Penyakit ini disebabkan oleh blood disease bacterium yang
sebelumnya dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum atau Ralstonia
solanacearum (EF.Smith)Yabuuchi et al. Ras 2 yang menyebabkan penyakit layu
bakteri, tetapi karena adanya perbedaan kultur dan reaksi biokimia antara BDB dan
Ralstonia solanacearum maka nama BDB lebih tepat digunakan sebagai penyebab
penyakit pada tanaman pisang yang menunjukkan gejala penyakit darah (CPC 2005).
BDB masuk dalam kompleks spesies R. solanacearum anggota divisi 2, phylotipe IV
dan sequevar 10 (Fegan & Prior 2005). BDB menempati urutan pertama dalam daftar
prioritas penyakit tanaman pisang di Indonesia (Valmayor et al. 1991) dan bersifat
25
mematikan dengan menginfeksi jaringan pembuluh sistemik (Eden-Green 1992). Infeksi
BDB pada pertanaman pisang dapat menyebabkan kematian pada tanaman pisang atau
menghasilkan buah yang tidak dapat dikonsumsi. Serangga sebagai salah satu faktor
yang mendukung penyebaran patogen penyebab penyakit darah berhasil diperangkap
kemudian diisolasi untuk mengidentifikasi BDB yang berasal dari bagian tubuh
serangga. Selain diidentifikasi isolat asal serangga, isolat yang berasal dari buah pisang
juga diisolasi. Hal ini dilakukan untuk dijadikan kontrol dalam identifikasi dan deteksi
BDB secara molekuler.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan dari bulan Nopember 2011 sampai Oktober 2012 di
Laboratorium Bakteri Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Setiap
jenis serangga yang tertangkap dipisahkan segera setelah dari lapang dengan cara
dimasukkan ke dalam botol kecil berisi air steril. Pemisahan ini bertujuan untuk
memudahkan dalam mengisolasi bakteri penyebab penyakit darah pisang dari tubuh
serangga. Kemudian contoh-contoh serangga ini dimasukkan ke dalam kotak es (ice
box) dan di bawa ke laboratorium untuk dilakukan identifikasi bakteri penyebab
penyakit darah pisang. Isolasi untuk melihat keberadaan bakteri penyebab penyakit
darah pisang (BDB) di tubuh serangga dilakukan pada tiap jenis serangga yang
tertangkap dengan menggunakan metode modifikasi isolasi penyakit darah menurut
Cahyaniati et al. (1997).
Isolasi Bakteri Penyebab Penyakit Darah (BDB) dari Bagian Luar (permukaan)
Tubuh serangga
Air pencucian tubuh serangga diambil sebanyak 100 µl dan ditambahkan dengan
air steril sebanyak 900 µl selanjutnya dilakukan pengenceran sebanyak lima tingkatan
(10¹, 10², 10³, 104, 105) konsentrasi yang dipilih yaitu 101, 103 dan 105. Larutan ini
kemudian diteteskan pada media TZC, dengan bantuan glass beat didapatkan bakteri
yang tumbuh secara teratur pada media tryphenyl tetrazolium chlorida (TZC ).
Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam,
selanjutnya diinkubasikan pada suhu 28 ºC, koloni bakteri yang sudah murni ini
dipindahkan ke media SPA selama 1-2 hari pada suhu 28 ºC dan disimpan di dalam air
steril.
Isolasi Bakteri Penyebab Penyakit Darah (BDB) dari Bagian Dalam Tubuh
Serangga
Jaringan tubuh serangga yang disimpan di dalam botol kecil didesinfeksi dengan
larutan natrium hipoklorit sebanyak 3-4 kali selama 5 menit kemudian dibilas sebanyak
3-4 kali dengan air steril untuk menghilangkan sisa-sisa natrium hipoklorit. Jaringan ini
digerus sampai hancur dan ditambahkan air steril sebanyak 10 ml, kemudian diencerkan
secara bertingkat sebanyak 5 kali selanjutnya suspensi bakteri digoreskan pada media
TZC yang telah disiapkan. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah
biakan berumur 48-72 jam, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 28 ºC, koloni bakteri
yang sudah murni ini dipindahkan ke media SPA (sukrosa peptone agar) selama 1-2
hari pada suhu 28 ºC dan disimpan dalam air steril.
26
Identifikasi BDB
Identifikasi dilakukan untuk membuktikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh
serangga benar-benar adalah BDB. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi dari isolat BDB
asal serangga adalah sebagai berikut: koloninya kecil-kecil (2-3 mm), non fluidal, viscid
dan tumbuh lambat. Gram negatif, pigmen fluoresens negatif, hidrolisis arginin negatif,
reaksi hipersensitif positif, produksi bakteriofag negatif dan patogenisitas positif. Isolatisolat ini ditumbuhkan pada media TZC kemudian dilanjutkan dengan pemurnian isolat
pada media SPA (Lampiran 2). Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk memastikan
bahwa bakteri yang diisolasi dari tubuh serangga benar-benar adalah BDB. Identifikasi
terhadap bakteri BDB dilakukan dengan menggunakan 3 tahapan yaitu :
Uji Reaksi Gram
Pengujian ini merupakan tahapan awal dalam mengidentifikasi suatu spesies
bakteri yang belum diketahui. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan larutan
KOH 3% dan jika di dalam pengujian ini ada reaksi (lengket) maka digolongkan dalam
reaksi gram negatif. Sebaliknya jika tidak ada reaksi, maka bakteri tersebut bersifat
gram positif . Koloni bakteri BDB termasuk dalam golongan gram negatif. KOH 3%
diteteskan sebanyak 1-2 tetes di atas kaca objek, dengan menggunakan loop, koloni
bakteri diambil dan dicampur dengan KOH. Setelah 5-10 detik, campuran diangkatangkat dengan menggunakan loop. Bakteri bereaksi positif (gram negatif) ditandai
dengan terbentuknya lendir dan pada loop yang diangkat-angkat tersebut diikuti seperti
benang, sebaliknya bakteri bereaksi negatif (gram positif) ditandai dengan tidak
terbentuknya lendir dan pada loop yang diangkat-angkat tersebut tidak diikuti seperti
benang (Schaad et al 2001).
Uji Reaksi Hipersensitif
Uji reaksi hipersensitif dilakukan untuk menentukan apakah isolat yang berhasil
diisolasi tergolong patogen atau non patogen. Sebagian besar bakteri patogen akan
menimbulkan reaksi hipersensitif bila diinokulasikan pada tanaman bukan inang,
sedangkan bakteri non patogen tidak akan menimbulkan reaksi hipersensitif. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan metode Lelliott & Stead (1987). Isolat BDB dibiakkan
dalam media SPA selama 3 hari kemudian biakkan disuspensikan dengan air steril
hingga diperoleh kerapatan populasi 108 (OD600 = 0.1). Suspensi bakteri diinjeksikan
ke daun tembakau melalui tulang daun sekunder. Isolat yang bersifat patogen akan
menunjukkan gejala putih transparan, kematian jaringan daun (collapse) disekitar
tempat injeksi dalam kurun waktu 24-48 jam setelah injeksi dan akhirnya jaringan daun
mengering.
Uji Patogenisitas
Uji ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat BDB menimbulkan gejala
penyakit pada inangnya. Pada metode ini digunakan metode inokulasi injeksi, patogen
secara langsung diinjeksikan ke dalam jaringan bonggol tanaman pisang sehingga tidak
melalui tahapan proses infeksi alami, sedangkan ada juga metode inokulasi pelukaan
akar, suspensi patogen disiramkan di sekeliling perakaran tanaman sehingga patogen
masih berada di luar permukaan tanaman dan harus melalui semua tahapan proses
infeksi agar dapat menimbulkan gejala penyakit (Goodman et al. 1986). Pengujian ini
bertujuan untuk mengetahui virulensi dari isolat BDB yang berasal dari serangga.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan varietas pisang Cavendish yang berumur
27
4 minggu berasal dari kultur jaringan (Lampiran 4). Pengamatan dilakukan setiap hari
mulai dari tanaman diinokulasikan sampai muncul kelayuan. Untuk mengamati gejala
kelayuan ini dilakukan dengan menggunakan skala perkembangan penyakit layu bakteri
menurut Winstead & Kelman (1952) seperti ditunjukkan pada Tabel 12.
Skor
0
1
2
3
4
5
Tabel 12. Skoring penilaian gejala kelayuan
Deskripsi
Tidak ada gejala kelayuan
1 daun layu
2 – 3 daun layu
Semua daun layu, kecuali 2 atau 3 daun pucuk
Semua daun layu
Tanaman mati
Penentuan virulensi dari setiap isolat BDB asal serangga dilakukan menggunakan
skala virulensi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Skala virulensi
Skor
0
1–2
3–4
5
Deskripsi
Avirulen
Virulensi rendah (*)
Virulensi sedang (**)
Virulensi tinggi (***)
Ekstraksi DNA dan Deteksi BDB secara Molekuler
Isolasi DNA bakteri BDB dilakukan dengan menggunakan Kit ekstraksi
(Geneaid) sesuai dengan petunjuk pada manualnya. Selanjutnya amplifikasi 13 contoh
DNA asal serangga, menggunakan primer Ralstonia solanacearum 759F dan 760R
(Opina et al. 1997). PCR menggunakan bahan: dream tag master mix (Fermentas) 10 µl,
masing-masing primer 1 µl, dna 1 µl, ddH2O 7 µl. Program PCR: denaturasi awal 95
°C selama 2 menit, diikuti dengan denaturasi 94 °C selama 30 detik, annealing
(penempelan primer) pada suhu 55 °C selama 30 detik, ekstensi 72 °C selama 30 detik
(ketiga proses ini diulang selama 30 kali) dan diakhiri dengan final ekstensi 72 °C
selama 5 menit. Hasil PCR dielektroforesis menggunakan 1% gel agarose (0.3 g dalam
30 ml TAE buffer 0.5x) dan pewarnaan dengan EtBr 1 µl. Kemudian hasil
elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator UV dan didokumentasikan dengan
kamera digital.
Hasil Dan Pembahasan
Isolasi Blood Disease Bacterium (BDB) dari Bagian-bagian Tubuh Serangga
Hasil isolasi BDB dari bagian-bagian tubuh serangga hasil penangkapan diperoleh
koloni bakteri dengan ciri-ciri : tumbuh lambat (4-5 hari), berbentuk bulat, berukuran
kecil (diameter <1 mm), berwarna putih dan bagian tengah berwarna merah muda dan
agak lengket pada media bersifat gram negatif berdasarkan uji reaksi KOH (Gambar 4
dan Gambar 5). Karakter isolat BDB yang disebutkan ini sesuai dengan yang dilaporkan
28
oleh Eden –Green & Sastraatmadja (1990) dan Supriadi (1999) bahwa koloni BDB
tumbuh lambat, berbentuk bulat dengan ukuran kecil-kecil (0,5 – 3 mm), non motil, dan
agak lengket (viscid).
A
B
Gambar 4 Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari bagian tubuh serangga,
(A) pada media TZC dan (B) pada media SPA.
Gambar 5 Karakteristik koloni BDB yang diisolasi dari buah pisang pada media
TZC
A
B
Isolat-isolat BDB asal serangga ini sebelum diuji patogenisitas, dilakukan
pengujian reaksi hipersensitif untuk mendeteksi dengan cepat suatu bakteri sebagai
patogen pada tumbuhan. Dalam pengujian ini digunakan tanaman indikator tembakau
yang berumur 2 bulan. Jumlah konsentrasi inokulum bakteri yang disuntikkan ke
tanaman sebanyak 0.2 ml. Sedangkan jumlah populasi awal sel bakteri yang
diinokulasikan ke tanaman uji adalah 108 CFU/ml. Pengamatan gejala dilakukan
setelah 48 jam yang ditandai dengan munculnya gejala hipersensitif pada daun
tembakau berupa gejala nekrotik (Gambar 6).
Gejala awal berupa terkulainya daun (flaccid) mulai hari ke 7 setelah suspensi
BDB diinjeksikan pada bonggol tanaman pisang, daun menjadi layu, menguning dan
nekrosis (Gambar 7) setelah itu tanaman mati pada 21- 28 hari setelah inokulasi. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Rustam (2005) bahwa perkembangan gejala BDB diawali
dengan mengerut atau melemahnya daun tanaman pisang yang terjadi mulai hari ke-6
dengan metode inokulasi penginjeksi suspense BDB pada bonggol dan hari ke-9 dengan
metode inokulasi pelukaan akar dan penyiraman suspensi BDB.
29
A
B
Gambar 6 Uji Hipersensitif pada daun tembakau, (A) sesaat setelah
(B) setelah 48 jam muncul gejala nekrotik
disuntik,
A
B
C
Gambar 7 Perkembangan gejala penyakit darah pada pisang Cavendish, (A) tanaman
pisang sehat (sebelum diinjeksi), (B) daun tanaman pisang yang mulai
melemah, (C) daun tanaman pisang yang mulai layu
Serangga-serangga yang Berpotensi dalam Penyebaran Penyakit Darah Pisang
Berdasarkan beberapa pengujian terhadap isolat BDB yang diperoleh dari
permukaan tubuh serangga dan isolat dari bagian dalam tubuh serangga ada beberapa
serangga berpotensi dalam penyebaran penyakit darah pisang, yang disajikan pada
Tabel 3.
Isolat BDB asal serangga yang diuji reaksi hipersensitif sebanyak 38 isolat, 25
isolat memperlihatkan reaksi positif sedangkan 13 isolat menunjukkan reaksi negatif
(non patogenik). Hasil pengujian patogenisitas menunjukkan bahwa tanaman pisang
yang diinokulasikan dengan bakteri BDB memperlihatkan gejala kelayuan rata-rata
pada umur 14 hari setelah diinokulasi dengan skoring penyakit tertinggi adalah 5.
Diantara isolat-isolat yang memiliki virulensi tertinggi ada 13 isolat yang terdiri dari 3
isolat yang berasal dari dalam tubuh serangga dan 9 isolat yang berasal dari permukaan
tubuh serangga. Sedangkan isolat-isolat yang memiliki virulensi sedang ada 5 isolat dan
virulensi rendah ada 7 isolat.
Jenis-jenis serangga yang berpotensi sebagai vektor adalah dari ordo Diptera
khususnya famili Drosophilidae, Tephritidae, dan Muscidae. Dikatakan berpotensi
karena adanya bakteri BDB yang ditemukan di dalam tubuh pada ketiga ordo tersebut.
Sedangkan serangga dari ordo lainnya bakteri BDB ditemukan pada bagian luar tubuh
serangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Maryam et al. (199e), yang mengatakan
bahwa ordo Diptera (famili Drosophillidae) berpotensi sebagai vektor penyakit layu
bakteri pada pisang yang ditelitinya yaitu kepok dan ambon jepang.
30
Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada diantaranya
bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menunjukkan gejala kelayuan.
Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7 sampai 14 hari untuk virulensi
tinggi, 21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Siege (1993) bahwa strain-strain Ralstonia solanacearum yang
virulensinya tinggi dapat menimbulkan gejala kelayuan yang cepat sebagai akibat dari
peningkatan aktivitas enzim yang berupa polisakarida ekstraseluler. Gejala awal dari
tanaman pisang muda yang terserang penyakit darah adalah apabila bagian tepi daun
berubah warna menjadi kekuningan dan daun-daun ini akan menggulung. Setelah itu
bagian pelepah daun pisang menjadi keriput, selanjutnya pada beberapa daun muda
terjadi nekrotik dan akhirnya layu.
Berdasarkan hasil pengujian patogenisitas, ternyata isolat-isolat BDB asal
serangga yang terjaring mampu menimbulkan gejala layu pada varietas uji. Berdasarkan
hal diatas maka diketahui beberapa jenis serangga berpotensi dalam penyebaran
penyakit darah pada tanaman pisang. Informasi ini sangat penting mengingat serangga
yang telah membawa patogen (bagian luar tubuh dan di dalam tubuh serangga) dapat
mendukung proses perkembangan dan perluasan kejadian penyakit (Tabel 14).
Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada diantaranya
bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menimbulkan gejala kelayuan.
Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7-14 hari untuk virulensi tinggi,
21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Siege (1993).
31
Tabel 14 Hasil pengujian hipersensitif, patogenisitas dan PCR beberapa isolat bakteri asal serangga
Asal isolat
No
isolat
BDBSB1131
BDBSB1132
BDBSB1133
BDBSB1134
BDBSB1135
BDBSB1136
BDBSB1137
BDBSB21310
BDBSB21311
BDBSB21312
BDBSB21313
BDBSB21314
BDBSB21316
BDBSB21317
BDBCP11318
BDBCP11319
BDBCP11320
BDBCP21324
BDBCP21325
BDBCP21326
BDBCP21327
BDBCP21328
BDBCP21329
BDBCP21330
BDBCP21331
BDBCP21332
BDBCP21333
Ordo
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Pengujian Patogenisitas
Famili
Muscidae (a)
Muscidae (b)
Calliphoridae (a)
Micropetidae (a)
Micropetidae (b)
Micropetidae (a)
Drosophilidae (b)
Cypselasomatidae (a)
Cypselasomatidae (b)
Drosophilidae (b)
Tephritidae (b)
Platypezidae (b)
Asilidae (a)
Bombylidae (b)
Micropezidae (a)
Drosophilidae (b)
Tephritidae (a)
Tephritidae (a)
Tephritidae (b)
Micropezidae (a)
Micropezidae (b)
Neriidae (a)
Neriidae (b)
Dryomizidae (b)
Drosophilidae (a)
Drosophilidae (b)
Muscidae (a)
Reaksi
hipersensitif
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
PCR
Periode inkubasi
(Hari)
Skoring
penyakit
Tingkat
virulensi
14
7
0
0
14
28
14
28
0
7
14
14
0
0
28
14
14
28
14
14
21
0
28
21
7
14
21
5
5
0
0
5
2
5
2
0
5
5
5
0
0
2
5
5
2
5
2
3
0
2
3
5
5
3
***
***
A
A
***
*
***
*
A
***
***
***
A
A
*
***
***
*
***
*
**
A
*
**
***
***
**
Hasil deteksi
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
32
Tabel 14 Hasil Pengujian Hipersensitif, Patogenisitas dan PCR Beberapa Isolat Bakteri Asal Serangga (lanjutan)
Asal isolate
No
isolat
BDBCP21334
BDBCP21335
BDBPC1336
BDBPC1337
BDBPC1338
BDBSB1138
BDBSB1139
BDBSB21315
BDBCP11321
BDBCP11322
BDBCP11323
Ordo
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Diptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Pengujian Patogenisitas
Famili
Muscidae (b)
Muscidae (b)
Phoridae (a)
Phoridae (b)
Muscidae (a)
Vespidae (a)
Vespidae (b)
Vespidae (b)
Apidae (a)
Vespidae (a)
Vespidae (b)
Reaksi
hipersensitif
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan:
a
= isolasi BDB dari permukaan tubuh serangga
b = isolasi dari dalam jaringan tubuh serangga
*** = tingkat virulensi
BDB-SB1-13-1 = BDB-nama desa-tahun 2013-isolat nomor urut 1
PCR
Periode inkubasi
(Hari)
Skoring penyakit
Tingkat
virulensi
7
0
28
21
0
0
0
21
0
0
0
5
0
2
3
0
0
0
3
0
0
0
***
A
*
**
A
A
A
**
A
A
A
Hasil deteksi
+
33
Deteksi keberadaan BDB secara molekuler
Visualisasi hasil PCR terhadap 13 contoh DNA dari serangga yang berpotensi
sebagai vektor ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil PCR menunjukkan positif ditandai
dengan terbentuknya pita DNA berukuran 281 bp yang merupakan fragmen DNA dari
BDB penyebab penyakit darah pada tanaman pisang melalui elektroforesis dengan gel
agarose 1%. DNA asal serangga yang berasal dari bagian dalam tubuh dan bagian luar
tubuh menunjukkan hasil yang positif setelah dideteksi secara molekuler (Tabel 14).
500 bp
281 bp
200 bp
Gambar 8
Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R,
(M=marker 100 bp, K+=kontrol positif Ralstonia solanacearum, 1 =
BDBSB21314, 2 = BDBSB1137, 3 = BDBSB1132, 4 = BDBSB1134, 5 =
BDBSB21313, 6 = BDBCP21325, 7 = BDBCP11319, 8 = BDBPC1337, 9
= BDBSB1131, 10 = BDBCP21333, 11 = BDBSB1136, 12 =
BDBCP11320, 13 = BDBCP21331)
Kesimpulan
Serangga ordo Diptera (famili Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae)
berpotensi sebagai vektor penyakit darah pisang (BDB), penyebab penyakit ini
ditemukan di dalam jaringan tubuh serangga. Serangga ordo Diptera (famili Muscidae,
Micropetidae, Cypselasomatidae, Tephritidae, Drosophilidae dan Phoridae) diduga
sebagai pembawa bakteri BDB yang virulen, yang terkontaminasi pada bagian luar
jaringan tubuh serangga.
Deteksi BDB secara molekuler dari isolat asal serangga baik dari isolat yang
berasal dari pemukaan tubuh maupun dari jaringan tubuh serangga menunjukkan hasil
yang positif.
Daftar Pustaka
Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia,
Jakarta: Directorate of Food Crops Protection. Indonesia and Danish Government
Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Denmark (DNK): Tech
Bull.
[CPC] Crop Protection Compendium. 2005. Crop Protection Compendium Global
Module. Wallingford. CAB International.
Eden-Green SJ, Sastraatmadja AH. 1990. Blood disease bacterium present in Java.
FAO Buletin 38:49-90.
34
Eden-Green SJ. 1992. Diversity of Pseudomonas solanacearum and related bacteria in
South East Asia. Di dalam Hartman GL and Hayward AC (editor). Bacterial Wilt.
Proceeding of an International Conference held at Kaoshiung, Taiwan, 28-31
Oktober1992. ACIAR Publication No.45.
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of
Plant Disease. Missouri (US): University of Missouri Press.
Leliott RA, Stead DE. 1987. Methodes For The Diagnosis of Bacterial Diseases
of
Plants. Oxford. Blacwell Scientific Pub.
Maryam Abn, Tata RO, Handayani W dan Sihombing D. 1994. Beberapa jenis serangga
pengunjung bunga pisang yang diduga sebagai penular penyakit layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) Disampaikan dalam Prosiding Rapat Kerja
Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura, Solok 17-19 Nopember.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura.
Rustam 2005. Pengendalian penyakit darah pada tanaman pisang dengan bakteri antagonis
[Thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Schaad NW, Jones JB & Chun W. 2001. Laboratory Guide For Identijkation of Plant
Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. St Paul: APS Press.
Siege DC. 1993 Bacterial Plant Patology: Cell and Molecular Aspects. Cambridge
University Press.
Supriadi. 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis
penyebab penyakit darah pada tanaman pisang. J Hortikultura 9(2): 129-136.
Supriadi 2005. Prcsent Status of Blood disease In Indonesia. Di dalam Allen C, Prior,
Hayward AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia Solanacearum Species
Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A.
Valmayor RV, Umali BE, Bejosano CP. 1991. Summary of discussion and
recommendation of the INIBAP Brisbane Conference. !-4. In: Banana Disease in
Asia and The Pasific. International Network for Asia and The Pasific. INIBAP.
Winstead NN and Kelman A. 1952. Inoculation Techniques for Evaluating Resistance
to Pseudomonas solanacearum. Phytopathology (42):628-634.
V. UJI PENULARAN BDB PADA SERANGGA YANG
BERPOTENSI SEBAGAI VEKTOR
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan kemampuan serangga
Drosophilidae sebagai vektor dalam menularkan BDB pada tanaman pisang sehat.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematik Serangga dan Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor yang berlangsung dari Januari 2013 sampai April 2013. Serangga
Drosophilidae diambil dari lapang kemudian diperbanyak untuk memperoleh keturunan
yang bebas dari penyakit atau patogen. Imago Drosophilidae hasil perbanyakan diberi
makan sumber inokulum kemudian diinokulasikan pada tanaman sehat. Tanaman yang
digunakan adalah Heliconia yang sehat dan sudah berbunga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa serangga Drophilidae mampu menularkan BDB pada tanaman
Heliconia yang menunjukkan gejala, warna bunga kecoklatan dan mahkota bunga
berguguran. Deteksi keberadaan BDB pada isolat yang terbuat dari bagian bunga dan
bagian dalam tubuh serangga yang digunakan dalam uji penularan dengan
menggunakan metode PCR menunjukkan hasil yang positif.
Kata kunci: uji penularan, Drosophilidae, Heliconia, PCR
Abstract
The purpose of this study is to prove the ability of Drosophilidae insect as vector
in transmitting BDB on healthy plants. The study was conducted at Insect
Biosystematics and Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant
Protection,Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University which lasted from
January 2013 until April 2013. Drosophilidae insects taken in the field and then massrared to obtain descendants that are free of the disease or pathogen. Imago
Drosophilidae resulted from mass-raring are fed source of inoculum and then inoculated
on healthy plants. Healthy and flowering Heliconia plants are used. The results showed
that the Drophilidae insect is able to transmit BDB on Heliconia plants whose flowers
turned brownish and the falling flower of petals. Detection of BDB presence in isolates
made from the flowers and inside body part of insect used in the transmission test using
the PCR method showed positive results.
Key words: transmition, Drosophilidae, Heliconia, PCR
Pendahuluan
Penyakit darah pisang (BDB) merupakan salah satu penyakit penting pada
tanaman pisang yang serangannya telah berkembang luas dan menjadi kendala utama
usaha pengembangan dan peningkatan produksi pisang di Indonesia. Penularan penyakit
darah pisang (BDB) yang dilakukan oleh serangga telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Nurhadi (1993) melaporkan bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga
vektor dari satu tanaman ke tanaman lain setelah melalui 1. periode makan akuisisi yaitu
waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan
patogen; 2. periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan
36
pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen; dan 3. periode retensi yaitu
selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan
ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor
yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit.
Pada patogen yang bersifat persisten terdapat periode laten yaitu waktu yang
diperlukan patogen berada dalam tubuh vektor sampai dapat ditularkan (Carter 1973).
Patogen persisten bersifat sirkulatif dalam tubuh vektor yaitu apabila patogen masuk
melalui stilet menuju saluran pencernaan, kemudian bersama protein, lemak dan unsurunsur lainnya masuk ke darah melalui dinding saluran pencernaan di mesenteron,
selanjutnya terbawa aliran darah menuju kelenjar ludah dan dikeluarkan kembali
melalui stilet (Carter 1973).
Serangga-serangga yang dilaporkan selama ini masih berpotensi sebagai vektor
dan belum ada laporan khusus mengenai serangga vektor dari penyakit BDB ini. Dalam
penelitian ini serangga-serangga yang teridentifikasi dan terdeksi BDB di dalam
tubuhnya maupun pada bagian luar tubuhnya boleh dikatakan berpotensi dalam
penularan patogen BDB. Untuk membuktikannya maka dilakukan uji penularan BDB
dengan menggunakan serangga Drosophilidae sebagai salah satu serangga yang
berpotensi sebagai vektor.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga dan
Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Januari sampai dengan April 2013.
Pemeliharaan Drosophilidae
Lalat Drosophilla yang digunakan dalam uji penularan berasal dari pertanaman
pisang di sekitar Darmaga Bogor. Lalat-lalat hasil penangkapan ini kemudian
dipelihara dan diperbanyak. Perbanyakan lalat Drosophilla di laboratorium dilakukan
untuk menghasilkan generasi kedua, keturunan yang bebas dari penyakit atau patogen.
Penyiapan Tanaman Uji
Tanaman uji yang digunakan dalam penelitian adalah pisang-pisangan
(Heliconia) yang sudah berbunga dan berumur 5 bulan. Tanaman Heliconia ini
dipelihara di dalam polibag yang berukuran 25cm x 25cm. Media tanam berupa
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Tanaman uji dipelihara
di dalam kurungan besar berukuran 150 cm x 40 cm x 60 cm dan dipelihara sampai
menghasilkan bunga (Gambar 9). Tanaman Heliconia digunakan sebagai tanaman uji
karena Heliconia dan pisang termasuk dalam satu famili yaitu Musaceae.
37
Gambar 9. Kurungan yang berisi tanaman Heliconia yang digunakan sebagai
tanaman uji.
Penyediaan Sumber Inokulum
Sumber inokulum berupa buah pisang yang terkena penyakit darah diperoleh dari
Aceh (daerah endemik BDB).
Buah pisang yang sakit juga diisolasi untuk
menumbuhkan bakteri penyebab penyakit darah pada media TZC dan dimurnikan pada
media SPA. Isolat yang berasal dari buah pisang sakit digunakan sebagai sumber
inokulum yang dioleskan pada buah pisang matang (Gambar 10).
A
B
C
Gambar 10. Sumber inokulum; (A) buah pisang sakit, (B) buah pisang yang diolesi
isolat BDB, (C) isolat BDB
Uji Penularan BDB menggunakan Serangga Drosophilidae
sebagai serangga penular
adalah dari stadium
A Lalat Drosophilidae yang digunakan
B
C
imago yang diperoleh dari hasil perbanyakan di laboratorium (Gambar 11). Pada
pengujian ini, serangga uji dipuasakan selama 6 jam. Setelah itu dibiarkan melakukan
periode makan akuisisi (makan pada sumber inokulum) selama 4 hari. Setelah melalui
periode makan akuisisi, lalat dipindahkan ke tanaman uji yang sudah disiapkan untuk
melakukan periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 4 hari. Untuk uji
penularan ini, jumlah masing-masing serangga uji yang digunakan adalah 1, 3, 5, 7 dan
9 ekor/tanaman. Perlakuan pada tanaman kontrol menggunakan lalat yang diberi
periode makan akuisisi pada buah pisang yang sehat dengan periode akuisisi, periode
laten dan periode inokulasi yang sama dengan perlakuan lainnya.
Uji penularan dilakukan untuk mengetahui peranan Drosophilidae sebagai vektor
dalam menularkan bakteri BDB pada tanaman pisang dan untuk memperoleh informasi
terkait jumlah minimal vektor untuk dapat menularkan penyakit darah. Parameter yang
digunakan dalam uji penularan ini adalah kejadian penyakit dan masa inkubasi (waktu
38
dimana gejala penyakit pertama kali muncul setelah inokulasi). Setelah melalui periode
makan inokulasi , serangga uji dikeluarkan dari kurungan dan diisolasi untuk melihat
keberadaan bakteri BDB baik pada bagian luar tubuh maupun pada bagian dalam
tubuh. Metode isolasi sama dengan yang dilakukan untuk serangga hasil penangkapan
pada pertanaman pisang.
B
A
Gambar 11. Serangga Drosophilidae; (A) Dorsal, (B) Lateral
C
A
D
B
C
A Tanaman Heliconia; (A) bunga Heliconia (B) yang
Gambar 12.
digunakan dalam uji penularan, (C) bunga Heliconia hasil
uji penularan
Deteksi keberadaan BDB
Infeksi BDB pada tanaman yang diinokulasi, diisolasi kemudian dideteksi
keberadaan BDBnya dengan metode PCR. Bagian tanaman yang diisolasi adalah bagian
bunga karena pada uji penularan bagian bunga yang diberi perlakuan. Serangga hasil uji
penularan juga diisolasi kemudian dideteksi dengan menggunakan metode PCR. Primer
yang digunakan sama dengan yang dipakai untuk mendeteksi keberadaan BDB pada
isolat asal serangga yaitu Primer R. solanacearum 759 F dan 760 R.
Hasil Dan Pembahasan
Uji Penularan BDB menggunakan Serangga Drosophilidae
Uji penularan BDB pada tanaman
Heliconia menggunakan serangga
Drosophilidae. Drosophilidae merupakan salah satu serangga yang telah diuji
keberadaan bakteri BDB dan ditemukan dalam tubuhnya lewat isolasi. Bagian tanaman
yang digunakan sebagai sumber inokulum yaitu buah pisang yang sakit dan buah pisang
yang sudah matang yang diolesi dengan isolat BDB. Selama masa akuisisi, pada
kurungan yang diberi pakan buah pisang sakit, lalat Drosophilidae tidak bertahan hidup
dalam waktu 1 hari dan lalat-lalat tersebut mati hal ini disebabkan karena lalat selalu
tertarik dengan bau yang dikeluarkan oleh buah atau bunga sedangkan pisang sakit,
buahnya belum matang dan permukaannya kasar sehingga lalat tidak bisa mengisap zat-
39
zat yang terkandung dalam buah pisang tersebut. Hal ini dikuatkan dengan pendapat
dari Nais (2004); Markow & Grady (2006) yang menyatakan bahwa Drosophila selama
ini dikenal sebagai fruit flies yang karakteristik pada buah lewat matang atau buah yang
membusuk Drosophilla mengambil material dari bunga R. patma yang membusuk dan
dimungkinkan menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak untuk pertumbuhan
larvanya. Sedangkan pada kurungan yang diberi makan buah pisang yang sudah matang
dan diolesi dengan isolat BDB serangga bertahan hidup selama masa akuisisi.
Kejadian Penyakit dan Masa Inkubasi
Uji penularan dengan menggunakan serangga Drosophilidae yang diberi makan
akuisisi selama 4 hari, periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 4 hari
menunjukkan hasil yang positif kecuali untuk perlakuan dengan 1 ekor dan pada
perlakuan kontrol (Tabel 15).
Tabel 15. Kejadian penyakit dan masa inkubasi pada uji penularan dengan serangga
Kejadian penyakit
Masa inkubasi
Jumlah serangga
(Gejala/ulangan)
(HSP)
Kontrol
0/3
1
0/3
3
2/3
79.0
5
2/3
71.0
7
2/3
50.5
9
2/3
31.0
HSP = Hari Sesudah Perlakuan
Masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari 31.3 sampai 79.0
hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang diinokulasi 9 ekor
yaitu 31.3 hari dan terpanjang 79.0 hari (Tabel 15). Hal ini disebabkan karena makin
banyak populasi serangga yang diinfektif, maka makin banyak pula patogen yang
ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan masa inkubasi lebih
cepat.
Mahfud (1987) mengemukakan bahwa konsentrasi patogen dalam sistem
tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penularan
penyebab penyakit dalam tanaman. Laju penyebaran penyakit pada kondisi alami
tergantung dari kepadatan populasi vektor, jumlah inokulum bakteri pada tanaman,
lamanya periode makan akuisisi dan lamanya periode inokulasi (Chen 1998).
Gejala Penyakit yang Teramati pada Tanaman Uji
Bagian bunga yang menunjukkan gejala terlebih dahulu karena inokulasi
dilakukan pada bagian bunga. Sewaktu dilakukan uji penularan, bagian bunga dan
serangga disungkup supaya tidak diganggu oleh serangga yang lain Gejala yang
nampak, bunga mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada mahkota
bunga mulai berguguran. Bunga menimbulkan gejala lebih dahulu karena serangga
mengisap nektar dan mengeluarkan air liur yang sudah mengandung bakteri dan
menularkannya pada bunga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Hadiwiyono
(2010) menunjukkan bahwa inokulasi suspensi BDB pada bunga pisang juga dapat
menyebabkan gejala penyakit. Sedangkan gejala yang muncul pada bagian lain dari
40
tanaman cukup lama, hal ini disebabkan karena penularan berlangsung secara alami
yang dilakukan dengan bantuan serangga.
Gejala yang teramati pada tanaman yang diberi perlakuan, pinggiran daun
mengalami nekrosis, daun menguning dan layu. Proses terjadinya nekrosis diawali
dengan tertularnya jaringan bunga oleh patogen melalui alat mulut serangga pada saat
menjilat permukaan bunga, aktivitas yang dilakukan oleh serangga mengakibatkan luka
sehingga memudahkan patogen masuk ke dalam jaringan tanaman. Kehadiran patogen
dalam jumlah yang relatif banyak dapat menimbulkan gejala klorosis bahkan terjadinya
nekrosis (Diah 2002).
Isolasi dan Deteksi BDB menggunakan PCR
Hasil uji penularan menunjukkan bahwa serangga Drosophilidae mampu
menularkan patogen ke bagian bunga dari tanaman Heliconia. Bunga hasil uji penularan
setelah diisolasi ditemukan bakteri BDB (Gambar 12). Hal yang sama dilakukan
terhadap serangga Drosophilidae selaku serangga uji penularan dimana setelah
diinokulasi kemudian diisolasi BDB dari bagian tubuhnya. Hasilnya ditemukan bakteri
BDB pada bagian tubuhnya yang digerus sedangkan air cucian tubuhnya tidak
ditemukan bakteri (Gambar 14)
Setelah itu dideteksi dengan metode PCR baik terhadap isolat asal bunga maupun
serangga hasil uji penularan. Primer yang digunakan yaitu Ralstonia solanacearum 759
F dan 760 R.
A
A
B
Gambar 13. Isolat BDB asal bunga hasil uji
penularan, (A) pada media TZC, (B)
pada media SPA
Gambar 14. Isolat BDB asal serangga hasil uji penularan pada media TZC
41
500 bp
281 bp
Gambar 15. Visualisasi DNA hasil PCR meggunakan primer 759F dan 760R
(M=marker 100 bp, + = kontrol positif Ralstonia solanacearum, 1 = BP, 2
= BPh1, 3 = BPh2, 4 = SG1, 5 = SG2)
Visualisasi hasil PCR terhadap bagian tanaman dan serangga yang di uji
ditunjukkan pada Gambar 15. Bunga dan serangga hasil uji penularan menunjukkan
hasil PCR yang positif. Contoh DNA berasal dari bunga pisang pada perlakuan yang
menggunakan Drosophilidae 7 dan 9 ekor. Hasil positif juga diperoleh pada serangga
Drosophilidae yang digunakan pada uji penularan (Tabel 16).
Tabel 16. Hasil uji PCR dengan Primer 759F dan 760R pada beberapa isolat asal
tanaman dan serangga
No.
1
2
3
4
5
Kode Isolat
BP
BPh1
BPh2
SG1
SG2
Asal Isolat
Buah pisang
Bunga pisang
Bunga pisang
Serangga gerus
Serangga gerus
Hasil PCR
+
+
+
+
+
Keterangan
Uji penularan
Uji penularan
Uji penularan
Uji penularan
Biologi dan perilaku Serangga Drosophilidae
Metamorfosis pada Drosophilidae termasuk metamorphosis sempurna yaitu dari
telur larva–pupa–imago. Perkembangan dimulai segera setelah terjadi fertilisasi, yang
terdiri dari dua periode. Pertama, periode embrionik di dalam telur pada saat fertilisasi
sampai pada saat larva muda menetas dari telur dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih
24 jam (Tabel 17).
Tabel 17 Ukuran dan lama hidup imago Drosophilidae
Rentang sayap
Panjang tubuh
Lama hidup
Jumlah contoh
Imago
(mm)
(mm)
(hari)
(ekor)
a
3.20 – 5.70
1.20 – 2.10
Jantan
(4.25 ± 0.48)b
(1.64 ± 0.48)
4.00 – 19.00
50
(15.76 ± 3.94)
3.50–5.70
1.10 – 2.70
Betina
(4.80 ± 0.49)
(2.26 ± 0.29)
a
Kisaran, brata-rata ± standar deviasi
Telur Drosophilidae berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya diletakkan
di permukaan makanan. Betina dewasa mulai bertelur pada hari kedua setelah menjadi
lalat dewasa dan meningkat hingga seminggu sampai betina meletakkan 50-75 telur
perhari dan mungkin maksimum 400-500 buah dalam 10 hari (Silvia 2003). Telur
Drosophila dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi
sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan di anteriornya
42
terdapat dua tangkai tipis. Khorion mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur
tersebut (Borror et al. 1981).
Larva Drosophilidae berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti cacing, dan
menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Untuk pernafasan pada trakea,
terdapat sepasang spirakel yang keduanya berada pada ujung anterior dan posterior.
Selama makan, larva membuat saluran-saluran di dalam medium dan jika terdapat
banyak saluran maka pertumbuhan dapat dikatakan berlangsung baik. Larva yang
dewasa biasanya merayap naik pada dinding wadah pemeliharaan dan disini larva akan
melekatkan diri pada tempat kering dengan cairan seperti lem yang dihasilkan oleh
kelenjar ludah dan kemudian membentuk pupa.
Saat larva Drosophilidae membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek,
kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar 4.
Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki. Puparium
(bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada stadium pupa ini,
larva dalam keadaan tidak aktif dan dalam keadaan ini, larva berganti menjadi lalat
dewasa (Ashburner 1985).
Struktur dewasa tampak jelas selama periode pupa pada bagian kecil jaringan
dorman yang sama seperti pada tahap embrio. Pembatasan jaringan preadult (sebelum
dewasa) disebut anlagen. Fungsi utama dari pupa adalah untuk perkembangan luar dari
anlagen ke bentuk dewasa. Setelah keluar dari pupa, lalat dewasa warnanya masih pucat
dan sayapnya belum terbentang. Sementara itu, lalat betina akan kawin setelah berumur
8 jam dan akan menyimpan sperma dalam jumlah yang sangat banyak dari lalat buah
jantan.
Pada ujung anterior terdapat mikrophyle, tempat spermatozoa masuk ke dalam
telur, walaupun banyak sperma yang masuk ke dalam mikrophyle tapi hanya satu yang
dapat berfertilisasi dengan pronuleus betina dan yang lainnya segera berabsorpsi dalam
perkembangan jaringan embrio (Borror et al.1981). Tahapan fase perkembangan lalat
Drosophilidae (Gambar 16).
Drosophilidae dapat ditemukan dekat pertanaman atau buah yang membusuk,
juga muncul di rumah-rumah yang menyimpan buah-buahan. Larva hidup dalam buah
yang membusuk dan jamur-jamur yang tumbuh disekitarnya. Sedikit yang bersifat
ektoparasit pada ulat, beberapa jenis pada stadia larvanya bersifat predator terhadap
kutu dan beberapa homoptera kecil. Lalat ini sering digunakan untuk studi genetika
(Borror et al. 1981).
43
A
B
C
D
B
D
Gambar16. Fase perkembangan serangga Drosophilidae; (A)
telur, (B) larva, (C) pupa, (D) imago
Kesimpulan
Pada uji penularan masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari
31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang
diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang pada tanaman yang diinokulasikan 3
ekor serangga Drosophilidae yaitu 79.0 hari. Serangga ordo Diptera, famili
Drosophilidae mampu menularkan patogen BDB pada tanaman Heliconia yang sehat.
Gejala yang muncul dalam uji penularan sangat lambat karena penularan
berlangsung secara alami dengan perantara serangga.
Deteksi keberadaan BDB dengan pengujian molekuler menunjukkan hasil yang
positif dengan terbentuknya pita pada ukuran 281 bp baik pada DNA asal tanaman
maupun DNA serangga uji.
Daftar Pustaka
Ashburner M. 1989. Drosophila, A Laboratory Handbook. USA : Coldspring Harbor
Laboratory Press.
Borror JD, De Long DM, Triplehorn CA. 1981. Introduction to the study of insect.
Philadelphia, Saunders College Publishing. 928 p.
Carter W. 1973. Insect in Relation to Plant Diseases. New York (US): John Willey &
Sons.
Chen CN. 1998. Ecology of the insect of citrus systemic disease and their control in
Taiwan. Citrus Greening Control Project in Okinawa. Japan (JP): Extension
Bulletin. 459: 1-5.
Diah. YIGA. 2002. Penyebaran Bakteri Liberobacter Asiaticum pada Tanaman Jeruk
dalam Beberapa Tingkat Gejala Serangan Penyakit CVPD. Tesis. Universitas
Udayana, Program Studi Bioteknologi Pertanian. Denpasar.
Hadiwiyono, 2010. Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang : Infeksi dan
Keanekaragaman Genetika Patogen. Disertasi. Yogyakarta. Universitas Gadjah
Mada.
44
Markow T, Grady O 2006. Drosophila: A guide to species identification and use.
London (UK). Elsevier Inc.
Mahfud MC. 1987. Penularan penyakit CVPD oleh Diaphorina citri K. Gatra
Penelitian Penyakit Tumbuhan dalam Pengendalian Secara Terpadu. Hal 42-43.
Nurhadi. 1993. Aspek epidemic penyakit CVPD: prediksi kecepatan perkembangan
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kecepatan
perkembangan. Penelitian Hortikultura 5 (2) : 71-72.
Nais J. 2004. Rafflesia Bunga Terbesar di Dunia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka. [Internet] [diunduh 2010 Agustus 1] Tersedia pada: http://en.
Wikipedia.org/wiki/Rafflesia.
Silvia T. 2003. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsenterasi Formaldehida Terhadap
Perkembangan Larva Drosophila [Skripsi]. Bandung : Fakultas Biologi,
Universitas Padjadjaran.
VI. PEMBAHASAN UMUM
Penyakit darah pada tanaman pisang merupakan penyakit penting dan berbahaya
karena penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian massal tanaman dalam waktu
singkat sehingga menurunkan produksi. Penyakit darah sudah lama dikenal di
Indonesia. Gejala penyakit darah dicirikan oleh gejala luar dan gejala dalam. Gejala luar
dapat dilihat pada tajuk tanaman dan pada buah, sedangkan gejala dalam dapat dilihat
pada berkas pembuluh batang dan pada daging buah. Penyebab penyakit darah adalah
blood disease bacterium (BDB).
Hasil survei penulis di Kabupaten Pidie, Kecamatan Padang Tiji (Banda Aceh)
pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pisang kepok paling umum terserang penyakit
darah. Jenis pisang kepok umumnya ditanam secara monokultur pada kebun-kebun
milik petani. Secara umum BDB dapat menyerang berbagai jenis pisang yang
dibudidayakan. Hasil survei Muharam et al. (1992) menemukan bahwa di Jawa Barat,
pisang ambon putih paling rentan terhadap penyakit darah sedangkan di Sulawesi
Selatan, pisang kepok paling umum dijumpai terserang. Patogen dapat ditularkan
melalui beberapa cara, diantaranya melalui bibit terinfeksi, alat-alat pemangkasan, tanah
yang dihanyutkan air, kontak akar dan serangga yang mengunjungi bunga.
Survei kelimpahan serangga pengunjung bunga pisang dilakukan di lima desa
contoh menghasilkan data bahwa serangga-serangga yang hadir di bunga pisang
didominasi oleh serangga dari ordo Diptera dan ordo Hymenoptera. Mekanisme
penularan BDB umumnya melalui serangga pollinator pada bunga pisang. Bakteri yang
terbawa serangga kemudian melakukan penetrasi pada nektartoda atau luka pada bunga
pisang yang tidak menjadi buah. Menurut Leiwakabessy (1999), serangga yang
mengunjungi bunga dapat berperan sebagai pembawa patogen yang menempel pada
bagian luar tubuh serangga dan menjadi salah satu cara penyebaran penyakit.
Bakteri masuk kedalam jaringan akar tanaman melalui lubang alami, luka buatan
akibat alat pertanian, maupun luka akibat tusukan stilet nematoda. Gejala penyakit darah
pada tanaman pisang ditunjukkan oleh pelepah daun melemah kemudian patah pada
bagian pangkalnya sehingga daun terlihat patah menggantung. Warna daun menjadi
kuning kemudian nekrosis dan kering. Kulit buah sering tampak normal. Kadangkadang ada yang tampak kuning terlalu awal dan menghitam. Kalau buah
dipotong,bagian dalam buah akan berwarna merah kecoklatan atau menjadi busuk
berlendir. Kelayuan pada daun diawali dengan daun menguning dan mati, pada tanaman
muda terjadi kelayuan menyeluruh.
Kelimpahan dan keanekaragaman serangga pengunjung bunga hasil survei di
dominasi oleh serangga Drosophilidae. Kelimpahan serangga Drosophilidae jumlahnya
3 kali lebih banyak ditemukan pada bunga jantan terinfeksi. Tingginya populasi
Drosophilidae yang ditemukan pada bunga tanaman sakit diduga aroma yang
dikeluarkan oleh bunga dari tanaman yang mulai membusuk. Genus Drosophila selama
ini dikenal sebagai fruit flies yang menyukai buah lewat matang atau buah yang
membusuk (Markow dan Grady 2006). Drosophilla mengambil makanan dari bunga
yang membusuk dan dimungkinkan menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak
untuk pertumbuhan larvanya ( Kahono et al. 2010).
Adanya hubungan antara kelimpahan serangga dan kejadian penyakit pada daerah
sentra produksi pisang khususnya untuk serangga Drosophilidae populasinya paling
tinggi dan dominan kehadirannya pada desa contoh. Hal ini mengindikasikan adanya
46
keterkaitan antara serangga dengan penyakit. Berdasarkan hasil survei kejadian penyakit
tertinggi yaitu 96.90 % dengan kelimpahan serangga Drosophilidae sebanyak 110 ekor.
Banyaknya Drosophilidae disebabkan pada tempat ini juga ditemukan tanaman buahbuahan terutama pepaya, rambutan dan buah-buahan lainnya yang banyak ditemukan
sebagai media utamanya. Kelimpahan serangga tersebut jumlahnya 3 kali lebih banyak
dibandingkan dengan desa Pante Cermin. Tingginya kelimpahan Drosophilidae pada
bunga tanaman sakit diduga karena serangga tertarik pada bau yang dikeluarkan bakteri
pada jaringan bunga atau buah yang membusuk (Robacker dan Garcia 1993).
Usaha tani pisang di Indonesia pada umumnya masih berskala kecil, hal ini
dicirikan dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani di desa contoh kurang dari 3 ha.
Perhatian dan pengetahuan petani tentang penyakit yang menyerang tanaman pisang
masih sangat minim. Pada awal penanaman, petani tidak diberi penyuluhan atau
pengetahuan dalam menanggulangi adanya serangan hama atau penyakit yang
menyerang tanaman pisang. Umur petani yang masih produktif dan latar belakang
pendidikan yang rata-rata lulusan SMP dan SLTA sangat menunjang petani untuk bisa
bekerja dengan keras dalam usaha taninya. Petani memiliki kemampuan dalam
menerima teknologi atau inovasi baru dalam pengembangan usaha taninya.
Penyuluhan jarang diberikan kepada petani terutama masalah kesehatan bibit dan
penggunaan pestisida. Petani lebih sering menggunakan hebisida untuk memusnahkan
gulma daripada secara mekanis. Petani memiliki pemikiran bahwa dengan
menggunakan herbisida pekerjaan pengelolahan lahan menjadi lebih mudah dan
praktis. Hal yang sama juga dilakukan terhadap lahan yang baru dibuka untuk
melakukan aktifitas tanamnya. Bibit-bibit yang digunakan juga berasal dari lahan
sendiri ataupun dari lahan tetangganya. Hal ini berlangsung terus sehingga tanpa
pengetahuan mereka bahwa bibit-bibit yang digunakan sudah terkena patogen penyebab
penyakit darah. Petani sangat kecewa dan kehilangan hasil yang cukup banyak akibat
serangan penyakit darah pisang terutama bagi petani yang lebih menggantungkan
pendapatannya dengan usaha tani pisang. Sedangkan petani yang masih memiliki
pekerjaan lain selain bertani masih bisa mengalihkan perhatian dan pendapatannya
untuk pekerjaannya yang lain. Lahan-lahan yang dibiarkan dengan sumber inokulum
yang berserakan menunjukkan ketidaktahuan petani bagaimana menanggulangi adanya
serangan suatu penyakit.
Jenis-jenis serangga yang berpotensi sebagai vektor adalah dari ordo Diptera
khususnya famili, Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae. Dikatakan berpotensi
karena adanya bakteri BDB yang ditemukan di dalam tubuh pada ketiga famili tersebut.
Sedangkan serangga dari famili lainnya bakteri BDB ditemukan pada bagian luar tubuh
serangga. Pengujian hipersensitif beberapa isolat BDB bereaksi positif dan ada
diantaranya bereaksi negatif tetapi pada saat uji patogenisitas tidak menimbulkan gejala
kelayuan. Periode inkubasi penyakit darah pisang berkisar antara 7-14 hari untuk
virulensi tinggi, 21 hari untuk virulensi sedang dan 28 hari untuk virulensi rendah. Hal
ini sesuai dengan pendapat Siege (1993) bahwa strain-strain Ralstonia solanacearum
yang virulensinya tinggi dapat menimbulkan gejala kelayuan yang cepat sebagai akibat
dari peningkatan aktivitas enzim yang berupa polisakarida ekstraseluler. Gejala awal
dari tanaman pisang muda yang terserang penyakit darah adalah bagian tepi daun
berubah warna menjadi kekuningan dan daun-daun ini akan menggulung. Bagian
pelepah daun pisang menjadi keriput. Selanjutnya pada beberapa daun muda terjadi
nekrotik dan akhirnya menimbulkan kelayuan.
47
Berdasarkan hasil pengujian patogenisitas, ternyata isolat-isolat BDB asal
serangga yang terjaring mampu menimbulkan gejala layu pada varietas uji. Berdasarkan
hal diatas maka diketahui beberapa jenis serangga berpotensi dalam penyebaran
penyakit darah pada tanaman pisang. Informasi ini sangat penting mengingat serangga
yang telah membawa patogen (bagian luar tubuh dan di dalam tubuh serangga) dapat
mendukung proses perkembangan dan perluasan kejadian penyakit.
Pengujian keberadaan bakteri patogen sangat diperlukan sebelum mewabah dan
menyebabkan kerugian yang makin besar. Metode pendeteksian bakteri patogen
biasanya dengan metode penumbuhan mikroba yang kemudian diamati keberadaan
bakteri penyebab penyakitnya. Metode pendeteksian yang lebih cepat dan akurat yaitu
dengan menggunakan teknik PCR yang mampu menganalisa keberadaan bakteri
patogen lebih cepat dan akurat dibandingkan dengan metode konvensional.
Uji penularan BDB pada tanaman Heliconia dengan menggunakan serangga
Drosophilidae karena telah diuji keberadaan bakteri BDB dan ditemukan dalam
tubuhnya lewat isolasi. Masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari
31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang
diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang 79.0 hari. Hal ini disebabkan karena
makin banyak populasi serangga yang diinfektif, maka makin banyak pula patogen yang
ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan masa inkubasi lebih
cepat. Mahfud (1987) mengemukakan bahwa konsentrasi patogen dalam sistem
tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penularan
penyebab penyakit dalam tanaman. Laju penyebaran penyakit pada kondisi alami
tergantung dari kepadatan populasi vektor, jumlah inokulum bakteri pada tanaman,
lamanya periode makan akuisisi dan lamanya periode inokulasi (Chen 1998).
Bagian bunga yang menunjukkan gejala terlebih dahulu karena inokulasi
dilakukan pada bagian bunga, bagian bunga dan serangga disungkup supaya tidak
diganggu oleh serangga yang lain Gejala yang nampak, bunga mengalami perubahan
warna menjadi kecoklatan dan pada mahkota bunga mulai berguguran. Bunga
menimbulkan gejala lebih dahulu karena serangga mengisap nektar dan mengeluarkan
air liur yang sudah mengandung bakteri dan menularkannya pada bunga.
Gejala yang teramati pada tanaman yang diberi perlakuan, pinggiran daun
mengalami nekrosis, daun menguning dan layu. Proses terjadinya nekrosis diawali
dengan tertularnya jaringan bunga oleh patogen melalui alat mulut serangga pada saat
menjilat permukaan bunga, aktivitas yang dilakukan oleh serangga mengakibatkan luka
sehingga memudahkan patogen masuk ke dalam jaringan tanaman. Kehadiran patogen
dalam jumlah yang relatif banyak dapat menimbulkan gejala klorosis bahkan terjadinya
nekrosis.
Bunga hasil uji penularan setelah diisolasi dan dideteksi ditemukan bakteri BDB
begitupun dengan serangga Drosophilidae setelah diinokulasi kemudian diisolasi BDB
dari bagian tubuhnya ditemukan bakteri BDB. Deteksi keberadaan BDB dilakukan
secara molekuler PCR dan menunjukkan hasil yang positif. Uji penularan yang
dilakukan masih memerlukan pengujian-pengujian yang lebih jauh lagi terutama
didalam penentuan suatu serangga sebagai vektor penyakit.
Pengelolaan serangga vektor merupakan salah satu cara untuk menekan
penyebaran sesuatu penyakit. Mengetahui serangga vektor Untuk menekan penyebaran
penyakit diperlukan teknologi penanggulangan vektor yang efektif yang berdasarkan
pemahaman biologi dan ekologi serangga vektor.
VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
Kesimpulan
Jenis serangga pengunjung bunga pisang pada kelima desa contoh yang
tertangkap yaitu: ordo Diptera (Drosophilidae, Muscidae, Calliphoridae, Micropetidae,
Rhicartdicidae, Platypezidae, Cypselosomatidae, Tephritidae, Tethinidae, Neriidae,
Dryomicidae, Milichiidae, Lauxaniidae) dan ordo Hymenoptera (Apidae dan Vespidae)
Drosophilidae merupakan serangga yang dominan diantara serangga-serangga yang
tertangkap dengan perangkap lekat. Kejadian penyakit tertinggi terjadi di desa Simpang
Betung 1 yaitu 96.9%. Ada hubungan korelasi antara kelimpahan serangga dan kejadian
penyakit pada desa contoh. Sanitasi di lima desa contoh tidak diperhatikan, sumber
inokulum dibiarkan di dalam kebun tanpa eradikasi.
Petani di desa contoh memiliki umur yang produktif dan tingkat pendidikan
menengah sangat memungkinkan bagi petani untuk berusaha dan menerima inovasi atau
teknologi baru yang diperlukan untuk meningkatkan usaha taninya.
Serangga ordo Diptera (famili Drosophilidae, Tephritidae dan Muscidae)
berpotensi sebagai vektor penyakit darah pisang (BDB), penyebab penyakit ini
ditemukan di dalam jaringan tubuh serangga. Serangga ordo Diptera (famili Muscidae,
Micropetidae, Cypselasomatidae, Tephritidae, Drosophilidae dan Phoridae) diduga
sebagai pembawa bakteri BDB yang virulen, yang terkontaminasi pada bagian luar
jaringan tubuh serangga.
Pada uji penularan masa inkubasi bakteri penyebab penyakit BDB berkisar dari
31.0 sampai 79.0 hari. Masa inkubasi penyakit terpendek terjadi pada tanaman yang
diinokulasi 9 ekor yaitu 31.0 hari dan terpanjang 79.0 hari. Serangga ordo Diptera,
famili Drosophilidae mampu menularkan patogen.dan bisa dikatakan sebagai vektor
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan tentang uji penularan dari serangga-serangga
yang berpotensi sebagai vektor BDB. Pengujian mengenai serangga Drosophilidae di
dalam menularkan patogen apakah bersifat persisten atau non persisten perlu dilakukan.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Arwiyanto T. 1988. Identifikasi penyebab penyakit bacterial pada tanaman pisang di
Yogyakarta. Di dalam: Prosiding Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Jakarta,
29-31 Okt 1985. Jakarta (ID): Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
Atkins MD. 1978. Insects in Perspective. London (GB) Macmillan. Pp. 344-345.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia, Jakarta.[Internet][diunduh 2013
Mar 23]. Tersedia pada: http//www.bps.go.id.
Baharuddin. 1994. Pathological, biochemical and serelogical of characterization of the
blood disease bacterium affecting banana and plantain (Musa spp.) in Indonesia
[disertasi]. Gottingen: Cuvillier.
Basset A, Tzou P, Lemaitre B, Boccard F. 2003. A single gene that promotes
interaction of a phytopathogenic bacterium with its insect vector Drosophila
melanogaster. Centre de Génétique Moléculaire du CNRS, Gif-sur-Yvette,
France. EMBO reports. Vol 4. No.3.
[CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2003. Crop Protection
Compedium [cd-rom]. London: CABI Publish.[CPC] Crop Protection
Compendium. 2005. Crop Protection Compendium Global Module. Wallingford.
CAB International.
Cahyaniati, Mortesen CN, Mathur SB. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia,
Jakarta: Directorate of Food Crops Protection. Indonesia and Danish Government
Institute of Seed Pathology for developing countries. Denmark (DK): Tech
Bul.22:35-45.
Chasanah LR. 2010. Keanekaragaman dan Frekuensi Kunjungan Serangga Penyerbuk
serta Efektivitasnya dalam Pembentukan buah Hoya multiflora Blume
(Asclepiadaceae) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB.
Chen CN. 1998. Ecology of the insect of citrus systemic disease and their control in
Taiwan. Citrus Greening Control Project in Okinawa. Japan (JP): Exten Bull.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Komoditas Unggulan. Direktorat Jenderal
Hortikultura. Jakarta. [Internet] [Diunduh 2013 Maret 2]. Tersedia pada:
http://www.deptan.go.id.
[Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman. 2005. Luas Serangan OPT utama
tanaman pisang. Jakarta.[Internet][diunduh 2005 April 22]. Tersedia pada:
http://www.deptan.qo.id/ditlinhorti/.
Denny TD, Hayward AC. 2001. Gram negative bacteria. Di dalam: Schaad NW, Jones
JB, Chun W (Editor). Laboratory Guide for Identification of plant Phatogenic
Bacteria. Third Edition. APS Press, Minnesota[USA].
Eden-Green SJ. 1994. Diversity of P. solanacearum and related bacteria in South East
Asia: new direction for Moko Disease Di dalam Hayward AC & Hartman GL
(Editor). 1994. Bacterial Wilt: The Disease and its Causative Agent, P.
solanacearum, CAB International, pp 25-34.
Eden-Green SJ, Sastraatmadja AH. 1990. Blood disease bacterium present in Java.
FAO Bul. 38:49-90.
Eden-Green SJ, Supriadi and Hartati SY. 1988. Characteristics of P. celebensis, the
cause of
blood disease of bananas in Indonesia. Proceeding of the 5 th
International Congress of Plant Pathology, August 20-27, Kyoto, Japan.
50
Fegan M, Taghavi M, Sly Li, Hayward AC. 1998. Phylogeny, diversity and molecular
diagnostics of Ralstonia solanacearum. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone
JE, (Editor). Bacterial Wilt Disease: Aspects. Gosier, 22-27 Jun 1997. Berlin:
INRA. Hlm 19-33.
Fegan M. 2005. Bacterial wilt disease of banana: evolution and ecology. Di dalam:
Allen C, Prior P, Hayward AC,(Editor) Bacterial wilt Disease and The Ralstonia
solanacearum Species Complex. StnPaul: APS Press. Hlm 379-386.
Fegan M, Prior P. 2005. How complex is the “Ralstonia solanacearum species
complex”? Di dalam : C Allen, P Prior & AC Hayward. (Editor) Bacterial Wilt
Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press Minnesota.
pp 449-462.
Gaumann E. 1923. Onderzoekingen over de Bloedziekte der Bananen op Celebes II
(Investigations on the blood disease of bananas in Celebes II). Mededeelingen
Van Het Instituut voor Platenziekten 59. The Netherlands (NL) 45p.
Gaumann E. 1921. Onderzoekingen over de Bloedziekte der Bananen op Celebes I
(Investigations on the blood disease of bananas in Celebes I) Mededeelingen Van
Het Instituut voor Platenziekten 50. The Netherlands (NL).
Hanudin B, Tjahjono, Suharso. 1993. Uji resistensi varietas pisang terhadap bakteri
layu. J. Hortikultura 3: 37-42.
Harris KF and Maramorosch K. 1980. Vectors of plant Pathogens. Academic Press.
New York (USA). pp 467.
Hayward AC. 1994. The host of P. solanacearum In Hayward AC and Hartman GL
(editor) Bacterial Wilt: The Disease and its Causative Agent, P solanacearum.
CAB International. pp 9-24.
Kahono S, Mursdawati S, Erniwati. 2010. Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia
patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar habitat Aslinya Kebun raya Bogor Kota
Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia. J Biol Indon 6(3): 429-442.
Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. Di dalam: Metcalf RL,
Luckman WH (editor). Introduction to Insect Pest Management. Ed ke-2 New
York (USA): Jhon Wiley& Sons. Hlm 93-134.
Kusumoto S. 2004. Occurrence of blood disease of banana in Sumatera, Indonesia. J
Gens Plant Pathol 70:45-49.
Leiwakabessy C. 1999. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit
layu bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada pisang
di Lampung [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Mahfud MC. 1987. Penularan penyakit CVPD oleh Diaphorina citri K. Gatra
Penelitian Penyakit Tumbuhan dalam Pengendalian Secara Terpadu. Hal 42-43.
Mairawita, Habazar T, Hasyim A, Nasir N, Suswati
2012. Potensi serangga
pengunjung bunga sebagai vector penyakit darah bakteri (Ralstonia solanacearum
Phylotipe IV) pada pisang di Sumatera Barat. J Entomol Ind
9(4): 38-47
Markow T, Grady O 2006. Drosophila: A guide to species identification and use.
London (UK). Elsevier Inc.
Masnilah R, Yuliani A, Tjahjani A, Trisosilowati EB. 2001. Karakterisasi bakteri
penyakit layu pada pisang di daerah Jember. Proceedings of the XVI Indonesian
Phytopathological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001.
Muharam A, Sulyo Y, Djatnika I, Marwoto. 1992. Identifikasi dan daerah pencar
penyakit penting pada tanaman pisang. Di dalam: Muharam A, Djatnika I, Sulyo
51
Y, Sunarjono H (editor). Pisang sebagai Komoditas Andalan Prospek dan
Kendalanya: Cianjur, 5 Nop 1992. Cianjur: Sub-Balai Penelitian Hortikultura
Segunung. Hlm 23-28.
Mulyadi, Hernusa T. 2001. Intensitas penyakit darah pada tanaman pisang disebabkan
oleh bakteri Pseudomonas solanacearum di kabupaten Bondowoso. Proceedings
of the XVI Indonesian Phytopathological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001.
Namu FN 2008. The possible role of stingless bees in the spread of Banana
Xanthomonas Wilt in Uganda and the nesting biology of Plebenia hildebrandti
and Hypotrigona gribodoi (Hymenoptera-Apidae-Meliponini) [Dissertation],
Bonn: Landwirstchaftliche Fakultat, Universitat Bonn.
Nasution RE. 1992. Keanekaragaman suku Musaceae (pisang-pisangan) sebagai
sumber daya hayati yang potensial untuk pengembangan Di dalam Agus Muharam
dkk. (penyunting). Prosiding Seminar Pisang Sebagai Komoditas Andalan
Prospek dan Kendalanya. 5 November 1992. Segunung.
Painter RH. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. Macmillan, New York (USA). 520 p.
Robinson A. 1994. Serological detection of P. solanacearum by ELISA. Di dalam
Hayward AC and Hartman GL (Editor) . Bacterial Wilt: Proceedings of the
Second Working Group Meeting, 2 Nov 1992. AVRDC, Taiwan. ICRISAT.
Robacker D, Garcia J. 1993. Effects of age, time of day, feeding history and gamma
irradiation on attraction of Mexican fruit flies (Diptera: Tephritidae) to bacterial
odor in laboratory experiments. Environ Entomol. 22:1367-1374.
Satari SU, Sumarauw IO. 1990. Penyakit layu bakteri pada tanaman pisang di daerah
Bogor dan sekitarnya. J Fitopatol, 2 (1):53-55.
Semangun H.
2000.
Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Press.
Schoonhoven LM, Jerny T, van Loon JJA. 2005. Insect-Plant Biology: from
Physiology to Evolution. London (GB): Chapman & Hall.
Sequeira L. 1998. Bacterial wilt: the missing element in international banana
improvement programs. Di dalam: Prior PH, Allen C, Elphinstone JE (editor)
Bacterial Wilt Disease, Molecular and Ecological Aspect. Gosier, 22-27 Jun 1997.
Berlin: INRA, hlm 6-14.
Siege DC. 1993 Bacterial Plant Patology: Cell and Molecular Aspects. Cambridge
University Press.
Simmonds WN. 1959. Bananas Longmans. Green and Co Ltd. 6&7 Clifford Street.
London (GB). 466p.
Subandiyah S, Indarti S, Harjaka T, Utami SNH, Sumardiyono C, Mulyadi. 2005.
Bacterial
wilt disease complex of banana Indonesia. Di dalam Allen C,
Prior P, Hayward AC. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia solanacearum
Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A.
Sudana IM, Suprapto DN, Arya N, Sukanaya W. 1999. Usaha pengendalian penyakit
layu pada pisang di Bali. Proceedings of the XV Indonesian Phytopatological
Society, Purwokerto (ID) 16-18 September 1999: 404-410.
Sumardiono C, Subandiyah S, Sulandari S, Martoredjo T. 1997. Peningkatan
ketahanan terhadap penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) pisang
dengan radiasi kultur jaringan. Di dalam: Prosiding Perhimpunan Fitopatologi
Indonesia; Palembang, 27-29 Okt 1997. Palembang (ID) Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia.
52
Supeno B. 2001. Isolasi dan Identifikasi penyakit darah di Lombok. Proceedings of the
XVI Indonesian Phytopatological Society, Bogor (ID) 22-24 August 2001.
Supriadi 1994. Studies on the characteristics of Pseudomonas solanacearum and
related species from Indonesia, and the potential use of bacteriophage and
bacteriocin for biological control of bacterial wilt disease, PhD Thesis, Wye
College, University of London.
Supriadi, Elphinstone JG, Eden-Green, Hartati SY. 1995. Physiological, serological
and pathological variation amongst isolates of Pseudomonas solanacearum from
ginger and other hosts in Indonsia. J Penel Tan Indus 1(2): 88-98.
Supriadi 1999. Karakterisasi kultur dan patogenisitas isolat Pseudomonas celebensis
penyebab penyakit darah pada tanaman pisang. J Hortikultura 9(2): 129-136.
Supriadi 2003. A simple method for distinguishing isolates of blood disease bacterium
(BDB) from Ralstonia solanacearum through detection of bacteriophage
production. Austral Plant Pathol 32: 429-431.
Supriadi 2005. Present Status of Blood Disease in Indonesia. In : Allen C, Prior P,
Hayward AC (Editor). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum
complex. Minnesota (USA): APS Press. Pp. 395-404.
Suspendy R. 2001. Potensi beberapa jenis serangga dalam penyebaran penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman pisang. Prosiding Perspektif
Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan (Buku II). Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Stover RH, 1972. Banana, Plantain and Abaca Diseases. Commonwealth
Mycological Institute, Kew Surrey, England [UK]. 316 pp.
Stover RH, Espinoza A. 1992. Blood disease of bananas in Sulawesi. Fruits 47:611613.
Syahdu KN, Subandiyah S, Hadiwiyono, 2007. Survival of Blood Disease Bacterium
in four spesies of Heliconia and responds of the plant to the disease infection. Di
dalam: Y.B. Sumardiyono et al (editor). Ind.Fac. of Agr. UGM p 169-170.
Tjahjono B, Eden-Green SJ. 1988. Blood disease of bananas in Indonesia. (Abstrak).
International Congress of Plant Pathology 5th , Kyoto Japan.
Thwaites R, Eden-Green SJ, Masfield J, Seal S. 1998. Studies on the molecular basis
for patogenicity and host specificity in strains of Ralstonia solanacearum
phatogenic to banana. Di dalam: Prior PH, Allec C, Elphinstone JE, (editor).
Bacterial Wilt Disease: Molecular and Ecological Aspects. Gosier, 22-27 Jun
1997. Berlin (BE): INRA. Hlm 192-194.
Yabuuchi E, Kosako Y, Yano I, Hotta H, Nishiuchi Y. 1995. Transfer of two
Burkholderia and An Alcaligenes species to Ralstonia Gen. No: proposal of R..
picketii (Ralston, Palleroni and Doudoroff 1973) Comb. Nov. R. solanacearum
(Smith 1896) Comb. Nov. R. eutropha (Davis 1969) Comb. Nov. J Microbiol
Immuno. 39(11):879-904.
53
Lampiran 1. Peta Kabupaten Pidie, Propinsi Banda Aceh
Lampiran 2. Kuesioner petani
I.
Karakteristik petani
1. Nama
2. Umur
3. Pendidikan tertinggi
a. Tidak sekolah
b. Sekolah dasar
c. Sekolah menengah pertama
d. Sekolah menengah umum
e. Perguruan tinggi
4. Pekerjaan selain berusaha tani pisang
a. Petani
b. PNS
c. Pedagang
d. Lain-lain
5. Pengalaman berusaha tani pisang
a. <5 tahun
b. 6 – 10 tahun
c. 11-15 tahun
6. Luas kebun yang diusahakan
a. <1 ha
b. 1- < 2 ha
54
c. 2 -< 3 ha
d. > 3 ha
II. Budi daya pisang
1. Pola tanam
a. Monokultur
b. Polikultur
2. Jarak tanam yang digunakan
a. Teratur
b. Tidak teratur
3. Pengendalian gulma
a. Tidak pernah dikendalikan
b. Dikendalikan dengan: ……
4. Pengendalian serangga/penyakit
a. Tidak pernah dikendalikan
b. Dikendalikan dengan: ……
III. Panen dan pasca panen
1. Pemasaran
a. Dijual ke pedagang pengumpul/ kelompok tani
b. Dijual ke pedagang pengumpul dengan sistem ijon
2. Harga jual waktu panen: Rp. …… Per tandan
IV. Persepsi petani terhadap penyakit darah pisang
1. Apakah petani mengetahui penyakit darah pisang?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah petani mengetahui penyebab penyakit darah pisang?
a. Tidak tahu
b. Tahu
3. Apakah petani pernah melihat hama/serangga pada bunga pisang?
a. Pernah
b. Tidak pernah
4. Menurut petani, apakah kejadian penyakit ada hubungannya dengan
a. Kondisi kebun pisang
b. Serangan hama
5. Bagaimana usaha petani mengatasi penyakit darah pisang
a. Penyemprotan dengan insektisida
b. Penyiangan gulma
c. Dibiarkan saja
6. Apakah petani pernah mendapat penyuluhan tentang cara mengendalikan penyakit
darah pisang?
a. Pernah
b. Tidak pernah
55
Lampiran 3. Komposisi bahan kimia masing-masing media yang digunakan untuk
pembiakan bakteri
Komposisi Larutan TZC
Casomina acid
Peptone
Glukosa
Agar
Aquades
Triphenyl Tetrazalium Chloride 1% (w/v)
1 gram
10 gram
5 gram
17 gram
1 liter
1 ml untuk 200 ml media
Sukrosa Peptone Agar (SPA)
Sukrosa
Peptone
Agar
Aquades
10 gram
10 gram
12 gram
1 liter
Lampiran 4. Uji patogenisitas pada tanaman pisang Cavendish
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 17 Desember 1965 dari ayah
Octofianus Markus Sahetapy (Alm) dan ibu Fransina Martha Sahetapy/Matulatua
(Alm). Penulis merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Tahun 1985 penulis lulus
dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas
Pattimura Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pertanian. Sejak tahun 1992
penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Tahun
1998 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di
Program Pascasarjana UGM dengan beasiswa BPPS. Tahun 2001 penulis lulus dan
mendapat gelar Magister Pertanian (M.P). Tahun 2008 penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dari
Departemen Pendidikan Nasional.
Download