BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Lanjut Usia

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Lanjut Usia
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan
beberapa konsep, teori hasil penelitian terdahulu, serta kerangka teori yang terkait
dengan penelitian ini. Lanjut usia atau lansia merupakan kelompok
manusia
yang memasuki tahap akhir kehidupannya. Pada kelompok lanjut usia ini terjadi
proses penuaan
yaitu suatu proses
yang ditandai dengan gagalnya
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan yang
sering didapat berupa menurunnya kemampuan
hidup serta meningkatnya
kepekaan individu (Turana dkk, 2013). Lanjut usaia merupakan
kehidupan dan ditandai
proses akhir
dengan adanya gangguan adaptasi terhadap tekanan
lingkungan sekitarnya dan bukan suatu penyakit. Proses menua dimulai dari
sejak lahir dan terjadi terus menerus secara alamiah dan dialami oleh semua
makhluk hidup (Wahyudi, 2000).
Batasan untuk menentukan lanjut usia berbeda beda, seorang dikatakan
tergolong lanjut usia atau lansia apabila usianya mencapai 65 tahun keatas
(Setianto, 2004).
11
WHO menggolongkan batasan usia lansia menjadi empat sesuai tabel
dibawah ini:
Tabel 2.1
Penggolongan Batasan Usia Lansia menurut WHO
No.
Golongan lansia
Usia/umur
1.
Usia Pertengahan ( Middle age)
45 – 59 tahun
2.
Lanjut Usia (Eldery)
60 – 74 tahun
3.
Lanjut Usia tua (Old)
75 – 90 tahun
4.
Sangat Tua (Very old)
 90 tahun
Sumber : Setianto, 2004
Semua orang yang berusia 56 tahun ke atas , tidak mampu memenuhi
keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari dan tidak mempunyai
penghasilan, mereka ini yang disebut dengan usia lanjut (Aryo, 2002). Kelompok
manusia yang berumur 55-65 tahun adalah kelompok umur yang memasuki masa
prapensiun dan pasti akan memasuki fase-fase penurunan seperti menurunnya
stamina tubuh/kesehatan dan menurunnya ketahanan menghadapi
tekanan
psikologis (Saparinah, 1983) .
Dalam Undang-Undang No 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan
Penghidupan orang jompo, dijelaskan batasan lanjut usia yang mempunyai hak
menerima bantuan adalah mereka yang berumur 56 tahun ke atas. Namun
demikian masih ditemui perbedaan dalam menentukan berapa usia seseorang
yang dapat dimasukan ke dalam penduduk lansia .
Dalam penelitian ini untuk menyatakan orang lanjut usia digunakan
batasan umur 60–80 tahun yaitu golongan lanjut usia (eldery) dan lanjut usia tua
(old)
oleh karena pada saat umur tersebut seseorang telah memasuki masa
12
pensiun, masih beraktifitas, kemunduran fungsi kognitif masih ringan dan
memungkinkan untuk melakukan kegiatan senam.
2.2. Teori Proses Penuaan dan Perubahan pada Lansia
Setiap individu akan mengalami proses penuaan yaitu peristiwa yang
normal dan alamiah. Proses ini sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai dewasa. Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan
struktur dan fisiologis, begitu juga dengan organ otak. Seperti diketahui proses
penuaan sehat dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen yang berarti
dipengaruhi faktor internal dan eksternal proses degeneratif (Darmojo, 2002).
Akibat pengaruh faktor faktor internal antara lain penurunan anatomi, penurunan
fisiologi dan terutama psikososial mengalami perubahan sangat besar, sehingga
mengakibatkan
mudahnya timbul penyakit. Sedangkan faktor eksternal yang
mempercepat proses menua adalah budaya gaya hidup , lingkungan dan pekerjaan
(Martono, 2009).
Menurut Kane and Ouslander (2011) permasalahan lansia sering disebut
dengan istilah 14 Impairment (14 I). Keempat belas Impairment tersebut adalah :
Immobility
(mengalami
hendaya
lebih
dari
tiga
hari),
Incontinence
(beser/ngompol), Instability (tidak stabil, berdiri dan berjalan mudah jatuh),
Infection (infeksi), Intellectual impairment (gangguan intelektual atau demensia),
Impaction ( sulit buang air besar), Impairment of vision and hearing,
communication ,taste, convalescence, smell, skin integrity (gangguan pancindera,
komunikasi, daya pulih dan kulit), Inanition (kurang gizi), Isolation (depresi) ,
13
Impecunity (tidak punya uang), Immune deficiency ( daya tahan tubuh yang
menurun), Iatrogenesis (munculnya penyakit dikarenakan mengkonsumsi obatobatan) , Impotence (impotensi) dan Insomnia atau gangguan tidur.
Ada beberapa teori yang menjelaskan proses menua, yaitu : teori biologis,
teori psikologis, teori sosial, dan teori spiritual (Maryam dkk. 2008).
2.2.1 Teori Biologis
Teori biologis meliputi immunology slow theory, teori genetik dan mutasi,
teori stress, teori rantai silang, dan teori radikal bebas. Immunology slow theory,
menjelaskan bahwa system imun akan meningkat dengan bertambahnya umur dan
meningkatnya paparan virus ke dalam tubuh menyebabkan
organ–organ tubuh
akan rusak dan menjadi tua.
Menurut teori genetik dan mutasi, menjadi tua terjadi karena adanya selsel yang mengalami mutasi karena adanya perubahan biokimia yang terjadi pada
molekul-molekul DNA. Pada teori rantai silang dijelaskan adanya reaksi kimia
pada sel-sel yang sudah tua mengakibatkan jaringan kolagen memiliki ikatan
yang kuat. Ikatan ini menyebabkan
elastisitas dan fungsi jaringan kolagen
berkurang .
Teori radikal bebas, menyatakan bahwa radiakal bebas yang terbentuk di
alam bebas merupakan kelompok atom yang tidak stabil dan
menyebabkan
oksidasi bahan bahan organik seperti protein dan karbohidrat. Radikal bebas ini
menyebabkan sel-sel mengalami kematian karena tidak mampu ber- regenerasi.
14
2.2.2 Teori Psikologis
Melalui teori ini dijelaskan bahwa lansia sulit untuk dipahami dan sulit
berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan adanya penurunan
intelektualitas meliputi penurunan persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
kemampuan belajar. Perubahan psikologis pada lansia juga dipengaruhi oleh
status mentalnya. Pada lansia akan dijumpai gangguan dalam menerima stimulus,
yang disebabkan adanya penurunan fungsi sistem sensorik sehingga diikuti juga
penurunan kemampuan menerima, memproses dan merespon stimulus.
2.2.3 Teori Sosial
Beberapa teori sosial yang berhubungan dengan proses penuaan adalah :
2.2.3.1 Teori Interaksi Sosial.
Teori ini menerangkan mengapa seorang lanjut usia bertindak berdasar
pada sesuatu yang dihargai masyarakat. Kekuasaan dan prestasi pada orang lanjut
usia berkurang sehingga mengakibatkan berkurangnya juga
interaksi sosial.
Lansia masih mempertahankan harga diri dan ketaatan mengikuti perintah.
2.2.3.2 Teori Penarikan Diri
Teori ini menerangkan bahwa menurunnya status ekonomi yang dialami
para lansia dan merosotnya status kesehatan menjadi penyebab penarikan diri
dari pergaulan sehingga mempercepat proses penuaan.
15
2.2.3.3 Teori Aktivitas
Teori ini menjelaskan bahwa proses menua yang berhasil tergantung dari
apakah lansia tersebut menyenangi dan menghargai aktifitas yang dilakukannya
tersebut .
2.2.3.4 Teori Kesinambungan
Dalam teori ini dijelaskan bahwa dalam siklus kehidupan lansia terdapat
kesinambungan. Kehidupan menjadi lansia mendatang, sangat ditentukan oleh
pengalaman hidup saat ini. Hal ini terbukti bahwa perilaku, gaya hidup, dan
harapan seseorang saat ini tidak berubah walaupun kelak menjadi tua.
2.2.3.5 Teori Perkembangan
Teori ini menerangkan bahwa menjadi tua merupakan suatu proses yang
penuh tantangan dan bagaimana sikap lansia menghadapi
tantangan tersebut
dapat mempengaruhi apakah menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif.
Akan tetapi, ini tidak serta merta menunjukkan cara menjadi tua yang diharapkan
oleh lansia tersebut.
2.2.3.6 Teori Stratifikasi Usia
Teori ini
digunakan untuk mempelajari sifat sifat
lansia secara
berkelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dilihat dari sisi demografi dan
hubungannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahan teori ini tidak bisa
digunakan untuk mempelajari lansia secara pribadi atau individu, mengingat
adanya stratifikasi yang sangat kompleks serta berhubungan dengan klasifikasi
kelas ataupun etnik.
16
2.2.4. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang menunjukkan adanya
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tersebut tentang
kehidupan. Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dapat disimpulkan
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan
berbagai aspek yaitu aspek fisik, mental dan sosial. Perubahan fisik yang terjadi
adalah rambut memutih, kulit keriput, tipis, kering dan longgar, berkurangnya
penglihatan oleh karena kelainan refraksi atau katarak, daya penciuman menurun,
daya pengecap kurang peka terhadap rasa manis dan asin, pendengaran berkurang,
persendian kaku dan sakit, inkontinensia, keseimbangan tubuh menurun, bahkan
kemampuan daya ingat mulai menurun(demensia) .
2.3 Kognitif pada Lansia
2.3.1 Definisi Kognitif
Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan
dari proses berfikir. Proses berfikir dimulai dengan memperoleh pengetahuan dan
mengolah
pengetahuan tersebut melalui kegiatan mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan
kognisi sering disebut juga kecerdasan atau intelegensia (Ramdhani, 2008).
Fungsi Kognitif atau kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir dan
memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan (Miller, 2004).
17
2.3.2 Fungsi Kognitif pada Lansia
Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi
perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75 % dari
bagian otak besar merupakan area kognitif . Kemampuan kognitif seseorang
berbeda dengan orang lain, dari hasil penelitian diketahui bahwa kemunduran sub
sistem yang membangun proses memori dan belajar, mengalami tingkat
kemunduran yang tidak sama. Memori merupakan proses yang rumit karena
menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang (Lumbantobing, 2006).
Prevalensi gangguan kognitif termasuk dimensia meningkat sejalan
bertambahnya usia, kurang dari 3 % terjadi pada kelompok usia 65–75 tahun dan
lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Proses
penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui penglihatan
(visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian diteruskan oleh
sensori register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini merupakan bagian
dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan masuk dalam ingatan
jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian dan minat maka akan
disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-waktu
diperlukan memori ini akan dipanggil kembali (Elis, 1993).
Diantara fungsi otak yang menurun secara linier (seiring) dengan
bertambahnya usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam
kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang
telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from
memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan
18
kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup yang normal (Strub and Black,
1992). Proses penerimaan dan penyimpanan memori dapat dijelaskan seperti
gambar dibawah ini :
Input dari Lingkungan Sekitar
Sensori register:
-visual
-auditori
-Haptik (Sentuhan)
=persepsi
Tempat Penyimpanan jangka pendek:
Memori Kerja Sementara
Kontrol proses:
- Latihan
- membuat keputusan
- memikirkan strategi berulang-ulang
Output Responsi
Tempat penyimpanan jangka Panjang:
Memori Kerja Permanen
Gambar 2.1 : Model Memori Manusia
Sumber : The Psychology of Memory (Petersen,2002)
Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada
aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/Short time
memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan
pada memori sekunder (memori jangka panjang/ long term memory) mengalami
perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan informasi dari
19
memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan
penambahan usia. Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal
berusia 62-100 tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning)
atau perolehan (acquisition) mengalami penurunan yang sama secara bermakna
pada penambahan usia, tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan
kemampuan ingatan tertunda (delayed recall atau forgetting) sedikit menurun
tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor pembelajaran awal dipertimbangkan
(Petersen et al., 2002).
Petersen (2002) juga telah berhasil melakukan penelitian longitudinal
membandingkan kemampuan kognitif pada usia lanjut normal, gangguan kognitif
ringan (mild cognitive impairment/MCI) dan demensia Alzheimer ringan, telah
disimpulkan bahwa MCI merupakan keadaan transisi antara kognitif normal dan
demensia (terutama Alhzeimer). Latar belakang penelitian Petersen adalah bahwa
subyek MCI mempunyai gangguan memori sesuai usia dan pendidikan tetapi
tidak ada demensia, sehingga diagnose MCI dibuat pada pasien dengan criteria
berikut : (a) ada keluhan memori, (b) aktifitas hidup sehari-hari normal, (c) fungsi
kognisi umum normal, (d) memori abnormal untuk usia, (e) tidak ada dimensia.
2.3.3 Gangguan Fungsi Kognitif
Pengelompokan tingkat gangguan fungsi kognitif dapat dibagi menjadi
beberapa kategori. Menurut Mauk (2010), berdasarkan tingkat keparahan
(severity), gangguan fungsi kognitif dapat dibagi tiga yaitu :
a. Tidak ada gangguan fungsi kognitif
20
b. Gangguan kognitif ringan
c. Gangguan kognitif berat
2.3.4 Manifestasi Gangguan Kognitif
Gangguan Kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek bahasa, memori,
visuofasial dan kognisi.
2.3.4.1 Gangguan Bahasa, memori, emosi, visuofasial dan kognisi :
Gangguan bahasa yang sering terjadi terutama pada perbendaharaan
kosakata. Pasien tidak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang
ditunjukkan kepadanaya (confrontation naming), tetapi akan lebih sulit lagi untuk
menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori (categorical naming),
ini disebabkan karena daya abstraksinya mulai menurun.
2.3.4.2 Gangguan Memori
Gejala pertama yang sering timbul pada pasien yang mengalami gangguan
kognitif adalah gangguan mengingat. Pada tahap awal gangguan pada memori
barunya, namun selanjutnya memori lama juga akan terganggu. Gangguan fungsi
memori dibagi menjadi tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara
stimulus dan recall, yaitu :
a.
Memori segera (immediate memory), jarak waktu antara stimulus dan recall
hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk
mengingat (attention).
b.
Memori baru (recent memori), jarak waktu lebih lama yaitu beberapa menit,
jam bulan dan bahkan tahun.
21
c.
Memori lama (remote memory) jarak waktunya bertahun tahun bahkan
seumur hidup.
2.3.4.3 Gangguan visuospasial
Sering terjadi pada pasien pasca stroke fase recovery. Pasien lupa dengan
waktu, tidak mengenali hari, wajah teman dan sering tidak tahu tempat dimana dia
berada (disorientasi waktu, tempat dan orang). Gangguan visuospasial ini dapat
ditentukan dengan meminta pasien menyelusuri jejak secara bergantian, mengkopi
gambar atau menyusun balok balok sesuai bentuk tertentu.
2.3.4.4 Gangguan kognisi
Fungsi inilah yang paling sering terganggu, terutama gangguan daya
abstraksi. Lansia selalu berpikir konkrit, sehingga sulit memberi makna
peribahasa, juga terjadi penurunan daya persamaan (Hussain, 2008).
2.3.5
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif Lansia
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif adalah faktor
sosiodemografi seperti umur, pendidikan, pekerjaan dan tinggal sendiri. Aktifitas
fisik termasuk mobilitas diidentifikasi merupakan salah satu faktor yang diduga
ada hubungannya dengan fungsi kognitif. Beberapa studi melaporkan bahwa usia
lanjut yang mengalami kesulitan melakukan pergerakan fisik atau tidak aktif, akan
terjadi perbedaan dalam jumlah skor fungsi kognitifnya (Yaffe et all., 2001).
Seseuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monginsidi (2013)
disebutkan bahwa lebih banyak terdapat penurunan fungsi kognitif pada lansia
dengan umur yang lebih tua. Profil fungsi kognitif berdasarkan riwayat
22
pendidikan menunjukkan bahwa sampel dengan pendidikan kurang dari sembilan
tahun sebagian besar mengalami penurunan fungsi kognitif.
Penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan fungsi kognitif pada lansia
yaitu penyakit serebrovaskuler, tumor otak, trauma, dan infeksi pada otak Turana
( 2013). Pada hasil ditemukan sampel yang memiliki riwayat penyakit kronis
memiliki hasil penurunan fungsi kognitif yang dominan dibanding yang tidak
memiliki riwayat penyakit kronis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maryati dkk (2013) mengatakan bahwa
kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkasn fungsi kognitif pada lainsia selain
melakukan aktivitas fisik yaitu melakujkan hobbi atau kegemaran.
2.3.6 Pemeriksaan Fungsi Kognitif
Test yang dipakai untuk skreening fungsi kognitif adalah Montreal
Cognitif Assesment (MoCA) yang sudah dimodifikasi yang disebut MoCA-Ina
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Nasreddin, dkk, test MoCA-Ina dengan cut
of point 26 mendapatkan hasil sensivitas MoCA-Ina 90% lebih tinggi
dibandingkan MMSE yang hanya 18%, sedangkan spesifitas test MoCa-Ina
adalah sebesar 87% untuk mendeteksi Mild Cognitif Impairment (MCI). Test
MoCA-Ina sangat tinggi sensivitas dan spesivitasnya untuk mengukur Mild
Cognitif Impairment dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit (Nasredine,
2012).
Yafe et all.,(2001) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa MoCA-Ina
lebih sensitif dibandingkan MMSE untuk mendeteksi gangguan kognitif setelah
23
stroke akut. Test Validasi MoCA-Ina telah dilakukan di Indonesia, dari hasil
penelitian ini didapatkan nilai Kappa total dua orang dokter adalah 0,820.
Didapatkan kesimpulan bahwa tes MoCA versi Indonesia (MoCA Ina) telah valid
menurut kaidah validasi transkultural sehingga dapat digunakan.
MoCA–Ina terdiri dari 30 poin yang diujikan dengan menilai beberapa
domain kognitif :
a
Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail making B (satu poin), phonemic
fluency test ( satu poin), dan two item verbal abtraction ( satu poin).
b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing tast (tiga poin) dan
menggambarkan kubus tiga dimensi (satu poin)
c.
Bahasa : menyebutkan tiga nama binatang (singa, unta, badak ; tiga poin),
mengulang dua kalimat (dua poin), kelancaran berbahasa (satu poin).
d.
Delayed recall : menyebutkan lima kata (5 poin), menyebutkan kembali
setelah lima menit (5 menit)
e.
Atensi : menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit
fordward and backward (masing-masing 1 poin)
f.
Abstraksi : menilai kesamaan suatu benda ( 2 poin)
g.
Orientasi : menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota
(masing-masing 1 poin) (Naserddine, 2012).
Pada penelitian ini untuk mengukur fungsi kognitif para lansia digunakan test The
Montreal Cognitif Assesment yang sudah dimodifikasi di Indonesia (MoCA–Ina)
24
2.4 Keseimbangan Tubuh
2.4.1 Pengertian
Keseimbangan adalah kemampuan mempertahankan proyeksi pusat tubuh
pada landasan penunjang baik saat duduk, berdiri, berjalan dan transit ( Winter,
1995 dalam Howe
et al., 2008).
Keseimbangan dibutuhkan untuk
mempertahankan stabilitas dan posisi tubuh ketika sedang bergerak dari satu
posisi ke posisi yang lain. (Lee dan Scudds, 2003) Keseimbangan dapat diartikan
juga
sebagai kemampuan untuk mempertahankan
pusat gravitasi (center of
gravity) atas dasar dukungan bidang tumpu (base of support) (Mauk, 2010).
Keseimbangan dikelompokkan dalam dua tipe yaitu : Keseimbangan statis
yang berperan mempertahankan posisi tubuh pada saat tidak bergerak atau
berubah. Contohnya pada saat berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, berdiri di
atas papan keseimbangan dan keseimbangan dinamis yang menggambarkan
kemampuan mempertahankan keseimbangan dimana tubuh selalu bergererak
atau berubah, contohnya keseimbangan pada saat berjalan. Keseimbangan dinamis
melibatkan kemampuan kontrol tubuh karena tubuh bergerak dalam ruang ( Howe
et al., 2008).
Kemampuan mengontrol keseimbangan sangat perlu karena dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), tubuh hampir selalu berubah
pusat massanya (COM = center of mass) dan landasan penunjangnya (BOS = base
of support). Fungsi menegakkan tubuh dari kontrol keseimbangan memungkinkan
seseorang bergerak dari satu postur ke postur lain sambil menjaga kestabilan
25
secara statistik maupun dinamik. Dalam penelitian ini responden akan dinilai
kemampuannya untuk melakukan AKS menggunakan Index Barthel (IB).
Index Barthel (IB) mengukur kemandirian dalam melakukan AKS dan
mobilitas yang didasarkan pada pengamatan langsung, dengan menilai AKS yang
benar-benar dikerjakan pasien sehari-harinya dan bukan menilai apa kemampuan
pasien. IB terdiri dari 10 item yang diberi skor 0, 1, 2 dengan nilai total
maksimum 20 poin. Interpretasi skor total IB adalah 20 berarti mandiri, 12-19
ketergantungan ringan, 9-11 ketergantungan sesang, 5-8 ketergantungan berat, 0-4
ketergantungan total.
2.4.2 Penyebab Gangguan Keseimbangan Tubuh
Gangguan keseimbangan yang terjadi pada lansia disebabkan oleh adanya
perubahan perubahan sistem neurologis atau saraf pusat, sistem sensoris terutama
sistem visual, propioseptif dan perubahan pada sistem vestibuler serta sistem
musculoskeletal (Miller, 2004). Keseimbangan lansia dapat dipengaruhi oleh
faktor internal (usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat jayuh, aktivitas fisik, status
nutrisi, hipotensi ortostatik dan takut jatuh ) dan faktor eksternal (lingkungan dan
penggunaan alas kaki ) Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara usia,
pekerjaan, riwayat jatuh, hipotensi ortostatik, status nutrisi, takut jatuh dengan
keseimbangan. Faktor internal lebih berhubungan dengan keseimbangan daripada
faktor eksternal (Achmanagara, 2012).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Annafisah dan Rosdiana (2012)
terdapat pengaruh senam lansia terhadap keseimbangan tubuh yang diukur
26
menggunakan Romberg Test pada lansia sehat dengan keeratan hubungan sedang
(r=0,495). Lansia yang melakukan senam memiliki keseimbangan tubuh yang
baik, sebanyak 97,56 % seimbang dan 2,44% tidak seimbang. Lansia yang tidak
senam memiliki keseimbangan tubuh yang lebih buruk, sebanyak 46,34%
seimbang dan 53,66% tidak seimbang
2.4.3 Dampak Gangguan Keseimbangan Tubuh
Akibat dari gangguan keseimbangan adalah jatuh dan sering menyebabkan
injuri, kehilangan kemandirian, kecacatan dan berkurangnya kualitas hidup
(Salzman, 2010). Jatuh menyebabkan kurangnya kapasitas dalam melakukan
kegiatan sehari hari, mengakibatkan keterbatasan fisik, kegagalan sistem
musculoskeletal dan sistem pernapasan, fraktur pada pinggul, ulna, humerus.
Jatuh juga mengakibatkan luka memar, luka lecet, terkilir subdural hematom dan
bahkan kematian (Johnston, 2000). Resiko terjadinya jatuh pada lansia dapat di
kurangi dengan meningkatkan keseimbangan lansia (Singh, 2000).
2.4.4 Pengukuran Keseimbangan
Ada bermacam macam cara untuk mengukur keseimbangan, antara lain :
a. Platform Stabilometri
Pasien berdiri tenang/diam di atas sebuah force platform dengan empat
transducer yang mengukur gaya yang menekan platform, dihubungkan untuk
dianalisis oleh komputer dengan perangkat lunak.
27
b. Test Romberg
Test Romberg menilai keseimbangan statik pada pasien yang berdiri tegak
dengan mata terbuka dan tertutup, diamati peningkatan goyangan, tremor atau
kehilangan keseimbangan. Pada kelainan propioseptif, pasien dapat memelihara
keseimbangan saat mata terbuka, tetapi kehilangan keseimbangan saat menutup ke
dua matanya. Ini disebut tanda dari Romberg. Pada kelainan serebelum, pasien
tidak dapat memelihara keseimbangan dan akan terjatuh baik saat mata terbuka
maupun mata tertutup (Annafisah, 2012).
c. Skala/indeks keseimbangan
Mengukur keseimbangan lebih mudah dengan menggunakan skala/indeks,
sehingga dapat dinilai dengan skor dan dengan demikian dapat mengetahui
derajat/tingkat keseimbangan dengan lebih akurat.
d. Berg Balance Scale (BBS)
Pengukuran terhadap satu seri keseimbangan yang terdiri dari 14 jenis tes
keseimbangan statis dan dinamis dengan skala 0-4 (skala didasarkan pada kualitas
dan waktu yang diperlukan dalam melengkapi test). Alat-alat yang dibutuhkan
dalam melakukan test keseimbangan dengan cara Berg Balance Scale adalah
stopwatch, kursi dengan penyangga lengan, meja, obyek untuk dipungut dari
lantai, blok (step stool) dan penanda. Waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 10-15
menit. Pada test keseimbangan dengan cara ini pasien dinilai waktu melakukan
hal-hal seperti duduk ke berdiri, berdiri tak tersangga,
duduk tak tersangga,
berdiri ke duduk, transfer, berdiri dengan mata tertutup, berdiri dengan kedua kaki
rapat, meraih ke depan dengan lengan terulur maksimal, mengambil obyek dari
28
lantai, berbalik untuk melihat ke belakang, berbalik 360 derajad, menempatkan
kaki bergantian ke blok (step stool), berdiri dengan satu kaki di depan kaki yang
lain , berdiri satu kaki. Nilai total skor adalah 56.
Reliabilitas rates dan interrater tinggi pada pasien stroke dan usia lanjut.
Validitas mempunyai korelasi yang signifikan dengan perkembangan pasien
stroke. Keunggulan dari tes ini adalah meliputi banyak tes keseimbangan,
khususnya tes fungsional baik statis maupun dinamis. Kelemahan dari tes Berg
Balance Scale ini adalah keterbatasan dalam menilai gangguan keseimbangan
ringan dan sedang.
Pada penelitian ini dipakai Test Romberg untuk menilai keseimbangan
lansia. Tes Romberg ini menilai keseimbangan statik pada pasien yang berdiri
tegak dengan mata terbuka dan tertutup sebagai organ visual, sementara sebagai
organ propioseptif adalah peningkatan goyangan, tremor dan kehilangan
keseimbangan. Test Romberg digunakan untuk menilai propioseptif yang dapat
menggambarkan sehat tidaknya fungsi collumna dorsalis pada medulla spinalis.
(Annafisah, 2012)
2.5 Program Senam Lansia
2.5.1 Senam Kesegaran Jasmani Lansia
Senam lansia merupakan rangkaian gerakan yang dirancang khusus bagi
para lanjut usia. Gerakan gerakan pada Senam Lansia low impact dan bukan high
impact merupakan rangkaian gerakan ringan kegiatan sehari hari dengan diiringi
musik yang lembut dan tidak menghentak–hentak sehingga menimbulkan suasana
29
santai. Gerakan otot yang dipilih adalah gerakan otot yang tidak terlalu
menimbulkan beban dan setiap gerakan dibatasi sampai 16 hitungan. Senam lansia
yang dibuat oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (MENPORA) merupakan
upaya peningkatan kesegaran jasmani kelompok lansia yang jumlahnya semakin
bertambah. Senam lansia sekarang sudah diberdayakan diberbagai tempat seperti
di Panti Wredha, Posyandu, Klinik Kesehatan dan Puskesmas (Suroto, 2004).
Senam lansia ini dirancang khusus untuk membantu para lansia agar dapat
mencapai usia lanjut yang sehat, bahagia dan sejahtera. Gerak-gerakannya ringan
dan mudah dilakukan, tidak memberatkan lansia. Aktivitas olahraga ini akan
membantu tubuh agar tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat,
mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas
di dalam tubuh. Jadi senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan
terarah secara terencana diikuti oleh orang lanjut usia yang dilakukan dengan
maksud meningkatkan kemampuan fungsional raga (Tilarso,1988).
2.5.2 Manfaat Senam Kesegaran Jasmani Lansia
Manfaat utama senam lansia adalah melatih fisik, fokus pada kekuatan
tulang, melibatkan otot otot besar. Efek lain yang didapat dari senam lansia
disebutkan para peserta menyatakan bisa tidur lebih nyenyak. Senam lansia ini
juga dapt menjaga pikiran lebih segar sehingga dapat mempertahankan daya
ingatnya, terlebih dengan terus menghafal gerak-gerakan senam lansia, akan
melatih kemampuan daya ingat lansia ( Tilarso, 1998). Orang yang melakukan
senam secara teratur akan mendapatkan kesegaran jasmani yang baik yang terdiri
30
dari unsur kekuatan otot, kelenturan persendian, kelincahan gerak, keluwesan,
cardiovascular fitness dan neuromuscular fitness (Buchner et al. 1992). Setiap
orang yang melakukan senam, peredaran darah akan lancar dan jumlah volume
darah juga akan meningkat, 20% darah terdapat di otak, sehingga melalui senam
lansia akan terjadi proses endorfin hingga terbentuk hormon norepinefrin yang
dapat menimbulkan rasa gembira, rasa sakit hilang, adiksi (kecanduan gerak) dan
menghilangkan depresi. Dengan mengikuti senam lansia efek minimal yang di
dapat adalah lansia merasa senantiasa bergembira, berbahagia, bisa tidur lebih
nyenyak dan pikiran pikiran tetap segar ( Tilarso, 1988).
Dari beberapa studi ilmiah pada kelompok lansia telah dibuktikan bahwa
dengan aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan
tekanan darah pada
penderita hipertensi juga memperlambat proses degenerative dan meningkatkan
kebugaran fisik dan otak (Budiharjo, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wijianto (2013) dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh senam
kesegaran jasmani lanjut usia dan senam yoga terhadap peningkatan
keseimbangan dinamis. Dimana hasilnya senam kesegaran jasmani lanjut usia
lebih baik peningkatan keseimbangan dinamisnya dibandingkan senam yoga.
Penelitian menunjukan saat melakukan aktivitas fisik juga dapat langsung
menstimulasi otak. Olah raga yang teratur dapat meningkatkan protein di otak
yang disebut Brain Derived Neurotropic Factor (BDNF) (Turana, 2013). Protein
BDNF ini berperan penting dalam menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat. Telah
banyak penelitian mengenai peranan BDNF terhadap fungsi memori. Kadar
BDNF yang rendah berhubungan dengan gejala penyakit kepikunan. Dengan
31
olahraga yang teratur akan dapat meningkatkan kadar BDNF ini. Fakta inilah
yang dapat menjelaskan bahwa lansia yang banyak melakukan aktivitas fisik yang
menyenangkan mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Yaffe dkk. (2002) terhadap 5.925 wanita berusia diatas 65 tahun
tentang manfaat berjalan terhadap gangguan kognitif. Kemudian dilakukan follow
up selama delapan tahun, hasilnya kelompok wanita yang berjalan lebih jauh akan
mengalami penurunan kognitif lebih lambat dibandingkan dengan kelompok
wanita yang jarak jalannya lebih dekat.
Senam kesegaran jasmani lansia merupakan latihan fisik yang memberikan
pengaruh pada kebugaran otak manusia. Latihan ini merupakan penyelarasan
fungsi gerak, pernafasan dan pusat berpikir (memori dan imajinasi). Rangkaian
gerakan yang terangkum dalam latihan senam tidak hanya melibatkan pusat-pusat
gerakan otot-otot terentu di otak (homunculus) dengan corpus calosum (gerakan
menyilang), tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak (High
Cortical Functions) (Markam,2005).
Gerakan-gerakan dalam senam dapat merangsang kerja sama antar belahan
otak dan antar bagian-bagian otak termasuk serebelum serta aktivitas di level
kortikal meningkat. Hal ini dapat meningkatkan kerjasama sel saraf dan
memperbanyak terbentuknya cabang-cabang julur sel yang saling berhubungan
dengan sinapsisnya sehingga dapat meningkatkan fungsi kerja otak. Kemudian
reseptor sensoris (vestibuler, visual, dan propioseptif) akan ikut terstimulasi
kemudian stimulus diubah menjadi impuls saraf yang akan dibawa dan diteruskan
ke otak, kemudian semua informasi sensoris dikumpulkan di thalamus dan
32
informasi tersebut dikirim dan diolah di otak kecil, pusat gerakan otot di
homunculus, pusat rasa sikap dan rasa gerakan di corpus calosum lalu
dipersepsikan oleh lobus frontalis (area motor dan kognisi) dan amigdala (pusat
emosi) yang mana informasi dari emosi diubah menjadi pola reaksi melalui reflek
vestibule-ocular dimana potensial aksi masuk ke serabut otot melalui sinapsis
antara serabut saraf dan otot (neuromuscular junction). Adanya aktivitas dari otot
yang berkontraksi, dapat memelihara dan meningkatkan otot-otot sehingga
stabilitas dan keseimbangan tubuh juga meningkat (Markam, 2005)
Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan
fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh
manusia setelah latihan teratur. Manfaat senam lansia lainnya yaitu terjadi
keseimbangan antara osteoblast dan osteoclast. Apabila senam terhenti maka
pembentukan osteoblast berkurang sehingga pembentukan tulang berkurang dan
dapat berakibat pada pengeroposan tulang. Senam yang diiring dengan latihan
stretching dapat memberi efek otot yang tetap kenyal karena ditengah-tengah
serabut otot ad impuls saraf yang dinamakan muscle spindle, bila otot diulur
(recking) maka muscle spindle akan bertahan atau mengatur sehingga terjadi tarik
menarik, akibatnya otot menjadi kenyal.
Orang yang melakukan peregangan akan menambah cairan sinovial
sehingga persendian akan licin dan mencegah cedera (Suroto, 2004). Olahraga
yang bersifat aerobik seperti senam merupakan usaha-usaha yang akan
memberikan perbaikan pada fisik atau psikologis. Faktor fisiologi dan metabolik
yang dikalkulasi termasuk penambahan sel-sel darah merah dan enzim fosforilase
33
(proses masuknya gugus fosfat kedalam senyawa organik, bertambahnya aliran
darah sewaktu latihan, bertambahnya sel-sel otot yang mengandung mioglobin
dan mitokondria serta meningkatknya enzim-enzim untuk proses oksigenasi
jaringan (Kusmana, 2006). Sedangkan menurut Depkes (2003) olah raga dapat
memberi beberapa manfaat, yaitu : meningkatkan peredaran darah, menambahkan
kekuatan otot, dan merangsang pernapasan dalam. Selain itu dengan olahraga
dapat
membantu
pencernaan,
menolong
ginjal,
membantu
kelancaran
pembuangan bahan sisa, meningkatkan fungsi jaringan, menjernihkan dan
melenturkan kulit, merangsang kesegran mental, membantu mempertahankan
berat badan, memberikan tidur nyenyak, memberikan kesegaran jasmani.
Kebugaran Jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari tanpa mengalami kelelahan berarti dan memiliki cadangan
tenaga tambahan untuk melakukan pekerjaan tambahan. Komponen-komponen
kebugaran jasmani terdiri dari : Kekuatan (Strenght), Daya Tahan (Endurance),
Daya Otot (Muscular Power), Kecepatan (Speed), Daya lentur (Flexibility),
Kelincahan (Agility), Koordinasi (Coordination), Keseimbangan (Balance),
Ketepatan (Accuracy), Reaksi (Reaction).
2.5.3 Gerakan Senam Kesegaran Jasmani Lansia
Prinsip senam lansia yaitu gerakannya bersifat dinamis (berubah-ubah),
bersifat progresif (bertahap meningkat), diawali dengan pemanasan, gerakan inti
dan diakhiri dengan pendinginan pada setiap latihan. Lama latihan berlangsung
34
15–45 menit, dengan frekwensi latihan perminggu minimal tiga kali dan optimal
dilakukan lima kali per minggu (Sumintarsih, 2006).
2.5.3.1 Pemanasan
Latihan pemanasan terdiri atas sembilan
dilakukan 2 x 8 hitungan
gerakan, masing-masing
dilakukan sebelum latihan. Pemanasan bertujuan
menyiapkan fungsi organ tubuh mampu menerima pembebanan yang lebih berat
pada saat latihan sebenarnya. Penanda bahwa tubuh siap menerima pembebanan
antara lain detak jantung telah mencapai 60% detak jantung maksimal, suhu tubuh
naik 10 C–20 C dan badan berkeringat. Pemanasan yang dilakukan dengan benar
akan mengurangi cidera atau kelelahan.
2.5.3.2 Gerakan Inti
Setelah pemanasan cukup dilanjutkan tahap gerakan inti atau kondisioning
yakni melakukan berbagai rangkaian gerak dengan model latihan yang sesuai
dengan tujuan program latihan.
2.5.3.3 Pendinginan
Pendinginan merupakan periode yang sangat penting dan esensial. Tahap
ini bertujuan mengembalikan kondisi tubuh seperti sebelum berlatih dengan
melakukan serangkaian gerakan berupa stretching. Tahapan ini ditandai dengan
menurunnya frekuensi detak jantung, menurunnya suhu tubuh dan semakin
berkurangnya keringat. Tahap ini juga bertujuan mengembalikan darah ke jantung
untuk reoksigenasi sehingga mencegah genangan darah di otot kaki dan tangan.
Jadi secara teoritis berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, aktifitas fisik
35
berupa senam secara teratur sangat bermanfaat untuk kebugaran fisik, otak dan
fungsi keseimbangan lansia.
36
Download