10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Guru dalam Proses Belajar

advertisement
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peran Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Pengetahuan adalah abstraksi dari apa yang dapat diketahui dalam jiwa
orang yang mengetahuinya. Pada dasarnya pengetahuan tidak bersifat
spontan, melainkan pengetahuan harus diajarkan dan dipelajari (Majid,
2005).
Kegiatan belajar mengajar melibatkan fase transformasi pengetahuan
dari yang mengajarkan kepada yang diajarkan. Transformasi dalam proses
belajar mengajar tersebut tidak terlepas dari peran seorang guru. Menurut
Burner (Nasution, 2005), dalam proses belajar pada fase transformasi,
informasi harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang
lebih konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam
hal ini bantuan guru sangat diperlukan. Menurut Arikunto (2005) guru
adalah orang yang paling penting statusnya di dalam kegiatan belajarmengajar karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur
dan mengemudikan bahtera kehidupan kelas.
Dalam proses belajar mengajar (PBM), posisi guru sangat penting dan
strategis, meskipun gaya dan penampilan mereka bermacam-macam.
Menurut Claife (Syah, 1995), guru adalah: ...an authority in the disciplines
relevant to education, yakni pemegang hak otoritas atas cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan.
11
Gambaran secara lebih jelas mengenai posisi guru yaitu sebagai
berikut.
Guru
mengajar
Siswa
Belajar
Perubahan positif
tingkah laku
kognitif, afektif,
dan psikomotor
siswa
(Syah, 1995)
Gambar 2.1 Posisi Guru dalam PBM
Model ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar siswa merupakan
akibat hasil kegiatan guru mengajar dalam konteks PBM. Namun demikian
tidak tertutup kemungkinan adanya proses belajar siswa tanpa melibatkan
kegiatan guru. Setiap guru mengajar membutuhkan murid belajar, tetapi
tidak setiap murid belajar memerlukan guru mengajar (Syah, 1995).
Menurut Siregar (1998), dalam proses belajar mengajar terdapat
interaksi antara tiga komponen yaitu guru, siswa dan materi subyek.
Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.
12
KURIKULUM
Pembelajar
Presentasi
Pengajar
Strategi
Organisasi
Rekonstruksi
Materi-subyek
Konteks
Hasil-Belajar
Gambar 2.2 Antar Hubungan Komponen-Komponen Mengajar
Guru
sebagai
pengajar
mempunyai
peranan
penting
dalam
mendefinisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang wajar selama
pembelajaran. Guru memerlukan strategi dalam proses pengajarannya agar
lebih mudah dipahami oleh pembelajar. Pada Gambar 2.2 di atas dapat
terlihat adanya hubungan antara pengajar, materi-subyek, dan pembelajar
untuk memperoleh hasil belajar. Untuk menjalankan proses mengajar
tersebut diperlukan adanya kurikulum.
Menurut Arifin, et al. (2000) pembelajaran merupakan kegiatan belajarmengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa berupa pengalaman belajar
siswa (PBS) yaitu kegiatan siswa yang direncanakan guru untuk dialami
siswa selama kegiatan belajar-mengajar.
13
Seorang pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar harus
dapat menumbuhkan motivasi peserta didik, karena motivasi tersebut dapat
mempengaruhi hasil belajarnya. Salah satu faktor yang dapat memotivasi
siswa dalam kegiatan belajar adalah kemampuan guru dalam menyampaikan
isi materi, sehingga dapat mempermudah dalam proses belajar.
B. Representasi Ilmu Kimia
Ben-zvi, Eylon, Silberstein, dan Gabel dalam Wu, J. S. Krajcik, E.
Soloway (2000) mengemukakan bahwa pemahaman konseptual para siswa
terhadap representasi kimia merupakan area penelitian terkemuka dalam
pendidikan kimia. Gabel dalam Wu, J. S. Krajcik, E. Soloway (2000)
menyatakan bahwa selama satu dasawarsa, para peneliti dan pendidik ilmu
kimia telah mendiskusikan tiga level representasi dalam ilmu kimia yaitu
makroskopis, mikroskopis, dan simbol.
Representasi kimia pada level makroskopis menunjukan fenomena
yang dapat diamati, contohnya perubahan wujud zat. Kimia mikroskopis
menunjukkan pergerakan molekul yang digunakan untuk menjelaskan
keadaan senyawa atau fenomena alam. Kimia pada level simbol
menunjukkan representasi simbolis dari atom, molekul dan senyawa,
contohnya seperti simbol-simbol kimia, rumus dan struktur (Wu, J. S.
Krajcik, E. Soloway, 2000).
Menurut Johnstone (Chittleborough, D. F. Treagust, M. Mocerino,
2002)
ketiga
level
representasi
tersebut
saling
berhubungan
dan
14
berkontribusi terhadap pembentukan pemahaman para siswa, yang
terefleksikan dalam model mental dari fenomena. Model mental tersebut
diperlihatkan pada Gambar 2.3.
Makroskopis
Model
mental
Mikroskopis
Simbolis
Gambar 2.3 Representasi Ilmu Kimia
Studi empirik Ben-Zvi, Eylon & Silberstein dalam Wu, J. S. Krajcik, E.
Soloway
(2000)
menunjukkan
bahwa
pembelajaran
representasi
mikroskopis dan simbolis menyulitkan siswa karena kedua representasi
tersebut tidak kasat mata dan bersifat abstrak. Di sisi lain pemahaman siswa
terhadap kimia sangat bersandar pada informasi yang dapat diindera.
Ben-Zvi mengemukakan bahwa walaupun representasi memainkan
peranan penting dalam ilmu kimia akan tetapi literatur mengindikasikan
bahwa kebanyakan siswa mempunyai kesulitan dalam memvisualisasikan
representasi-representasi tersebut (Wu, J. S. Krajcik, E. Soloway, 2000).
Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Ben-Zvi, Eylon, dan
Silberstein (Wu, J. S. Krajcik, E. Soloway, 2000), mereka mengeksplorasi
level apa yang digunakan siswa ketika beberapa simbol dan rumus kimia
digunakan, seperti Cu(s), H2O(l), dan Cl2(g). Respon dari siswa menandakan
15
bahwa mayoritas dari mereka kebingungan mengenai atom dan molekul.
Banyak pelajar, meskipun telah mempelajari ilmu kimia, tidak memahami
peran dari sebuah rumus, sebagian dari mereka berpikir bahwa rumus
merupakan singkatan belaka untuk sebuah nama.
Kozma (Wu, J. S. Krajcik, E. Soloway, 2000) menyatakan bahwa
kebanyakan
siswa
mempunya
kesulitan
dalam
menginterpretasikan
persamaan kimia. Ketika mereka melihat sebuah persamaan seperti C(s) +
O2(g) → CO2(g), mereka menginterpretasikannya sebagai komposisi huruf,
jumlah dan garis daripada sebuah proses pembentukan dan pemecahan
ikatan.
Sebagai penjelasan tambahan, studi Keig dan Rubba (1993) dalam Wu,
J. S. Krajcik, E. Soloway (2000) menunjukkan bahwa sangat banyak siswa
yang tidak dapat membuat terjemahan diantara rumus, konfigurasi elektron,
dan model ”ball and stick”. Dengan demikian walaupun ahli kimia melihat
simbol dan huruf-huruf sebagai molekul dan tanda panah sebagai arah
reaksi, banyak pelajar tidak dapat memvisualisasikan representasi tersebut.
C. Intertekstualitas
Menurut semiotik sosial, arti dari suatu teks tidak berdiri sendiri tetapi
dihubungkan dengan teks lain yang sama
atau relevan. Lemke
mengemukakan bahwa “segala sesuatu akan bermakna hanya jika
dipertentangkan dengan latar belakang hal lain yang sama dengannya” (Wu,
2002).
16
Menurut Haliday dan Hasan dalam Wu (2002), teks didefinisikan
sebagai bahasa fungsional yang bisa berupa percakapan atau tulisan, atau
medium apapun lainnya untuk mengekspresikan apa yang kita pikirkan. Dari
sudut pandang ini, representasi kimia pada level yang berbeda-beda (yaitu
level makroskopis, mikroskopis, dan simbol), pengalaman sehari-hari dan
kejadian-kejadian dalam kelas dapat dipandang sebagai suatu teks (Santa
Barbara Classroom Discourse Group, 1992, dalam Wu, 2002). Ketika siswa
mengkonstruk pemahaman mengenai konsep-konsep kimia, mereka
mungkin mengkoordinasikan representasi yang berbeda-beda dengan
pengalamannya sehari-hari. Pertautan diantara representasi, pengalaman
kehidupan sehari-hari, dan kejadian-kejadian di kelas yang dilakukan
pembelajar dapat dipandang sebagai hubungan intertekstual
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bloome dan Egan-Robertson
(Wu, 2002) bahwa pertautan antara representasi, pengalaman kehidupan
sehari-hari, dan kejadian-kejadian di kelas yang dilakukan siswa dapat
dipandang
sebagai
hubungan
intertekstual.
Dengan
demikian,
intertekstualitas dalam ilmu kimia yang dimaksud yaitu kaitan antara
representasi kimia, pengalaman hidup sehari-hari, serta kejadian-kejadian di
dalam kelas yang dibangun siswa untuk memahami ilmu kimia.
Diilhami oleh pandangan konstruktivis sosial dalam pembelajaran,
Vygotsky
dan
Kozma
(Wu,
2002)
menyatakan
bahwa
untuk
mengembangkan pemahaman siswa mengenai kimia, kurikulum kimia harus
membimbing mereka untuk menggunakan representasi majemuk dalam
17
hubungannya dengan fenomena fisik. Lingkungan belajar, termasuk guru,
material kurikulum, atau peralatan teknologi, harus secara eksplisit
memperlihatkan hubungan diantara level-level makroskopis, mikroskopis
dan simbol dalam konteks inkuiri. Melalui praktik sosial dan diskursif, siswa
secara konseptual bergerak maju dan mundur diantara ketiga level tersebut
dan memiliki kesempatan secara kognitif berinteraksi dengan beragam jenis
representasi dalam cara yang bermakna. Berdasarkan pandangan Kozma
mengenai pembelajaran kimia, diperlukan kajian intertekstualitas untuk
membangun teori mengenai hubungan diantara representasi kimia pada level
yang berbeda.
Tautan intertekstual dapat dibuat diantara pengalaman sehari-hari dan
level makroskopis kimia. Meskipun proses kimia pada level makroskopis
dapat dilihat dan relatif lebih mudah untuk dipahami, akan tetapi umumnya
dalam kurikulum kimia proses ini dipisahkan dari situasi nyata di kehidupan
sehari-hari dan biasanya didesain sebagai kegiatan laboratorium. Pada
kegiatan tersebut siswa diminta untuk mengikuti prosedur yang telah
diberikan, sehingga tidak mengherankan apabila kebanyakan siswa tidak
mampu mengaplikasikan pengetahuan ilmiah yang telah mereka peroleh di
sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjembatani “jurang pemisah” di antara pengalaman seharihari dengan pengalaman belajar siswa di sekolah, hubungan intertekstual
yang pertama kali harus dibangun yaitu antara situasi nyata siswa dalam
kehidupan
sehari-hari
dengan
aspek
makroskopis
kimia,
sehingga
18
memberikan kesempatan bagi siswa untuk melihat bagaimana sains di
sekolah dihubungkan dengan kehidupannya serta bagaimana pengetahuan
sains tersebut diaplikasikan.
Interaksi sosial juga merupakan aspek penting pada intertekstualitas
ilmu kimia. Melalui interaksi sosial siswa dapat mengkonstruk pemahaman
kimianya bukan hanya mengikuti makna individualnya saja, akan tetapi
mengkonstruk pemahaman dari makna sosial juga (Wu, 2002). Guru
memainkan peranan penting dalam menciptakan interaksi sosial yang
menunjang proses pertautan antara representasi ilmu kimia pada level
makroskopis, mikroskopis, dan simbol dengan pengalaman sehari-hari
siswa. Melalui interaksi sosial juga guru dapat melihat sejauh mana
pemahaman yang telah dibangun siswa, sehingga dengan adanya interaksi
tersebut guru dapat langsung mengevaluasi pembelajaran yang telah dan
sedang berlangsung di kelas.
C. Model Representasi Teks
Analisis yang digunakan pada proses belajar mengajar termasuk ke
dalam analisis wacana. Dalam menganalisis representasi ilmu kimia pada
pengajaran guru ini, digunakan model representasi teks dari Siregar. Model
tersebut digunakan untuk mengkonstruk ilmu yang dipetakan dari hasil
transkripsi kegiatan belajar mengajar.
Model representasi teks menjelaskan hubungan antara unit-unit teks dan
ketepatan struktur materi subyek ilmu yang mewakilinya pada berbagai
19
tingkatan. Dalam model representasi tersebut, dimensi progresi berlangsung di
bawah kendali dimensi elaborasi, sedangkan dimensi elaborasi itu sendiri
mengendalikan
ketepatan
pengembangan
materi
subyek
selama
pengembangan wacana terpusat pada produksi pengetahuan materi subyek.
ELABORASI
TOPIK
P-I
S-1
P
R
O
G
R
E
S
I
P-II
S-2
S-3
S-4
P-III
S-5
S-6
S-7
S-8
S-9
P-IV
S-10
S-11
S-12
Gambar 2.4 Model Representasi Mengajar (Dahar dan Siregar, 2000)
Van Dijk dan Kintsch dalam Siregar (1999) mengemukakan bahwa
pengorganisasian wacana dilakukan menggunakan unit wacana yang dalam
20
hal ini adalah proposisi, karena hubungan wacana dan materi-subyek yang
tidak dapat dipisahkan. Dari Gambar 2.4, P melambangkan proposisi makro
dan S melambangkan proposisi dengan abstraksi rendah. Proposisi merupakan
pernyataan pengukuhan antara hubungan konsep dibedakan menurut tingkat
abstraksinya.
Tugas utama dalam analisis wacana adalah mengorganisasi unit terkecil,
proposisi-mikro (pengukuhan yang mewakili struktur permukaan teks)
menjadi unit yang lebih besar, proposisi-makro secara berulang-ulang dapat
digabung menjadi proposisi-makro pada berbagai tingkat abstraksi yang
akhirnya menjadi proposisi-global.
Berikut ini disajikan tahapan-tahapan untuk memperoleh struktur global
dan struktur mako pengajaran guru.
1. Penghalusan Transkripsi Menjadi Teks Dasar
Transkripsi diperhalus menjadi teks dasar untuk memperoleh data
yang mudah untuk dianalisis. Penghalusan ini dilakukan berdasarkan
kriteria ketepatan dan kejelasan, dengan cara penghapusan dan penyisipan
kata. Penghapusan dilakukan terhadap kata-kata yang dirasa tidak berperan
atau berlebihan dalam membentuk struktur yang diinginkan. Sedangkan
penyisipan dilakukan untuk mempertajam atau mengganti peranan kata
yang dihapus.
2. Penurunan Proposisi dari Teks Dasar
Teks dasar yang diperoleh dari penghalusan transkripsi selanjutnya
dibuat
proposisinya.
Sebelum
proposisinya
diturunkan,
dilakukan
21
segmentasi terlebih dahulu terhadap teks dasar. Satu segmentasi tersebut
mengandung satu tema atau satu tindakan utama. Proposisi biasanya
mempunyai rumusan yang lebih singkat dari teks dasar.
Menurunkan proposisi dari suatu teks dasar diwujudkan dengan cara
menggunakan aturan makro. Aturan makro tersebut terdiri atas tiga cara,
yaitu
dengan
menghapus,
dengan
menggeneralisasi
dan
dengan
membangun (Siregar, tanpa tahun). Aturan makro tersebut bersifat
rekursif, artinya proposisi yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk
penurunan proposisi yang lebih umum.
3. Struktur Makro dan Struktur Global Pengajaran Guru
Penurunan struktur global harus memperhatikan keterpaduan
hubungan antar unit tema. Tindakan makro dalam alur progresi
memungkinkan penampilan yang lebih kontinu dan dalam dimensi
elaborasi menghendaki keutuhan hubungan hirarki antara unit materi
subyek.
Pada struktur global pengajaran terdapat makro utama yang dapat
dijabarkan kembali menjadi struktur makro pengajaran. Struktur makro ini
digunakan untuk mempermudah proses pemilihan representasi ilmu kimia
pada level makroskopis, mikroskopis, dan simbol.
22
D. Tinjauan Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan
1. Kelarutan (s)
Kelarutan (solubility) suatu zat dalam suatu pelarut menyatakan
jumlah maksimum zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut
pada suhu tertentu. Kelarutan umumnya dinyatakan dalam gram L-1 atau
mol L-1.
Bila sejumlah NaCl dilarutkan ke dalam air dan ada sebagian yang
tidak larut, maka larutan yang dihasilkan merupakan larutan jenuh. Bila
ke dalam larutan jenuh NaCl ditambahkan lagi sedikit NaCl maka NaCl
yang ditambahkan tersebut tidak bisa melarut namun tetap sebagai
endapan NaCl. Konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuh
dinyatakan sebagai kelarutannya.
2. Tetapan Hasil Kali Kelarutan (Ksp)
Perak kromat (Ag2CrO4) merupakan contoh garam yang sukar larut
dalam air. Jika Ag2CrO4 dimasukkan sedikit saja ke dalam segelas air
kemudian diaduk, maka akan terlihat bahwa sebagian besar dari garam
itu tidak larut (mengendap di dasar gelas). Larutan perak kromat mudah
sekali jenuh. Setelah mencapai keadaan jenuh proses melarut ternyata
tidak berhenti. Dalam larutan jenuh tetap terjadi proses melarut, tetapi
pada saat yang sama terjadi pula proses pengkristalan dengan laju yang
sama. Dengan kata lain, dalam keadaan jenuh terdapat kesetimbangan
antara zat padat tak larut dengan larutannya. Kesetimbangan dalam
larutan jenuh perak kromat adalah sebagai berikut.
23
2Ag+(aq) + CrO42-(aq)
Ag2CrO4(s)
Dari kesetimbangan dalam keadaan jenuhnya tersebut dapat
ditentukan hasil kali kelarutannya. Hasil kali kelarutan adalah hasil kali
konsentrasi molar ion-ion dalam larutan jenuhnya dipangkatkan
koefisiennya masing-masing. Harga hasil kali kelarutan dilambangkan
dengan Ksp (solubility product constant) atau tetapan hasil kali kelarutan.
Ksp ini merupakan tetapan untuk reaksi kesetimbangan antara padatan
terlarut dengan ion-ionnya. Garam-garam atau basa-basa tertentu
memiliki harga Ksp yang berbeda-beda.
Pada reaksi kesetimbangan antara ion-ion yang melarut dan padatan
Ag2CrO4, rumusan tetapan hasil kali kelarutannya (Ksp) adalah:
Ksp = [Ag+]2 [CrO42-].
Konsentrasi kesetimbangan ion Ag+ dan ion CrO42- dalam larutan
jenuh dapat dikaitkan dengan kelarutan Ag2CrO4, yaitu sesuai dengan
stoikiometri reaksi (perbandingan koefisien reaksinya). Jika kelarutan
Ag2CrO4 dinyatakan dengan s, maka konsentrasi ion Ag+ dalam larutan
itu sama dengan 2s dan konsentrasi ion CrO42- sama dengan s.
Ag2CrO4(s)
s
2Ag+(aq) + CrO42-(aq)
2s
s
Dengan demikian, tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) Ag2CrO4 dapat
dikaitkan dengan kelarutannya (s) sebagai berikut.
Ksp = [Ag+]2 [CrO42-]
= (2s)2 (s)
= 4s3
24
3. Pengaruh Ion Senama Terhadap Kelarutan
Dalam larutan jenuh Ag2CrO4 terdapat kesetimbangan antara
Ag2CrO4 padat dengan ion-ion Ag+ dan CrO42- dalam larutannya.
Ag2CrO4(s)
2Ag+(aq) + CrO42-(aq)
Sesuai dengan azas Le Chatelier tentang pergeseran kesetimbangan,
penambahan konsentrasi ion CrO42- atau ion Ag+ akan menggeser
kesetimbangan ke kiri. Akibat dari pergeseran tersebut, jumlah Ag2CrO4
yang larut berkurang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ion senama akan
memperkecil kelarutan. Akan tetapi, ion senama tidak mempengaruhi
harga tetapan hasil kali kelarutan, asal suhu tidak berubah.
4. Pengaruh pH Terhadap Kelarutan
Jika ke dalam larutan suatu senyawa yang mengandung anion dari
asam lemah, ditambahkan ion H3O+ dari asam kuat, maka akan
memperbesar harga kelarutan dari senyawa tersebut. Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan azas Le Chatelier tentang pergeseran kesetimbangan.
Contohnya dalam larutan jenuh CaCO3 yang memiliki kesetimbangan
sebagai berikut.
CaCO3(s)
Ca2+(aq) + CO32-(aq)
Dalam larutan asam, ion H3O+ akan mengikat ion CO32- yang
merupakan anion dari asam lemah, membentuk HCO3- atau H2CO3.
H2CO3 selanjutnya akan terurai membentuk CO2 dan H2O. Hal ini akan
menggeser kesetimbangan reaksi di atas ke kanan. Dengan kata lain,
menyebabkan CaCO3 melarut.
25
Berbeda halnya pada saat penambahan ion H3O+ ke dalam larutan
jenuh suatu senyawa yang mengandung anion dari asam kuat, seperti
perak klorida. Hal tersebut tidak akan mempengaruhi proses
kesetimbangan dalam reaksinya.
AgCl(s)
Ag+(aq) + Cl-(aq)
Karena ion Cl- merupakan basa konjugasi dari asam kuat (HCl),
maka ion Cl- akan ada di dalam larutannya bersama-sama dengan ion
H3O+. Ion Cl- tidak meninggalkan sistem, sehingga tidak mempengaruhi
posisi kesetimbangan dalam reaksi tersebut.
5. Tetapan Hasil Kali Kelarutan dan Pengendapan
Harga Ksp suatu senyawa dapat memberikan informasi tentang
kelarutan senyawa tersebut dalam air. Semakin besar harga Ksp suatu zat,
semakin mudah larut senyawa tersebut.
Harga Ksp suatu zat dapat digunakan untuk meramalkan terjadi
tidaknya endapan suatu zat jika dua larutan yang mengandung ion-ion
dari senyawa sukar larut dicampurkan.
Untuk mengendapkan ion Cl- dari air laut dapat dilakukan dengan
cara menambahkan larutan AgNO3. Ion Cl- dari air laut akan bergabung
dengan ion Ag+ yang berasal dari AgNO3 membentuk AgCl yang sukar
larut.
Ag+(aq) + Cl-(aq)
AgCl(s)
Pada saat larutan yang mengandung ion Cl- ditetesi sedikit demi
sedikit dengan larutan Ag+, endapan AgCl tidak akan langsung
26
terbentuk. AgCl dapat larut dalam air, meskipun dengan jumlah yang
sangat sedikit. Artinya, ion Ag+ dan ion Cl- dapat berada bersama-sama
dalam larutan hingga larutan jenuh, yaitu sampai hasil kali [Ag+] [Cl-] =
nilai Ksp AgCl. Apabila penambahan ion Ag+ dilanjutkan hingga hasil
kali [Ag+] [Cl-] > Ksp AgCl, maka kelebihan ion Ag+ dan ion Cl- akan
bergabung membentuk endapan AgCl. Jadi, pada penambahan larutan
Ag+ ke dalam larutan Cl- dapat terjadi tiga hal sebagai berikut:
Jika [Ag+] [Cl-] < Ksp AgCl, larutan belum jenuh
Jika [Ag+] [Cl-] = Ksp AgCl, larutan tepat jenuh
Jika [Ag+] [Cl-] > Ksp AgCl, terjadi pengendapan dan larutan yang
terbentuk bersifat jenuh
6. Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dalam Kehidupan Sehari-hari
Berikut ini merupakan beberapa contoh fenomena dalam kehidupan
sehari-hari yang menggunakan prinsip kelarutan dan hasil kali kelarutan.
1) Proses Mendapatkan Sidik Jari
Sewaktu tangan memegang suatu benda, salah satu zat yang
ditinggalkan pada benda tersebut adalah NaCl yang berasal dari
keringat. Benda yang dipegang tadi disapu dengan larutan AgNO3.
AgNO3 akan bereaksi dengan NaCl membentuk endapan AgCl
berwarna putih jika hasil kali konsentrasi Ag+ dan Cl- nya telah
melebihi harga Ksp AgCl . Di bawah sinar, endapan AgCl putih ini
akan berubah menjadi endapan Ag yang berwarna hitam. Endapan ini
akan menampilkan sidik jari.
27
NaCl(aq) + AgNO3(aq)
AgCl(s) + NaNO3(aq)
Putih
Terbentuknya endapan AgCl tersebut terkait dengan kelarutan AgCl
yang rendah dalam pelarut air. Harga Ksp dari AgCl adalah sebesar
1,8×10-10.
Gambar 2.5 Sidik Jari Manusia
2) Terbentuknya Batu Karang
Gambar 2.6 Gugusan Batu Karang
Gugusan batu karang yang ada sekarang ini berasal dari CaCO3 yang
terbentuk selama 65-100 juta tahun yang lalu. Pembentukan CaCO3
berawal dari karbondioksida yang berada di atmosfer bereaksi dengan
air laut membentuk asam karbonat melalui reaksi di bawah ini:
CO2(g) + H2O(l)
H2CO3(aq)
Ketika asam karbonat yang terbentuk larut dalam air laut, maka asam
karbonat akan terurai menjadi ion bikarbonat atau karbonat dan H+.
H2CO3(aq)
H+(aq) + HCO3-(aq)
28
HCO3-(aq)
H+(aq) + CO32-(aq)
Beberapa organisme yang hidup di air laut mereaksikan ion bikarbonat
dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO3).
Ca2+(aq) + 2HCO3-(aq)
CaCO3(s) + CO2(g) + H2O(l)
Gugusan batu karang yang terbentuk di dasar lautan terjadi karena
kelarutan CaCO3 tersebut rendah dalam air. Harga Ksp dari CaCO3
yaitu sebesar 2,8×10-9. Dengan harga Ksp yang kecil, maka harga
kelarutannya pun kecil. Dengan memiliki harga kelarutan yang kecil,
maka makin lama akan terjadi proses pengendapan di dasar laut dan
akhirnya akan terbentuk gugusan batu karang.
3) Menghilangkan Kesadahan Air
Air sadah mengandung ion Mg2+ dan Ca2+ yang cukup tinggi,
disamping anion seperti HCO3-. Jika air sadah digunakan dengan
sabun, maka ion Ca2+ atau Mg2+ pada air sadah akan mensubstitusikan
ion Na+ dan atau ion K+ yang dikandung sabun, sehingga air sabun
tidak berbuih dan kehilangan daya pembersihnya. Pada mesin, alat
rumah tangga, pipa dan sebagainya, air sadah membentuk kerak atau
endapan yang menempel pada mesin atau alat lain, dan oleh karena
kerak itu bukan penghantar panas maka hal ini menyebabkan
pemborosan bahan bakar. Jika air sadah itu hanya mengandung garam
Ca(HCO3)2 atau Mg(HCO3)2, maka air sadah dikatakan mempunyai
kesadahan sementara. Ion Ca2+ atau Mg2+ dalam larutan dapat
dipisahkan dengan cara pemanasan. Jika air sadah tersebut
29
mengandung garam sulfat (CaSO4, MgSO4) atau garam klorida (CaCl2,
MgCl2), maka air sadah itu dikatakan mempunyai kesadahan tetap
Untuk mengatasi hal ini, ke dalam air sadah dapat ditambahkan garam
yang mengandung ion CO32-, contohnya Na2CO3 untuk mengendapkan
Ca2+ dan Mg2+.
CaCl2(aq) + Na2CO3(aq)
MgSO4(aq) + Na2CO3(aq)
CaCO3(s) + 2NaCl(aq)
MgCO3(s) + Na2SO4(aq)
4) Penambahan Senyawa Fluorida ke dalam Pasta Gigi
Email terdiri dari senyawa hidroksiapatit, Ca5(PO4)3OH yang memiliki
harga Ksp 2,34 × 10-59.
Kerusakan gigi terjadi karena suasana di dalam mulut bersifat asam.
Suasana asam dapat terjadi karena pengaruh bakteri dalam mulut
ketika menguraikan sisa-sisa makanan yang terselip di gigi. Hal ini
akan menyebabkan terjadi demineralisasi email, dan email akan rusak.
Kerusakan ini dapat dicegah dengan menyikat gigi secara teratur.
Salah satu cara yang lain adalah menambahkan senyawa fluorida ke
dalam pasta gigi. Menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung
fluorida (F-) dapat mengubah senyawa hidroksiapatit menjadi
fluoroapatit. Senyawa fluoroapatit, Ca5(PO4)3F(s) memiliki Ksp
3,16×10-60, dengan demikian harga kelarutannya akan lebih kecil dari
harga kelarutan hidroksiapatit. Ketika menggosok gigi dengan pasta
gigi yang berfluorida terjadi pergantian ion OH- oleh ion F- sehingga
membentuk fluoroapatit yang lebih sukar larut dalam suasana asam
30
dibandingkan dengan hidroksiapatit. Proses tersebut dapat mencegah
kerusakan gigi.
5) Terbentuknya Stalaktit dan Stalakmit pada Gua Batu Kapur
Pembentuk utama batu kapur adalah CaCO3, yang merupakan senyawa
ionik dengan kelarutan yang rendah, harga Ksp nya sebesar 2,8×10-9.
Batuan tersebut mulai terakumulasi di dalam tanah lebih dari 400 juta
tahun yang lalu. Berikut ini akan diuraikan mengenai terjadinya gua
batu kapur hingga terbentuknya stalaktit dan stalakmit.
Gas CO2 berkesetimbangan dengan larutan CO2 dalam air:
H2O(l)
CO2(g)
CO2(aq)
(1)
Konsentrasi CO2 dalam air sebanding dengan tekanan parsial gas CO2
yang larut dalam air (Hukum Henry).
[CO2(aq)]
∝ PCO2
Selanjutnya air permukaan tanah yang mengalir melalui celah-celah di
tanah bereaksi dengan CO2 yang terkandung dalam tanah:
CO2(aq) + 2H2O(l)
H3O+(aq) + HCO3-(aq)
(2)
Ketika asam yang terbentuk dari CO2 dengan air bereaksi dengan
kapur, maka CaCO3 melarut. Persamaan reaksinya yaitu:
CaCO3(s)+CO2(aq)+H2O(l)
Ca2+(aq)+2HCO3-(aq)
(3)
Maka, reaksi kesetimbangan pada persamaan (3) bergeser ke kanan.
Akibatnya, semakin banyak batu yang terkikis membentuk lubang dan
dalam ratusan tahun gua mulai terbentuk.
31
Dalam terowongan bawah tanah, Ca(HCO3)2 melarut. Melalui langitlangit dari gua yang terbentuk, larutan tersebut menetes, bereaksi
dengan udara yang mengandung PCO2 lebih rendah dari yang di tanah
sehingga CO2(aq) berkurang dari larutan (persamaan 1 bergeser ke
kiri). Dari tetesan pada langit-langit tersebut akan membentuk endapan
CaCO3 (persamaan 3 bergeser ke kiri). Dalam waktu satu dasawarsa,
dari proses tetesan pada langit-langit akan menghasilkan stalaktit,
sedangkan yang pertumbuhannya ke atas gua dinamakan stalakmit.
Dalam waktu yang lama stalaktit dan stalakmit bertemu membentuk
kolom lapisan endapan batu kapur, sehingga lama-lama akan
membentuk tiang gua.
Gambar 2.7 Stalaktit dan Stalakmit pada Gua Batu Kapur
Download