1431 H/2010 M - UIN Repository

advertisement
DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI
DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
(Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)
Disusun oleh :
HAVIZAL WENDRA
NIM: 104043101275
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI
DALAM
PANDANGAN
HUKUM
ISLAM
DAN
HUKUM
POSITIF
INDONESIA (Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni
2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar
Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Ciputat, 23 Juni 2010 M
10 Rajab 1431 H
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH,M.A.,M.M.
NIP. 1955 0505 1982 031012
PANITIA UJIAN
Ketua
: Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH,M.A.,M.M. ( .............................)
NIP. 195505051982031012
Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.
NIP. 196511191998031002
( .............................)
Pembimbing I
: Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.
NIP. 195811281994031001
( .............................)
Pembimbing II : Drs. Abu Tamrin, SH, M. Hum.
NIP. 196509081995031001
( .............................)
Penguji I
: Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 196912161996031001
( .............................)
Penguji II
: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag.
NIP. 197210161998031004
( .............................)
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Kripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya menerima sanksi yang
berlaku di Universitan Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2010
Havizal Wendra
KATA PENGANTAR
­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo
Alhamdulillah Puji syukur yang mendalam penulis ucapakan kepada Allah
SWT, sumber segala kehidupan yang tiada henti-hentinya mengalirkan limpahan
rahmat, hidayah dan kasih sayangNya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi
Besar Muhammad SAW yang telah mengajarkan pentingnya arti kehidupan dalam
kebaikan dan jalan keselamatan.
Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak
menemui kendala dan hambatan. Namun berkat dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kedapa semua pihak yang telah banyak membantu dan
menolong penulis, secara khusus penulis haturkan ucapan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. K. H. Ahmad Mukri Aji, MA., Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki,
M.Ag., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
i
3. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A dan Bapak Drs. Abu Thamrin, SH,
M.Hum, selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II dalam penulisan
skripsi ini, yang senantiasa meluangkan waktunya ditengah-tengah
kesibukan beliau, untuk memberikan arahan dan bimbingan serta saransarannya bagi penulis selama penyusunan skripsi.
4. Bapak Kamarusdiana, MH., Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan
Hukum, yang telah banyak membantu penulis dalam hal proses
perkuliahan dan administrasi.
5. Para dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang berkompeten dalam
bidang ini, baik secara langsung meupun tidak langsung telah membantu
pemahaman penulis.
6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh staf
yang telah banyak memberikan bantuan dan kemudahan dalam
pengumpulan bahan skripsi.
7. Pimpinan dan jajaran staf Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah
memberikan kemudahan dan kesempatan kepada penulis dalam rangka
penyusunan skripsi ini.
8. Ayahanda Emrizal dan Ibunda Guswendri, terimakasih atas segala
kesabaran, keikhlasan dan kasih sayang yang tak pernah habis dan doadoa tulusnya, semoga Allah selalu memberi rahmat dan kesehatan serta
membalas atas jasa dan ketulusan mereka. Dan juga adik-adik (M. Mirza
ii
dan Tiara Uswatun Hasanah) yang menjadi motivasi bagi penulis dalam
perjalanan menuntut ilmu.
9. Kepada Amylia Yarshinta, yang selalu sabar menghadapi penulis dan
memberi motivasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Segenap Keluarga Besar Mahasiswa Minang Kabau Ciputat (Da Desmi,
Rany, ricky, Al, Rino, Boy, Oky), rombongan KKS dan Baksos ke
Painan, semoga persahabatan yang terjalin selama ini tidak terputus
sampai disini.
11. Rekan-rekan Perbandingan Mazhab Fikih ’04 , dan kepada Muadz, Paul,
Welvis, Ray, terima kasih dukunganya.
Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah swt,
semoga berkenan menerima segala amal kebaikan dan ketulusan mereka sera
memberikan mereka sebaik-baik balasan atas amal baik mereka.
Demikian sepatah dua patah kata dari penulis, besar harapan karya sederhana
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan khasanah ilmu pengetahuan
umumnya. Amin.
Jakarta, 26 Mei 2010
Havizal Wendra
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................
6
D. Metode Penelitian .......................................................................
7
E. Review Kajian Terdahulu...........................................................
10
F. Sistematika Penulisan .................................................................
12
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
A. Korupsi .......................................................................................
14
1. Pengertian Korupsi................................................................
14
2. Jenis-jenis Korupsi ................................................................
18
3. Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi....................................
22
4. Penanggulangan Terhadap Korupsi ......................................
25
B. Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam ...................................
26
C. Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan .........................
28
iv
BAB III
1. Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi dan KUHP ......
28
2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi .............
31
DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM HUKUM
A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan..................................................
38
1. Pengertian Pemidanaan........................................................ 38
2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan...................................... 39
B. Disparitas Pemidanaan ...............................................................
47
1. Pengertian Disparitas Pemidanaan ...................................... 47
2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pemidanaan.................. 49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Kondisi Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ........................................
53
1. Identifikasi Perkara.............................................................. 53
2. Analisis ................................................................................ 55
B. Dampak Disparitas Pemidanaan.................................................
59
C. Upaya-upaya Mengurangi Disparitas Pemidanaan.....................
60
D. Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Tinjauan Hukum
Islam ..........................................................................................
v
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................
72
B. Saran-Saran.................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini Indonesia sedang menghadapi sebuah masalah besar dan
paling krusial terjadi dalam sebuah Negara, yaitu korupsi. Persoalan ini tidak saja
menjadi permasalahan struktural, namun lebih dari itu. Karena korupsi itu sudah
menjadi masalah struktural menyebabkan korupsi tersebut menjadi semacam
budaya nasional, dan bagian yang tidak bisa terlepaskan dari realitas birokrasi
masyarakat. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat kata korupsi terdengar dan
terlontarkan baik itu dari media massa ataupun elektronik. Bahkan seseorang rela
menanggalkan title keimanannya demi mendapatkan kekayaan dan kepuasan
materi, walaupun korupsi sudah terjadi sejak Indonesia masih berupa kerajaankerajaan yang tersebar dari ujung Sabang sampai Merauke. 1 Oleh karena itu,
pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan tanpa rasa lelah dan manusia
selalu ingin menghapuskan korupsi, walaupun ada yang mengatakan “korupsi
hanya bisa dihapus di surga”. 2
Korupsi sangatlah erat kaitannya dengan kekuasaan dan wewenang yang
diberikan kepada penguasa ataupun pemerintah setempat. Mengutip pendapat
Lord Action “power tend to corrupt”, adanya kekuasaan yang dimiliki oleh para
1 Syed Husain Alatas, Korupsi; Sifat, Sebab dan fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 64.
2
Munawar Foad Noeh, Islam dan Gerakan Anti Korupsi, (Jakarta: Zikrul Hikam,
1997), h. 49.
1
2
penguasa memberikan kecenderungan untuk berbuat korupsi dan bahkan tindakan
korupsi dapat terjadi didalam tubuh organisasi atau diluar organisasi. Korupsi ada
yang dilakukan oleh pejabat sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil
menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap ataupun
memungut uang yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang
untuk tujuan yang tidak sah atau lebih dikenal dengan istilah free lance. 3
Kekuasaan sangatlah memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan
korupsi, dilihat dari beberapa kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia para
pemegang kekuasaan dan wewenang cenderung menggunakan kekuasaannya
untuk melakukan tindak pidana korupsi, baik itu untuk kepentingan individu
maupun kepentingan kelompok.
Hukuman yang patut diberikan kepada para pelaku tindak pidana harus
sesuai dengan tujuan dari pemidanaan tersebut. Oleh karena itu hukuman yang
diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemashlahatan bagi individu
dan masyarakat.
Dengan demikian, hukuman yang baik adalah:
1. Harus dapat mencegah seseorang dari berbuat maksiat.
2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada
kebutuhan kemashlahatan masyarakat.
3
Robert Klitgaard, dkk, Terjemah: Teten Masduki, penuntun Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 3.
3
3. Memberikan hukuman bukan berarti balas dendam, melainkan semata-mata
untuk kemashlahatan.
4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh
kedalam perbuatan maksiat. 4
Dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana, sejak dulu
sampai sekarang masalah penjatuhan vonis terhadap pelaku kejahatan marak
diperbincangkan dan diperdebatkan, terutama terkait dengan penerapan sanksi
hukuman pidana. Menurut Alf Ross dalam bukunya “On Guil Responsibility and
punishment” ada dua tujuan pemidanaan, pertama ditujukan pada pembalasan
penderitaan terhadap pelaku dan kedua terhadap perbuatan para pelaku. 5
Alf Ross 6 menggambarkan bahwa pemidanaan (apa pun bentuknya) lebih
ditujukan pada sifat melawan hukum pelaku. Jika pun berimbas, hal itu
merupakan sebuah konsekuensi. Diharapkan nantinya (paling tidak), pelaku bisa
menyadari perbuatannya yang salah dan tidak akan mengulanginya lagi serta
mencegah orang lain meniru perbuatan orang tersebut.
Sementara Leo Polak 7 menilai bahwa penjatuhan pidana lebih ditujukan
untuk menjaga keseimbangan tertib hukum. Itulah sebabnya pemidanaan harus
diefektifkan untuk menjaga keseimbangan tata tertib hukum dalam masyarakat
agar tidak terganggu.
4
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), h. 26-27.
5
Marwan Mas, Konfigurasi Penjatuhan Pidana, Hukum Online, h.1
6
Marwan Mas, Ibid.
7
Ibid.
4
Polemik dalam masyarakat akan muncul, ketika hakim menjatuhkan
pidana yang berbeda. Kondisi ini dipersepsikan publik sebagai bukti tidak adanya
keadilan sosial (social justice) di dalam sebuah Negara hukum dan sekaligus akan
melemahkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri. Hal ini disebabkan karena
putusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang
menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Dari
sini akan nampak suatu persoalan serius, apakah hakim telah melaksanakan
tugasnya sebagai penegakkan hukum dan keadilan?
Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi
peraturan perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun
ekstra yuridis. Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan
pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap tindak pidana
yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat
berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah. 8
Disparitas pidana akan berakibat fatal bilamana dikaitkan dengan
correction administration, yaitu terpidana setelah memperbandingkan pidana
kemudian merasa menjadi korban the judicial caprice akan menjadi terpidana
yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut
merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Bahkan dapat
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1999), cet. Ke-2, h.53.
5
menimbulkan demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang
dijatuhi pidana yang lebih berat dari pada yang lain dalam kasus yang sebanding.
Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji dalam karya tulis
ini, berjudul “DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA;
Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan Skripsi ini adalah pada disparitas pemidanaan atau perbedaan
dalam (vonis) kasus korupsi dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia, dan pembahasan skripsi ini difokuskan pada putusan kasus korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Agar pembahasan skripsi ini terarah, tidak meluas secara tidak menentu,
maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Hukum Islam dibatasi pada hukum yang bersumber dari wahyu Allah, Sunnah
Rasul dan Ijtihad.
2. Hukum positif dibatasi pada keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku di Indonesia.
6
3. Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan pada disparitas pemidanaan
kasus korupsi yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
Nomor perkara No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel.
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi disparitas pemidanaan pada kasus korupsi yang terjadi di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya disparitas pemidanaan
terhadap kasus korupsi?
3. Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi disparitas
pemidanaan ?
4. Bagaimana disparitas pemidanaan dalam tinjauan hukum Islam?
C. Tujuan dan manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui kondisi disparitas pemidanaan korupsi dalam kasus
korupsi yang yang dijatuhkan pada Drs. Tri Witjaksono S., M.Si yang
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya
disparitas pemidanaan terhadap kasus korupsi.
c. Untuk mengetahui Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
mengurangi disparitas pemidanaan.
7
d. Untuk mengetahui dan menguraikan Bagaimana disparitas pemidanaan
dalam tinjauan hukum Islam.
2. Manfaat penelitian
a. secara teoritis, yakni untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu
pengetahuan dan juga menambah wawasan tentang bagaimana hukum
Islam memandang tindak pidana korupsi dan segala hal yang terkait
dengan itu.
b.
Secara praktis, agar tulisan ini dapat direalisasikan dan diaplikasikan
dengan baik, sehingga hukum di Indonesia dapat ditegakkan dan tidak
dipandang sebelah mata dan tulisan ini akan memberikan pencerahan
terhadap penegakan hukum di Indonesia.
c. Sebagai penambah bahan ataupun literatur perpustakaan dalam kajian
hukum Islam.
D. Metode Penelitian
1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis dan historis, yaitu
kajian yuridis terhadap putusan majelis hakim setelah vonis dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penelitian ini didasarkan pada praktek
(law in action) dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia.
8
2. Jenis Penelitian
Berdasarkan data yang dikumpulkan, maka penelitian ini digolongkan
kepada penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk
mengukur atau menilai praktek hukum (law in action) terhadap peraturan
perundang-undangan korupsi di Jakarta Selatan dengan sebuah pemaparan
dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga akhirnya akan
membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan yang ada.
3. Kriteria Data
a. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim
yang pernah menangani perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.
b. Data sekunder yaitu data yang berasal dari kepustakaan, yang terdiri dari
Al-Qur’an, Sunnah, buku-buku, dan literatur-lileratur yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti dokumen dan artikel.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik untuk
mengumpulkan data, yakni studi pustaka dan studi dokumentasi tentang salah
satu putusan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
a. Observasi
9
Sebelum penulisan dimulai penulis telah melakukan observasi ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bertujuan untuk mendapatkan data-data
sebagai pendukung pada saat penulisan skripsi ini.
b. Studi Kepustakaan (library research)
Dilakukan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep,
pendapat para ahli hukum pidana dari buku-buku, makalah-makalah
seminar dan artikel, media cetak maupun diambil melalui internet
(website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok
masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
c. Studi Dokumenter
Data dokumenter yang akan diteliti pada penelitian ini adalah
vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara No.
1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel tentang korupsi.
d. Wawancara Tak Terstruktur
Dilakukan terhadap seorang hakim yang pernah menangani
perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hakim pada saat akan
menjatuhkan vonis pidana. Hasil wawancara akan dianalisis secara
interpretatif.
5. Metode Analisis Data
10
Putusan atau pandangan hakim akan dianalisis secara deskriptif
analitis. Pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas,
sistematis, objektif, kritis dan analitis mengenai fakta-fakta yang bersifat
yuridis normatif. Data yang diperoleh dipaparkan kemudian dianalisis dengan
menggunakan pendekatan komparatif dengan berusaha menyajikan bahan
yang relevan dan mendukung.
6. Teknik Penulisan
Secara teknis, penulisan skripsi ini mengacu pada buku “ Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum”, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, sehingga penulisan ini tidak
melenceng dari aturan teknik penulisan yang ada.
E. Review Kajian Terdahulu
Dalam studi pendahuluan, penulis meneliti hasil dari skripsi yang ada,
yakni skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum:
1. Disparitas Pemidanaan Narkoba dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia, pada Tahun 2004, oleh Fauzul Aliwarman, PMH.
Dalam skripsi yang pertama ini, spesifikasi penulisannya lebih cenderung
pada studi pemidanaan terhadap kasus narkotika dan mengangkat dari dua
putusan dari dua Pengadilan yang berbeda, Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tingkat Tinggi.
11
2. Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dan sanksinya menurut hukum Islam dan
hukum positif (studi analisis putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan).
Pada tahun 2006, oleh Raudlatun, PMH
Dalam penulisan skripsi yang kedua ini, penulis menjelaskan bagaimana
tindak pidana korupsi dan sanksi yang harus diberikan kepada para pelaku
korupsi, dan penulis menggunakan studi analisis putusan dari Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
3. Disparitas Putusan Hakim dalam Memutuskan Sebuah Perkara Tindak Pidana
Narkoba (Studi Perbandingan Mazhab Fiqih dan Hukum Pidana Positif
Tentang Putusan Kasasi di Mahkamah Agung), pada tahun 2006, oleh Asep
Maulana, PMH.
Pada skripsi ini penulisnya menganalisis studi perbandingan yang labih
spesifik pada pendapat para mazhab dan putusan yang dianalisis adalah
putusan Kasasi di Mahkamah Agung.
4. Dalam penulisan skripsi yang ketiga ini, penulis menjelaskan bagaimana
putusan hakim dan mengungkap adakah disparitas putusan hakim Mahkamah
Agung terhadap perkara tindak pidana narkotika dan obat-obatan (narkoba).
5. Disparitas Putusan Hakim Terhadap Perkara Hadanah di Pengadilan Agama
Jakarta Timur, pada tahun 2007, oleh Syamsul Bahri.
Pada skripsi ini penulis mengemukakan tentang perbedaan yang terjadi dalam
memutuskan perkara hadanah oleh hakim.
12
Dalam
penulisan
skripsi,
penulis
mengambil
judul
“Disparitas
Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia” (Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan). Disini penulis menjelaskan bagaimana disparitas
pemidanaan kasus korupsi dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif
Indonesia. Spesifikasi skripsi ini adalah dari sekian penelitian yang berkaitan
dengan masalah korupsi, belum ada yang membahas bagaimana disparitas
pemidanaan kasus korupsi dalam pandangan hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia. Dalam skripsi ini penulis melakukan telaah putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. untuk mengetahui bagaimana
disparitas pemidanaan dalam kasus korupsi.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman dan adanya keteraturan dalam
penulisan ini penulis membagi materi menjadi lima bab dengan perincian sebagai
berikut:
BAB I
Pendahuluan. dimulai dengan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
tinjauan kajian terdahulu, sistematika penulisan.
BAB II Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pengertian korupsi, jenis-jenis
korupsi, faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, penanggulangan
13
terhadap korupsi, korupsi dalam pandangan hukum islam; pengertian
korupsi dalam pandangan hukum islam.
BAB III Pada bab ini menjalaskan tentang tujuan serta fungsi pemidanaan,
pengertian disparitas pemidanaan dan faktor-faktor penyebab disparitas
pemidanaan baik secara yuridis maupun ekstra yuridis.
BAB IV Merupakan inti pembahasan. Pada bab ini akan membahas apa saja yang
menjadi perumusan masalah, akan diungkap bagaimana disparitas
pemidanaan yang terjadi pada PN Jakarta Selatan dalam kasus korupsi,
dampak disparitas pemidanaan dan upaya mengurangi disparitas
pemidanaan. disparitas pemidanaan dalam kasus korupsi dalam tinjauan
hukum islam, upaya-upaya mengurangi disparitas pemidanaan.
BAB V Merupakan rangkaian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya
memuat kesimpulan disertai saran-saran yang bersifat membangun.
BAB II
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA
DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan gejala sosial yang sangat subur, dan merupakan
parasit terhadap pembangunan nasional, sehingga tindakan pencegahan,
penanggulangan, dan pemberantasannya tidak bisa diabaikan. 1
Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin, yakni Corruptio atau
Corruptus yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis
Corruptio dalam bahasa Belanda korruptie dan selanjutnya dalam bahasa
Indonesia Korupsi. 2 Secara harfiah korupsi adalah segala macam perbuatan
yang tidak baik seperti kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. 3
Korupsi dalam prakteknya memiliki beragam pengertian. Sejumlah
pakar dari berbagai disiplin ilmu bersilang pendapat untuk merumuskan
1
Juniadi Soewartoyo, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan
dan Penanggulangannya, (Jakarta, Restu Agung,1992), h. 45.
2 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika 1985) h. 78
3
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang, Jawa
Timur: Bayumedia Publishing, 2005), Cet ke-2 h. 1
14
15
pengertian yang paling memadai. Menurut Wetheim seorang pejabat
dikatakan melakukan korupsi apabila ia menerima hadiah dari seseorang agar
ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan pemberi hadiah.
Meminta hadiah atau balas jasa karena terlaksananya suatu tugas yang
padahal sebenarnya adalah kewajiban, bagi Wetheim juga dapat digolongkan
tindakan korupsi, dan tindakan korupsi juga dikenakan kepada pejabat yang
mengunakan uang Negara yang berada dibawah pengawasannya untuk
kepentingan pribadi. 4
Secara harfiah dapat diartikan bahwa korupsi memiliki arti yang
sangat luas: 5
a. Penyelewengan dan penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
b. Korupsi dapat berarti busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi.
Dalam analisis fenomenologis, menurut Syed Hussen Alatas, korupsi
mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Bila bentuknya
pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan korban. Apabila
bentuknya penyuapan terhadap pejabat, ini berarti membantu terjadinya
4
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta: Zikrul Hakim,
1997), Cet I, h. 77
5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. I.
16
pencurian. Jika terjadi dalam bentuk kontrak, korupsi berarti pencurian
keputusan sekaligus pencurian uang hasil keputusan. 6
Menurut Baharuddin Lopa, pengertian umum tentang tindak pidana
korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan
penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan
atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara, merugikan
kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang Tindak Pidana
Korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak
korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai Negeri. 7
Di dalam The Lexicon Webster Dictionary, dimuat arti kata corrupt
antara lain adalah: ajakan dari seorang pejabat politik dengan pertimbanganpertimbangan yang tidak semestinya melakukan pelanggaran tugas. 8
6
Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3S) h. 129
Artikel di Akses Pada 5 juni 2009.
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandangfilsafat-ilmu
8 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Terjemah: Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), h. 29.
7
17
Max Weber mengatakan, 9 orang tidak boleh membuat definisi
sebelum membuat derivasi dari definisi tersebut, yang berupa ciri-ciri dari
korupsi. Syed Hussen Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut: 10
a. Suatu penghianatan terhadap kepercayaan.
b. Penipuan terhadap daban pemerintah, lembaga swasta dan masyarakat
umum.
c. Dengan sengaja melalaikan kepercayaan umum untuk kepentingan
khusus.
d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang
berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu.
e. Melibatkan lebih dari satu pihak atau orang.
f. Adanya kewajiban atau keuntungan bersama dalam bentuk uang atau
barang.
g. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhi.
h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk
pengesahan hukum.
i. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang
melakukan korupsi.
9
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, h. 31
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya (jakarta: Gramedia
10
1984), h. 9
18
Melihat dari ciri-ciri di atas korupsi dapat diartikan Tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan
status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat,
keluarga sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan berupa tingkah
laku.
Karena luasnya tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
korupsi, maka definisinya selalu berkembang, baik secara normatif maupun
secara empiris. Dalam hal ini, istilah dari Bank dunia cukup mewakili, korupsi
adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk memperoleh keuntungan
pribadi (The abuse of public office for privat gain). 11
2. Jenis-jenis Korupsi
Benveniste dalam bukunya Bureaucrary (1991), membagi korupsi
dalam 4 jenis, yakni: discretionary corruption, illegal corruption, Mercenery
corruption,
dan
ideological
corruption.
Piers
Beirne
dan
James
Messerschmidt dalam criminology (1995) membagi korupsi dalam 4 jenis,
yaitu: political Bribery, political Kickbacks, Election Fraud dan corrupt
Campaign Practice. 12
11
Sudirman Said dan Nizar Suhendra, korupsi dan Masyarakat Indonedsia dalam Hamid
Basyaib, mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Aksara 2002) h. 99
12
Arya Maheka, (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi (Mengenali dan Memberantas
Korupsi), h. 16
19
Menurut Suara Karya ada tujuh macam korupsi yaitu :
a. Korupsi transaksional yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak, keduanya
sama-sama mendapatkan keuntungan dan mengupayakan secara aktif
terjadinya korupsi.
b. Korupsi yang bersifat memeras yaitu apabila pihak pertama harus
melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan
usaha dari pihak kedua itu.
c. Korupsi yang bersifat ontogenik yaitu hanya melibatkan orang yang
bersangkutan.
d. Korupsi depensif yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk
membela dirinya.
e. Korupsi yang bersifat investasi (memberikan pelayanan barang dan jasa
agar nanti mendapatkan uang terima kasih.
f. Korupsi yang bersifat nepotisme yaitu penunjukkan “orang-orang saya”
untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa “keluarga”
sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.
Korupsi suportif yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan
uang dan jasa atau pemberian apapun. 13
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
13
h. 44.
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi (Jakarta: Zikrul Hakim, 1997),
20
a. Perbuatan melawan hukum.
b. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain,
diantaranya:
a. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
b. Penggelapan dalam jabatan;
c. Pemerasan dalam jabatan;
d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara);
e. Menerima gratifikasi (bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara).
Di dalam pasal 1 Peraturan Penguasa Perang Pusat AD tersebut
perbuatan korupsi dibedakan menjadi dua, yakni (1) perbuatan korupsi pidana
dan (2) perbuatan korupsi lainnya. Menurut pasal 2, perbuatan korupsi pidana
ada tiga macam, yakni sebagai berikut.
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dengan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu
badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum
lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
21
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dan dalam pasal 209, 210, 418, 419, dan 420
KUHP.
Dari tiga macam perbuatan korupsi pidana tersebut dapat disimpulkan
bahwa perbuatan pidana korupsi terjadi dalam hal apabila si pembuat
melakukan kejahatan atau pelanggaran yang (1) merugikan Negara, atau (2)
yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau (3) tindak pidana
pasal 41 sampai dengan 50 Peraturan Penguasa Perang pusat ini, dan (4)
pasal: 209, 210, 418,419, dan 420 KUHP.
Sedangkan perbuatan korupsi lainnya (pasal 3) dibedakan menjadi dua
macam yakni, pertama Perbuatan seseorang yang dengan atau karena
melakukan perbuatan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan Negara atau daerah atau badan yang menerima bantuan
dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. Kedua
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan
22
hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang
dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3. Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.
Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktorfaktor penyebab terjadinya korupsi bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi itu
sendiri sebagai pemegang amanah berupa jabatan dan wewenang yang
diembannya, dan bisa juga berasal dari eksternal berupa sistem pemerintahan
dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga membuka
peluang untuk melakukan korupsi 14 dan situasi lingkungan yang kondusif
bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Sarlito W. Sarwono, ada dua hal yang mendorong terjadinya korupsi:
faktor dorongan dari dalam diri sendiri dan faktor rangsangan dari luar.
AS Harris Sumadiria mengatakan bahwa korupsi lahir karena
memburuknya
nilai-nilai
sosial,
korupsi
kambuh
karena
adanya
penyalahgunaan tujuan wewenang dan kekuasaan, dan korupsi hidup karena
sikap dan mental para pejabat yang semakin memburuk, baik pejabat tinggi
maupun pejabat rendahan. 15
14
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih
Jinayah disertasi, (Sekolah Pascasarjana, UIN Syahid Jakarta, 2008), h.40.
15
Juniadi Soewartoyo, Korupsi Pola Kegiatan dan Pendekatannya Serta Peran
Pengawasannya dalam Penanggulangannya (Jakarta: Restu Agung 1992), h. 30.
23
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
a. Penegakan hukum yang tidak konsisten :
penegakan hukum hanya
sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap
berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, takut dianggap bodoh kalau
tidak menggunakan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang anti korup : sistem dan pedoman anti korupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh
harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu
mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
e. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi
karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
f. Budaya member upeti, imablan jasa dan hadiah.
g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi :
saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya.
24
h. Budaya permisif atau serba membolehkan : tidak mau tahu : menganggap
biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal
kepentingannya sendiri terlindungi.
i. Gagalnya pendidikan agama dan etika : Agama menjadi pembendung
moral bangsa dalam mencegah perbuatan yang tidak baik. 16 .
Menurut Andi Hamzah, tentang kuasa atau sebab orang melakukan
perbuatan korupsi di Indonesia, berbagai pendapat telah dilontarkan.
Ditambah dengan pengalaman-pengalaman selama ini, kita dapat membuat
asumsi atau hipotesa misalnya sebagai berikut: 17
a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai Negeri dibandingkan dengan
kebutuhan sehari-hari semakin meningkat.
b. Ada juga yang menunjuk latar belakang ke budayaan atau kultur Indonesia
yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
c. Management yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan
efisien.
d. Penyebab korupsi adalah modernisasi.
Dari beberapa pendapat yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang menjadi penyebab utama terjadinya korupsi adalah budaya
matrealistik yang sudah sangat melekat pada jiwa seseorang, sehingga cara
16
Arya Maheka, KPK komisi pemberantasan korupsi, h. 23
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, h.13.
17
25
apapun akan dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya
walaupun itu sangat merugikan masyarakat ataupun Negara.
4. Penanggulangan Korupsi
Baharuddin Lopa menyatakan, mencegah korupsi dan kolusi tidak
begitu sulit, kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum
(kepentingan rakyat banyak) diatas kepentingan pribadi atau golongan. Sebab,
betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada dihati
yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut,
korupsi akan tetap terjadi. 18
Pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan dengan berbagai
upaya preventif yang dapat mencegah timbulnya korupsi kembali maupun
perilaku koruptif dimasa yang akan datang. Korupsi bukanlah sesuatu yang
harus dipelihara namun korupsi harus diberantas dengan cara yang tepat dan
cepat, seperti dengan Langkah preventif, langkah yang paling tepat dan
efektif, karena menghindari jauh lebih baik dari pada mengobati penyakit itu
(korupsi). Untuk mencegah terjadinya korupsi. 19 Penanggulangannya lebih
dititik beratkan pada kekuatan mental dan sistem manajemen yang
professional, pertama.
18
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,(Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara 2002), cet ke-I, h.85.
19 Baharuddin Lopa, permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 91.
26
Kedua, Langkah represif, yakni yang sangat penting juga dilakukan
asalkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, menindak tanpa
pandang bulu bagi siapa saja yang melakukan korupsi, baik itu pejabat
ataupun rakyat biasa yang melakukan korupsi harus ditindak sesuai dengan
hukum yang berlaku.
B. Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam
Berdasarkan makna leksikal dan pengertiannya, prinsip anti korupsi dalam
etika Islam banyak sekali. 20 Dalam khazanah atau literatur klasik Islam, secara
umum tidak ditemukan terminolog yang mengandung makna korupsi secara
menyeluruh, 21 namun istilah korupsi dapat disebandingkan dengan melihat dari
pengaruh yang ditimbulkannya, dan karena tindakan korupsi setidaknya
mengandung unsur-unsur seperti risywah (suap), saraqah (pencurian), alghasysy (penipuan), dan khinayah (pengkhianatan, 22 ghulul (penggelapan hak
milik publik), dan hirabah (memerangi Allah dan RasulNya, merusak tatanan
publik). 23
20 Chaider S. bamualim dan JM. Muslimin, ed., Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan
Tinggi Islam, h.71.
21
Mashuri Na’im, Nur Rofiah, dan Imdadun Rahmar, NU melawan korupsi: kajian tafsir dan
fiqih, (Jakarta: PB Nahdhatul Ulama, 2006), h. 107 Kutipan: Supriyadi Ahmad, Surga Dunia Bernama
Korupsi: perspektif Hukum Islam dan Hukum positif Indonesia.
22
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, h. 87.
23
Mashuri na’im, nur rofiah, dan Imdadun Rahmar, NU melawan korupsi, Kutipan: Supriyadi
Ahmad, Surga Dunia Bernama Korupsi 107-112
27
Dalam kajian hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
tindakan korupsi termasuk dalam masalah mu’amalah maaliyah (Persoalaan
ekonomi keuangan). Dari aspek normatif jelas bahwa korupsi “diharamkan” oleh
agama. Misalnya oleh Nabi Muhammad SAW. Dipandang sebagai perbuatan
terlaknat dan terkutuk. Dan juga didalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29
dijelaskan:
☺
⌧
Artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sekali-kali memakan
harta sesama dengan jalan yang bathil (tidak sah), kecuali dengan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu
membunuh bangsamu sendiri. Sesungguhnya Allah itu penyayang padamu”.
(Q.S. an-Nisa’/ 4: 29).
Kemudian dijelaskan lagi oleh ayat berikutnya:
☺
Artinya: “barang siapa yang melakukan hal itu (memakan harta secara tidak
sah) dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami (Allah) akan
memasukkannya kedalam neraka”. (Q.S. an-Nisa’/ 4: 30).
28
Ayat-ayat yang mempunyai arti kemiripan terhadap perbuatan korupsi
(risywah), misalnya dalam surat al-Maidah ayat 42 yang berbunyi:
☺
Artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bihing,
banyak memakan yang haram”. (Q.S. al-Maidah/ 5: 42).
Menurut istilah Syar’I, al-suht (
‫ ) ﺳّﺤﺖ‬adalah: 24
1. Setiap keharaman yang disebutnya hasil penjualan anjing. Khamr atau miras,
dan babi.
2. Hasil pekerjaan haram yang berdampak menghilangkan nilai moral (harga
diri dan kebersihan jiwa).
3. Sesuatu yang haram yang tidak boleh dinikmati hasilnya karena menggerogoti
keberkahan rizki. Disebut haram karena menghilangkan nilai ketaatan atau
menggerogoti nilai muru’ah. Jika komitmen agama melayang, maka hilang
pula nilai muru’ah, dan orang tidak akan merasa memiliki muru’ah jika
agamanya hilang.
4. Bermakna suap
Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan korupsi dalam tulisan ini
adalah korupsi dalam pengertian tiga tingkat. Yaitu tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan (betrayal of trust), sebagai tindak korupsi yang paling
24
h. 20.
Wahbah Al Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh (Damsyiq: Dar al Fikr, 1989),
29
rendah; tindakan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), walaupun
tidak mendapatkan keuntungan material, sebagai tindak korupsi tingkat
menengah; dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan
keuntungan material yang bukan haknya (material benefit), baik untuk diri
sendiri, keluarga, atau suatu korporasi, sebagai tindak korupsi yang paling
kuat yang telah melewati korupsi tingkat pertama dan tingkat kedua.
C. Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi
Sejak negara Indonesia merdeka, sekitar tahun 1945-1950an, belum
dikenal istilah korupsi namun bukan berarti pada waktu itu belum ada yang
melakukan tindak korupsi. Istilah korupsi itu secara yuridis baru dikenal
sekitar tahun 1957.
Peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan salah satu sarana represif, yang tidak dapat dilepaskan dari
tindakan-tindakan lain, seperti perbaikan ekonomi masyarakat, pembinaan
aparatur Negara, pengawasan dan lain sebagainyayang merupakan sarana
preventif.
Pengertian korupsi menurut Hukum Pidana Positif:
Pertama : Melakukan perbuatan untuk pemperkaya diri atau orang lain, atau
suatu badan, perbuatan memperkaya diri diartikan apa saja seperti
30
mengambil, memindah bukukan, menandatangani kontrak dan lain
sebagainya.
Kedua : Perbuatan melawan hukum, maksud hukum disini secara formil
dan materiil, dan harus dibuktikan karena dicantumkan secara
tegas dalam rumusan delik.
Ketiga : Perbuatan yang secara langsung, maupun tidak langsung
merugikan Negara dan atau perekonimian Negara. 25
Peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi selain KUHP
yaitu:
Pertama, peraturan penguasa militer No PRT/PM/06/1957. Peraturan
ini lahir disebabkan karena peraturan yang telah ada tentang pemberantasan
korupsi itu tidak efektif. Disamping peraturan yang ada di KUHP yang
berlaku umum tidak mampu memberantas korupsi. Adapun wewenang dari
peraturan ini adalah untuk mengadakan pemilikan terhadap benda setiap
orang atau badan didalam daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara
mendadak dan merugikan.
Kedua, peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.
PRT/PERPU/013/1958 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan
perbuatan pidana korupsi dan penilaian harta benda.
25
Hermain Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), cet ke-I, h. 62.
31
Dalam peraturan ini masih nampak mempertahankan ide pokok untuk
memudahkan orang-orang untuk melakukan perbuatan yang tidak merupakan
perbuatan pidana tetapi yang dianggap bertentangan dengan rasa kewajaran,
yaitu perbuatan tercela.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24
Tahun 1960. Dalam peraturan ini tidak disebut lagi ketentuan tentang korupsi
tercela, akan tetapi lengkapnya peraturan tersebut adalah peraturan
pemerintah pengganti Undang-undang tentang pengasutan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dimuat dalam L.N. Nomor. 72 Tahun
1960. Seperti diketahui bentuk PERPU ini dikeluarkan dalam keadaan
mendesak oelh pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu,
dengan ketentuan bahwa harus diminta persetujuan DPR pada masa
persidangan berikutnya, dan kalau tidak disetujui maka harus dicabut.
Keempat, undang-undang No. 3 Tanhun 1971 (L.N. 1971, T.L.N. No.
2958 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Undang-undang ini
dilahirkan atau dibentuk karena keinginan masyarakat sejak tahun 1950-an
untuk memberantas korupsi yang sudah meluas.
Kelima, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Lahirnya undang-undang ini sebenarnya merupakan person
atas ketidakpuasan terhadap undang-undang anti korupsi lama. Undang-
32
undang lama dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum di masyarakat, dan kurang efektif dalam mencegah dan memberantas
korupsi.
Keenam, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tugas KPK yang termaktub dalam
undang-undang ini adalah menyelidiki kasus korupsi yang nilainya diatas Rp.
1 M dan menarik perhatian masyarakat, melakukan koordinasi dan melakukan
upaya pencegahan korupsi.
Pembahasan korupsi menurut ketentuan KUHP sebagaimana yang
termaktub dalam pasal 415, 426, 417, dan 418 dari pasal 418 adalah
merupakan tindakan korupsi dari segi penerimaan suap bagi pejabat atau
pegawai negeri.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dijelaskan dalam undang-undang
nomor 20 tahun 2001:
Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, secara melawan hukum atau menentang ketetapan pemerintahan
yang berarti menggambarkan suatu pengertian tentang perbuatan tercelanya
atau sifat terlarangnya suatu perbuatan dengan jalan menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan dan sarana yang telah diberikan kepercayaan
kepadanya.
33
Tindak pidana korupsi memiliki ciri suatu hukum pidana khusus,
yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari hukum pidana umum. Dalam
hukum pidana umum (KUHP) yang membedakan antara pidana pokok dan
pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas: pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana
tambahan terdiri atas: pencabutan hak hak tertentu, perampasan barangbarang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Dalam hukum pidana korupsi, mengenai jenis-jenis pidana pokok
dalam pasal 10 KUHP, mengenai jenis pidana tambahan dimuat dalam pasal
18 ayat (1):
1. Perampasan barang yang berwujud atau tidak berwujud, bergerak
atau tidak bergerak yang diperolah dari tindak pidana korupsi.
2. Pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan nilai yang
diperoleh dari hasil korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan paling lama 1 tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak yang diberikan oleh
negara kepada terpidana.
2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi
Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia
pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam
hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan
34
pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi
sebagaimana dimuat dalam pasal 20 jo 01 dan 3 UU No. 31/1999, subjek
hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:
a. Subjek Hukum Orang
Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas pada sistem
pembebanan tanggung jawab pidana yang dianut yang dalam hukum
pidana umum (sumber pokoknya KUHP) adalah pribadi orang. Hanya
orang yang menjadi subjek hukum pidana. Pertanggungjawaban bersifat
pribadi artinya orang yang dibebani tanggug jawab pidana dan dipidana
hanyalah orang atau pribadi sipembuatnya. Hukum pidana kita yang
menganut azas concordantie dari hukum pidana belanda menganut sistem
hukum pertanggungjawaban pribadi.
Sistem pertanggungjawaban pribadi sesuai dengan kodrat manusia
yang berfikir, berakal dan berperasaan, dengan itu seseorang menetapkan
kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila perbuatan
bersifat tercela atau bertentangan dengan hukum, maka orang itu yang
dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Kemampuan
berfikir dan kemampuan menggunakan akal dalam berbuat dijadikan dasar
untuk menetapkan orang sebagai subjek hukum tindak pidana.
35
Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada UU No.
31/1999 jo UU No. 20/2001, subjek hukum orang ini ditentukan melalui
dua cara:
1) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya,
artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam
kalimat rumusan tindak pidana menyebutkan subjek hukum tindak
pidana orang pada umumnya, yang in casu tindak pidana korupsi
disebutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya pasal 2, 3, 21,
22) dan juga diletakkan ditengah rumusan (misalnya pasal 5 dan 6).
2) Cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang
tersebut, yang in casu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain (1)
pegawai negeri; penyelenggara Negara (misalnya pasal 8, 9, 10, 11, 12
huruf a, b, e, f, g, h, i); (2) pemborong ahli bangunan (pasal 7 ayat 1
huruf a); (3) hakim (pasal 12 huruf c); (4) advokat (pasal 12 huruf d);
(5) saksi (pasal 24), (6) tersangka bisa juga menjadi subjek hukum
(pasal 22 jo 28).
b. Subjek Korporasi
Dalam beberapa
peraturan
perundang-undangan
kita
telah
menganut sistem pertanggungjawaban strict liability (pembebanan
tanggung jawab pidana tanpa melihat kesalahan) dan vicarious liability
36
(pembebanan tanggung jawab pidana pada selain sipembuat) dangan
menarik badan atau korporasi kedalam pertanggungjawaban pidana.
Mardjono Reksodiputro (1989:9) dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana.
1) Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi
yang bertanggung jawab.
2) Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung
jawab.
3) Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab
Dalam pasal 20 ada tiga hal yang harus dipahami oleh para praktisi
hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang melakukan
tindak pidana korupsi, yaitu:
1) Indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi ialah
bila korupsi dilakukan oleh orang-orang (yang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain) bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama (ayat 2)
2) Secara sumir mengatur hukum acaranya dan memberikan sedikit
keterangan yakni dalam hal tindak pidana korupsi oleh korporasi,
maka tuntutan dan penjatuahan pidananya dijatuhkan terhadap
korporasi dan pengurusnya (ayat 1). Apabila tuntutan dilakukan
terhadap korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya
37
(ayat 3). Pengurus juga dapat diwakilkan pada orang lain ( ayat 4).
Dalam hal menyidangkan korporasi (yang tidak bernyawa dan tidak
berfikir dan berperasaan) tersebut dilakukan terhadap pengurusnya
(ayat 5) dan kepada pengurusnyalah tuntutan dan panggilan dilakukan
(ayat 6). Jadi intinya pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai
subjek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap dan dapat
memberi keterangan.
Penjelasan mengenai pasal 20 ayat 2 pengurus adalah organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan
sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya
memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang
dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
1) Mengenai pembebasan tanggung jawab pidananya terhadap korporasi
dalam ayat 7 hanya dapat dijatuhkan pidana pokok denda yang dapat
diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman maksimum denda
pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut,
karena badan tidak mungkin dipidana yang intinya hilang
kemerdekaan (sanksi dalam hukum pidana).
Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi
diterangkan dalam pasal 1 yang menyatakan bahwa korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
38
badan hukum maupun bukan badan hukum. Suatu korporasi yang oleh
peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang
didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
hukum. Korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan
orang yang terorganisasi secara baik dan teratur, ada perangkat aturan
yang mengatur interen dengan ditentukannya jabatan yang akan
menggerakkan roda organisasi dengan sedikit atau banyaknya kekayaan
atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut. 26
26
. Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Malang:
Bayumedia Publishing 2005), Cet ke-2 h. 341-351
BAB III
DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM HUKUM
A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan
kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama menyangkut kepentingan
benda hukum yang berharga, seperti nyawa dan kemerdekaan atau
kebebasannya.
Pidana atau pemidanaan adalah istilah hukum yang akrab diartikan
sebagai penghukuman dalam perkara pidana. 1 Menurut prof. Mulyatno,
pidana berasal dari kata “straf” yang artinya hasil atau akibat dari penerapan
hukum itu sendiri. Sementara prof. Sudarto menyatakan pemidanaan
(penghukuman dalam perkara pidana) sebagai menetapkan atau menentukan
hukuman untuk suatu peristiwa. 2
Secara
terminologi
pidana
adalah
penderitaan
yang
sengaja
dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh prof. Sudarto. 3
Rupert Cross yang dikutip Muladi dalam bukunya mendefinisikan pidana
1
Joko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Pidana Mati di
Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet ke-2 h. 13.
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT.
Alumni, 2005), Cet ke-3, h. 1.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 2.
39
40
sebagai pengenaan penderitaan oleh Negara kepada seseorang yang telah
melakukan suatu kejahatan.
Dari beberapa definisi, para ahli hukum pidana mengelompokkan tiga
ciri-ciri umum pidana:
a. Hakekat dari pidana adalah pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lain
yang tidak menyenangkan.
b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (kewenangan).
c. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang. 4
2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kalangan ahli hukum,
tersimpul adanya pandangan, perkembangan teori pemidanaan cenderung
mengalami
perubahan
paradigma. 5
Bergesernya
paradigma
dalam
pemidanaan ini dapat dengan mudah dipahami karena adanya perkembangan
masyarakat. Dalam konteks ini dinamika selalu kearah yang lebih baik dan
lebih beradab. 6 Oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga
4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana h. 4.
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2001), Cet ke-1 h. 31.
6
Pergeseran Paradigma dalam pemidanaan ini terlihat dari munculnya berbagai teori tentang
tujuan pemidanaan yang disebabkan oleh banyak faktor. Teori tersebut dibagi dalam tiga golongan,
yaitu teori pembalasan yang dikenal dengan teori absolut/ retributif, teori tujuan atau dikenal dengan
teori relatif. Utilitarian dan teori gabungan atau dikenal dengan teori behavioral/ retributivis teologis.
5
41
berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan masyarakat tersebut.
Perkembangan yang dimaksud, pertama berkenaan dengan aliran yang
berkembang dalam hukum pidana itu sendiri yang melatarbelakangi
pemunculan konsep pemidanaan dan kedua pergulatan teoritis (konseptual)
mengenai pemidanaan yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang
berbeda satu sama lainnya.Aliran dalam hukum pidana dibagi atas:
a. Aliran hukum pidana Klasik (Daad Strafrecht)
Aliran ini lahir sekitar abad ke-18 dan merupakan aliran yang
sangat kental bernuansa legisme. Dilihat dari sejarahnya, aliran klasik
merupakan respons terhadap adanya kesewenang-wenangan penguasa
yang terjadi di Prancis dan Inggris pada abad ke-18.
Sebagai respons terhadap kesewenang-wenangan penguasa, aliran
ini menghendaki agar setiap orang dapat memperoleh kepastian secara
hukum, khususnya dalam hukum pidana. Karenanya hukum pidana harus
dikembangkan sebagai norma tertulis yang sistematis. 7
Sesuai dengan paradigma yang melatar belakangi, yaitu aliran
legisme, aliran klasik menghendaki adanya pidana yang seimbang. Pidana
dijatuhkan sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukan. 8
7
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.25
Tongat, Pidana Kerja Sosial, h.32
42
Dalam
konteks
pemidanaan,
rumusan
yang
pasti
juga
diberlakukan. Dalam aliran klasik, pidana yang dirumuskan dalam
Undang-undang bersifat pasti (definite sentence). 9 Pidana harus sesuai
dengan yang dirumuskan dalam undang-undang, artinya bobot pidana
sudah ditentukan dalam undang-undang dan hakim tidak mempunyai
kewenangan untuk menjatuhkan pidana lain selain yang telah ditentukan
dalam undang-undang.
Dengan paradigma tersebut dikatakan bahwa aliran klasik
merupakan aliran dalam hukum pidana yang hanya berorientasi
kebelakang (backward-looking) yaitu hanya berorientasi pada perbuatan
yang telah dilakukan oleh pelaku.
Tokoh yang sangat popular yang menjadi pelopor aliran ini antara
lain Cesare Beccaria yang terkenal melalui karyanya yang monumental
Dei delliti a delle pene. Melalui pemikiran Beccaria lahirlah doktrin
“pidana harus sesuai dengan kejahatan”. Yang kemudian dipahami sebagai
dasar lahirnya aliran klasik dalam hukum pidana. 10
b. Aliran hukum pidana Modern (Daader Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang
beraliran modern memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana h.26.
Tongat, Pidana Kerja Sosial, h.33.
10
43
a. Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannnya dalam aliran
ini adalah pada diri si pelaku kejahatan. Jadi, ketika terjadi suatu
tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis pelakunya harus dijatuhi
sanksi pidana tertentu sesuai dengan ketentuan hukum. Karena dalam
ini harus diselidiki/ dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya
menjadi latar belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan
tindak pidana tersebut.
b. Timbulnya konsep Daader Strafrecht diatas, secara teoritik adalah
akibat adanya pengaruh kuat dari paham “Determinisme”, yaitu paham
yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya adalah sama
sekali tidak otonom. Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar
dirinya. Dalam perkembangannya Determinisme ini pun kemudian
sampai pada gagasan perlunya mengganti konsep pemberian sanksi
pidana (yang cenderung bersifat punishment/ hukuman, menjadi
pengenakan tindakan (yang lebih bersifat treatment/ pembinaan).
c. Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan dengan
salah satu konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana, maka
bisa dikatakan bahwa aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau
malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum
pidana yang kedua (yaitu melindungi kepentingan-kepentingan yang
bersifat perseorangan dari setiap individu warga Negara). Hal ini
44
terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki aspek
kondisional dalam diri pelaku tujuannya ialah agar individu pelaku
kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap
terjamin perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami
kesewenag-wenangan penguasa. 11
Dalam
konteks
tersebut
para
penganut
aliran
modern
mengemukakan pemikiran agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada
pelaku tindak pidana. Penjatuhan pidana harus didasarkan pada sifat-sifat
dan keadaan pribadi dari pelaku.
Aliran modern juga disebut dengan aliran positif, karena di dalam
mencari sebab kejahatan didasarkan pada ilmu alam. Selain itu aliran ini
bermaksud mendekati para pelaku kejahatan kearah yang lebih positif
sepanjang masih dimungkinkan.
Dengan paradigma yang demikian itu, aliran ini sering dianggap
sebagai aliran yang berorientasi kedepan (forwardlooking). Aliran modern
juga menolak pandangan, bahwa pidana dijatuhkan sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan. Penolakan ini didasarkan pada pemahaman
aliran modern, bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada
kesalahan subjektif pelaku harus diganti dengan sifat berbahaya pelaku
11
. M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta: 2002),
hlm.20
45
kejahatan. Kalaupun digunakan istilah pidana, maka pidana yang
dijatuhkan harus didasarkan serta berorientasi pada sifat-sifat sipelaku itu
sendiri. 12 Setelah perang dunia II aliran modern berubah menjadi aliran
/gerakan perlindungan masyarakat. 13 Setelah tahun 1949 diadakan The
second International Sosial Defence, aliran perlindungan msyarakat pecah
menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dan tokohnya Fillipo
Gramatika dan aliran moderat dengan tokohnya Mrc Ancel. 14
Konsepsi radikal dengan tokohnya Gramatika menghendaki agar
hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu
kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya,
pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh
pandangan tentang perubahan anti sosial. Dengan demikian, Gramatika
secara prinsipil menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana,
penjahat dan pidana. 15
Sementara
menghendaki
agar
Marc
Ancel
ide-ide
dengan
atau
konsepsi
konsepsi-konsepsi
yang
moderat
perlindungan
masyarakat diintegrasikan ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 16 Marc
Ancel dengan gerakannya defence sosiale nourelle (New Sosial defence)
menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan masyarakat tersebut
12
Tongat, Pidana Kerja Sosial, h.35.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 34
14
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), cet. Ke-1, h.38
15
Ibid., h.26
16
Ibid., h. 39.
13
46
tidak menghapus hukum pidana. Menurutnya, konsepsi perlindungan
masyarakat tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan
tercipta konsep baru hukum pidana tanpa menghilangkan esensi hukum
pidananya.
Secara konseptual, gagasan atau ide-ide yang dikemukakan oleh
gerakan perlindungan masyarakat baru adalah:
1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan
yang tepat mengenai hukum pidana. Bertolak dari konsep tersebut,
maka sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap
pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus dipertahankan.
Walaupun demikian harus menjadi catatan, bahwa penggunaan atas
semua itu tidak dilakukan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yang
yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
2) Kejahatan merupakan merupakan masalah kemanusiaan dan sosial (a
human and sosial problem) yang tidak begitu saja dipaksakan ke
dalam perundang-undangan.
3) Kebijakan pidana bertolak dari konsepsi pertanggungjawaban yang
bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan
penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban
47
17
Apabila mengacu pada dua aliran di atas yaitu, aliran klasik dan
aliran modern, dengan karakteristik yang ada pada masing-masing aliran,
maka hanya pada aliran modernlah terdapat pembenaran disparitas
pemidanan.
c. Aliran neo-klasik (Daad-Daader Strafrecht)
Aliran neo klasik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas
aliran klasik. Aliran ini pada dasarnya juga berasal dari aliran klasik.
Sebagaimana aliran klasik, aliran neo-klasik juga bertolak dari
paham kebebasan kehendak atau pandangan indeterminisme. Sekalipun
demikian aliran ini berusaha memberikan koreksi terhadap aliran klasik
yang dianggap kurang manusiawi.
Kritik aliran neo-klasik terhadap pendahulunya ini terlihat pada
pandangan terhadap pidana yagn dijatuhkan oleh aliran klasik. Menurut
aliran neo-klasik, pidana yang dijatuhkan/ yang dihasilkan oleh aliran
klasik sangat berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang
saat ini.
Dalam upayanya mengatasi sistem pemidanaan yang berlaku saat
itu, aliran neo-klasik mencoba menawarkan system pidana yang lebih
manusiawi. Untuk kebutuhan tersebut aliran klasik merumuskan pidana
17
Ibid., h. 40.
48
dengan system pidana minimum dan maksimum. Selain adanyanya system
pidana minimum dan maksimum dalam pemidanaan, aliran ini juga
mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan.
Dengan denikian tampak disini bahwa aliran neo-klasik mulai
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat individual dalam kaitannya
dengan penjatuhn pidana. Artinya pemidanaan tidak saja dijatuhkan
berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkn pada pertimbangan
individu pelaku tindak pidana.
Satu hal yang sangat tampak dari adanya pergeseran pandangan
antara aliran klasik dan aliran neo-klasik dalam hal ini adalah
ditinggalkannya system perumusan pidana secara pasti (definite sentence).
Sebagi gantinya dikemukakan system pidana yang dirumuskan secara tidk
pasti (indefinite sentence).
B. Disparitas Pemidanaan
1. Pengertian Disparitas Pemidanaan
Dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, vonis hakim
menjadi bagian paling menentukan dari rangkaian hukum acara formiil.
Karena mempunyai konsekuensi yang sangat luas terhadap diri terpidana
maupun masyarakat secara umum.
49
Putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim berdasarkan pada
keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan patut
untuk dipidana, dan masyarakatlah yang nantinya memberikan penilaian adil
tidak adilnya suatu putusan, sebab suatu putusan sangat relatif tergantung
dari sudut mana kita memandangnya.
Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan
bunyi perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun
ekstra yuridis. 18
Disparitas pemidanan (disparity of sentencing) adalah penjatuhan
yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap: 19
a. Tindak-tindak pidana yang sama.
b. Tindak-tindak pidana yang berbahaya dapat diperbandingkan tanpa dasar
pembenaran yang sah.
c. Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari satu orang. 20
Disparitas pemidanaan korupsi sering kali melukai perasaan keadilan
masyarakat, meskipun hakim mempunyai alasan yang kuat dalam
menjatuhkan pidana yang ringan terhadap para pelaku korupsi. Hal itu
disebabkan karena kasus korupsi merupakan organize crime yang dampak
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.52
Lihat Antara lain: Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga 1984), cet.
Ke-2, h.27 dan Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet Ke-1, h.49
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 53.
19
50
negatifnya luar biasa terhadap perekonomian, dan budaya bangsa juga sulit
diberantas.
2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pemidanaan.
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan faktor-faktor penyebab
terjadinya disparitas pemidanaan yang bersumber dari hukum itu sendiri:
a. Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih dan
menentukan berat dan jenis pidana.
Dalam hukum pidana positif Indonesia hakim mempunyai
kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang
dikehendaki, sehubungan dengan penggunakan system alternatif dalam
pengancaman pidana di dalam undang-undang. 21
Dari rumusan pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU
No.22/ 1997, dapat diketahui beberapa pidana pokok yang diancamkan
kepada pelaku secara alternatif. Alternatif disini berarti, hanya satu
diantara pidana-pidana pokok yang diancamkan tersebut, yang dapat
dijatuhkan. Adanya kebebasan hakim dalam menentukan berat pidana
karena yang ditetapkan oleh perundang-undangan hanya pidana minimal
umum, maksimum umum dan maksimal khusus.
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 56.
51
Pidana minimal umum (algemeen minimum) adalah batasan
pidana terendah yang bersifat umum dan diatur didalam pasal 12 ayat (2)
dan pasal (30) KUHP. Menurut ketentuan ini, batas minimal pidana
adalah 1 hari penjara atau kurungan 22 dan denda dua puluh lima sen. 23
Pidana maksimal umum (algemeen maksimum) adalah batasan
pidana tertinggi yang bersifat umum yang menurut ketentuan pasal 12
ayat (3) dan (4) adalah 15 (lima belas) tahun penjara dan bisa atau dapat
ditambah menjadi 20 (dua puluh) tahun penjara. 24
Untuk pidana maksimal khusus atau yang dikenal dengan “sistem
indefinite”
merupakan
praktek
legislatif
tradisional
untuk
mendistribusikan kekuasaan pemidanaan dari badan legislatif kepada
badan atau kekuasaan pemidanaan lainnya ditingkat bawah sebagaimana
dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari Colin Howard. Masing-masing
tindak pidana telah ditentukan batas setinggi-tingginya yang dapat
dijatuhkan oleh hakim. 25 Pidana maksimal khusus dalam pasal 81 ayat
(1) huruf a 15 (lima belas) tahun dan denda Rp. 750.000.000,00 (tujuh
22
E. Utrecht dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan,
1983), cet Ke-11, h.394.
23
Berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 18 tahun 1960
ditentukan, bahwa mulai 14 April 1960 besaran denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipat
gandakan menjadi lima belas kali.
24
R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional.1981), Cet ke-1, h.16.
25
Keuntungan dari sistem ini menurut Colin Howard, yaitu menunjukkan tingkat keseriusan
tindak pidana kepada badan-badan atau kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah, memberikan
fleksibilitas dan kebijakan (diskresi) kepada kekuasaan-kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah,
melindungi kepentingn-kepentingan sipelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan
dari kekuasaan pemidanaan ditingkat bawah.
52
ratus lima puluh juta rupiah), ayat (2) huruf a maksimal pidana
khususnya 18 (delapan belas) tahun dan denda Rp. 2.000.000.000,00 (dua
milyar rupiah), ayat (3) huruf a maksimal pidana khususnya adalah
pidana mati atau penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun penjara
dan denda Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
Jadi untuk sanksi pidana yang dijatuhakan pada pelaku tindak
pidana korupsi adalah sebagaimana yang dimuat dalam pasal 2 ayat 1
(satu) yang rumusannya adalah sebagai berikut: “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah)”. 26
Dalam batasan-batasan minimal hingga maksimal tersebut, hakim
bebas leluasa bergerak menjatuhkan pidana. Kondisi inilah yang bisa
menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan karena bisa dipahami
bahwa hakim tidak selalu menghasilkan pemidanaan yang seragam.
26
Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar
Grafika 2006), cet ke-II, h. 26.
53
b. Secara teoritis, disparitas pemidanaan dapat dibenarkan sebagai
pencerminan karakteristik aliran modern (positive school) yang
berkembang pada abad 19.
Karakteristik aliran modern yakni, Let the punishment fit the
criminal menghendaki pemidanaan yang disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu baik yang melekat pada diri pelaku maupun yang
mempengaruhi perbuatan pelaku sebagai keadaan-keadaan yang dapat
meringankan berat pidana. 27
Adanya
pembenaran
terhadap
disparitas
pemidanaan
dikemukakan pula oleh Cesare Lambroso (salah satu pelopor aliran
modern) sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief,
different criminals have needs yaitu, sepanjang masing-masing pelaku
mempunyai motif yang berbeda-beda saat melakukan kejahatan adalah
suatu kebodohan bila menerapkan pidana yang sama kepada mereka. 28
c. Pedoman Pemidanaan
Diaturnya ketentuan alternatif pidana, batas minimal dan
maksimal
pidana
tanpa
dibarengi
dengan
pengaturan
pedoman
pemidanaan yang dapat memberikan kemungkinan bagi hakim
memperhitungkan seluruh fase-fase kejadian. Menurut Muladi, tanpa
adanya pedoman pemidanaan, berat ringannya pidana yang dijatuhkan,
27
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.58.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 63.
54
akan bergantung pada subyektifitas hakim. Di dalam prakteknya
subyektifitan hakim sering menimbulakn disparitas pemidanaan, 29 karena
keadilan bukan sekedar menurut undang-undang semata tetapi juga
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
d. Undang-undang yang tidak proporsional dalam menempatkan batasan
antara kejahatan yang dilakukan dengan pidana yang diancamkan, antara
satu kejahatan dengan kejahatan lain. 30
Ketidakjelasan pandangan legislatif (DPR) selama ini mengenai
pemidanaan yang tidak dilandasi pada satu perangkat parameter yang
konkret dalam menentukan ancaman pidana meyebabkan terjadinya
inkonsistensi dalam penentuan keseriusan berbagai tindak pidana yang
dirumuskan dalam Undang-undang, sehingga sanksinya pun sangat
beragam, yang pada gilirannya menimbulkan disparitas dalam penjatuhan
pidana oleh pengadilan.
29
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 52.
Harkiatuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan; Suatu Gugatan Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, hukum Online, (Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada
FH UI di Depok), h. 1.
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Kondisi Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
1. Identifikasi Perkara.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1287/Pid.B/2008/PN.
Jkt. Sel, dalam kasus korupsi. Duduk perkaranya sebagai berikut:
Bahwa terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si adalah ketua panitia
pengadaan barang dan jasa tahun 2006 pada kantor Walikotamadya Jakarta
Selatan berdasarkan surat keputusan Walikotamadya Jakarta Selatan Nomor
155 Tahun 2006 tanggal 16 April 2006 tentang Panitia Pengadaan Barang dan
Jasa Sekretariat Kotamadya Jakarta Selatan tahun anggaran 2006, melakukan
perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, meyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang
ada padanya, yang dapat merugikan keuangan Negara. Pada waktu antara
bulan Oktober 2006 sampai dengan Desember 2006.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, mengakibatkan terjadinya
kemahalan harga pada pengadaan Multipurpose Filing Cabinet tahan Api di
Setkodya Jakarta Selatan tersebut dan mengakibatkan kerugian keuangan
Negara sebesar Rp. 970.000.000, sebagaimana hasil audit dan perhitungan
55
56
dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan DKI Jakarta
No S-8644/PW09/5/2008 tanggal 2 Juni 2008.
Dakwaan
Penuntut
Umum
yang
disusun
secara
alternatif, 1
mendakwakan:
Primair
:
Melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 KUHP.
Subsidar :
Melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
KUHP.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya tanggal 1
Desember 2008, No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, 2 yang menyatakan bahwa
terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si bersalah telah melakukan tindak
pidana: “korupsi”, sehingga pengadilan dalam diktumnya:
Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun.
a. Menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000.
b. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan
hukuman kurungan selama 2 bulan.
2. Analisis
Dalam
putusannya
tanggal
1
Desember
2008,
No.
1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan
1
Artinya, bila salah satu dari beberapa perbuatan tersebut telah terbukti, makan unsur
yang dimaksud secara keseluruhan sudah terbukti menurut hukum.
2
Kopi salinan resmi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 1 Desember 2008 No.
1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel.
57
bahwa terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si dinyatakan bersalah telah
melakukan tindak pidana “korupsi” telah menghukum terdakwa dengan
pidana penjara selama 1 Tahun dan denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah).
Penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara pidana
korupsi pada sistem hukum di Indonesia adalah merupakan kewenangan dari
pengadilan, jadi apabila menginginkan antara sanksi yang diberikan dengan
sanksi yang ada dalam undang-undang korupsi adalah sama, akan sangat
bergantung pada majelis hakim yang menyidang perkara tersebut.
Di sisi lain, hakim juga memiliki kebebasan untuk menjatuhkan
putusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, sesuai menurut sistem
pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia.
Para saksi dalam persidangan menyatakan kesaksian yang pada
pokoknya membenarkan bahwa sejak tahun 2003 terdakwa menjabat sebagai
Kasubag Pemeliharaan dan Perawatan pada Bagian Perlengkapan Setkodya
Jakarta Selatan. Terdakwa ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang
dan Jasa dengan tugas yang telah ditetapkan berdasarkan SK Walikotamadya
Jakarta Selatan Nomor 151 Tahun 2006 tanggal 19 April 2006.
Terdakwa juga terbukti telah melakukan perbuatan yang merugikan
keuangan Negara demi kepentingan pribadi, orang lain atau suatu korporasi.
Pada putusan tersebut di atas nampak jelas adanya disparitas yang
tejadi terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa Drs. Tri Witjaksono
58
S., M.Si. karena dalam undang-undang tindak pidana korupsi sebagaimana
yang dimuat dalam pasal 2 ayat 1 (satu) dengan rumusan sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah)”.
Mengingat produk perundang-undangan ini adalah hasil dari
kesepakatan wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, tentu dalam
pembuatannya tidak terlepas dari pertimbangan rasa keadilan yang hadir dan
hidup ditengah-tengah masyarakat.
Putusan yang tidak didasari atas pertimbangan rasa keadilan
dikhawatirkan masyarakat nantinya akan memunculkan adanya pengadilan
jalanan, dimana masyarakat merasa lembaga peradilan sudah mandul dan
sudah saatnya rakyat turun untuk menindak pelaku korupsi. Dengan ini semua
pemerintah bersama masyarakat yang membentuk suatu lembaga yaitu
gerakan anti korupsi yang merupakan sebuah political wiil yang didukung
persiapan dan kesiapan piranti hukum, yang tidak kalah pentingnya adalah
partisipasi sebanyak-banyaknya warga masyarakat dengan langkah pertama
untuk memantapkan kodifikasi hukum (normatif) yang minimal bisa membuat
59
siapapun menjadi jera melakukan korupsi. Selain itu, juga perlu memberikan
sanksi seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri.
Ada beberapa hal yang harus dibedakan dalam proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu:
a. Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara langsung menghadirkan para
terdakwa dan melakukan pembuktian atas kejahatan yang telah diperbuat
dengan memberikan penilaian sosiologis para terdakwa serta kesesuaian
antara pengakuan terdakwa, keterangan saksi dan kejadian yang
sebenarnya.
b. Pengadilan tinggi hanya melakukan pemeriksaan ulang terhadap berkas
perkara tanpa menghadirkan atau melibatkan pihak yang berperkara
sehingga tidak dapat menilai sisi sosiologis para terdakwa secara benar.
Sedangkan pada kasus korupsi dipengadilan Negeri Jakarta Selatan
No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dinyatakan Drs. Tri Witjaksono divonis
pidana penjara 1 tahun, dengan demikian sudah sangat jelas sekali adanya
perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi undang-undang yang
berlaku di wilayah hukum Indonesia.
60
B. Dampak Disparitas Pemidanaan
Ada beberapa akibat yang timbul apabila disparitas pidana yang terjadi
bersifat mencolok: 3
1. Menghalangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap hukum.
Terpidana tidak menghargai hukum, sedangkan penghargaan terhadap
hukum tersebut merupakan salah satu target dari pemidanaan, ini adalah
dampak dari disparitas pemidanaan yang sangat mencolok ketika terpidana
merasa menjadi korban “the judicial caprice” (kesalahan peradilan) setelah
memperbandingkan vonis.
2. Memelihara berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem
pidana yang ada.
Disparitas pemidanaan yang mencolok selain menimbulkan masalah
yang serius terhadap narapidana, juga akan menimbulkan ketidakpuasan dan
rasa tidak percaya masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum
pidana. 4
3. Kegagalan sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam mencegah terjadinya
tindak pidana.
Adanya disparitas pidana berarti adanya pelaku yang divonis ringan
dan ada pula yang divonis berat. Pelaku-pelaku yang divonisnya ringan
kemungkinan akan menjadi pelaku yang kambuhan yang tidak jera melakukan
3
4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 45.
Ibid., h. 45 .
61
tindak pidana karena menganggap pidana yang diterima tidak akan jauh
berbeda dari sebelumnya.
C. Upaya-upaya Mengurangi Disparitas Pemidanaan
Setelah teridentifikasi sebagai hal yang menyebabkan terjadinya
disparitas
pemidanaan,
selanjuntya
adalah
mencari
alternatif
untuk
mengurangi disparitas pemidanaan. Oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief
diuraikan ke dalam dua bentuk pendekatan: 5
1. Pendekatan untuk memperkecil disparitas (approach to minimize
disparity)
2. Pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas (approach to
minimize the effects disparity)
Dalam pendekatan pertama terkandung usaha-usaha sebagai berikut:
1. Menciptakan pedoman pemidanaan
Dalam pasal 51 RKUHP Nasional tahun 2001/2002 dijelaskan
beberapa rincian pedoman pemidanaan dengan mempetimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a. kesalahan pelaku
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. cara melakukan tindak pidana
d. sikap batin pelaku
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 67.
62
e. riwayat hidup dan keadaan soial ekonomi pelaku
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan pelaku
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarganya
j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana atau tidak.
Dengan butir-butir pertimbangan di atas, hendaknya dapat
dihasilkan pemidanaan yang proporsional dan mudah dipahami pelaku,
korban dan keluarga serta masyarakat. Namun harus ditegaskan juga
apakah butir-butir pedoman pemidanaan di atas bersifat fakultatif, dengan
bagitu hakim bisa menambahkan pertimbangan pada hal-hal lain, selain
yang tercantum dalam pedoman di atas.
2. Khususnya untuk kasus tindak pidana tertentu seperti korupsi,
dibentuknya suatu lembaga khusus (seperti sentencing council) untuk
hakim yang menangani kasus korupsi, supaya mereka memiliki
“sentencing standart” tentang jumlah dan jenis vonis terhadap pelaku
tindak pidana korupsi.
3. Memperketat
dalam
seleksi
penerimaan
calon-calon
mengadakan pelatihan yang lebih intensif bagi para hakim.
hakim
dan
63
4. Pengaturan ketentuan pidana minimal khusus 6
Untuk menghindari terjadinya disparitas pemidanaan yang sangat
mencolok terutama untuk delik-delik yang dipandang sangat merugikan
atau membahayakan masyarakat pada umumnya dan delik-delik yang
dikualifisir atau diperberat karena akibatnya, penjatuhan pidananya perlu
diimbangi dengan pidana minimal khusus yang nantinya berfungsi sebagai
standar pemidanaan terendah sebagai hakim.
Perlunya pidana minimal khusus ini merupakan jawaban dari rasa
ketidak puasan masyarakat terhadap sanksi pidana penjara yang selama ini
dijatuhkan dalam praktek peradilan, terutama pidana yang tidak jauh beda
antara pelaku tindak pidana yang bahayanya labih tinggi dengan tindak
pidana yang sedang.
5. Penerapan peringkat keseriusan tindak pidana, melalui suatu parameter
yang disusun berdasarkan penelitian, kajian dan analisis yang sahih. 7
Penerapan parameter ini tidak mungkin disusun berdasarkan disiplin
hukum semata, karena masalah pemidanaan bukan sekedar masalah
hukum, akan tetapi juga berkaitan erat dengan nilai dan norma yang hidup
dalam masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi
6
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), Cet. Ke-2, h. 185
7
Harkiatuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan, h. 2
64
pembuat undang-undang (legislatif) dalam membuat atau menyusun
perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. 8
Selanjutnya mengenai pendekatan kedua dapat dilakukan melalui
kebijakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Contohnya, pemberian
remisi (parole) bagi mereka yang pidananya dianggap terlalu berat, juga
dalam hal pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat.
D. Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Tinjauan Hukum Islam
Pelaku tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku
hirabah. Hirabah adalah aksi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, secara
terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan negara yang berlaku,
perikemanusiaan, dan agama. Hirabah merupakan salah satu bentuk jarimah
hudud, yaitu tindak pidana yang sejenis, jumlah dan hukumannya ditentukan
oleh syariat.
Dalam hal ini, korupsi disebandingkan dengan hirabah karena korupsi
dapat merusak dan mengganggu stabilitas negara dan mengganggu
perekonomian masyarakat akibat kekayaan negara yang digerogoti.
8
Barda Nawawi dalam bukunya “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” lebih
popular menyebut hal ini dengan pola pemidanaan, yang pada akhirnya akan membedakan
dengan pedoman pemidanaan itu sendiri. Pedoman pemidanaan merupakan pedoman
pembuatan/ penyusunan pidana oleh legislatif.
65
Allah Swt telah menetapkan dalam Al-Qur’an tentang hukuman bagi
pelaku hirabah berupa hudud. Hakim dapat mengeksekusi hukuman yang
telah ditentukan Allah SWT tanpa diubah, ditambah, dan dikurangi apabila
tindak pidana telah terbukti secara meyakinkan di sidang pengadilan.
Pada penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan
pendapat ulama fiqih, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang
disesuaikan dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam hirabah
tersebut. Ulama Mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa
hukuman yang diberikan harus secara berurut, sebagaimana yang
dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dengan bentuk tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku hirabah tersebut.
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah
tersebut hanya merampas harta tanpa menyebabkan kematian maka
hukumannya adalah potong tangan dan kakinya secara silang. Apabila pelaku
hirabah membunuh maka hukumannya juga dibunuh. Sedangkan apabila
pelaku hirabah merampas juga disertai pembunuhan maka menurut mereka
(Mazhab Hanafi) baru adanya kebebasan hakim untuk memilih penjatuhan
hukuman. Apabila pelaku hanya menakut-nakuti saja sedang mengganggu
keamanan maka hukumannya dipenjarakan dan dikenakan hukuman ta’zir
yang mana bentuk hukumannya diserahkan kepada hakim.
Begitu juga dengan pendapat Ulama Syafi’I dan hambali. Adapaun
menurut Ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman diserahkan sepenuhnya
66
kepada kebijaksanaan hakim setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fiqih
dan pihak-pihak yang terkait, dengan ketentuan hakim harus memilih
hukuman yang terbaik bagi kemashlahatan. 9
Landasan-landasan dalam menetapkan hukuman tindak pidana korupsi
dalam Al-Qur’an maupun Hadits, diantaranya:
a. Surat al-Maidah ayat 38:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan
Maha Bijaksana.(Q.S al Maidah/ 5: 38).
b. Surat al-Baqarah ayat 188:
☺
Artinya: dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan harta sebahagian dari
pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal
kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 188).
Menurut Muqabil bin Hayyan ayat ini diturunkan berkenaan dengan
kasus Amr bin al-Kindi dan Abdan bin Asyar al-Hadhrami yang keduanya
9
http://www.acehforum.or.id/hukum-mati-koruptor-1995.html?s=0712. H. 1-3.
67
mengadu kehadapan Rasulullah SAW tentang sebidang tanah yang
mereka selisihkan. 10
c. Surat al-Anfal ayat 27:
☺
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan RasulNya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.”(QS. Al-Anfal/ 8: 27).
d. Surat an-Nisa’ ayat 14:
⌧
Artinya: “dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan
melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah akan memasukkannya
kedalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan”(QS. An-Nisa’/ 4: 14).
e. Hadits Rasulullah SAW
(‫ ا ﻟﺮاﺷﻰ ﻓﻰ اﻟﻨﺎر )رواﻩ اﻟﻄﺒﺮ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺤﻤﺮ ان اﻟﻨﻲ ص م ﻗﺎل‬
8 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Muni, (Beirut: Daar al-Fikr), jilid I, h. 168A.
68
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Nabi bersabda: “orang yang menyuap dan
meminta suap (kelak) masuk neraka.”(HR. Ath-Thabrani).
Apabila diindentifikasi penyebab disparitas pemidanaan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dalam kasus korupsi perkara Drs. Tri Witjaksono S.,
M.Si akan terlihat adanya faktor yang dominan dan mendasar, yaitu
penerapan kekuasaan hakim yang mempunyai kebebasan yang sangat luas
untuk memilih jenis pidana yang dikehendaki sehubungan dengan digunakan
sistem alternatif di dalam pengancaman pidana dalam undang-undang serta
tidak adanya pedoman pemidanaan, sehingga terkadang putusan yang
dihasilkan bersifat subjektif.
Di dalam literatur fiqih Islam hukum pidana dikenal dengan sebutan alahkam al-jinayyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur perihal (ucapan,
sikap dan atau tindak) orang-orang mukallaf (dewasa) yang berkenaan
dengan berbagai tindak kejahatan berikut jenis-jenis ancaman hukuman yang
patut diberikan kepada mereka. Hukuman yang patut diberikan kepada para
pelaku tindak pidana harus sesuai dengan tujuan dari pemidanaan tersebut.
Oleh karena itu hukuman yang diterapkan meskipun tidak disenangi demi
mencapai kemashlahatan bagi individu dan masyarakat.
Para ‘Ulama fiqih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi
adalah haram (dilarang), karena bertentangan dengan Maqashid Asy-syari’ah
(Tujuan Hukum Islam), dan setiap sesuatu yang bertentang dengan tujuan
69
hukum Islam ada penghukumannya. Oleh karena itu, pelaku tindak korupsi
harus menerima hukuman untuk mencegah dan memperbaiki tindak
kejahatan.
Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal
(jinayah atau jarimah). Sebagai suatu delik pencurian pelaku korupsi harus
dihukum. Lebih jauh makna potong tangan dalam ayat yang menjatuhkan
sanksi bagi pencuri lebih menunjukkan esensi perbuatan korupsi itu sendiri. 11
Maka dalam pandangan hukum Islam korupsi bukan merupakan tindak
pencurian biasa, tetapi juga mengandung penipuan karena dilakukan secara
diam-diam disertai pemalsuan laporan. Apabila korupsi dilakukan oleh
pejabat Negara, maka perilaku pejabat tersebut telah mengkhianati amanah
rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu korupsi dianggap sebagai kejahatan
luar biasa (berat), disamping mudharatnya lebih besar.
Hukum pidana Islam menggolongkan pidana kedalam dua bentuk, dua
diantaranya:
1. Ditinjau dari kekuasaan hakim untuk menentukan berat ringannya pidana:
a. Pidana yang tidak mempunyai batasan tertinggi dan terendah.
b. Pidana yang mempunyai batasan tertinggi dan terendah. Dalam hal ini
hakim diberi kebebasan memilih pidana yang sesuai diantara kedua batas
tersebut.
11
h. 87.
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi (Jakarta: Zikrul Hakim, 1997),
70
2. Ditinjau dari segi besarnya pidana yang ditentukan:
a. Pidana yang ditentukan berat dan jenisnya, dimana hakim harus
menerapkan tanpa boleh ditambah, dikurangi dan diganti.
b. Pidana yang diserahkan kepada hakim untuk dipilih dari sekumpulan
pidana yang telah ditetapkan oleh syariat agar dapat disesuaikan dengan
keadaan pelaku dan perbuatannya. 12
Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan
bagi hakim dalam menentukan besarnya hukuman, pertana, merampas harta
orang lain, kedua, penghianatan dan penyalah gunanaan wewenang, ketiga,
kerjasama dalam melakukan kejahatan. Dalam menentukan hukuman, seorang
hakim hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip tentang tindak pidana Islam,
yaitu:
1. Hukuman hanya dijatuhkan pada orang yang berbuat jarimah bukan pada
orang yang tidak melakukan tindak kejahatan.
2. Adanya kesengajaan, seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur
kesengajaan dalam melakukan kejahatan, akan tetapi bukan berarti hukum
karena kejahatan melainkan hukuman untuk kemashlahatan dan bersifat
mendidik.
3. Hukuman hanya akan dilakukan apabila kejahatan tersebut secara
meyakinkan telah diperbuatnya.
12
Topo Santoso, menggagas Hukum Pidana Islam; penerapan pidana Islam dalam konteks
modernitas, (Bandung: Asy-Syamil, 2000), cet ke-I, h.189.
71
4. Berhati-hati
dalam
menghukum,
membiarkan
tidak
dihukum
dan
menyerahkan hukumannya kepada Allah apabila kurang bukti. 13
Hukuman yang didasarkan pada pertimbangan hakim (imam) adalah
ta’zir karena ta’zir dipandang perlu untuk memberikan pelajaran kepada
pelakunya demi menjaga kemashlahatan manusia itu sendiri. Untuk
terwujudnya kemashlahatn itu tentunya berat dan jenis pidananya ditetapkan
harus sesuai dengan bentuk kejahatan yang dilakukan. Jadi kebebasan hakim
adalah kebebasan bergerak dalam batas kemashlahatn karena undang-undang
tidak menetapkan ketentuan pidana korupsi yang pasti, akibatnya
kemungkinan terjadinya disparitas pemidanaan yang bersifat mencolok sulit
untuk dihindari.
Dengan demikian bahwa dalam hukum Islam pun diatur adanya
kebebasan hakim. Yang jadi permasalahannya adalah, apakah dalam
penerapan pidana bagi pencuri dibolehkan adanya kebebasan atau tidak,
karena tindak pidana ini termasuk tindak pidana hudud, yaitu tindak pidana
yang sejenis, jumlah dan hukumannya ditentukan oleh syariat.
13
Isma’il Marzuki, Filsafat Hukum Islam¸(Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, h. 87.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Terjadi disparitas pada kasus tindak pidana korupsi pada kasus Drs. Tri
Witjaksono S., M.Si dimana hakim menjatuhkan pidana 1 tahun penjara serta
denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dari putusan
tersebut, terbukti telah terjadi disparitas yang mencolok disebabkan majelis
hakim yang memutus perkatara tersebut.
2. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya disparitas dalam pemidanaan kasus
korupsi adalah bersumber dari persepsi hakim terhadap filsafat pemidanaan
yang sangat memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana. Seorang
hakim yang berfikir bahwa tujuan pemidanaan hanya bisa dicapai dengan
pidana penjara, namun dilain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain
berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif.
Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik akan lebih baik dan
lebih efektif dari pada aliran positif akan memidana lebih berat, sebab ia
berpendapat bahwa pidana itu harus sesuai dengan kejahatan. Sebaliknya
72
73
hakim yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan karena
orientasinya bukan lagi kejahatan akan tetapi kepada sipenjahat itu sendiri.
3. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi adanya disparitas pemidanaan
dalam penegakan hukum di Indonesia ditempuh melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan untuk meminimalisir terjadinya disparitas dan pendekatan
untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas itu sendiri. Untuk pendekatan
pertama diantaranya, yaitu menciptakan pedoman pemidanaan bagi hakim,
meningkatkan peran Pengadilan, menetapkan peringkat keseriusan tindak
pidana bagi legislative, memaksimalkan peran lembaga hakim majelis
(minimal 3 orang), selektif dalam menjaring calon-calon hakim professional
dan handal serta pelatihan secara kontinu bagi hakim, dan ada baiknya juga
dibentuk lembaga khusus untuk hakim yang menangani kasus korupsi supaya
mereka memiliki “sentencing standars” tentang jumlah dan jenis vonis
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Selanjutnya mengenai pendekatan
kedua dapat dilakukan melalui kebijakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
4. Dalam penghukuman tindak pidana korupsi hukuman harus diterapkan harus
sesuai dengan perbuatan pelaku meskipun tidak disenangi demi mencapai
kemashlahatan bagi individu dan masyarakat. Allah Swt telah menetapkan
dalam Al-Qur’an tentang hukuman bagi pelaku hirabah yaitu berupa hudud.
Hakim dapat mengeksekusi hukuman yang telah ditentukan Allah SWT tanpa
diubah, ditambah, dan dikurangi apabila tindak pidana telah terbukti secara
meyakinkan di sidang pengadilan.
74
B. Saran-saran
1. Sebagai suatu lembaga yang menaungi seluruh lembaga peradilan di
Indonesia sesudah keluarnya Undang-undang No. 35 Tahun 1999, Mahkamah
Agung harusnya lebih memprioritaskan pembangunan mutu sumber daya para
hakim yang akan menjadi barometer penilaian kualitas penegakan hukum di
Indonesia.
2. Adanya lembaga hukum ataupun lembaga peradilan yang adil dan bersih dari
segala bentuk perbuatan korupsi sehingga dalam penegakan hukum akan
berjalan baik dan hukum akan menemukan sebuah kebenaran dan kesalahan.
Dan hukuman yang diberikan kepada pelaku haruslah sesuai dengan
perbuatannya yaitu hukuman yang setimpal dan sesuai dengan undang-undang
yang berlaku serta dalam penjatuhan hukuman tidak pandang bulu.
3. Majelis hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi harus mampu
dan memiliki keberanian moral dalam menjatuhkan putusan, lebih-lebih untuk
hukuman yang akan menimbulkan kontroversi dalam pandangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Alatas, Syed Husain, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta: LP3S, 1987
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam Jakarta: Sinar Grafika 2007, cet, ke-1.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002
Bamualim, Chaider S,. dan ed. Muslimin, JM.,
Perguruan Tinggi Islam
Pendidikan Anti Korupsi di
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang,
Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005, Cet ke-2
Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta:
Sinar Grafika 1985
----------,
Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Nasional
dan
----------, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia 1984
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. Ke-2.
Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi, Jalan Tiada Ujung Bandung, PT. Grafiti,
2006.
Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: UIN Press, 2003, h. 15.
Irfan, Nurul Muhammad, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih
Jinayah, Disertasi diterbitkan oleh sekolah Pascasarjana, UIN Syahid Jakarta,
2008
Kejaksaan Agung, Himpunan Amanat Jaksa Agung Republik Indonesia, Jakarta:
Kejagung RI, 1981.
75
76
Kholiq, M.Abdul, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta: 2002
Klitgard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Koeswadji, Hermain Hadiati, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak
Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994
Lopa, Baharuddin, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2002
----------, permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia,Jakarta: Bulan Bintang,
1987
Lubis, Mochtar. Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LB3ES, 1995.
Maheka, Arya, KPK komisi pemberantasan korupsi (Mengenali dan Memberantas
Korupsi)
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan Jakarta:
Djambatan, 2001.
Marzuki, Isma’il, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, cet. Ke-1
---------- Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: badan penerbit UNDIP,
1995, cet. Ke-1.
---------- dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.
Alumni, 2005, Cet ke-3
Muslich Wardi, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta, sinar Grafika, 2005, cet ke-1
h.91
Na’im, Mashuri, Nur Rofiah, dan Imdadun Rahmar, NU melawan korupsi: kajian
tafsir dan fiqih, Jakarta: PB Nahdhatul Ulama, 2006
Noeh Fuad, Munawar, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Jakarta: Zikrul
Hakim, 1997
Prakoso, Joko dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Pidana
Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia INDONESIA, 1985
77
Said, Sudirman dan Nizar Suhendra, korupsi dan Masyarakat Indonedsia dalam
Hamid Basyaib, mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia,
Jakarta: Yayasan Aksara 2002
Santoso, Topo, menggagas Hukum Pidana Islam; penerapan pidana Islam dalam
konteks modernitas, Bandung: Asy-Syamil, 2000, Cet. Ke-1
Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Peneraannya, Jakarta:
Alumni Ahaem Petehaem,1996, cet. Ke-4.
Soewartoyo, Juniadi Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran
Pengawasan dan Penanggulangannya, Jakarta, Restu Agung,1992.
Sugandi, R., KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.1981, Cet ke-1.
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2001
Utrecht, E. dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan,
1983, cet Ke-11
Wahbah Al Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh, Damsyiq: Dar al Fikr, 1989, h.
20
Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet ke-II
“Kejahatan Semakin Marak, Pemerintah Bingung”, KOMPAS, 24 September 2005,
h.6.
Berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 18 tahun
1960 ditentukan, bahwa mulai 14 April 1960 besaran denda dibaca dalam
mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali
Al-Qur’an karim dan terjemahan artinya, Yogyakarta, UII Press, 2000, cet ke-1
Harkrisnowo, Harkiatuti, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan; Suatu Gugatan Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, hukum Online, Pidato Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Pada FH UI di Depok
Lihat Antara lain: Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga 1984,
cet. Ke-2, h.27 dan Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis; Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet Ke-1
78
Achyar,
Zein,
Larangan
Al-Qur’an
Bersyubhat
http://masjidrayabatam.net, Senin 14 Agustus 2008
dengan
Koruptor,
Artikel di Akses Pada 5 juni 2009. http: //serumpun kata selumbung cerita. blogspot.
Com /2009 /03 /tafsir-ayat-korupsi .html
http://www.almanhaj.or.id/content/2413/ slash/0
HASIL WAWANCARA
DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
(Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)
Nara Sumber
: Ida Bagus Dwiyantara, SH. MH
Jabatan
: Hakim Humas
Tempat
: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Hari/ Tanggal
: Senin, 26 April 2010 pukul 15.00 WIB
Petikan wawancara penulis:
1. Sejak kapan bapak ditugaskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan?
“Saya ditugaskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan SK
kepindahan saya pada bulan Maret 2002. Baru mulai masuk kerja pada
tanggal 25 Juni 2002”.
2. Sebagai seorang hakim, sudah berapa lama bapak menjalani propesi ini?
“Sebagai seorang hakim, saya sudah cukup lama kira-kira saya sudah
menjabat selama 17 tahun. Awalnya saya bertugas sebagai hakim di PN
Manokwari dari tahun 1993-1996 dan setelah itu saya pernah bertugas di PN
Sleman tahun 1997-2003”.
3. Bagaimana peran yang dimainkan PN Jakarta Selatan dalam menjaga
kemandirian hakim dan menciptakan peradilan yang bersih dan
berwibawa?
“Hakim mempunyai kewenangan untuk memutus perkara dan tidak boleh
diitervensi oleh siapapun juga, termasuk Ketua Pengadilan sekalipun”.
4. Pada waktu akan memutus perkara khususnya perkara korupsi apakah
bapak pernah merasa ditekan/ diintimidasi?
“Selama menangani perkara korupsi sampai sekarang, saya belum pernah
diintimidasi secara fisik, tetapi saya pernah diintimidasi secara psikologi.
Saya pernah menerima telepon gelap dari orang yang tak dikenal.
Namun sudah menjadi prinsip saya dan teman-teman haikm lainnya untuk
tidak gentar dalam menghadapi resiko sebuah profesi yang mulia ini,
sekalipun nyawa taruhannya kami tetap mengedepankan kebenaran”.
5. Indonesia menganut aliran hukum modern, yang berarti mengakui
adanya disparitas pemidanaan, Ahli Hukum pidana mendefinisikannya
Disparitas pemidanaan (disparity of sentencing) adalah penjatuhan
pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh haki terhadap:
a. Tindak-tindak pidana yang sama
b. Tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat disebandingkan
tanpa dasar pembenaran yang sah
c. Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari seorang.
Bagaimana menurut bapak, setujukah bapak dengan adanya
disparitas?
“Disparitas pemidanaan dalam sistem hukum kita tidak dapat dihindari”.
6. Bagaimana pendapat bapak tentang disparitas yang terjadi dalam sistem
hukum pidana kita?
“Disparitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana kita tidak dapat
dihindari lagi, sehubungan aliran modern yang kita anut, namun suatu
keharusan bagi hakim untuk selalu memutus perkara dengan seadil-adilnya
karena setiap orang dipandang sama dihadapan hukum serta sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan adalah tempat para
pencari keadilan, oleh karena itu wajar apabila dalam suatu putusan
persidangan peradilan ada perkara yang dimenangkan dan ada pihak yang
kalah. Yang menang berhak mendapatkan haknya dan yang salah harus
dikanakan
hukuman
yang
setimpal
dengan
kesalahan
yang
telah
diperbuatnya. Pada prinsipnya setiap perkara yang diajukan akan diproses,
dibuktikan dan diputus dengan berpedoman pada aturan hukum pidana yang
berlaku”.
7. Berdasarkan kasus ini, menurut bapak apa yang menjadi penyebab
timbulnya disparitas pemidanaan itu?
Disparitas pemidanaan tidak hanya terjadi untuk putusan pengadilan negeri
saja, tetapi dapat juga terjadi pada putusan pengadilan tinggi. Karena di
dalam hukum kita diatur bahwa yang membuat putusan bukan sebuah tim,
namun adalah majelis hakim yang dpat terdiri dari 3 orang hakim atau untuk
kasus yang lebih heboh/ berat bisa mencapai 5 orang hakim den gan syarat
jumlahnya harus ganjil, sebagaimana yang dicontohkan dalam majelis hakim
perkara Akbar Tanjung. Jadi sejauh mana pemahaman dan pengetahuan
hakim terhadap perkara sejauh itulah nantinya nilai keadilan yang terkandung
dalam putusan yang dihasilkan”.
8. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban seorang hakim terhadap
putusan yang dibuatnya dalam persidangan?
“Setiap putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan YME, namun kenyataannya ada juga hakim yang tersangkut
perkara suap. Semua itu kembali kepada diri hakim itu sendiri, tetapi kita
tidak dapat menuduh mereka terlabih dahulu sebelum pengadilan
menjatuhkan vonis kepada mereka”.
Download