metode penalaran hukum islam dalam bahtsul

advertisement
METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL
MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN
RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN
SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA
RELEVANSINYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Najmuddin
NIM : 21111024
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama
:
Muhammad Najmuddin
NIM
:
211 11 024
Judul
:
Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul
Masail Dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin
Jetis Desa Gentan Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang,Serta Relevansinya Di
Indonesia
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian
dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Muhammad Najmuddin
NIM
: 21111024
Jurusan
: Ahwal Al Syakhshiyyah
Fakultas
:Syariah
Judul Skripsi
: METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM
BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI
PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN
JETIS DESA GENTAN KECAMATAN SUSUKAN
KABUPATEN
SEMARANG,
SERTA
RELEVANSINYA DI INDONESIA
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karyasaya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuanorang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kodeetik ilmiah.
Salatiga, 09 September 2015
Yang menyatakan,
Muhammad Najmuddin
NIM: 21111024
MOTTO
‫المحافظة على القديم الصالح واإليجاد بالجديد األصلح‬
“Melestarikan Tradisi Lama Yang Baik,
Dan Membentuk Tradisi Baru Yang Lebih Baik”
“Aktualisasi Dan Kontekstualisasi Fiqih Dalam Kitab Kuning
Dapat Menjadi Solusi Terhadap Problematika Perilaku
Manusia Yang Tidak Hanya Terbatas Pada Wilayah
Ibadah Mahdhah, Namun Juga Mencakup Aspek Ekonomi,
Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan Hidup,
Kependudukan, Politik Dan Kebudayaan”
(KH. Sahal Mahfudz)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini peneliti persembahkan untuk:
 Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,
ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta
memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual semenjak kecil
sampai saat ini. Serta dipersembahakan kepada adhek-adhek peneliti, M. Ali
Munawar Huda & Siti Uswatun hasanah yang telah dengan senang hati
membantu kakaknya menyelesaikan skripsi ini.
 Guru peneliti, Al-Marhum KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha (Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis), Al-Marhum Murobbi Ruhina
Romo KH. Baidlowi Syamsuri, Lc., dan KH. Anshor Syamsuri (Pengasuh
Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo), Al-Allamah Prof. Dr. Abdullah
Baharun (Rektor Universitas Al-Ahgaff) beserta para dosennya, Al-„Alim
Habib Salim As-Syatiri dan Ad-Da‟i Ilaallah Habib Umar Bin Khafidz selaku
guru peneliti di Tareem Hadhramaut Republik Yaman, yang telah banyak
membimbing dan melindungi peneliti dengan do‟a-do‟anya.
 Dosen-dosen di IAIN Salatiga khususnya dosen-dosen di lingkungan Fakultas
Syariah
 Rekan-rekanita PC IPNU IPPNU Kabupaten Semarang, Sahabat-sahabati
PMII Kota Salatiga, Kawan-kawan LPM Dinamika, Kanda Yunda JQH IAIN
Salatiga, serta sahabat-sahabati di organisasi lainnya yang saya ikuti.
 Seluruh santri pondok pesantren se-Indonesia yang sedang berjuang untuk
membentuk Fiqih Indonesia sebagai khazanah keilmuan Islam Nusantara.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillahi robbil‟aalamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan
atas kehadiran Allah swt yang telah memberikan taufiq sertahidayah-Nya yang
tiada terhingga, sehingga peneliti dapat menyelesaikanskripsi ini dengan judul
“Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi
Muhammad
saw,
kepada
keluarga,
sahabat-sahabatnya,
serta
parapengikutnya yang setia. Beliaulah sebagai rasul utusan Allahuntuk
membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zamanyang modern
ini. Beliau juga lah yang selalu menjadi inspirasi dalam langkah-langkah kita.
Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak,
skripsi yang peneliti susun ini dapat terselesaikan tanpa ada suatu halangan
apapun. Tentunya dalam skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan dengan
sempurna tanpabantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu
peneliti. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada:
1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah.
3.
Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusa Ahwal AlSyakhsiyyah sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan,
arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh kesabaran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
4.
Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekalipeneliti dengan
berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga,
sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsiini.
5.
Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,
ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta
memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual.
6.
Pengasuh, asatidz, alumni, kepala Pondok Pesantren, Ketua Lajnah Bahtsul
Masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinbeserta jajaran kepengurusannya
yang telahmemberikan ijin serta memberikan fasilitas dalam pelaksanaan
penelitianskripsi yang peneliti lakukan
Skripsi yang telah peneliti susun ini pastinya masih jauh dari kata
sempurna.Maka dari itu peneliti mengharapkankritik dan saran dari para pembaca
yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki skripsi di masa mendatang.
Akhirul kalam, semoga skripsi inidapat berguna bagi peneliti khususnya serta para
pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.
Salatiga, 09 September 2015
Muhammad Najmuddin
ABSRTAK
Najmuddin, Muhammad. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail
Dan Majlis Syawir DI Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa
Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya
Di Indonesia. Skripsi. Jurusan Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah.
Fakultas Syari‟ah.Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.
Kata Kunci: Ijtihad Kolektif, Bahtsul Masail, Majlis Syawir Ilhaq, Taqrir Jama‟i.
Skripsi yang penelititulis ini berusaha mengungkap problematika
minimnya orang-orang yang kompeten untuk berijtihad pada saat ini. Banyak
cendikiawan yang mencetuskan ide tentang ijtihad kolektif melalui forum ilmiah
sebagai sebuah solusi untuk menjawab problematika diatas. Salah satu metode
ijtihad kolektif yang sudah ada di Indonesia adalah metode bahtsul masail dan
majlis syawir. Pondok pesantren yang sudah melaksanakan metode bahtsul masail
adalah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. Berangkat dari hal-hal tersebut,
peneliti membahas pada empat fokus masalah dalam skripsi ini, yaitu Bagaimana
metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail? Bagaimana metode
penalaran hukum Islam dalam majlis syawir? Bagaimana metode bahtsul masail
di Pondok Pesantren tersebut? Dan bagaimana relevansi kedua metode tersebut di
Indonesia?
Melalui penelitian kualitatif, peneliti mengungkap fokus permasalahan
diatas. Dengan metode tersebut peneliti langsung melakukan observasi lapangan
untuk melihat secara langsung pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di
pondok pesantren tersebut. Selain itu, untuk menambah data peneliti juga
melakukan wawancara kepada berbagai narasumber sesuai dengan data yang kami
butuhkan. Peneliti juga menggunakan data serta dokumentasi yang ada pada
pengurus LBM untuk melengkapi data yang peneliti butuhkan. Dan untuk
menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti mengadakan analisis data
dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti buat.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa metode bahtsul masail dan
majlis syawir mempunyai kesinambungan dan keterhubungan dengan metode
ijtihad kolektif. Peneliti menemukan jawaban bahwa dalam pelaksanaan bahtsul
masail dan majlis syawir mempunyai rangkaian dan tahapan untuk dapat
menelurkan sebuah produk hukum. Selain itu, metode penetapan produk
hukumnya dibuat dalam kerangka bermadzhab sehingga hasilnya teruji dan layak
untuk disebut sebagai sebuah hasil ijtihad. Bahtsul masail dan majlis syawir
sendiri ternyata mempunyai relevansi serta kebermanfaatan yang sangat besar di
Indonesia terutama perannyadalam menjawab problematika kontemporer umat
Islam baik untuk santri, ulama maupun masyarakat, serta metode tersebut dapar
diadopsi oleh kalangan akademisi di kampus.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
i
LEMBAR BERLOGO ……..……………………………………………....
ii
NOTA PEMBIMBING …………..…..…………………………………….
iii
LEMBAR PENGESAHAN KELULUSAN………………………………..
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .…………………………………
v
MOTTO …………………………………………………………………….
vi
PERSEMBAHAN ……..…………………………………………………
vii
KATA PENGANTAR ...……………………………………………………
viii
ABSTRAK …………………………………………………………………
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………...………………………………………...
1
B. Rumusan masalah………………………………………………..
4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….......
5
D. Manfaat Penelitian .………………………………………………
5
E. Penegasan Istilah ….…………………………………………......
6
F. Tinjauan Pustaka………………………………………………...
7
G. Metodologi Penelitian …….…………………………………......
10
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ...............................................
10
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian ...............................
12
3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................
12
4. Analisis Data .............................................................................
15
5. Pengecekan Keabsahan Data ....................................................
16
6. Tahap-Tahap Penelitian ............................................................
17
H. Sistematika Penulisan .…………………………………………...
18
BAB II BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH
METODE PENALARAN HUKUM ISLAM
A. Definisi Ijtihad …………………………………………………
20
B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad …………………………….
23
C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad .………………………………
24
D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid .……………………………….
26
E. Ijtihad Kolektif .………………………………………………...
26
F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama‟ Nahdliyyin .………………….
31
G. Bahtsul Masail Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .….
32
H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…….
43
BAB III METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL
MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN
RAUDLATUT THALIBIN JETIS
A. Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin …………………
B. Profil Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren
47
Raudlatut Thalibin ………………..……………………………...
54
C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ..………………………….
64
D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail
1. Pelaksanaan Bahtsul Masail …………………………………
68
2. Tarjih Ibarat (I‟tibar) Dalam Bahtsul Masail ……..................
74
E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir
1. Pelaksanaan Majlis Syawir …………………………………..
78
2. Ilhaqul Masail Dalam Majlis Syawir ………………………...
81
F. Persamaan Dan Perbedaan Metode Penalaran
Hukum Islam
Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir
1. Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ..…….
86
2. Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ………
87
G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin
1. Produk Hukum Bahtsul Masail …………………………….
89
2. Produk Hukum Majlis Syawir ……………………………...
94
BAB IV RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI
INDONESIA
A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara ..………………………….
102
B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual ....
105
C. Sosial Problem Solving………………………………………….
109
D. Legislasi Dan Formalisasi Syariat Islam .………………………..
113
E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri …....... 119
F. Forum Penyaluran Ilmu Dari Ulama‟ dan Cebdikiawan Muslim
122
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan …….………………………………………………... 125
B. Saran ……………………………….…………………………….
127
DAFTAR PUSTAKA ..……………………………………………………….
129
GLOSARY …………………………………………………………………… 133
LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 135
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari
Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad
SAW, yakni Al Qur‟an Al Karim. Sebagai sebuah sumber hukum tertinggi dalam
syariat Islam, al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak pernah
mengalami perubahan satu huruf pun semenjak diturunkan kepada manusia.
Kemudian sumber hukum agama Islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita
kenal dengan Hadits. Sebagai sebuah sumber hukum, hadis sendiri yang pada
awalnya tidak pernah terbukukan, dan kemudian baru dikodifikasi oleh para
ulama‟ hadis setelah mengalami penyaringan yang sangat ketat.
Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama
bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Selain itu, Al-Qur‟an dan hadits juga merupakan sumber utama hukum
dan aturan yang wajib dipegang teguh oleh umat Islam. Semua hukum yang
berhubungan dengan syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan teks-teks alQur‟an dan hadist. Dalam berbagai ayat-Nya, Allah menerangkan bahwa seluruh
hukum harus meruju‟ dari al-Qur‟an dan al-Hadits.
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman banyak problematika umat
Islam yang tidak dapat dijawab secara implisit dan tidak terdapat solusinya dalam
Al Qur‟an dan Hadits. Padahal permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin
banyak dan berkembang. Umat Islam harus segera mendapatkan solusi dan
jawaban atas semua problematika tersebut. Dalam hal ini baik al-Qur‟an dan alHadist memberikan sebuah solusi yang bernama Ijtihad. Ijtihad merupakan
metode penalaran terhadap hukum yang tidak terdapat secara implisit dalam alQur‟an dan al-Hadits tetapi dapat dipahami secara eksplisit dari keduanya.
Walaupun ijtihad merupakan sebuah metode dalam pencarian hukum
Islam, bukan berarti tidak menemukan hambatan dalam pelaksanaannya. Salah
satu kendala yang timbul adalah minimnya para ulama‟ dan cendikiawan yang
berkompeten untuk melakukan ijtihad. Syarat dan ketentuan yang diharuskan ada
pada seorang mujtahid sangatlah sulit untuk ditemukan pada sosok cendikiawan
pada masa ini. Tentunya hal ini merupakan sebuah problem besar yang harus
segera dituntaskan, karena waktu terus berjalan dan problematika umat semakin
berkembang dan harus segera mendapatkan jawaban dan solusi.
Untuk menjawab problematika minimnya mujtahid tersebut, Dr. Yusuf AlQardhawi memberikan sebuah solusi melalui sebauh metode ijtihad yang dia
namakan dengan ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif adalah “metode ijtihad dimana
para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal
yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia” (Al-Qardhawi,
2000:138). Manurut al-Qardhawi, ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai
metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat
perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat
tinggi.
Ijtihad kolektif tersebut dapat dilangsungkan melalui forum atau diskusi
ilmiah yang selama ini banyak diselenggarakan oleh umat Islam di berbagai
belahan dunia. Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:369), umat Islam pada
zaman modern banyak sekali dihadapkan dengan berbagai problematika baik itu
dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah (politik
Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan
perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk
dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah
(lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum
ilmiah).
Majlis dan forum-forum ilmiah sebagai sebuah metode ijtihad kolektif
seperti yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Yusri di atas sudah banyak
diselenggarakan di Indonesia. Diantara majlis dan forum ilmiah tersebut adalah
bahtsul masail di komunitas nahdliyyin, dan masjlis tarjih di komunitas
Muhammadiyyah. Bahkan pelaksanaan forum dan majlis ilmiah yang bernama
bahtsul masail tidak hanya dilakukan oleh komunitas nahdliyyin di tingkatan
struktural, namun juga dilakukan oleh kalangan nahdliyyin di tingkatan kultural.
Pelaksanaan bahtsul masail oleh kalangan kultural dari nahdliyyin tersebut selama
ini banyak dilakukan oleh pesantren-pesantren, terutama pondok pesantren salaf
di Indonesia.
Salah satu pesantren yang melaksanakan penalaran hukum Islam melalui
ijtihad kolektif dalam forum atau majlis ilmiah adalah Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang.Pesantren ini mengaplikasikan Ijtihad kolektif tersebut ke dalam 2 buah
metode. Metode yang pertama adalah Bahtsul Masail. Dalam metode ini para
santri diberikan sebuah permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat
Islam. Kemudian para santri dituntut untuk memberikan sebuah dalil yang
bersumber dari kitab-kitab fiqh yang mempunyai illatul hukmi yang sama dengan
kasus masalah tersebut. Dalil-dalil tersebut kemudian didiskusikan oleh para
santri untuk disepakati dalil manakah yang lebih tepat atau medekati kasus hukum
diatas.
Metode yang kedua adalah Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri
mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib.
Kemudian setelah mendapatkan illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi
untuk mencari masalah-masalah hukum kontemporer apa saja yang bisa
menggunakan dalil pada teks kitab tersebut.
Dalam penerapannya, kedua metode diatas mempunyai keunggulan
masing-masing, yang mana keunggulan yang satu mengisi kelemahan metode
yang lain. Metode tersebut telah banyak menelurkan solusi hukum untuk
menjawab problematika kontemporer yang menjadi dinamika umat Islam. Kedua
metode tersebut sangatlah tepat dan relevan apabila diaplikasikan oleh para
cendikiawan baik dari kalangan santri maupun akademisi di negara Indonesia.
Metode ini juga berfungsi sebagai solusi untuk menjawab minimnya mujtahid
yang muncul pada era modern ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan
sebagai berikut
1. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Bahtsul
Masail?
2. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Majlis
Syawir?
3. Bagaimana relevansi Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Bahtsul Masail.
2.
Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Majlis Syawir.
3.
Mengetahui relevansi metode-metode tersebut dalam menjawab problematika
kontemporer umat Islam di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memberikan masukan berharga berupa konsep dan
metode penalaran hukum Islam dalam mememecahkan sebuah kasus
hukum.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi
parapeneliti di kajian hukum Islam, khususnya kajian yuridis hukum
Islam dengan tinjauan ushul fiqih.
c. Hasil
penelitian
ini
dapat
memberikan
kontribusi
ilmu
bagi
peneliti,seluruh pembaca pada umumnya, dan bagi mahasiswa Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada khususnya.
2.
Manfaat Praktis
Memberikan informasi mengenai bahtsul masail dan majlis syawir sebagai
salah satu metode ijtihad kolektif dalam menjawab dan memecahkan
problematika kontemporer umat Islam. Hal ini diharapkan mampu membantu
para mahasiswa dan para akademisi dalam mengatasi berbagaipermasalahan
umat Islam yang terjadi dengan efektif dan bermakna.
E. Penegasan Istilah
1.
Definisi Bahtsul Masail
Bahtsu dari segi bahasa berarti membahas. Sedangkan masail adalah
jama‟ dari kata mas‟alah yang berarti masalah atau problematika. Definisi
bahtsul masail secara istilah adalah “salah satu forum diskusi keagamaan
untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang
muncul dalam kehidupan masyarakat”. Melalui forum bahtsul masail, para
ulama‟, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan
tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk
memecahkan
kebuntuan
hukum
Islam
akibat
perkembangan
sosial
masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara
tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan al-Hadis, atau ada
landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas (LTN NU,
2007:XVII). Yang dimaksud bahtsul masail disini adalah forum diskusi yang
diselenggarakan oleh Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin dalam membahas serta menganalisa permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat, baik itu yang menjadi isu lokal, nasional, maupun
internasional.
2. Majlis Syawir
Majlis merupakan bahasa arab yang artinya tempat duduk.Sedangkan syawir
sendiri artinya adalah bermusyawarah. Majlis Syawir dalam terminologi yang
dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum
diamana para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah
teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dengan problematika
kontemporer yang ada.
F. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran peneliti, kajian dan hasil penelitian mengenai
bahtsul masail baik itu berupa penelitian, buku maupun yang lainnya belum lah
terlalu banyak. Diantara hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah
jurnal yang ditulis oleh Sukron Ma‟mun. Dalam jurnalnya yang berjudul “Ilhaq
Dalam Bahtsul Masail NU: Antara Ijtihad Dan Ikhtiyath” tersebut, Sukron
Ma‟mun (2011: 67) menyatakan pada penelitian yang diangkat olehnya lebih
kepada mengkaji terhadap penggunaan metode lhaq yang digunakan dalam
bahtsul masail ormas Nahdlatul Ulama‟. Ilhaq merupakan salah satu metode ushul
fiqih dalam penetapan hukum Islam. Metode ilhaq sering luput dari tinjauan para
pengkaji ushul fiqih, dan ternyata ini merupakan metode yang sering digunakan
dalam bahtsul masail yang diselenggarakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama
(NU).
Sedangkan dalam bentuk skripsi, penelitian tentang bahtsul masail pernah
dilakukan Izul Anwar, mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan
Madzhab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
skripsinya yang berjudul “Studi Perbandingan Penetapan Hukum Dalam Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama Dan Bahtsul Masail Rifa‟iyyah”, Izzul Anwar (2010:19)
meneliti tentang metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan
bahtsul masail yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Dalam skripsinya, peneliti
mengungkap tentang persamaan dan perbedaan antara metode bahtsul masail di
dalam organisasi NU dan aliran Rifa‟iyyah.
Persamaan antara metode bahtsul masail di kalangan NU dan aliran
Rifa‟iyyah adalah sama-sama menganut faham ahlussunnah wal jama‟ah. Baik
NU maupun aliran Rifa‟iyyah sama-sama mengakui dan menggunakan pendapat
para mujtahid dan para fuqaha yang tercantum dalam kitab kuning. Metode dan
prosedur yang mereka gunakan dalam penetapan hukum pun juga sama, karena
keduanya condong kepada madzhab Syafi‟yyah. Sedangkan perbedaan bahtsul
masail antara NU dan aliran Rifa‟iyyah adalah adanya dominasi dalam
penggunaan kitab-kitab aliran Rifa‟iyyah dalam penetapan hukum yang dilakukan
oleh aliran Rifa‟iyyah. Sedangkan dalam bahtsul masail NU tidak ada dominasi
dalam penggunaan kitab-kitab yang digunakan sebagai sebuah referensi kecuali
berdasarkan tingkatan mujtahid atau fuqaha‟.
Salah satu peneliti yang pernah meneliti bahtsul masail adalah Jaih
Mubarok. Jaih Mubarok (2002:179) dalam bukunya Metodologi Ijtihad Hukum
Islam mengungkapkan bahwa bahtsul masail merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan dalam NU. Dengan metode ini
keputusan bahtsul masail dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat
madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh
karena itu prosedur pengambilan hukum tersebut secara garis besar banyak
merujuk kepada pendapat individu para tokoh madzhab dalam kitab-kitab mereka.
Di kalangan bahtsul masail NU, istinbath hukum dalam bahtsul masail
merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau
pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard. Dengan
demikian tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak
memungkinkan para ulama‟ untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih
dan wajh ilhaq. Dalam hal ini pun kemudian istinbath dilakukan secara kolektif
dengan mengaplikasikan kaidah ushul dan kaidah fiqih (Mubarok, 2002:179).
Peneliti sendiri pernah melakukan penelitian secara kolektif dalam
penelitian kompetitif kolektif yang pernah diadakan STAIN Salatiga tahun 2013.
Dalam penelitian terdahulu bersama 2 peneliti lain, peneliti mengambil judul
“Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad Kolektif Dalam Menjawab Problematika
Kontemporer Umat Islam (Studi Kasus di Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin
Brabo
Tanggungharjo
Grobogan)”.
Dalam
penelitian
tersebut
peneliti
mengungkap tentang metode ijtihad kolektif dalam bahtsul masail. Ijtihad kolektif
adalah metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan
yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi
mayoritas manusia. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih
baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan,
walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi.
Di Indonesia sendiri pelaksanaan ijtihad kolektif telah sejak lama
diterapkan dalam dunia pesantren dan ormas-ormas Islam. Salah satu ormas Islam
yang melaksanakan ijtihad kolektif tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ijtihad
kolektif tersebut kemudian terkenal di Indonesia dengan istilah Bahtsul Masail.
Bahtsul Masail sebagai sebuah metode ijtihad kolektif berupaya untuk menjawab
problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat Islam. Dengan
mengadopsi metode-metode istinbat para ulama‟ salaf, para peserta bahtsul masail
berupaya menganalisis masalah dan mencarikan solusi hukumnya.
Praktek pengambilan keputusan hukum dalam NU itu kemudian diadopsi
oleh banyak pesantren yang berlatar belakang NU. Salah satu pesantren NU yang
mengadakan forum bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Sirojut Thalibin
Brabo Tanggungharjo Grobogan. Pesantren ini telah melaksanakan bahtsul masail
dalam waktu yang sangat lama. Bahkan kemudian telah menjadi tradisi sampai
sekarang. Forum ini telah banyak menelurkan solusi hukum untuk menjawab
problematika kontemporer yang menjadi dinamika masyarakat umat Islam.
Sedangkan penelitian yang sekarang ini peneliti mempunyai titik fokus
pada kajian metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin serta relevansi metode tersebut dalam menjawab problematika
kontemporer umat Islam Indonesia. Dengan kajian tersebut diungkap bagaimana
bahtsul masail di pesantren tersebut ikut memberikan sebuah peran dan solusi
dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Dan kemudian juga
diungkap bagaimana peran bahtsul masail dalam bidang pendidikan bagi para
santri, ulama‟ dan masyarakat.
Dalam perkembangannya Pesantren tersebut juga menerapkan metode
penalaran hukum Islam atau ijtihad kolektif yang lain. Metode tersebut adalah
Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri mencari sebuah illatul hukmi yang
terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib. Kemudian setelah mendapatkan
illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi untuk mencari masalah-masalah
hukum kontemporer apa saja yang bisa menggunakan dalil pada teks kitab
tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,
peneliti
akan
menggunakan
jenis
penelitian
secara
kualitatif
dan
menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Secara jelasnya peneliti paparkan sebagai berikut:
a. Penelitian Kualitatif
Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Prof. DR. Lex J.
Moleong, M.A. dari kutipan Bogdan dan Taylor (2011:4) bahwa, “metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai dengan
judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada pada latar yang
alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan
wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen
pelakasanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis.
b. Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan Ushul Fiqih
Ushul fiqh menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah “ilmu tentang
kaedah, aturan dan pembahasan yang dijadikan sarana untuk
memperoleh hukum syara‟ mengenai suatu perbuatan dan dalildalilnya secara terperinci” (Mustofa & Wahid, 2009:68). Dengan
pendekatan
secara ushul
fiqih
tersebut
maka peneliti
akan
menggunakan ushul fiqih untuk menganalisis sumber data yang
berkenaan dengan metode pengambilan hukum, sumber hukum dan
produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir.
2) Pendekatan Hermeneutika
Menurut Imam Suprayogo (2003:73), hermeneutika merupakan
metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam
memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan lainlain) sebagai sebuah fenomena sosial budaya. Fungsi dari metode
hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi
antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Tujuan spesifikasinya
adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman
dan penjelasan yang menyeluruh dan mendalam.
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian
Peneliti telah melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada
obyek kajian sehingga sudah barang tentu peneliti barada pada lapangan
bersama nara sumber yang ada. Penelitian dilaksanakan di adalah Pondok
Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang. Alasan peneliti memilih pondok pesantren tersebut untuk
dijadikan obyek penelitian adalah karena pelaksanaan bahtsul masail di
pesantren tersebut telah berjalan secara dinamis dalam jangka waktu yang
lama.
Peran
yang
diberikan
pesantren
tersebut
melalui
program
pendidikannya di bahtsul masail telah memberikan manfaat terhadap berbagai
pihak. Selain itu juga, pesantren tersebut mengagendakan majlis syawir yang
sangat jarang ada di pesantren lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik penumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh
dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:
a.
Observasi Terlibat
Observasi terlibat adalah“teknik pengumpulan data dimana
penyelidik
mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat)
terhadap gejala-gejala subyek yang sedang diteliti, baik pengematan itu
dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan di dalam
situasi yang khusus diadakan” (Surachmad, 1972:155). Disini peneliti
langsung terjun mengikuti dan berinteraksi langsung di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang. Peneliti juga secara langsung mengikuti kegiatan bahtsul
masail dan majlis syawir yang dilaksanakan di pesantren tersebut.
Peneliti sendiri juga merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan
tersebut dalam beberapa tahun. Dengan observasi terlibat ini peneliti
dapat mengetahu secara langsung proses pelaksanaan bahtsul masail dan
majlis syawir serta metode yang digunakan dalam forum tersebut.
b.
Wawancara
Wawancara
adalah
percakapan
dengan
maksud
tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moelong,
2011:186 ). Peneliti telah melakukan wawancara dengan pengasuh
pesantren dengan tujuan untuk mengetahui sejarah pesantren tersebut
serta peran bahtsul masail dan majlis syawir bagi santri dan masyarakat.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan dewan astadidz di pesantren
untuk mengetahu sejauh mana pelaksanaan dan peran mereka terhadapa
kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Kelompok ketiga yang
diwawancarai peneliti adalah pengurus pesantren. Wawancara tersebut
dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai profil dan
program kerja Lajnah Bahtsul Masail (LBM) di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis, serta pelaksanaan bahtsul masail dan majlis
syawir di pesantren tersebut. Wawancara juga dilakukan dengan alumni
pesantren untuk mengetahui manfaat metode tersebut bagi para alumni.
c. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat di lapangan pada
saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi penting apa saja
yang didapatkanpeneliti berdasarkan apa yang telah dilihat, didengar, dan
dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan tersebut. Catatan
lapangan yang peneliti tulis adalah seputar pelaksanaan kegiatan bahtsul
masail dan majlis syawir.
d. Penggunaan Dokumen
Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun film
(foto) saat pelaksanaan penelitian sabagai bukti autentik dalam membantu
penyusunan laporan penelitian setelah purna. Dokumen yang peneliti
gunakan adalah dokumentasi hasil kegaiatan kegiatan bahtsul masail dan
bahtsul masail yang pernah dilakukan oleh pesantren tersebut. Dokumen
tersebut antara lain hasil produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir,
foto-foto kegiatan, tata tertib kegiatan, hasil musyawarah LBM, dan yang
lain sebagainya.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analisa dengan
menggunakan teknik analisa data dengan cara:
a. Reduksi Data
Reduksi adalah ”proses identifikasi satuan unit” (Moleong,
2011:288). Peneliti melakukan reduksi data dengan cara mengidentifikasi
setiap data-data yang didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara
maupun observasi. Identifikasi ini dilakkan peneliti untuk lebih dapat
memahami dari setiap data yang didapatkan.
b. Kategorisasi
Kategorisasi adalah “upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam
bagian-bagian yang memiliki kesamaan” (Moleong, 2011:288). Peneliti
melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data-data yang
didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara maupun observasi.
Kategorisasi tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam
menyatukan data-data tersebut nantinya.
c. Sintesisasi
Sintetsisasi adalah“mencari kaitan antara satu kategori dengan
kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya” (Moleong,
2011:289). Data yang telah dikategorikanoleh peneliti kemudian dicari
titik temu antara yang satu dengan yang lainnya dan kemudian disatukan
ke dalam satu pembahasan yang sama sehingga dapat memberikan sebuah
penjelasan yang utuh
5. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam rangka mendapatkan informasi yang faktual dan terperinci,
maka penelitu menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diuraikan
sebagai berikut:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah“sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain” (Moleong, 2011:330). Artinya,
melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data
pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang didapatkan
peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil observasi
lapangan. Selain itu peneliti juga membandingkan antara metode yang
dilaksanakan dengan apa yang menjadi dasarnya dalam kitab kuning atau
buku panduan pelaksanaan program tersebut.
b. Uraian Rinci
Dalam teknik ini penelititelah melaporkan hasil penelitiannya
sehingga urainnya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin.
c. Auditing
Auditing adalah “proses pemeriksaan kebergantungan dan
kepastian data dalam penelitian“ (Moleong, 2011:338). Segala bentuk
informasi yang didapatkan peneliti baik berbentuk catatan ataupun data
lainnya dimanfaatkan dalam proses auditing.
6. Tahap-tahap Penelitian
Pada tahapan ini peneliti membaginya dalam tiga tahap yaitu:
a. Tahap Pra-lapangan
Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah dilengkapi oleh
peneliti, yaitu:
1.
Menyusun rancangan penelitian.
2.
Mengurus perizinan.
3.
Menjajaki dan menilai lapangan.
4.
Memilih dan memanfaatkan informan.
5.
Menyiapkan perlengkapan penelitian.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian,
yaitu:
1.
Memahami latar penelitian.
2.
Adaptasi peneliti dilapangan.
3.
Berperan serta sambil mengumpulkan data.
c. Tahap Pasca Lapangan
Pada bagian ini akan dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan
dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan. Dalam penelitian kali
ini peneliti secara langsung melakukan analisisnya dalam setiap bab tanpa
menyiakan secara khusus bab yang dilakukan untuk menganalisis. Hal ini
dilakukan karena peneliti ingin menyajikan dua pokok pembahasan dalam
babnya sendiri-sendiri.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian yang peneliti susun mencakup subtansi sebagai
berikut:
Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang :
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan Penelitian.
Bab II mengemukakan tentang Bahtsul Masail dan Majlis Syawir sebagai
metode penalaran hukum Islam. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang
Tinjauan Umum Ijtihad, Landasan Normatif Yuridis Ijtihad, Syarat Ijtihad,
Ruang Lingkup Ijtihad, Tingkatan Mujtahid, serta Bahtsul Masail dan Majlis
Syawir Sebagai Metode Ijtihad Kolektif.
Bab III menjelaskan tentang Paparan Data dan Temuan Penelitian
pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin. Yang dibahas dalam bab ini yaitu Gambaran Umum tentang Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang, Latar Belakang Pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di
pesantren tersebut, Metode Bahtsul Masail dan Majlis Syawir, dan Contoh
Produk Hukum dari kedua metode tersebut.
Bab IV menguraikan tentang relevansi metode bahtsul masail dan majlis
syawir di Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang peran bahtsul masail
dan masjllis syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin serta relevansinya
di Indonesia terutama dalam menjawab berbagai problematika kontemporer.
Selain itu juga diuraikan bagaimana metode yang digunakan oleh pondok
pesantren tersebut serta hasil dari kajian yang ada dapat diadopsi di pesantren
lain atau kalangan akademisi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Bab V adalah Penutup. Dalam bab terakhir ini adalah membahas tentang
kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang diharapkan
dapat memberikan manfaat dalam pengembangan Bahtsul Masail dan Majlis
Syawir sebagai sebuah metode ijtihad dan penutup sebagai kesempurnaan dalam
skripsi ini.
BAB II
BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH
METODE PENALARAN HUKUM ISLAM
A. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad merupakan mashdaryang berasal dari kata fiil madhiijtahada
dan fiil mudhari‟yajtahidu.Kata ijtahada merupakan fiil tsulasi mazid yang
mengikuti wazanifta‟ala dan berasal dari fiil tsulasijahada. Jahada mempunyai
arti berusaha dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan ijtihad sendiri secara
etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu kerja keras atau sungguh-sungguh,
pengetahuan mengenai hukum atau jurisprudensi, dan mencurahkan segala
kemampuan atau menanggung beban (Ali & Ahmad, 1998:27).
Adapun secara terminologi para ulama‟ banyak memberikan definisi
tentang ijtihad. Menurut al-Amidi seperti yang dikutip dalam buku Hukum Islam
Kontemporer (2009:68), ijtihad adalah “mengerahkan segenap kemampuan dalam
mencari hukum syar‟i yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa
mampu melebihi usahanya sendiri itu”. Sedangkan definisi ijtihad menurut Imam
al-Ghazali adalah “pencerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka
memperoleh hukum-hukum syar‟i” (Mustofa & Wahid, 2009:68).
Imam al-Mahalli dalam kitab Syarah Waraqat memberikan definisi ijtihad
sebagai berikut:
‫وأما االجتهاد فهو بذؿ الوسع يف بلوغ الغرض اؼبقصود من العلم ليحصل لو‬
Menurut Imam al-Mahalli, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk
mencapai sebuah tujuan yang diinginkannya dalam sebuah keilmuan tertentu yang
ingin dia dapatkan (Yusri, 2008:369).
Dari berbagai definisi ijtihad yang diberikan oleh para mujtahid maka bisa
dilihat bahwa yang menjadi konteks ijtihad adalah pencarian hukum yang
berkaitan dengan syariat Islam. Pencarian hukum tersebut harus disertai dengan
segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Sedangkan yang menjadi
obyek dari ijtihad sendiri adalah ketika permasalahan tersebut bersifat dzanny,
belum ada ketetapan pasti dari syariat Islam.
Tidak semua urusan dalam agama dibenarkan untuk menjadi obyek ijtihad.
Ada wilayah yang tidak boleh diijtihadi dan ada wilayah yang boleh diijtihadi.
Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:371), wilayah yang diperbolehkan untuk
menjadi obyek ijtihad terfokus pada dua hal, yaitu:
1.
Permasalahan yang tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali, baik itu
dalam al-Qur‟an maupun al-Hadis.
2.
Permasalahan yang disebutkan hukumnya, tetapi ada pertentangan antara satu
dalil dengan dalil yang lainnya.
Dalam permasalahan terakhir tersebut yang menjadi wilayah ijtihad hanya sebatas
menyatukan antara dalil-dalil yang bertentangan atau melakukan tarjih terhadap
salah satu dalilnya.
Imam al-Ghazali telah memberikan batasan khusus berkenaan lapangan
ijtihad, yaitu setiap hukum syara‟ yang dalilnya tidak qath‟i. Yang dimaksud
dengan qath‟i disini adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada hukum
tertentu dan tidak mengandung makana lain. Qath‟i dapat pula berarti suatu lafadz
yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehan
untuk ditakwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain,
selain ditunjukkan lafadz itu (Mustofa & Wahid, 2009:70-71).
Menurut alasan tekstual dan logis syariah historis, ijtihad perdefinisi
dibatasi pada maslah-masalah yang belum dijelaskan oleh teks al-Qur‟an dan
sunnah yang jelas dan terperinci. Selain itu, dibawah formulasi historis ushul fiqih
ijitihad tidak mungkin dilakukan, bahkan dalam masalah-masalah yang telah
disepakati melalui ijma‟. Namun Abdullah Ahmed An-Naim (2011:48)
mengungkapkan bahwa pembatasan peranan ijtihad harus dimodifikasi. Usulan ini
sebagian didukung fakta bahwa Umar, khalifah kedua dan seorang sahbat
terkemuka melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang jelas ditunjuk oleh
teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan rinci. Contohnya adalah pada kasus
khalifah tidak membagikan zakat pada golongan muallafah qulubuhum pada masa
pemerintahannya dikarenakan iman orang-orang Islam pada waktu itu telah kuat.
Dr. Ahmad Yusri membagi hukum ijtihad menjadi tiga bagian, yaitu
wajib, fardhu kifayah, dan sunnah.
1.
Ijtihad dihukumi wajib adalah ketika kemampuan dan keahlian untuk
berijtihad hanya dimiliki oleh satu orang atau hanya orang tersebut yang
dapat mengetahui terhadap sebuah permasalahan hukum. Maka bagi orang
tersebut wajib untuk mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk
mendapatkan hukum dari obyek permasalahan yang diijtihadi.
2.
Ijtihad dihukumi fardhu kifayah adalah jika pada waktu tersebut terdapat
lebih dari seorang mujtahid. Apabila salah seorang dari mujtahid tersebut
telah melakukan ijtihad, maka gugur kewajiban dari mujtahid yang lain. Akan
tetapi jika salah satu diantara mereka tidak ada yang melakukan ijtihad, maka
semua mujtahid yang ada mendapatkan dosa semuanya.
3.
Ijtihad dihukumi sunnah adalah ijtihad yang dilakukan terhadap permasalahan
yang belum terjadi, dan beberapa saat kemudian permasalahan tersebut
diperkirakan akan benar-benar terjadi. Maka hukum ijtihad yang demikian
adalah sunnah(Yusri, 2008:370-371).
B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad
Diantara landasan yangmelegitimasi adanya ijtihad adalah
1.
Surat an-Nisa‟ ayat 59


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(Depag, 1995:88).
2.
Surat an-Nisa ayat 105

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (Depag,
1995: 96).
3.
Hadis riwayat Imam Muslim (An-Nawawi, 1994:240)
‫عنعمروبنالعاصاهنسمعرسوالللهصلىاللهعليهوسلمقاإلذاحكماغباكمفاجتهدشباصابفلهاجرانوإذاح‬
.‫كمفاجتهدشباخطأفلهاجر‬
Dari Amr Ibn Ash bahwa dia mendengar dari Rasulullah Saw. Bersabda mana
kala seorang hakim menetapkan perkara dengan berijtihad, kemudian benar
maka baginya akan mendapatkan dua pahala. Dan apabila hasil ijtihadnya
salah maka mendapatkan satu pahala.
4.
Hadis riwayat Imam Tirmidzi (Al-Mubarakfury, 1990:464)
‫أنرسوالللهصلىاللهعليهوسلمبعثمعاذاإلىاليمنفقالكيفتقضي؟فقاألقضيبمافيكتاباللهقالفإنلميكنفيك‬
‫تاباهلل؟قالفبسنةرسوالللهصلىاللهعليهوسلمقالفإنلميكنفيسنةرسوالللهصلىاللهعليهوسلم؟قاألجتهد‬
‫رأييقاالغبمدللهالذيوفقرسولرسوالللهصلىاللهعليهوسلم‬
Bahwasanya Rasulullah Saw. Mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke
Yaman. Maka beliau bersabda “bagaimana engkau menghukumi sesuatu?”,
Muadz menjawab “saya akan menghukumi dengan apa yang terdapat dalam
Kitabullah”. Nabi bersabda “apabila tidak terdapat dalam Kitabullah?”,
Muadz menjawab “maka saya akan menghukumi dengan sunnah Rasulullah”.
Beliau bersabda “apabila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”, Muadz
menjawab “saya akan berijtihad dengan fikiran saya”. Kemudian nabi
bersabda “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasulullah”.
C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad
Para ulama dalam menetapkan syarat-syarat kebolehan melakukan ijtihad
tidaklah sependapat. Sekalipun demikian dapatlah ditetapkan bahwa syarat-syarat
umum untuk melakukan ijtihad itu antara lain:
1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dengan segala seginya.
2. Mengetahui dengan baik isi al-Qur‟an dan hadis
3. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma‟ ulama‟
sebelumnya.
4. Mengetahui ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqhiyyah, maqashid syariah dan
rahasia-rahasia syara‟.
5. Mujtahid memiliki sifat jujur, adil, dan berahlak terpuji.
6. Mujtahid mempunyai niat yang suci dan benar (Salam & Fathurohman:
1994:102-103).
Selain pada syarat umum diatas, al-Qardhawi juga memberikan beberapa
aturan dan ketentuan pokok yang merupakan kode etik dalam ijtihad kontemporer.
Adapun aturan dan ketentaun pokok tersebut yaitu:
1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.
2. Tidak ada ijtihad dalam permasalahan qath‟i.
3. Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath‟i.
4. Menghubungkan antara fiqih dan hadis.
5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita.
6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat.
7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya.
8. Transformasi menuju ijitihad kolektif (jama‟i).
9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan Mujtahid (Al-Qardhawi, 2000:131138).
D. Tingkatan-TingkatanMujtahid
Menurut Abu Zahrah, para ulama‟ ushul fiqh membagi fuqaha‟ menjadi
tujuh tingkatan.Empat diantaranya sebagai mujtahidin dan sisanya sebagai
muqallidin. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
1.
Mujtahid Mustaqil, yaitu mereka yang wajib mempunyai syarat-syarat yang
lengkap sebagai seorang mujtahid. Merekalah yang secara langsung menggali
hukum dari al-Qur‟an dan al-Hadis, serta mengqiyaskan, memberikan fatwa
dan yang lainnya. Yang termasuk ke dalam tingkatan ini adalah imam 4
madzhab.
2.
MujtahidMuntasib, yaitu mereka yang mengikuti Imamnya dalam hal-hal
ushul (pokok), dan berbeda dengan Imamnya dalam hal furu‟. Yang termasuk
dalam tingkatan ini adalah seperti Abu Yusuf dalam mahdzhab Abu Hanifah
dan Al-Muzanni dalam madzhab Imam Syafi‟i.
3.
MujtahidMadzhab, yaitu mereka yang mengikuti dan sepakat dengan Imam
baik dalam hal ushul maupun dengan furu‟.
4.
MujtahidMurjih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dalam
masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka hanyalah mentarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan dalam madzhab mereka
(Depag, 1986: 143-144).
E. Ijtihad Kolektif
Ijtihad kolektif menurut al-Qardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad
dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi,
terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas
manusia”.
Ijtihad
kolektif
merupakan
sebuah
solusi
untuk
menyikapi
problematika minimnya Mujtahid. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai
metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat
perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat
tinggi.
Al-Qardhawi (2000:24) mengatakan bahwa dewasa ini ada dua macam
ijtihad yang diperlukan oleh umat Islam. Kedua macam ijtihad tersebut adalah:
1.
Ijtihad Intiqa‟i, yaitu “memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat
terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa
dengan keputusan hukum”. Dalam ijtihad ini dilakukan suatu studi
komparatif terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab fiqih dan meneliti
dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat
tersebut, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat
dalilnya sesuai dengan kaidah tarjih. Contoh hasil ijthad menggunakan
metode ini adalah orang yang dipaksa membunuh maka hukumnya juga
sepadan dengan orang yang memaksanya.
2.
Ijtihad Insya‟i, yaitu “pengambilan konklusi hukum baru dari suatu
persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama‟ulama‟ terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru”. Sebagian besar
ijtihad ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan
diketahui oleh ulama terdahulu dan belum pernah terjadi pada masa mereka.
Contoh hasil ijthad menggunakan metode ini adalah diperbolehkannya
berfoto, yang mana hukumnya berbeda dengan melukis karena berfoto
merupakan refleksi bayangan diri pada kertas, sedangkan melukis adalah
menyerupai hukum Allah (Al-Qardhawi, 2000:43).
Al-Qardhawi menambahkan bahwa pada masa modern ini memungkinkan
untuk memunculkan ijtihad baru yang merupakan integrasi antara ijtihad intiqa‟i
dan ijtihad insya‟i. Integrasi tersebut adalah dengan cara memilih berbagai
pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih rerlevan dan kuat, kemudian
dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru. Contoh dari model
hasil ijtihad ini adalah seperti hasil fatwa Lajnah Fatwa Kuwait tentang
permasalahan aborsi (Al-Qardhawi, 2000:47).
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam aplikasinya ijtihadjama‟i meliputi
dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan
baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, al-Sunnah, dan pembahasan ulamaulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru
(al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak
membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu.
Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah
yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi
karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap
lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat
dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.
Hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah (rukun islam dan rukun iman) jelas
tidak mengalami perubahan signifikan. Paling hanya sentuhan kemanusiaannya
yang perlu dipertegas. Misalnya muncul ide zakat profesi demi menegakkan
keadilan dan kemaslahatan kolektif. Namun, untuk masalah sosial yang multi
dimensional, semisal inovasi teknologi, perdagangan bebas, politik internasional,
agresi militrr AS ke dan Iraq, pengembangan Nuklir Iran, kejahatan internasional,
inovasi kedokteran, informasi dunia, kemajuan pesat ilmu pengetahuan,
munculnya pikiran-pikiran baru yang lebih progresif-dinamis, serta munculnya
aliran keagamaan baru yang menghebohkan, membutuhkan jawaban yang
memadai dari ulama-ulama kita (Asmani, 2007:269).
Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan
ijtihad jama‟i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama‟i, yaitu
“upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara
beberapa qaul/wajah”. Selain itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha,
yaitu “menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh
kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab” (LTN NU,
2007:446).
Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek
hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian
pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang
lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif
dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara
jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang
terlupakan, dan ini merupakan berkat dari musyawarah. Diantara produk kolektif
adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha yang
dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu.
Dasar tentang ijtihad kolektif adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya
kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada
sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur‟an dan
hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan
perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum
Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini
menurut pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad
kolektif (Al-Qardhawi, 2000:139).
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu
perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis, maka
beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka
untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu
disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu
pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur‟an dan
hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau
mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk
diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati,
maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut.
Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan)
dan tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab yang menerangi jalan menuju
kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap
mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan,
maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma‟
maupun pendapat mayoritas.Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil
ijtihad individu ini dapat berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara
kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan
dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap
keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses
ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap
hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita
ketahui(Al-Qardhawi, 2000:139).
F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama‟ nahdliyyin bukan
mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan alHadis. Akan tetepi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara
dinamis nash-nash fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung
kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu
penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara
itu istinbath dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh
semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab
fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27).
Menurut Jaih Mubarak, secara garis besar pengambilan keputusan hukum
Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu:
1.
Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa
qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama‟i untuk
menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat.
Dan metode ini juga
mempunyai prosedur tersendiri.
2.
Ilhaqul Masail Binadzairiha(‫)إغباؽ اؼبسائل بنظائرىا‬, yaitu mempersamakan hukum
suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama‟ terhadap masalah atau
kasus serupa yang telah dijawab oleh ulama‟ lain. Dengan kata lain, pendapat
ulama‟ yang sudah jadi menjadi ushul atau pokok, dan kasus atau masalah
yang belum ada hukumnya disebut furu‟ atau cabang. Metode ini merupakan
salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad.
3.
Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila
suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab
standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat
dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada
mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama‟i (kolektif)
dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih (Mubarak, 2002:179181).
Kalimat istinbath di kalangan nahdliyyim terutama dalam kerja bahtsul
masail Syuriyah tidak lah populer. Kalimat itulebih populer di kalangan ulama
nahdliyyin dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama‟
syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul
masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi‟iyyah melalui referensi
(maraji‟) kutub fuqaha‟.
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak
berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian
hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam
beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain
mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut,
tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai
dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan
tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28).
Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu
hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama
sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai
kompendium,yurisprudensi fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri
sendiri karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan
hukum fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan
hukum agama (Mahfudz, 1994:21).
Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi hal-hal
yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaedahkaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih.
Belum lagi ilmu-ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis serta ilmu-ilmu bahasa arab yang
semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat
keputusan hukum .
Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya
memungkinkan
dikembangkan
secara
kontekstual,
sehingga
tidak
akan
ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak.
Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat
terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu
sendiri. Atau minimal kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang
belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang
berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat
bagaimana bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau
komponen Islam yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan
zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan
benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.
Fiqih yang dipahami ulama nahdliyyin dalam pengertian terminologis
adalah sebagai ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan
dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil
tafshili adalah fiqih yang diletakkanoleh para perintisnya (mujtahidin) pada dasar
pembentukannya; al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam pembentukannya
fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat
dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari
konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbabun nuzul bagi ayat al-
Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan muktamar
nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas oleh
syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga permasalahan dapat
menjadi lebih jelas. Dengan demikian maka kepastian hukum bisa diputuskan
secara terpadu dengan melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting
artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah
fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.
Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan
keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila
diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama‟ (meskipun bukan
peserta forum bahtsul masail syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari
salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka
keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan
antara ulama‟ senior maupun junior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara
kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah
benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan latar
belakangnya (Mahfudz, 1994:37).
Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) diatas
memang memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan
demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid.
Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan
kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara
hal-hal yang konstektual.
Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki
kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam
persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam mekamisme penggalian
hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim
yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah
kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah
sama juga (Mahfudz, 1994:45).
G. Bahtsul MasailSebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif
Bathsul masailmerupakan gabungan kata yang berasal dari dua kata, yaitu
bathsudan masail. Bahtsu merupakan mashdar
yang berasal dari fiil
madhibahatsadan fiil mudhari yabhatsu. Bahtsu sendiri dalam kamus al-„Asyri
mempunyai banyak arti, yaitu penelitian, pembahasan, pencarian, riset, diskusi,
dan eksplorasi (Ali & Ahmad, 1998:301). Sedangkan masailmerupakan bentuk
jamak dan mufrodnya adalah mas‟alah. Masail sendiri mempunyai beberapa arti,
yaitu pertanyaan, persoalan, isu, problematika, perkara dan kejadian (Ali &
Ahmad, 1998:1705). Dengan demikian maka bahstul masail secara bahasa dapat
diartikan sebagai pembahasan atau penelitianan akan sebuahpersoalan atau
problematika.
Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologokan
dalam sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah“salah
satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas
problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”(LTN NU,
2007:XVII).Dari definisi tersebut maka bisa difahami bahwa yang dinamakan
bahtsul masail haruslah sebuah forum diskusi yang disitu setidaknya terdapat tiga
orang atau lebih. Kemudian yang menjadi obyek diskusi adalah permasalahan
keagamaan yang sedang berkembang dimasyarakat dan harus segera direspon dan
dicarikan solusinya.
Bahtsul masail dapat disebut sebagai salah satu metode ijtihad kolektif
karena dalam forum atau lembaga tersebut para ulama‟, cendikiawan dan santri
selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan
berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum islam akibat
perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas.
Sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan alHadis, atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas.
Kompetensi para ulama‟, santri dan cendikiawan yang mengikuti bahtsul masail
diharapkan
dapat
menemukan
sebuah
solusi
dan
pemecahan
terhadap
problematika umat Islam.
Forum bahtsul masail seperti diataslah yang menurut Dr. Muhammad
Yusri juga bisa dikatakan sebagai sebuah kerangka berijtihad. Menurut Dr.
Muhammad Yusri, umat Islam pada zaman modern banyak sekali dihadapkan
berbagai problematika baik itu dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam
siyasah
syar‟iyyah(politik
Islam).
Problematika-problematika
tersebut
menurutnya harus mendapatkan perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan
hukum dan solusinya. Termasuk dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah
melalui al-majalis al-ilmiyyah (lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-
majami‟ al-ilmiah (forum-forum ilmiah). Lembaga dan forum yang dibuat oleh
umat Islam yang tersebar di seluruh dunia ini dapat memerankan peran berijtihad
dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam.
Pelembagaan ijtihad dengan melalui lembaga dan forum ilmiah menurut
Dr. Muhammad Yusri adalah fardhu kifayah. Maka dengan adanya forum dan
lembaga tersebut dapat menggugurkan kewajiban berijtihad bagi mujtahid
lainnya. Melalui forum dan lembaga tersebut berbagai persoalan dan problematika
yang dihadapi masyarakat dapat dicarikan hukum dan solusinya, karena
menemukan jawaban hukum dan solusi merupakan kewajiban bagi umat Islam.
Maka dengan demikian bahtsul masail sebagai sebuah forum ilmiah dapat
berperan sebagai sebuah lembaga ijtihad yang berfungsi untuk menjawab
problematika kontemporer umat Islam (Yusri, 2008:369).
Bathsul masail merupakan aktivitas yang lekat dengan pondok pesantren
dan kalangan nahdliyyin. Hampir seluruh pondok pesantren salaf di Jawa,
Madura, dan Sumatera memasukkan bathsul masail sebagai kegiatan rutinnya.
Demikian pula kalangan nahdliyyin mempunyai agenda khusus untuk kegiatan
bathsul masail. Dalam komunitas nahdliiyin, bathsul masail merupakan forum
tertinggi untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan (LBM Sirojut Tholibin,
2013:2).
Sistem bathsul masail mempunyai corak yang beragam. Secara garis besar
di kalangan nahdliyyin terdapat tiga macam model bathsul masail :
1. Bathsul masail model Pesantren yang lebih menonjolkan semangati‟tirodl,
yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-Kutub al-Mu‟tabaroh.
Dalam hal ini peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain
dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan
tim perumus.
2. Bathsul masail model organisasi Nahdlatul Ulama, dalam hal ini lebih
menonjolkan porsi i‟tirodl, yaitu penampungan aspirasi jawabansebanyak
mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusandiserahkan kepada tim perumus.
Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya.
3. Bathsul masail kontemporer, yaitu bathsul mas‟il yang dimodifikasi mirip
model simposium. Dimana sebagian peserta yang dianggap mampu diminta
menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan,dalam
bentuk makalah. Bathsul masailmodel seperti ini kurang begitu diminati oleh
kalangan pesantren, karena kesempatan untukmemberikan tanggapan dan
sanggahan lebih mendalam sangatlah terbatas (Sa‟id, 2006:60-61).
Dalam kegiatan bahtsul masail terdiri dari beberapa unsur, yaitu
moderator,peserta, dewan mushohih, dewan perumus (muharrir), dewan notulen
(katib), dan tentunya adanya Panitia. Dari setiap unsur-unsur tersebut mempunyai
tugas, kewajiban dan larangan sendiri-sendiri. Tugas, kewajiban dan larangan
tersebut menurut M. Ridlwan Qayyum Sa‟id (2006:61-63) adalah:
1.
Moderator
Moderator mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, yaitu:
a.
memimpin, menjaga ketertiban, mengatur dan membagi waktu.
b.
Memberi izin, menerima usul dan pendapat musyawirin.
c.
Meminta nara sumber untuk menjelaskan dan menggambarkan masalah
sesuai permintaan peserta.
d.
Menunjuk peserta untuk menjawab masalah.
e.
Meminta peserta yang pendapatnya tidak sama untuk menanggapi
pendapat lain dengan mencari kelemahan ibarat-nya.
f.
Meminta
peserta
yang
pendapatnya
tidak
sama
untuk
menanggapipendapat lain dengan mencari kelemahan jawaban dan
kelemahan ibarat-nya.
g.
Meluruskan pembicaraan yang menyimpang dari pembahasan.
h.
Membacakan kesimpulan jawaban yang telah disepakati oleh tim
perumus untuk kemudian ditawarkan lagi pada para peserta.
i.
Mengetuk tiga kali bila masalah dianggap selesai dan memohon kepada
musohhih untuk memimpin pembacaan surat al-Fatihah bersama sebagai
simbol pengesahan.
j.
Dalam keadaan dlorurot, moderator dapat menunjukkan salah satu
peserta untuk menggantikannya.
k.
Bisa menggambarkan kronologi dan duduk permasalahanyang akan di
bahas.
l.
Tenang dan netral
m. Tegas dan sopan kepada mubahitsin, perumus maupun mushohih.
Seorang Moderator juga mempunyai beberapa larangan, diantaranya :
a.
Ikut berpendapat
2.
b.
Memihak atau tidak obyektif
c.
Mengintimidasi peserta
Muharrir (Perumus)
Tim perumus (dewan muharrir) mempunyai beberapa tugas, yaitu:
a.
Meneliti jawaban-jawaban dan ta‟bir yang masuk.
b.
Memilih ta‟bir yang masuk sesuai permasalahan yang dibahas.
c.
Meluruskan jawaban yang dianggap menyimpang.
d.
Memberikan rumusan jawaban dan ta‟bir-ta‟bir pendukung.
e.
Mengikuti jalannya acara bathsul masail.
Tim perumus juga mempunyai beberapa larangan, diantaranya adalah :
a.
Memaksakan jawaban tanpa ada ta‟bir dari peserta.
b.
Berbicara sebelum ditunjuk moderator.
c.
Berbicara diluar materi pembahasan.
d.
Mengganggu konsentrasi peserta, seperti tidur, guyonan
atau
bersikap
emosional.
e.
3.
Pulang sebelum waktunya tanpa seizin moderator.
Mushohih
Tugas tim mushohihadalah:
a.
Mengikuti jalannya acara bahtsul masail.
b.
Memberikan pengarahan dan nasehat kepada peserta dan tim perumus.
c.
Mempertimbangkan dan mentashihatau mengesahkan keputusan bahtsul
masail dengan bacaan surat al-Fatihah
Larangan-larangan bagimushohih adalah:
a. Membaca suratal-Fatihah sebagai bentuk pengesahan sebelum ada
kesepakatan.
b. Pulang sebelum waktunya kecuali ada uzdur (halangan).
4.
Peserta
Peserta bahtsul masail mempunyai tugas dan kewajiban, yaitu:
a.
Menempati arena yang tersedia sepuluh menit sebelum acara di mulai.
b.
Menjawab masalah dan menyampaikan ibaratnya setelah diberi waktu
oleh moderator.
c.
Berbicara dan menjawab masalah dengan menyampaikanibarat-nya
setelah diberi waktu oleh moderator.
d.
Menyampaikan teks atau ibarat-nya kepada tim perumus.
e.
Menghormati dan menghargai peserta lain.
Larangan-larangan bagi peserta adalah:
a.
Keluar dari forum bahtsul masail tanpa siizin moderator.
b.
Membuat gaduh dalam forum bahtsul masail.
c.
Berselisih pendapat dengan teman sedelegasi.
d.
Berbicara tanpa melalui moderator atau debat kusir.
Hak suara bagi peserta adalah:
a. Peserta dapat menolak pendapat atau jawaban peserta lain dengan
melalui moderator.
b. Peserta
berhak mengajukan usulan, tanggapan dan argumentasinya
melalui mederator.
c. Peserta berhak memberikan koreksi terhadap rumusan pengurus.
Sedangkan pengambilan keputusan dalam bahtsul masail adalah jawaban
masalah dianggap putus dan sah apabila mendapat persetujuan mubahitsin,
perumus dan mushohih dengan cara mufakat. Sedangkan masalah dianggap
mauquf apabila dalam satu waktu tertentu tidak bisa di selesaikan dan semua
mubahitsin, perumus, dan mushohih tidak berkenan melanjutkan. Sedangkan
apabila
ada
dua
pendapat
yang
bertentangan,
makadiserahkankepada
kebijaksanaan moderator atas restu tim perumus dan mushohih. Segala putusan
yang telah ditetapkan dalam forum bahtsul masail dianggap sah dan tidak bisa
diganggugugat kecuali melalui forum yang sama atau lebih tinggi (Sa‟id,
2006:64).
H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif
Majlis syawir merupakan gabungan dari dua kata, yaitu majlis dan syawir.
Majlis merupakan kata isim makan (yang menunjukkan arti tempat) dan masdhar
miim yang berasal dari kata dasar fiil madhi jalasa dan fiil mudhari yajlisu .
Majlis mempunyai beberapa arti, yaitu tempat duduk, dewan, lembaga,
pengadilan, mahkamah, rapat dan pertemuan (Ali & Ahmad, 1998:1634).
Sedangkan syawir sendiri merupakan masdhar yang berasal dari fiil madhi
syawara dan fiil mudhari‟ yusywiru. Syawir mempunyai arti sama denga
musyawarah, yaitu permusyawaratab, diskusi, tukar pikiran dan konsultasi (Ali
&Ahmad, 1998:483). Dengan demikian maka majlis syawirsecara bahasa dapat
diartikan sebagai sebuah lembaga atau pertemuan untuk berdiskusi dan bertukar
fikiran.
Majlis Syawir dalam terminologi yang dibuat oleh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum dimana para santri mencari sebuah
illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul
qaribdankemudian mencocokkan dengan problematika kontemporer yang ada.
Dalam majlis syawir,qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab fathul qarib dengan
metode bacaan makna gandul pesantren yang tetap memperhatikan kaedah
nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian akan dijelaskan oleh qari‟
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan yang diberikan oleh qari‟ ini
adalah penggambaran mengenai permasalahan yang dimaksudkan dari ibarat
yang dibaca, dan dipraktekkan apabila memang diperlukan. Kemudian setelah itu
dilakukan pencarian illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum. illatul
hukmi dan wajhul ilhaq inilah yang berperan dalam memberikan gambaran
tentang permasalahan apa saja yang memungkinkan untuk dijawab dengan
mempergunakan hukum dari ibarat tersebut. Hal diatas merupakan penjelasan
yang diberikan oleh M. Syaifullah Khuzain, mantan ketua Lajnah Bahtsul Masail
(LBM) Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.
Majlis syawir menggunakan sistem musyawarah atau diskusi yang banyak
dilakukan di berbagai pesantren salaf. Sistem musyawarah tersebut dipimpin oleh
seorang moderator dan didampingi seorang katib atau qari‟. Tugas dan wewenang
dari moderator sama seperti tugas dan wewenangnya dalam bahtsul masail.
Kemudian yang menjadi materi musyawarah adalah kitab-kitab yang sudah
ditentukan dan disesuaikan dengan kemampuan peserta, seperti Fathul Wahab,
Fathul Mu‟in, dan Fathul Qarib. Kegiatan musyawarah tersebut juga diawasi oleh
seorang pengajar yang ditunjuk oleh pengurus pondok pesantren. Jika kemudian
ditemukan permasalahan yang mauquf maka akan ditindak lanjuti dalam forum
bahstul masail (Sa‟id, 2006:59).
Forum majlis syawir seperti diataslah yang mempunyai kemiripan dengan
bahtsul masail dalam metode pengambilan hukumnya. Menurut Dr. Muhammad
Yusri, forum seperti itu bisa dikatakan sebagai sebuah kerangka berijtihad.
Menurut Dr. Muhammad Yusri, umat Islam pada zaman modern banyak sekali
menemui berbagai problematika baik itu dalam masalah ibadah, mu'amalat,
maupun dalam siyasah syar‟iyyah(politik Islam). Problematika-problematika
tersebut menurutnya harus mendapatkan perhatian dari mujtahid dengan cara
mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk dalam cara pencarian hukum dan
solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah (lembaga-lembaga kelimuan yang
ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum ilmiah). Lembaga dan forum yang
dibuat oleh umat Islam yang tersebar di seluruh dunia ini dapat memerankan
peran berijtihad dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam.
Pelembagaan ijtihad dengan melalui lembaga dan forum ilmiah menurut
Dr. Muhammad Yusri adalah fardhu kifayah. Maka dengan adanya forum dan
lemabaga tersebut dapat menggugurkan kewajiban berijtihad bagi mujtahid
lainnya. Melalui forum dan lembaga tersebut berbagai persoalan dan problematika
yang dihadapi masyarakat dapat dicarikan hukum dan solusinya, karena
menemukan jawaban hukum dan solusi merupakan kewajiban bagi umat Islam.
Maka dengan demikian majlis syawir sebagai sebuah forum ilmiah dapat berperan
sebagai sebuah lembaga ijtihad yang berfungsi untuk menjawab problematika
kontemporer umat Islam (Yusri, 2008:369).
BAB III
METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL
DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN
RAUDLATUT THALIBIN JETIS
A. Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin merupakan sebuah pesantren yang
telah berumur lebih dari setengah abad. Seperti yang dikemukakan oleh Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015), pesantren
ini didirikan oleh kakek beliau yang bernama KH. Danusyiri. KH. Danusyiri
sendiri pada mulanya adalah seorang pendatang di dusun Jetis. Beliau adalah
putra dari KH. Muhammad Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda Petak
yang masih berada di Kecamatan Susukan. Jika dirunut dari silsilah keturunan,
KH. Muhammad Rozi merupakan keturunan dari Mbah Mlangi, salah seorang
ulama‟ yang menjadi tangan kanan Pangeran Diponegoro. Mbah Mlangi yang
mempunyai nama asli Kiyai Nur Iman ini dimakamkan di Mlangi, Sleman,
Yogyakarta.
Danusyiri kecil dilahirkan di Desa Petak Desa Sidoarjo Kecamatan
Susukan. Nama kecil beliau adalah Ahmad Basuni. Ketika berhaji ke Makkah
kemudian nama beliau diganti dengan Danusyiri. Danusyiri memulai thalabul
ilmi-nya dengan kedua orang tuanya. Dari orang tuanya, Danusyiri kecil belajar
berbagai macam-macam ilmu pesantren, seperti nahwu, fiqih, aqidah, tarikh dan
lain sebagainya. Setelah kenyang menyerap ilmu dari orang tuanya, maka
Danusyiri melanjutkan pencarian ilmunya dengan menjadi santri di Tegal,
Grabagan yang diasuh Mbah Kiyai Hisyam. Di pesantren tersebut Danusyiri
tinggal selama beberapa tahun. Selain ke Tegal Grabagan, KH. Danusyiri juga
pernah mengenyam pendidikan pesantren di Desa Plumbon Kecamatan Suruh,
yang diasuh oleh KH. Hasyim.
Setelah menamatkan pendidikan di pesantren KH. Hasyim, kemudian
Danusyiri melakukan tuntunan sunnah rasul yaitu dengan mempersunting Nyai
Fathimah, putri dari seorang tohoh Masyarakat di Babadan Tengaran. Dari
pernikahan tersebut KH. Danusyiri dikaruniai 4 putra dan 4 putri. Karena tuntutan
dakwah dan permintaan Lurah Desa Gentan, pada tahun 1943 Danusyiri hijrah
dari dusun Petak ke Jetis. Dusun Jetis merupakan salah satu dusun yang masih
dalam wilayah kecamatan Susukan yang berjarak + 1,5 kilometer dari Petak.
Kiyai Rozi menambahkan, selain aktif berdakwah KH. Danusyiri juga ikut
berjuang melawan penjajahan Belanda, baik pada masa agresi Belanda ke I, masa
Pendudukan Jepang dan agresi Belanda ke II. Sewaktu masih berada di Petak,
KH. Danusyiri sudah menjadi komandan perang yang memimpin para gerilyawan
baik yang terdiri dari unsur santri maupun masyarakat desa. Karena perlawanan
yang sangat begitu hebat menyebabkan pasukan Belanda marah dan melakukan
pengeboman terhadap Masjid Petak yang pada saat itu dijadikan sebagai markas
pejuang kemerdekaan dari kecamatan Susukan dan sekitarnya. Ketika Danusyiri
sudah bertempat tinggal, pasukan penjajah juga menjadikan dusun Jetis sebagai
obyek serangannya. Hal tersebut menyebabkan KH. Danusyiri beserta keluarga
dan para santrinya mengungsi ke desa Karang Kepoh di wilayah kabupaten
Boyolali Kota.
Setelah dirasa cukup aman, KH. Danusyiri beserta para keluarga dan
santrinya kembali ke dusun Jetis. Kedatangannya ke dusun Jetis untuk kedua
kalinya beliau gunakan untuk memulai menata kembali pesantren yang pernah
dirintisnya. Pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin hanya lah sebuah
surau atau masjid kampung biasa. Tetapi lambat laun semakin banyak santri yang
ingin bermukim disitu. Melihat kondisi tersebut maka KH. Danusyiri memulai
membangun pesanten yang berada disebelah masjid tersebut. Pesantren yang
dibangun pertama kali tersebut juga merupakan sebuah bangunan sederhana yang
terbuat dari papan kayu.
Setelah KH. Danusyiri wafat pada tahun 1964, kepemimpinan pondok
pesantren kemudian diteruskan oleh salah seorang putranya yang bernama Dzofari
atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Muhammad Toha. Nama yang
terakhir ini menurut Kiyai Rozi Toha merupakan nama yang beliau dapatkan
ketika berhaji ke Makkah. Sebagai salah seorang dari keluarga pesantren, Toha
mulai menimba ilmu dari orangtuanya semenjak kecil. Dibawah asuhan kedua
orangtuanya, Toha kecil mulai mendapatkan dasar-dasar pendidikan agama Islam.
Selain itu Toha kecil juga menyenyam pendidikan di salah satu pesantren di
Punduh Kabupaten Magelang.
Kiyai Rozi Toha menambahkan, setelah menginjak dewasa ayahnya
kemudian diambil menjadi menantu oleh seorang kiyai yang masih terhitung
pamannya sendiri, yaitu KH. Jufri. KH. Jufri merupakan putra dari KH. Abdul
Djalil yang merupakan menantu dari KH. M. Rozi yang juga kakek dari KH. M.
Toha. Dari pernikahan tersebut, KH. M. Toha dikaruniai 5 orang putra putri.
Selain menjadi seorang Kiyai, KH. Muhammad Toha juga pernah
berprofesi menajadi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Susukan.
Beliau adalah seorang ulama‟ yang wawasannya sangat luas dan paham dengan
persoalan pemerintahan. Pada masa kepemimpinan beliau inilah Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin yang pada mulanya hanya mempunyai bangunan
untuk asrama putra, kemudian juga dibangun untuk asrama putri. Pada mulanya
santri putri masih bermukim di rumah KH. Toha, baru kemudian tahun 1986
dibuatkan lah asrama tersendiri yang permanen.
Setelah beliau wafat pada tahun 1982, estafet kepimpinanan pesantren
diteruskan oleh dua orang putranya, yaitu KH. Mubarok Toha dan KH. Anis
Toha. KH. Mubarok Toha merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad
Solo dan UNU Jakarta. Beliau pernah berprofesi menjadi guru, dan menjadi
anggota DPRD Kabupaten Semarang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Bersama dengan saudara-saudaranya, KH. Mubarok Toha ikut membesarkan PPP
di wilayah Kabupaten Semarang pada masa Orde Baru. Akan tetapi setelah terjadi
prahara nasional dengan diturunkannya KH. Abdurrahman Wahid dari posisinya
sebagai Presiden, keluarga pesantren ini sepakat untuk uzlah (mengasingkan diri)
dari dunia perpolitikan dan kembali konsentrasi ke dunia dakwah dan pendidikan
pesantren.
Dibantu dengan saudara-saudaranya, yaitu KH. Anis Toha, K. Huda Toha,
K. Rozi Toha dan keponakannya K. Ulin Nuha, KH. Mubarok Toha berusaha
untuk mengembangkan lagi pesantrennya agar dapat menjawab tuntutan zaman.
Pada masa beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Pesantren yang pada mulanya hanya mempunyai satu
komplek, kemudian karena bertambahnya para santri maka dibangun lagi
komplek yang kedua dan ketiga. Komplek kedua Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin atau kemudian yang lebih dikenal dengan istilah PPRT II masih berada
satu dusun dengan komplek pertama atau yang kemudian lebih dikenal dengan
PPRT I atau PPRT induk. Jarak antara keduanya + 400 meter. PPRT II diasuh
oleh KH. Anis Toha, yang merupakan putera kedua dari KH. Toha. Sedangkan
komplek yang ketiga atau yang kemudian dikenal dengan PPRT III berada di
dusun yang berbeda dengan PPRT I dan II. PPRT III berada di dusun Gumuk
yang masih berada dalam wilayah Desa Gentan, yang berjarak + 700 meter dari
PPRT Induk. PPRT III diasuh oleh K. Munawari Al-Hafidz, salah satu alumni
dari PPRT Induk dan pernah menjadi santri yang langsung berguru kepada KH.
M. Toha.
Menurut Kiyai Ulin Nuha (09 Mei 2015), pada mulanya Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin
merupakan pesantren yang mempunyai konsentrasi pada
pendalaman kitab kuning. Untuk memenuhi tuntutan zaman, maka kemudian
didirikanlah lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtida‟iyyah (MI) yang
berada dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nahdlatul Ulama‟. Setelah
itu juga didirikan Madrasah Diniyah Tingkat Wustho (MDW) dan Madrasah
Diniyah Tingkat Ulya (MDU) yang ijazahnya disetarakan dengan SMP untuk
tingkat wustho dan SMA untuk tingkat ulya. Madrasah tersebut saat ini dipimpin
oleh K. Ulin Nuha. Selain itu, beberapa tahun kemudian juga didirikan Madrasah
Diniyah Awaliyah, yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang
siswanya adalah santri atau masyarkat yang pada waktu paginya menimba ilmu di
sekolah formal luar pesantren.
Seperti yang diungkapkan oleh K. Ulin Nuha, selain dibekali dengan
pendidikan keagamaan, santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga
diberikan ketrampilan yang lain, seperti komputer, jahit menjahit, tata boga,
perikanan, dan yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan keahlian yang
dapat membantu para santri untuk terjun di masyarakat nantinya. Selain itu,
pesantren ini juga sering mengadakan pelatihan atau seminar dan kegiatan lainnya
yang bekerjasama dengan masyarakat, intansi pemerintah atau organisasi lainnya.
Setelah ditinggal wafat oleh ketiga pengasuhnya, saat ini Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin diasuh oleh K. Rozi Toha dan K. Ulin Nuha sebagai
pengasuh pesantren induk, K. Zaid Zuhdi sebagai pengasuh PPRT II dan K.
Munawari Al-Hafidz pada PPRT III. Saat ini Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin mempunyai santri putra putri + 250 orang yang terbagi di 3 komplek
pondok pesantren. Adapun susunan organisasi Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin adalah sebagai berikut:
Pengasuh
: K. M. Muh. Rozi Thoha
K. M. Ulin Nuha
K. Munawari Al-Hafidz
K. M. Zaid Zuhdi
Dawan Pertimbangan
: Ustadz Abdurrohman
Ustadz M. Triyono Djablawy
Ketua
: M. Ja‟farin
Sekertaris
: M. Taufiq Maulana
Muqtafaiz
Bendahara
: M. Asyrofi
Seksi-Seksi
:
Seksi Pendidikan
: Mahfudz Fauzi
Muhammad Aris
M. Nur Saifullah Khuzain
Seksi Keamanan
: Ahmad Pujiyanto
M. Agus Munir
Abdul Khamid
Seksi Penerangan
: M. Nur Huda
Ali Ma‟ruf (Jatim)
Seksi Kebersihan
: Ahmad Sulthon
Ahmad Sholihan
Muqtafaiz
Seksi Pengairan&Humas
: Mahfudz Fauzi
Habil Alwi
Faroqith Raudloh
Seksi Koperasi
: Ali Ma‟ruf
Seksi Kesenian & Rebana
: Lutfil Hakim
(Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin)
B. Profil Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
Lajnah Bahtsul Masail yang kemudian disingkat dengan nama LBM
adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengakomodir kegiatan diskusi dan
musyawarah di pesantren yang bertujuan untuk menjawab problematika yang
berkaitan dengan hukum Islam. LBM seperti yang diungkapkan oleh ketua
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, M. Ja‟farin (11 Mei 2015) adalah
“organisasi yang berada dalam sebuah pesantren yang berfungsi untuk mencari,
membahas dan menjawab problematika hukum yang dihadapi oleh umat Islam
serta ikut memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada”. LBM sendiri
merupakan organisasi yang berada di bawah naungan seksi pendidikan Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin. Selain LBM, di pondok pesantren ini juga terdapat
organisasi-organisasi lainnya, seperti organisasi jurnalistik (buletin), organisasi
arisan, organisasi kesenian rebana, organisasi alumni, dan organisasi Komisariat
Ikatan Pelajar Nahdlatutl Ulama‟ - Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU
IPPNU). Organisasi-organisasi ini bertujuan untuk mengembangkan bakat dan
minat para santri.
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin sendiri berdiri pada tahun
2005. Luqman Ramadlon (17 Mei 2015), alumni sekaligus mantan ketua Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin menceritakan bahwa terbentuknya LBM di pondok
tersebut adalah bermula ketika pengurus pesantren mendapatkan undangan untuk
menghadiri pelakasanaan bahtsul masail se-Jawa Madura yang dilaksanakan oleh
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Brabo Kecamatan Tanggungharjo
Kabupaten Grobogan. Setelah menghadiri undangan tersebut kemudian santri
yang didelegasikan mendapat inisiatif untuk mengadakan kegiatan bahtsul masail
di pesantren asal mereka seperti yang mereka lihat di forum tersebut.
Luqman Ramadhan (17 Mei 2015) menambahkan, tujuan awal
dibentuknya LBM di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah untuk
pembelajaran bagi para santri dan dan menjadi lembaga untuk menjawab
problematika hukum Islam yang ada. Pada awal dibentuknya LBM, kegiatan
bahtsul
masail
lebih
banyak
berkutat
kepada
pembahasal
masail
fiqhiyyah(permasalahan problematika hukum Islam) yang terjadi di sekitar
kehidupan para santri pada waktu itu. Setelah berjalan beberapa tahun
permasalahan
yang
kemudian
ikut
dibahas
sangatlah
banyak,
seperti
mujtama‟iyyah(sosial), nahwiyyah (gramatikal arab), i‟tiqadiyyah (ideologi) dan
lain sebagainya
Semenjak didirikan tahun 2005 sampai tahun 2015 ini LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin telah mengadakan pergantian ketua sampai 7 kali.
Santri yang pertama kali menjadi ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatuh
Thalibin adalah M. Triyono Djablawi. Setelah itu ketua LBM dipegang oleh M.
Shoim. Dan secara berturut-turut ketuanya adalah M. Syafiul Anam, M. Agus
Munir, M. Fauzi, M. Nur Syaifullah Khuzain dan sekarang dipegang oleh M. Aris.
Hal ini seperti yang tertulis dalam dokumen LBM.
Menurut M. Ja‟farin (11 Mei 2015), pada mulanya LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin hanya mengadakan kegiatan bahtsul masaildiniyyah
yang mana kegiatan ini bertujuan mencari, membahas dan menjawab
problematika kontemporer umat Islam yang diketahui para santri yang
berhubungan dengan fiqih. Akan tetapi permasalahan yang masuk dan dibahas di
LBM kemudian bukan hanya berasal dari santri, tetapi juga dari masyarakat dan
alumni pesantren. Bahkan tidak jarang permasalahan tersebut juga berasal dari
pengasuh pondok pesantren yang menemukan permasalahan tetapi tidak dapat dia
jawab sendiri.
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga mengadakan kegiatan
yang jarang sekali diadakan pada pondok pesantren salaf yang lainnya, yaitu
bahtsul masail an-nahwiyyah dan majlis syawir. Bahtsul masail an-nahwiyyah
adalah metode bahtsul masail dimana persoalan yang dibahas adalah tentang
permasalahan ilmu nahwu atau gramatikal arab yang ditemukan para santri.
Sedangkan majlis syawir dalam terminologi yang dibuat oleh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum diamana para santri mencari sebuah
illatul hukmiatau wajhul hukmi atau hikmah hukumyang terdapat dalam sebuah
teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dan menjadi solusi terhadap
problematika kontemporer yang dihadapi masyarakat.
Layaknya sebagai sebuah organisasi,LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin juga mempunyai struktur kepengurusan dan anggota. Struktur
kepengurusan untuk masa khidmat tahun 2015-2016 ini adalah sebagai berikut:
Dewan Mushohih
:
K. Muh. Rozi Thoha
K. M. Zaid Zuhdi
K Nur Amrin
K. Muhadzib
Dewan Perumus (Muharrir)
Agus M. Najmuddin Huda
Agus M. Ali Munawar Huda
Ustadz Mahfudz Fauzi
Ustadz
Muhammad
Amiruddin
Ustadz Muhammad Ja‟farin
Ketua Umum
Muhammad Aris
:
Wakil Ketua Bidang Bahtsul Masail
Diniyyah (BMD)
:
M. Nur Syaifullah Khuzain
Wakil Ketua Bidang Bahtsul Masail
Nahwiyyah (BMN)
:
Wakil Ketua Bidang Majlis Syawir :
Sekretaris
Musthofa Bisyri
Abdul Khamid
Muhammad Adhib
Eni Kurniawati
Bendahara
Abdul Chalim
Siti Mauidlotul Khasanah
Seksi – Seksi
Perlengkapan
Nurul Huda
Habib Alwi
Marfu‟atus Sa‟adah
Kepustakaan
Nurul Asnawi
Ahmad Pujiyanto
Kesekretariatan & Dokumentasi
Ahmad Sulthon
Fitri Puji Handayani
Humas
Ali Ma‟ruf Jatim
Dian Alfin Finanda
Konsumsi
Muhammad Nafi‟in
Misbahun Najih
(Sumber: Dokumentasi LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin)
M. Ja‟farin(11 Mei 2015) menambahkan, bahwa untuk bisa menjadi
pengurus LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinada kriteria khusus yang
harus dipenuhi. Kriteria tesebut adalah:
a.
Masih berstatus santri aktif di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.
b.
Minimal berada pada tingkatan kelas Ulya dan pengurus pesantren untuk
pengurus masail diniyyah dan masjlis syawir.Dan untuk bahtsul masail
nahwiyyah pengurusnya diambilkan dari tingkatan wustho dan kelas 1 ulya.
Untuk anggota sendiri memang ada perbedaan antara yang mengikuti
bahstul masail diniyyah dan bahtsul masail nahwiyyah. Untuk bahtsul masail
nahwiyyah pesertanya hanya berasal dari tingkatan wustho dan „ulya saja dari
pondok pesantren Raudlatut Thalibin komplek I atau induk. Sedangkan untuk
peserta bahtsul masail diniyah berasal dari tingkatan ulya dan seluruh pengurus
pondok pesantren dari komplek I sampai komplek III. Adapun peserta Majlis
Syawir sendiri berasal dari tingkatan ulya dan pengurus komplek Induk saja baik
putra maupun putri.
M. Aris (11 Mei 2015) mengungkapkan bahwa kepengurusan LBM sendiri
dijabat selama satu tahun. Dalam setiap periodenya pengurus menyiapkan
program kerja yang berbeda-beda tergantung dengan inovasi pengurus LBM
tersebut yang masih berkaitan dengan kegiatan bahtsul masail. Sedangkan untuk
pemilihan ketuanya dilaksanakan pada setiap bulan syawal, yang merupakan
tahun pelajaran baru di pesantren. Sampai saat ini LBM Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin belum mempunyai Angaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga
(AD-ART) yang menjadi pedoman tetap perjalanan organisasi ini. Adapun
ketentuan-ketentuan
mengenai
aturan
organisasi
dan
pemilihan
ketua
dikembalikan kepada musyawarah pengurus LBM dan pengurus Pondok Pesanten
Raudlatut Thalibin.
M. Aris (11 Mei 2015) yang saat ini menjabat sebagai Ketua LBM ini
menambahkan, bahwa dalam setiap periode kepengurusan LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibinmembuat progam kerja organisasi yang bertujuan
untuk memajukan keilmuan di pesantren tersebut. Adapun progam kerja LBM
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut
1.
Program Kerja Mingguan
Program kerja mingguan dari LBM Pondok Pesantren Raudlatuh
Thalibin adalah sebagai berikut:
a. Majlis Syawir.
Majlis Syawir merupakan kajian penalaran hukum terhadap teksteks kitab fathul qarib yang kemudian dianalogikan dengan permasalahan
kontemporer. Agenda ini dilaksanakan setiap malam rabu setiap
minggunya. Peserta dari majlis syawir sendiri merupakan siswa kelas
ulya dan pengurus Pondok-Pesantren Raudlatut Thalibin induk. Adapun
tempatnya berada di salah satu aula di Pondok Pesantren tersebut.
Program kerja ini merupakan program kerja baru yang dilakasanakan
kurang dari dua tahun yang lalu.
b. Mengisi Kolom Buletin Ar-Raudloh
Buletin
Ar-Raudloh
merupakan
media
jurnalistik
yang
dikembangkan oleh para santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.
Buletin ini tidak hanya dibagikan kepada para santri saja, tetapi juga
kepada masyarakat dan alumni. Buletin Ar-Roudloh terbit setiap awal
bulan dan pertengahan bulan. Salah satu rubrik yang ada dalam buletin
ini adalah pembahasan fenomena permasalahan fiqih atau sosial yang
terjadi di tengah-tengah pesantren atau masyarakat. Sayangnya buletin
yang diagendakan bisa terbit rutin setiap 2 minggu ini sering tidak terbit,
karena mengalami berbagai kendala diantaranya permasalahan SDM.
2.
Program Kerja Bulanan
Agenda bulanan LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah
sebagai berikut:
a. Bahtsul Masail Diniyyah (BMD)
Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) merupakan forum diskusi
keagamaan yang dilakukan oleh para santri bersama asatidz dan
pengasuh untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika
aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat. BMD merupakan
agenda bulanan para santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang
dilaksanakan oleh para santri setiap malam rabu di minggu pertama
setiap bulan. Agenda pembahasan yang didiskusikan pada kegiatan ini
adalah problematika sosial yang berkaitan dengan dengan fiqih dan
sosial, baik itu berkaitan dengan masyarakat atau santri maupun
berkaitan dengan isu-isu lokal, nasional maupun internasional. Peserta
dari bahtsul masail ini adalah santri tingkatan ulya dan semua pengurus
baik putra maupun putri dari komplek satu, komplek dua dan komplek
tiga. Selain itu, dalam setiap pelaksanaan bahtsul masail selalu
mendatangkan pengasuh dan asatidz pesantren yang berperan sebagai
mushohih dan muharrir. Tempat pelaksanaan bahtsul masail diniyyah ini
bergiliran dari komplek pesantren yang satu dengan yang lain.
b. Bahtsul Masail An-Nahwiyyah (BMN)
Bahtsul masail an-Nahwiyyah (BMN) adalah metode bahtsul
masail yang mana persoalan yang dibahas adalah tentang permasalahan
ilmu nahwu atau gramatikal arab yang ditemukan para santri. Peserta dari
kegiatan ini hanya berasal dari tingkatan wustho dan „ulya saja dari
pondok pesantren Raudlatut Thalibin komplek I atau induk. Kegiatan ini
dilaksanakan setiap malam rabu di minggu ke-tiga setiap bulannya.
Adapun tempatnya selalu dilaksanakan di aula asrama pesantren komplek
I atau induk.
c. Bahtsul Masail Alumni
Agenda bahtsul masail ini tidak terlalu berbeda jauh dengan
pelaksanaan BMD di atas. Hanya saja peserta dari kegiatan ini bukan
hanya berasal dari santri pesantren, tetapi juga para alumni pesantren dan
masyarakat di sekitar alumni. Permasalahan yang dikaji dalam forum ini
adalah permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat di lingkungan
para alumni. Karena banyak alumni pesantren yang kembali ke
masyarakat dan kemudian menjadi seorang tokoh masyarakat atau
ustadz, maka banyak permasalahan yang kemudian dihadapkan atau
ditanyakan kepada mereka. Sehingga yang menjadi bahan kajian dan
diskusi dalam forum ini lebih komplek karena tidak hanya berkaitan
dengan fiqih saja, tetapi juga kadang berkaitan dengan aqidah, tasawuf,
amaliah,
sosial
dan
ekonomi.
Agenda
bahtsul
masail
alumni
dilaksanakan setiap malam minggu wage yang bertepatan dengan
pertemuan lapanan alumni.
3.
Program Kerja Tahunan
Agenda tahunan yang dilaksanakan oleh LBM Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut:
a. Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) Kubro
Bahtsul masail diniyah kubro merupakan kegiatan forum bahtsul
masail dalam sebuah event besar yang tidak hanya melibatkan santri
internal pesantren, tetapi juga mengundang santri dari pesantren lain
untuk ikut berdiskusi dan mengkaji masalah yang ada. Dalam kegiatan
tahunan ini panitia pelaksana dari LBM mengundang perwakilan peserta
dari pesantren-pesantren di 3 kabupaten kota, yaitu Kabupaten Semarang,
Kabupaten Boyolali, dan Kota Salatiga yang jumlahnya lebih dari 30
pesantren. Pesantren yang diundang adalah pesantren yang juga
melaksanakan atau memprogamkan bahtsul masail di pesantrennya.
Tema yang dibahas dalam kegiatan ini sangatlah beragam. Masail
yang dibahas dalam kegiatan ini bukan hanya berasal dari internal
pesantren dan masyarakat sekitar, tetapi juga masail yang diusulkan oleh
pondok pesantren lain, dari instansi atau dari alumni pesantren. Selain
itu juga, masail yang dibahas dalam kegiatan ini mempunyai
karekteristik khusus, yaitu merupakan masail fiqhiyyah waqi‟iiyah
(permasalahan
dalam
bidang
fiqih
yang
benar-benar
terjadi),
permasalahan kontemporer dan yang diutamakan adalah tema atau isuisu yang sifatnya nasional maupun internasional. Bahtsul masail diniyyah
kubro ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali pada bulan muhararram.
b. Pelatihan Bahtsul Masail
Untuk lebih menunjang para santri agar lebih memahami dan
menguasai metode bahtsul masail, maka LBM Pondok Pesantren
Raudltut Thalibin mengagendakan kegiatan pelatihan bahtsul masail.
Agenda pelatihan dilakukan bahtsul masail dilakukan setiap 2 tahun
sekali. Adapun yang menjadi materi dalam pelatihan bahtsul masail ini
adalah sebagai berikut:
1) Metode Pencarian Ibarat dalam bahtsul masail.
2) Tekhnik persidangan.
3) Praktikum bahtsul masail.
Sedangkan yang menjadi pemateri dalam pelatihan ini adalah para
praktisi bahtsul masail dan dari LBM pondok pesantren yang sudah
terkenal lainnya. Diantara pemateri yang pernah mengisi acara pelatihan
ini adalah Bapak Agus Ahmad Suaidi, Lc., M.A., Anas Maulana, S.Pd,.I.,
dan LBM Pondok Pesantren Sirajuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo,
Kabupaten Grobogan.
Selain mempunyai agenda internal dan telah direncanakan secara matang,
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga mempunyai agenda eksternal.
Agenda eksternal merupakan agenda kegiatan yang bersifat insidentil dan tidak
pasti. Agenda eksternal tersebut adalahmenghadiri undangan bahtsul masail dari
luar pesantren, baik yang dilaksanakan oleh pesantren, intansi maupun organisasi
kemasyarakatan.
C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail dan Majlis Syawir Di Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin
Seperti yang diutarakan oleh M. Nur Syaifullah Khuzain (13 Mei 2015),
diprogamkannya bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin didasari adanya beberapa tujuan. Diantara tujuan-tujuan tersebut adalah:
a.
Melatih para santri dalam menyikapi problematika yang dihadapi oleh umat
Islam.
b.
Melatih para santri mencari dasar atau dalil dalam menjawab problematika
kontemporer.
c.
Membantu masyarakat dalam menemukan hukum dan solusi hukum dengan
lebih cepat dan mudah.
Selain adanya tujuan-tujuan di atas, M. Ja‟farin (11 Mei 2015)
menambahkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin dibentuk tidak hanya sebagai sebuah organisasi yang tanpa tujuan
apapun. Ada kontribusi penting yang diharapkan dengan di bentuknya LBM ini.
Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut ini:
a.
Menjalin tali silaturrahmi antar Pondok Pesantren. Dengan digelarnya event
bahtsul masail diniyyah kubradimanfaatkan sebagai tempat untuk saling
mengenal dan saling menyambung tali silaturrahmi antar pondok pesantren
yang ada di belahan bumi Indonesia dan mempererat ukhuwah Islamiyah
alaahlussunah wal jama‟ah diantara pondok pesantren yang ada.
b.
Sebagai tempat forum diskusi ilmiah. Dengan adanya diskusi dalam majlis
syawir dan bahtsul masail dapat memberikan banyak hal yang penting,
terutama bagi para santri. Dari diskusi ini para santri bisa menjadi tahu halhal yang sebelumnya mereka tidak mengerti atau sekedar tahu. Di dalam
diskusi tersebut para santri juga bisa berbagi pendapat atau pengetahuan
dengan para santri yang lainnya. Hal lain yang juga disukai dari diskusi
melalui forum ini adalah kesetaraan posisi antara satu dengan yang lain
karena forum diskusi tidak mendewakan siapa pun yang berada disitu
sebagai pembicara utama. Diskusi memberikan wadah bagi semua santri
untuk memiliki peran yang sama pentingnya, tidak peduli dia memiliki
kemampuan lebih ataupun berkemampuan sedang, lebih tua atau lebih
muda, semuanya berhak untuk ikut serta berkontribusi di dalamnya. Selama
peserta diskusifaham dan memiliki informasi tentang satu hal, maka dia
berhak mengutarakan pendapat dan ilmu yang dia punya melalui forum
diskusi yang diselenggarakan dalam bahtsul masail dan majlis syawir ini.
c.
Sebagai penafsir hukum bagi masyarakat. Kerap kali masyarakat merasa
bingung akan hukum yang terkandung dalam suatu perkara. Perasaan
kebingungan itupun semakin bertambah ketika mereka dihadapkan pada
kandungan makna yang masih mujmal(global) dan belum spesifik
menjawab pada persoalan mereka, terutama dalil dari al-Qur‟an dan asSunnah.
Oleh
karena
itu
LBM
Pondok
Pesantren
Raudlatut
Thalibindidirikan
sebagai
media
bagi
masyarakat
dalam
rangka
mendapatkan penerangan hukum agar masyarakat mengerti dan terpuaskan
dengan jawaban yang jelas dan mudah untuk difahami. Hal tersebut tidak
terlepas kembali kepada fungsi esensial dari LBM, yaitu sebagai wadah
dalam menghimpun, membahas,dan memecahkan masalah-masalah yang
mauquf dan waqi‟ah yang harus segera mendapatkan kepastiah hukum.
d.
Nguri-nguri budaya nahdliyin. Salah satu tujuan dari didirikannya LBM
Pondok
Pesantren
Raudlatut
Thalibin
adalah
ingin
nguri-nguri
(melestarikan) kebudayaan kalangan nahdliyyin. Bahtsul Masail yang
merupakan kebudayaan lama warga nahdliyyin dapat dibilang sebagai
ruhnya nahdliyyin.Kalau nahdliyyin itu identik dengan pondok pesantren,
sedangkan pondok pesantren tidak terlepas dari kegiatan bahtsul
masail.Itulah satu kesatuan yang tidak terpisahkan diantara keduanya.
Maka dengan melihat hal-hal di atas wajib bagi para santri untuk ikut
menjaga tradisi adanya forum seprti bahstul masail dan majlis syawir. Dengan
mengadakan kegiatan bahtsul masail dan masjlis syawir berarti ikut serta dalam
menjaga tradisi salafus shalih. Dalam dunia pesantren salaf, bahtsul masail dan
musyawarah merupakan ruh dari pesantren tersebut. Maka dari itu eksistensi
bahtsul masail dan majlis syawir harus tetap dijaga. Bahtsul masail sendiri juga
bisa berfungsi untuk menunjukkan ke-salaf-an suatu pesantren, sehingga tradisi
ini harus benar-benar dijaga.
Selain hal di atas,menurut M. Ja‟farin (11 Mei 2015) keberadaan bahtsul
masail dan majlis syawir bisa menjadi sebuah bukti akan eksistensi pesantren
tersebut. Eksistensi disini bisa dipahami sebagai sebuah bukti akan kemampuan
keilmuan sebuah pesantren, dan bisa dipahami sebagai bukti keberadaan pesantren
tersebut masih ada. Keistiqamahan sebuah pesantren dalam mengadakan bahtsul
masail ataupun menghadiri undangan bahtsul masail di pondok pesantren lain
akan berdampak bahwa pesantren tersebut patut dipertimbangkan kapasitas
keilmuannya.
Bagi para alumni pesantren, kegiatan bahtsul masail dan masjlis syawir
mempunya peran dan mafaat yang tidak kalah pentingnya. Menurut Triyono
Djablawi (17 Mei 2015), salah seorang alumni yang sekarang menjadi tokoh
masyarakat dan guru SDIT di Nogosari Kabupaten Boyolali mengatakan bahwa
bahtsul masail dan majlis syawir sangatlah membantu untuk menjawab berbagai
persoalan yang dia hadapi di masyarakat. Seringkali problematika yang dia hadapi
ketika menjadi seorang panutan di desanya tidak dapat dia jawab. Kadangkala
banyak masyarakat yang juga bertanya akan berbagai problematika. Olehnya,
permasalahan tersebut dimintakan kepada LBM di almameternya untuk
membantu menjawabnya dan memberikan solusi. Sehingga masyarakat dapat
menemukan solusi terhadap berbagai kendala yang mereka hadapi.
D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Di Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis
a. Pelaksaaan Bahtsul Masail
Seperti halnya kegiatan diskusi pada umumnya, kegiatan bahtsul
masail juga mempunyai rangkaian dan tahapan untuk dapat menghasilkan
sebuah keputusan. M. Nur Syaifullah Khuzain (13 Mei 2015) menjelaskan
bahwa kegiatan bathsul masa‟il diawali dengan sebuah acara pembukaan.
Acara tersebut berisi pembacaan dzikir tahlil, sambutan panitia dan sambutan
pengasuh sekaligus membuka acara. Setelah itu acara diserahkan kepada
moderator.
Moderator mengawali kegiatan bahtsul masail dengan pembacaan tata
tertib yang telah disiapkan oleh panitia. Walaupun tata tertib ini berasal dari
panitia, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi moderator untuk melakukan
pembahasan dan perubahan pada pasal yang dianggap perlu dengan
kesepakatan bersama antara semua peserta dan panitia. Setelah tata tertib
disepakati maka moderator mulai membacakan deskripsi masalah. Ketika
deskripsi selesai dibacakan, moderator menanyakan kepada para peserta atau
mubahitsin apakah ada yang belum jelas dari deskripsi masalah yang telah
dibacakan. Ketika ada yang belum jelas maka peserta dipersilahkan bertanya
pada hal yang belum jelas tadi, kemudian moderator menanyakan hal tersebut
kepada sohibul masalahatau sa‟il (orang yang mempunyai masalah atau
problem). Pada suatu kasus terrtentu panitia mendatangkan tenaga ahliseperti
ekonom atau dokter untuk mendapatkan keterangan yang lebih detail atau
spesifik.
Ketika deskripsi masalah sudah menjadi jelas, maka moderator
membacakan pertanyaan dan menjelaskan fokus pertanyaannya. Setelah itu
moderator menawarkan kepada peserta yang ingin menjawab pertanyaan
tersebut. Ketika ditemukan ada lebih dari tiga peserta yang menawarkan
jawabannya, maka moderator memilih 3 peserta secara acak untuk
menjawabnya. Apabila ternyata jawaban ketiga peserta tadi sama atau mirip,
maka moderator menawarkan untuk kedua kalinya kepada peserta yang
mempunyai jawaban berbeda. Setelah ditemukan jawaban yang berbeda maka
moderator
memberikan
kesempatan
kepada
mujawib
(peserta
yang
menjawab) untuk menjelaskan jawabannya.
Ketika para mujawib selesai menjelaskan jawabannya, maka
moderator
memberikan
kesempatan
kepada
mujawibpertama
untuk
membantah atau menunjukkan titik kelemahan mujawib yang lain. Selain itu
juga peserta yang lainnya juga diberikan kesempatan untuk memberikan
argumentasi yang menguatkan atau melemahkan jawaban para mujawib
dengan tertib. Yang perlu diingat dalam hal ini adalah bahwa baik jawaban
ataupun bantahan dari para mujawib dan peserta harus disampaikan dengan
argumentasi yang baik dan menyertakan dalil atau dasarnya. Hal ini seperti
yang ditekankan oleh ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, M.
Aris (11 Mei 2015).
Dalam keadaan tidak mendapatkan titik temu antara para musyawirin,
maka moderator memberikan waktu kepada muharir untuk memberikan
arahan kepada peserta agar bisa menemukan titik temu. Setelah arahan dari
muharir selesai, moderator memberikan waktu lagi kepada peserta untuk
melanjutkan diskusi. Setelah menemukan titik temu maka moderator
memberikan waktu kepada muharrir untuk merumuskan jawaban. Setelah
jawaban
dirumuskan
maka
moderator
memberikan
waktu
kepada
mushohihuntuk memberikan komentar terhadap rumusan jawaban hasil
diskusi tersebut. Mushohih kemudian memberikan komentar atas hasil yang
telah disepakati, dan setelah itu memimpin pembacaan al-Fatihah sebagai
tanda telah disahkannya produk hukum hasil bahtsul masail pada kegiatan
tersebut.
Menurut Mahfudz Fauzi (13 Mei 2015), mantan kepala Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah
permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail tidak mendapatkan jawaban
sama sekali atau hanya terjawab separuh masalah saja. Hal ini bisa
disebabkan beberapa hal, diantaranya:
a.
Permasalahannya sangat rumit sekali dan belum pernah ditemukan di
dalam kutub mu‟tabarahdan sulit dilakukan taqrir jama‟i.
b.
Ibarat jawaban yang di bawa oleh peserta kurang memuaskan.
c.
Ada perbedaan pendapat yang sangat tajam antar ibarat yang tidak
mungkin diberlakukan sebuah pendapat khilafiyah, sehingga diambil
kesimpulan untuk tidak menggunakan kedua-duanya.
Ketika terjadi hal-hal seperti di atas maka tidak menutup
kemungkinan sebuah masalah yang dibahas dianggap mauquf. Mauquf adalah
dimana pemahasan sebuah permasalahan dalam sebuah bahtsul masail
dihentikan karena tidak menemukan jawaban atau sebuah solusi yang baik
antar peserta, muharrir maupun mushohih sendiri. Tapi kejadian seperti di
atas sangat jarang terjadi karena biasanya muharrir bisa mengarahkan sebuah
pembahasan agar lebih baik, atau mushohih dapat memberikan sebuah
komentar yang berisikan jawaban atau solusi.
Mahfudz Fauzi (13 Mei 2013) menambahkan, apabila permasalahan
yang dibahas dalam bahtsul masail menemui kebuntuan atau mauquf, maka
penyelesainnya dapat melalui beberapa cara, yaitu:
a.
Apabila permasalahan yang mauquf dibahas dalam bahtsul masail
diniyyah bulanan, maka permasalahan tersebut akan dibahas lagi dalam
pertemuan selanjutnya.
b.
Apabila ada permasalahan yang dibahas dalam 2 kali pertemuan dan
tidak menemui jalan keluar, maka permasalahan tersebut akan diusulkan
untuk dibahas di bahtsul masail diniyyah kubro.
c.
Apabila ada permasalahan yang mauquf dalam bahtsul masail diniyyah
kubro, maka permasalahan tersebut akan diusulkan di bahtsul masail
LBM pondok pesantren lainnya yang mengadakan kegiatan serupa.
Selain itu juga dapat diusulkan untuk dibahas di LBM NU tingkat
kecamatan maupun kabupaten.
Permasalahan yang diangkat menjadi bahan diskusi dalam bahtsul
masail bermacam-macam. Dari penjelasan tentang profil LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin, maka permasalahan tersebut dapat peneliti
kelompokkan sebagai berikut:
a.
Permasalahan yang terjadi di lingkungan pesantren.
b.
Permasalahan yang berasal atau terjadi di masyarakat sekitar pesantren.
c.
Permasalahan yang yang terjadi di masyarakat para santri berasal.
d.
Permasalahan yang berasal atau yang terjadi di masyarakat para alumni
pesantren.
e.
Permasalahan yang berasal dari pengasuh atau dewan astaidz.
f.
Permasalahan-permasalahan yang menjadi isu nasional dan internasional.
Melihat pada metode bahtsul masail yang berlaku di atas maka
peneliti dapat menyimpulkan bahwa pelaksanaan bahtsul masail di atas
merupakan sebuah metode penalaran hukum Islam dengan menggunakan
sebuah metode ijtihad kolektif atau ijtihad jama‟i.Ijtihad kolektif menurut alQardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan
memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang
bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia”. Bahtsul masail
di atas merupakan sebuah solusi untuk menyikapi problematika minimnya
Mujtahid. Maka dengan ini bahtsul masail dapat dipandang sebagai sebuah
metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat
perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang
sangat tinggi. Pelaksanaan bahtsul masail di atas juga merupakan sebuah
pelaksanaan taqrir jama‟i menurut istilah nahdliyyin, karena parasantri
dengan dibantu mushohih dan muharrirberupaya secara kolektif untuk
menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa pendapat untuk
kemudian dijadikan sebagai sebuah pedoman atau jawaban.
Dengan metode diskusi secara kolektif dalam bahtsul masail seperti di
atas maka bisa menanggulangi keadaan dimana seseorang itu menyentuh
suatu aspek hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak
menaruh perhatian pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal
segala sesuatu yang orang lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi
kelompok semacam bahtsul masail dapat menemukan point-point yang
tersembunyi atau dapat memunculkan secara jelas perkara-perkara yang sulit,
atau mengingatkan beberapa masalah yang terlupakan. Dan ini merupakan
berkat dari musyawarah.
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi
suatu perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan
hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para
ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu
perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat
tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan
keputusan al-Qur‟an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari
Abu Bakar maka beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan
ulama-ulama mereka untuk diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka
atas masalah tersebut disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan
pendapat tersebut(Al-Qardhawi, 2000:139).
Maka melihat pada praktek di atas juga dapat diketahui bahwa bahtsul
masail yang dilakukan merupakan ijtihad dalam upaya memecahkan status
hukum permasalahan baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, alSunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat
dikatakan masalah yang benar-benar baru (al-masail al-mahaddatsah), karena
bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini
belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Selain itu, bahtsul masail juga
berperan untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum
masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid
terdahulu, tetapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik satu
terhadap lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang
paling tepat dan paling sesuai dengan ruh agama, kemaslahatan.
b. Tarjih Ibarat (I’tibar) Dalam Bahtsul Masail
M. Aris (11 Mei 2015), ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibinmenjelaskan bahwa dalam sistem pengambilan keputusan hukum
maka harus dipahami prosedur penjawaban masalah. Keputusan bahtsul
masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mengikuti ketentuan dalam
komunitas nahdliyyin yaitu dibuat dalam kerangka bermadzhab secara qouli.
Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan yang
telah ditentukan seuai dengan ketetapan Nahdlatul Ulama‟ yang disusun
dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992.
Adapun ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: ketika terjadi
dalam suatu kasus masalahdan di sana terdapat lebih dari satu qoul pendapat,
maka dilakukan taqrir jam‟i untuk memilih satu qoul atau wajah. Sedangkan
apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu pun qoul pendapat atau wajah
sama sekali yang memberikan penjelasan,maka dilakukan prosedur ilhaqul-
masail bi nazha‟iriha secara jama‟ioleh para peserta bahtsul masail. Apabila
dalam sebuah kasus tidak ada satu qoul atau wajah sama sekali dan tidak
mungkin dilakukan ilhaq,maka bisa dilakukan istinbath jama‟i atau ijtihad
secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya
Dalam sebuah permasalahan apabila ditemukan dua qaul atau lebih
maka harus mengikuti prosedur pemilihan qaul atau pendapat para ulama‟.
Prosedur tersebut adalah ketika dijumpai beberapa qaul dalam satu masalah
yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satupendapat. Pemilihan
salah satu pendapat dapat dilakukan dengan cara mengambil dan
mempertimbangkan pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
Selain dengan pertimbangan tersebut juga diusahakan untuk mengambil
pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi‟I, serta
pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama‟ (LTN NU, 2007:446-447).
Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dipraktekkan oleh para
mubahitsin (peserta bahtsul masail) untuk menganalisa permasalahan yang
disodorkan kepada mereka. Ibarat dari berbagai kitab yang dibawa oleh para
mubahitsin kemudian dibahas satu persatu untuk dicari ibarat manakah yang
lebih tepat untuk menghukumi permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini
adalah dengan cara memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang
mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang
tidak memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama‟i
atau ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan
kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya istinbath jama‟i tadi juga
dapat dilaksanakan setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih.
Jika dilihat metode bahtsul masail di atas maka bisa dilihat bahwa
pengambilan sebuah pendapat atau qaul juga harus memperhatikan apakah itu
memberikan maslahat serta dapat menjadi sebuah solusi atau tidak. Dengan
demikian maka selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan
kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk
menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer),
hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Tentunya hal tersebut harus
dibarengi dengan pemahaman syariah secara konstekstual.
Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) ini
memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan
demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang
mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli
dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti
berbicara hal-hal yang konstektual. Dengan metode bahtsul masail yang
melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan maka pembacaan terhadap
perkembangan sosial akan dapat lebih mendalam.
Meskipun tidak secara tegas seorang mujtahid disyaratkan memiliki
kepekaan sosial, syarat demikian sebenarnya secara implisit telah terekam
baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam
mekamisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di
kenal memiliki qaul qadim yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid
yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an
yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:45).
Seperti yang ditambahkan oleh M. Amiruddin(13 Mei 2015) yang
juga pernah menjabat sebagai ketua LBM, dalam berbahtsul masail para
mubahitsin atau peserta jangan berusaha untuk kolot atau berpegang teguh
pada satu pendapat kitab saja. Tetapi yang perlu dikedepankan adalah
semangat untuk memberikan solusi terbaik untuk umat Islam. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mengedepankan maslahat dalam keputusan yang akan
diambil. Maslahat disini dapat diukur dengan tidak hanya memperhatikan
unsur hablun minaallah (interaksi manusia dengan Sang Pencipta), tetapi juga
memperhatikan hablun minannas (interaksi sosial manusia). Dengan
demikian maka keinginan untuk memberikan solusi terbaik bagi umat dapat
tercapai.
Ketika ditanyakan tentang mazdhab yang dipakai dalam bahtsul
masail di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, dijelaskan bahwa dalam
berbahtsul masail mereka memakai empat madzhab mu‟tabarah yang
menganut aqidah ahlussunnah wal jama‟ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan
Hanbali. Namun dalam pelaksanaanya memang tidak dapat dipungkiri bahwa
penggunaan madzhab Syafi‟i lebih dominan dan diutamakan dibandingkan
madzhab yang lain. Penyeebabnya adalah mayoritas penduduk Indonesia
yang bermadzhab Syafi‟iyyah. Selain itu juga pembelajaran yang mereka
gunakan di pesantren adalah madzhab Syafi‟i. Kemudian mayoritas kitab dan
referensi
yang
ada
di
sekitar
mereka
juga
khazanah
turats
syafi‟iyyah.Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan dalam bahtsul
masail untuk menggunakan mazdhab selain madzhab Syafi‟i. Hal ini dapat
terjadi ketika tidak ditemukan referensi masalah tersebut dalam madzhab
Syafi‟i. Tetapi juga dimungkinkan untuk mengkolaborasikan antar pendapat
pada madzhab empat.
E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir Di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis
1.
Pelaksanaan Masjlis Syawir
Metode pelaksanaan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin tidak berbeda jauh dengan metode pelaksanaan diskusi atau
musyaawarah yang selama ini ada di kampus atau di kalangan para
cendikiawan. Dalam majlis syawir terdiri dari pemateri (qari‟), moderator dan
peserta (musyawirin). Acara dimulai dengan pembukaan oleh moderator dan
pembacaan tata tertib acara yang akan berlangsung. Setelah itu moderator
memberikan waktu 20 menit kepada qari‟ untuk membacakan teks (ibarat)
dari kitab fiqih fathul qarib serta memberikan penjelasan secara mendalam.
Qari‟ berhakuntuk memberikan penjelasan mengenai ibarat yang dia baca
dengan tambahan atau pembanding dari ibarat di kitab lain dengan syarat
masih dalam konteks pembahasan yang sama.
Setelah qari‟ selesai memberikan penjelasan, maka kemudian para
musyawirin diberikan waktu untuk menanyakan penjelasan yang kurang
dipahami atau memberikan tanggapan terhadap penjelasan yang telah
diberikan oleh qari‟. Tanggapan dari musyawirin ini dapat berupa penjelasan
tambahan ataupun penguat terhadap apa yang telah disampaikan oleh qari‟.
Tidak menutup kemungkinan juga bahwa tanggapan yang diberikan oleh
musyawirin adalah berupa sanggahan atau ketidaksetujuan terhadap
penjelasan yang diberikan oleh qari‟. Ketika ada salah satu musyawirin atau
lebih yang tidak sepaham dengan penejelasan qari‟, maka musyawir tadi
harus menguatkan argumentnya dengan ibarat dari kitab lain atau dengan
memberikan penafsiran lain dari kitab fathul qarib ditinjau dari segi i‟rab
nahwiyyah (analisis gramatikal arab) atau analisa istilahi (istilah bahasa).
Setelah para musyawirin selesai dengan tanggapan atau argument
bantahannya, maka moderator memberikan waktu kepada qari‟ untuk
memberikan penjelasan penguat terhadap apa yang telah disampaikan qari‟ di
awal penjelasannya tadi. Dalam hal ini qari‟ boleh saja menarik
penjelasannya yang pertama tadi, dan kemudian mengikuti argument kedua
dari musyawirin. Tetapi jika qari‟ tetap bersikukuh dengan pendapatnya maka
moderator memberikan
kesempatan
kepada
para musyawirin
untuk
berdiskusi, dan memberikan tanggapan atau solusi terhadap adanya dua
pendapat tadi.
Dalam diskusi yang tejadi tidak menutup kemungkinan terjadinya
sebuah deadlock atau kebuntuan. Menurut M. Nur Syaifullah Khuzain (13
Mei 2015), karena dalam majis syawir tidak mengenal istilah mauquf seperti
dalam bahtsul masail, maka kebuntuan diskusi tadi harus diselesaikan.
Penyelesaian kebuntuan dalam pembahasan ibarat tadi dapat melalui dua
cara:
a. Jika penyebab dari kebuntuan tadi karena adanya perbedaan pemahaman
terhadap
penjelasan ibarat,
baik
karena perbedaan pemahaman
penggunaan ma‟na istilahi atau karena adanya perbedaan ibarat dari kitab
lain maka permasalahan tersebut nanti akan dimintakan arahan kepada
dewan asatidz.
b. Jika penyebab dari kebuntuan tadi karena adanya perbedaan pemahaman
dalam i‟rab nahwiyyah (analisis gramatikal arab) maka permasalahan
tersebut akan diselesaikan pembahasannya dalam forum bahtsul masail
nahwiyyah.
Setelah qari‟ dan musyawirin menyepakati penjelasan dari ibarat
fathul qarib, maka moderator memberikan waktu kepada musyawirin untuk
menanyakan permasalahan yang mempunyai sangkut paut dengan ibarat
yang dibaca oleh qari‟. Setelah pertanyaan selesai diberikan maka kemudian
moderator
membacakan
memberikan waktu
ulang
kepada
pertanyaan
qari‟ untuk
tersebut,
dan
kemudian
memberikan jawaban
dan
penjelasannya. Qari‟ boleh saja mencukupkan diri memberikan penjelasan
dengan ibarat kitab fathul qarib ataupun melalui kitab yang lain karena tidak
ditemukannya penjelasannya dalam ibarat yang telah dibaca.
Seperti pada sesi yang pertama tadi, setelah qari‟ selesai memberikan
jawaban maka dipersilahkan kepada para musyawirin untuk memberikan
tangapan baik itu yang berupa penjelasan penguat maupun argument
bantahan. Baik itu penjelasan penguat maupun argument bantahan harus
disertai dengan dalil dari kitab kuning. Setelah jawaban disepakati oleh
musyawirin maka moderator membacakan kesimpulannya dan menanyakan
kepada sa‟il (penanya) apakah sudah memahami dari jawaban yang ada.
Apabila sa‟il sudah memahami maka dilanjutkan kepada pertanyaan yang
kedua.
2. Ilhaqul Masail dalam Majlis Syawir
Bisa dikatakan bahwa majlis syawir merupakan kebalikan dari metode
bahtsul masail. Jika pada metode bahtsul masail para musyawirin dihadapkan
kepada sebuah masalah atau problematikanya yang harus dicarikan hukum
dan solusinya, maka dalam majlis syawir para musyawirin sudah menyepakati
akan sebuah hukum dan sebuah solusi hukum dan mereka kemudian
menganalisa permasalahan dan problematika apa sajakah yang bisa
diterapkan dengan hukum tersebut. Dengan demikian maka para musyawirin
dalam majlis syawir dituntut untuk memiliki pengalaman yang lebih luas dan
informasi yang akurat sehingga hukum yang akan diterapkan dalam masalah
dan problematika yang dimunculkan memang tepat.
Dalam majlis syawir yang menjadi pegangan utama qari‟ (pemateri)
adalah kitab Fathul Qarib. Ketika ditanyakan mengapa memakai kitab ini,
Abdul Khamid (13 Mei 2015) selaku wakil ketua LBM bidang majlis syawir
menjelaskan bahwa kitab Fathul Qarib merupakan sebuah kitab pegangan
utama yang banyak dikaji di dalam pesantren dan menjadi kitab pembuka
sebelum melangkah ke kitab-kitab yang lebih besar. Selain itu, kitab Fathul
Qarib lafadznya mudah dipahami oleh para santri serta di dalamnya memuat
hal-hal pokok fiqih Islam. Dalam kitab Fathul Qarib juga tidak terlalu banyak
sekali memuat khilafiyah (perbedaan pendapat ulama‟), seperti yang termuat
dalam kitab-kitab yang lebih besar.
Walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan ibarat dari
kitab lain baik itu sebagai penjelas tambahan atau sebagai ibarat pembanding,
namun dalam masjlis syawir setidaknya ada kitab-kitab yang menjadi
prioritas sebagai ibarat pembanding, dan utamanya sebagai penjelas
tambahkan. Seperti yang dijelaskan oleh Ketua LBM Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin M. Aris (11 Mei 2015), kitab-kitab yang menjadi prioritas
dalam masjlis syawir adalah kitab-kitab hasyiyah dari Fathul Qarib ataupun
hasyiyah atau syarah kitab matan Taqrib. Adapun kitab-kitab tersebut
diantaranya adalah:
a.
Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarh Fathul Qarib karya Syekh Ibrahim AlBajuri.
b.
Hasyiyah Tausyih karya Imam Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani
Al-Jawy.
c.
Syarah Al-Iqna‟ karya Syekh Muhammad Khotib As-Syirbiny.
d.
Hasyiyah Al-Bujayrami ala al-Khotib karya Imam Al-Bujayrami.
Selain itu juga diprioritaskan beberapa kitab yang sepadan dengan Fathul
Qarib, yaitu:
a. Fathul Mu‟in karya Zainuddin Al-Malybary dan Hasiyahnya I‟anatut
Thalibin karya Abu Bakar bin Muhammad Syata‟ Ad-Dimayathi.
b. Al-Yaqutun Nafis dan syarahnya karya Syekh Muhammad bin Ahmad
As-Syathiri.
c. Fathul Wahab Karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshory.
d. Minhajut Thalibin Karya Imam Nawawi.
Jika melihat kepada prioritas yang disebutkan di atas maka peneliti
melihat bahwa sebenarnya dalam majlis syawir ini berusaha untuk
menggabungkan pendapat antara cendikiawan madzhab syafi‟iyyah dari aliran
Imam Ramli dan aliran Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Dengan begitu maka
para santri berusaha untuk mengakomodir antara konsep fiqih aliran Imam
Ramli yang luwes dan fiqih aliran Imam Ibnu Hajar yang ketat. Dengan
demikian maka para santri tidak terjebak diantara salah satu aliran tersebut.
Selain itu juga, kitab-kitab yang diprioritaskan di atas merupakan kitab-kitab
yang memuat kesepakatan antara Imam Nawawi dan Imam Rafi‟i. Hal ini
sebenarnya telah sesuai dengan pedoman dalam analisa hukum yang telah
ditetapkan oleh nahdliyyin yang mengedapankan penggunaan maraji‟
(referensi) yang mendahulukan kesepakatan antara Imam Nawawi dan Imam
Rafi‟i.
Abdul Khamid (13 Mei 2015) menambahkan bahwa dalam majlis
syawir qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab Fathul Qarib dengan metode
bacaan makna gandul pesantren yang tetap memperhatikan kaedah
nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian akan dijelaskan oleh qari‟
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan yang diberikan oleh qari‟
tersebut harus memuat beberapa hal, yaitu:
a.
Penjelasan mengenai makna istilah fiqhiyyah.
b.
Penjelasan gramatikal arab (nahwu dan sharaf) yang berimplikasi dalam
pemahaman ibarat.
c.
Penggambaran masalah yang dimaksudkan dari ibarat yang dibaca, dan
dipraktekkan apabila memang diperlukan.
d.
Mencari illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum.
e.
Memberikan
gambaran
tentang
permasalahan
apa
saja
yang
memungkinkan untuk dijawab dengan mempergunakan hukum dari
ibarat ini.
Hal-hal di atas lah yang kemudian juga menjadi bahan diskusi oleh para
musyawirin. Pembahasan dan diskusi yang dilakukan oleh musyawirin harus
tetap memperhatikan relevansi penggunaan ibarat tersebut untuk menjawab
problematika kontemporer umat Islam.
Melihat metode majlis syawir di atas maka peneliti bisa menyimpulkan
bahwa metode tersebut sama dengan metode ilhaqul masail bi nadzairiha.
Dalam hal ketika suatu masalah atau kasus belum dipecahkan dalam kitab
para salaf shalih, maka masalah atau kasus tersebut diselesaikan dengan
prosedur ilhaqul masail bi nazha‟iriha secara jama‟i. Ilhaq dilakukan dengan
memperhatikanmulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq
yang ahli. Dan metode ilhaq inilah yang kemudian oleh para santri
musyawirin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dicoba untuk dipraktekkan
dalam majlis syawir dengan menganilasa illatul hukmi atau wajhul ilhaq dan
hikmah hukum yang terdapat dalam ibarat kitab para ulama‟ salafus shalih.
Dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah analisa hukum Islam, maka
ibarat tersebut direlevansikan untuk menjawab problematika kontemporer
umat Islam.
Dan ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq
bih dan wajhu ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath
secara jama‟i atau ijtihad secara kolektif, yaitu dengan mempraktekkan
qawa‟id ushuliyyah dan qawa‟id fiqhiyyah oleh para ahlinya. Ijtihad kolektif
inilah yang juga dipraktekkan oleh para santri melalui bahtsul masail ketika
mereka memang tidak bisa memecahkan masalah tersebut melalui majlis
syawir. Dengan melalui bahtsul masail yang tidak lain sebagai sebuah metode
ijtihad kolektif maka diharapkan dapat menemukan sebuah jawaban atau
solusi yang diaharapkan.
F. Persaman Dan Perbedaaan Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul
Masail Dan Majlis Syawir
1.
Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir
Dari penjelasan pembahasan sebelumnya maka peneliti dapat
menyimpulkan persamaan antara metode penalaran hukum Islam dalam
bahtsul masail dan majlis syawir. Adapun persamaan tersebut adalah:
a.
Metode yang digunakan dalam bahtsul masail dan majlis syawir adalah
metode diskusi yang melibatkan santri dan pengasuh pesantren sebagai
salah satu metode ijtihad kolektif.
b.
Referensi yang digunakan baik oleh mubahitsin maupun musyawirin
adalah kitab kuning yang merupakan warisan ulama‟ salafus shalih.
c.
Bahtsul masail dan masjlis syawir sama-sama menggunakan metode
ilhaqul
masail
binadzairiha
untuk
menganalisa
hukum
sebuah
permasalahan.
d.
Kedua metode tersebut berlandaskan kepada pemahaman teks ibarat
dalam suatu kitab kuning yang akan dicari illatul hukmi atau wajhul
ilhaq-nya.
e.
Bahtsul masail dan majlis syawir merupakan metode diskusi di
lingkungan pesantren yang menuntut partisipasi aktif para santrinya.
f.
Keputusan hukum dari kedua metode tersebut masih dapat dikoreksi lagi
dalam forum yang sama atau forum yang lebih tinggi.
2.
Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir
Dari penjelasan pembahasan sebelumnya maka peneliti dapat
menyimpulkan perbedaan antara metode penalaran hukum Islam dalam
bahtsul masail dan majlis syawir. Adapun perbedaan tersebut adalah:
Tabel 3.1
Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir
No
a.
Bahtsul Masail
Majlis Syawir
Peserta terdiri dari mubahitsin, Peserta terdiri darimusyawirin,
moderator,
muharrir,
dan moderator, dan qari‟.
mushohih.
b.
Peserta tidak hanya berasal dari Peserta hanya dari kalangan
internal pesantren, tetapi juga bisa internal pesantren
dari masyarakat, alumni, intansi
atau lembaga lain, serta dapat
mendatangkan tokoh ahli
c.
Memakai metode taqrir jama‟i, Hanya memakai metode ilhaqul
ilhaqul masail, dan istinbat jama‟i masail binadzairiha
d.
Dalam bahtsul masail sudah ada Dalam majlis syawir sudah ada
permasalahan yang disiapkan oleh ibarat yang menjadi landasan
panitia, yang kemudian dibahas hukumnya
oleh mubahitsin untuk dicarikan dicarikan
yang
wajhul
kemudian
ilhaq
dan
ibarat dari kitab kuning yang permasalahan apa saja yang bisa
sesuai untuk memberikan hukum dihukumi dengan teks tersebut
kepada masalah tersebut
e.
Tidak ada satu kitab yang menjadi Referensi utama adalah kitab
referensi
utama
pengambilan ibarat
dalam Fathul Qarib
f.
Menggunakan pendapat dari 4 Memprioritaskan kitab syarah
madzhab, dan memprioritaskan dan hasyiyah dari kitab Fathul
pada madzhab syafi‟iyyah
Qarib, serta kitab yang setara
dalam referensinya
g.
Ibarat yang muncul dalam diskusi Ibarat yang muncul hanyalah
bermacam-macam karena setiap sedikit karena hanya bersumber
perserta berhak membawa dan dari kitab Fathul Qarib dan
mempertahankan ibaratnya
h.
syarah atau hasyiyahnya.
Hasil akhirnya adalah ibarat mana Hasil
akhirnya
adalah
yang dipakai diantara beberapa pemahaman yang seperti apa
ibarat yang dibawa mubahitsin
yang disepakati untuk dipakai
dari berbagai
pendapat
atau
pemahaman para musyawirin
i.
Mengenal istilah mauquf
j.
Tidak
terlalu
pembahasan
Tidak mengenal istilah mauquf
memperhatikan Memperhatikan i‟rab nahwiyyah
terhadap
i‟rab dan penggunaan istilah fiqhiyyah
nahwiyyah
G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
1.
Produk Hukum Bahtsul Masail
Berikut ini beberapa contoh hasil produk hukum forum majlis syawir
yang peneliti dapatkan dari dokumen LBMPondok Pesantren Raudlatut
Thalibin, yaitu:
a. Sidik Jari Bisa Menjadi Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam bahtsul masail kubro yang dilaksanakan pada tahun 2012,
ada sebuah permasalahan pidana Islam yang diangkat oleh panitia untuk
kemudian didiskusikan oleh para mubahitsin. Pertanyaan tersebut adalah:
menurut fiqih jinayat, apakah sidik jari bisa dijadikan sebagai alat bukti
dalam kasus pencurian atau kasus pidana yang lainnya ? karena dalam
pidana islam tidak mengakomodir sidik jari sebagai sebuah alat bukti.
Dalam permasalahan di atas terjadi diskusi antara mubahitsin yang
mayoritas diantara mereka tidak menerima sidik jari sebagai sebuah alat
bukti. Alasan yang mereka ungkapkan adalah karena dalam fiqih jinayat
hanya dikenal saksi dan sumpah sebagai alat bukti, dan tidak mengenal
adanya sidik jari. Penggunaan sidik jari sebagai sebuah alat bukti dalam
pidana tidak bisa diterima karena dikuatirkan terjadi sebuah kesalahan
pembuktian yang akhirnya dapat berujung kepada kesalahan pemidanaan
seseorang.
Menurut
Muhammad
As-Syatiri
(2007:900),
syariat
Islam
dibangun berdasarkan dasar-dasar yang kuat dan penuh dengan kehatihatian. Sehingga apapun yang belandaskan kepada syariat Islam harus
dibangun berdasarkan kehati-hatian, sedangkan penggunaan sidik jari
masih ada kemungkinan untuk terjadi sebuah kesalahan. Penggunaan
sidik jari sebagai alat bukti merupakan bentuk pembuatan sebuah
peraturan produk hukum dari manusia yang tidak menutup kemungkinan
terjadi sebuah tipu muslihat, ketidak adilan dan pelanggaran terhadap apa
yang telah digariskan oleh syariat Islam. Oleh karena itu para mubahitsin
berdasarkan pada literatur fiqih yang memuat hukum dasar pidana Islam
serta pernyataan Muhammad As-Syatiri tadi menolak untuk menerima
sidik jari sebagai sebuah alat bukti.
Namun ada beberapa mubahitsin yang kemudian melemparkan
sebuah isykal (problematika) apabila sidik jari tidak bisa digunakan
sebagai sebuah alat bukti. Isykal tersebut adalah:
1) Jika sidik jari tidak digunakan sebagai sebuah alat bukti maka akan
banyak pencuri atau pelaku tindak pidana lain yang dibebaskan dari
jeruji besi. Hal ini disebabkan karena banyak sekali tindak pidana
yang dilakukan tanpa sepengetahuan oleh manusia.
2) Jika pun perbuatan pidana tersebut dilakukan dihadapan oleh
seorang manusia atau lebih, apakah orang tersebut dapat diajukan
sebagai saksi karena syarat untuk menjadi saksi menurut pidana
Islam sangatlah berat dan sangat sulit untuk dapat dipenuhi oleh
orang-orang pada masa sekarag.
3) Para penegak hukum sekarang telah memiliki alat untuk memindai
sidik jari sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam melacak
sidik jari sangatlah kecil. Apalagi sidik jari antara orang yang satu
dengan yang lainnya tidak ada yang sama, sehingga kemungkinan
tertukar sidik jari adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Untuk menguatkan isykal mereka maka mubahitsin dari kubu yang
pro sidik jari ini menawarkan ilhaqul masail dengan sebuah ibarat dari
kitab Bughyatul Musytarsyidin (tt:276-277), yaitu:
‫ليس للقاضى اف يقبل الشهادة او حيكم دبجرد خط من غَت بينة مطلقا عن التفصيل‬
‫بكوف خطو او خط موثوؽ بو اـ ال احتياطا للحكم الذي فيو الزاـ اػبصم مع احتماؿ‬
‫ ولنا وجو انو جيوز للحكم اذا‬،‫التزوير ىذا مذىب الشافعي الذي عليو صبهور اصحابو‬
‫رأى خطو بشيئ اف يعتمده اذا وثق خبطو ودل تداخلو ريبة اذل اف قاؿ وقاؿ ىف اػبادـ وقد‬
‫عمت البلوى باغبكم بصحة اػبط من غَت ذكر تفاصيلو فإف كاف عن تقليد اؼبذىب‬
‫الشافعي فممنوع اىػ‬
Dalam ibarat di atas terdapat sebuah pendapat yang memperbolehkan
menggunakan analisis gaya tulisan seseorang untuk dijadikan sebagai
sebuah alat bukti. Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat ada
keyakinan bahwa gaya tulisan tersebut adalah milik orang yang akan
dijerat persangkaan pidana, serta orang yang menganalisa memang orang
yang mempunyai keahlian untuk menganalisa sebuah gaya seni tulis
menulis. Walaupun pendapat di atas merupakan sebuah pendapat yang
lemah tetapi dipandang akan memberikan kemaslahatan yang lebih besar
bagi penyelidikan dan penyidikan sebuah perkara pidana. Dalam hal ini
sidik jari di-ilhaq-kan dengan gaya seni tulis menulis tadi.
Ibarat di atas diperkuat dengan ibarat dari kitab fiqih Islam karya
Wahbah Zuhaili yang mengatakan bahwa dalam Madzhab Malikiyyah
dan Hanafiyyah juga menggunakan sebuah pertanda atau ciri-ciri khusus
untuk digunakan sebagai sebuah alat bukti. Pertanda dan ciri khusus
tersebut diantaranya adalah hamil sebagai bukti adanya perzinaan, bau
khomr atau minuman keras sebagai bukti telah meminum minuman yang
memabukkan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Wahbah Zuhaili
mengsyaratkan sebuah pertanda atau ciri-khusus dapat digunakan sebagai
alat bukti dengan dua syarat, yaitu:
1) Ciri-ciri atau pertanda tersebut sangatlah jelas dan kuat sehingga
memang layak untuk digunakan sebagai sebuah alat bukti.
2) Ada benang merah atau kesinambungan yang kuat antara alat bukti
dengan terjadinya tindak pidana tersebut.
Dengan pertimbangan dan isykal di atas maka musyawirin menyepakati
sidik jari dapat digunakan sebagai sebuah pembuktian dalam perkara
pidana.
b. Hukum Menimbun Barang Walaupun Bukan Barang Pokok
Penimbunan barang-barang komoditi terutama barang-barang
pokok seringkali membuat permasalahan yang bisa menimbulkan
kelangkaan barang dan harga-harga barang dipasaran menjadi naik.
Apalagi ketika menjelang bulan puasa banyak barang-barang kebutuhan
pokok ditimbun dan kemudian dijual kembali ketika bulan puasa untuk
mendapatkan harga yang lebih tinggi. Tentunya penimbunan barang ini
dapat merugikan banyak pihak terutama masyarakat sebagai konsumen.
Hal ini lah yang kemudian menjadi pembahasan para mubahitsin peserta
bahtsul masail pada hari senin tanggal 11 Mei 2015. Dari persoalan
penimbunan barang yang sering terjadi di pasar maka kemudian
timbullah sebuah pertanyaan; apakah ada aturan yang sangat kongkrit
dalam fiqih Islam yang membahas tentang aturan penimbunan ?
Dalam pembahasan permasalahan di atas oleh para mubahitsin
terjadi diskusi yang mana mereka menyepakati terlebih dahulu untuk
membahas definisi penimbunan barang menurut pengertian fiqih Islam.
Dalam diskusi tersebut kemudian terdapat satu definisi yang dianggap
tepat untuk menggambarkan tentang penimbunan barang, yaitu seperti
yang dideskripsikan Imam al-Malibary (tt: 24)dalam kitab Fathul Mu‟in:
‫االحتكار ىو إمساؾ ما اشًتاه يف وقت الغالء ال الرخص ليبيعو بأكثر عند اشتداد‬
‫حاجة أىل ؿبلو أو غَتىم إليو‬
Terjemahan dari ibarat diatas adalah yang disebut dengan penimbunan
barang atau ikhtikar adalah menahan atau menyimpan sebuah barang
yang dibeli pada waktu beli harga belinya tinggi (bukan pada waktu
murah harganya) dan kemudian akan dia jula lagi dengan harga yang
yang lebih tinggi lagi ketika masyarakat membutuhkan.
Dari definisi di atas dengan ditambahbeberapa ibarat dari kitab lain
setidaknya dapat diklasifikasikan bagaimana sebuah penimbunan itu bisa
dikatakan haram, yaitu:
1) Ada unsur imsak, yaitu menahan atau menimbun. Jika tidak unsur
niat atau menimbun maka tidak bisa dihukumi haram.
2) Barang yang ditimbun tadi merupakan hasil pembelian. Berbeda bila
barang yang disimpan itu hasil dari panen sendiri, maka tidak
dihukumi ihtikar yang haram.
3) Pembelian dilakukan pada waktu harga beli mahal. Berbeda bila
pembelian dilakukan pada saat harga murah atau harga standar.
4) Barang yang ditimbun merupakan makanan pokok atau yang
dibutuhkan masyarakat.Berbeda bila barang yang disimpan itu bukan
makanan pokok, maka tidak termasuk haram.
Dari hal di atas kemudian para mubahitsin juga meng-ilhaq-kan
permasalahan penimbunan barang lain yang bukan barang makanan
pokok, seperti bahan bakar motor (BBM), daging, kedelai dan lain
sebagainya. Hal ini karena barang-barang tadi sudah berlaku sepeti
barang pokok, dan kelangkaan barang-barang tersebut tadi akan dapat
menimbulkan efek domino bagi komoditas lain. Bahkan tidak menutup
kemungkinan barang-barang lain akan ikut terkerek harganya menjadi
mahal.
2.
Produk Hukum Majlis Syawir
Berikut ini beberapa contoh hasil produk hukum forum masjlis syawir
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin:
a.
Implikasi Kemakruhan Ma‟ Musyammas ( ‫ )ماء اؼبشمس‬dalam Penggunaan
Air bagi Kehidupan Sehari-Hari.
Dalam ibarat kitab Fathul Qarib (Al-Jawy, 2013:17-8) dikatakan:
‫ والثاين طاىر مطهر مكروه استعمالو يف‬.... ‫ إذل أف قاؿ‬.... ‫مث اؼبياه على أربعة أقساـ‬
‫ وإمنا يكره شرعا بقطر حار يف‬،‫البدف ال يف الثوب وىو اؼباء اؼبسمش بتأثَت الشمس فيو‬
‫ واختار النووي عدـ‬،‫ وإذا برد زالت الكراىة‬،‫ إال إناء النقدين لصفاء جوىرمها‬،‫إناء منطبع‬
‫ ويكره أيضا شديد السخونة والربودة‬،‫الكراىة مطلقا‬
Dalam ibarat di atas dijelaskan bahwa klasifikasi macam-macam air
berdasarkan kesuciannya yang kedua adalah air suci yang menyucikan
akan tetapi dimakruhkan penggunaannya. Kemakruhan ini apabila air
tersebut digunakan untuk keperluan yang berhubungan dengan tubuh
manusia seperti minum, memasak, mandi, berwudlu, dan yang lain
sebagainya. Hukum makruh tersebut tidak berlaku apabila penggunaan
air untuk selain tubuh manusia seperti menyuci baju, menyiram tanaman,
menyuci perkakas rumah tangga dan yang lain sebagainya. Dalam hal ini
dicontohkan dari air tersebut yaitu ma‟ musyammas, yaitu air yang
menjadi panas karena ada pengaruh sinar matahari. Disyaratkan air panas
tersebut dihukumi makruh apabila ketika dipanaskannya tadi teletak
dalam sebuah tempat yang terbuat dari logam (besi, baja, alumunium,
dan lainnya). Dan hukum makruhnya akan hilang ketika air tersebut
menjadi dingin kembali. Alasan dimakruhkannya adalah karena ada hadis
yang melarang hal tersebut dan ada kekhawatiran ma‟ musyammasdapat
menyebabkan penyakit belang. Apabila kekhawatiran itu tidak terbukti
maka hukum makruhnya juga hilang. Oleh karena itu air yang menjadi
panas karena matahari dalam sebuah tempat yang tidak ada kekhawatiran
dapat menyebabkan penyakit, seperti tempat yang terbuat emas perak,
plastik atau tanah maka tidak berlaku hukum makruh. Tetapi dalam hal
ini Imam Nawawi berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa hukum
ma‟ musyammas adalah mubah secara mutlak karena hadisnya lemah.
Termasuk permasalahan yang dimakruhkan adalah penggunaan air yang
sangat panas dan air yang sangat dingin, karena dapat menimbulkan sakit
bagi orang yang memakainya.
Berdasarkan penjelasan di atas para musyawirin mengambil sebuah
kesimpulan bahwa penyebab adanya hukum makruh adalah karena air
musyammas yang digunakan oleh manusia dapat menimbulkan penyakit.
Inilah yang dipandang oleh para musyawirin sebagai illatul hukmi atau
wajhul ilhaq. Implikasi dari pemahaman ibarat tersebut sangatlah luas.
Implikasi yang dipahami oleh para musyawirin adalah diberikannya
sebuah hukum yang sama (makruh) terhadap penggunaan air yang
dikhawatirkan berdampak tidak baik bagi kesehatan tubuh manusia.
Dalam hal ini musyawirin mencontohkan banyaknya penggunaan air
sungai di Indonesia yang banyak tercemar baik karena limbah pabrik
maupun dikotori oleh ulah masyarakat sendiri yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari, maka hukum menggunakan air tersebut adalah
makruh.
Selain memberikan hukum makruh terhadap penggunaan air yang
tercemar tadi, musyawirin juga memberikan hukum haram kepada
tindakan pencemaran lingkungan serta wajibnya hukuman ta‟zir kepada
orang yang melakukan pencemaran. Hukum tersebut diberikan karena
seseorang yang melakukan pencemaran dapat membahayakan kesehatan
orang lain serta dapat menghalangi orang lain untuk melaksanakan
ibadah. Dengan demikian, solusi hukum yang diberikan tidak hanya
diberikan kepada penggunaan air, tetapi juga bagi pencemaran
lingkungan.
Melihat penjelasan di atas maka peneliti dapat mengetahui bahwa
pemahaman akan sebuah teks yang pada waktu dahulu hanya digunakan
untuk sebuah kasus tertentu ternyata dalam sebuah forum majlis syawir
dapat dipahami dengan lebih luas lagi. Makna syariat Islam yang luwes
serta berlaku universal dapat kita lihat dari contoh penafsiran hukum air
di atas. Melalui forum majlis syawir para musyawirin mencoba untuk
tidak terbelenggu dengan pemaknaan pada sebuah kasus tertentu, tetapi
juga untuk merelevansikan ibarat dengan problematika kontemporer
umat manusia.
Dari penjelasan di atas juga dapat dipahami bahwa syariat Islam
walaupun memerintahkan seseorang untuk melaksanakan ibadah tetapi
juga tetap memperhatikan aspek kesehatan bagi orang yang akan
melakukannya. Sehingga pelaksanaan ibadah yang diperintahkan oleh
syariat Islam tidak akan merugikan diri orang tersebut. Selain itu juga,
kesimpulan dari pemahaman ibarat di atas juga sesuai dengan salah satu
dari maqasidus syariah yaitu hifdhul badan dengan cara menjaga dan
merawat tubuh seorang manusia.
b.
Perintah Untuk Melaksanakan Ibadah Tidak Boleh Dibarengi Dengan
Pelanggaran Terhadap Hak Orang Lain
Dalam ibarat kitab Fathul Qarib(Al-Jawy, 2013:21) dikatakan:
‫وترؾ اؼبصنف قسما خامسا وىو اؼباء‬
.... ‫ إذل أف قاؿ‬.... ‫اؼبياه على أربعة أقساـ‬
‫اؼبطهر اغبراـ كالوضوء دباء مغصوب أو مسبل للشرب‬
Dalam ibarat di atas dijelaskan bahwa termasuk klasifikasi pembagian air
yang kelima adalah air suci mensucikan yang haram digunakan untuk
kegiatan apapun. Dalam hal ini dicontohkan menggunakan air suci tetapi
hasil dari ghasab untuk wudhlu. Walaupun wudhlu orang tadi dapat
dikatakan sah untuk melaksanakan ibadah, tetapi orang tersebut
dikenakan dosa karena melakukan maksiat dengan menggunakan air
yang bukan haknya untuk berwudhlu. Selain air suci hasil ghasab,
termasuk yang diharamkan lagi adalah berwudhlu dengan air yang yang
memang ditujukan untuk tujuan kemaslahatan tertentu selain berwudhlu
atau bersuci seperti air yang dikhususkan untuk minum.
Berdasarkan penjelasan di atas para musyawirin mengambil sebuah
kesimpulan bahwa perintah untuk melaksanakan ibadah tidak boleh
dibarengi dengan pelanggaran terhadap hak orang lain dan kepentingan
umum. Inilah yang kemudian disepakati sebagai sebuah illatul hukmi
atau wajhul ilhaq. Syariat Islam tidak pernah mengajarkan pelanggaran
terhadap hak orang lain dan kepetingan umum. Bahkan perintah untuk
beribadah kepada Tuhan pun tidak boleh sampai merugikan orang
laindalam pelaksanaannya. Hak dan kepentingan seseorang dalam Islam
sangatlah dijaga dan dihormati. Inilah yang juga menjadi tujuan dari
agama Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya
dan mengatur hubungan antara sesama manusia.
Pelanggaran terhadap hak orang lain dan kepentingan umum
dengan mengatasnamakan agama sangatlah tidak dibenarkan. Karena
sejatinya agama tidak pernah mengajarkan seperti itu. Oleh karena itu
musyawirin mencontohkan latihan rebana yang selama ini dilaksanakan
oleh para santri agar selanjutnya tidak sampai melebihi waktu jam 10
malam. Hal tersebut dikarenakan akan dapat mengganggu waktu istirahat
masyarakat atau tetangga sekitar pesantren.
Melihat penjelasan hasil majlis syawir di atas maka peneliti dapat
melihat bahwa teks ibarat yang menerangkan tentang pembagian macammacam air ternyata juga memuat tentang sebuah pemahaman dasar
bagaimana seseorang itu seharusnya beragama dan bermasyarakat.
Larangan penggunaan air yang bukan haknya walaupun untuk tujuan
sebuah ibadah menunjukkan bahwa Allah pun sebenarnya tidak mau
disembah dengan sebuah kemaksiatan, karena dalam ibadahnya orang
tersebut melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain. Islam sebagai
sebuah agama yang penuh kasih sayang tentunya menginginkan sebuah
ibadah dijalankan dengan penuh kasih sayang tanpa menimbulkan
kebencian terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu maqashid
syariah, yaitu hifdzuddin yang maksudnya adalah untuk tidak
mengatasnamakan agama dalam menjustifikasi kepentingan atau ambisi
pribadi seseorang.
BAB IV
RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR
DI INDONESIA
Ahmad Baso (2013:230) mengatakan bahwa konstruksi orang-orang
pesantren tentang pengetahuan mereka berorientasi pada faidah dalam proses
istifadah (pengolahan pengetahuan). Hal itu bermaksud pada soal relevansi,
kebermaknaan dan kebermanfaatan teks-teks dan pengetahuan tersebut bagi usernya, yakni bagi komunitasnya. Karena dari sini kemudian kita bisa melihat arah
yang
ingin
dituju,
yaitu
terbentuknya
suatu
bentuk
pengetahuan
amali,pengetahuan yang tidak hanya bermanfaat bagi pemiliknya, tetapi juga
dapat terpraktekkan bagi orang lain.
Pengetahuan
pesantren
menarik
minat
banyak
orang
untuk
mempelajarinya, untuk berguru kepada para kiyai dan ulama‟, menjadi santri, atau
minimal hanya sebatas sebagai mustami‟. Masyarakat melihat sesuatu yang
mereka butuhkan untuk kehidupan mereka sehari-hari, untuk kepentingan
kemaslahatan mereka di dunia ini dan dan untuk keselamatan di akhirat kelak.
Pengolahan ilmu pengetahuan di pesantren ini pun melibatkan aktor-aktor dan
partisipan yang luas. Bahkan dalam hal ini orang desa pun mempunyai hak untuk
ikut bergabung (Baso, 2013:235).
Dalam bab inilah diuraikan bagaimana kontruksi ilmu pengetahuan
pesantren melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir diorientasikan oleh
komunitasnya untuk sebuah kebermanfaatan bagi komunitasnya dan bagi
masyarakatnya, bahkan negaranya. Kontruksi tersebut merupakan bentuk
relevansi metode tersebut dalam menjawab tuntutan zaman dan dalam
memecahkan problematika kontemporer dan permasalahan sosial yang ada.
Dalam kontek ini, peneliti mengfokuskan relevansi dua metode tersebut kepada 6
pembahasan, yaitu:
A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara
Pengembangan ilmu pengetahuan oleh pesantren atau komunitas
nahdliyyin dengan tradisi bahtsul masail dan majlis syawir merupakan kelanjutan
dari pelestarian turats islamidalam bentuk tulisan dan lisan. Setelah melalui
sebuah pengolahan maka ilmu pengetahuan tadi dimanfaatkan oleh siapapun
untuk menjawab persoalan keagamaan dan kemasyarakatan melalui kelembagaan
fatwa yang oleh pesantren dinamakan dengan LBM. Dalam konteks ini yang
banyak bermain dalam berproses pengolahan dan konstruksi ilmu pengetahuan ini
adalah komunitas santri dan ulama‟. Khazanah keilmuan melaui proses ini
menjadi sebuah korpus (nushush) baru dalam dalam tradisi fiqih sosial (fiqih
ijtima‟i) yang kemudian menjadi salah satu khazanah khas keilmuan Islam
Nusantara (Baso, 2013:235).
Khazanah keilmuan ini mempunyai ciri khas yang terletak pada
kecenderungannya untuk merangkul pasrtisipasidari masyarakat (mustami‟).
Dalam setiap proses pengolahan keilmuan ini oleh orang-orang pesantren dan
komunitasnya
kemudian
dianalisa,
disajikan,
dibaca,
diperdengarkan,
dipertunjukkan hingga didesain ulang. Keilmuan tersebut selalu terbentuk secara
baru dan konstekstual. Sehingga metode ini memang sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh masyarakat dan dapat bermanfaaat serta menjadi solusi bagi
mereka.
Dalam pesantren sangat terkenal sekali sebuah kaidah al muhafadzatu ala
al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bil jadidi al-aslah, yaitu memelihara dan
melestrasikan hal yang baik yang menjadi warisan ulama‟ dan mengambil hal-hal
yang lebih baik yang terjadi setelahnya. Dalam proses pengolahan ilmu
pengetahuan pesantren melaui bahtsul masail dan majlis syawir ini, ada unsur
mukhafadzah yang dilakukan oleh para santri dan ulama yang mana mereka
mengolah pengetahuan yang ada dalam kutub mu‟tabarah. Selain itu ada unsur alakhdzujuga yang diperankan oleh kalangan mustami‟, yang selalu setia menunggu
akan pengetahuan pesantren yang selalu, aktual up to date, konstekstual dan
inovatif. Tradisi bahtsul masail dan masjlis syawir ini lah yang membantu
memperkaya pengolahan ilmu pesantren untuk selalu aktual dan berproses tiada
henti (Baso, 2013:262).
Kelebihan dari metode bahtsul masail dan majlis syawir adalah dalam
proses pengolahan konstruksi pengetahuan yang mana para musyawirin dan
mubahitsin mengajak pastsipasi masyarakat sebanyak-banyaknya untuk ikut
memberikan pertanyaan dan masukan. Dengan demikian maka proses akhir dari
pembahasan yang dilakukan memang tepat guna bagi masyarakat sehingga
relevansi dari metode tersebut memang benar-benar terpenuhi untuk menjawab
problematika kontemporer umat Islam. Tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat
maka akan sulit mendapatkan informasi yang aktual dan konstektual, yang mana
hal ini juga akan menyulitkan dalam pelaksanaan diskusinya. Dengan adanya halhal yang demikian maka metode ini menjadi sebuah metode tersendiri, dan
menjadi ciri khas dari salah satu khazanah keilmuan di negara Indonesia ini.
Partisispasi masyarakat seperti inilah yang selama ini sudah dapat
diterapkan dalam pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. LBM di pesantren tersebut yang didirikan
dengan tujuan utama untuk ikut menjawab berbagai problematika keagamaan dan
memberikan solusinya telah mendorong masyarakat juga ikut berpartisipasi aktif
dalam forum tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan yang
ditanyakan oleh masyarakat baik itu melalui LBM sendiri, melalui pengasuh
maupun alumni untuk kemudian didiskusikan. Selain itu juga, peran LBM ini
tidak hanya terhadap masyarakat di lingkungan pesantren tetapi juga ikut
berpartisipasi mendiskusikan permasalahan yang menjadi isu nasional maupun
internasional.
Partisipasi diatas dapat dilihat dengan melihat hasil produk hukum baik itu
produk hukum bahtsul masail maupun majlis syawir. Produk hukum yang
dihasilkan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin kebanyakan adalah
hasil diskusi terhadap berbagai permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat,
baik itu berkaitan dengan fiqih, sosial, ideologi, politik, dan lain sebagainya.
Beberapa produk hukumnya juga ikut membahas terhadap berbagai isu-isu
nasional baik dalam perkara pidana maupun perdata. Contoh dari produk hukum
yang membahas isu nasional adalah terkait dengan penimbunan barang seperti
yang telah peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya.
Sisi lain dari keilmuan islam nusantara yang terdapat dalam metode
tesebut adalah keikut sertaan pesantren lain dalam mendiskusikan berbagai
persoalan yang ada dalam sebuah forum yang sama. Forum ilmiah yang
diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin tersebut digunakan
untuk menjalin tali silaturrahmi antar Pondok Pesantren. Dengan digelarnya event
bahtsul masail diniyyah kubradimanfaatkan sebagai tempat untuk saling mengenal
dan saling menyambung tali silaturrahmi antar pondok pesantren yang ada di
belahan bumi Indonesia, utamanya di wilayah Kabupaten Semarang, Kabupaten
Boyolali, dan Kota Salatiga, serta mempererat ukhuwah Islamiyah alaahlussunah
wal jama‟ah diantara pondok pesantren yang ada.
B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual
Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu
hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama
sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai
yurisprudensi, fiqih memiliki sistematikanya sendiri.Fiqih tidak berdiri sendiri
karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum
fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukum
agama. Dari sanalah kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi halhal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaedahkaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih.
Belum lagi ilmu-ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis serta ilmu-ilmu bahasa arab yang
semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat
keputusan hukum (Mahfudz, 1994:21-22).
Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya
memungkinkan
dikembangkan
secara
kontekstual,
sehingga
tidak
akan
ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak.
Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat
terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu
sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang
belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang
berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat
bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau komponen Islam
yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan
tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah
diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti (Mahfudz, 1994:2223).
Hal di atas lah yang dipraktekkan oleh para santri Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin melalui LBM dalam membangun fiqih yang konseptual dan
aktual serta dapat diaplikasikan oleh khalayak awam tanpa keresahan. Pembangun
fiqih tersebut dilakukan melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir yang
dilakukan para santri. Melalui kedua forum tersebut kemudian terjadilah ijtihad
jama‟i atau ijtihad secara kolektif yang dilakukan oleh komunitas santri dan kiyai
serta melibatkan masyarakat.
Tetapi istilah ijtihad jama‟i untuk menghasilkan sebuah produk fiqih baru
yang dilakukan didalam forum tersebut tidaklah terlalu banyak digunakan. Karena
komunitas tersebut lebih sering menggunakan istilah istinbath al-ahkam.
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan nahdliyyin bukan mengambil hukum
secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan al-Hadis. Akan tetapi
penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara dinamis nash-nash
fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbathlangsung
dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung kepada pengertian
ijtihad mutlak, bagi ulama nahdliiyin masih sangat sulit dilakukan karena
keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang
dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath
dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama
nahdliyyin yang telah mampu memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih sesuai
dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27).
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak
berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian
hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam
beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain
mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut,
tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai
dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan
tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28).
Pembangunan fiqih Indonesia yang aktual dan kontekstual diperlihatkan
oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin melalui proses pembentukan
hukum baik itu dengan metode bahtsul masail atau majlis syawir, maupun yang
diperlihatkan dalam produk-produk hukum yang dihasilkan. Proses pembentukan
hukum yang diperlihatkan oleh LBM adalah dengan mengajak partsipasi aktif
masyarakat dari berbagai kalangan. Partisipasi tersebut dimaksudkan agar
permasalahan yang didiskusikan antinya adalah memang benar-benar menjadi
solusi bagi masyarakat nantinya. Dengan demikian maka kontekstualitas dari hasil
produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir memang benar-benar terjaga.
Pembahasan berbagai permasalahan yang menjadi isu baik nasional
maupun internasional melalui bahtsul masail dan majlis syawir merupakan bukti
akan eksistensi LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dalam menangkap
berbagai permasalahan yang aktual. Dengan memahami permasalahan yang ada
maka produk hukum yang dibentuk memang tidak mengalami keterlambatan
zaman. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat berbagai produk hukum bahtsul
masail dan majlis syawir
yang aktual dan konstektual. Salah satu produk
hukumnya adalah tentang pelaksanaan ibadah tidak boleh dibarengi dengan
pelanggaran terhadap hak orang lain seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya.
Produk hukum tersebut dapat digunakan untuk menyikapi berbagai permasalahan
yang terjadi di akhir-akhir ini dimana terdapat sebagian orang yaang
mengatasnamakan agama untuk menjustifikasi kepentingan atau ambisi
pribadinya.
C. Sosial Problem Solving
Fiqih yang dipahami nahdliyyin dalam pengertian terminologis, sebagai
ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal
manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil tafshili adalah
fiqih
yang
diletakkan
pembentukannya;
oleh
al-Qur‟an,
para
perintisnya
al-Sunnah,
(mujtahidin)
Ijma‟
dan
pada
Qiyas.
dasar
Dalam
pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan
karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang
tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbabun nuzul
bagi ayat al-Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan
muktamar nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas
oleh syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga masalah tersebut
dapat menjadi jelsa. Kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu, melibatkan
orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan
disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif
pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum (Mahfudz, 1994:30-33).
Dari definisi fiqih yang dibahas di atas setidaknya terdapat tiga subtansi
dasar yang sangat krusial. Pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling dinamis
karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial yang selalu berubah dan
kompetitif. Kedua, ilmu fiqih sangat rasional, mengingat ilmu fiqih adalah ilmu
iktisabi (ilmu yang merupakan hasil kajian, analisis, penelitian, generalisasi dan
konklusisasi). Disinilah terjadi kontak sinergis antara sumber transendental
(adillah) dan rasionalitas (mujtahid). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang menekankan
pada aktualisasi, real action, atau biasa dikatakan amaliyyah, yaitu bersifat praktis
sehari-hari (Asmani, 2007:55).
Dari sini bisa dilihat bahwa fiqih sendiri adalah ilmu yang rasionalanalitis. Oleh sebab itu para pengkaji fiqih harus mengoptimalkan rasio dan
analisanya, dengan tidak menjadikan fiqih hanya sebagai doktrin yang bersifat
dogmatik, tidak bisa berubah, rigit, dan eksklusif atau tertutup. Fiqih juga harus
berhubungan secara erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi
fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar
sesuai dengan tuntunan agama. Perilaku manusia tidak hanya terbatas pada
wilayah ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek
ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan, dan
kebudayaan. Fiqih harus tampil menjadi solusi terhadap problem sosial tersebut.
Dengan itulah fiqih menjadi aktual dan relevan dengan kebutuhan dan tantangan
zaman (Asmani, 2007:55-56).
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dengan analisis dan kepekaan yang tinggi
maka kitab kuning yang banyak mendokumentasikan produk-produk hukum fiqih
dapat digunakan sebagai referensi utama untuk membaca realitas kekinian. Kitab
kuning mampu dijadikan sebagai referensi karena ternyata juga banyak orangorang barat yang mengambil referensi dari kitab kuning, mengapa kemudian umat
Islam sebagai pemegang warisan yang sah jutru menelantarkannya. Justru ini lah
yang menurut beliau kemudian menjadi ironi dan menjadi fenomena akhir-akhir
ini (Asmani, 2007:35).
Aktualisasi dan kontekstualisasi fiqih dalam kitab kuning harus dilakukan
sebagai bentuk keyakinan akan relevansi kitab kuning terhadap perkembangan
zaman. Menurut beliau, kalau konsep yang ada dalam kitab kuning dikatakan out
of date, tidak sesuai dengan perkembangan zaman sangat tidak bisa diterima.
Dalam kitab kuning banyak sekali dijumpai referensi metodologis yang sangat
potensial dikembangkan menjadi sebuah epistimologi dan metodologi ilmu
pengetahuan. Hal ini seperti banyak sekali ditemukan dalam kitab kuning yang
membahas tentang ilmu munadzarah, atau ilmu diskusi. Hal-hal semacam inilah
yang secara serius untuk diaktualkan kembali menjadi sebuah konsep sosial yang
up to date, tetap relevan dengan dinamika zaman (Asmani, 2007:35-36).
Tentang pemahaman syariah agar dapat dipahami secara aktual
kontekstual (muqtadha hal) ini memang memerlukan pengetahuan membaca
perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam
syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang
yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat.
Berbicara maslahat berarti berbicara hal-hal yang konstektual.
Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki
kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam
persyaratan-persyaratan yang ada, maupun di dalam mekanisme penggalian
hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim
yang dilahirkan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah
kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah
sama juga (Mahfudz, 1994:43-45).
Sehingga dengan demikian maka peneliti bisa menyimpulkan bahwa
Lajnah
Bahtsul
masail
(LBM)yang
berperan
dalam
aktualisasi
dan
kontekstualiasai syariat dapat berperan sebagai lembaga aduan hukum syar‟i.
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dalam hal ini berperan sebagai media
alternatif bagi masyarakat untuk mengadukan masalah syar‟i yang belum mereka
pahami secara jelas. Seperti pengalaman LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin yang telah ada, kebanyakan pertanyaan yang masuk adalah seputar
masalah yang kontemporer yang berasal dari masyarakat, sehingga memang harus
dicarikan solusi hukumnya.
Selain itu juga, menurut peneliti LBM telah berperan dalam melindungi
dan mengayomi masyarakat. Peran utama yang telah dilakukan oleh LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin adalah melindungi dan mengayomi masyarakat.
Karena tanggung jawab lembaga ini sebagai sebuah organisasi yang mengurusi
masalah umat dan berkompeten dalam hukum syar‟i, dituntut baginya harus
selalu siap siaga dan menyajikan hukum syar‟i yang up to date yang diperlukan
oleh masyarakat, agar masyarakat selalu berada pada jalan yang lurus yang
diridhai oleh Allah SWT.
Dan yang tidak kalah pentingnya, LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin telah berperan sebagai jaringan penghubung masyarakat dengan ulama‟.
Terkadang masyarakat bingung ketika mereka menghadapi suatu masalah syar‟i
dan harus diadukan kepada siapa. Dalam tataran hidup bermasyarakat yang
berperan penting dalam menanggapi persoalan umat tersebut seharusnya adalah
seorang tokoh ulama‟ (kiyai). Tetapi kebanyakan masyarakat beranggapan
berbeda. Mereka beranggapan bahwa seorang kiai itu berkarisma tinggi dan
berbeda kelas darinya, sehingga rasa canggung dan takut untuk mengadu itu
muncul. Dengan adanya LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ini telah
menjadi solusi bagi masyarakat untuk bisa mengutarakan masalahnya tanpa perlu
adanya rasa canggung dan takut. Permasalahan tersebut akan ditampung dan akan
dibahas serta dicarikan solusi hukumnya melalui forum bahtsul masail dan majlis
syawir.
Salah satu produk hukum dari LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
yang berkaitan dengan sosial problem solvingadalah tentang penggunaan ma‟
musyammasseperti yang telah peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya. Produk
hukum dari metode majlis syawir tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari teks
kitab fathul qarib untuk menjawab berbagai problem sosial yang terjadi di
masyarakat. Dalam produk hukum tersebut dijelaskan bagaimana seharusnya
masyarakat harus hidup sehat dan bersih, serta kewajiban bagi manusia untuk
menjaga lingkungan. Selain itu juga diberikan penjelasan bagaimana sebuah
perintah untuk melaksanakan ibadah tidak akan pernah menimbulkan kerugian
bagi orang yang melaksanakannya.
D. Legislasi dan Formalisasi Syariat Islam
Tasyri‟ Islami (legislasi hukum Islam) sebenarnya adalah usaha penetapan
hukum yang berperadaban dan humanis dalam lingkup batas-batas hukum Allah.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam kondisi tertentu hukum dapat
diberlakukan tepat berada pada batas-batas tertentu. Meski demikian, mayoritas
penetapan hukum akan berada di dalam atau di antara batas-batas hukum Allah.
Kecenderungan inilah yang menjadikan tasyri‟ Islami bersifat lentur (hanifi) atau
selalu berkembang mengikuti kecenderungan, perilaku, dan adat istiadat manusia
serta tingkat peradaban mereka dalam sejarah, baik dalam bidang ekonomi, sosial
maupun politik (Syahrur, 2012:211).
Formalisasi ajaran Islam seperti yang dikatakan Gus Dur adalah “…
membantu kemapanan masyarakat dimana kaum muslimin bisa melaksanakannya
baik secara individual maupun kemasyarakatan” (Asmani, 2007:4). Sebagai ganti
dari institusi-institusi politik, strategi ini bercita-cita membangun sebuah
komunitas yang menjunjung tinggi tata hukum, bebas dari tekanan, membangun
kerangka kenegaraan yang demokratis, pembagian kekayaan negara yang adil dan
sebagainya. Tujuan-tujuan ini tidak dicapai melalui jaringan politik, melainkan
kampanye kultural untuk membuat masyarakat sadar tentang kemampuan yang
ada pada diri mereka untuk menentukan nasib. Institusi-intitusi sosial yang akan
dibangun bersifat kultural, meskipun dengan wajah sosial ekonomi, ditambah
dengan kesadaran politik tentang kekuatan masyarakat untuk mentransformasikan
kehidupan mereka.
Melalui forum bahtsul masail dan majlis syawir yang dilaksanakan oleh
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, peneliti melihat bahwa para santri
dan kiyai berusaha melakukan legislasi dan formalisasi syariat Islam. Hal itu
mereka mereka tunjukkan membentuk hukum syariat Islam yang humanis dan
berperadaban seperti yang dapat dilihat dalam produk-produk hukumnya.
Humanisme yang ditunjukkan disitu adalah dengan berpihak kepada masyarakat.
Selain itu mereka berusaha untuk membantu kemapanan bagi kehidupan
masyarakat. Sehingga dengan demikian makna legislasi dan formalisasi tidak
melulu dimaknai sebagai Islamisasi sebuah perundang-undangan.
Pengetahuan kaum santri seperti yang ditunjukkan dalam tradisi fiqihnya
sangatlah membumi dan menghujam sampai ke akar-akar sosial masyarakatnya.
Pengetahuan mereka mewakili darah dan keringat orang-orang bawah, yaitu suara
masyarakatnya. Mereka memahami betul bahwa fiqih merupakan perpaduan
antara suara ulama dan suara masyarakat. Sejarah fiqih adalah sejarah ulama dan
orang-orang kebanyakan. Dalam praktiknya sehari-hari, fiqih adalah ilmu
mustadl‟afiin yang menampilkan suara-suara mereka sebagai fail(pelaku).
Sebagai fail, ada celah dan kesempatan bagi orang-orang kebanyakan
untuk bersuara dan beroposisi. Kaum santri hadir sebagai jembatan untuk
mempedengarkan suara-suara perih itu kepada penguasa dan kalangan elit. Fiqih
pula yang memungkinkan suara-suara lirih dan perih itu diperdengarkan dari
bawah ke atas. Bagi kaum santri, fiqih adalah jendela untuk melihat dunia ini, dan
juga untuk mengkoreksinya. Tanpa fiqih, pemahaman dan pengetahuan mereka
tentang kondisi sekitarnya dan konteksnya tidak akan bisa berarti(Baso,
2013:183).
Dalam menghadapi eskalasi formalisasi dan Islamisasi, fiqh dapat
digerakkan tampil kedepan untuk memberikan pencerahan kepada umat bahwa
fiqh tidak mempunyai ambisi menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif
negara, tapi sebagai etika sosial. Formalisasi dan Islamisasi berpotensi besar
terjadinya politisasi syari‟at demi kepentingan segelintir elit. Selain itu,
formalisasi Islam membutuhkan gerakan kolosal, berupa penyadaran psykologispersonal, kedalaman spiritualitas religiusitas, kecerdasan pendidikan masyarakat,
kolektifitas, dan harmoni sosial. Artinya, gerakan formal harus didahului oleh
gerakan kultural. Sebaik apapun Perda Syari‟at, kalau proses pembumiannya
berjalan cepat, main paksa, serta melalui aparat kepolisian, maka aplikasinya tidak
akan membawa penyadaran sosial, tidak berumur lama, dan justru masyarakat
akan merasakan Perda Syari‟at sebagai „hantu‟ disiang bolong, menyeramkan,
menakutkan, menghegemoni, dan terkesan anarkis-represif( Asmani, 2007:108109).
Dalam konteks inilah, sangat mendesak untuk menggeserkan paradigma
dari fiqh formalistik yang menekankan formalisasi, menjadi fiqh yang menjadi
etika sosial, fiqh yang nilai-nilai dan ajaran-ajarannya terinternalisir dan
terkulturalisasi dalam hidup keseharian masyarakat. Mencontoh Wali Songo yang
sukses mengislamkan masyarakat Jawa dengan budayanya adalah contoh riil
mengenai pentingnya menjadikan fiqh sebagai etika sosial lewat instrumeninstrumen budaya yang bisa diterima masyarakat secara tulus, tanpa paksaan
struktural.Secara metodologis, hal ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan
hikmah hukum dalam illat hukum. Atau dengan kata lain sudah saatnya
mengintegrasikan pola pemahaman qiyasi murni dengan pola pemahaman yang
berorientasi pada maqasid al-syari‟ah( Asmani, 2007:110).
Formalisasi dan legislasi syariat Islam yang bermakna sebagai pembentuk
etika sosial seperti itulah yang selama ini telah diperankan oleh LBM Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir.
Hal ini dapat dilihat dari produk hukum yang telah peneliti jelaskan dalam bab
sebelumnya. Dalam produk-produk hukum tersebut terlihat jelas bagaimana LBM
tidak hanya berusaha untuk memberikan sebuah jawaban dari sebuah
permasalahan, tetapi juga berusaha untuk memberikan solusi dan arahan agar
kehidupan dan etika masyarakat menjadi lebih baik. Contoh dari hal tersebut
adalah dalam permasalahan ma‟ musyammas yang mana LBM mengarahkan
msayarakat agar lebih beretika dengan alam dan lingkungannya. Selain itu,
pembentukan etika sosial juga terlihat dalam pembahasan wudlu dengan
menggunakan air yang bukan haknya. Etika sosial dalam permasalahan tersebut
yang ingin dibangun adalah penghormatan kepada hak orang lain, dan larangan
untuk melanggarnya walaupun itu untuk kepentingan ibadah pribadi seseorang.
Selain pembentukan etika sosial, kedua metode tersebut juga berfungsi
untuk menjembatani pemahaman antara legislasi yang dibuat oleh manusia
dengan yang telah ditentukan oleh fiqih Islam. Hal ini bisa dilihat dalam
pembahasan sidik jari sebagai salah satu pembuktian dalam perkara pidana.
Walaupun pada mulanya sidik jari tidak bisa diterima sebagai alat pembuktian,
tetapi kemudian dapat disepakati untuk menerimanya. Penerimaan tersebut
dilakukan karena ada manfaat yang besar jika dilaksanakaan. Bahkan jika
pembuktian dengan sidik jari tidak diterima maka akan dapat menimbulkan
madharat yang lebih besar seperti yang peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya.
Peneliti berpandangan bahwa agar formalisasi dan legislasi seperti diatas
dapat terwujud dengan baik, maka untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1.
Formaslisasi dan legislasi bukan bermakna sebagai Islamisasi peraturan
perundangan-undangan, tetapi bermakna untuk membentuk hukum syariat
Islam yang humanis dan berperadaban. Selain itu mereka berusaha untuk
membantu kemapanan bagi kehidupan masyarakat.
2.
Formalisasi dan legislasi syariat Islam selain bertujuan untuk membentuk
etika sosial agar menjadikan masyarakat yang lebih baik, tetapi juga bertujuan
untuk mengintregasikan hikmah hukum dan illat hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-perundangan yang ada.
3.
Metode pelaksanaan formalisasi syariat Islam harus dilakukan dengan cara
humanisasi, yaitu penuh dengan kelembutan, kesopanan, ketinggian moral,
dan mengedapankan keteladanan. Selain itu juga harus menghindari sikap
fanatisme, primordial, ekstrem, fundamentalisme, dan gerakan teror radikal.
4.
Bahtsul masail dan majlis syawir harus selalu memahami konteks zaman,
budaya yang berkembang di dalam masyarakat serta tradisi dan ajaran yang
berlaku di negara Indonesia ini agar kontektualitas dalam legislasi dan
formalisasi syariat Islam dapat tercapai.
5.
Mubahitsin dan musyawirin haruslah produktif dan kreatif dalam memberikan
kajian-kajian mereka sehingga masyarakat dapat mengenal mereka dengan
baik dan hasilnya banyak diterima dan diminati masyarakat.
E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri
Seperti yang dapat dilihat dari tujuan bahtsul masail dan majlis syawir
serta metode pelaksanaan keduanya dalam bab sebelumnya, maka kedua metode
tersebut sangat berperan sekali bagi para santri. Peran tersebut terlihat ketika
bahtsul masail dan masjlis syawir dapat meningkatkan intelektualitas dan grafik
santri tentang dunia ilmiah. Selain itu juga, kedua metode tersebut berperan dalam
memacu mentalitas para santri dalam berbicara dan berargumentasi. Hal ini
merupakan modal yang sangat penting untuk melatih para santri yang akan
kembali ke masyarakat agar mereka tidak kesulitan dalam mendakwahkan syariat
Islam.
Bahtsul masail dan majlis syawir dapat mengasah kemampuan diri dalam
berijtihad. Bagi santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang berpartisipasi
dalam kegiatan tersebut, mereka dapat mengasah kemampun dirinya melalui
forum ini. Selain itu, mereka juga dapat mengetahui sejauh mana diri mereka
mampu untuk menelaah, memahami dan mencari hukum dari suatu kasus. Jadi,
melalui forum ini dapat digunakan sebagai alat ukur atas keilmuan yang telah
mereka dapatkan ketika di pesantren.
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dengan mengikuti bahtsul masail maka
dapat menunjukkan kepada santri akan tantangan keilmuan masa depan pada level
yang lebih tinggi. Dari forum itu santri akan introspeksi sejauh mana ilmu yang
sudah diperoleh, kelemahan apa saja yang ada, kemudian berjuang habis-habisan
bagaimana kelemahan dan kekurangan tersebut bisa dihilangkan dengan semangat
belajar, membaca, dan mengkaji secara teliti dan mendalam. Karena dengan
semangat yang tinggi itulah maka cita-cita seorang santri dapat dia raih (Asmani,
2007:29).
Selain itu juga,melalui kegiatan tersebut para santri baik bagi santri tua
maupun santri muda bisa saling bertukar fikiran ketika memecahkan masail yang
disodorkan dalam forum Bahtsul Masail. Mereka yang dulunya mengetahui
hukum suatu perkara hanya sebatas itu. Namun ketika telah bertemu dalam satu
forum maka dapat saling melengkapi dan saling memberi tahu atas argumen yang
mereka kemukakan. Disadari atau tidak disadari, melalui forum ini kemampuan
berfikir kritis dari para santri akan tumbuh dan wawasan keilmuan yang mereka
dapatkan juga akan semakin bertambah.
M. Triyono Djablawi (19 Mei 2015), salah seorang alumni pesantren yang
pernah mengikuti kegiatan tersebut sebagai peserta mengatakan bahwa bahtsul
masail di suatu pesantren dapat memberikan peran bagi pesantren lain. Delegasi
dari Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Susukan ini mengisahkan bahwa pada
pada tahun 2005 pesantren tempat dia menempuh ilmu mendapatkan undangan
bahtsul masail dari Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo. Kemudian dia dan
temannya mewakili pesantrennya mengikuti kegiatan tersebut. Karena tertarik
dengan sistem dan manfaat kegiatan tersebut maka dia bersama teman-temannya
menerapkan progam bahtsul masail di pesantrennya. Yang mendasarinya
mengadopsi kegiatan tersebut untuk diterapkan adalah kegiatan tersebut dapat
melatih kemampuan para santri dalam memahami kajian kitab kuning. Selain itu,
kegiatan seperti juga dapat melatih para santri untuk berani berargumentasi.
Salah satu santri yang mengaku mendapat manfaat yang sangat banyak
dari bahtsul masail dan majlis syawir adalah M. Nur Syaifullah Khuzain (11 Mei
2015). Mantan ketua LBM ini menjelaskan bahwa sebelum aktif di kegiatan
bahtsul masail dia merasakan kesulitan dalam menganalisa dan memahami sebauh
teks ibarat. Dari berbagai pejaran yang dia ikuti di madrasah belum banyak
membantunya untuk memahami teks-teks kitab kuning. Tetapi setelah dia aktif di
LBM maka kesempatan untuk bertukar fikiran antara para santri sangat terbuka
lebar. Melalui forum-forum tersebut dia belajar bagaimana memahami dan
menganalisa teks-teks kitab kuning. Bukan hanya itu, dia juga belajar bagaimana
permasalahan yang berkembang di masyarakat serta belajar bagaimana
mencarikan solusinya. Pelajaran seperti itu diakuinya sangat sulit difahami dari
sekolah formal di madrasah.
Lain lagi cerita Abdul Khamid (13 Mei 2015). Wakil ketua LBM bidang
majlis syawir mengisahkan bahwa pada mulanya dia mempunyai kelemahan
dalam kemampuan berbicara. Keberaniannya untuk berbicara di depan umum
sangatlah kecil. Tetapi melalui forum bahstul masail dan majlis syawir tersebut
dia mulai berlaltih diri untuk tampil bicara sedikit demi sedikit. Karena forum
tersebut setiap minggunya selalu diagendakan maka kesempatannya untuk
berbicara semakin banyak dan semakin sering. Akhirnya sekarang dia merasa
sudah memiliki kemajuan dalam berdialektika dan beretorika serta berdebat di
depan umum karena manfaat dari forum tersebut, sehingga akhirnya sekarang dia
diangkat menjadi wakil ketua LBM. “… nggeh alhamdulillah bahtsul masail
kaleh majlis syawir niku katah sanget mbantu kulo kagem saget ngomong teng
ngajenge tiyang katah” kata Abdul Khamid di akhir wawancara.
F. Forum Penyaluran Ilmu dari Para Ulama’ dan Cendikiawan Muslim
Dalam pelaksanaan kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir tidak
terlepas dari adanya para ulama‟ dan para cendikiawan yang notabene mereka
adalah sebagai peserta diskusi. Melalui forum tersebut para ulama‟dan para
cendikiawan yang ada bisa saling mengajukan argumentasinya dalam menanggapi
suatu permasalahan antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan begitu
sangatlah tampak fungsi ulama‟ antara yang satu dengan yang lain untuk saling
melengkapi.
Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015) mengungkapkan, bahwa bahtsul masail
dan majlis syawir memberikan peran tersendiri bagi para ulama‟. Menurutnya,
ilmu yang dimiliki oleh para ulama‟ dan cendikiawan dapat tersalurkan lewat
kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Maka dengan ini baik para santri
maupun para ulama‟ lain yang hadir dapat memberikan tambahan wawasan.
Kemampuan salah satu ulama‟ dalam satu bidang ilmu dapat melengkapi dan
membantu ulama‟ lain dalam memecahkan problematika umat. Dengan demikian
maka bisa dikatakan bahwa forum bahtsul masail dan majlis syawir bisa berfungsi
sebagai wahana untuk sharing keilmuan, karena tidak semua keilmuan stagnan.
Maka dengan demikian antara satu ulama‟ dengan yang lainnya bisa saling
melengkapi.
Luqman Romadlon (17 Mei 2015), salah satu alumni dan kemudian
sekarang menjadi tokoh masyarakat Kecamatan Bringin yang pernah mengikuti
bahtsul masail mengungkapkan “...ternyata bahtsul masail sendiri bagi saya
pribadi membuka beberapa bidang keilmuan yang belum pernah saya pelajari...”.
Beliau menjelaskan bahwa bidang ilmu tersebut adalah sebuah sisi keilmuan
tentang bagaimana menganalisis sebuah masalah dan kemudian mengkajinya
dalam kitab-kitab para ulama‟ salaf. Menurutnya, hal ini merupakan tambahan
ilmu yang merupakan modal penting bagi beliau dalam bermasyarakat.
Senada dengan Luqman Ramadhan, Ustadz Muhadzib (16 Mei 2015) yang
merupakan salah seorang ustadz sekaligus mushohih juga mengatakan bahwa
dengan bahtsul masail dan majlis syawir maka kelimuan yang dia miliki dapat dia
salurkan. Walaupun juga mengajar di sekolah formal pesantren, beliau mengakui
bahwa ada beberapa keilmuan seperti ilmu munadzarah (debat) dan ilmu untuk
menganalisa sebuah hukum sangat sulit untuk difahami di sekolah formal. Akan
tetapi keilmuan tersebut dapat dia sampaikan dalam forum seperti bahtsul masail
dan majlis syawir. Karena dalam kedua forum tersebut selain bisa memberikan
teori, beliau juga bisa langsung mempraktekkannya dengan permasalahanpermasalahan konstektual yang dibahas.
Salah satu santri yang merasa mendapatkan banyak manfaat dari adanya
forum bahtsul masail adalah Ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin,
M. Aris. M. Aris (11 Mei 2015) mengatakan bahwa dengan banyaknya para kiyai
dan cendikiawan yang didatangkan pada forum bahtsul masail maka banyak ilmu
yang dapat dia serap. Alasannya berkata demikian karena pada saat kegiatan
bahtsul masail digelar baik para kiyai yang didatangkan untuk menjadi mushohih
maupun para cendikiawan yang didatangkan sebagai muharrir atau tenaga ahli
akan berbicara sesuai dengan konteks keilmuan mereka. Sehingga dengan
demikian maka banyak macam ilmu yang dia dapatkan. “pokok‟e bahtsul masail
katah sanget mafaate mas kagem kulo kaleh santri lintune” kata M. Aris untuk
meyakinkan peneliti di akhir wawancara.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telahdilakukan, maka penelitimenyimpulkan
hasil sebagai berikut:
1.
Metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren
Raudlatuth Thalibin adalah para mubahitsin (peserta bahtsul masail)
menganalisa permasalahan yang disodorkan kepada mereka. Kemudian ibarat
dari berbagai kitab yang dibawa oleh para mubahitsin dibahas satu persatu
untuk dicari ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi
permasalahan
tersebut.
Pencarian
ibarat
ini
adalah
dengan
cara
memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang mempunyai kesamaan
dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang tidak memungkinkan
melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama‟iatau taqrir jama‟iatau
ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan
kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya taqrir jama‟i tadi juga
dapat dilaksanakan setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih.
pengambilan sebuah pendapat atau qaul juga harus memperhatikan apakah itu
memberikan maslahat serta dapat menjadi sebuah solusi atau tidak. Dengan
demikian maka selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan
kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk
menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer),
hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Tentunya hal tersebut harus
dibarengi dengan pemahaman syariah secara konstekstual.
2.
Metode penalaran hukum dalam majlis syawir adalah dengan metode ilhaqul
masail bi nadzairiha. Dalam hal ini qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab
fathul qarib dengan metode bacaan makna gandul pesantren yang tetap
memperhatikan kaedah nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian
akan dijelaskan oleh qari‟ dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan
yang diberikan oleh qari‟ ini harus memuat beberapa hal, yaitu:
f.
Penjelasan mengenai makna istilah fiqhiyyah.
g.
Penjelasan gramatikal arab (nahwu dan sharaf) yang berimplikasi dalam
pemahaman ibarat.
h.
Penggambaran masalah yang dimaksudkan dari ibarat yang dibaca, dan
dipraktekkan apabila memang diperlukan.
i.
Mencari illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum.
j.
Memberikan
gambaran
tentang
permasalahan
apa
saja
yang
memungkinkan untuk dijawab dengan mempergunakan hukum dari
ibarat ini.
Hal-hal diatas lah yang kemudian menjadi bahan diskusi oleh para
musyawirin dan kemudian dijadikan pegangan untuk melakukan penalaran
hukum Islam.
3.
Bahtsul masail dan Majlis syawir mempunyai relevansi dalam konteks
kebermanfaatan dan kebermaknaan kedua metode tersebut di Indonesia.
Relevansi kedua metede tersebut di Indonesia adalah:
a. Khazanah kelimuan Islam Nusantara.
b. Pembangunan fiqih Indonesia yang aktual dan konstektual.
c. Sosial problem solving.
d. Legislasi dan formalisasi syariat Islam.
e. Peningkatan intelektualitasn dan grafik ilmiah bagi para santri.
f. Forum penyaluran ilmu dari para ulama‟ dan cendikiawan muslim.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian dan menganalisa hasil yang didapat dari
data-data, peneliti bermaksud memberikan saran bagi obyekpenelitian. Dengan
adanya saran ini peneliti berharap dapat menjadisebuah rekomendasi untuk
perbaikan pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di masamendatang.
Adapun beberapa saran dari peneliti adalah sebagai berikut:
1.
Pondok pesantren agar memperhatikan tentang keberadaan kantor LBM
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Dengan adanya kantor LBM maka
diharapkan dapat memacu para pengurus dan anggota LBM untuk lebih
maksimal dan fokus dalam menangani perkara dan permasalahan yang
diajukan oleh masyarakat kepada LBM.
2.
Dalam pelaksanaan bahtsul masail dan masjlis syawir diharapakan LBM juga
mengundang akademisi untuk menghadiri kegiatan tersebut. Kehadiran
akedemisi diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan dan warna yang
berbeda dalam kegiatan tersebut. Sehingga produk hukum yang dihasilkan
dapat memberikan solusi yang tepat bagi semua kalangan.
3.
LBM
Pondok
Pesantren
Raudlatut
Thalibin
diharapkan
dapat
mengkodifikasikan dan menerbitkan hasil-hasil produk hukum pasca
pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir. Dengan demikian maka produk
hukum tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
4.
LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ikut berperan aktif dalam
mengsosialisasikan metode bahtsul masail dan majlis syawir sebagai metode
ijtihad kolektif kepada perguruan tinggi danpesantren-pesantren lain. Dengan
demikian maka khazanah keilmuan Islam Nusantara ini dapat diwarisi oleh
segenap umat Islam di berbagai penjuru tanah air.
5.
Media informasi pesantren lebih memperluas jangkauan informasinya tentang
hasil produk bahtsul masail dan majlis syawir sehingga dapat memberikan
peran yang lebih besar dalam menjawab problematika kontemporer umat
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bakri, Abu Bakar Al-Masyhur Bissayyid. tt. Hasyiyah I‟anah At-Tholibin „Ala
Khalli Alfadhzi Fathul Mu‟in. Surabaya: Darul Ilmi.
Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Jawy, Muhammad Nawawi Bin Umar. 2013. Quutul Habil Al-Gharib; Tausyih
„Ala Fathul Qarib Al-Mujib. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Mubarakfury, Abul Ala‟ Muhammad Abdurrahman Bin Abdurrahim. 1990.
Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami‟ At-Tirmidzi. Beirut: Darul Kutub AlIlmiah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai
Penyimpangan. Surabaya: Penerbit Risalah Gusti.
An-Na‟im, Abdullah Ahmed. 2011. Dekontruksi Syariah. Yogyakarta: LkiS
Group.
An-Nawawi, Muhyiddin. 1994. Shohih Muslim Bi Syarhi Imam Muhyiddin AnNawawi Al-Musamma Al-Minhaj. Beirut: Darul Ma‟rifah.
Asmani, Jamal Ma‟mur. 2007. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep
Dan Implementasi. Surabaya: Khalista.
As-Syatiri, Muhammad Bin Ahmad Bin Umar. 2007. Syarah Al-Yaqut An-Nafis
Fi Madzhabi Ibni Idris. Jeddah: Dar Al-Minhaj.
Ba‟lawy, Abdurrahaman Bin Muhammad Bin Husain Bin Umar Al-Masyhur. tt.
Bughyatul Musytarsyidin Fi Talhisi Fatawi Ba‟dhil Aimmah Minal Ulama‟
Mutaakhirin. Surabaya: Darul Fikr.
Baso, Ahmad, 2013. Pesantren Studies Buku II Juz Pertama: Pesantren, Jaringan
Pengetahuan dan Karakter Kosmpolitan-Kebangsaannya. Jakarta: Pustaka
Afid
Departemen Agama. 1995. Al-Qur‟an Dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen
Agama.
LBM Sirojuth Tholibin. 2013. Presentasi
Tentang Sistem Bathsul
Masa‟il.
Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan bahtsul Masail Di Susukan,.Pondok
Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Susukan, 19 Mei.
LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004).
Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Khalista.
Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
Mustofa & Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika.
Said, Muhammad Ridlwan Qayyum. 2006. Rahasia Sukses Fuqaha. Kediri: Mitra
Gayatri.
Salam, Zarkasji Abdul & Oman Fathurohman. 1994. Pengantar Ilmu Usul Fiqih I.
Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Suprayogo, Imam. 2003. Metodologi Penilitian Sosial Agama.
Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Surachmad, Winarno. 1972. Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi
Ilmiah. Bandung: CV Tarsito.
Syahrur, Muhammad. 2012. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer. Yogyakarta: Elsaqq Press.
Yusri, Muhammad. 2008. Audhohul Ibarat Fi Syarhi Al-Mahalli Ma‟a AlWaraqat. Al-Qahirah: Dar AL-Yousr.
Wawancara dengan Kiyai Rozi Toha.Sabtu, 09 Mei 2015. Pukul 08.30-12.00
WIB. Di Dusun Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan Kiyai Ulin Nuha.Sabtu, 09 Mei 2015. Pukul 19.30-23.00
WIB. Di Dusun Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan M. Ja‟farin.Senin, 11 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di
Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan
Susukan.
Wawancara dengan M. Aris.Senin, 11 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di
Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan
Susukan.
Wawancara dengan M. Nur Syaifullah Khuzain.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.3023.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa
Gentan Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan Mahfudz Fauzi.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB.
Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan
Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan M. Amirudin.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di
Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan
Susukan.
Wawancara dengan Abdul Khamid.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB.
Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan
Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan Triyono Djablawi, Minggu. 17 Mei 2015. Pukul 08.30-10.00
WIB. Di Kantor Madrasah Diniyyah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan.
Wawancara dengan Luqman Ramadlan, Minggu. 17 Mei 2015. Pukul 15.30-19.00
WIB. Di Desa Pucung Kecamatan Bringin
.
GLOSARY
Ahlussunah Wal Jama‟ah : aqidah yang menganut madzhab empat (Hanafi,
Maliki, Syafi‟i, Hanbali) dalam bidang fiqih dan
menganut pendapat Imam Asy‟ari dan Imam Maturidy
dalam bidang aqidah.
Al-Kutub Al-Mu‟tabaroh: kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan
aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah.
Asilah
: pertanyaan yang dibahas dalam bahtsul masail
Dalil Nash
: dalil yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits.
Fail
: Pelaku atau subyek
Ibarat
: teks yang terdapat dalam kitab
Ilhaq
: menyamakan suatu kasus yang belum di jawab oleh
suatu kitab dengan kasus serupa yang sudah dijawab
oleh kitab tertentu.
Infiradi
: individual
Istinbath
: mengeluarkan hukum syara dari dalilnya dengan
qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah.
I‟tirodl
: argumentasi sanggahan.
Jama‟i
: kolektif
Maqoshid Al-Syari'ah
: tujuan-tujuan diterapkannya syariat Islam yang
berjumlah lima, yaitu menjaga agama, menjaga harta,
menjaga diri atau kehormatan, menjaga keturunan, dan
menjaga akal.
Masail
: permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail
Masail Fiqhiyyah Waqi‟iiyah: permasalahan yang berhubungan dengan fiqih yang
benar-benar terjadi.
Mauquf
: masalah yang dihentikan pembahasannya karena tidak
ditemukan dasar atau dalilnya.
Mubahitsin
: orang yang ikut melakukan pembahasan, peserta
bahtsul masail.
Muharir
: tim perumus.
Mujawib
: peserta bahtsul masail yang memberikan jawaban.
Mujtahid
: orang yang mempunyai kompetensi untuk berijtihad.
Mulhaq Alaih
: peristiwa yang telah ditetapkan status hukumnya oleh
suatu kitab.
Mulhaq Bih
: peristiwa yang belum ditetapkan status hukumnya
oleh suatu kitab yang kemudian disamakan hukumnya
dengan mulhaq bih.
Mulhiq
: orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
ilhaq.
Mushohih
: lembaga terakhir yang memberikan legislasi atau
pengesahan terhadap hasil rumusan bahtsul masail.
Musyawirin
: orang yang ikut mengadakan musyawarah atau
diskusi, peserta bahtsul masail.
Nguri-nguri
: melestarikan
Qath‟i
: Hukum yang bersifat pasti yang tidak dapat lagi
dilakukan panalaran atau ijtihad terhadapnya.
Qauli
: pendapat para Imam Madzhab.
Sohibul Masalah
: orang atau kelompok yang mempunyai problem
untukdicarikan solusi stau status hukumnya.
Tarjih
: mengunggulkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain dengan memperhatikan qawaid ushuliyyah dan
qawaid fiqhiyyah.
Taqrir Jama‟i
: upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan
terhadap satu diantara beberapa qaul atau wajah.
Ukuwah Islamiyah
: ikatan persaudaraan Islam.
Ubhudiyah
: pembahasan yang berkaitan dengan ibadah seperti
shalat, puasa, zakat dan haji.
Wajah
: pendapat para Ulama Madzhab.
Wajh Ilhaq
: keserupaan illat hukum yang terdapat diantara mulhaq
alaih dan mulhaq bih.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Biodata Peneliti
Nama Lengkap
: Agus M. Najmuddin Huda
TTL
: Kab. Semarang, 09 September 1989
Alamat
: Pondok-Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis Gentan Kec.
Susukan kab. Semarang
Nomer HP
: 085641105781 / 75ED260F
Email
: [email protected]
Website
: asatir-revolusi.blogspot.com
Riwayat Pendidikan
:
1.
MI Tamrinul Ulum Jetis
2.
MTsN Susukan
3.
MA Tajul Ulum Brabo Tanggungharjo Grobogan
4.
Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo
5.
Al-Ahgaff University Hadhramaut Republik Yaman Fakultas Syariah Wal
Qanun (hanya sampai semester 6)
6.
IAIN Salatiga Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama (PC IPNU)
Kabupaten Semarang 2014-2016
2. Departemen Advokasi & Bantuan Hukum PC GP Anshor Kabupaten
Semarang 2015-2020
3. Sekjen Lajnah Lil Buhuts Wat Ta‟lif Al-Ilmiyah (LBTI)Solo Tahun 20112016
4. Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Kota
Salatiga
5. Departemen Penelitian & Pengembangan (Litbang) DEMA IAIN Salatiga
2015
6. Direktur Jurnal LPM Dinamika 2014
7. Sekretaris HMJ Syariah STAIN Salatiga 2013
8. Departemen Tavsir JQH Al-Furqan STAIN Salatiga 2013
9. Departemen Penelitian & Pengembangan Jaringan Gerakan Masiswa Anti
Korupsi (GEMAK) Kota Salatiga
10. Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) NU Republik Yaman 20092010.
11. Sekretaris Komisi A LBM Pondok Pesantren SirojuthTholibin Brabo
12. Muharir LBM Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis
Pengalaman Penelitian
1. Peneliti di Center For Survey Reseach and Data bekerjasama dengan
Rabitah Maahid Islam (RMI) Tahun 2013 Wilayah Kabupaten Semarang,
Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Purwodadi.
2. Peneliti & Pemantau Pemilu Governance Reform In Indonesia & LP3ES
Tahun 2014 Wilayah Kabupaten Semarang.
3. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Tahun 2014 dengan judul “Pernikahan Dengan Tradisi Jawa Dalam
Persepektif Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Dengan Adat Jawa Di
Desa Joho Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri)”.
4. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Tahun 2014 dengan judul “Tradisi Injak Telur Dalam Upacara Perkawinan
Adat Jawa Di Desa Sruwen Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang”.
5. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Tahun 2013 dengan judul “Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad
Kolektif Dalam Menjawab Problematika Kontemporer Umat Islam(Studi
Kasus Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo
Tangggungharjo Grobogan)”.
6. Peneliti Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN Salatiga Tahun 2015.
7. Peneliti Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi (GEMAK) Kota Salatiga.
FOTO-FOTO MAJLIS SYAWIR
FOTO-FOTO BAHTSUL MASAIL ALUMNI
FOTO-FOTO PELATIHAN BAHTSUL MASAIL
FOTO-FOTO BAHTSUL MASAIL KUBRO
KEPUTUSAN KETUA LAJNAH BAHTSUL MASAIL (BMD)
PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III
NOMOR : 011/KP/BMD/PPRT/A/VIII/2015
TENTANG
TATA TERTIB BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH (BMD)
KETUA PENGURUS BAHTSUL MASAIL AD-DINIYAH (BMD) PP
RAUDLATUT THOLIBIN I, II, & III
Menimbang : a.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam peraturan
Musyawarah/Bahtsul Masail
Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II
& III, maka perlu dibuat tata tertib Musyawarah / Bahtsul
Masail
b. Bahwa tata tertib sebagaimana huruf a, untuk melengkapi
ketentuan-ketentuan yang belum diatur secara terperinci dalam
keputusan rapat musyawarah Pengurus Bahtsul Masail AdDiniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II &
III tanggal ; 18 Syawal 1435 H / 14 Agustus 2014 M
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a dan b
diatas, perlu ditetapkan dengan keputusan Pengurus Bahtsul
Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut
Tholibin I, II & III
Mengingat
: 1. Dasar ayat Al-Qur‟an surat Asy-Syura‟ ayat 38
‫َو اَّل ِذ ْي َو ا ْيا َو َو اُبلْي ااِذ َو اِّب ِذ ْي ا َو َو َو ُبالْي ا ا َّل‬
‫ا‬.‫ل ٰول َوا َو َو ْيا ُب ُب ْي ا ُب لْي ٰو ااَو ْي َو ُب ْي ا َو ِذا َّل ا َو َو ْي ٰو َو ُب ْي ا ُب ْي ِذ ُبلْي َوا‬
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada
mereka.
2. Dasar Al-Qur‟an Surat Al-Imron Ayat 159.
‫َو ْيا ُب ا َوا ْي ُب ْي ا َو ْيا َو ْي ِذ ْي ااَو ُب ْي ا َو َو ِذ ْي ُب ْي ا ِذ ا ْي َو ْيا ِذا ص ا َو ِذ َوذ ا َوا َوز ْياتَو ا َو َو َول َّلكلْي ا َوا َو اهللاِذا ﺝا ِذ َّل ا‬
‫ا‬.‫هللاَوا ُب ِذ ُّب ا ْيا ُب َو َول ِّبك ِذ ْي َوا‬
Karena itu maafkanlah mereka, maka mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
3. Hadits Nabi Saw : ”Orang yang diajak bermusyawarah adalah
orang yang bisa memegang amanat (jujur, ikhlas dan dapat
menyimpan rahasia)”. (HR. At-Thabrani).
4. Rasulullah Saw bersabda : “Berlakulah lunak dan saling
mengasihi. Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang
lain. Apabila orang yang mempunyai hak mengetahui kebaikan
yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas
haknya pasti orang yang mempunyai tuntutan atas haknya akan
lari menjauhi orang yang dituntutnya”. (HR. Buchori).
Memutuskan :
Menetapkan :
Kesatu
: Tata Tertib Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD)
Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III sebagaimana
tercantum dalam lampiran keputusan ini.
Kedua
: Tata Tertib Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD)
Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III sebagaimana
diktum kesatu hanya berlaku untuk Musyawarah/Bahtsul Masail
Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II
& III
Ketiga
: Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jetis,
Pada tanggal 25 Syawal 1436 H
11 Agustus 2015 M
Ketua BMD
Muhammad Aris Munandar
TATA TERTIB BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH (BMD)
PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III
TAHUN 1436-1437 HIJRIYAH / 2015-2016 MASEHI
PASAL I
PESERTA
1. Peserta terdiri dari Pengurus masing-masing Pondok Pesantren Raudlatut
Tholibin I, II & III dan siswa-siswi „Ulya Madrasah Diniyyah Wustho
„Ulya Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin.
PASAL II
PELAKSANAAN MUSYAWARAH
1. Musyawarah dilaksanakan pada Hari Selasa malam Rabu setiap D sekali
dengan tempat pelaksanaan digilir antara Pondok Pesantren Raudlatut
Tholibin I, II & III.
2. Musyawarah dibuka oleh Pengurus Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD)
kemudian diserahkan kepada Pimpinan Musyawarah atau Moderator.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
PASAL III
TUGAS MODERATOR
Memimpin dan menjaga ketertiban musyawarah.
Membagi waktu, memberi izin, dan menerima usulan atau pendapat dari
peserta musyawarah.
Menugaskan kepada pemilik ta‟bir untuk membacakan dan menerangkan
kesimpulannya.
Memberi tugas kepada pengurus untuk mengambil naskah jawaban dari
masing-masing peserta.
Mengambil kesimpulan jawaban-jawaban dari peserta musyawarah.
Memohon pertimbangan pendapat kepada Dewan Muharrir.
Jika masalah selesai, pembacaan Fatihah dan pengesahan diserahkan
kepada Dewan Mushohih.
Dalam keadaan terpaksa atau dianggap perlu, pemimpin musyawarah
dapat menunjuk salah seorang untuk menggantikannya sementara waktu.
Menyerahkan waktu kepada Pengurus setelah pelaksanaan musyawarah
selesai.
1.
2.
3.
1.
2.
PASAL IV
KEWAJIBAN PESERTA
Menempati tempat yang telah ditentukan 5 menit sebelum musyawarah
dimulai.
Mengeluarkan jawaban dengan ta‟birnya setelah diberi waktu oleh
pemimpin musyawarah.
Membaca dan menerangkan ta‟birnya masing-masing serta
kesimpulannya.
PASAL V
TUGAS MUHARRIR
Merumuskan dan memberi komentar tentang jawaban yang telah
disampaikan oleh semua peserta.
Merumuskan jawaban yang telah disepakati oleh peserta.
PASAL VI
TUGAS MUSHOHIH
1. Meneliti ta‟bir dan jawaban dari semua peserta.
2. Meneliti ta‟bir yang ada sesuai dengan keputusan masalah dan memberi
bacaan fatihah atas ta‟bir yang menjadi kesepakatan dan di anggap benar.
PASAL VII
CARA MENGAMBIL KEPUTUSAN
1. Jawaban masalah dianggap selesai atau sah bila mendapat persetujuan
dari semua peserta musyawarah dan Dewan Mushohih.
2. Masalah dianggap mauquf bila dibahas selama 50 menit tidak selesai.
3. Bila dianggap perlu, pembahasan dapat dilanjutkan dengan persetujuan
separuh lebih dari peserta musyawarah.
PASAL VIII
HAK SUARA
1. Peserta dapat menolak jawaban peserta lain melalui pimpinan
musyawarah.
2. Untuk mengajukan pendapat, setiap kelompok boleh menyampaikan
pendapatnya.
PASAL IX
LARANGAN
1. Membuat gaduh suasana.
2. Perselisihan pendapat dalam kelompok masing-masing (debat kusir)
3. Merubah pokok masalah yang ada.
PASAL X
SANKSI
1. Bila peserta tidak mematuhi pasal yang telah ditentukan, dikenakan sanksi
berupa peringatan.
2. Jika peserta melakukan pelanggaran lagi, peserta akan diberi sanksi sesuai
kebijakan panitia.
PASAL XI
KETENTUAN TAMBAHAN
Keputusan yang belum ditentukan, akan ditentukan kemudian secara
sepihak.
KEPUTUSAN MUSYAWARAH BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH
(BMD)
PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III
TAHUN 1436-1437 HIJRIYAH / 2015-2016 MASEHI
1. Dewan Mushohih di PPRT I adalah Bapak Muh. Rozi Thoha dan Bapak
Muhadzib, di PPRT II adalah Bapak M. Zaid Zuhdi dan PPRT III adalah
Bapak Nur „Amrin.
2. Dewan Moderator dan Muharrir adalah segenap Mutakhorijin Madrasah
Diniyyah Wustho „Ulya.
3. Petugas pelaksanaan pembukaan (MC) BMD dengan secara bergilir.
4. Memberikan undangan resmi pada setiap PPRT.
5. Pelaksanaan BMD adalah setiap dua minggu sekali dengan tempat bergilir
antara PPRT I, II dan III.
6. Waktu pelaksanaan BMD adalah ba‟da isya‟ sampai pukul 23.00 Wist.
7. Setiap kelompok harus membuat soal BMD secara bergilir dan soal yang
waqi‟iyyah (aktual)
8. Peserta BMD dikelompokkan dan setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga) orang.
9. Setiap 3 kelompok ada satu orang pembimbing
10. Setiap kelompok diberi soal BMD.
11. Diadakan daftar hadir / absensi setiap pelaksanaan BMD.
12. Jawaban BMD digandakan sebanyak 3 (tiga) lembar dengan perincian sebagai
berikut : 1 (satu) untuk Dewan Mushohih, 1 (satu) untuk Muharrir/Moderator
dan 1 (satu) untuk pegangan.
13. Dalam menjawab dibaca ma‟khotnya kemudian dimaknai ala pesantren
(makna gandul utawi iki-iku)
14. Jawaban jadi BMD ditulis dalam buku besar sekretaris.
15. Final Jawaban BMD dimediakan/tempelkan di PPRT I, II dan III.
16. Diadakan pembukuan hasil bahtsul masail setiap ahir tahun.
17. Peserta yang tidak aktif dalam mengikuti pelaksanaan BMD akan
mendapatkan teguran dari pengurus
18. Peserta harus bersungguh-sungguh dan ikut berperan aktif dalam pelaksanaan
BMD.
19. Setiap peserta harus berangkat lebih awal dan menempati tempat yang
disediakan sesuai dengan papan nama kelompok masing-masing khususnya
seksi persiapan.
20. Santri yang Tahfidzul qur‟an ikut serta dalam mengikuti BMD.
21. Diadakan Mushofahah (berjabat tangan) setelah pelaksanaan BMD.
22. Konsumsi pelaksanaan BMD dengan anggaran sebesar Rp. 50.000,-.
23. Iuran Rp. 2.000,- per bulannya, selama 10 bulan.
JAWABANBAHTSUL MASAIL AD_DINIYYAH ( BMD ) 2010/2011 PPRT
1. Deskripsi masalah
Demi menjaga kelembutan kulit biasanya digunakan hand body, seperti menggunakan
hand body placenta yang mana diantara bahan - bahan yang digunakan adalah placenta
dari sapi. (bhs jawa. Ari – ari)
Pertanyaan
1. Najis / tidak hand body tersebut ?
2. Bagaimana hukumnya menggunakan hand body tersebut ?
Jawab
Menyikapi pertanyaan ini ada dua pentafshilan, yaitu :
1. Tidak najis dan boleh menggunakannya, apabila ada keyakinan kalau bahan dari
hand body placenta yang berupa placenta diambil dengan penyembelihan sapinya
secara syar‟i / diambil dalam keadaan penyembelihan anaknya terlebih dahulu /
diambil dari anaknya tanpa menyembelihnya kemudian dicampur dengan air
yang lebih dari dua qullah.
2. Najis dan tidak boleh menggunakannya, apabila ada keyakinan kalau bahan dari
hand body placenta yang berupa placenta diambil dari anak sapi tanpa
menyembelihnya.
Referensi
1. Al_Asybah Wannadzooir hal. 47 ( perc. Al_Haromain )
2. I‟anatuth Tholibien juz 1 hal. 104 ( perc. Al_Haromain )
3. I‟anatuth Tholibien juz 1 hal. 105 ( perc. Al_Haromain )
4. Tausyih „Ala Ibni Qosim hal. 267 ( perc. Al_Haromain )
5. Al_Hawasyilmadaniyyah juz 1 hal. 170 ( perc. Al_Hidayah )
) ‫ ( اغبرمُت‬٤٧ ‫ أألشباه والنّظآئر صحيفة‬
‫ وضابطو أف يستند اإلحتماؿ إذل سبب ضعيف وأمثلتهال تكاد‬.‫األصص‬
‫( والثالث ) ما يرجع فيو األصل على‬
ّ
‫ كأواين وثياب مدين اػبمر والقصابُت‬,‫ ولكن الغالب فيو النجاسة‬,‫ربصر منها الشيئ الذى ال يتيقن بنجاستو‬
‫ كما ىف شرح‬,‫والكفار اؼبتدينُت هبا كاجملوس ومن ظهر اخطالتو بالنجاسة عدـ اخًتازه منها مسلما كاف أو كافرا‬
‫ إىػ‬.‫أصحهما اغبكم بالطهارة إستصحابا لألصل‬
ّ ‫ وىف صبيع ذلك قوالف‬......... ‫اؼبهذب عن اإلمامإذل أف قاؿ‬
) ‫ ( اغبرمُت‬۱۰٤ ‫األوؿ صحيفة‬
‫ إعانة الطّالبُت اعبزء‬
ّ ‫هارة‬
‫ فيو قوالف معروفاف بقورل األصل‬,‫تنجسو لغلبة النّجاسة يف مثلو‬
‫ن‬
‫ظ‬
‫ال‬
‫على‬
‫وغلب‬
ّ‫وىي أ ّف ما أصلو الط‬
ّ ّّ
,‫عمال باألصل للتي ّقن ألنّو أصبط من الغالب اؼبختلف باألحواؿ واألزماف‬
‫والظاىر أوالغالب أرجحهما أنّو طاىر‬
‫ إذل‬,‫صيب وجوخ‬
‫وذلك كثياب ضبار وحآئض وصبياف وأواين متديُت بالنّجاسة وورؽ بعلب نثره على قبس ولعاب‬
,‫الصالح عن اعبوخ الذى اشتهر على ألسنة النّاس أ ّف فيو شحمّ اػبنزير‬
ّ ‫ يف اؼبغٍت سئل ابن‬......... ‫اف قاؿ‬
‫ اىػ‬.‫ الحيكم بنجاستو إالّ بتحقيق النّجاسة‬: ‫فقاؿ‬
) ‫( اغبرمُت‬۱۰٥ ‫األوؿ صحيفة‬
‫ إعانة الطّالبُت‬
ّ ‫اعبزءأو‬
‫اػبل أولنب‬
‫و‬
‫أ‬
‫اؼباء‬
‫من‬
‫إناء‬
‫معو‬
‫كاف‬
‫فلو‬
.
‫باليقُت‬
‫ال‬
‫إ‬
‫اؿ‬
‫ز‬
‫فالي‬
‫جاسة‬
‫الن‬
‫أو‬
‫هارة‬
‫ط‬
‫ال‬
‫أو‬
‫اغبرمة‬
‫اغبل‬
‫إذا ثبت أصل‬
ّ
ّ
ّ
ّ
ّ‫أودىنويففشك‬
‫ اىػ‬.‫زبمره دل حيرـ التّناوؿ‬
‫يف‬
‫فشك‬
‫العصَت‬
‫من‬
‫أو‬
‫سو‬
‫تنج‬
‫يف‬
‫اؼبأكوؿ‬
ّ
ّ
ّ
ّ
) ‫( اغبرمُت‬٢٦٧ ‫ توشيخ على ابن قاسم صحيفة‬
‫السمك واعبراد طاىر وما‬
‫( وما قطع من حيواف حي‬
ّ ‫فهو ميّت ) اي فهو كميتتو طهارة وقباسة فما قطع من‬
. ‫ّ اىػ‬.‫الشاة قبس‬
ّ ‫قطع من كبو‬
) ‫ ( اؽبداية‬۱٧۰ ‫ اغبواشى اؼبدنية اعبزء األوؿ صحيفة‬
‫األدمي ومشيمتو طاىرة خبالفهما من كبو الفرس‬
‫( واعبزء اؼبنفصل من اغبيواف كميتتو ) طهارة وقباسة فيدخل كبو‬
ّ
." ‫حي فهو ميّت‬
ّ ‫للخرب‬
ّ ‫الصحيص " ما قطع من‬
2. Deskripsi masalah
Pada pemilihan Bupati, yang berhak memilih adalah orang yang sudah berumur 17 tahun
keatas, dari sebagian yang mempunyai hak pilih, ada yang tidak menggunakannya
(Golput ), serta dalam proses pemilihanan, ada dari Calon Bupati yang memberi uang
dengan harapan untuk dipilih dan ada yang dengan perjanjian, misalnya : “ Apabila
‫‪Warga Bakalan memilih Saya‬‬
‫‪( Calon Bupati ) dan nantinya menang, maka jalan‬‬
‫‪Bakalan akan Saya bangun ”.‬‬
‫‪Pertanyaan‬‬
‫‪1. Bagaimana hukumnya orang yang memberi & diberi uang serta perjanjian‬‬
‫? ‪tersebut‬‬
‫‪2. Bagaimana hukumnya orang yang tidak menggunakan hak pilihnya seperti diatas‬‬
‫?‬
‫‪3. Bagaimana Hukumnya gaji yang diterima Bupati dgn cara pencalonannya seperti‬‬
‫?‪diatas‬‬
‫‪Jawab‬‬
‫‪1. Hukum memberi dan menerima serta perjanjian seperti itu ada dua, yaitu :‬‬
‫‪1) Haram apabila dalam memberi serta perjanjian tersebut ada keinginan untuk‬‬
‫‪dipilih‬‬
‫‪2) Tidak haram apabila sekedar menarik simpatik, tidak mempunyai harapan untuk‬‬
‫‪dipilih.‬‬
‫‪Referensi‬‬
‫) ‪1) Sullamuttaufieq hal. 74 ( perc. Al_Haromain‬‬
‫) ‪2) Is‟aadurrofiiq juz 2 hal. 100 ( perc. Al_Hidayah‬‬
‫) ‪3) Bujairomi „Alal Khotieb juz 3 hal. 218 ( perc. Daarul Ihyak‬‬
‫)‪4) Bughyatul Mustarsyidien hal. 248 ( perc. Daarul Ihyak‬‬
‫» سلم التوفيق صحيفة ‪ ( ٧٤‬اغبرمُت )‬
‫( ومنها ) اي من معاصى اليدين ( الضرب بغَت حق ) ( وأخذ الرشوة ) بكسر الرآء وىو ما يعطيو الشخص‬
‫غباكمأو غَته ليحكم لو أو حيملو على ما يريد‪ ,‬كذا ىف اؼبصباح‪ .‬وقاؿ صاحب التعريفات وىو ما يعطى إلبطاؿ‬
‫حق أو إلحقاؽ باطل ( أو إعطاؤىا ) أى الرشوة لقولو صلى اهلل عليو وسلم ‪ :‬لعن اهلل الراشي واؼبرتشي ىف‬
‫اغبكم‪ .‬رواه اإلماـ أضبد والًتمذى‬
‫» إسعاد الرفيق اعبزء الثّاىن صحيفة ‪ (۱۰۰‬اؽبداية )‬
‫فمن أعطى قاضيا أوحاكما رشوة او أىدى اليو ىدية فاف كاف ليحكم لو بباطل أو ليتوصل هبا لنيل ما‬
‫اليستحقهأو ألذية مسلم فسق الراشى واؼبهدى باإلعطاء واؼبرتشى واؼبهدى اليو باألخذ والرائش بالسعي‪ ،‬واف دل‬
‫يقع حكم منو بعد ذلك أو ليحكم لو حبق أو لدفع ظلم أوليناؿ ما يستحقو فسق اآلخذ فقط ودل يأمث اؼبعطى‬
‫الضطراره للتوصل غبقو بأي طريق كاف‬
‫» البجَتمى على اػبطيب اعبزء ‪ ٣‬صحيفة ‪ ( ٢۱۸‬دار اإلحيآء)‬
‫منها اؽببة ألرباب الواليات والعماؿ ألهنا رشوة‪ ،‬والرشوة حراـ إذا كانت وسيلة احملرـ كإقامة باطالو ترؾ حق‪ ,‬وإالّ‬
‫فال ربرـ‪.‬‬
‫» بغية اؼبسًتشدين صحيفة ‪ ( ٢٤۸‬دار اإلحيآء)‬
‫اغبل والعقد من العلمآء والرؤسآء ووجوه الناس الذين يتيسر اجتماعهمأو باستخالؼ‬
‫تنعقد اإلمامة إما ببيعة أىل‬
‫إماـ قبلو أوباستيالءذى الشوكة ّواف ختلت فيو الشروط كلها فحينئذ من اجتمعت فيو الشروط الّىت ذكروىا ىف‬
‫متوؿ بالشوكة فلو حكم اإلماـ األعظم ىف عدـ انعزالو بالفسق‪.‬‬
‫اإلماـ األعظم فهو إماـ أعظم وإالّ فهو ّ‬
‫‪2. Boleh-boleh saja karena memilih pemimpin itu fardlu kifayah sekiranya sudah ada‬‬
‫‪yang memilih maka yang lainnya tidak mengapa untuk tidak memilih.‬‬
‫‪Referensi :‬‬
‫) ‪1) Al_ Ahkamussulthoniyyah hal. 04 ( perc. Al_Hidayah‬‬
‫» األحكاـ السلطانيو‪.‬ص‪ (.٤‬اؽبداية )‬
‫( فصل ) فإذا ثبت وجوب اإلمامة ففرضها على الكفاية كاعبهاد وطلب العلم فإذا قاـ هبا منهو ِمن اىلها سقط‬
‫لألمة‪.‬‬
‫فرضها على الكفايةوإف دل يقم هبا احد خرج من الناس فريقاف‪ :‬احدمها أىل اإلختيار ّ‬
‫حىت خيتاروا إماما ّ‬
‫األمة يف تأخَت اإلمامة‬
‫والثاين أىل اإلمامة ّ‬
‫حىت ينتصب احدىم لإلمامة وليس على من عداىذين الفريقُت من ّ‬
‫حرج وال مأمث وإذا سبيّز ىذاف الفريفاف من األمة يف فرض اإلمامة وحج اف يعترب كل فريق منهما بالشروط اؼبعتربة‬
‫فيو‪.‬‬
‫‪3. Hukum gaji yang diterima oleh Bupati dengan cara pencalonannya tersebut ada dua,‬‬
‫‪yaitu :‬‬
‫‪1) Haram apabila bahwa dari pencalonan tersebut asalnya dengan cara yang haram‬‬
‫‪maka gajinya pun juga haram.‬‬
‫‪Referensi :‬‬
‫‪1. Tafsir jalalain‬‬
2. Al_Asybah Wannadzooir hal. 105 ( perc. Al_Haromain )
‫ تفسَت جاللُت‬
)‫كالسرقة والغصب (و) ال (تدلوا‬
‫شرعا‬
‫اـ‬
‫ر‬
‫اغب‬
)
‫بالباطل‬
(
‫بعض‬
‫ماؿ‬
‫بعضكم‬
‫يأكل‬
‫ال‬
‫اى‬
)
‫الكم‬
‫و‬
‫(والتأكلوا من أم‬
‫تلقوا (هبا) اى حبكومتها او باألمواؿ رشوة اذل اغبكاـ لتأكلوا بالتجادل (فريقا) طائفة ّ(من أمواؿ الناس) متلبسُت‬
.‫(باإلمث وأنتم تعلموف) انكم مبطلوف‬
) ‫ ( اغبرمُت‬۱۰٥ ‫ أألشباه والنّظآئر صحيفة‬
.‫ او خالف القواعد الكليّة‬،‫ قاؿ القراضى‬.‫(خاسبة) ينقض قضاء القاضى إذا حالف نصا او اصباعا او قياسا جليّا‬
.‫ او كاف حكما ال دليل عليو‬،‫قاؿ اغبنفيّة‬
2). Boleh apabila antara keharoman suap tersebut tidak ada kaitannya dengan gaji. yang
di contohkan antara sholat dengan perkara ( seperti baju ) yang hasil dari ghosob yang
keduanya tidak ada kaitannya.
Referensi :
» Syarah Nawawi „Ala Shohihi Muslim. Hal. 58-59 ( perc. Al_Haromain )
) ‫ ( اغبرمُت‬٥۹ -٥۸ ‫ شرح النواوى على صحيص مسلم صحيفة‬
.‫ا ّف الصالة ىف الدار الغصوبة صحيحة يسقط هبا الفرض وال ثوب فيها‬
3. Deskripsi masalah
Sebagaimana terdapat didalam sebagian kitab-kitab ditulis :
” Dilarang memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit, hak cipta
dilindungi undang-undang ” / ” Hati-hati dengan buku bajakan, pengarang dan ahli
warisnya tidak ridlo, akan dituntut didunia dan ahirat, ilmunya tidak bermanfaat” / ‟
Haram mencopy sebagian atau seluruhnya dari isi buku ini tanpa izin tertulis ”.
Pertanyaan
Bagaimana menyikapi adanya hal semacam itu, (boleh/tidak) kalau sekiranya tetap
mengcopy /memperbanyak isi buku/kitab tersebut ?
Jawab
Boleh, dikarenakan buku/kitab tersebut sudah menjadi hak milik seseorang
Referensi
» Al_Fiqhu ‟Alal Madzaahibil Arba‟ah Juz 2 hal. 150 (perc. Darul Fikri)
۱٥۰‫الفقو على مذاىب االربعة اعبزء الثاىن ص‬
.‫فإف متّ البيع ظهر أ ّف اؼبلك للمشًتى من حُت العقد‬
4. Deskripsi masalah.
Ada dua sahabat karib akan tetapi berlainan agama (Anisa & Maiya). Pada Hari Raya Idul
Fitri Disa bertemu Maya, dalam berinteraksi setiap hari Nisa banyak sekali kesalahan
yang diperbuat. Dihari raya tersebut nisa mengucapkan kata “Minal „Aaidien
Wal_Faaizien” kepada Maya dengan alasan dengan tetap menjaga tali persahabatan dan
keduanya bisa saling memaafkan
Pertanyaan :
Menurut pandangan fiqih, bagaimana mengucapkan “Minal „Aaidien Wal_Faaizien”
kepada lain agama sebagaimana alasan yang termaktub diatas ?
Jawab
:
Boleh karena seperti itu berkenaan dengan hubungan untuk menjalin kebaikan
persahabatan
Referensi
:
Hasyiah Al_Qulyubi Juz 1 Hal. 267 ( Perc. Al_Haromain )
) ‫ ( اغبرمُت‬٢٦٤‫األوؿ صحيفة‬
‫حاشية القليوىب اعبزء‬
ّ ‫الكافر‬
‫وجيوز الدعاء لو ولوباؼبغفرة والرضبة خالفا ؼبا ىف األذكار االّ مغفرة ذنب الكفر مع موتو‬
‫جيوز اجابة دعاء‬
‫على الكفر فالجيوز‬
JAWABAN BAHTSUL MASAIL KUBRA
1. Deskripsi Masalah
Musik bagi manusia bukanlah hal yang aneh,dengan mendengarkan
musik baik secara lansung atau melalui alat elektronik seperti TV,Tape atau
Radio adalah merupakan kenikmatan tersendiri.
Pertanyaan
Bagaimana hukum mendengarkan musik tersebut baik secara lansung atau
tidak,yang di dalamnya terdapat alat-alat malahi ?
(Majlis Syawir)
Jawaban :
 Bila mendengarkannya secara langsung (Menghadirinya) :
 HARAM bila terdapat salah satu hal sebagai beikut :
a. Semua alat malahi yang dimainkan adalah yang di kategorikan
haram oleh Syara’.
b. Dalam menontonnya terdapat hal yang melanggar Syara’ atau ada
kemungkinan untuk itu (bersifat Dzhonniyah) seperti menimbulkan
fitnah, bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan judi,
minum minuman keras Dll.
 KHILAF ketika alat malahi yang dimainkan bercampur antara yang di
kategorikan Haram dengan yang Mubah dan Makruh.
 MUBAH ketika Alat Malahinya yang dikategorikan yang Mubah dan
Makruh.
 SUNNAH ketika mendengarkannya memang bias menambah
ketaqwaan kita kepada Allah walaupun terdapat Alat Malahi yang
dikategorikan Haram.
 Bila mendengarnya secara tidak langsung (lewat Tape Recordeer, TV, Hp
Dll) :
 Mubah secara Mutlak Walaupun dalam pembuatan musiknya
terdapat Alat Malahi yang dikategorikan HARAM, bahkan bisa Sunnah
hukumnya ketika mendengarkannya bisa meningkatkan ketaqwaan.
 HARAM ketika mendengarkannya bisa menyebabkan Pelanggaran
Syara’.
Ibaratnya :
Macam Alat Malahi
204 ‫الحاوى الكابير الجزء الحادى وعشرون ص‬
‫ فالعود والطنبور واؼبعزفة والطبل‬:‫ حراـ ومكروه وحالؿ فمأؿ اغبراـ‬:‫( فصل ) واما اؼبالىى فعلى ثالثة أضرب‬
‫ فما زاد بو الغناء طربا ودل يكن بانفر ده‬:‫ واما اؼبكروه‬-‫ اذل اف قاؿ‬-.‫واؼبزمار وما أؽبى بصوت مطروب ادا انفرد‬
‫ فما خرج‬:‫ والقضيب فيكره مع الغناء لزيادة على اطرابو واليكره ادا انفرد لعدـ اطرابو واما اؼبباح‬,‫مطروبا كالفسخ‬
‫عن الة اإلطراب إما اذل إندار كالبوؽ وطبل اغبرب او عبمع وإعالف كالدؼ ىف النكاح كما قاؿ صلوات اهلل عليو‬
‫اىػ‬. "‫وسالمو " أعلنوا النكاح واضربوا عليو بالدؼ‬
314-312 ‫احياء علوم الدين الجزء الثانى ص‬
‫فإف قلت فهل لو حالة حيرـ فيها‪ .‬فأقوؿ إنو حيرـ خبمسة عوارض عارض ىف اؼبسمع وعارض ىف الة اإلظباع‬
‫وعارض ىف النظم الصوت وعارض ىف نفس اؼبستمع او ىف مواظبتو وعارض من كوف الشخص من عواـ اػبلق ألف‬
‫أركاف السماع ىى اؼبسمع واؼبستمع وآلة اإلظباع العارض األواؿ‪ :‬أف يكوف امراءة الحيل النظر اليو وزبشى الفتنة‬
‫من ظباعها وىف معناىا الصى األمراد الدى زبشى فتنة وىدا حراـ ؼبا فيو من خوؼ الفتنة وليس دلك الجل الغناء‬
‫–اذل اف قاؿ‪ -‬العارض الثاىن‪ :‬ىف آاللة بأف تكوف من شعار اىل شرب او اؼبخنثُت وىو اؼبزامَت وؿ األوتار وطبل‬
‫الكوبة فهده ثالثة أنواع فبنوعة وما عدا على دلك يبقى على اصل اإلباحة كالدؼ وإف كاف فيو اعبالجل‬
‫وكالطبل والشاىدين والضرب بالقضيب وسائر اآلت –اذل اف فاؿ‪ -‬العارض الثالث‪ :‬ىف نظم الصوت وىو الشعر‬
‫قاف كاف فيو شيء من اػبنا والفخش واؽبجو اوما ىو كدب على اهلل تعاذل وعلى رسوؿ اهلل عليو وسلم أو على‬
‫الصحابة رضى اهلل عنو‪.‬كما رتبو الروافض ىف ىجاء الصحابة وغَتىم‪,‬فسماع دلك حراـ بأغباف وغَت أغباف‬
‫واؼبستمع شريك للقتاؿ –إذل اف قاؿ‪ -‬العارض الرابع‪:‬ىف اؼبستمع اف تكوف الشهوة غالبة عليو وكنت ىف غرة‬
‫الشباب وكانت ىده الصفة اغلب عليو من غَتىا فالسماع حراـ عليو سواء غلب على قلبو حب شخص معُت اـ‬
‫دل يغلب‪ -‬اذل اف قاؿ‪ -‬العارض اػبامس‪ :‬اف يكوف الشخص من عواـ اػبلق ودل يغلب عليو حب اهلل تعاذل‬
‫فيكوف السماع ؿببوبا‪ ,‬ولوغلبة عليو شهوة فيكوف ىف حقو ؿبظورا‪ .‬ولكنو ابيص ىف حقو كسائر انواع للدات‬
‫اؼباحة‪ ,‬اال انو ادا ازبده ديدنو وىجَتاه وقصر عليو اكثر اوقاتو فهدا ىو السفيو الدى ترد شهادتو‪ ,‬فاف اؼبواظبة على‬
‫اللهو جناية –اذل اف قاؿ‪ -‬ولو استوعبت اػبيالف الوجو لشوىتو فما اقبص دللك ! فيعود اغبسن قبحا بسبب‬
‫الكثرة فيما كل حسن حيسن كثَتة وال كل مباح يباح كثَتة‪ ,‬بل اػببز مباح واالستكثار منو حراـ‪ .‬فهدا اؼبباح‬
‫كسائر اؼبباحات‪.‬‬
‫‪Alat MusikTabuh‬‬
‫أحكام الفقهاء الجزء األول ص ‪20‬‬
‫وقاؿ أيضا‪ :‬وهبده العلة حيرـ ضرب الكوبة وىو طبل مستطيل رقيق الوسط واسع الطرفُت وضرهبا عادة اؼبخنثُت‪,‬‬
‫ولوال التشبيو لكاف مثل طبل اغبجيج والغزو‪.‬‬
‫‪Kencreng‬‬
‫فى كف الرعاع البن حجر الهيتمى صـ ‪296‬‬
‫ما نصه ‪ :‬القسم السادس ‪ :‬فى الضرب بالصفاقتين ‪ ،‬ومها دائرتاف من صفر تضرب احدامها على االخرى‬
‫ويسمياف بالصنج ايضا ‪.‬‬
‫) ‪Alat musik petik (Gitar, Kecapi, Mandolin, Lute dll‬‬
‫وفى بلغة السالك للشيخ احمد الصاوى المالكى ‪ ( 405/1‬دار الفكر )‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ود وما جرى َْؾبراه ِمن ْاآلَال ِ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ما نصه ‪َ :‬و ْاعلَ ْم أ َّ‬
‫ور م ْن‬
‫ت الْ َم ْعُروفَة َذ َوات ْاأل َْوتَا ِر ; فَالْ َم ْش ُه‬
‫َف الْ ُعلَماء ْ‬
‫اختَػلَ ُفوا ِيف الْ ُع َ َ َ َ َ ُ‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫َف الضَّرَبَ بِِو و َظباعو حراـ ‪ ,‬وذَىبت طَائَِفةٌ َإذل جوا ِزهِ ونُِقل َظباعو عن عب ِد اللَّ ِو ب ِن عمر ‪ ,‬وعبدِ‬
‫ِ‬
‫الْم َذ ِاى ِ‬
‫ب ْاأل َْربػَ َعة أ َّ ْ َ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ َ َ ْ‬
‫ْ ُ َ َ َ َْ‬
‫َ َ َ َ َ ُ ُ َ ْ َْ‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ٍِ‬
‫الزبػَ َِْت ‪َ ,‬وُم َعا ِويَةَ بْ ِن أَِِب ُس ْفيَا َف ‪َ ,‬و َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع ِ‬
‫ُت‬
‫اللَّ ِو بْ ِن َج ْع َف ٍر ‪َ ,‬و َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن ُّ‬
‫اص َو َغ َِْتى ْم َو َع ْن صبُْلَة م ْن التَّابِع َ‬
‫وِمن ْاألَئِ َّم ِة الْمجت ِه ِدين ‪ُ ,‬مثَّ اختػلَف الَّ ِذين َذىبوا َإذل َْرب ِرديِِو ‪ ,‬فَ ِقيل ‪َ :‬كبَِتةٌ وقِيل ‪ِ :‬‬
‫َص ُّص الث ِ‬
‫َّاين ‪,‬‬
‫صغ ََتةٌ ‪َ ,‬و ْاأل َ‬
‫َ َ َ َ‬
‫ُ َْ َ ِ َْ َ َ َُ‬
‫َ ْ‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫ٍ‬
‫صنِي ٍع فَ َال تُػَرُّد بِِو َش َه َادةٌ ‪.‬‬
‫َو‬
‫أ‬
‫س‬
‫ر‬
‫ع‬
‫يف‬
‫ف‬
‫ا‬
‫ك‬
‫ا‬
‫ذ‬
‫ي َع ْن ابْ ِن َعْبد ْ‬
‫اغبَ َك ِم أَنَّوُ قَ َ‬
‫َو َح َكى الْ َما ِزِر ُّ‬
‫اؿ ‪ :‬إ َ َ َ ُ ْ ْ َ‬
‫‪2. Deskripsi Masalah‬‬
‫‪Sebagaimana seorang Pegawai Negeri,dalam pekerjaannya tentu sudah‬‬
‫‪ditentukan sebagaimana mestinya oleh pemerintah yang berwenang dan gajinya‬‬
‫‪juga sudah ditentukan sebagaimana mestinya.‬‬
‫‪Pertanyaan‬‬
‫‪a. Bagaimana hukum gaji seorang pegawai yang tidak menjalankan tugas‬‬
‫? )‪sebagaimana mestinya(apakah termasuk gaji buta‬‬
‫? ‪b. Bagaimana solusi hal itu‬‬
‫)‪(PP.Al – Manar‬‬
‫‪Jawaban :‬‬
‫‪a. tidak termasuk gaji Buta karena dia melaksanakan tugas walupun tidak‬‬
‫‪sebagaimana mestinya. Sedangkan Hukum gajinya dapat di tafsil sebagai‬‬
‫‪berikut :‬‬
‫‪ Haram bagi sebagian gaji yang seharusnya tidak di terima apabila‬‬
‫‪PNS tadi tidak mengganti pekerjaannya/jam kerjanya di lain waktu‬‬
‫‪Waupun PNS tadi meninggalkan pekerjaannya dengan alas an‬‬
‫‪Udzur Syar’i (Dapat di prosentasekan).‬‬
‫‪ Mubah bagi sebagian gaji yang seharusnya tidak diterima PNS tadi‬‬
‫‪tapi tidak mengetahui keharamannya.‬‬
‫‪Ibarote :‬‬
‫?‪PNS itu‬‬
‫الشروني الجزء العاشر ص ‪133‬‬
‫ويرزؽ اإلماـ أيضا من بيت اؼباؿ كل من كاف عملو مصلحة عامة للمسلمُت كاألمَت ‪ ,‬واؼبفيت ‪ ,‬واحملتسب ‪,‬‬
‫واؼبؤذف وإماـ الصالة ومعلم القرآف وغَته من العلوـ الشرعية ‪ ,‬والقاسم ‪ ,‬واؼبقوـ ‪ ,‬واؼبًتجم وكاتب الصكوؾ ‪ ,‬فإف‬
‫دل يكن يف بيت اؼباؿ شيء دل يندب أف يعُت قاظبا وال كاتبا وال مقوما وال مًتصبا وال مسمعا وذلك ; لئال يغالوا‬
‫باألجرة مغٍت وروض مع شرحو وكذا يف النهاية إال قوؽبما ‪ :‬وال جيوز لو إذل وال جيوز عقد اإلجارة قاؿ ع ش ‪:‬‬
‫قولو ‪ :‬وعيالو ىل اؼبراد منهم من تلزمو مؤنتهم ‪ ,‬أو كل من يف نفقتو ‪ ,‬وإف كاف ينفق عليهم مروءة كعمتو وخالتو‬
‫مثال فيو نظر ‪ ,‬وقياس ما اعتمده يف قسم الصدقات بالنسبة ؼبن يأخذ الزكاة األوؿ ‪ ,‬وقد يقاؿ وىو األقرب ‪ :‬إنو‬
‫يأخذ ما حيتاج إليو ولو ؼبن ال تلزمو نفقتو ‪ ,‬ويفرؽ بأف ىذا يف مقابلة عمل قد يقطعو عن الكسب خبالؼ الزكاة‬
‫فإهنا حملض اؼبواساة ‪ .‬وقولو ‪ :‬وال جيوز أف يرزؽ إخل لعل اؼبراد أنو ال جيب على اإلماـ أف يعطي من خاص مالو وال‬
‫اآلحاد ‪ ,‬أما لو دفع أحدمها تربعا دل ديتنع قبولو وقولو ‪ ,‬ويرزؽ اإلماـ إخل أي ‪ :‬وجوبا وإف وجد ما يكفيو قياسا‬
‫على القاضيألف ما يأخذ يف مقابلة عملو فلو دل يعط ردبا ترؾ العمل فتتعطل مصاحل اؼبؤمنُت وقياس ما مر عن‬
‫اؼباوردي أف ؿبلو يف اؼبكتفي إذا دل يوجد متطوع بالعمل غَته وقولو ‪ :‬من العلوـ الشرعية أي ‪ :‬اليت ؽبا تعلق‬
‫بالشرع فيشمل الفقو ‪ ,‬واغبديث ‪ ,‬والتفسَت ‪ ,‬وما كاف آلة ؽبا ‪ .‬ا ىػ ‪ .‬كالـ ع ش وقولو ‪ :‬لعل اؼبراد إخل يعلم رده‬
‫فبا مر عن اؼبغٍت ‪ ,‬واألسٌت آنفا‬
‫نهاية المحتاج الجزء السادس ص ‪135‬‬
‫وينبغي أف يقاؿ مثلو يف األئمة واؼبؤذنُت وسائر من يشتغل عن كبو كسبو دبصاحل اؼبسلمُت – إذل أف قاؿ ‪ -‬وؿبل‬
‫إعطاء اؼبدرسُت واألئمة وكبوىم يف مقابلة ذلك أف ال يكوف ؽبم مشروط يف مقابلة ذلك من غَت بيت اؼباؿ‬
‫كالوظائف اؼبعينة لإلماـ واػبطيب وكبومها من الواقف للمسجد مثال ‪ ,‬فإف كاف ‪ ,‬ودل يواز تعبهم يف الوظائف اليت‬
‫قاموا هبا دفع إليهم ما حيتاجوف إليو من بيت اؼباؿ زيادة على ما شرط ؽبم من جهة األوقاؼ‬
‫‪Prosentase Gaji‬‬
‫بغية المسترشدين ص ‪165‬‬
‫(مسألة ش) استأجر للعمل مدة معلومة فسلم نفسو إستحق كل األجرة دبضي وقت اإلجارة وإف دل يعمل لتلف‬
‫اؼبنافع ربت يد اؼبستأجر فلو شرط ذلك يف صلب العقد دل يفسدىا إال إف شرط فيو استحقاؽ األجَت قبل سباـ‬
‫اؼبدة أو شرط على األجَت أنو مىت عجز عن العماؿ أثناءه فليس لو شيء فحينئذ لو أجرة اؼبثل مادل يعمل بفاسج‬
‫العقد وأف ال أجرة ‪.‬‬
‫‪b. Solusinya :‬‬
‫‪ Mengganti pekerjaannya diwaktu lain‬‬
‫‪ Kalo tidak bisa menggantinya maka membadalkannya‬‬
‫‪ Mengembalikan sebagian gaji yang seharusnya tidak dia terima yang‬‬
‫‪telah diprosentasekan dengan waktu PNS tadi tidak masuk kerja‬‬
‫حاشية الجمل على المنهج الجزء الثالث ص ‪545‬‬
‫( فرع) لو استأجره غبفظ ؾذ ا من القراف ىل يفسد العقد ألف اغبفظ ليس بيده كمالو شرط الشفاء يف اؼبداواة أو‬
‫يصص ألنو اؼبقصود من التعليم ويفرؽ فيو نظر اىػ سم على حج والتبعد الصحة ؼبا علل بو من أف اؼبقصودة من‬
‫لتعليم اغبفظ وقولو ويفرؽ بُت اؼبداواة إ ذا كثَتا ما توجد فال يوجد الشفاء اىػ ع ش على ـ ر ولو استأجره لقدر‬
‫معُت فعلم بعضو مث ترؾ فإف أمكن البناء على ما فعلو استحق القسط وإال كأف مات اؼبتعلم دل يستحق شيئا‬
‫وه ذ ا جيري يف سائر اإلجاراة كالبناء واػبياطة‪.‬‬
‫(تنبيو) تصص اإلجارة للخدمة مث إف عُت نوع تعُت وإالضبل على ما يليق باؼبؤجر واؼبستأجر وال تصص اإلجارة‬
‫بالنفقة ألهنا ؾبهولة وال عادة فيها إال يف خادـ الزوجة ويف اغبج بالرزؽ كما مر‪.‬‬
‫(فرع) يصص اإلستئجار للنساخة ويبُت كيفية اػبط ورقتو وغلظو وعدد األوراؽ وسطور أجرة لو وإال فلو األجرة وال‬
‫أرش عليو ويلزمو اإلصالح ولضرب اللنب بكسر اؼبوحدة ويبُت طوؿ القالب بفتص الالـ وعرضو وظبكو وؾذ ا العدد‬
‫إف قدر على احملل وللرعى ويبُت مدتو ونوع اغبيواف وعدده مطلقا ووصفو إف كاف ىف الدمة اىػ‪ .‬ؽ ؿ على اعبالؿ‪.‬‬
‫‪.‬‬
‫‪3. Deskripsi Masalah‬‬
‫‪Beberapa pekan terakhir,masyarakat Indonesia dihebohkan dengan‬‬
‫‪munculnya kembali gerakan NII(Negara Islam Indonesia). Gerakan ini muncul‬‬
pertama kali pada 1949 dengan nama darul islam yang dipelopori oleh
Kartosowiryo. Tujuan dari gerakan ini awalnya adalah mendirikan Negara
dengan Konsep Islam yang mereka anut. Belakangan ini NII menjadi sorotan
media masa setelah sejumlah orang dikabarkan menjdi korban penulikan dan
pemerasan.
Selain NII, di Indonesia sering muncul gerakan-gerakan yang lain yang ingin
memisahkan atau mendirikan suatu pemerintahan sendiri karena menganggap
sistem pemerintahan di Indonesia tidak sesuai dengan konsep Negara Islam
ataupun dengan knsep yang mreka anut seperti GAM,RMS,AL Qaeda,Papua
Merdeka, dll.
Pertanyaan
1. Bagaimana pandangan Syara’ mengenai gerakan dan Ormas yang bergerak
seperti NII dll?
2. Apakah sudah bisa dihukumi Bughot?
Jawaban :
a. Dalam deskripsi masalah diatas setidaknya terdapat beberapa masalah
yang perlu diperhatikan :
 Haram mendirikan Negara atau memisahkan diri karena Negara
Indonesia sudah sah baik dalam pandangan Syara’ maupun
Konstitusi.
 Penculikan dan pemerasan terhadap orang laen tidak bisa
dibenarkan secara syara’ bahkan pelakunya bisa dianggap
sebagai Qotiut Thoriq.
 Walaupun sistem pemerintahan Negara Indonesia tidak semuanya
sesuai dengan Sistem pemerintahan didalam kitab fiqh, Negara
indonesia sudah bisa disebut Negara Islam.
Ibarotnya….
NKRI
‫حاشية الجمل للشيخ سليمان الجمل‬
‫مث رايت الرافعى وغَته دكروا نقال عن األصحاب أف دار االسالـ ثالثة أقساـ قسم يسكنو اؼبسلموف وقسم فتحوه‬
‫ وعدىم القسم الثاىن‬:‫وأقروه أىلو عليو جبزيو ملكوه اوال وقسم كانوا يسكنونو مث غلب عليو الكفار قاؿ الرافعى‬
‫يبُت انو يكفى ىف كوهنا دار اسالـ كوهنا ربت استيالء االماـ واف دل يكن فيها مسلم قاؿ واما عدىم الثالث وقد‬
.‫يوجد ىف كالمهم ما يشعر باف االستيالء القدًن يكفى الستمرار اغبكم‬
371 ‫وفى حاشية البيجورى الجزء الثاني ص‬
‫ أوؽبا بيعة أىل اغبل والعقد أى حل األمور وعقدىا من العلماء ووجوه‬: ‫ وتنعقد اإلماـ بأحد أمور ثالثة‬: ‫مانصه‬
‫الناس اؼبتيسر اجتماعهم فال يعترب فيها عدؿ بل لو تعلق اغبل بواحد مطاع كفت بيعتو حبضرة شاىدين وال تكفى‬
‫ثانيهما استخالؼ اإلماـ من عينو ىف‬
, ‫بيعة العامة ويشًتط اتصاؼ اؼببايعة بصفة الشهود من العدالة وغَتىا‬
‫حياتو بشرط اف يكوف أىال لإلمامة حينئذ ليكوف خليفة بعد موتو ويصَت بدال عنو بعهده اليو كما عهد أبو بكر‬
‫اذل عمر رضى اهلل عنهما ‪ ,‬كجعلو األمر شورى بُت صباعة فَتتضوف بعد موتو أوىف حياتو بإذنو واحدا منهم ‪,‬‬
‫كما جعل عمر رضى اهلل عنو األمر شورى بُت ستة‬
‫‪ -‬اذل أف قاؿ ‪ -‬ثالثها استالء شخص مسلم ذى شوكة‬
‫متغلب على اإلمامة ولو غَت أىل ؽبا كصيب أو امرأة وفاسق وجاىل فتنعقد إمامتو لينتظم مشل اؼبسلمينوتنفذ‬
‫أحكامو للضرورة ‪.‬‬
‫? ‪Tindakan NII Dkk gimana Gan‬‬
‫الفقه اإلسالمي الجزءالسادس صـ ‪707-705‬‬
‫حدداؼباورديواجباتاؼبسلميننحواغباكمبأمرينومها‬
‫‪ - 1 :‬الطاعةفيغَتمعصية ‪ - 2 .‬النصرةماؼبيتغَتحالو ‪ .‬فقاؿ ‪:‬‬
‫« إذاقاماإلمامبماذكرنامهنحقوقاألمة‪،‬فقدأدىحقاللهتعالىفيماؽبموعليهم‪،‬ووجبلهعليهمحقاف‬
‫‪.‬‬
‫الطاعةوالنصرةماؼبيتغَتحالو»‬
‫‪:‬‬
‫‪1‬‬
‫ػحقالطاعة‬
‫‪:‬‬
‫‪ :‬إذابايعأكثريةاؼبسلمينإماماًوجبتطاعتهمنالكل‪،‬لقواللرسولصلّىاللهعليهوسلم‬
‫«يداللهعلىاعبماعة»«ومنشذشذفيالنار»«منفارقاعبماعةشرباً‪،‬فقدخلعربقةاإلسالفبنعنقو»‬
‫‪ .‬وبذاللطاعةمشروطبقياماغباكمبواجباهتالتيذكرتسابقاً‪،‬ومضموهناالتزامأوامرالشريعة‬
‫( ‪)2‬‬
‫‪- .‬إذل أف قاؿ‪-‬‬
‫«علىاؼبرءاؼبسلمالسمعوالطاعةفيماأحبأوكره‪،‬إالأنيؤمردبعصية‪،‬فإنأمردبعصيةفالظبعوالطاعة»‬
‫‪.‬والجيوزاػبروجعنالطاعةبسببأخطاءغَتأساسيةالتصادمنصاًقطعياً‪،‬سواءأكانتباجتهاد‪،‬أمبغَتاجتهاد‪،‬حفاظاًعلىوحدةاألـ‬
‫ةوعدمتمزيقكياهناأوتفريقكلمتها‬
‫‪- ،‬إذل أف قاؿ‪-‬‬
‫وإذاأخطأاغباكمخطأغَتأساسيالديسأصواللشريعةوجبعلىالرعيةتقدديالنصحلهباللينواغبكمةواؼبوعظةاغبسنة‪،‬قالعليهالص‬
‫الةوالسالـ ‪« :‬الدينالنصيحةقلنا ‪ :‬ؼبنيارسوالهلل؟قاؿ ‪ :‬للهولرسوؽبولكتاهبوألئمةاؼبسلمينوعامتهم» ‪-‬إذل أف قاؿ‪. -‬‬
‫‪:‬‬
‫فإنلمينتصحوجبالصربلقوؽبعليهالسالـ‬
‫( ‪)3‬‬
‫«منرأىمنأمَتىشيئاً‪،‬فكرىفليصرب‪،‬فإهنليسأحديفارقاعبماعةشرباً‪،‬فيموتإالماسبيتةجاىلية»‬
‫‪ .‬ولكنالذببالطاعةعندظهورمعصيةتتنافىمعتعاليماإلسالمالقطعيةالثابتة‪،‬لقوؽبعليهالصالةوالسالـ‬
‫«الطاعةألحدفيمعصيةاهلل‪،‬إمناالطاعةفياؼبعروؼ»«الطاعةؼبنلميطعاهلل»‬
‫‪:‬‬
‫( ‪- . )4‬إذل أف قاؿ‪-‬‬
‫واستنبطبعضالكتاباحملدثُت ( ‪ )4‬مناغبديثينالسابقينمبادئأربعةبينفيهاحدودالطاعةوحالةجوازالثورةعلىاغبكم‬
‫‪.‬‬
‫وىي‪:‬أوالًػإنلألمَتالذييمثالغبكومةالشرعيةفيالدولةحقالطاعةمناؼبواطنينجميعاً‪،‬بغضالنظرعنأنفريقاًأوفرداًمنهمقدالحيبو‪،‬أو‬
‫اليرضىأحياناًعنسياستهفيإدارةشؤونالدولة‪.‬ثانياًػإذاماأقدمتاغبكومةعلىإصدارقوانينأوأوامرتتضمنمعصيةصرحيةباؼبعنىالشرع‬
‫ي‪،‬فإهنالظبعوالطاعةعلىاؼبواطنينبالنسبةؽبذىالقوانينواألوامر‪.‬ثالثاًػإذاماوقفتاغبكومةموقفاًتتحدىبهتحدياًصرحياًمتعمداًنص‬
‫وصالقرآف‪،‬فإهنذااؼبوقفيعترب‬
‫(‬
‫كفراًبواحاً‬
‫)‬
‫األمرالذييستوجبنزعالسلطةمنيدىاوإسقاطها‪.‬رابعاًػإننزعالسلطةىذامنيداغبكومةفيغَتحالةإعالنالكفرصراحةجيبأاليتمعنطر‬
‫يقثورةمسلحةمنجانبأقليةمناجملتمع؛ألنرسوالللهصلّىاللهعليهوسلمقدحذرنامناللجوءؽبذىالوسيلة‪،‬فقاؿ‬
‫«منحملعليناالسالحفليسمنا»‬
‫( ‪ )1‬وقاؿ ‪« :‬منسلعليناالسيففليسمنا»‬
‫( ‪ )2‬واؼبرادبذلكالبغاة‬
‫‪:‬‬
‫‪:‬‬
‫ومهفئةمنالناسخارجةعنطاعةاإلماـ‪.‬ومناؼبقررفقهاًأنالسلطةالتيتملكالتعيينتملكحقالعزؿ‪.‬وىذايعنيأنأىاللشورىيقًتحونالعزؿ‬
‫برباىينواضحة‪،‬شبتقومأكثريةاألمةبواسطةاستفتاءمثالًبالتصويتعلىعزالإلمافبنمنصبو‪.‬‬
‫‪Statusnya…….‬‬
‫التفسير الكبير لالمام فخر الدين الرازي الشافعي ‪( 108-107/16‬دار الكتب العلمية)‬
‫(ياأيها النيب جاىد الكفار واؼبنافقُت) وىف اآلية سؤاؿ ‪ ،‬وىو اف اآلية تدؿ على وجوب ؾباىدة اؼبنافقُت وذلك غَت‬
‫جائز ‪ ،‬فاف اؼبنافق ىو الذي يسًت كفره وينكر بلسانو ‪ ،‬ومىت كاف االمر كذلك دل جيز ؿباربتو وؾباىدتو ‪ .‬واعلم‬
‫اف الناس ذكروا اقواال بسبب ىذا االشكاؿ ‪...‬اذل اف قاؿ‪ ...‬والقوؿ الثالث وىو الصحيص ‪ :‬اف اعبهاد عبارة عن‬
‫بذؿ اعبهد ‪ .‬وليس ىف اللفظ ما يدؿ على اف ذلك اعبهاد بالسيف او باللساف او بطريق آخر فنقوؿ ‪ :‬اف اآلية‬
‫تدؿ على وجوب اعبهاد مع الفريقُت ‪ ،‬فاما كيفية تلك اجملاىدة فلفظ اآلية ال يدؿ عليها ‪ ،‬بل امنا يعرؼ من دليل‬
‫آخر ‪ .‬واذا ثبت ىذا فنقوؿ ‪ :‬دلت الدالئل اؼبنفصلة على اف اجملاىدة مع الكفار جيب اف تكوف بالسيف ‪ ،‬ومع‬
‫اؼبنافقُت بإظهار اغبجة تارة ‪ ،‬وبًتؾ الرفق ثانيا ‪ ،‬وباالنتهار ثالثا ‪ .‬قاؿ عبد اهلل ىف قولو (جاىد الكفار واؼبنافقُت)‬
‫قاؿ تارة باليد وتارة باللساف ‪ ،‬فمن دل يستطع فليكشر ىف وجهو ‪ ،‬فمن دل يستطع فبالقلب ‪.‬‬
‫‪Sikap kita kepada mereka‬‬
‫إحياء علوم الدين الجزء الثاني ص ‪308‬‬
‫اعلم أف األركاف يف اغبسبة اليت ىي عبارة شاملة لألمر باؼبعروؼ والنهي عن اؼبنكر أربعة احملتسب واحملتسب عليو‬
‫واحملتسب فيو ونفس اإلحتساب فهذه أربعة أركاف ولكل واحد منها شروط – إذل اف قاؿ – الركن الرابع نفس‬
‫اإلحتساب ولو درجات وآداب وأما الدرجات فأوؽبا التعريف مث التعريف مث النهي مث الوعظ والنصص مث السب‬
‫والتعنيف مث التغيَت باليد مث التهديد بالضرب مث إيقاع الضرب وربقيقو مث شهر السالح مث اإلستظهار فيو باألعواف‬
‫وصبع اعبنود‪ – .‬إذل اف قاؿ – الدرجة اػبامسة التغيَت باليد وذلك ككسر اؼبالىي‬
‫‪b. Sudah termasuk Bughot dan Imam wajib menindaknya‬‬
‫فتح الوهاب لشيخ اإلسالم زكريا األنصاري الجزء الثاني ص ‪ ( 153‬ط‪/‬الهداية )‬
‫( كتاب البغاة ) إذل أف قاؿ ‪ ( ...‬ىم ) مسلموف ( ـبالفو إماـ ) ‪ ,‬ولو جائرا بإف خرجوا عن طاعتو بعدـ‬
‫انقيادىم لو أو منع حق توجو عليهم كزكاة ( عنو ؿ ) ؽبم يف ذلك ( باطل ظنا وشوكة ؽبم ) وىي ال ربصل إال‬
‫دبطاع وإف دل يكن إماما ؽبم ( وجيب قتاؽبم ) إلصباع الصحابة عليو ‪ ,‬وىذا مع قورل باطل ظنا من زياديت وليسوا‬
‫فسقة ; ألهنم إمنا خالفوا بتأويل جائز باعتقادىم لكنهم ـبطئوف فيو كتأويل اػبارجُت على علي رضي اهلل عنو بأنو‬
‫يعرؼ قتلة عثماف رضي اهلل عنو ويقدر عليهم وال يقتص منهم ؼبواطأتو إياىم وتأويل بعض مانعي الزكاة من أِب‬
‫بكر رضي اهلل عنو بأهنم ال يدفعوف الزكاة إال ؼبن صالتو سكن ؽبم وىو النيب صلى اهلل عليو وسلم فمن فقدت فيو‬
‫الشروط اؼبذكورة بأف خرجوا بال تأويل كمانعي حق الشرع كالزكاة عنادا أو بتأويل يقطع ببطالنو كتأويل اؼبرتدين‬
‫أو دل يكن ؽبم شوكة بأف كانوا أفرادا يسهل الظفر هبم أو ليس فيهم مطاع فليسوا بغاة النتفاء حرمتهم فَتتب‬
‫على أفعاؽبم مقتضاه على تفصيل يف ذي الشوكة يعلم فبا يأيت حىت لو تأولوا بال شوكة وأتلفوا شيئا ضمنوه مطلقا‬
‫كقاطع طريق‪.‬‬
‫‪4. Deskripsi Masalah‬‬
‫‪Di dalam pemerintah islam tetu dilarang memilih pemimpin yang non‬‬
‫‪muslim selama maih ada orang muslim yang mampu, namun ada juga yang‬‬
‫‪bergabung antara orang muslim dengan non muslim entah posisinya sebagai‬‬
‫‪ketua/wakil.‬‬
‫‪Pertanyaan‬‬
‫‪1. Bagaimana hukumnya memilih pemimpin muslim yang koalisinya dengan non‬‬
‫?‪muslim‬‬
‫‪2. sampai dimanakah batasan orang muslim boleh bergabung dengan non‬‬
‫?‪muslim‬‬
‫)‪(PP.Al – Manar‬‬
‫‪Jawaban :‬‬
‫‪a. Boleh memilih pemimpin Non muslim yang koalisi dengan Seorang‬‬
‫‪muslim, dengan Syarat :‬‬
‫‪ Selama tidak ada orang muslim lainnya yang mampu untuk‬‬
‫‪mendudukinya.‬‬
‫‪ Hanya menjadi Wakil.‬‬
‫‪ Yang di urusi bukanlah permasalahan yang Urgent baik dalam‬‬
‫‪pemerintahan maupun Agama.‬‬
‫‪ Ada maslahat ketika dia menjadi pemimpin‬‬
‫‪ Merupakan strategi untuk memenangkan pemimpin yang muslim‬‬
‫‪dari saingannya yang yang fasiq (ndak saingane menang marakke‬‬
‫‪dadekke fitnah atau bahaya).‬‬
‫وفى تحفة المحتاج العاشر ص ‪135‬‬
‫مانصو ‪ :‬ويندب اف يشاور اجملتهد ولو ىف الفتوى وغَته حيث ال معتمد متيقن ىف مذىبو ىف تلك الواقعة لسائر‬
‫توابعها ومقاصدىا فيما يظهر عند تعارض األدلة واؼبدارؾ الفقهاء العدوؿ اؼبوافقُت واؼبخالفُت لقولو تعاذل‬
‫وشاورىم ىف األمر ( قوؿ اؼبنت الفقهاء ) اؼبراد هبم كما قاؿ صبع من األصحاب الذين يقبل قوؽبم ىف اإلفتاء‬
‫فيدخل األعمى والعبد واؼبرأة وخيرج الفاسق واعباىل قاؿ القاضى حسُت وإذا أشكل اغبكم تكوف اؼبشاورة واجبة‬
‫وإال فمستحبة‪.‬‬
‫قليوبى ‪( 298/4‬دار احياء الكتب)‬
‫( وشرط القاضي ) أي من يورل قاضيا ( مسلم مكلف ) أي بالغ عاقل ( حر ذكر عدؿ ظبيع بصَت ناطق كاؼ‬
‫) فال يواله رقيق وامرأة وفاسق نقصهم وال أصم وأعمى وأخرس ومغفل وـبتل النظر بكرب أو مرض ‪ ( .‬ؾبتهد وىو‬
‫أف يعرؼ من القرآف والسنة ما يتعلق باألحكاـ ) ىو متعلق االجتهاد ( وخاصو وعامو ) –إذل أف قاؿ‪ ( -‬فإف‬
‫تعذر صبع ىذه الشروط ) يف رجل ( فوذل سلطاف لو شوكة فاسقا أو مقلدا نفذ ) باؼبعجمة ( قضاؤه للضرورة )‬
‫لئال تتعطل مصاحل الناس قالو يف الوسيط تفقها قاؿ يف الروضة كأصلها وىذا حسن ‪.‬‬
‫قواعد األحكام في مصالح األنام ألبي محمد عز الدين عبد العزيز بن عبد السالم الدمشق ي الجزء األول‬
‫ص ‪86-85‬‬
‫قاعدة ‪ :‬إذا تعذرت العدالة يف الوالية العامة واػباصة حبيث ال يوجد عدؿ ‪ ,‬ولينا أقلهم فسوقا ولو أمثلة ‪- :‬‬
‫أحدىا ‪ :‬إذا تعذر يف األئمة فيقدـ أقلهم فسوقا عند اإلمكاف ‪ ,‬فإذا كاف األقل فسوقا يفرط يف ُع ْشر اؼبصاحل‬
‫الع ُشر‬
‫يفرط يف ُ‬
‫يفرط يف اػبمس فما زاد عليو ‪ ,‬وجيوز تولية من ّ‬
‫يفرط يف ُطبُسها دل ذبز تولية من ّ‬
‫العامة مثال وغَته ّ‬
‫‪ ,‬وإمنا جوزنا ذلك ألف حفظ تسعة األعشار بتضييع العشر أصلص لأليتاـ وألىل اإلسالـ من تضييع اعبميع ‪- ,‬‬
‫إلى أن قال ‪-‬اؼبثاؿ اػبامس ‪ :‬إذا تفاوتت رتب الفسوؽ يف حق األئمة قدمنا أقلهم فسوقا ‪ ,‬مثل إف كاف فسق‬
‫أحد األئمة بقتل النفوس وفسق اآلخر بانتهاؾ حرمة األبضاع ‪ ,‬وفسق اآلخر بالتضرع لألمواؿ ‪ ,‬قدمنا اؼبتضرع‬
‫لألمواؿ على اؼبتضرع للدماء واألبضاع ‪ ,‬فإف تعذر تقدديو قدمنا اؼبتضرع لألبضاع على من يتعرض للدماء ‪,‬‬
‫وكذلك يًتتب التقدًن على الكبَت من الذنوب واألكرب والصغَت منها واألصغر على اختالؼ رتبها ‪ .‬فإف قيل ‪:‬‬
‫أجيوز القتاؿ مع أحدمها إلقامة واليتو وإدامة تصرفو مع إعانتو على معصيتو ؟ قلنا ‪ :‬نعم دفعا ؼبا بُت مفسديت‬
‫الفسوقُت من التفاوت ودرءا لألفسد فاألفسد ‪ ,‬ويف ىذا وقفة وإشكاؿ من جهة أنا نعُت الظادل على فساد‬
‫األمواؿ دفعا ؼبفسدة األبضاع وىي معصية ‪ .‬وكذلك نعُت اآلخر على إفساد األبضاع دفعا ؼبفسدة الدماء وىي‬
‫معصية ‪ ,‬ولكن قد جيوز اإلعانة على اؼبعصية ال لكوهنا معصية بل لكوهنا وسيلة إذل ربصيل اؼبصلحة الراجحة‬
‫وكذلك إذا حصل باإلعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت اؼبفسدة كما ‪ ,‬تبذؿ األمواؿ يف فدى األسرى‬
‫األحرار اؼبسلمُت من أيدي الكفرة والفجرة ‪.‬‬
Download