IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kultivasi, Seleksi dan Identifikasi Bakteri yang terdapat pada suspensi lumpur dikultivasi selama 3 hari pada kondisi anaerob dan aerob. Kultivasi pada kondisi anaerob menggunakan tabung ulir berisi media cair, 400 mg/L zat warna tekstil dan 2 g/L glukosa. Kultivasi pada kondisi aerob menggunakan erlenmeyer berisi media cair 150 mg/L zat warna tekstil dan 2 g/L glukosa. Perubahan yang terjadi pada kultivasi secara anaerob adalah warna menjadi pudar dan agak keruh sedangkan pada kondisi aerob warna hampir tidak berubah dan keruh. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa bakteri yang terdapat pada lumpur limbah tekstil memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap zat warna azo. Ketahanan yang tinggi dari bakteri terhadap zat warna tekstil disebabkan karena bakteri tersebut sudah lama beradaptasi dengan lingkungan limbah tekstil. Perombakan zat warna azo menggunakan bakteri berlangsung lebih efisien pada kondisi anaerob dibandingkan dengan kondisi aerob. Pada kondisi anaerob, bakteri dari lumpur limbah tekstil Mama & Leon lebih mampu merombak zat warna reaktif azo dibandingkan dengan bakteri dari lumpur Sungai Badung. Sedangkan pada kondisi aerob, kemampuan adaptasi dan pertumbuhan bakteri dari lumpur Sungai Badung lebih baik dibandingkan dengan bakteri dari lumpur limbah tekstil Mama & Leon. Perombakan zat warna remazol yellow, remazol red, remazol black, remazol blue dan remazol campuran oleh bakteri yang hidup pada lumpur limbah tekstil Mama & Leon pada kondisi anaerob (tabung ulir) dan bakteri dari lumpur Sungai Badung pada kondisi aerob (erlenmeyer) selama 3 hari inkubasi disajikan pada Gambar 22. A=Remazol yellow B=Remazol red C=Remazol black D=Remazol blue E=Remazol campuran A B C D E A B C D E Gambar 22 Perombakan zat warna remazol pada kultivasi suspensi lumpur pada kondisi anaerob (tabung ulir) dan aerob (erlenmeyer) selama 3 hari 57 Gambar 22 memperlihatkan bahwa zat warna reaktif azo mudah mengalami perombakan pada kondisi anaerob dan sebaliknya cukup stabil pada kondisi aerob. Sulitnya zat warna azo mengalami oksidasi disebabkan oleh kromofor (N=N) pada zat warna azo lebih mudah menerima elektron dibandingkan dengan melepaskan elektron. Stabilnya zat warna azo, menyebabkan bakteri pada umumnya kurang mampu menggunakan zat warna azo secara langsung sebagai sumber karbon dan energi melainkan diperlukan kosubstrat berupa karbon organik yang berfungsi sebagai pendonor elektron untuk proses perombakan. Glukosa yang digunakan sebagai sumber karbon mengalami proses glikolisis menghasilkan koenzim NADH yang berfungsi sebagai pendonor elektron yang berperan penting dalam pemutusan ikatan azo pada kondisi anaerob. Namun, pada kondisi aerob (ada oksigen), proses reaksi redoks antara zat warna azo dengan NADH mengalami hambatan karena zat warna azo dan oksigen berkompetisi sebagai penerima elektron dari NADH. Ion hidrogen pada NADH lebih mudah ditransfer ke oksigen dibandingkan dengan ke zat warna azo. Akibatnya, transfer elektron cendrung terjadi dari molekul NADH ke oksigen melalui rantai pernapasan. Dengan demikian, proses perombakan zat warna azo menggunakan bakteri lebih mudah berlangsung pada kondisi anaerob dibandingkan dengan kondisi aerob. Hasil pengamatan ini sejalan dengan beberapa kajian yang telah dilakukan oleh Ganes et al. (1994) dan Van der Zee (2002), yang menyatakan bahwa perombakan zat warna azo berlangsung lebih efektif dan efisien pada kondisi anaerob dibandingkan dengan kondisi aerob. Efisiensi perombakan dapat ditingkatkan dengan menambahkan glukosa sebagai kosubstrat. Hasil isolasi bakteri dari lumpur limbah tekstil diperoleh sebanyak 27 bakteri, sedangkan dari lumpur Sungai Badung diperoleh 5 bakteri. Bakteri yang terseleksi dari lumpur limbah tekstil Mama & Leon, terdiri dari 6 isolat (1-6) hasil kultivasi pada media cair yang mengandung zat warna remazol yellow, 5 isolat (7-11) yang mengandung zat warna remazol red, 6 isolat (12-17) yang mengandung zat warna remazol black, 4 isolat (18-21) yang mengandung zat warna remazol blue, dan sebanyak 6 isolat (22-27) yang dikultivasi pada media cair yang mengandung campuran dari keempat zat warna remazol tersebut. Sebanyak 5 bakteri yang terseleksi dari lumpur Sungai Badung masing-masing hasil kultivasi pada media cair yang mengandung zat warna remazol yellow, remazol red, remazol black, remazol blue dan campuran keempat zat warna 58 remazol tersebut. Semua bakteri yang terseleksi diidentifikasi morfologi dan aktivitas biokimianya untuk mengetahui genus bakteri yang paling dominan hidup dalam limbah tekstil. Tahapan identifikasi dimulai dari uji morfologi menggunakan pewarnaan Gram. Hasil pewarnaan Gram terhadap 32 isolat hasil isolasi dari lumpur limbah tekstil dan Sungai Badung, setelah diamati dengan mikroskop pada pembesaran 1000x menunjukkan sel berwarna merah dan berbentuk batang. Hasil uji morfologi dengan pewarnaan Gram bakteri tersebut disajikan pada Gambar 23. Hasil pengamatan ini memberikan gambaran bahwa semua bakteri yang terseleksi dari lumpur limbah tekstil Mama & Leon dan lumpur Sungai Badung dikatagorikan sebagai bakteri Gram negatif. Gambar 23 Pewarnaan Gram bakteri di bawah pengamatan mikroskop pembesaran 1000X Kajian-kajian terhadap isolasi dan identifikasi bakteri dari lumpur limbah industri memberikan gambaran bahwa kebanyakan bakteri yang hidup di lumpur pengolahan limbah merupakan bakteri Gram negatif. Kajian yang dilakukan Yazdi et al. (2001), melaporkan bahwa sebanyak 20 isolat yang berhasil diisolasi dari lumpur aktif yang digunakan untuk pengolahan limbah cair, diperoleh 18 isolat merupakan bakteri Gram negatif termasuk ke dalam Achromobacter sp., Alcaligenes sp., Flavobacterium sp. dan Pseudomonas sp. dan hanya 2 isolat teridentifikasi bakteri Gram positif yaitu Bacillus sp. dan Micrococcus sp. Dominansi bakteri Gram negatif yang terseleksi pada kultivasi lumpur limbah tekstil disebabkan penambahan zat warna ke dalam media seleksi. Pada 59 umumnya, bakteri Gram positif lebih peka terhadap pengaruh zat warna dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Hal ini disebabkan dinding sel bakteri Gram positif lebih mudah rusak akibat pengaruh zat warna. Menurut Dwidjoseputro (2005), penambahan zat warna seperti zat warna hijau malaksit ke dalam media tumbuh merupakan cara untuk mencegah pertumbuhan bakteri Gram positif. Identifikasi terhadap bakteri perombak zat warna tekstil dilakukan dengan cara mencocokkan hasil uji morfologi dan uji aktivitas biokimia dari setiap bakteri tersebut dengan uji morfologi dan uji aktivitas biokimia yang terdapat pada Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Aktivitas biokimia setiap jenis bakteri adalah berbeda-beda karena setiap bakteri mempunyai aktivitas enzimatik yang berbeda. Hasil identifikasi terhadap 27 bakteri yang berhasil diisolasi dari lumpur limbah tekstil CV. Mama & Leon diduga sebanyak 10 bakteri termasuk Aeromonas sp., 6 bakteri Pseudomonas sp., 5 bakteri termasuk Flavobacterium sp., 3 bakteri termasuk Plesiomonas sp. dan 3 bakteri Vibrio sp. Sedangkan 5 bakteri yang terseleksi dari lumpur Sungai Badung diduga 3 bakteri termasuk Vibrio sp dan 2 bakteri Plesiomonas sp. Hasil uji morfologi dan karakteristik fisiologi bakteri-bakteri tersebut disajikan pada Tabel 6. Uji motilitas menunjukkan sebanyak 26 bakteri tersebut adalah motil dan 6 bakteri bersifat nonmotil. Motilitas atau pergerakan bakteri disebabkan karena sel bakteri memiliki flagella. Bakteri berbentuk spiral dan batang kebanyakan mempunyai flagella dan motil sedangkan hanya sedikit bakteri yang berbentuk kokus (bola) bersifat motil (Dwidjoseputro, 2005). Uji oksidase dihubungkan dengan adanya sitokrom dalam kadar yang tinggi yang dipakai untuk mengenal bakteri yang termasuk ke dalam genus Pseudomonas dan Neisseria. Uji oksidasi positif ditandai adanya warna merah tua sampai hitam akibat aktivitas sitokrom terhadap paraaminodimetilanilin. Uji oksidase terhadap bakteri menunjukkan semua bakteri yang diisolasi memberikan uji positif (Tabel 6). Uji katalase untuk menentukan adanya enzim katalase yang dipakai untuk mengkatalisis penguraian hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Hidrogen peroksida bersifat toksik terhadap sel karena molekul ini menginaktivasikan enzim dalam sel. Hasil uji katalase menunjukkan semua bakteri yang diisolasi memberikan uji positif (Tabel 6). Tes pembentukan indol bertujuan untuk memeriksa kemampuan bakteri untuk mendegradasi asam amino esensial triptopan. Enzim yang berperan dalam 60 proses ini adalah triptopanase. Produk metabolit triptopan adalah indol, asam piruvat dan amonia. Terbentuknya Indol dapat dideteksi dengan pereaksi Kovac’s menghasilkan warna merah yang merupakan kompleks antara indol dengan paradimetilaminobenzaldehid. Dua puluh satu bakteri hasil isolasi menunjukkan tes positif terhadap pembentukan indol. Uji sitrat bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk memecah sitrat yang dibantu adanya enzim sitrat permease. Beberapa bakteri dapat menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Enzim sitrat permease berperan dalam membawa sitrat dari luar sel ke dalam sel. Sitrat yang telah berada dalam sel akan masuk ke dalam siklus Krebs. Pada siklus Krebs, sitrat diubah menjadi asam oksaloasetat dan asam asetat dengan bantuan enzim sitrase. Selanjutnya asam oksaloasetat dan asam asetat dirubah menjadi asam piruvat dan karbon dioksida. Uji penggunaan sitrat positif ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari hijau menjadi biru dari indikator bromothymol blue. Sifat basa pada media terjadi karena terbentuknya natrium bikarbonat hasil yang merupakan hasil reaksi antara karbon dioksida dengan simmons citrate. Hasil tes penggunaan sitrat menunjukkan bahwa 22 isolat bakteri memiliki ensim sitrat permease atau tes positif (Tabel 6). Uji dekarboksilasi bakteri terhadap suatu asam amino merupakan reaksi pemecahan gugus karboksil oleh enzim dekarboksilase, sehingga dihasilkan amina dan karbon dioksida. Uji dekarboksilasi asam amino menggunakan 2 substrat yaitu asam amino arginin dan ornithin. Uji positif ditandai terbentuknya warna ungu. Hasil uji dekrboksilasi menggunakan asam amino arginin diperoleh sebanyak 14 bakteri memberikan uji yang positif dan 11 memberikan hasil negatif. Sedangkan menggunakan ornithin, sebanyak 4 bakteri memberikan hasil positif dan 21 memberikan hasil uji negatif (Tabel 6). 64 Tabel 6 Morfologi dan karakter fisiologi bakteri hasil isolasi dari lumpur limbah tekstil CV. Mama & Leon Tabanan dan lumpur Sungai Badung Denpasar, Bali. No. isolat Pewarnaan Gram Bentuk sel Motilitas Uji kata lase Uji oksi dase Uji VP Terbentuknya gas pada fermentasi karbohidrat Glukosa Laktosa Indol Maltosa Uji Urease Sitrat Hidrolisis Gelatin Casein Dekarboksilasi Arginin Identifikasi Ornithin Bakteri dari lumpur instalasi pengolahan limbah tekstil CV. Mama & Leon Tabanan, Bali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 1 2 3 4 5 Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Nonmotil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Bakteri dari lumpur Sungai Badung Denpasar, Bali Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + Gram negatif Batang Motil + + + + + + td + + td + + + + td + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + td td td td td + + td td td td + td + + + td td td td td td + + + + + + + + + td + + + + + + + + td + + + + td + + + + + + + td + + + + td + + + + td + + + + + td + + + + td + + + + td + td + + td td Plesiomonas sp. Aeromonas sp. Flavobacterium sp. Aeromonas sp. Aeromonas sp. Aeromonas sp. Flavobacterium sp. Pseudomonas sp. Flavobacterium sp. Pseudomonas sp. Vibrio sp. Aeromonas sp. Plesiomonas sp. Aeromonas sp. Pseudomonas sp. Plesiomonas sp. Pseudomonas sp. Flavobacterium sp. Pseudomonas sp. Flavobacterium sp. Pseudomonas sp. Vibrio sp. Aeromonas sp. Aeromonas sp. Aeromonas sp. Aeromonas sp. Vibrio sp. td td td + + + + + - + + + + + + + + + + + td td td td td td td td td td td + td td + td + td td + td Plesiomonas sp. Vibrio sp. Vibrio sp. Plesiomonas sp. Vibrio sp. td = tidak dilakukan 61 62 4.2 Efisiensi Perombakan Zat Warna Pada Variasi Kondisi Lingkungan Pertumbuhan dan aktivitas bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Bakteri dalam merombak bahan organik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan energinya memerlukan bantuan enzim. Aktivitas enzim dalam peranannya sebagai katalis dipengaruhi oleh faktor lingkungan, di mana enzim mempunyai aktivitas tinggi pada kondisi tertentu dan bersifat nonaktif pada kondisi yang tidak menguntungkan. Faktor lingkungan mempengaruhi efisiensi perombakan yang dianalisis di antaranya adalah pH, konsentrasi glukosa, konsentrasi zat warna dan lama waktu inkubasi. 4.2.1 Efisiensi Perombakan Pada Variasi pH Data efisiensi perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo jenis remazol selama 5 hari inkubasi pada kondisi pH yang berbeda-beda (pH 5-9) disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan data kemampuan dari masing-masing bakteri untuk melakukan perombakan dipilih 5 bakteri yang mempunyai efisiensi perombakan tertinggi dari masing-masing zat warna. Kelima bakteri tersebut terdiri dari 3 bakteri termasuk Aeromonas sp. (Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan Aeromonas sp.ML24), Pseudomonas sp.ML8, dan bakteri Flavobacterium sp.ML 20. Hasil perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo oleh kelima bakteri tersebut selama 5 hari inkubasi pada kondisi pH yang Efisiensi perombakan (%) berbeda-beda disajikan pada Gambar 24. Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 100 95 90 85 80 75 15 62 73 84 95 pH Gambar 24 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai kondisi pH. 63 Gambar 24 menunjukkan bahwa efisiensi perombakan masing-masing zat warna dipengaruhi pH lingkungan. Efisiensi perombakan zat warna oleh bakteri meningkat dengan naiknya kondisi pH lingkungan dari 5 sampai 7 kemudian cendrung stabil pada pH 7-8 dan menurun pada pH 9. Analisis faktor pH terhadap efisiensi perombakan zat warna menggunakan one-way Anova selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan perombakan zat warna azo pada kondisi pH yang berbeda menghasilkan efisiensi perombakan yang berbeda pula (Lampiran 3). Kondisi pH optimum untuk berlangsungnya proses perombakan 200 mg/L zat warna azo selama 5 hari inkubasi pada kisaran pH 7-8 dengan efisiensi perombakan berkisar 89,19 sampai 94,38%. Hasil penelitian ini memperkuat simpulan HeFang et al. (2004) dan Moosvi et al. ( 2005), yang menyatakan bahwa perombakan zat warna azo menggunakan bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi pH lingkungan. Hasil kajian HeFang et al. (2004) tentang perombakan zat warna azo direct fast scarlet 4BS menggunakan konsorsium yang terdiri dari white-rot fungus dan Pseudomonas 1-10 yang diisolasi dari air limbah tekstil selama 4 hari inkubasi menunjukkan efisiensi perombakan warna pada pH 3 adalah 73%, pH 4 adalah 83%, pH 7 adalah 95% sedangkan pada pH 8 dan 10 masing-masing 90% dan 76%. Pseudomonas 1-10 menstimulasi produksi enzim ekstraseluler lignolitik peroksidase dari white-rot fungus 8-4 yang berperan dalam perombakan zat warna azo tersebut. Hasil kajian Moosvi et al. (2005) tentang perombakan zat warna azo reactive violet 5 menggunakan konsorsium bakteri RVM 11.1 yang diisolasi dari tanah yang terkontaminasi limbah tekstil selang waktu 37 jam melaporkan bahwa efisiensi perombakan warna pada pH dibawah 5,5 sangat rendah sedangkan efisiensinya 90% diperoleh pada kisaran pH 6,5 sampai 8,5. Perbedaan efisiensi perombakan zat warna pada variasi kondisi pH disebabkan oleh perubahan aktivitas pertumbuhan bakteri. Beberapa bakteri dapat tumbuh dan beraktivitas baik pada lingkungan asam dan beberapa bakteri juga tumbuh baik pada lingkungan basa. Namun, kebanyakan bakteri hidup dan beraktivitas baik pada kondisi pH netral (Cutright 2001). Pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan, pertumbuhan bakteri menjadi terganggu bahkan mati. Terganggunya pertumbuhan bakteri menyebabkan efisiensi perombakan zat warna menjadi rendah. Disamping pertumbuhan bakteri, aktivitas enzim yang terlibat pada proses perombakan juga sangat dipengaruhi oleh pH. Enzim pada sistem biologi sebagian besar merupakan protein yang mempunyai gugus aktif 64 yang bermuatan positif (+) dan negatif (-). Aktivitas enzim akan optimum jika terjadi keseimbangan antar kedua muatannya. Bila proses perombakan berlangsung pada pH tidak optimum, maka aktivitas enzim akan menurun akibat terjadinya perubahan ionisasi gugus-gugus pada sisi aktif enzim. Pada kondisi asam (pH rendah), enzim lebih bermuatan positif sedangkan pada kondisi basa (pH tinggi), maka enzim lebih bermuatan negatif. 4.2.2 Efisiensi Perombakan pada Variasi Konsentrasi Glukosa Penambahan glukosa pada proses perombakan zat warna reaktif azo menggunakan bakteri ditujukan untuk mempercepat laju perombakan. Hal ini disebabkan karena zat warna reaktif azo sulit digunakan secara langsung sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Data perombakan 200 mg/L zat warna remazol menggunakan bakteri Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20 pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi pada variasi penambahan konsentrasi glukosa (0-4 g/L) disajikan pada Gambar 25. Efisiensi perombakan (%) Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 100 90 80 70 60 50 01 12 23 34 45 Glukosa (g/L) Gambar 25 Efisiensi perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai konsentrasi glukosa. Gambar 25 memperlihatkan penambahan glukosa sebagai sumber karbon dan energi dapat meningkatkan efisiensi perombakan zat warna reaktif azo pada kondisi anaerob. Efisiensi perombakan zat warna remazol yellow, remazol red, remazol black, remazol blue dan remazol campuran tanpa penambahan glukosa 65 selama 5 hari inkubasi secara berturut-turut adalah 82,78%, 79,71%, 73,72%, 73,86% dan 55,40%. Efisiensi perombakan zat warna tersebut pada penambahan 2 g/L glukosa meningkat menjadi 94,70%, 95,17%, 94,33%, 91,16% dan 90,90%. Akan tetapi, dengan penambahan 4 g/L glukosa efisiensi perombakan menurun menjadi 89,90%, 92,38%, 91,93%, 84,11% dan 89,16%. Kebutuhan glukosa optimum untuk merombak 200 mg/L zat warna azo adalah berkisar 2-3 gram per liter limbah. Hasil penelitian ini memperkuat kajian Chinwetkitvanich et al. (2000), Padmavathy et al. (2003), Mendez et al. (2004) dan Shin et al. (2002) yang melaporkan bahwa perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob menggunakan mikrob memerlukan kosubstrat berupa senyawa karbon organik yang berfungsi sebagai sebagai elektron donor. Mendez et al. (2004) dalam kajiannya melaporkan untuk merombak 0,06 mM zat warna azo acid orange 7 pada kondisi anaerob tanpa penambahan glukosa diperlukan waktu selama 19 hari sedangkan dengan penambahan 1,8 g/L glukosa diprlukan waktu selama 5 hari. Dalam kajian Shin et al. (2002) juga dilaporkan perombakan 100 mg/L zat warna amaranth menggunakan biofilm Trametes versicolor pada polyethylene teraphthalate fiber membutuhkan waktu 16-20 jam dengan laju perombakan 33,8 mg/L per jam. Disamping glukosa, beberapa senyawa organik yang dapat digunakan sebagai elektron donor pada proses perombakan zat warna azo di antaranya asetat, sukrosa, laktosa, dan tapioka. Namun, glukosa dilaporkan paling efektif digunakan sebagai sumber elektron donor karena glukosa lebih mudah dan cepat mengalami glikolisis dibandingkan dengan sukrosa, laktosa dan tapioka. Menurut Yoo (2000), perombakan zat warna reaktif azo menggunakan bakteri pada dasarnya merupakan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dikatalisis oleh enzim. Bakteri memerlukan kosubstrat berupa senyawa karbon organik seperti glukosa untuk mempercepat proses perombakan zat warna azo. Glukosa dalam sistem biologi mengalami proses glikolisis dengan bantuan enzim dehidrogenase menghasilkan koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (NADH). Glikolisis mengubah molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat yang kemudian diubah menjadi asetil koenzim A yang siap memasuki siklus asam sitrat. Pada proses glikolisis 1 molekul glukosa dihasilkan 2 molekul NADH sedangkan pada siklus asam sitrat dihasilkan tiga molekul NADH dan satu molekul FADH2. NADH dan flavin adenin dinukleotida (FADH) merupakan 66 koenzim yang bertindak sebagai pembawa elektron. Koenzim-koenzim ini berperan penting dalam proses perombakan zat warna azo. Peranan NADH dan FADH2 pada perombakan zat warna azo dijelaskan melalui 2 hipotesis mekanisme perombakan azo secara biologi yaitu perombakan dengan melibatkan enzim secara langsung (direct enzymatic) dan perombakan dengan melibatkan enzim secara tidak langsung (indirect enzymatic) yang dilaporkan oleh Wuhrmann (1980) dan Van der Zee (2002). Mekanisme perombakan zat warna azo menurut hipotesis direct enzymatic, koenzim NADH yang dihasilkan dari proses glikolisis glukosa mentransfer elektron ke zat warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase. Koenzim NADH mengalami reaksi oksidasi sedangkan zat warna azo mengalami reduksi menghasilkan senyawa amina aromatik (Gambar 26). Putusnya ikatan azo menyebabkan warna menjadi hilang. R-N=N-R’ Azoreductase 2[NAD(P)H + H+ ] Glukosa R-NH2 + R’-NH2 2NAD(P) Asetil CoA Dehidrogenase Gambar 26 Mekanisme perombakan zat warna azo secara direct enzymatic Mekanisme perombakan zat warna azo menurut hipotesis indirect enzymatic, flavin adenin dinukleotida dalam keadaan tereduksi (FADH2) berperan sebagai mediator redoks pada proses perombakan zat warna azo. NADH mereduksi flavin adenin dinukleotida dalam keadaan teroksidasi (FAD2+) dikatalisis oleh enzim azoreductase menghasilkan FADH2. Hal ini terjadi karena NADH memiliki nilai potensial reduksi lebih negatif dibandingkan dengan FADH2 (NAD+/NADH+H+ Eo= -320 mV dan FAD/FADH2 Eo=-220 mV). FADH2 hasil reduksi tersebut selanjutnya mentransfer elektron secara langsung ke senyawa azo tanpa bantuan enzim azoreductase. FAD Enzim + 2 NADH + 2 H+ Enzim FAD Enzim FADH2 FADH2 FADH2 + 2 NAD+ FADH2 FAD + R1 N=N R2 Enzim FAD + R1 NH2 + R2 NH2 Gambar 27 Perombakan zat warna azo menggunakan mediator redoks 67 Jumlah glukosa yang digunakan menjadi kontrol terhadap proses berlangsungnya perombakan. Jumlah glukosa yang sedikit akan menghasilkan reducing equivalents yang sedikit sehingga efisiensi perombakan rendah, sedangkan bila jumlah glukosa berlebih mengakibatkan efisiensi perombakan menjadi menurun. Penurunan efisiensi perombakan zat warna pada penambahan glukosa berlebih disebabkan glukosa terurai menghasilkan asamasam yang menyebabkan terjadinya penurunan pH pada lingkungan. Penurunan pH menyebabkan aktivitas enzim menjadi tidak maksimum (Chen et al. 2003). Analisis pengaruh faktor konsentrasi glukosa terhadap efisiensi perombakan zat warna azo menggunakan one-way Anova pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan glukosa secara signifikan mempengaruhi efisiensi perombakan. Efisiensi perombakan maksimum pada perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo selama 5 hari inkubasi diperoleh sebesar 91,02 sampai 95,20% dengan penambahan 2 sampai 3 gram glukosa pada setiap satu liter limbah. 4.2.3 Efisiensi Perombakan pada Variasi Konsentrasi Zat Warna Menurut Cutright (2001), aktivitas bakteri dalam merombak substrat dipengaruhi oleh faktor besarnya konsentrasi substrat yang akan dirombak. Untuk substrat pada rentang konsentrasi rendah, aktivitas perombakan umumnya berlangsung cepat dengan meningkatnya konsentrasi substrat. Berdasarkan data hasil perombakan zat warna pada konsentrasi yang berbeda-beda (Lampiran 6) diperoleh pola efisiensi perombakan zat warna meningkat dengan naiknya konsentrasi zat warna dari 50 sampai 200 mg/L kemudian menurun pada konsentrasi dari 200 sampai 400 mg/L (Gambar 28). Efisiensi perombakan 50 mg/L zat warna azo salama 5 hari inkubasi berkisar antara 88,94 sampai 90,43% sedangkan untuk 200 mg/L meningkat menjadi 91,28-94,36% dan pada konsentrasi 400 mg/L turun menjadi 82,90-88,92%. Perbedaan efisiensi perombakan di berbagai konsentrasi zat warna azo berhubungan dengan faktor toksisitas zat warna dan kinetika reaksi perombakan (Pandey et al. 2007). Toksisitas zat warna azo berhubungan dengan struktur dan jenis gugus yang terikat pada zat warna tersebut. Zat warna azo dengan katagori toksisitas moderat atau sangat toksik lebih sulit dirombak dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan zat warna azo yang memiliki toksisitas rendah atau tidak toksik. Disamping itu, produk hasil peruraian zat warna azo pada 68 kondisi anaerob berupa senyawa amina aromatik umumnya bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo sendiri. Amina aromatik tersebut meningkatkan toksisitas sehingga menghambat pertumbuhan bahkan sampai membunuh bakteri. Efek toksik zat warna azo semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi zat warna, hal ini menyebabkan efisiensi perombakan cendrung menurun. Di lain pihak, efisiensi perombakan zat warna azo yang tidak toksik atau toksik rendah cendrung meningkat sampai pada konsentrasi tertentu dan selanjutnya menurun sejalan dengan meningkatnya toksisitas dan jenuhnya gugus aktif dari enzim. Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 Efisiensi perombakan (%) 100 95 90 85 80 75 1 50 2 100 3 150 4 200 5 250 3006 350 7 400 8 Konsentrasi zat warna (mg/L) Gambar 28 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai konsentrasi zat warna. Perombakan zat warna azo oleh bakteri merupakan reaksi enzimatik. Pada umumnya reaksi enzimatik dengan konsentrasi substrat rendah, jika konsentrasi substrat dinaikkan dua kali, maka kecepatan reaksi perombakan zat warna meningkat dua kali lipat. Ini berarti pada konsentrasi substrat rendah kecepatan reaksi enzimatik berorde satu. Hasil analisis terhadap kinetika perombakan zat warna pada penelitian ini menunjukkan kinetika reaksi orde 1 (Lampiran 7). Hasil temuan ini, memperkuat simpulan Wuhrmann et al. (1980) dan Mendez et al. (2003), yang melaporkan bahwa pada umumnya reaksi perombakan zat warna azo secara biologi mengikuti reaksi orde 1. Temuan ini juga sejalan dengan kajian Sani et al. (1999) yang melaporkan bahwa perombakan zat warna azo pada konsentrasi 1-10 μM berlangsung cepat sedangkan pada konsentrasi 30 μM berlangsung lambat. 69 4.2.4. Efisiensi Perombakan pada Variasi Lama Waktu Inkubasi Aktivitas perombakan zat warna pada kondisi anaerob oleh bakteri selama 1 sampai 10 hari dilakukan secara statik dengan teknik batch. Aktivitas bakteri dalam merombak zat warna dipengaruhi oleh lama waktu kontak antara bakteri dengan zat warna tersebut. Data perombakan zat warna reaktif azo selang waktu 1 sampai 10 hari disajikan pada Lampiran 9. Penurunan konsentrasi zat warna menggunakan 5 jenis bakteri yaitu Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20 selang waktu 1 sampai 10 hari disajikan pada Gambar 29. Pada 1 hari inkubasi terjadi penurunan konsentrasi zat warna dari 200 mg/L menjadi 65,21-27,33 mg/L (75,98-83,95%), setelah 2 hari turun menjadi 55,04-19,46 mg/L (80,45-90,27%) dan setelah 10 hari inkubasi menjadi 13,56-6,43 mg/L ( 95,78-96,78%). Gambar 29 memperlihatkan bahwa efisiensi perombakan zat warna reaktif azo meningkat dengan lamanya waktu inkubasi. Pada tahap awal, bakteri melakukan fase adaptasi kemudian melakukan fase pertumbuhan eksponensial. dan fase pertumbuhan konstan serta fase kematian yang disebabkan oleh terbentuknya produk senyawa amina aromatik yang memberikan efek toksik bagi kehidupan bakteri. E fis iens i perom bak an (% ) Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML24 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 Gambar 29 2 3 4 5 6 Lama inkubasi (hari) 7 8 9 10 Perombakan 200 mg/L zat warna pada kondisi anaerob dengan lama waktu 1-10 hari inkubasi. 4. 3 Pengolahan Limbah Tesktil Buatan Limbah tekstil buatan yang digunakan mempunyai konsentrasi zat warna sebesar 175,18 mg/L. Pengolahan limbah tekstil buatan dilakukan dengan dua 70 tahap, yaitu tahap pengolahan anaerob dan tahap pengolahan aerob. Masingmasing tahap menggunakan proses tersuspensi dan pertumbuhan terlekat. Tahap Pengolahan Anaerob Bakteri yang digunakan untuk mengolah limbah pada tahap anaerob adalah bakteri kultur tunggal dan konsorsium. Bakteri kultur tunggal masing-masing adalah Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8, Flavobacterium sp.ML20, sedangkan konsorsium bakteri yang digunakan terdiri dari Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20. Penurunan konsentrasi zat warna pada perombakan limbah tekstil buatan menggunakan bakteri kultur tunggal dan konsorsium pada kondisi anaerob selang waktu 1-4 hari inkubasi disajikan pada Gambar 30. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 11. Konsentrasi zat warna (mg/L) 200 1 180 2 3 Aeromonas sp. ML14 160 Pseudomonas sp. ML6 140 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 120 100 Konsorsium 80 60 40 20 0 Awal 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari Lama inkubasi Pertumbuhan tersuspensi Pertumbuhan terlekat Gambar 30 Penurunan konsentrasi zat warna pada limbah tekstil buatan selang 1-4 hari inkubasi proses pertumbuhan tersuspensi dan terlekat. Gambar 30 memperlihatkan efisiensi perombakan zat warna pada pengolahan limbah tekstil buatan selang waktu 1; 2; 3 dan 4 hari menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi secara berturut-turut adalah 59,85-63,91%; 77,63-82,52%; 77,75-85,41% dan 79,69-88,49% sedangkan menggunakan pertumbuhan terlekat adalah 61,27-63,91%; 78,11-87,65%; 78,32-90,24% dan 83,08-90,90%. Efisiensi perombakan menggunakan pertumbuhan terlekat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi, sedangkan untuk pertumbuhan terlekat, efisiensi perombakan dengan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal. Dalam keadaan 71 substrat mencukupi, hubungan antar bakteri pada sistem konsorsium dalam melakukan aktivitas perombakan tidak saling mengganggu, bahkan masingmasing bakteri beraktivitas membentuk suatu urutan yang saling menguntungkan. Fenomena hubungan sinergisme antar bakteri ini menjadi keunggulan dalam pemanfaatannya untuk pengolahan limbah. Hal ini disebabkan karena konsorsium bakteri dapat hidup saling bersinergi sehingga menghasilkan efisiensi perombakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi. Perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob, menghasilkan amina aromatik yang lebih toksik dari sebelumnya. Produk intermediate hasil perombakan anaerob tersebut akan mengganggu pertumbuhan bakteri. Pengaruh toksisitas dari amina aromatik lebih tinggi pada sistem pertumbuhan tersuspensi dibandingkan sistem pertumbuhan terlekat karena pada sistem pertumbuhan terlekat, bakteri membentuk lapisan tipis yang berfungsi untuk melindungi diri dari pengaruh lingkungan yang kurang menguntungkan. Pembentukan biofilm pada batu vulkanik sebagai strategi mempertahankan diri dari pengaruh kondisi lingkungan ekstrim (Prakash et al. 2003). Gambar 31 memperlihatkan penampakan batu vulkanik dengan banyak rongga-rongga sehingga mempermudah pelekatan bakteri, memperkokoh biofilm dan melindungi mikrob dari abrasi akibat aliran limbah. Barus (2007), yang melaporkan bahwa batu vulkanik sangat baik digunakan untuk mengamobil bakteri pada pengolahan limbah mengandung merkuri. Gambar 31 Scanning electron micrograph penampakan batu vulkanik dengan pembesaran 10.000 X. Tanda panah menunjukkan rongga batu vulkanik. 72 Perlakuan dengan kontrol negatif (batu vulkanik tanpa penambahan bakteri) terhadap adsorpsi zat warna menunjukkan bahwa batu vulkanik disamping sebagai bahan pengamobil juga mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi zat warna tekstil sebesar 5,67%. Kemampuan batu vulkanik mengadsorpsi zat warna disebabkan oleh adanya interaksi fisika antara pori dengan zat warna. Batu vulkanik setelah diamobilisasi menggunakan bakteri terlihat penampakan struktur permukaannya menjadi semakin tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa biofilm bakteri sudah terbentuk pada permukaan batu vulkanik. Pembentukan biofilm konsorsium bakteri selama 3 hari pada batu vulkanik secara visual diamati menggunakan scanning electron microscope dan hasilnya disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Scanning electron micrograph biofilm konsorsium bakteri pada batu vulkanik pada kondisi anaerob dengan pembesaran 10.000 X. Tanda panah menunjukkan biofilm pada permukaan batu vulkanik. Proses pembentukan biofilm bakteri pada permukaan batu vulkanik kemungkinan melalui adsorpsi. Bakteri pertama-tama mendekat pada permukaan batu vulkanik selanjutnya terjadi proses adsorpsi sel ke dalam pori. Bakteri pada permukaan batu vulkanik mengalami kolonisasi dengan mengeluarkan senyawa polimer ekstraseluler. Menurut Prakash et al. (2003), biofilm terutama terdiri dari sel mikrob dan matriks polimer ekstraseluler. Polimer eksopolisakarida (EPS) sekitar 50-90% merupakan senyawa karbon organik. Adanya EPS memperkokoh pelekatan bakteri pada batu vulkanik sehingga dapat menjaga stabilitas populasi dalam reaktor. Hasil pemeriksaan jumlah populasi bakteri yang 73 terlekat pada batu vulkanik dalam reaktor anaerob menggunakan metode total plate count diperoleh sebesar 4,68 x 109 – 20,5 x109 cfu/g (Tabel 7). Jumlah air limbah tekstil yang diolah dalam reaktor adalah 900 mL sedangkan jumlah batu vulkanik yang digunakan adalah 757 gram. Jadi perkiraan jumlah total bakteri yang terdapat dalam reaktor anarobik untuk mengolah 900 mL limbah tekstil berkisar 3,54 x 1012- - 15,52 x 1012 cfu. Jumlah bakteri dalam bioreaktor sudah memadai digunakan untuk pengolahan limbah tekstil. Menurut Cutright, (2001) jumlah populasi bakteri minimum yang dianggap memadai untuk digunakan dalam pengolahan limbah adalah 108 cfu/L limbah. Tabel 7 Jumlah koloni bakteri teramobil pada batu vulkanik No 1 2 3 4 5 6 7 Isolat Kontrol Aeromonas ML6 Aeromonas ML14 Pseudomonas ML8 Flavobacterium ML20 Aeromonas ML24 Konsorsium Berat batu vulkanik (g) 25 25 25 25 25 25 25 Petri 1 120x109 9 148x10 9 108x10 102x109 9 105x10 9 260x10 Jumlah koloni terhitung Petri 2 Petri 3 Petri 4 72x109 9 276x10 9 93x10 86x109 9 129x10 9 240x10 34x1010 10 24x10 10 15x10 11x1010 10 40x10 10 85x10 12x1010 10 40x10 10 24x10 17x1010 10 28x10 10 70x10 Jumlah koloni (cfu/gram) 6,52x109 9 10,64x10 9 5,91x10 4,68x109 9 9,14x10 9 20,50x10 Dari ke-enam bakteri yang dicobakan, diperoleh tiga bakteri yang menghasilkan efisiensi perombakan zat warna tinggi. Ketiga bakteri tersebut adalah Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan konsorsium. Efisiensi perombakan zat warna pada reaktor anaerob dengan waktu tinggal limbah 3 hari dalam reaktor menggunakan bakteri Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan konsorsium menggunakan proses pertumbuhan terlekat adalah 90,00%; 89,41% dan 90,24%. Hasil perombakan limbah tekstil buatan secara anaerob menggunakan ketiga bakteri tersebut, diukur parameter pH, bau, TDS, TSS, nitrat, nitrit, BOD5, COD dan warna. Hasil pengukuran parameter kualitas limbah tersebut disajikan pada Lampiran 12. Nilai BOD5, COD, warna, TDS dan TSS dari limbah tekstil buatan sebelum diolah masing-masing sebesar 945 mg/L, 4.000 mg/L, 2.130 CU, 4.380 mg/L dan 1.220 mg/L. Setelah diolah menggunakan konsorsium bakteri sistem pertumbuhan terlekat dengan waktu tinggal limbah selama 3 hari, nilai BOD5 dan COD turun menjadi 454 mg/L dan 2.117 mg/L atau efisiensi penurunan sebesar 51,96% dan 47,08%. Warna turun menjadi 192 CU atau efisiensinya sebesar 90.99%. TDS dan TSS masing-masing turun menjadi 2.152 mg/L dan 719 mg/L. 74 Analisis terhadap sistem pengolahan pada reaktor anaerob menunjukkan bahwa pada reaktor anaerob terjadi perombakan warna yang tinggi, akan tetapi nilai COD dan BOD masih tinggi jika dibandingkan dengan baku mutu nilai COD dan BOD yang dipersyaratkan pada KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995. Tingginya nilai COD dan BOD pada pengolahan anaerob menunjukkan perombakan zat warna tekstil tidak berlangsung sempurna. Hal ini berarti, pada kondisi anaerob bakteri hanya mampu merombak molekul zat warna yang berukuran besar menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Konsentrasi BOD5 dan COD pada limbah tekstil buatan secara empirik digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui ketersediaan sumber hara bagi kehidupan mikrob (Brault, 1991). Hal tersebut dilakukan dengan menghitung nisbah COD terhadap BOD5,. Nisah COD terhadap BOD5 semakin mendekati nilai 1,46 berarti penguraian limbah dikatagorikan semakin sempurna. Lebih lanjut, Utami (1992) menyatakan bahwa bila nisbah COD terhadap BOD5 lebih kecil dari 1,7 digolongkan sebagai limbah yang mudah terurai, bila berkisar antara 1,7 sampai 10 merupakan limbah yang tidak terurai secara sempurna dan bila lebih besar dari 10, maka limbah masuk ke dalam katagori limbah yang sangat sulit terurai. Nisbah COD terhadap BOD5 pada limbah tekstil buatan setelah dilakukan pengolahan baik menggunakan proses tersuspensi maupun proses terlekat berkisar antara 4,69 sampai 6,40. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa limbah tekstil tersebut masuk ke dalam katagori limbah yang tidak terurai secara sempurna. Kandungan bahan organik tinggi hasil pengolahan anaerob mengisyaratkan bahwa pengolahan limbah tekstil berlangsung tidak efektif dan efisien dengan sistem pengolahan satu tahap. Terbentuknya amina aromatik dari peruraian zat warna azo pada kondisi anaerob yang bersifat lebih toksik dibandingkan zat warna azo sendiri juga menjadi indikator pentingnya dilakukan pengolahan lanjutan pada kondisi aerob. Pengolahan Tahap Aerob Pengolahan lanjutan secara aerob ditujukan untuk menurunkan nilai COD dan BOD yang masih tinggi, perombakan amina aromatik, menghilangkan bau tak sedap serta bahan-bahan pencemar lain yang belum sempurna dirombak pada proses anaerob. Haug et al. (1991), melaporkan mekanisme perombakan amina aromatik pada kondisi aerob dimulai dari oksidasi amina aromatik yang dikatalisis oleh enzim oksigenase sehingga terjadi pemecahan struktur benzena. Cincin aromatik mengalami hidroksilasi dan selanjutnya terjadi pembukaan cincin 75 (cleavage) melalui pengikatan 2 atom oksigen yang pada akhirnya menghasilkan fumarat dan piruvat (Gambar 33). OH COOH O2 NH2 HOOC O COOH H2O HOOC O COOH H2O piruvat Fumarat + Firuvat OH NH2 Gambar 33 mekanisme perombakan amina aromatik pada kondisi aerob Perlakuan pengolahan limbah pada tahap aerob sama seperti pada tahap pengolahan anaerob, yaitu menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi dan terlekat. Limbah yang diolah adalah hasil pengolahan anaerob menggunakan konsorsium bakteri proses pertumbuhan terlekat. Karakteristik limbah tekstil untuk sampel pengolahan tahap aerob disajikan pada Lampiran 13. Bakteri yang digunakan pada tahap ini adalah bakteri hasil isolasi dari lumpur Sungai Badung yang teridentifikasi Plesiomonas sp.SB1, Plesiomonas sp.SB2, Vibrio sp.SB1, Vibrio sp. SB2 dan Vibrio sp.SB3. Data penurunan COD dan warna hasil pengolahan limbah tahap aerob selang waktu 1 sampai 3 hari menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi disajikan pada Gambar 34, sedangkan data 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Plesiomonas sp. SB1 Plesiomonas sp. SB2 Vibrio sp. SB1 Vibrio sp. SB2 Vibrio sp. SB3 Konsorsium Awal 1 2 3 Lama inkubasi (Hari) Warna (CU) COD (mg/L) selengkapnya disajikan pada Lampiran 14. Plesiomonas sp. SB1 Plesiomonas sp. SB2 Vibrio sp. SB1 Vibrio sp. SB2 Vibrio sp. SB3 Konsorsium 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Awal 1 2 Lama inkubasi (Hari) 3 Gambar 34 Penurunan COD dan warna pada perombakan lanjutan limbah tekstil buatan mengunakan proses pertumbuhan tersuspensi pada kondisi aerob selang waktu 1-3 hari inkubasi. Gambar 34 memperlihatkan bahwa pengolahan lanjutan dengan proses pertumbuhan tersuspensi selang waktu 1; 2 dan 3 hari, nilai COD secara berturut-turut mengalami penurunan dari 2.118 mg/L menjadi 616-545 mg/L (efisiensi 70,92-74,27%), 260-231 mg/L (efisiensi 87,72-89,09%) dan 140-102 mg/L (efisiensi 93,39-95,20%). Warna turun dari 195 CU menjadi 128-117 CU (efisiensi 34,36-40,00%), 118-105 CU (efisiensi 39,49-46,15%) dan 103-92 CU 76 (47,18-52,82%). Dari 6 jenis bakteri yang dicobakan untuk pengolahan limbah pada tahap aerob, diperoleh sebanyak 3 bakteri yang mampu menurunkan nilai COD dan warna yang tinggi. Ketiga bakteri tersebut adalah Vibrio sp.SB1, Vibrio sp.SB3 dan konsorsium bakteri (gabungan dari kelima bakteri tersebut). Bakteribakteri potensial ini diamobilkan pada batu vulkanik dan selanjutnya digunakan untuk mengolah limbah pada kondisi aerob. Data penurunan COD dan warna hasil pengolahan limbah tahap aerob selang waktu tinggal limbah dalam reaktor 1; 2 dan 3 hari menggunakan proses pertumbuhan terlekat disajikan pada 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 250 Vibrio sp. SB1 Vibrio sp. SB3 Konsorsium Vibrio sp. SB1 Vibrio sp. SB3 Konsorsium 200 Warna (CU) COD (mg/L) Gambar 35, sedangkan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 15. 150 100 50 0 Awal 1 2 3 Lama inkubasi (Hari) Awal 1 hari 1 2 hari 2 3 hari 3 Lama inkubasi (Hari) Gambar 35 Penurunan COD dan warna pada perombakan lanjutan limbah tekstil buatan mengunakan proses pertumbuhan terlekat pada kondisi aerob selang waktu 3 hari inkubasi . Gambar 35 memperlihatkan pengolahan aerob dengan lama waktu tinggal limbah 1; 2 dan 3 hari dalam reaktor secara berturut-turut nilai COD turun dari 2.118 mg/L menjadi 471-447 mg/L (efisiensi 77,76%), 251-211 mg/L (efisiensi 88,15%- 90,03%) dan 99-93 mg/L (efisiensi 95,34 -95,61%). Warna dari 195 CU turun menjadi 118-113 CU (efisiensi 39,49-42,05%), 116-108 CU (efisiensi 40,5144,62%) dan 76-65 CU (efisiensi 61,03-66,67%). Efisiensi penurunan COD pada waktu tinggal limbah 3 hari dalam reaktor menggunakan proses pertumbuhan terlekat lebih besar dibandingkan dengan pengolahan menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi. Pengolahan lanjutan tahap aerob menggunakan proses pertumbuhan terlekat mampu menurunkan COD sebesar 95,34-95,61% sedangkan menggunakan proses tersuspensi sebesar 93,39-95,20%. Secara umum, tingginya efisiensi perombakan COD pada tahap pengolahan aerob disebabkan bahan organik hasil perombakan tahap anaerob mudah dirombak lebih lanjut oleh bakteri pada tahap aerob. 77 Pengolahan lanjutan pada tahap aerob dengan waktu tinggal limbah 3 hari dalam reaktor menggunakan proses pertumbuhan terlekat menghasilkan efisiensi penurunan warna lebih tinggi dibandingkan menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi. Pada proses pertumbuhan terlekat, efisiensi penurunan warna sebesar 60,00-66,67% sedangkan dengan pertumbuhan tersuspensi sebesar 50,77-52,82%. Hal ini disebabkan bakteri yang melekat pada batu vulkanik tersebut membentuk lapisan dengan ketebalan tertentu dan mendegradasi zat warna yang teradsorpsi pada batu vulkanik tersebut sampai pada tahap mineralisasi. Disamping penurunan warna, pengolahan lanjutan tahap aerob menggunakan proses pertumbuhan terlekat juga menghasilkan efisiensi penurunan BOD, TDS dan TSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan dengan proses pertumbuhan tersuspensi. Keunggulan sistem pengolahan dengan proses pertumbuhan terlekat adalah terjadinya wash out bakteri ke lingkungan cukup kecil sehingga populasi bakteri pada bioreaktor tetap terjaga dan reaktor dapat digunakan berulang-ulang untuk mengolah limbah (Stolz 2001). Bakteri terlekat pada batu vullkanik dapat diamati secara visual menggunakan scanning electron microscope (Gambar 36). Konsorsium bakteri terlekat pada batu vulkanik tahap pengolahan aerob terdiri dari Vibrio sp. SB1, Vibrio sp. SB2, Vibrio sp. SB3, Plesiomonas sp. SB1 dan Plesiomonas sp. SB2. Gambar 36 Scanning electron micrograph biofilm konsorsium bakteri pada batu vulkanik pada kondisi aerob dengan pembesaran 10.000 X. Tanda panah menunjukkan biofilm pada permukaan batu vulkanik. 78 Jumlah populasi bakteri dalam reaktor berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pengolahan limbah. Pada umumnya, semakin banyak jumlah bakteri, maka proses pengolahan berlangsung cepat. Hasil perhitungan jumlah bakteri yang terlekat pada batu vulkanik yang digunakan merombak limbah pada kondisi aerob adalah sekitar 1,70 x 1010 cfu/g. Jumlah bakteri dalam bioreaktor sudah memadai digunakan untuk pengolahan limbah tekstil. Pengolahan limbah tekstil yang paling optimal diperoleh dari penelitian ini adalah sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan konsorsium bakteri yang diamobilkan pada batu vulkanik. Hubungan penurunan konsentrasi zat warna pada tahap pengolahan anaerob dan penurunan COD, BOD dan TSS pada 200 Pada reaktor anaerob Limbah tidak terombak (mg/L) Kons entras i z at w arna s is a (m g/L) tahap aerob terhadap waktu pengolahan disajikan pada Gambar 37. y = 122,56e-0,6047x 150 R2 = 0,8651 100 50 0 0 2 4 Lama pengolahan (hari) 6 2500 Pada reaktor aerob 2000 1500 COD 1000 TSS 500 BOD 0 0 1 2 3 4 Lama pengolahan (hari) Gambar 37 Perombakan zat warna dalam reaktor anaerob dan COD, BOD dan TSS dalam reaktor aerob pada pengolahan limbah tekstil buatan sistem kombinasi anaerob-aerob pertumbuhan terlekat Kurva penurunan COD terhadap lama pengolahan limbah diperoleh persamaan garis Y= 1.686,6e-1,03X dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,97. Nilai BOD diperoleh persamaan garis Y= 377,07e-0,71X (R2= 0,950) dan TSS dengan persamaan garis Y= 757,4e-0,21X (R2=0,96). Persamaan garis dari masing-masing bahan pencemar pada kurva tersebut, dapat digunakan untuk menduga efisiensi waktu yang diperlukan untuk mengolah limbah pada sistem tersebut sampai pada tingkat pemenuhan baku mutu yang dipersyaratkan dalam KepMen LH No.51/MENLH/10/1995. Limbah tekstil buatan mempunyai konsentrasi warna sebesar 175,18 mg/L, apabila penurunan warna dikehendaki mencapai efisiensi 90% (17,52 mg/L), maka waktu yang diperlukan untuk mengolah limbah tahap anaerob adalah 3 hari. Hasil pengolahan tahap anaerob selama 3 hari, mampu menurunkan COD dari 4.000 mg/L menjadi 2.118 mg/L, BOD dari 945 menjadi 79 461 mg/L, TDS dari 4.380 mg/L 2.150 mg/L dan TSS dari 1.220 mg/L menjadi 725 mg/L. Pengolahan pada tahap aerob yang diperlukan untuk menurunkan COD dari 2.118 mg/L menjadi 300 mg/L sesuai dengan baku mutu adalah 40 jam, menurunkan BOD dari 461 mg/L menjadi 150 mg/L diperlukan waktu pengolahan 31 jam, sedangkan TSS dari 725 menjadi 400 mg/L diperlukan waktu 64 jam. Penurunan TSS pada sistem ini tampaknya kurang efisien, yaitu diperlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan menurunkan nilai COD dan BOD. Untuk menghasilkan kualitas limbah dengan parameter yang diukur berada di bawah baku mutu, maka pengolahan limbah dengan sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan konsorsium bakteri teramobil pada batu vulkanik ditetapkan waktu tinggal limbah dalam reaktor aerob selama 3 hari. 4.4. Pengolahan Air Limbah Tekstil Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob Menggunakan Proses Pertumbuhan Terlekat Air limbah pencelupan tekstil diambil dari industri tekstil CV. Mama & Leon Tabanan-Bali. Air limbah tekstil tersebut diolah menggunakan sistem kombinasi anaerob-aerob yang masing-masing berisi konsorsium bakteri yang diamobilkan pada batu vulkanik. Sebelum diolah, air limbah diequalisasi pHnya hingga mencapai 7 dengan menambahkan larutan HCl. Pengolahan limbah dilakukan dengan waktu tinggal 3 hari pada tahap anaerob dan 3 hari pada tahap aerob. Karakteristik limbah tekstil sebelum dan setelah diolah disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik air limbah tekstil sebelum dan sesudah pengolahan menggunakan kombinasi anaerob-aerob pertumbuhan terlekat. Parameter Warna pH Bau TDS TSS Nitrat Nitrit BOD COD Klorida Karakteristik Satuan limbah awal CU mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L 1.587 10,50 6.205 2.688 8,38 1,22 907 6.000 499 Karakteristik limbah sesudah diolah selang waktu 6 hari Ulangan Rerata I II III 65,36 68,24 70,08 67,89±2,4 6,15 6,00 6,25 6,18±0,1 1.170 1.200 1.190 1.187±15,27 330 342 335 336±6,03 4,51 4,57 4,62 4,57±0,1 0,32 0,31 0,28 0,30±0,0 54,86 60,25 50,76 55,29±4,8 95,67 105,26 90,46 97,13±7,5 145 140 148 144,33±4,0 Hasil penentuan karakteriatik limbah tekstil sebelum diolah menunjukkan bahwa semua parameter kualitas limbah yang diukur berada diatas baku mutu yang dipersyaratkan dalam KepMen LH No.51/MENLH/10/1995. Jika limbah 80 tekstil tersebut dibuang secara langsung ke badan air dapat mencemari air dan menimbulkan gangguan ekosistem perairan. Pengolahan limbah tekstil dengan sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan konsorsium bakteri proses pertumbuhan terlekat menghasilkan penurunan warna limbah yang tinggi (Gambar 38). Warna lebih dominan disebabkan oleh zat-zat warna tekstil yang terbuang sebagai air limbah. Hilangnya warna jelas sekali terlihat setelah mengalami pengolahan tahap anaerob sedangkan dari pengolahan tahap anaerob ke tahap aerob terjadi perubahan warna yang relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa zat warna tekstil sebagian besar mengalami perombakan pada tahap anaerob. Limbah awal Tahap anaerob Tahap aerob Gambar 38 Perubahan warna limbah tekstil sebelum dan sesudah pengolahan pada reaktor anaerob-aerob selama 6 hari inkubasi. Air limbah tekstil yang digunakan mempunyai konsentrasi warna sebesar 1.587 CU, setelah selang waktu 6 hari pengolahan warna mengalami penurunan dari 1.587 CU menjadi 67,89 CU atau efisiensi penurunan warna sebesar 95,72%. Warna tidak tercantum sebagai salah satu syarat baku mutu ditinjau dari KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995. Secara langsung, warna tidak berbahaya bagi kesehatan manusia, akan tetapi secara tidak langsung berdampak negatif terhadap ekosistem air maupun kesehatan manusia. Air yang berwarna secara estetika memberikan kesan yang negatif. Air berwarna menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis. Kurangnya jumlah oksigen dalam air dapat memicu aktivitas mikroorganisme anoksik-anaerob yang menghasilkan bau tak sedap. Dengan alasan ini, limbah 81 zat warna yang dihasilkan dari kegiatan industri tekstil harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan. Air limbah tekstil yang dihasilkan dari proses pencelupan tekstil di Industri CV. Mama & Leon Tabanan Bali memiliki keasaman (pH) sangat basa yaitu 10,50 dan pengamatan secara organoleptik tidak berbau. Tingginya pH limbah disebabkan oleh pemakaian NaOH, Na2CO3 atau detergen dalam proses pencelupan tekstil. Air limbah ini, sebelum diolah dikondisikan pada pH 7 untuk mengoptimalkan aktivitas bakteri dalam melakukan perombakan. Setelah dilakukan pengolahan dengan sistem kombinasi anaero-aerob menggunakan bakteri konsorsium yang terlekat pada batu vulkanik selang waktu 6 hari, pH air limbah menurun sedikit dari pH 7 menjadi 6,18. Hasil pengolahan pada tahap anaerob menghasilkan bau sangat menyengat akan tetapi bau menjadi hilang setelah mengalami perombakan aerob. Kondisi pH air limbah hasil pengolahan jika ditinjau berdasarkan KepMen LH No.51/MENLH/10/1995, sudah memenuhi persyaratan baku mutu limbah industi untuk dibuang ke lingkungan. Padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TSS) dan total dissolved solid (TDS) dari air limbah tekstil sebesar 2.688 mg/L dan 6.205 mg/L. TSS dan TDS yang tinggi berdampak negatif terhadap perairan karena mengurangi penetrasi sinar matahari yang masuk ke badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Setelah diolah selang waktu 6 hari dalam reaktor anaerob-aerob mampu menurunkan nilai TSS menjadi 336 mg/L atau efisiensi penurunan TSS sebesar 87,50% sedangkan nilai TDS turun menjadi 1.187 mg/L atau efisiensi penurunan TDS sebesar 80,87%. Nilai TSS dan TDS jika ditinjau dari KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 telah memenuhi syarat, karena ambang batas TSS dan TDS yang dipersyaratkan dalam KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 sebesar 400 mg/L dan 4.000 mg/L. Air limbah tekstil yang digunakan mempunyai nilai BOD5 dan COD masingmasing sebesar 907 mg/L dan 6000 mg/L. Nilai BOD5 dan COD menggambarkan kandungan bahan organik pada air limbah. Penyusun utama bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein) dan lemak. Selain jenis bahan organik tersebut, limbah organik juga mengandung bahan organik sintetik seperti pestisida dan surfaktan. Tingginya bahan organik pada air limbah tekstil disebabkan oleh penggunan enzim, detergen, pestisida dan zat warna sintetik pada proses produksi tekstil. Setelah dilakukan pengolahan 82 dengan kombinasi anaerob-aerob selang waktu 6 hari, nilai BOD5 turun menjadi 55,29 mg/L atau efisiensi penurunan BOD5 sebesar 93,90%. Nilai COD turun menjadi 97,13 mg/L atau efisiensi penurunan COD sebesar 98,38%. Hal ini menunjukkan bahwa penguraian bahan-bahan organik yang terdapat pada limbah tekstil menggunakan sistem kombinasi anaerob-aerob berlangsung efisien. Nilai BOD5 dan COD hasil pengolahan ini sudah berada dibawah baku mutu air yang dipersyaratkan dalam KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995. Nitrat, nitrit dan klorida yang terkandung pada limbah tekstil masing-masing sebesar 8,38 mg/L; 1,22 mg/L dan 499 mg/L. Persenyawaan nitrogen terutama nitrit bersifat toksik yaitu menyebabkan keracunan bagi tubuh. Nitrit mengoksidasi ion besi (II) menjadi besi (III) di dalam haemoglobin (Hb) dan mengubah Hb menjadi methaemoglobin (MetHb). Pada keadaan normal, darah manusia memiliki kadar haemoglobin berkisar 10-14 mg/dL. Apabila perubahan Hb menjadi MetHb mencapai 20-30% dari Hb normal, maka akan terjadi hypoxia yaitu menurunnya kadar oksigen pada darah. Diperairan tergenang, keberadaan nitrat dan nitrit bersama dengan posfat sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada perairan. Eutrofikasi mendorong terjadinya perubahan keanekaragaman dan dominansi organisme akuatik, kekeruhan meningkat dan menyebabkan terjadinya kondisi anoksik di perairan. Untuk itu, nitrat dan nitrit pada air limbah sangat perlu diminimalkan sebelum dibuang ke lingkungan. Nitrogen pada limbah tekstil berasal pemakaian enzim pada proses produksi tekstil. Air limbah tekstil setelah diolah selang waktu 6 hari konsentrasi nitrat dan nitrit turun menjadi 4,71 mg/L dan 0,33 mg/L atau efisiensi sebesar 43,80% dan 72,95%. Konsentrasi nitrat dan nitrit dalam limbah jika ditinjau KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 berada di bawah baku mutu air limbah industri. Baku mutu nitrat dan nitrit menurut KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995, adalah sebesar 30 mg/L dan 3,0 mg/L. Klorida diperlukan oleh mahluk hidup untuk pengaturan tekanan osmotik sel. Perairan yang diperuntukkan bagi keperluan domestik, termasuk air minum, pertanian dan industri sebaiknya memiliki kadar klorida lebih kecil dari 100 mg/L. Kadar klorida yang tinggi pada perairan dapat meningkatkan sifat korosivitas air sehingga mudah mengakibatkan terjadinya perkaratan peralatan yang terbuat dari logam. Sistem pengolahan limbah kombinasi anaerob-aerob proses pertumbuhan terlekat ini mampu menurunkan kandungan klorida dalam air limbah dari 499 mg/L menjadi 144,33 mg/L atau efisiensi penurunannya 71,14%. 83 4.5 Toksisitas Limbah Hasil Pengolahan Evaluasi efek toksik limbah tekstil sebelum dan setelah pengolahan menggunakan hewan uji Daphnia magna (ISO 66431). Penilaian toksisitas limbah menggunakan EC50 yaitu efek konsentrasi yang menyebabkan kematian sebesar 50% terhadap hewan uji pada waktu paparan 48 jam. Kurva hubungan dosis respon log persentase konsentrasi limbah terhadap persentase mortalitas Daphnia magna selama paparan 48 jam untuk limbah sebelum dan sesudah pengolahan disajikan pada Gambar 39 dan 40. Data selengkapnya disajikan Mortalitas Daphnia magna (%) pada Lampiran 15. 60 y = 39,863x - 33,726 R2 = 0,973 50 40 30 20 10 0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 Log % konsentrasi limbah y = 43,185x - 24,37 R2 = 0,9826 70 60 Mortalitas Daphnia magna (%) Mortalitas Daphnia magna (%) Gambar 39. Hubungan dosis respon log konsentrasi limbah (%) terhadap mortalitas Daphnia magna selama paparan 48 jam untuk limbah sebelum pengolahan 50 40 30 20 10 0 0,7 1,1 1,5 1,9 y = 23,254x - 8,5071 R2 = 0,9423 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2,3 0 1 2 3 Log konsentrasi efluen (%) Log konsentrasi efluen (%) Pengolahan tahap anaerob Pengolahan tahap aerob Gambar 40 Gambar Hubungan dosis respon log konsentrasi limbah (%) terhadap mortalitas Daphnia magna selama paparan 48 jam untuk limbah setelah pengolahan. 39 memperlihatkan kurva hubungan antara persentase pengenceran limbah dengan persentase mortalitas Daphnia magna. Regresi 84 linear dari kurva tersebut mempunyai nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,973 yang berarti 97,3% kematian Daphnia magna dapat disebabkan bahan pencemar dalam limbah. Koefisien korelasinya (r) dari persamaan tersebut adalah 0,98. Hal ini berarti terdapat hubungan linear yang kuat antara peningkatan konsentrasi bahan pencemar (limbah tekstil) dengan jumlah Daphnia magna yang mati pada lama paparan 48 jam. Nilai EC50 dari limbah tekstil sebelum diolah adalah 126%. Menurut Coleman and Qureshi (1985), jika EC50>100% berarti limbah tekstil CV. Mama & Leon, Bali masuk ke dalam katagori limbah tidak toksik. Limbah tekstil setelah diolah dalam reaktor kombinasi anaerob-aerob selama 6 hari menggunakan konsorsium bakteri terlekat pada batu vulkanik menghasilkan nilai EC50 pada pengolahan anaerob sebesar 52,74% dan 328,10% setelah pengolahan aerob (Gambar 40). Temuan ini, menunjukkan pengolahan tahap anaerob menghasilkan air limbah masuk ke dalam katagori tosksisitas sedang dan setelah pengolahan tahap aerob masuk ke dalam katagori tidak toksik. Toksisitas limbah hasil pengolahan anaerob lebih besar dibandingkan dengan limbah tekstil sebelum pengolahan kemungkinan disebabkan oleh terbentuknya senyawa amina aromatik. Namun, amina aromatik tersebut mengalami perombakan pada tahap aerob sehingga toksisitasnya menjadi hilang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil kajian-kajian tentang toksisitas perombakan zat warna azo yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Mlegoza et al.(2004), melakukan kajian toksisitas hasil perombakan zat warna azo disperse blue pada kondisi anaerob-aerob. Hasil kajiannya adalah zat warna disperse blue termasuk katagori tidak toksik tetapi setelah mengalami fase perombakan anaerob toksisitasnya meningkat menjadi 14,4 satuan toksisitas. Meningkatnya toksisitas hasil perombakan terbentuknya produk amina aromatik anaerob disebabkan oleh berupa senyawa amina 2-bromo 4,6 dinitroanilin (BDNA) dan N,N disubstitusi 1,4-diaminbenzen (NNDB) pada perombakan disperse blue. Akan tetapi, kedua senyawa amina aromatik tersebut mengalami perombakan lebih lanjut pada fase aerob sehingga toksisitasnya menjadi menurun. Frijters et al. (2006) dalam kajiannya melaporkan bahwa toksisitas hasil perombakan limbah tekstil pada fase anaerob lebih besar dibandingkan limbah aslinya. Toksisitas limbah menjadi menurun setelah memasuki fase pengolahan aerob. Shin et al. (2002), melaporkan zat warna azo 85 amaranth sebelum dan sesudah dirombak menggunakan jamur Trametes versicolor mempunyai nilai EC50 ebih besar dari 100% terhadap Vibrio fischeri selama paparan 48 jam. Hal ini berarti zat warna tersebut sebelum dan sesudah dirombak berada dalam katagori tidak toksik.