METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA RELEVANSINYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: Muhammad Najmuddin NIM : 21111024 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015 NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa : Nama : Muhammad Najmuddin NIM : 211 11 024 Judul : Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang,Serta Relevansinya Di Indonesia dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Muhammad Najmuddin NIM : 21111024 Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas :Syariah Judul Skripsi : METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS DESA GENTAN KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA RELEVANSINYA DI INDONESIA menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karyasaya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuanorang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kodeetik ilmiah. Salatiga, 09 September 2015 Yang menyatakan, Muhammad Najmuddin NIM: 21111024 MOTTO المحافظة على القديم الصالح واإليجاد بالجديد األصلح “Melestarikan Tradisi Lama Yang Baik, Dan Membentuk Tradisi Baru Yang Lebih Baik” “Aktualisasi Dan Kontekstualisasi Fiqih Dalam Kitab Kuning Dapat Menjadi Solusi Terhadap Problematika Perilaku Manusia Yang Tidak Hanya Terbatas Pada Wilayah Ibadah Mahdhah, Namun Juga Mencakup Aspek Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Politik Dan Kebudayaan” (KH. Sahal Mahfudz) PERSEMBAHAN Skripsi ini peneliti persembahkan untuk: Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih, ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual semenjak kecil sampai saat ini. Serta dipersembahakan kepada adhek-adhek peneliti, M. Ali Munawar Huda & Siti Uswatun hasanah yang telah dengan senang hati membantu kakaknya menyelesaikan skripsi ini. Guru peneliti, Al-Marhum KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha (Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis), Al-Marhum Murobbi Ruhina Romo KH. Baidlowi Syamsuri, Lc., dan KH. Anshor Syamsuri (Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo), Al-Allamah Prof. Dr. Abdullah Baharun (Rektor Universitas Al-Ahgaff) beserta para dosennya, Al-„Alim Habib Salim As-Syatiri dan Ad-Da‟i Ilaallah Habib Umar Bin Khafidz selaku guru peneliti di Tareem Hadhramaut Republik Yaman, yang telah banyak membimbing dan melindungi peneliti dengan do‟a-do‟anya. Dosen-dosen di IAIN Salatiga khususnya dosen-dosen di lingkungan Fakultas Syariah Rekan-rekanita PC IPNU IPPNU Kabupaten Semarang, Sahabat-sahabati PMII Kota Salatiga, Kawan-kawan LPM Dinamika, Kanda Yunda JQH IAIN Salatiga, serta sahabat-sahabati di organisasi lainnya yang saya ikuti. Seluruh santri pondok pesantren se-Indonesia yang sedang berjuang untuk membentuk Fiqih Indonesia sebagai khazanah keilmuan Islam Nusantara. KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim Alhamdulillahi robbil‟aalamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah swt yang telah memberikan taufiq sertahidayah-Nya yang tiada terhingga, sehingga peneliti dapat menyelesaikanskripsi ini dengan judul “Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta parapengikutnya yang setia. Beliaulah sebagai rasul utusan Allahuntuk membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zamanyang modern ini. Beliau juga lah yang selalu menjadi inspirasi dalam langkah-langkah kita. Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak, skripsi yang peneliti susun ini dapat terselesaikan tanpa ada suatu halangan apapun. Tentunya dalam skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan dengan sempurna tanpabantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu peneliti. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah. 3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusa Ahwal AlSyakhsiyyah sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekalipeneliti dengan berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsiini. 5. Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih, ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual. 6. Pengasuh, asatidz, alumni, kepala Pondok Pesantren, Ketua Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinbeserta jajaran kepengurusannya yang telahmemberikan ijin serta memberikan fasilitas dalam pelaksanaan penelitianskripsi yang peneliti lakukan Skripsi yang telah peneliti susun ini pastinya masih jauh dari kata sempurna.Maka dari itu peneliti mengharapkankritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki skripsi di masa mendatang. Akhirul kalam, semoga skripsi inidapat berguna bagi peneliti khususnya serta para pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin. Salatiga, 09 September 2015 Muhammad Najmuddin ABSRTAK Najmuddin, Muhammad. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir DI Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia. Skripsi. Jurusan Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Fakultas Syari‟ah.Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si. Kata Kunci: Ijtihad Kolektif, Bahtsul Masail, Majlis Syawir Ilhaq, Taqrir Jama‟i. Skripsi yang penelititulis ini berusaha mengungkap problematika minimnya orang-orang yang kompeten untuk berijtihad pada saat ini. Banyak cendikiawan yang mencetuskan ide tentang ijtihad kolektif melalui forum ilmiah sebagai sebuah solusi untuk menjawab problematika diatas. Salah satu metode ijtihad kolektif yang sudah ada di Indonesia adalah metode bahtsul masail dan majlis syawir. Pondok pesantren yang sudah melaksanakan metode bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. Berangkat dari hal-hal tersebut, peneliti membahas pada empat fokus masalah dalam skripsi ini, yaitu Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail? Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam majlis syawir? Bagaimana metode bahtsul masail di Pondok Pesantren tersebut? Dan bagaimana relevansi kedua metode tersebut di Indonesia? Melalui penelitian kualitatif, peneliti mengungkap fokus permasalahan diatas. Dengan metode tersebut peneliti langsung melakukan observasi lapangan untuk melihat secara langsung pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di pondok pesantren tersebut. Selain itu, untuk menambah data peneliti juga melakukan wawancara kepada berbagai narasumber sesuai dengan data yang kami butuhkan. Peneliti juga menggunakan data serta dokumentasi yang ada pada pengurus LBM untuk melengkapi data yang peneliti butuhkan. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti mengadakan analisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti buat. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa metode bahtsul masail dan majlis syawir mempunyai kesinambungan dan keterhubungan dengan metode ijtihad kolektif. Peneliti menemukan jawaban bahwa dalam pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir mempunyai rangkaian dan tahapan untuk dapat menelurkan sebuah produk hukum. Selain itu, metode penetapan produk hukumnya dibuat dalam kerangka bermadzhab sehingga hasilnya teruji dan layak untuk disebut sebagai sebuah hasil ijtihad. Bahtsul masail dan majlis syawir sendiri ternyata mempunyai relevansi serta kebermanfaatan yang sangat besar di Indonesia terutama perannyadalam menjawab problematika kontemporer umat Islam baik untuk santri, ulama maupun masyarakat, serta metode tersebut dapar diadopsi oleh kalangan akademisi di kampus. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i LEMBAR BERLOGO ……..…………………………………………….... ii NOTA PEMBIMBING …………..…..……………………………………. iii LEMBAR PENGESAHAN KELULUSAN……………………………….. iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .………………………………… v MOTTO ……………………………………………………………………. vi PERSEMBAHAN ……..………………………………………………… vii KATA PENGANTAR ...…………………………………………………… viii ABSTRAK ………………………………………………………………… x DAFTAR ISI……………………………………………………………… xi DAFTAR TABEL………………………………………………………… xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...………………………………………... 1 B. Rumusan masalah……………………………………………….. 4 C. Tujuan Penelitian……………………………………………....... 5 D. Manfaat Penelitian .……………………………………………… 5 E. Penegasan Istilah ….…………………………………………...... 6 F. Tinjauan Pustaka………………………………………………... 7 G. Metodologi Penelitian …….…………………………………...... 10 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ............................................... 10 2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian ............................... 12 3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 12 4. Analisis Data ............................................................................. 15 5. Pengecekan Keabsahan Data .................................................... 16 6. Tahap-Tahap Penelitian ............................................................ 17 H. Sistematika Penulisan .…………………………………………... 18 BAB II BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH METODE PENALARAN HUKUM ISLAM A. Definisi Ijtihad ………………………………………………… 20 B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad ……………………………. 23 C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad .……………………………… 24 D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid .………………………………. 26 E. Ijtihad Kolektif .………………………………………………... 26 F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama‟ Nahdliyyin .…………………. 31 G. Bahtsul Masail Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…. 32 H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .……. 43 BAB III METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS A. Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ………………… B. Profil Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren 47 Raudlatut Thalibin ………………..……………………………... 54 C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ..…………………………. 64 D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail 1. Pelaksanaan Bahtsul Masail ………………………………… 68 2. Tarjih Ibarat (I‟tibar) Dalam Bahtsul Masail …….................. 74 E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir 1. Pelaksanaan Majlis Syawir ………………………………….. 78 2. Ilhaqul Masail Dalam Majlis Syawir ………………………... 81 F. Persamaan Dan Perbedaan Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir 1. Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ..……. 86 2. Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ……… 87 G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin 1. Produk Hukum Bahtsul Masail ……………………………. 89 2. Produk Hukum Majlis Syawir ……………………………... 94 BAB IV RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI INDONESIA A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara ..…………………………. 102 B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual .... 105 C. Sosial Problem Solving…………………………………………. 109 D. Legislasi Dan Formalisasi Syariat Islam .……………………….. 113 E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri …....... 119 F. Forum Penyaluran Ilmu Dari Ulama‟ dan Cebdikiawan Muslim 122 BAB II PENUTUP A. Kesimpulan …….………………………………………………... 125 B. Saran ……………………………….……………………………. 127 DAFTAR PUSTAKA ..………………………………………………………. 129 GLOSARY …………………………………………………………………… 133 LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 135 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur‟an Al Karim. Sebagai sebuah sumber hukum tertinggi dalam syariat Islam, al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak pernah mengalami perubahan satu huruf pun semenjak diturunkan kepada manusia. Kemudian sumber hukum agama Islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Sebagai sebuah sumber hukum, hadis sendiri yang pada awalnya tidak pernah terbukukan, dan kemudian baru dikodifikasi oleh para ulama‟ hadis setelah mengalami penyaringan yang sangat ketat. Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, Al-Qur‟an dan hadits juga merupakan sumber utama hukum dan aturan yang wajib dipegang teguh oleh umat Islam. Semua hukum yang berhubungan dengan syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan teks-teks alQur‟an dan hadist. Dalam berbagai ayat-Nya, Allah menerangkan bahwa seluruh hukum harus meruju‟ dari al-Qur‟an dan al-Hadits. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman banyak problematika umat Islam yang tidak dapat dijawab secara implisit dan tidak terdapat solusinya dalam Al Qur‟an dan Hadits. Padahal permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin banyak dan berkembang. Umat Islam harus segera mendapatkan solusi dan jawaban atas semua problematika tersebut. Dalam hal ini baik al-Qur‟an dan alHadist memberikan sebuah solusi yang bernama Ijtihad. Ijtihad merupakan metode penalaran terhadap hukum yang tidak terdapat secara implisit dalam alQur‟an dan al-Hadits tetapi dapat dipahami secara eksplisit dari keduanya. Walaupun ijtihad merupakan sebuah metode dalam pencarian hukum Islam, bukan berarti tidak menemukan hambatan dalam pelaksanaannya. Salah satu kendala yang timbul adalah minimnya para ulama‟ dan cendikiawan yang berkompeten untuk melakukan ijtihad. Syarat dan ketentuan yang diharuskan ada pada seorang mujtahid sangatlah sulit untuk ditemukan pada sosok cendikiawan pada masa ini. Tentunya hal ini merupakan sebuah problem besar yang harus segera dituntaskan, karena waktu terus berjalan dan problematika umat semakin berkembang dan harus segera mendapatkan jawaban dan solusi. Untuk menjawab problematika minimnya mujtahid tersebut, Dr. Yusuf AlQardhawi memberikan sebuah solusi melalui sebauh metode ijtihad yang dia namakan dengan ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia” (Al-Qardhawi, 2000:138). Manurut al-Qardhawi, ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Ijtihad kolektif tersebut dapat dilangsungkan melalui forum atau diskusi ilmiah yang selama ini banyak diselenggarakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:369), umat Islam pada zaman modern banyak sekali dihadapkan dengan berbagai problematika baik itu dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah (politik Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah (lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum ilmiah). Majlis dan forum-forum ilmiah sebagai sebuah metode ijtihad kolektif seperti yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Yusri di atas sudah banyak diselenggarakan di Indonesia. Diantara majlis dan forum ilmiah tersebut adalah bahtsul masail di komunitas nahdliyyin, dan masjlis tarjih di komunitas Muhammadiyyah. Bahkan pelaksanaan forum dan majlis ilmiah yang bernama bahtsul masail tidak hanya dilakukan oleh komunitas nahdliyyin di tingkatan struktural, namun juga dilakukan oleh kalangan nahdliyyin di tingkatan kultural. Pelaksanaan bahtsul masail oleh kalangan kultural dari nahdliyyin tersebut selama ini banyak dilakukan oleh pesantren-pesantren, terutama pondok pesantren salaf di Indonesia. Salah satu pesantren yang melaksanakan penalaran hukum Islam melalui ijtihad kolektif dalam forum atau majlis ilmiah adalah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.Pesantren ini mengaplikasikan Ijtihad kolektif tersebut ke dalam 2 buah metode. Metode yang pertama adalah Bahtsul Masail. Dalam metode ini para santri diberikan sebuah permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam. Kemudian para santri dituntut untuk memberikan sebuah dalil yang bersumber dari kitab-kitab fiqh yang mempunyai illatul hukmi yang sama dengan kasus masalah tersebut. Dalil-dalil tersebut kemudian didiskusikan oleh para santri untuk disepakati dalil manakah yang lebih tepat atau medekati kasus hukum diatas. Metode yang kedua adalah Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib. Kemudian setelah mendapatkan illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi untuk mencari masalah-masalah hukum kontemporer apa saja yang bisa menggunakan dalil pada teks kitab tersebut. Dalam penerapannya, kedua metode diatas mempunyai keunggulan masing-masing, yang mana keunggulan yang satu mengisi kelemahan metode yang lain. Metode tersebut telah banyak menelurkan solusi hukum untuk menjawab problematika kontemporer yang menjadi dinamika umat Islam. Kedua metode tersebut sangatlah tepat dan relevan apabila diaplikasikan oleh para cendikiawan baik dari kalangan santri maupun akademisi di negara Indonesia. Metode ini juga berfungsi sebagai solusi untuk menjawab minimnya mujtahid yang muncul pada era modern ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut 1. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Bahtsul Masail? 2. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Majlis Syawir? 3. Bagaimana relevansi Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Bahtsul Masail. 2. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Majlis Syawir. 3. Mengetahui relevansi metode-metode tersebut dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam di Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian dapat memberikan masukan berharga berupa konsep dan metode penalaran hukum Islam dalam mememecahkan sebuah kasus hukum. b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi parapeneliti di kajian hukum Islam, khususnya kajian yuridis hukum Islam dengan tinjauan ushul fiqih. c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi peneliti,seluruh pembaca pada umumnya, dan bagi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Memberikan informasi mengenai bahtsul masail dan majlis syawir sebagai salah satu metode ijtihad kolektif dalam menjawab dan memecahkan problematika kontemporer umat Islam. Hal ini diharapkan mampu membantu para mahasiswa dan para akademisi dalam mengatasi berbagaipermasalahan umat Islam yang terjadi dengan efektif dan bermakna. E. Penegasan Istilah 1. Definisi Bahtsul Masail Bahtsu dari segi bahasa berarti membahas. Sedangkan masail adalah jama‟ dari kata mas‟alah yang berarti masalah atau problematika. Definisi bahtsul masail secara istilah adalah “salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”. Melalui forum bahtsul masail, para ulama‟, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan al-Hadis, atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas (LTN NU, 2007:XVII). Yang dimaksud bahtsul masail disini adalah forum diskusi yang diselenggarakan oleh Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dalam membahas serta menganalisa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik itu yang menjadi isu lokal, nasional, maupun internasional. 2. Majlis Syawir Majlis merupakan bahasa arab yang artinya tempat duduk.Sedangkan syawir sendiri artinya adalah bermusyawarah. Majlis Syawir dalam terminologi yang dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum diamana para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dengan problematika kontemporer yang ada. F. Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran peneliti, kajian dan hasil penelitian mengenai bahtsul masail baik itu berupa penelitian, buku maupun yang lainnya belum lah terlalu banyak. Diantara hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah jurnal yang ditulis oleh Sukron Ma‟mun. Dalam jurnalnya yang berjudul “Ilhaq Dalam Bahtsul Masail NU: Antara Ijtihad Dan Ikhtiyath” tersebut, Sukron Ma‟mun (2011: 67) menyatakan pada penelitian yang diangkat olehnya lebih kepada mengkaji terhadap penggunaan metode lhaq yang digunakan dalam bahtsul masail ormas Nahdlatul Ulama‟. Ilhaq merupakan salah satu metode ushul fiqih dalam penetapan hukum Islam. Metode ilhaq sering luput dari tinjauan para pengkaji ushul fiqih, dan ternyata ini merupakan metode yang sering digunakan dalam bahtsul masail yang diselenggarakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan dalam bentuk skripsi, penelitian tentang bahtsul masail pernah dilakukan Izul Anwar, mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Madzhab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsinya yang berjudul “Studi Perbandingan Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Dan Bahtsul Masail Rifa‟iyyah”, Izzul Anwar (2010:19) meneliti tentang metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan bahtsul masail yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Dalam skripsinya, peneliti mengungkap tentang persamaan dan perbedaan antara metode bahtsul masail di dalam organisasi NU dan aliran Rifa‟iyyah. Persamaan antara metode bahtsul masail di kalangan NU dan aliran Rifa‟iyyah adalah sama-sama menganut faham ahlussunnah wal jama‟ah. Baik NU maupun aliran Rifa‟iyyah sama-sama mengakui dan menggunakan pendapat para mujtahid dan para fuqaha yang tercantum dalam kitab kuning. Metode dan prosedur yang mereka gunakan dalam penetapan hukum pun juga sama, karena keduanya condong kepada madzhab Syafi‟yyah. Sedangkan perbedaan bahtsul masail antara NU dan aliran Rifa‟iyyah adalah adanya dominasi dalam penggunaan kitab-kitab aliran Rifa‟iyyah dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Sedangkan dalam bahtsul masail NU tidak ada dominasi dalam penggunaan kitab-kitab yang digunakan sebagai sebuah referensi kecuali berdasarkan tingkatan mujtahid atau fuqaha‟. Salah satu peneliti yang pernah meneliti bahtsul masail adalah Jaih Mubarok. Jaih Mubarok (2002:179) dalam bukunya Metodologi Ijtihad Hukum Islam mengungkapkan bahwa bahtsul masail merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan dalam NU. Dengan metode ini keputusan bahtsul masail dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu prosedur pengambilan hukum tersebut secara garis besar banyak merujuk kepada pendapat individu para tokoh madzhab dalam kitab-kitab mereka. Di kalangan bahtsul masail NU, istinbath hukum dalam bahtsul masail merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard. Dengan demikian tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan para ulama‟ untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh ilhaq. Dalam hal ini pun kemudian istinbath dilakukan secara kolektif dengan mengaplikasikan kaidah ushul dan kaidah fiqih (Mubarok, 2002:179). Peneliti sendiri pernah melakukan penelitian secara kolektif dalam penelitian kompetitif kolektif yang pernah diadakan STAIN Salatiga tahun 2013. Dalam penelitian terdahulu bersama 2 peneliti lain, peneliti mengambil judul “Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad Kolektif Dalam Menjawab Problematika Kontemporer Umat Islam (Studi Kasus di Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin Brabo Tanggungharjo Grobogan)”. Dalam penelitian tersebut peneliti mengungkap tentang metode ijtihad kolektif dalam bahtsul masail. Ijtihad kolektif adalah metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Di Indonesia sendiri pelaksanaan ijtihad kolektif telah sejak lama diterapkan dalam dunia pesantren dan ormas-ormas Islam. Salah satu ormas Islam yang melaksanakan ijtihad kolektif tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ijtihad kolektif tersebut kemudian terkenal di Indonesia dengan istilah Bahtsul Masail. Bahtsul Masail sebagai sebuah metode ijtihad kolektif berupaya untuk menjawab problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat Islam. Dengan mengadopsi metode-metode istinbat para ulama‟ salaf, para peserta bahtsul masail berupaya menganalisis masalah dan mencarikan solusi hukumnya. Praktek pengambilan keputusan hukum dalam NU itu kemudian diadopsi oleh banyak pesantren yang berlatar belakang NU. Salah satu pesantren NU yang mengadakan forum bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Sirojut Thalibin Brabo Tanggungharjo Grobogan. Pesantren ini telah melaksanakan bahtsul masail dalam waktu yang sangat lama. Bahkan kemudian telah menjadi tradisi sampai sekarang. Forum ini telah banyak menelurkan solusi hukum untuk menjawab problematika kontemporer yang menjadi dinamika masyarakat umat Islam. Sedangkan penelitian yang sekarang ini peneliti mempunyai titik fokus pada kajian metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin serta relevansi metode tersebut dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam Indonesia. Dengan kajian tersebut diungkap bagaimana bahtsul masail di pesantren tersebut ikut memberikan sebuah peran dan solusi dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Dan kemudian juga diungkap bagaimana peran bahtsul masail dalam bidang pendidikan bagi para santri, ulama‟ dan masyarakat. Dalam perkembangannya Pesantren tersebut juga menerapkan metode penalaran hukum Islam atau ijtihad kolektif yang lain. Metode tersebut adalah Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib. Kemudian setelah mendapatkan illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi untuk mencari masalah-masalah hukum kontemporer apa saja yang bisa menggunakan dalil pada teks kitab tersebut. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian, peneliti akan menggunakan jenis penelitian secara kualitatif dan menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam penulisan karya ilmiah ini. Secara jelasnya peneliti paparkan sebagai berikut: a. Penelitian Kualitatif Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Prof. DR. Lex J. Moleong, M.A. dari kutipan Bogdan dan Taylor (2011:4) bahwa, “metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai dengan judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada pada latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen pelakasanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. b. Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1) Pendekatan Ushul Fiqih Ushul fiqh menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah “ilmu tentang kaedah, aturan dan pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum syara‟ mengenai suatu perbuatan dan dalildalilnya secara terperinci” (Mustofa & Wahid, 2009:68). Dengan pendekatan secara ushul fiqih tersebut maka peneliti akan menggunakan ushul fiqih untuk menganalisis sumber data yang berkenaan dengan metode pengambilan hukum, sumber hukum dan produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir. 2) Pendekatan Hermeneutika Menurut Imam Suprayogo (2003:73), hermeneutika merupakan metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan lainlain) sebagai sebuah fenomena sosial budaya. Fungsi dari metode hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Tujuan spesifikasinya adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman dan penjelasan yang menyeluruh dan mendalam. 2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian Peneliti telah melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian sehingga sudah barang tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber yang ada. Penelitian dilaksanakan di adalah Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Alasan peneliti memilih pondok pesantren tersebut untuk dijadikan obyek penelitian adalah karena pelaksanaan bahtsul masail di pesantren tersebut telah berjalan secara dinamis dalam jangka waktu yang lama. Peran yang diberikan pesantren tersebut melalui program pendidikannya di bahtsul masail telah memberikan manfaat terhadap berbagai pihak. Selain itu juga, pesantren tersebut mengagendakan majlis syawir yang sangat jarang ada di pesantren lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik penumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: a. Observasi Terlibat Observasi terlibat adalah“teknik pengumpulan data dimana penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang sedang diteliti, baik pengematan itu dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan di dalam situasi yang khusus diadakan” (Surachmad, 1972:155). Disini peneliti langsung terjun mengikuti dan berinteraksi langsung di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Peneliti juga secara langsung mengikuti kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir yang dilaksanakan di pesantren tersebut. Peneliti sendiri juga merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut dalam beberapa tahun. Dengan observasi terlibat ini peneliti dapat mengetahu secara langsung proses pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir serta metode yang digunakan dalam forum tersebut. b. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moelong, 2011:186 ). Peneliti telah melakukan wawancara dengan pengasuh pesantren dengan tujuan untuk mengetahui sejarah pesantren tersebut serta peran bahtsul masail dan majlis syawir bagi santri dan masyarakat. Peneliti juga melakukan wawancara dengan dewan astadidz di pesantren untuk mengetahu sejauh mana pelaksanaan dan peran mereka terhadapa kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Kelompok ketiga yang diwawancarai peneliti adalah pengurus pesantren. Wawancara tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai profil dan program kerja Lajnah Bahtsul Masail (LBM) di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis, serta pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di pesantren tersebut. Wawancara juga dilakukan dengan alumni pesantren untuk mengetahui manfaat metode tersebut bagi para alumni. c. Catatan Lapangan Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat di lapangan pada saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi penting apa saja yang didapatkanpeneliti berdasarkan apa yang telah dilihat, didengar, dan dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan tersebut. Catatan lapangan yang peneliti tulis adalah seputar pelaksanaan kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. d. Penggunaan Dokumen Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun film (foto) saat pelaksanaan penelitian sabagai bukti autentik dalam membantu penyusunan laporan penelitian setelah purna. Dokumen yang peneliti gunakan adalah dokumentasi hasil kegaiatan kegiatan bahtsul masail dan bahtsul masail yang pernah dilakukan oleh pesantren tersebut. Dokumen tersebut antara lain hasil produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir, foto-foto kegiatan, tata tertib kegiatan, hasil musyawarah LBM, dan yang lain sebagainya. 4. Analisis Data Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analisa dengan menggunakan teknik analisa data dengan cara: a. Reduksi Data Reduksi adalah ”proses identifikasi satuan unit” (Moleong, 2011:288). Peneliti melakukan reduksi data dengan cara mengidentifikasi setiap data-data yang didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara maupun observasi. Identifikasi ini dilakkan peneliti untuk lebih dapat memahami dari setiap data yang didapatkan. b. Kategorisasi Kategorisasi adalah “upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan” (Moleong, 2011:288). Peneliti melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data-data yang didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara maupun observasi. Kategorisasi tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan data-data tersebut nantinya. c. Sintesisasi Sintetsisasi adalah“mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya” (Moleong, 2011:289). Data yang telah dikategorikanoleh peneliti kemudian dicari titik temu antara yang satu dengan yang lainnya dan kemudian disatukan ke dalam satu pembahasan yang sama sehingga dapat memberikan sebuah penjelasan yang utuh 5. Pengecekan Keabsahan Data Dalam rangka mendapatkan informasi yang faktual dan terperinci, maka penelitu menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diuraikan sebagai berikut: a. Triangulasi Triangulasi adalah“sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain” (Moleong, 2011:330). Artinya, melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang didapatkan peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil observasi lapangan. Selain itu peneliti juga membandingkan antara metode yang dilaksanakan dengan apa yang menjadi dasarnya dalam kitab kuning atau buku panduan pelaksanaan program tersebut. b. Uraian Rinci Dalam teknik ini penelititelah melaporkan hasil penelitiannya sehingga urainnya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin. c. Auditing Auditing adalah “proses pemeriksaan kebergantungan dan kepastian data dalam penelitian“ (Moleong, 2011:338). Segala bentuk informasi yang didapatkan peneliti baik berbentuk catatan ataupun data lainnya dimanfaatkan dalam proses auditing. 6. Tahap-tahap Penelitian Pada tahapan ini peneliti membaginya dalam tiga tahap yaitu: a. Tahap Pra-lapangan Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah dilengkapi oleh peneliti, yaitu: 1. Menyusun rancangan penelitian. 2. Mengurus perizinan. 3. Menjajaki dan menilai lapangan. 4. Memilih dan memanfaatkan informan. 5. Menyiapkan perlengkapan penelitian. b. Tahap Pekerjaan Lapangan Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian, yaitu: 1. Memahami latar penelitian. 2. Adaptasi peneliti dilapangan. 3. Berperan serta sambil mengumpulkan data. c. Tahap Pasca Lapangan Pada bagian ini akan dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan. Dalam penelitian kali ini peneliti secara langsung melakukan analisisnya dalam setiap bab tanpa menyiakan secara khusus bab yang dilakukan untuk menganalisis. Hal ini dilakukan karena peneliti ingin menyajikan dua pokok pembahasan dalam babnya sendiri-sendiri. H. Sistematika Penulisan Sistematika penelitian yang peneliti susun mencakup subtansi sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Penelitian. Bab II mengemukakan tentang Bahtsul Masail dan Majlis Syawir sebagai metode penalaran hukum Islam. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang Tinjauan Umum Ijtihad, Landasan Normatif Yuridis Ijtihad, Syarat Ijtihad, Ruang Lingkup Ijtihad, Tingkatan Mujtahid, serta Bahtsul Masail dan Majlis Syawir Sebagai Metode Ijtihad Kolektif. Bab III menjelaskan tentang Paparan Data dan Temuan Penelitian pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Yang dibahas dalam bab ini yaitu Gambaran Umum tentang Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Latar Belakang Pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di pesantren tersebut, Metode Bahtsul Masail dan Majlis Syawir, dan Contoh Produk Hukum dari kedua metode tersebut. Bab IV menguraikan tentang relevansi metode bahtsul masail dan majlis syawir di Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang peran bahtsul masail dan masjllis syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin serta relevansinya di Indonesia terutama dalam menjawab berbagai problematika kontemporer. Selain itu juga diuraikan bagaimana metode yang digunakan oleh pondok pesantren tersebut serta hasil dari kajian yang ada dapat diadopsi di pesantren lain atau kalangan akademisi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Bab V adalah Penutup. Dalam bab terakhir ini adalah membahas tentang kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir sebagai sebuah metode ijtihad dan penutup sebagai kesempurnaan dalam skripsi ini. BAB II BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH METODE PENALARAN HUKUM ISLAM A. Definisi Ijtihad Kata ijtihad merupakan mashdaryang berasal dari kata fiil madhiijtahada dan fiil mudhari‟yajtahidu.Kata ijtahada merupakan fiil tsulasi mazid yang mengikuti wazanifta‟ala dan berasal dari fiil tsulasijahada. Jahada mempunyai arti berusaha dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan ijtihad sendiri secara etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu kerja keras atau sungguh-sungguh, pengetahuan mengenai hukum atau jurisprudensi, dan mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban (Ali & Ahmad, 1998:27). Adapun secara terminologi para ulama‟ banyak memberikan definisi tentang ijtihad. Menurut al-Amidi seperti yang dikutip dalam buku Hukum Islam Kontemporer (2009:68), ijtihad adalah “mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum syar‟i yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa mampu melebihi usahanya sendiri itu”. Sedangkan definisi ijtihad menurut Imam al-Ghazali adalah “pencerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar‟i” (Mustofa & Wahid, 2009:68). Imam al-Mahalli dalam kitab Syarah Waraqat memberikan definisi ijtihad sebagai berikut: وأما االجتهاد فهو بذؿ الوسع يف بلوغ الغرض اؼبقصود من العلم ليحصل لو Menurut Imam al-Mahalli, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkannya dalam sebuah keilmuan tertentu yang ingin dia dapatkan (Yusri, 2008:369). Dari berbagai definisi ijtihad yang diberikan oleh para mujtahid maka bisa dilihat bahwa yang menjadi konteks ijtihad adalah pencarian hukum yang berkaitan dengan syariat Islam. Pencarian hukum tersebut harus disertai dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Sedangkan yang menjadi obyek dari ijtihad sendiri adalah ketika permasalahan tersebut bersifat dzanny, belum ada ketetapan pasti dari syariat Islam. Tidak semua urusan dalam agama dibenarkan untuk menjadi obyek ijtihad. Ada wilayah yang tidak boleh diijtihadi dan ada wilayah yang boleh diijtihadi. Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:371), wilayah yang diperbolehkan untuk menjadi obyek ijtihad terfokus pada dua hal, yaitu: 1. Permasalahan yang tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali, baik itu dalam al-Qur‟an maupun al-Hadis. 2. Permasalahan yang disebutkan hukumnya, tetapi ada pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lainnya. Dalam permasalahan terakhir tersebut yang menjadi wilayah ijtihad hanya sebatas menyatukan antara dalil-dalil yang bertentangan atau melakukan tarjih terhadap salah satu dalilnya. Imam al-Ghazali telah memberikan batasan khusus berkenaan lapangan ijtihad, yaitu setiap hukum syara‟ yang dalilnya tidak qath‟i. Yang dimaksud dengan qath‟i disini adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada hukum tertentu dan tidak mengandung makana lain. Qath‟i dapat pula berarti suatu lafadz yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehan untuk ditakwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain, selain ditunjukkan lafadz itu (Mustofa & Wahid, 2009:70-71). Menurut alasan tekstual dan logis syariah historis, ijtihad perdefinisi dibatasi pada maslah-masalah yang belum dijelaskan oleh teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan terperinci. Selain itu, dibawah formulasi historis ushul fiqih ijitihad tidak mungkin dilakukan, bahkan dalam masalah-masalah yang telah disepakati melalui ijma‟. Namun Abdullah Ahmed An-Naim (2011:48) mengungkapkan bahwa pembatasan peranan ijtihad harus dimodifikasi. Usulan ini sebagian didukung fakta bahwa Umar, khalifah kedua dan seorang sahbat terkemuka melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang jelas ditunjuk oleh teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan rinci. Contohnya adalah pada kasus khalifah tidak membagikan zakat pada golongan muallafah qulubuhum pada masa pemerintahannya dikarenakan iman orang-orang Islam pada waktu itu telah kuat. Dr. Ahmad Yusri membagi hukum ijtihad menjadi tiga bagian, yaitu wajib, fardhu kifayah, dan sunnah. 1. Ijtihad dihukumi wajib adalah ketika kemampuan dan keahlian untuk berijtihad hanya dimiliki oleh satu orang atau hanya orang tersebut yang dapat mengetahui terhadap sebuah permasalahan hukum. Maka bagi orang tersebut wajib untuk mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mendapatkan hukum dari obyek permasalahan yang diijtihadi. 2. Ijtihad dihukumi fardhu kifayah adalah jika pada waktu tersebut terdapat lebih dari seorang mujtahid. Apabila salah seorang dari mujtahid tersebut telah melakukan ijtihad, maka gugur kewajiban dari mujtahid yang lain. Akan tetapi jika salah satu diantara mereka tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua mujtahid yang ada mendapatkan dosa semuanya. 3. Ijtihad dihukumi sunnah adalah ijtihad yang dilakukan terhadap permasalahan yang belum terjadi, dan beberapa saat kemudian permasalahan tersebut diperkirakan akan benar-benar terjadi. Maka hukum ijtihad yang demikian adalah sunnah(Yusri, 2008:370-371). B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad Diantara landasan yangmelegitimasi adanya ijtihad adalah 1. Surat an-Nisa‟ ayat 59 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Depag, 1995:88). 2. Surat an-Nisa ayat 105 Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (Depag, 1995: 96). 3. Hadis riwayat Imam Muslim (An-Nawawi, 1994:240) عنعمروبنالعاصاهنسمعرسوالللهصلىاللهعليهوسلمقاإلذاحكماغباكمفاجتهدشباصابفلهاجرانوإذاح .كمفاجتهدشباخطأفلهاجر Dari Amr Ibn Ash bahwa dia mendengar dari Rasulullah Saw. Bersabda mana kala seorang hakim menetapkan perkara dengan berijtihad, kemudian benar maka baginya akan mendapatkan dua pahala. Dan apabila hasil ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala. 4. Hadis riwayat Imam Tirmidzi (Al-Mubarakfury, 1990:464) أنرسوالللهصلىاللهعليهوسلمبعثمعاذاإلىاليمنفقالكيفتقضي؟فقاألقضيبمافيكتاباللهقالفإنلميكنفيك تاباهلل؟قالفبسنةرسوالللهصلىاللهعليهوسلمقالفإنلميكنفيسنةرسوالللهصلىاللهعليهوسلم؟قاألجتهد رأييقاالغبمدللهالذيوفقرسولرسوالللهصلىاللهعليهوسلم Bahwasanya Rasulullah Saw. Mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman. Maka beliau bersabda “bagaimana engkau menghukumi sesuatu?”, Muadz menjawab “saya akan menghukumi dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Nabi bersabda “apabila tidak terdapat dalam Kitabullah?”, Muadz menjawab “maka saya akan menghukumi dengan sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda “apabila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”, Muadz menjawab “saya akan berijtihad dengan fikiran saya”. Kemudian nabi bersabda “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah”. C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad Para ulama dalam menetapkan syarat-syarat kebolehan melakukan ijtihad tidaklah sependapat. Sekalipun demikian dapatlah ditetapkan bahwa syarat-syarat umum untuk melakukan ijtihad itu antara lain: 1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dengan segala seginya. 2. Mengetahui dengan baik isi al-Qur‟an dan hadis 3. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma‟ ulama‟ sebelumnya. 4. Mengetahui ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqhiyyah, maqashid syariah dan rahasia-rahasia syara‟. 5. Mujtahid memiliki sifat jujur, adil, dan berahlak terpuji. 6. Mujtahid mempunyai niat yang suci dan benar (Salam & Fathurohman: 1994:102-103). Selain pada syarat umum diatas, al-Qardhawi juga memberikan beberapa aturan dan ketentuan pokok yang merupakan kode etik dalam ijtihad kontemporer. Adapun aturan dan ketentaun pokok tersebut yaitu: 1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan. 2. Tidak ada ijtihad dalam permasalahan qath‟i. 3. Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath‟i. 4. Menghubungkan antara fiqih dan hadis. 5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita. 6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat. 7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya. 8. Transformasi menuju ijitihad kolektif (jama‟i). 9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan Mujtahid (Al-Qardhawi, 2000:131138). D. Tingkatan-TingkatanMujtahid Menurut Abu Zahrah, para ulama‟ ushul fiqh membagi fuqaha‟ menjadi tujuh tingkatan.Empat diantaranya sebagai mujtahidin dan sisanya sebagai muqallidin. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: 1. Mujtahid Mustaqil, yaitu mereka yang wajib mempunyai syarat-syarat yang lengkap sebagai seorang mujtahid. Merekalah yang secara langsung menggali hukum dari al-Qur‟an dan al-Hadis, serta mengqiyaskan, memberikan fatwa dan yang lainnya. Yang termasuk ke dalam tingkatan ini adalah imam 4 madzhab. 2. MujtahidMuntasib, yaitu mereka yang mengikuti Imamnya dalam hal-hal ushul (pokok), dan berbeda dengan Imamnya dalam hal furu‟. Yang termasuk dalam tingkatan ini adalah seperti Abu Yusuf dalam mahdzhab Abu Hanifah dan Al-Muzanni dalam madzhab Imam Syafi‟i. 3. MujtahidMadzhab, yaitu mereka yang mengikuti dan sepakat dengan Imam baik dalam hal ushul maupun dengan furu‟. 4. MujtahidMurjih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dalam masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka hanyalah mentarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan dalam madzhab mereka (Depag, 1986: 143-144). E. Ijtihad Kolektif Ijtihad kolektif menurut al-Qardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia”. Ijtihad kolektif merupakan sebuah solusi untuk menyikapi problematika minimnya Mujtahid. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Al-Qardhawi (2000:24) mengatakan bahwa dewasa ini ada dua macam ijtihad yang diperlukan oleh umat Islam. Kedua macam ijtihad tersebut adalah: 1. Ijtihad Intiqa‟i, yaitu “memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa dengan keputusan hukum”. Dalam ijtihad ini dilakukan suatu studi komparatif terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab fiqih dan meneliti dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat dalilnya sesuai dengan kaidah tarjih. Contoh hasil ijthad menggunakan metode ini adalah orang yang dipaksa membunuh maka hukumnya juga sepadan dengan orang yang memaksanya. 2. Ijtihad Insya‟i, yaitu “pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama‟ulama‟ terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru”. Sebagian besar ijtihad ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu dan belum pernah terjadi pada masa mereka. Contoh hasil ijthad menggunakan metode ini adalah diperbolehkannya berfoto, yang mana hukumnya berbeda dengan melukis karena berfoto merupakan refleksi bayangan diri pada kertas, sedangkan melukis adalah menyerupai hukum Allah (Al-Qardhawi, 2000:43). Al-Qardhawi menambahkan bahwa pada masa modern ini memungkinkan untuk memunculkan ijtihad baru yang merupakan integrasi antara ijtihad intiqa‟i dan ijtihad insya‟i. Integrasi tersebut adalah dengan cara memilih berbagai pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih rerlevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru. Contoh dari model hasil ijtihad ini adalah seperti hasil fatwa Lajnah Fatwa Kuwait tentang permasalahan aborsi (Al-Qardhawi, 2000:47). Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam aplikasinya ijtihadjama‟i meliputi dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, al-Sunnah, dan pembahasan ulamaulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru (al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan. Hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah (rukun islam dan rukun iman) jelas tidak mengalami perubahan signifikan. Paling hanya sentuhan kemanusiaannya yang perlu dipertegas. Misalnya muncul ide zakat profesi demi menegakkan keadilan dan kemaslahatan kolektif. Namun, untuk masalah sosial yang multi dimensional, semisal inovasi teknologi, perdagangan bebas, politik internasional, agresi militrr AS ke dan Iraq, pengembangan Nuklir Iran, kejahatan internasional, inovasi kedokteran, informasi dunia, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, munculnya pikiran-pikiran baru yang lebih progresif-dinamis, serta munculnya aliran keagamaan baru yang menghebohkan, membutuhkan jawaban yang memadai dari ulama-ulama kita (Asmani, 2007:269). Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan ijtihad jama‟i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama‟i, yaitu “upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah”. Selain itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha, yaitu “menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab” (LTN NU, 2007:446). Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang terlupakan, dan ini merupakan berkat dari musyawarah. Diantara produk kolektif adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha yang dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu. Dasar tentang ijtihad kolektif adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini menurut pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif (Al-Qardhawi, 2000:139). Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur‟an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan) dan tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab yang menerangi jalan menuju kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan, maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma‟ maupun pendapat mayoritas.Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil ijtihad individu ini dapat berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita ketahui(Al-Qardhawi, 2000:139). F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama‟ nahdliyyin bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan alHadis. Akan tetepi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27). Menurut Jaih Mubarak, secara garis besar pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu: 1. Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama‟i untuk menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat. Dan metode ini juga mempunyai prosedur tersendiri. 2. Ilhaqul Masail Binadzairiha()إغباؽ اؼبسائل بنظائرىا, yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama‟ terhadap masalah atau kasus serupa yang telah dijawab oleh ulama‟ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama‟ yang sudah jadi menjadi ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya disebut furu‟ atau cabang. Metode ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad. 3. Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama‟i (kolektif) dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih (Mubarak, 2002:179181). Kalimat istinbath di kalangan nahdliyyim terutama dalam kerja bahtsul masail Syuriyah tidak lah populer. Kalimat itulebih populer di kalangan ulama nahdliyyin dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama‟ syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi‟iyyah melalui referensi (maraji‟) kutub fuqaha‟. Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28). Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai kompendium,yurisprudensi fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukum agama (Mahfudz, 1994:21). Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi hal-hal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaedahkaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih. Belum lagi ilmu-ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis serta ilmu-ilmu bahasa arab yang semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat keputusan hukum . Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya memungkinkan dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Atau minimal kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat bagaimana bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau komponen Islam yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti. Fiqih yang dipahami ulama nahdliyyin dalam pengertian terminologis adalah sebagai ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil tafshili adalah fiqih yang diletakkanoleh para perintisnya (mujtahidin) pada dasar pembentukannya; al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam pembentukannya fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbabun nuzul bagi ayat al- Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan muktamar nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas oleh syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga permasalahan dapat menjadi lebih jelas. Dengan demikian maka kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu dengan melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum. Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama‟ (meskipun bukan peserta forum bahtsul masail syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan antara ulama‟ senior maupun junior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan latar belakangnya (Mahfudz, 1994:37). Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) diatas memang memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara hal-hal yang konstektual. Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam mekamisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:45). G. Bahtsul MasailSebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif Bathsul masailmerupakan gabungan kata yang berasal dari dua kata, yaitu bathsudan masail. Bahtsu merupakan mashdar yang berasal dari fiil madhibahatsadan fiil mudhari yabhatsu. Bahtsu sendiri dalam kamus al-„Asyri mempunyai banyak arti, yaitu penelitian, pembahasan, pencarian, riset, diskusi, dan eksplorasi (Ali & Ahmad, 1998:301). Sedangkan masailmerupakan bentuk jamak dan mufrodnya adalah mas‟alah. Masail sendiri mempunyai beberapa arti, yaitu pertanyaan, persoalan, isu, problematika, perkara dan kejadian (Ali & Ahmad, 1998:1705). Dengan demikian maka bahstul masail secara bahasa dapat diartikan sebagai pembahasan atau penelitianan akan sebuahpersoalan atau problematika. Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologokan dalam sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah“salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”(LTN NU, 2007:XVII).Dari definisi tersebut maka bisa difahami bahwa yang dinamakan bahtsul masail haruslah sebuah forum diskusi yang disitu setidaknya terdapat tiga orang atau lebih. Kemudian yang menjadi obyek diskusi adalah permasalahan keagamaan yang sedang berkembang dimasyarakat dan harus segera direspon dan dicarikan solusinya. Bahtsul masail dapat disebut sebagai salah satu metode ijtihad kolektif karena dalam forum atau lembaga tersebut para ulama‟, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum islam akibat perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas. Sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur‟an dan alHadis, atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas. Kompetensi para ulama‟, santri dan cendikiawan yang mengikuti bahtsul masail diharapkan dapat menemukan sebuah solusi dan pemecahan terhadap problematika umat Islam. Forum bahtsul masail seperti diataslah yang menurut Dr. Muhammad Yusri juga bisa dikatakan sebagai sebuah kerangka berijtihad. Menurut Dr. Muhammad Yusri, umat Islam pada zaman modern banyak sekali dihadapkan berbagai problematika baik itu dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah(politik Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah (lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al- majami‟ al-ilmiah (forum-forum ilmiah). Lembaga dan forum yang dibuat oleh umat Islam yang tersebar di seluruh dunia ini dapat memerankan peran berijtihad dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Pelembagaan ijtihad dengan melalui lembaga dan forum ilmiah menurut Dr. Muhammad Yusri adalah fardhu kifayah. Maka dengan adanya forum dan lembaga tersebut dapat menggugurkan kewajiban berijtihad bagi mujtahid lainnya. Melalui forum dan lembaga tersebut berbagai persoalan dan problematika yang dihadapi masyarakat dapat dicarikan hukum dan solusinya, karena menemukan jawaban hukum dan solusi merupakan kewajiban bagi umat Islam. Maka dengan demikian bahtsul masail sebagai sebuah forum ilmiah dapat berperan sebagai sebuah lembaga ijtihad yang berfungsi untuk menjawab problematika kontemporer umat Islam (Yusri, 2008:369). Bathsul masail merupakan aktivitas yang lekat dengan pondok pesantren dan kalangan nahdliyyin. Hampir seluruh pondok pesantren salaf di Jawa, Madura, dan Sumatera memasukkan bathsul masail sebagai kegiatan rutinnya. Demikian pula kalangan nahdliyyin mempunyai agenda khusus untuk kegiatan bathsul masail. Dalam komunitas nahdliiyin, bathsul masail merupakan forum tertinggi untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan (LBM Sirojut Tholibin, 2013:2). Sistem bathsul masail mempunyai corak yang beragam. Secara garis besar di kalangan nahdliyyin terdapat tiga macam model bathsul masail : 1. Bathsul masail model Pesantren yang lebih menonjolkan semangati‟tirodl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-Kutub al-Mu‟tabaroh. Dalam hal ini peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan tim perumus. 2. Bathsul masail model organisasi Nahdlatul Ulama, dalam hal ini lebih menonjolkan porsi i‟tirodl, yaitu penampungan aspirasi jawabansebanyak mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusandiserahkan kepada tim perumus. Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya. 3. Bathsul masail kontemporer, yaitu bathsul mas‟il yang dimodifikasi mirip model simposium. Dimana sebagian peserta yang dianggap mampu diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan,dalam bentuk makalah. Bathsul masailmodel seperti ini kurang begitu diminati oleh kalangan pesantren, karena kesempatan untukmemberikan tanggapan dan sanggahan lebih mendalam sangatlah terbatas (Sa‟id, 2006:60-61). Dalam kegiatan bahtsul masail terdiri dari beberapa unsur, yaitu moderator,peserta, dewan mushohih, dewan perumus (muharrir), dewan notulen (katib), dan tentunya adanya Panitia. Dari setiap unsur-unsur tersebut mempunyai tugas, kewajiban dan larangan sendiri-sendiri. Tugas, kewajiban dan larangan tersebut menurut M. Ridlwan Qayyum Sa‟id (2006:61-63) adalah: 1. Moderator Moderator mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, yaitu: a. memimpin, menjaga ketertiban, mengatur dan membagi waktu. b. Memberi izin, menerima usul dan pendapat musyawirin. c. Meminta nara sumber untuk menjelaskan dan menggambarkan masalah sesuai permintaan peserta. d. Menunjuk peserta untuk menjawab masalah. e. Meminta peserta yang pendapatnya tidak sama untuk menanggapi pendapat lain dengan mencari kelemahan ibarat-nya. f. Meminta peserta yang pendapatnya tidak sama untuk menanggapipendapat lain dengan mencari kelemahan jawaban dan kelemahan ibarat-nya. g. Meluruskan pembicaraan yang menyimpang dari pembahasan. h. Membacakan kesimpulan jawaban yang telah disepakati oleh tim perumus untuk kemudian ditawarkan lagi pada para peserta. i. Mengetuk tiga kali bila masalah dianggap selesai dan memohon kepada musohhih untuk memimpin pembacaan surat al-Fatihah bersama sebagai simbol pengesahan. j. Dalam keadaan dlorurot, moderator dapat menunjukkan salah satu peserta untuk menggantikannya. k. Bisa menggambarkan kronologi dan duduk permasalahanyang akan di bahas. l. Tenang dan netral m. Tegas dan sopan kepada mubahitsin, perumus maupun mushohih. Seorang Moderator juga mempunyai beberapa larangan, diantaranya : a. Ikut berpendapat 2. b. Memihak atau tidak obyektif c. Mengintimidasi peserta Muharrir (Perumus) Tim perumus (dewan muharrir) mempunyai beberapa tugas, yaitu: a. Meneliti jawaban-jawaban dan ta‟bir yang masuk. b. Memilih ta‟bir yang masuk sesuai permasalahan yang dibahas. c. Meluruskan jawaban yang dianggap menyimpang. d. Memberikan rumusan jawaban dan ta‟bir-ta‟bir pendukung. e. Mengikuti jalannya acara bathsul masail. Tim perumus juga mempunyai beberapa larangan, diantaranya adalah : a. Memaksakan jawaban tanpa ada ta‟bir dari peserta. b. Berbicara sebelum ditunjuk moderator. c. Berbicara diluar materi pembahasan. d. Mengganggu konsentrasi peserta, seperti tidur, guyonan atau bersikap emosional. e. 3. Pulang sebelum waktunya tanpa seizin moderator. Mushohih Tugas tim mushohihadalah: a. Mengikuti jalannya acara bahtsul masail. b. Memberikan pengarahan dan nasehat kepada peserta dan tim perumus. c. Mempertimbangkan dan mentashihatau mengesahkan keputusan bahtsul masail dengan bacaan surat al-Fatihah Larangan-larangan bagimushohih adalah: a. Membaca suratal-Fatihah sebagai bentuk pengesahan sebelum ada kesepakatan. b. Pulang sebelum waktunya kecuali ada uzdur (halangan). 4. Peserta Peserta bahtsul masail mempunyai tugas dan kewajiban, yaitu: a. Menempati arena yang tersedia sepuluh menit sebelum acara di mulai. b. Menjawab masalah dan menyampaikan ibaratnya setelah diberi waktu oleh moderator. c. Berbicara dan menjawab masalah dengan menyampaikanibarat-nya setelah diberi waktu oleh moderator. d. Menyampaikan teks atau ibarat-nya kepada tim perumus. e. Menghormati dan menghargai peserta lain. Larangan-larangan bagi peserta adalah: a. Keluar dari forum bahtsul masail tanpa siizin moderator. b. Membuat gaduh dalam forum bahtsul masail. c. Berselisih pendapat dengan teman sedelegasi. d. Berbicara tanpa melalui moderator atau debat kusir. Hak suara bagi peserta adalah: a. Peserta dapat menolak pendapat atau jawaban peserta lain dengan melalui moderator. b. Peserta berhak mengajukan usulan, tanggapan dan argumentasinya melalui mederator. c. Peserta berhak memberikan koreksi terhadap rumusan pengurus. Sedangkan pengambilan keputusan dalam bahtsul masail adalah jawaban masalah dianggap putus dan sah apabila mendapat persetujuan mubahitsin, perumus dan mushohih dengan cara mufakat. Sedangkan masalah dianggap mauquf apabila dalam satu waktu tertentu tidak bisa di selesaikan dan semua mubahitsin, perumus, dan mushohih tidak berkenan melanjutkan. Sedangkan apabila ada dua pendapat yang bertentangan, makadiserahkankepada kebijaksanaan moderator atas restu tim perumus dan mushohih. Segala putusan yang telah ditetapkan dalam forum bahtsul masail dianggap sah dan tidak bisa diganggugugat kecuali melalui forum yang sama atau lebih tinggi (Sa‟id, 2006:64). H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif Majlis syawir merupakan gabungan dari dua kata, yaitu majlis dan syawir. Majlis merupakan kata isim makan (yang menunjukkan arti tempat) dan masdhar miim yang berasal dari kata dasar fiil madhi jalasa dan fiil mudhari yajlisu . Majlis mempunyai beberapa arti, yaitu tempat duduk, dewan, lembaga, pengadilan, mahkamah, rapat dan pertemuan (Ali & Ahmad, 1998:1634). Sedangkan syawir sendiri merupakan masdhar yang berasal dari fiil madhi syawara dan fiil mudhari‟ yusywiru. Syawir mempunyai arti sama denga musyawarah, yaitu permusyawaratab, diskusi, tukar pikiran dan konsultasi (Ali &Ahmad, 1998:483). Dengan demikian maka majlis syawirsecara bahasa dapat diartikan sebagai sebuah lembaga atau pertemuan untuk berdiskusi dan bertukar fikiran. Majlis Syawir dalam terminologi yang dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum dimana para santri mencari sebuah illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qaribdankemudian mencocokkan dengan problematika kontemporer yang ada. Dalam majlis syawir,qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab fathul qarib dengan metode bacaan makna gandul pesantren yang tetap memperhatikan kaedah nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian akan dijelaskan oleh qari‟ dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan yang diberikan oleh qari‟ ini adalah penggambaran mengenai permasalahan yang dimaksudkan dari ibarat yang dibaca, dan dipraktekkan apabila memang diperlukan. Kemudian setelah itu dilakukan pencarian illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum. illatul hukmi dan wajhul ilhaq inilah yang berperan dalam memberikan gambaran tentang permasalahan apa saja yang memungkinkan untuk dijawab dengan mempergunakan hukum dari ibarat tersebut. Hal diatas merupakan penjelasan yang diberikan oleh M. Syaifullah Khuzain, mantan ketua Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Majlis syawir menggunakan sistem musyawarah atau diskusi yang banyak dilakukan di berbagai pesantren salaf. Sistem musyawarah tersebut dipimpin oleh seorang moderator dan didampingi seorang katib atau qari‟. Tugas dan wewenang dari moderator sama seperti tugas dan wewenangnya dalam bahtsul masail. Kemudian yang menjadi materi musyawarah adalah kitab-kitab yang sudah ditentukan dan disesuaikan dengan kemampuan peserta, seperti Fathul Wahab, Fathul Mu‟in, dan Fathul Qarib. Kegiatan musyawarah tersebut juga diawasi oleh seorang pengajar yang ditunjuk oleh pengurus pondok pesantren. Jika kemudian ditemukan permasalahan yang mauquf maka akan ditindak lanjuti dalam forum bahstul masail (Sa‟id, 2006:59). Forum majlis syawir seperti diataslah yang mempunyai kemiripan dengan bahtsul masail dalam metode pengambilan hukumnya. Menurut Dr. Muhammad Yusri, forum seperti itu bisa dikatakan sebagai sebuah kerangka berijtihad. Menurut Dr. Muhammad Yusri, umat Islam pada zaman modern banyak sekali menemui berbagai problematika baik itu dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah(politik Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah (lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum ilmiah). Lembaga dan forum yang dibuat oleh umat Islam yang tersebar di seluruh dunia ini dapat memerankan peran berijtihad dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Pelembagaan ijtihad dengan melalui lembaga dan forum ilmiah menurut Dr. Muhammad Yusri adalah fardhu kifayah. Maka dengan adanya forum dan lemabaga tersebut dapat menggugurkan kewajiban berijtihad bagi mujtahid lainnya. Melalui forum dan lembaga tersebut berbagai persoalan dan problematika yang dihadapi masyarakat dapat dicarikan hukum dan solusinya, karena menemukan jawaban hukum dan solusi merupakan kewajiban bagi umat Islam. Maka dengan demikian majlis syawir sebagai sebuah forum ilmiah dapat berperan sebagai sebuah lembaga ijtihad yang berfungsi untuk menjawab problematika kontemporer umat Islam (Yusri, 2008:369). BAB III METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS A. Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin merupakan sebuah pesantren yang telah berumur lebih dari setengah abad. Seperti yang dikemukakan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015), pesantren ini didirikan oleh kakek beliau yang bernama KH. Danusyiri. KH. Danusyiri sendiri pada mulanya adalah seorang pendatang di dusun Jetis. Beliau adalah putra dari KH. Muhammad Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda Petak yang masih berada di Kecamatan Susukan. Jika dirunut dari silsilah keturunan, KH. Muhammad Rozi merupakan keturunan dari Mbah Mlangi, salah seorang ulama‟ yang menjadi tangan kanan Pangeran Diponegoro. Mbah Mlangi yang mempunyai nama asli Kiyai Nur Iman ini dimakamkan di Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Danusyiri kecil dilahirkan di Desa Petak Desa Sidoarjo Kecamatan Susukan. Nama kecil beliau adalah Ahmad Basuni. Ketika berhaji ke Makkah kemudian nama beliau diganti dengan Danusyiri. Danusyiri memulai thalabul ilmi-nya dengan kedua orang tuanya. Dari orang tuanya, Danusyiri kecil belajar berbagai macam-macam ilmu pesantren, seperti nahwu, fiqih, aqidah, tarikh dan lain sebagainya. Setelah kenyang menyerap ilmu dari orang tuanya, maka Danusyiri melanjutkan pencarian ilmunya dengan menjadi santri di Tegal, Grabagan yang diasuh Mbah Kiyai Hisyam. Di pesantren tersebut Danusyiri tinggal selama beberapa tahun. Selain ke Tegal Grabagan, KH. Danusyiri juga pernah mengenyam pendidikan pesantren di Desa Plumbon Kecamatan Suruh, yang diasuh oleh KH. Hasyim. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren KH. Hasyim, kemudian Danusyiri melakukan tuntunan sunnah rasul yaitu dengan mempersunting Nyai Fathimah, putri dari seorang tohoh Masyarakat di Babadan Tengaran. Dari pernikahan tersebut KH. Danusyiri dikaruniai 4 putra dan 4 putri. Karena tuntutan dakwah dan permintaan Lurah Desa Gentan, pada tahun 1943 Danusyiri hijrah dari dusun Petak ke Jetis. Dusun Jetis merupakan salah satu dusun yang masih dalam wilayah kecamatan Susukan yang berjarak + 1,5 kilometer dari Petak. Kiyai Rozi menambahkan, selain aktif berdakwah KH. Danusyiri juga ikut berjuang melawan penjajahan Belanda, baik pada masa agresi Belanda ke I, masa Pendudukan Jepang dan agresi Belanda ke II. Sewaktu masih berada di Petak, KH. Danusyiri sudah menjadi komandan perang yang memimpin para gerilyawan baik yang terdiri dari unsur santri maupun masyarakat desa. Karena perlawanan yang sangat begitu hebat menyebabkan pasukan Belanda marah dan melakukan pengeboman terhadap Masjid Petak yang pada saat itu dijadikan sebagai markas pejuang kemerdekaan dari kecamatan Susukan dan sekitarnya. Ketika Danusyiri sudah bertempat tinggal, pasukan penjajah juga menjadikan dusun Jetis sebagai obyek serangannya. Hal tersebut menyebabkan KH. Danusyiri beserta keluarga dan para santrinya mengungsi ke desa Karang Kepoh di wilayah kabupaten Boyolali Kota. Setelah dirasa cukup aman, KH. Danusyiri beserta para keluarga dan santrinya kembali ke dusun Jetis. Kedatangannya ke dusun Jetis untuk kedua kalinya beliau gunakan untuk memulai menata kembali pesantren yang pernah dirintisnya. Pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin hanya lah sebuah surau atau masjid kampung biasa. Tetapi lambat laun semakin banyak santri yang ingin bermukim disitu. Melihat kondisi tersebut maka KH. Danusyiri memulai membangun pesanten yang berada disebelah masjid tersebut. Pesantren yang dibangun pertama kali tersebut juga merupakan sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari papan kayu. Setelah KH. Danusyiri wafat pada tahun 1964, kepemimpinan pondok pesantren kemudian diteruskan oleh salah seorang putranya yang bernama Dzofari atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Muhammad Toha. Nama yang terakhir ini menurut Kiyai Rozi Toha merupakan nama yang beliau dapatkan ketika berhaji ke Makkah. Sebagai salah seorang dari keluarga pesantren, Toha mulai menimba ilmu dari orangtuanya semenjak kecil. Dibawah asuhan kedua orangtuanya, Toha kecil mulai mendapatkan dasar-dasar pendidikan agama Islam. Selain itu Toha kecil juga menyenyam pendidikan di salah satu pesantren di Punduh Kabupaten Magelang. Kiyai Rozi Toha menambahkan, setelah menginjak dewasa ayahnya kemudian diambil menjadi menantu oleh seorang kiyai yang masih terhitung pamannya sendiri, yaitu KH. Jufri. KH. Jufri merupakan putra dari KH. Abdul Djalil yang merupakan menantu dari KH. M. Rozi yang juga kakek dari KH. M. Toha. Dari pernikahan tersebut, KH. M. Toha dikaruniai 5 orang putra putri. Selain menjadi seorang Kiyai, KH. Muhammad Toha juga pernah berprofesi menajadi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Susukan. Beliau adalah seorang ulama‟ yang wawasannya sangat luas dan paham dengan persoalan pemerintahan. Pada masa kepemimpinan beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang pada mulanya hanya mempunyai bangunan untuk asrama putra, kemudian juga dibangun untuk asrama putri. Pada mulanya santri putri masih bermukim di rumah KH. Toha, baru kemudian tahun 1986 dibuatkan lah asrama tersendiri yang permanen. Setelah beliau wafat pada tahun 1982, estafet kepimpinanan pesantren diteruskan oleh dua orang putranya, yaitu KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha. KH. Mubarok Toha merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo dan UNU Jakarta. Beliau pernah berprofesi menjadi guru, dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Semarang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bersama dengan saudara-saudaranya, KH. Mubarok Toha ikut membesarkan PPP di wilayah Kabupaten Semarang pada masa Orde Baru. Akan tetapi setelah terjadi prahara nasional dengan diturunkannya KH. Abdurrahman Wahid dari posisinya sebagai Presiden, keluarga pesantren ini sepakat untuk uzlah (mengasingkan diri) dari dunia perpolitikan dan kembali konsentrasi ke dunia dakwah dan pendidikan pesantren. Dibantu dengan saudara-saudaranya, yaitu KH. Anis Toha, K. Huda Toha, K. Rozi Toha dan keponakannya K. Ulin Nuha, KH. Mubarok Toha berusaha untuk mengembangkan lagi pesantrennya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Pada masa beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesantren yang pada mulanya hanya mempunyai satu komplek, kemudian karena bertambahnya para santri maka dibangun lagi komplek yang kedua dan ketiga. Komplek kedua Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin atau kemudian yang lebih dikenal dengan istilah PPRT II masih berada satu dusun dengan komplek pertama atau yang kemudian lebih dikenal dengan PPRT I atau PPRT induk. Jarak antara keduanya + 400 meter. PPRT II diasuh oleh KH. Anis Toha, yang merupakan putera kedua dari KH. Toha. Sedangkan komplek yang ketiga atau yang kemudian dikenal dengan PPRT III berada di dusun yang berbeda dengan PPRT I dan II. PPRT III berada di dusun Gumuk yang masih berada dalam wilayah Desa Gentan, yang berjarak + 700 meter dari PPRT Induk. PPRT III diasuh oleh K. Munawari Al-Hafidz, salah satu alumni dari PPRT Induk dan pernah menjadi santri yang langsung berguru kepada KH. M. Toha. Menurut Kiyai Ulin Nuha (09 Mei 2015), pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin merupakan pesantren yang mempunyai konsentrasi pada pendalaman kitab kuning. Untuk memenuhi tuntutan zaman, maka kemudian didirikanlah lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtida‟iyyah (MI) yang berada dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nahdlatul Ulama‟. Setelah itu juga didirikan Madrasah Diniyah Tingkat Wustho (MDW) dan Madrasah Diniyah Tingkat Ulya (MDU) yang ijazahnya disetarakan dengan SMP untuk tingkat wustho dan SMA untuk tingkat ulya. Madrasah tersebut saat ini dipimpin oleh K. Ulin Nuha. Selain itu, beberapa tahun kemudian juga didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang siswanya adalah santri atau masyarkat yang pada waktu paginya menimba ilmu di sekolah formal luar pesantren. Seperti yang diungkapkan oleh K. Ulin Nuha, selain dibekali dengan pendidikan keagamaan, santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga diberikan ketrampilan yang lain, seperti komputer, jahit menjahit, tata boga, perikanan, dan yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan keahlian yang dapat membantu para santri untuk terjun di masyarakat nantinya. Selain itu, pesantren ini juga sering mengadakan pelatihan atau seminar dan kegiatan lainnya yang bekerjasama dengan masyarakat, intansi pemerintah atau organisasi lainnya. Setelah ditinggal wafat oleh ketiga pengasuhnya, saat ini Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin diasuh oleh K. Rozi Toha dan K. Ulin Nuha sebagai pengasuh pesantren induk, K. Zaid Zuhdi sebagai pengasuh PPRT II dan K. Munawari Al-Hafidz pada PPRT III. Saat ini Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mempunyai santri putra putri + 250 orang yang terbagi di 3 komplek pondok pesantren. Adapun susunan organisasi Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut: Pengasuh : K. M. Muh. Rozi Thoha K. M. Ulin Nuha K. Munawari Al-Hafidz K. M. Zaid Zuhdi Dawan Pertimbangan : Ustadz Abdurrohman Ustadz M. Triyono Djablawy Ketua : M. Ja‟farin Sekertaris : M. Taufiq Maulana Muqtafaiz Bendahara : M. Asyrofi Seksi-Seksi : Seksi Pendidikan : Mahfudz Fauzi Muhammad Aris M. Nur Saifullah Khuzain Seksi Keamanan : Ahmad Pujiyanto M. Agus Munir Abdul Khamid Seksi Penerangan : M. Nur Huda Ali Ma‟ruf (Jatim) Seksi Kebersihan : Ahmad Sulthon Ahmad Sholihan Muqtafaiz Seksi Pengairan&Humas : Mahfudz Fauzi Habil Alwi Faroqith Raudloh Seksi Koperasi : Ali Ma‟ruf Seksi Kesenian & Rebana : Lutfil Hakim (Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin) B. Profil Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Lajnah Bahtsul Masail yang kemudian disingkat dengan nama LBM adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengakomodir kegiatan diskusi dan musyawarah di pesantren yang bertujuan untuk menjawab problematika yang berkaitan dengan hukum Islam. LBM seperti yang diungkapkan oleh ketua Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, M. Ja‟farin (11 Mei 2015) adalah “organisasi yang berada dalam sebuah pesantren yang berfungsi untuk mencari, membahas dan menjawab problematika hukum yang dihadapi oleh umat Islam serta ikut memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada”. LBM sendiri merupakan organisasi yang berada di bawah naungan seksi pendidikan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Selain LBM, di pondok pesantren ini juga terdapat organisasi-organisasi lainnya, seperti organisasi jurnalistik (buletin), organisasi arisan, organisasi kesenian rebana, organisasi alumni, dan organisasi Komisariat Ikatan Pelajar Nahdlatutl Ulama‟ - Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU IPPNU). Organisasi-organisasi ini bertujuan untuk mengembangkan bakat dan minat para santri. LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin sendiri berdiri pada tahun 2005. Luqman Ramadlon (17 Mei 2015), alumni sekaligus mantan ketua Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin menceritakan bahwa terbentuknya LBM di pondok tersebut adalah bermula ketika pengurus pesantren mendapatkan undangan untuk menghadiri pelakasanaan bahtsul masail se-Jawa Madura yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Brabo Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan. Setelah menghadiri undangan tersebut kemudian santri yang didelegasikan mendapat inisiatif untuk mengadakan kegiatan bahtsul masail di pesantren asal mereka seperti yang mereka lihat di forum tersebut. Luqman Ramadhan (17 Mei 2015) menambahkan, tujuan awal dibentuknya LBM di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah untuk pembelajaran bagi para santri dan dan menjadi lembaga untuk menjawab problematika hukum Islam yang ada. Pada awal dibentuknya LBM, kegiatan bahtsul masail lebih banyak berkutat kepada pembahasal masail fiqhiyyah(permasalahan problematika hukum Islam) yang terjadi di sekitar kehidupan para santri pada waktu itu. Setelah berjalan beberapa tahun permasalahan yang kemudian ikut dibahas sangatlah banyak, seperti mujtama‟iyyah(sosial), nahwiyyah (gramatikal arab), i‟tiqadiyyah (ideologi) dan lain sebagainya Semenjak didirikan tahun 2005 sampai tahun 2015 ini LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin telah mengadakan pergantian ketua sampai 7 kali. Santri yang pertama kali menjadi ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin adalah M. Triyono Djablawi. Setelah itu ketua LBM dipegang oleh M. Shoim. Dan secara berturut-turut ketuanya adalah M. Syafiul Anam, M. Agus Munir, M. Fauzi, M. Nur Syaifullah Khuzain dan sekarang dipegang oleh M. Aris. Hal ini seperti yang tertulis dalam dokumen LBM. Menurut M. Ja‟farin (11 Mei 2015), pada mulanya LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin hanya mengadakan kegiatan bahtsul masaildiniyyah yang mana kegiatan ini bertujuan mencari, membahas dan menjawab problematika kontemporer umat Islam yang diketahui para santri yang berhubungan dengan fiqih. Akan tetapi permasalahan yang masuk dan dibahas di LBM kemudian bukan hanya berasal dari santri, tetapi juga dari masyarakat dan alumni pesantren. Bahkan tidak jarang permasalahan tersebut juga berasal dari pengasuh pondok pesantren yang menemukan permasalahan tetapi tidak dapat dia jawab sendiri. LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga mengadakan kegiatan yang jarang sekali diadakan pada pondok pesantren salaf yang lainnya, yaitu bahtsul masail an-nahwiyyah dan majlis syawir. Bahtsul masail an-nahwiyyah adalah metode bahtsul masail dimana persoalan yang dibahas adalah tentang permasalahan ilmu nahwu atau gramatikal arab yang ditemukan para santri. Sedangkan majlis syawir dalam terminologi yang dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum diamana para santri mencari sebuah illatul hukmiatau wajhul hukmi atau hikmah hukumyang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dan menjadi solusi terhadap problematika kontemporer yang dihadapi masyarakat. Layaknya sebagai sebuah organisasi,LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga mempunyai struktur kepengurusan dan anggota. Struktur kepengurusan untuk masa khidmat tahun 2015-2016 ini adalah sebagai berikut: Dewan Mushohih : K. Muh. Rozi Thoha K. M. Zaid Zuhdi K Nur Amrin K. Muhadzib Dewan Perumus (Muharrir) Agus M. Najmuddin Huda Agus M. Ali Munawar Huda Ustadz Mahfudz Fauzi Ustadz Muhammad Amiruddin Ustadz Muhammad Ja‟farin Ketua Umum Muhammad Aris : Wakil Ketua Bidang Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) : M. Nur Syaifullah Khuzain Wakil Ketua Bidang Bahtsul Masail Nahwiyyah (BMN) : Wakil Ketua Bidang Majlis Syawir : Sekretaris Musthofa Bisyri Abdul Khamid Muhammad Adhib Eni Kurniawati Bendahara Abdul Chalim Siti Mauidlotul Khasanah Seksi – Seksi Perlengkapan Nurul Huda Habib Alwi Marfu‟atus Sa‟adah Kepustakaan Nurul Asnawi Ahmad Pujiyanto Kesekretariatan & Dokumentasi Ahmad Sulthon Fitri Puji Handayani Humas Ali Ma‟ruf Jatim Dian Alfin Finanda Konsumsi Muhammad Nafi‟in Misbahun Najih (Sumber: Dokumentasi LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin) M. Ja‟farin(11 Mei 2015) menambahkan, bahwa untuk bisa menjadi pengurus LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinada kriteria khusus yang harus dipenuhi. Kriteria tesebut adalah: a. Masih berstatus santri aktif di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. b. Minimal berada pada tingkatan kelas Ulya dan pengurus pesantren untuk pengurus masail diniyyah dan masjlis syawir.Dan untuk bahtsul masail nahwiyyah pengurusnya diambilkan dari tingkatan wustho dan kelas 1 ulya. Untuk anggota sendiri memang ada perbedaan antara yang mengikuti bahstul masail diniyyah dan bahtsul masail nahwiyyah. Untuk bahtsul masail nahwiyyah pesertanya hanya berasal dari tingkatan wustho dan „ulya saja dari pondok pesantren Raudlatut Thalibin komplek I atau induk. Sedangkan untuk peserta bahtsul masail diniyah berasal dari tingkatan ulya dan seluruh pengurus pondok pesantren dari komplek I sampai komplek III. Adapun peserta Majlis Syawir sendiri berasal dari tingkatan ulya dan pengurus komplek Induk saja baik putra maupun putri. M. Aris (11 Mei 2015) mengungkapkan bahwa kepengurusan LBM sendiri dijabat selama satu tahun. Dalam setiap periodenya pengurus menyiapkan program kerja yang berbeda-beda tergantung dengan inovasi pengurus LBM tersebut yang masih berkaitan dengan kegiatan bahtsul masail. Sedangkan untuk pemilihan ketuanya dilaksanakan pada setiap bulan syawal, yang merupakan tahun pelajaran baru di pesantren. Sampai saat ini LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin belum mempunyai Angaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang menjadi pedoman tetap perjalanan organisasi ini. Adapun ketentuan-ketentuan mengenai aturan organisasi dan pemilihan ketua dikembalikan kepada musyawarah pengurus LBM dan pengurus Pondok Pesanten Raudlatut Thalibin. M. Aris (11 Mei 2015) yang saat ini menjabat sebagai Ketua LBM ini menambahkan, bahwa dalam setiap periode kepengurusan LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinmembuat progam kerja organisasi yang bertujuan untuk memajukan keilmuan di pesantren tersebut. Adapun progam kerja LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut 1. Program Kerja Mingguan Program kerja mingguan dari LBM Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin adalah sebagai berikut: a. Majlis Syawir. Majlis Syawir merupakan kajian penalaran hukum terhadap teksteks kitab fathul qarib yang kemudian dianalogikan dengan permasalahan kontemporer. Agenda ini dilaksanakan setiap malam rabu setiap minggunya. Peserta dari majlis syawir sendiri merupakan siswa kelas ulya dan pengurus Pondok-Pesantren Raudlatut Thalibin induk. Adapun tempatnya berada di salah satu aula di Pondok Pesantren tersebut. Program kerja ini merupakan program kerja baru yang dilakasanakan kurang dari dua tahun yang lalu. b. Mengisi Kolom Buletin Ar-Raudloh Buletin Ar-Raudloh merupakan media jurnalistik yang dikembangkan oleh para santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Buletin ini tidak hanya dibagikan kepada para santri saja, tetapi juga kepada masyarakat dan alumni. Buletin Ar-Roudloh terbit setiap awal bulan dan pertengahan bulan. Salah satu rubrik yang ada dalam buletin ini adalah pembahasan fenomena permasalahan fiqih atau sosial yang terjadi di tengah-tengah pesantren atau masyarakat. Sayangnya buletin yang diagendakan bisa terbit rutin setiap 2 minggu ini sering tidak terbit, karena mengalami berbagai kendala diantaranya permasalahan SDM. 2. Program Kerja Bulanan Agenda bulanan LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut: a. Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) merupakan forum diskusi keagamaan yang dilakukan oleh para santri bersama asatidz dan pengasuh untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat. BMD merupakan agenda bulanan para santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang dilaksanakan oleh para santri setiap malam rabu di minggu pertama setiap bulan. Agenda pembahasan yang didiskusikan pada kegiatan ini adalah problematika sosial yang berkaitan dengan dengan fiqih dan sosial, baik itu berkaitan dengan masyarakat atau santri maupun berkaitan dengan isu-isu lokal, nasional maupun internasional. Peserta dari bahtsul masail ini adalah santri tingkatan ulya dan semua pengurus baik putra maupun putri dari komplek satu, komplek dua dan komplek tiga. Selain itu, dalam setiap pelaksanaan bahtsul masail selalu mendatangkan pengasuh dan asatidz pesantren yang berperan sebagai mushohih dan muharrir. Tempat pelaksanaan bahtsul masail diniyyah ini bergiliran dari komplek pesantren yang satu dengan yang lain. b. Bahtsul Masail An-Nahwiyyah (BMN) Bahtsul masail an-Nahwiyyah (BMN) adalah metode bahtsul masail yang mana persoalan yang dibahas adalah tentang permasalahan ilmu nahwu atau gramatikal arab yang ditemukan para santri. Peserta dari kegiatan ini hanya berasal dari tingkatan wustho dan „ulya saja dari pondok pesantren Raudlatut Thalibin komplek I atau induk. Kegiatan ini dilaksanakan setiap malam rabu di minggu ke-tiga setiap bulannya. Adapun tempatnya selalu dilaksanakan di aula asrama pesantren komplek I atau induk. c. Bahtsul Masail Alumni Agenda bahtsul masail ini tidak terlalu berbeda jauh dengan pelaksanaan BMD di atas. Hanya saja peserta dari kegiatan ini bukan hanya berasal dari santri pesantren, tetapi juga para alumni pesantren dan masyarakat di sekitar alumni. Permasalahan yang dikaji dalam forum ini adalah permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat di lingkungan para alumni. Karena banyak alumni pesantren yang kembali ke masyarakat dan kemudian menjadi seorang tokoh masyarakat atau ustadz, maka banyak permasalahan yang kemudian dihadapkan atau ditanyakan kepada mereka. Sehingga yang menjadi bahan kajian dan diskusi dalam forum ini lebih komplek karena tidak hanya berkaitan dengan fiqih saja, tetapi juga kadang berkaitan dengan aqidah, tasawuf, amaliah, sosial dan ekonomi. Agenda bahtsul masail alumni dilaksanakan setiap malam minggu wage yang bertepatan dengan pertemuan lapanan alumni. 3. Program Kerja Tahunan Agenda tahunan yang dilaksanakan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut: a. Bahtsul Masail Diniyyah (BMD) Kubro Bahtsul masail diniyah kubro merupakan kegiatan forum bahtsul masail dalam sebuah event besar yang tidak hanya melibatkan santri internal pesantren, tetapi juga mengundang santri dari pesantren lain untuk ikut berdiskusi dan mengkaji masalah yang ada. Dalam kegiatan tahunan ini panitia pelaksana dari LBM mengundang perwakilan peserta dari pesantren-pesantren di 3 kabupaten kota, yaitu Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kota Salatiga yang jumlahnya lebih dari 30 pesantren. Pesantren yang diundang adalah pesantren yang juga melaksanakan atau memprogamkan bahtsul masail di pesantrennya. Tema yang dibahas dalam kegiatan ini sangatlah beragam. Masail yang dibahas dalam kegiatan ini bukan hanya berasal dari internal pesantren dan masyarakat sekitar, tetapi juga masail yang diusulkan oleh pondok pesantren lain, dari instansi atau dari alumni pesantren. Selain itu juga, masail yang dibahas dalam kegiatan ini mempunyai karekteristik khusus, yaitu merupakan masail fiqhiyyah waqi‟iiyah (permasalahan dalam bidang fiqih yang benar-benar terjadi), permasalahan kontemporer dan yang diutamakan adalah tema atau isuisu yang sifatnya nasional maupun internasional. Bahtsul masail diniyyah kubro ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali pada bulan muhararram. b. Pelatihan Bahtsul Masail Untuk lebih menunjang para santri agar lebih memahami dan menguasai metode bahtsul masail, maka LBM Pondok Pesantren Raudltut Thalibin mengagendakan kegiatan pelatihan bahtsul masail. Agenda pelatihan dilakukan bahtsul masail dilakukan setiap 2 tahun sekali. Adapun yang menjadi materi dalam pelatihan bahtsul masail ini adalah sebagai berikut: 1) Metode Pencarian Ibarat dalam bahtsul masail. 2) Tekhnik persidangan. 3) Praktikum bahtsul masail. Sedangkan yang menjadi pemateri dalam pelatihan ini adalah para praktisi bahtsul masail dan dari LBM pondok pesantren yang sudah terkenal lainnya. Diantara pemateri yang pernah mengisi acara pelatihan ini adalah Bapak Agus Ahmad Suaidi, Lc., M.A., Anas Maulana, S.Pd,.I., dan LBM Pondok Pesantren Sirajuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Selain mempunyai agenda internal dan telah direncanakan secara matang, LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga mempunyai agenda eksternal. Agenda eksternal merupakan agenda kegiatan yang bersifat insidentil dan tidak pasti. Agenda eksternal tersebut adalahmenghadiri undangan bahtsul masail dari luar pesantren, baik yang dilaksanakan oleh pesantren, intansi maupun organisasi kemasyarakatan. C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail dan Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Seperti yang diutarakan oleh M. Nur Syaifullah Khuzain (13 Mei 2015), diprogamkannya bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin didasari adanya beberapa tujuan. Diantara tujuan-tujuan tersebut adalah: a. Melatih para santri dalam menyikapi problematika yang dihadapi oleh umat Islam. b. Melatih para santri mencari dasar atau dalil dalam menjawab problematika kontemporer. c. Membantu masyarakat dalam menemukan hukum dan solusi hukum dengan lebih cepat dan mudah. Selain adanya tujuan-tujuan di atas, M. Ja‟farin (11 Mei 2015) menambahkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dibentuk tidak hanya sebagai sebuah organisasi yang tanpa tujuan apapun. Ada kontribusi penting yang diharapkan dengan di bentuknya LBM ini. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut ini: a. Menjalin tali silaturrahmi antar Pondok Pesantren. Dengan digelarnya event bahtsul masail diniyyah kubradimanfaatkan sebagai tempat untuk saling mengenal dan saling menyambung tali silaturrahmi antar pondok pesantren yang ada di belahan bumi Indonesia dan mempererat ukhuwah Islamiyah alaahlussunah wal jama‟ah diantara pondok pesantren yang ada. b. Sebagai tempat forum diskusi ilmiah. Dengan adanya diskusi dalam majlis syawir dan bahtsul masail dapat memberikan banyak hal yang penting, terutama bagi para santri. Dari diskusi ini para santri bisa menjadi tahu halhal yang sebelumnya mereka tidak mengerti atau sekedar tahu. Di dalam diskusi tersebut para santri juga bisa berbagi pendapat atau pengetahuan dengan para santri yang lainnya. Hal lain yang juga disukai dari diskusi melalui forum ini adalah kesetaraan posisi antara satu dengan yang lain karena forum diskusi tidak mendewakan siapa pun yang berada disitu sebagai pembicara utama. Diskusi memberikan wadah bagi semua santri untuk memiliki peran yang sama pentingnya, tidak peduli dia memiliki kemampuan lebih ataupun berkemampuan sedang, lebih tua atau lebih muda, semuanya berhak untuk ikut serta berkontribusi di dalamnya. Selama peserta diskusifaham dan memiliki informasi tentang satu hal, maka dia berhak mengutarakan pendapat dan ilmu yang dia punya melalui forum diskusi yang diselenggarakan dalam bahtsul masail dan majlis syawir ini. c. Sebagai penafsir hukum bagi masyarakat. Kerap kali masyarakat merasa bingung akan hukum yang terkandung dalam suatu perkara. Perasaan kebingungan itupun semakin bertambah ketika mereka dihadapkan pada kandungan makna yang masih mujmal(global) dan belum spesifik menjawab pada persoalan mereka, terutama dalil dari al-Qur‟an dan asSunnah. Oleh karena itu LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibindidirikan sebagai media bagi masyarakat dalam rangka mendapatkan penerangan hukum agar masyarakat mengerti dan terpuaskan dengan jawaban yang jelas dan mudah untuk difahami. Hal tersebut tidak terlepas kembali kepada fungsi esensial dari LBM, yaitu sebagai wadah dalam menghimpun, membahas,dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf dan waqi‟ah yang harus segera mendapatkan kepastiah hukum. d. Nguri-nguri budaya nahdliyin. Salah satu tujuan dari didirikannya LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah ingin nguri-nguri (melestarikan) kebudayaan kalangan nahdliyyin. Bahtsul Masail yang merupakan kebudayaan lama warga nahdliyyin dapat dibilang sebagai ruhnya nahdliyyin.Kalau nahdliyyin itu identik dengan pondok pesantren, sedangkan pondok pesantren tidak terlepas dari kegiatan bahtsul masail.Itulah satu kesatuan yang tidak terpisahkan diantara keduanya. Maka dengan melihat hal-hal di atas wajib bagi para santri untuk ikut menjaga tradisi adanya forum seprti bahstul masail dan majlis syawir. Dengan mengadakan kegiatan bahtsul masail dan masjlis syawir berarti ikut serta dalam menjaga tradisi salafus shalih. Dalam dunia pesantren salaf, bahtsul masail dan musyawarah merupakan ruh dari pesantren tersebut. Maka dari itu eksistensi bahtsul masail dan majlis syawir harus tetap dijaga. Bahtsul masail sendiri juga bisa berfungsi untuk menunjukkan ke-salaf-an suatu pesantren, sehingga tradisi ini harus benar-benar dijaga. Selain hal di atas,menurut M. Ja‟farin (11 Mei 2015) keberadaan bahtsul masail dan majlis syawir bisa menjadi sebuah bukti akan eksistensi pesantren tersebut. Eksistensi disini bisa dipahami sebagai sebuah bukti akan kemampuan keilmuan sebuah pesantren, dan bisa dipahami sebagai bukti keberadaan pesantren tersebut masih ada. Keistiqamahan sebuah pesantren dalam mengadakan bahtsul masail ataupun menghadiri undangan bahtsul masail di pondok pesantren lain akan berdampak bahwa pesantren tersebut patut dipertimbangkan kapasitas keilmuannya. Bagi para alumni pesantren, kegiatan bahtsul masail dan masjlis syawir mempunya peran dan mafaat yang tidak kalah pentingnya. Menurut Triyono Djablawi (17 Mei 2015), salah seorang alumni yang sekarang menjadi tokoh masyarakat dan guru SDIT di Nogosari Kabupaten Boyolali mengatakan bahwa bahtsul masail dan majlis syawir sangatlah membantu untuk menjawab berbagai persoalan yang dia hadapi di masyarakat. Seringkali problematika yang dia hadapi ketika menjadi seorang panutan di desanya tidak dapat dia jawab. Kadangkala banyak masyarakat yang juga bertanya akan berbagai problematika. Olehnya, permasalahan tersebut dimintakan kepada LBM di almameternya untuk membantu menjawabnya dan memberikan solusi. Sehingga masyarakat dapat menemukan solusi terhadap berbagai kendala yang mereka hadapi. D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis a. Pelaksaaan Bahtsul Masail Seperti halnya kegiatan diskusi pada umumnya, kegiatan bahtsul masail juga mempunyai rangkaian dan tahapan untuk dapat menghasilkan sebuah keputusan. M. Nur Syaifullah Khuzain (13 Mei 2015) menjelaskan bahwa kegiatan bathsul masa‟il diawali dengan sebuah acara pembukaan. Acara tersebut berisi pembacaan dzikir tahlil, sambutan panitia dan sambutan pengasuh sekaligus membuka acara. Setelah itu acara diserahkan kepada moderator. Moderator mengawali kegiatan bahtsul masail dengan pembacaan tata tertib yang telah disiapkan oleh panitia. Walaupun tata tertib ini berasal dari panitia, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi moderator untuk melakukan pembahasan dan perubahan pada pasal yang dianggap perlu dengan kesepakatan bersama antara semua peserta dan panitia. Setelah tata tertib disepakati maka moderator mulai membacakan deskripsi masalah. Ketika deskripsi selesai dibacakan, moderator menanyakan kepada para peserta atau mubahitsin apakah ada yang belum jelas dari deskripsi masalah yang telah dibacakan. Ketika ada yang belum jelas maka peserta dipersilahkan bertanya pada hal yang belum jelas tadi, kemudian moderator menanyakan hal tersebut kepada sohibul masalahatau sa‟il (orang yang mempunyai masalah atau problem). Pada suatu kasus terrtentu panitia mendatangkan tenaga ahliseperti ekonom atau dokter untuk mendapatkan keterangan yang lebih detail atau spesifik. Ketika deskripsi masalah sudah menjadi jelas, maka moderator membacakan pertanyaan dan menjelaskan fokus pertanyaannya. Setelah itu moderator menawarkan kepada peserta yang ingin menjawab pertanyaan tersebut. Ketika ditemukan ada lebih dari tiga peserta yang menawarkan jawabannya, maka moderator memilih 3 peserta secara acak untuk menjawabnya. Apabila ternyata jawaban ketiga peserta tadi sama atau mirip, maka moderator menawarkan untuk kedua kalinya kepada peserta yang mempunyai jawaban berbeda. Setelah ditemukan jawaban yang berbeda maka moderator memberikan kesempatan kepada mujawib (peserta yang menjawab) untuk menjelaskan jawabannya. Ketika para mujawib selesai menjelaskan jawabannya, maka moderator memberikan kesempatan kepada mujawibpertama untuk membantah atau menunjukkan titik kelemahan mujawib yang lain. Selain itu juga peserta yang lainnya juga diberikan kesempatan untuk memberikan argumentasi yang menguatkan atau melemahkan jawaban para mujawib dengan tertib. Yang perlu diingat dalam hal ini adalah bahwa baik jawaban ataupun bantahan dari para mujawib dan peserta harus disampaikan dengan argumentasi yang baik dan menyertakan dalil atau dasarnya. Hal ini seperti yang ditekankan oleh ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, M. Aris (11 Mei 2015). Dalam keadaan tidak mendapatkan titik temu antara para musyawirin, maka moderator memberikan waktu kepada muharir untuk memberikan arahan kepada peserta agar bisa menemukan titik temu. Setelah arahan dari muharir selesai, moderator memberikan waktu lagi kepada peserta untuk melanjutkan diskusi. Setelah menemukan titik temu maka moderator memberikan waktu kepada muharrir untuk merumuskan jawaban. Setelah jawaban dirumuskan maka moderator memberikan waktu kepada mushohihuntuk memberikan komentar terhadap rumusan jawaban hasil diskusi tersebut. Mushohih kemudian memberikan komentar atas hasil yang telah disepakati, dan setelah itu memimpin pembacaan al-Fatihah sebagai tanda telah disahkannya produk hukum hasil bahtsul masail pada kegiatan tersebut. Menurut Mahfudz Fauzi (13 Mei 2015), mantan kepala Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail tidak mendapatkan jawaban sama sekali atau hanya terjawab separuh masalah saja. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal, diantaranya: a. Permasalahannya sangat rumit sekali dan belum pernah ditemukan di dalam kutub mu‟tabarahdan sulit dilakukan taqrir jama‟i. b. Ibarat jawaban yang di bawa oleh peserta kurang memuaskan. c. Ada perbedaan pendapat yang sangat tajam antar ibarat yang tidak mungkin diberlakukan sebuah pendapat khilafiyah, sehingga diambil kesimpulan untuk tidak menggunakan kedua-duanya. Ketika terjadi hal-hal seperti di atas maka tidak menutup kemungkinan sebuah masalah yang dibahas dianggap mauquf. Mauquf adalah dimana pemahasan sebuah permasalahan dalam sebuah bahtsul masail dihentikan karena tidak menemukan jawaban atau sebuah solusi yang baik antar peserta, muharrir maupun mushohih sendiri. Tapi kejadian seperti di atas sangat jarang terjadi karena biasanya muharrir bisa mengarahkan sebuah pembahasan agar lebih baik, atau mushohih dapat memberikan sebuah komentar yang berisikan jawaban atau solusi. Mahfudz Fauzi (13 Mei 2013) menambahkan, apabila permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail menemui kebuntuan atau mauquf, maka penyelesainnya dapat melalui beberapa cara, yaitu: a. Apabila permasalahan yang mauquf dibahas dalam bahtsul masail diniyyah bulanan, maka permasalahan tersebut akan dibahas lagi dalam pertemuan selanjutnya. b. Apabila ada permasalahan yang dibahas dalam 2 kali pertemuan dan tidak menemui jalan keluar, maka permasalahan tersebut akan diusulkan untuk dibahas di bahtsul masail diniyyah kubro. c. Apabila ada permasalahan yang mauquf dalam bahtsul masail diniyyah kubro, maka permasalahan tersebut akan diusulkan di bahtsul masail LBM pondok pesantren lainnya yang mengadakan kegiatan serupa. Selain itu juga dapat diusulkan untuk dibahas di LBM NU tingkat kecamatan maupun kabupaten. Permasalahan yang diangkat menjadi bahan diskusi dalam bahtsul masail bermacam-macam. Dari penjelasan tentang profil LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, maka permasalahan tersebut dapat peneliti kelompokkan sebagai berikut: a. Permasalahan yang terjadi di lingkungan pesantren. b. Permasalahan yang berasal atau terjadi di masyarakat sekitar pesantren. c. Permasalahan yang yang terjadi di masyarakat para santri berasal. d. Permasalahan yang berasal atau yang terjadi di masyarakat para alumni pesantren. e. Permasalahan yang berasal dari pengasuh atau dewan astaidz. f. Permasalahan-permasalahan yang menjadi isu nasional dan internasional. Melihat pada metode bahtsul masail yang berlaku di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pelaksanaan bahtsul masail di atas merupakan sebuah metode penalaran hukum Islam dengan menggunakan sebuah metode ijtihad kolektif atau ijtihad jama‟i.Ijtihad kolektif menurut alQardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia”. Bahtsul masail di atas merupakan sebuah solusi untuk menyikapi problematika minimnya Mujtahid. Maka dengan ini bahtsul masail dapat dipandang sebagai sebuah metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Pelaksanaan bahtsul masail di atas juga merupakan sebuah pelaksanaan taqrir jama‟i menurut istilah nahdliyyin, karena parasantri dengan dibantu mushohih dan muharrirberupaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa pendapat untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah pedoman atau jawaban. Dengan metode diskusi secara kolektif dalam bahtsul masail seperti di atas maka bisa menanggulangi keadaan dimana seseorang itu menyentuh suatu aspek hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam bahtsul masail dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang terlupakan. Dan ini merupakan berkat dari musyawarah. Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur‟an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut(Al-Qardhawi, 2000:139). Maka melihat pada praktek di atas juga dapat diketahui bahwa bahtsul masail yang dilakukan merupakan ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, alSunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru (al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Selain itu, bahtsul masail juga berperan untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tetapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik satu terhadap lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat dan paling sesuai dengan ruh agama, kemaslahatan. b. Tarjih Ibarat (I’tibar) Dalam Bahtsul Masail M. Aris (11 Mei 2015), ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinmenjelaskan bahwa dalam sistem pengambilan keputusan hukum maka harus dipahami prosedur penjawaban masalah. Keputusan bahtsul masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mengikuti ketentuan dalam komunitas nahdliyyin yaitu dibuat dalam kerangka bermadzhab secara qouli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan yang telah ditentukan seuai dengan ketetapan Nahdlatul Ulama‟ yang disusun dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992. Adapun ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: ketika terjadi dalam suatu kasus masalahdan di sana terdapat lebih dari satu qoul pendapat, maka dilakukan taqrir jam‟i untuk memilih satu qoul atau wajah. Sedangkan apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu pun qoul pendapat atau wajah sama sekali yang memberikan penjelasan,maka dilakukan prosedur ilhaqul- masail bi nazha‟iriha secara jama‟ioleh para peserta bahtsul masail. Apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu qoul atau wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq,maka bisa dilakukan istinbath jama‟i atau ijtihad secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya Dalam sebuah permasalahan apabila ditemukan dua qaul atau lebih maka harus mengikuti prosedur pemilihan qaul atau pendapat para ulama‟. Prosedur tersebut adalah ketika dijumpai beberapa qaul dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satupendapat. Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan cara mengambil dan mempertimbangkan pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat. Selain dengan pertimbangan tersebut juga diusahakan untuk mengambil pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi‟I, serta pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama‟ (LTN NU, 2007:446-447). Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dipraktekkan oleh para mubahitsin (peserta bahtsul masail) untuk menganalisa permasalahan yang disodorkan kepada mereka. Ibarat dari berbagai kitab yang dibawa oleh para mubahitsin kemudian dibahas satu persatu untuk dicari ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini adalah dengan cara memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang tidak memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama‟i atau ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya istinbath jama‟i tadi juga dapat dilaksanakan setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih. Jika dilihat metode bahtsul masail di atas maka bisa dilihat bahwa pengambilan sebuah pendapat atau qaul juga harus memperhatikan apakah itu memberikan maslahat serta dapat menjadi sebuah solusi atau tidak. Dengan demikian maka selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Tentunya hal tersebut harus dibarengi dengan pemahaman syariah secara konstekstual. Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) ini memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara hal-hal yang konstektual. Dengan metode bahtsul masail yang melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan maka pembacaan terhadap perkembangan sosial akan dapat lebih mendalam. Meskipun tidak secara tegas seorang mujtahid disyaratkan memiliki kepekaan sosial, syarat demikian sebenarnya secara implisit telah terekam baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam mekamisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:45). Seperti yang ditambahkan oleh M. Amiruddin(13 Mei 2015) yang juga pernah menjabat sebagai ketua LBM, dalam berbahtsul masail para mubahitsin atau peserta jangan berusaha untuk kolot atau berpegang teguh pada satu pendapat kitab saja. Tetapi yang perlu dikedepankan adalah semangat untuk memberikan solusi terbaik untuk umat Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengedepankan maslahat dalam keputusan yang akan diambil. Maslahat disini dapat diukur dengan tidak hanya memperhatikan unsur hablun minaallah (interaksi manusia dengan Sang Pencipta), tetapi juga memperhatikan hablun minannas (interaksi sosial manusia). Dengan demikian maka keinginan untuk memberikan solusi terbaik bagi umat dapat tercapai. Ketika ditanyakan tentang mazdhab yang dipakai dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, dijelaskan bahwa dalam berbahtsul masail mereka memakai empat madzhab mu‟tabarah yang menganut aqidah ahlussunnah wal jama‟ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali. Namun dalam pelaksanaanya memang tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan madzhab Syafi‟i lebih dominan dan diutamakan dibandingkan madzhab yang lain. Penyeebabnya adalah mayoritas penduduk Indonesia yang bermadzhab Syafi‟iyyah. Selain itu juga pembelajaran yang mereka gunakan di pesantren adalah madzhab Syafi‟i. Kemudian mayoritas kitab dan referensi yang ada di sekitar mereka juga khazanah turats syafi‟iyyah.Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan dalam bahtsul masail untuk menggunakan mazdhab selain madzhab Syafi‟i. Hal ini dapat terjadi ketika tidak ditemukan referensi masalah tersebut dalam madzhab Syafi‟i. Tetapi juga dimungkinkan untuk mengkolaborasikan antar pendapat pada madzhab empat. E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis 1. Pelaksanaan Masjlis Syawir Metode pelaksanaan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin tidak berbeda jauh dengan metode pelaksanaan diskusi atau musyaawarah yang selama ini ada di kampus atau di kalangan para cendikiawan. Dalam majlis syawir terdiri dari pemateri (qari‟), moderator dan peserta (musyawirin). Acara dimulai dengan pembukaan oleh moderator dan pembacaan tata tertib acara yang akan berlangsung. Setelah itu moderator memberikan waktu 20 menit kepada qari‟ untuk membacakan teks (ibarat) dari kitab fiqih fathul qarib serta memberikan penjelasan secara mendalam. Qari‟ berhakuntuk memberikan penjelasan mengenai ibarat yang dia baca dengan tambahan atau pembanding dari ibarat di kitab lain dengan syarat masih dalam konteks pembahasan yang sama. Setelah qari‟ selesai memberikan penjelasan, maka kemudian para musyawirin diberikan waktu untuk menanyakan penjelasan yang kurang dipahami atau memberikan tanggapan terhadap penjelasan yang telah diberikan oleh qari‟. Tanggapan dari musyawirin ini dapat berupa penjelasan tambahan ataupun penguat terhadap apa yang telah disampaikan oleh qari‟. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa tanggapan yang diberikan oleh musyawirin adalah berupa sanggahan atau ketidaksetujuan terhadap penjelasan yang diberikan oleh qari‟. Ketika ada salah satu musyawirin atau lebih yang tidak sepaham dengan penejelasan qari‟, maka musyawir tadi harus menguatkan argumentnya dengan ibarat dari kitab lain atau dengan memberikan penafsiran lain dari kitab fathul qarib ditinjau dari segi i‟rab nahwiyyah (analisis gramatikal arab) atau analisa istilahi (istilah bahasa). Setelah para musyawirin selesai dengan tanggapan atau argument bantahannya, maka moderator memberikan waktu kepada qari‟ untuk memberikan penjelasan penguat terhadap apa yang telah disampaikan qari‟ di awal penjelasannya tadi. Dalam hal ini qari‟ boleh saja menarik penjelasannya yang pertama tadi, dan kemudian mengikuti argument kedua dari musyawirin. Tetapi jika qari‟ tetap bersikukuh dengan pendapatnya maka moderator memberikan kesempatan kepada para musyawirin untuk berdiskusi, dan memberikan tanggapan atau solusi terhadap adanya dua pendapat tadi. Dalam diskusi yang tejadi tidak menutup kemungkinan terjadinya sebuah deadlock atau kebuntuan. Menurut M. Nur Syaifullah Khuzain (13 Mei 2015), karena dalam majis syawir tidak mengenal istilah mauquf seperti dalam bahtsul masail, maka kebuntuan diskusi tadi harus diselesaikan. Penyelesaian kebuntuan dalam pembahasan ibarat tadi dapat melalui dua cara: a. Jika penyebab dari kebuntuan tadi karena adanya perbedaan pemahaman terhadap penjelasan ibarat, baik karena perbedaan pemahaman penggunaan ma‟na istilahi atau karena adanya perbedaan ibarat dari kitab lain maka permasalahan tersebut nanti akan dimintakan arahan kepada dewan asatidz. b. Jika penyebab dari kebuntuan tadi karena adanya perbedaan pemahaman dalam i‟rab nahwiyyah (analisis gramatikal arab) maka permasalahan tersebut akan diselesaikan pembahasannya dalam forum bahtsul masail nahwiyyah. Setelah qari‟ dan musyawirin menyepakati penjelasan dari ibarat fathul qarib, maka moderator memberikan waktu kepada musyawirin untuk menanyakan permasalahan yang mempunyai sangkut paut dengan ibarat yang dibaca oleh qari‟. Setelah pertanyaan selesai diberikan maka kemudian moderator membacakan memberikan waktu ulang kepada pertanyaan qari‟ untuk tersebut, dan kemudian memberikan jawaban dan penjelasannya. Qari‟ boleh saja mencukupkan diri memberikan penjelasan dengan ibarat kitab fathul qarib ataupun melalui kitab yang lain karena tidak ditemukannya penjelasannya dalam ibarat yang telah dibaca. Seperti pada sesi yang pertama tadi, setelah qari‟ selesai memberikan jawaban maka dipersilahkan kepada para musyawirin untuk memberikan tangapan baik itu yang berupa penjelasan penguat maupun argument bantahan. Baik itu penjelasan penguat maupun argument bantahan harus disertai dengan dalil dari kitab kuning. Setelah jawaban disepakati oleh musyawirin maka moderator membacakan kesimpulannya dan menanyakan kepada sa‟il (penanya) apakah sudah memahami dari jawaban yang ada. Apabila sa‟il sudah memahami maka dilanjutkan kepada pertanyaan yang kedua. 2. Ilhaqul Masail dalam Majlis Syawir Bisa dikatakan bahwa majlis syawir merupakan kebalikan dari metode bahtsul masail. Jika pada metode bahtsul masail para musyawirin dihadapkan kepada sebuah masalah atau problematikanya yang harus dicarikan hukum dan solusinya, maka dalam majlis syawir para musyawirin sudah menyepakati akan sebuah hukum dan sebuah solusi hukum dan mereka kemudian menganalisa permasalahan dan problematika apa sajakah yang bisa diterapkan dengan hukum tersebut. Dengan demikian maka para musyawirin dalam majlis syawir dituntut untuk memiliki pengalaman yang lebih luas dan informasi yang akurat sehingga hukum yang akan diterapkan dalam masalah dan problematika yang dimunculkan memang tepat. Dalam majlis syawir yang menjadi pegangan utama qari‟ (pemateri) adalah kitab Fathul Qarib. Ketika ditanyakan mengapa memakai kitab ini, Abdul Khamid (13 Mei 2015) selaku wakil ketua LBM bidang majlis syawir menjelaskan bahwa kitab Fathul Qarib merupakan sebuah kitab pegangan utama yang banyak dikaji di dalam pesantren dan menjadi kitab pembuka sebelum melangkah ke kitab-kitab yang lebih besar. Selain itu, kitab Fathul Qarib lafadznya mudah dipahami oleh para santri serta di dalamnya memuat hal-hal pokok fiqih Islam. Dalam kitab Fathul Qarib juga tidak terlalu banyak sekali memuat khilafiyah (perbedaan pendapat ulama‟), seperti yang termuat dalam kitab-kitab yang lebih besar. Walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan ibarat dari kitab lain baik itu sebagai penjelas tambahan atau sebagai ibarat pembanding, namun dalam masjlis syawir setidaknya ada kitab-kitab yang menjadi prioritas sebagai ibarat pembanding, dan utamanya sebagai penjelas tambahkan. Seperti yang dijelaskan oleh Ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin M. Aris (11 Mei 2015), kitab-kitab yang menjadi prioritas dalam masjlis syawir adalah kitab-kitab hasyiyah dari Fathul Qarib ataupun hasyiyah atau syarah kitab matan Taqrib. Adapun kitab-kitab tersebut diantaranya adalah: a. Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarh Fathul Qarib karya Syekh Ibrahim AlBajuri. b. Hasyiyah Tausyih karya Imam Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawy. c. Syarah Al-Iqna‟ karya Syekh Muhammad Khotib As-Syirbiny. d. Hasyiyah Al-Bujayrami ala al-Khotib karya Imam Al-Bujayrami. Selain itu juga diprioritaskan beberapa kitab yang sepadan dengan Fathul Qarib, yaitu: a. Fathul Mu‟in karya Zainuddin Al-Malybary dan Hasiyahnya I‟anatut Thalibin karya Abu Bakar bin Muhammad Syata‟ Ad-Dimayathi. b. Al-Yaqutun Nafis dan syarahnya karya Syekh Muhammad bin Ahmad As-Syathiri. c. Fathul Wahab Karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshory. d. Minhajut Thalibin Karya Imam Nawawi. Jika melihat kepada prioritas yang disebutkan di atas maka peneliti melihat bahwa sebenarnya dalam majlis syawir ini berusaha untuk menggabungkan pendapat antara cendikiawan madzhab syafi‟iyyah dari aliran Imam Ramli dan aliran Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Dengan begitu maka para santri berusaha untuk mengakomodir antara konsep fiqih aliran Imam Ramli yang luwes dan fiqih aliran Imam Ibnu Hajar yang ketat. Dengan demikian maka para santri tidak terjebak diantara salah satu aliran tersebut. Selain itu juga, kitab-kitab yang diprioritaskan di atas merupakan kitab-kitab yang memuat kesepakatan antara Imam Nawawi dan Imam Rafi‟i. Hal ini sebenarnya telah sesuai dengan pedoman dalam analisa hukum yang telah ditetapkan oleh nahdliyyin yang mengedapankan penggunaan maraji‟ (referensi) yang mendahulukan kesepakatan antara Imam Nawawi dan Imam Rafi‟i. Abdul Khamid (13 Mei 2015) menambahkan bahwa dalam majlis syawir qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab Fathul Qarib dengan metode bacaan makna gandul pesantren yang tetap memperhatikan kaedah nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian akan dijelaskan oleh qari‟ dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan yang diberikan oleh qari‟ tersebut harus memuat beberapa hal, yaitu: a. Penjelasan mengenai makna istilah fiqhiyyah. b. Penjelasan gramatikal arab (nahwu dan sharaf) yang berimplikasi dalam pemahaman ibarat. c. Penggambaran masalah yang dimaksudkan dari ibarat yang dibaca, dan dipraktekkan apabila memang diperlukan. d. Mencari illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum. e. Memberikan gambaran tentang permasalahan apa saja yang memungkinkan untuk dijawab dengan mempergunakan hukum dari ibarat ini. Hal-hal di atas lah yang kemudian juga menjadi bahan diskusi oleh para musyawirin. Pembahasan dan diskusi yang dilakukan oleh musyawirin harus tetap memperhatikan relevansi penggunaan ibarat tersebut untuk menjawab problematika kontemporer umat Islam. Melihat metode majlis syawir di atas maka peneliti bisa menyimpulkan bahwa metode tersebut sama dengan metode ilhaqul masail bi nadzairiha. Dalam hal ketika suatu masalah atau kasus belum dipecahkan dalam kitab para salaf shalih, maka masalah atau kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul masail bi nazha‟iriha secara jama‟i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikanmulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli. Dan metode ilhaq inilah yang kemudian oleh para santri musyawirin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dicoba untuk dipraktekkan dalam majlis syawir dengan menganilasa illatul hukmi atau wajhul ilhaq dan hikmah hukum yang terdapat dalam ibarat kitab para ulama‟ salafus shalih. Dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah analisa hukum Islam, maka ibarat tersebut direlevansikan untuk menjawab problematika kontemporer umat Islam. Dan ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhu ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara jama‟i atau ijtihad secara kolektif, yaitu dengan mempraktekkan qawa‟id ushuliyyah dan qawa‟id fiqhiyyah oleh para ahlinya. Ijtihad kolektif inilah yang juga dipraktekkan oleh para santri melalui bahtsul masail ketika mereka memang tidak bisa memecahkan masalah tersebut melalui majlis syawir. Dengan melalui bahtsul masail yang tidak lain sebagai sebuah metode ijtihad kolektif maka diharapkan dapat menemukan sebuah jawaban atau solusi yang diaharapkan. F. Persaman Dan Perbedaaan Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir 1. Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Dari penjelasan pembahasan sebelumnya maka peneliti dapat menyimpulkan persamaan antara metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail dan majlis syawir. Adapun persamaan tersebut adalah: a. Metode yang digunakan dalam bahtsul masail dan majlis syawir adalah metode diskusi yang melibatkan santri dan pengasuh pesantren sebagai salah satu metode ijtihad kolektif. b. Referensi yang digunakan baik oleh mubahitsin maupun musyawirin adalah kitab kuning yang merupakan warisan ulama‟ salafus shalih. c. Bahtsul masail dan masjlis syawir sama-sama menggunakan metode ilhaqul masail binadzairiha untuk menganalisa hukum sebuah permasalahan. d. Kedua metode tersebut berlandaskan kepada pemahaman teks ibarat dalam suatu kitab kuning yang akan dicari illatul hukmi atau wajhul ilhaq-nya. e. Bahtsul masail dan majlis syawir merupakan metode diskusi di lingkungan pesantren yang menuntut partisipasi aktif para santrinya. f. Keputusan hukum dari kedua metode tersebut masih dapat dikoreksi lagi dalam forum yang sama atau forum yang lebih tinggi. 2. Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Dari penjelasan pembahasan sebelumnya maka peneliti dapat menyimpulkan perbedaan antara metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail dan majlis syawir. Adapun perbedaan tersebut adalah: Tabel 3.1 Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir No a. Bahtsul Masail Majlis Syawir Peserta terdiri dari mubahitsin, Peserta terdiri darimusyawirin, moderator, muharrir, dan moderator, dan qari‟. mushohih. b. Peserta tidak hanya berasal dari Peserta hanya dari kalangan internal pesantren, tetapi juga bisa internal pesantren dari masyarakat, alumni, intansi atau lembaga lain, serta dapat mendatangkan tokoh ahli c. Memakai metode taqrir jama‟i, Hanya memakai metode ilhaqul ilhaqul masail, dan istinbat jama‟i masail binadzairiha d. Dalam bahtsul masail sudah ada Dalam majlis syawir sudah ada permasalahan yang disiapkan oleh ibarat yang menjadi landasan panitia, yang kemudian dibahas hukumnya oleh mubahitsin untuk dicarikan dicarikan yang wajhul kemudian ilhaq dan ibarat dari kitab kuning yang permasalahan apa saja yang bisa sesuai untuk memberikan hukum dihukumi dengan teks tersebut kepada masalah tersebut e. Tidak ada satu kitab yang menjadi Referensi utama adalah kitab referensi utama pengambilan ibarat dalam Fathul Qarib f. Menggunakan pendapat dari 4 Memprioritaskan kitab syarah madzhab, dan memprioritaskan dan hasyiyah dari kitab Fathul pada madzhab syafi‟iyyah Qarib, serta kitab yang setara dalam referensinya g. Ibarat yang muncul dalam diskusi Ibarat yang muncul hanyalah bermacam-macam karena setiap sedikit karena hanya bersumber perserta berhak membawa dan dari kitab Fathul Qarib dan mempertahankan ibaratnya h. syarah atau hasyiyahnya. Hasil akhirnya adalah ibarat mana Hasil akhirnya adalah yang dipakai diantara beberapa pemahaman yang seperti apa ibarat yang dibawa mubahitsin yang disepakati untuk dipakai dari berbagai pendapat atau pemahaman para musyawirin i. Mengenal istilah mauquf j. Tidak terlalu pembahasan Tidak mengenal istilah mauquf memperhatikan Memperhatikan i‟rab nahwiyyah terhadap i‟rab dan penggunaan istilah fiqhiyyah nahwiyyah G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin 1. Produk Hukum Bahtsul Masail Berikut ini beberapa contoh hasil produk hukum forum majlis syawir yang peneliti dapatkan dari dokumen LBMPondok Pesantren Raudlatut Thalibin, yaitu: a. Sidik Jari Bisa Menjadi Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Islam Dalam bahtsul masail kubro yang dilaksanakan pada tahun 2012, ada sebuah permasalahan pidana Islam yang diangkat oleh panitia untuk kemudian didiskusikan oleh para mubahitsin. Pertanyaan tersebut adalah: menurut fiqih jinayat, apakah sidik jari bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam kasus pencurian atau kasus pidana yang lainnya ? karena dalam pidana islam tidak mengakomodir sidik jari sebagai sebuah alat bukti. Dalam permasalahan di atas terjadi diskusi antara mubahitsin yang mayoritas diantara mereka tidak menerima sidik jari sebagai sebuah alat bukti. Alasan yang mereka ungkapkan adalah karena dalam fiqih jinayat hanya dikenal saksi dan sumpah sebagai alat bukti, dan tidak mengenal adanya sidik jari. Penggunaan sidik jari sebagai sebuah alat bukti dalam pidana tidak bisa diterima karena dikuatirkan terjadi sebuah kesalahan pembuktian yang akhirnya dapat berujung kepada kesalahan pemidanaan seseorang. Menurut Muhammad As-Syatiri (2007:900), syariat Islam dibangun berdasarkan dasar-dasar yang kuat dan penuh dengan kehatihatian. Sehingga apapun yang belandaskan kepada syariat Islam harus dibangun berdasarkan kehati-hatian, sedangkan penggunaan sidik jari masih ada kemungkinan untuk terjadi sebuah kesalahan. Penggunaan sidik jari sebagai alat bukti merupakan bentuk pembuatan sebuah peraturan produk hukum dari manusia yang tidak menutup kemungkinan terjadi sebuah tipu muslihat, ketidak adilan dan pelanggaran terhadap apa yang telah digariskan oleh syariat Islam. Oleh karena itu para mubahitsin berdasarkan pada literatur fiqih yang memuat hukum dasar pidana Islam serta pernyataan Muhammad As-Syatiri tadi menolak untuk menerima sidik jari sebagai sebuah alat bukti. Namun ada beberapa mubahitsin yang kemudian melemparkan sebuah isykal (problematika) apabila sidik jari tidak bisa digunakan sebagai sebuah alat bukti. Isykal tersebut adalah: 1) Jika sidik jari tidak digunakan sebagai sebuah alat bukti maka akan banyak pencuri atau pelaku tindak pidana lain yang dibebaskan dari jeruji besi. Hal ini disebabkan karena banyak sekali tindak pidana yang dilakukan tanpa sepengetahuan oleh manusia. 2) Jika pun perbuatan pidana tersebut dilakukan dihadapan oleh seorang manusia atau lebih, apakah orang tersebut dapat diajukan sebagai saksi karena syarat untuk menjadi saksi menurut pidana Islam sangatlah berat dan sangat sulit untuk dapat dipenuhi oleh orang-orang pada masa sekarag. 3) Para penegak hukum sekarang telah memiliki alat untuk memindai sidik jari sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam melacak sidik jari sangatlah kecil. Apalagi sidik jari antara orang yang satu dengan yang lainnya tidak ada yang sama, sehingga kemungkinan tertukar sidik jari adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Untuk menguatkan isykal mereka maka mubahitsin dari kubu yang pro sidik jari ini menawarkan ilhaqul masail dengan sebuah ibarat dari kitab Bughyatul Musytarsyidin (tt:276-277), yaitu: ليس للقاضى اف يقبل الشهادة او حيكم دبجرد خط من غَت بينة مطلقا عن التفصيل بكوف خطو او خط موثوؽ بو اـ ال احتياطا للحكم الذي فيو الزاـ اػبصم مع احتماؿ ولنا وجو انو جيوز للحكم اذا،التزوير ىذا مذىب الشافعي الذي عليو صبهور اصحابو رأى خطو بشيئ اف يعتمده اذا وثق خبطو ودل تداخلو ريبة اذل اف قاؿ وقاؿ ىف اػبادـ وقد عمت البلوى باغبكم بصحة اػبط من غَت ذكر تفاصيلو فإف كاف عن تقليد اؼبذىب الشافعي فممنوع اىػ Dalam ibarat di atas terdapat sebuah pendapat yang memperbolehkan menggunakan analisis gaya tulisan seseorang untuk dijadikan sebagai sebuah alat bukti. Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat ada keyakinan bahwa gaya tulisan tersebut adalah milik orang yang akan dijerat persangkaan pidana, serta orang yang menganalisa memang orang yang mempunyai keahlian untuk menganalisa sebuah gaya seni tulis menulis. Walaupun pendapat di atas merupakan sebuah pendapat yang lemah tetapi dipandang akan memberikan kemaslahatan yang lebih besar bagi penyelidikan dan penyidikan sebuah perkara pidana. Dalam hal ini sidik jari di-ilhaq-kan dengan gaya seni tulis menulis tadi. Ibarat di atas diperkuat dengan ibarat dari kitab fiqih Islam karya Wahbah Zuhaili yang mengatakan bahwa dalam Madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah juga menggunakan sebuah pertanda atau ciri-ciri khusus untuk digunakan sebagai sebuah alat bukti. Pertanda dan ciri khusus tersebut diantaranya adalah hamil sebagai bukti adanya perzinaan, bau khomr atau minuman keras sebagai bukti telah meminum minuman yang memabukkan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Wahbah Zuhaili mengsyaratkan sebuah pertanda atau ciri-khusus dapat digunakan sebagai alat bukti dengan dua syarat, yaitu: 1) Ciri-ciri atau pertanda tersebut sangatlah jelas dan kuat sehingga memang layak untuk digunakan sebagai sebuah alat bukti. 2) Ada benang merah atau kesinambungan yang kuat antara alat bukti dengan terjadinya tindak pidana tersebut. Dengan pertimbangan dan isykal di atas maka musyawirin menyepakati sidik jari dapat digunakan sebagai sebuah pembuktian dalam perkara pidana. b. Hukum Menimbun Barang Walaupun Bukan Barang Pokok Penimbunan barang-barang komoditi terutama barang-barang pokok seringkali membuat permasalahan yang bisa menimbulkan kelangkaan barang dan harga-harga barang dipasaran menjadi naik. Apalagi ketika menjelang bulan puasa banyak barang-barang kebutuhan pokok ditimbun dan kemudian dijual kembali ketika bulan puasa untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Tentunya penimbunan barang ini dapat merugikan banyak pihak terutama masyarakat sebagai konsumen. Hal ini lah yang kemudian menjadi pembahasan para mubahitsin peserta bahtsul masail pada hari senin tanggal 11 Mei 2015. Dari persoalan penimbunan barang yang sering terjadi di pasar maka kemudian timbullah sebuah pertanyaan; apakah ada aturan yang sangat kongkrit dalam fiqih Islam yang membahas tentang aturan penimbunan ? Dalam pembahasan permasalahan di atas oleh para mubahitsin terjadi diskusi yang mana mereka menyepakati terlebih dahulu untuk membahas definisi penimbunan barang menurut pengertian fiqih Islam. Dalam diskusi tersebut kemudian terdapat satu definisi yang dianggap tepat untuk menggambarkan tentang penimbunan barang, yaitu seperti yang dideskripsikan Imam al-Malibary (tt: 24)dalam kitab Fathul Mu‟in: االحتكار ىو إمساؾ ما اشًتاه يف وقت الغالء ال الرخص ليبيعو بأكثر عند اشتداد حاجة أىل ؿبلو أو غَتىم إليو Terjemahan dari ibarat diatas adalah yang disebut dengan penimbunan barang atau ikhtikar adalah menahan atau menyimpan sebuah barang yang dibeli pada waktu beli harga belinya tinggi (bukan pada waktu murah harganya) dan kemudian akan dia jula lagi dengan harga yang yang lebih tinggi lagi ketika masyarakat membutuhkan. Dari definisi di atas dengan ditambahbeberapa ibarat dari kitab lain setidaknya dapat diklasifikasikan bagaimana sebuah penimbunan itu bisa dikatakan haram, yaitu: 1) Ada unsur imsak, yaitu menahan atau menimbun. Jika tidak unsur niat atau menimbun maka tidak bisa dihukumi haram. 2) Barang yang ditimbun tadi merupakan hasil pembelian. Berbeda bila barang yang disimpan itu hasil dari panen sendiri, maka tidak dihukumi ihtikar yang haram. 3) Pembelian dilakukan pada waktu harga beli mahal. Berbeda bila pembelian dilakukan pada saat harga murah atau harga standar. 4) Barang yang ditimbun merupakan makanan pokok atau yang dibutuhkan masyarakat.Berbeda bila barang yang disimpan itu bukan makanan pokok, maka tidak termasuk haram. Dari hal di atas kemudian para mubahitsin juga meng-ilhaq-kan permasalahan penimbunan barang lain yang bukan barang makanan pokok, seperti bahan bakar motor (BBM), daging, kedelai dan lain sebagainya. Hal ini karena barang-barang tadi sudah berlaku sepeti barang pokok, dan kelangkaan barang-barang tersebut tadi akan dapat menimbulkan efek domino bagi komoditas lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan barang-barang lain akan ikut terkerek harganya menjadi mahal. 2. Produk Hukum Majlis Syawir Berikut ini beberapa contoh hasil produk hukum forum masjlis syawir Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin: a. Implikasi Kemakruhan Ma‟ Musyammas ( )ماء اؼبشمسdalam Penggunaan Air bagi Kehidupan Sehari-Hari. Dalam ibarat kitab Fathul Qarib (Al-Jawy, 2013:17-8) dikatakan: والثاين طاىر مطهر مكروه استعمالو يف.... إذل أف قاؿ.... مث اؼبياه على أربعة أقساـ وإمنا يكره شرعا بقطر حار يف،البدف ال يف الثوب وىو اؼباء اؼبسمش بتأثَت الشمس فيو واختار النووي عدـ، وإذا برد زالت الكراىة، إال إناء النقدين لصفاء جوىرمها،إناء منطبع ويكره أيضا شديد السخونة والربودة،الكراىة مطلقا Dalam ibarat di atas dijelaskan bahwa klasifikasi macam-macam air berdasarkan kesuciannya yang kedua adalah air suci yang menyucikan akan tetapi dimakruhkan penggunaannya. Kemakruhan ini apabila air tersebut digunakan untuk keperluan yang berhubungan dengan tubuh manusia seperti minum, memasak, mandi, berwudlu, dan yang lain sebagainya. Hukum makruh tersebut tidak berlaku apabila penggunaan air untuk selain tubuh manusia seperti menyuci baju, menyiram tanaman, menyuci perkakas rumah tangga dan yang lain sebagainya. Dalam hal ini dicontohkan dari air tersebut yaitu ma‟ musyammas, yaitu air yang menjadi panas karena ada pengaruh sinar matahari. Disyaratkan air panas tersebut dihukumi makruh apabila ketika dipanaskannya tadi teletak dalam sebuah tempat yang terbuat dari logam (besi, baja, alumunium, dan lainnya). Dan hukum makruhnya akan hilang ketika air tersebut menjadi dingin kembali. Alasan dimakruhkannya adalah karena ada hadis yang melarang hal tersebut dan ada kekhawatiran ma‟ musyammasdapat menyebabkan penyakit belang. Apabila kekhawatiran itu tidak terbukti maka hukum makruhnya juga hilang. Oleh karena itu air yang menjadi panas karena matahari dalam sebuah tempat yang tidak ada kekhawatiran dapat menyebabkan penyakit, seperti tempat yang terbuat emas perak, plastik atau tanah maka tidak berlaku hukum makruh. Tetapi dalam hal ini Imam Nawawi berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa hukum ma‟ musyammas adalah mubah secara mutlak karena hadisnya lemah. Termasuk permasalahan yang dimakruhkan adalah penggunaan air yang sangat panas dan air yang sangat dingin, karena dapat menimbulkan sakit bagi orang yang memakainya. Berdasarkan penjelasan di atas para musyawirin mengambil sebuah kesimpulan bahwa penyebab adanya hukum makruh adalah karena air musyammas yang digunakan oleh manusia dapat menimbulkan penyakit. Inilah yang dipandang oleh para musyawirin sebagai illatul hukmi atau wajhul ilhaq. Implikasi dari pemahaman ibarat tersebut sangatlah luas. Implikasi yang dipahami oleh para musyawirin adalah diberikannya sebuah hukum yang sama (makruh) terhadap penggunaan air yang dikhawatirkan berdampak tidak baik bagi kesehatan tubuh manusia. Dalam hal ini musyawirin mencontohkan banyaknya penggunaan air sungai di Indonesia yang banyak tercemar baik karena limbah pabrik maupun dikotori oleh ulah masyarakat sendiri yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, maka hukum menggunakan air tersebut adalah makruh. Selain memberikan hukum makruh terhadap penggunaan air yang tercemar tadi, musyawirin juga memberikan hukum haram kepada tindakan pencemaran lingkungan serta wajibnya hukuman ta‟zir kepada orang yang melakukan pencemaran. Hukum tersebut diberikan karena seseorang yang melakukan pencemaran dapat membahayakan kesehatan orang lain serta dapat menghalangi orang lain untuk melaksanakan ibadah. Dengan demikian, solusi hukum yang diberikan tidak hanya diberikan kepada penggunaan air, tetapi juga bagi pencemaran lingkungan. Melihat penjelasan di atas maka peneliti dapat mengetahui bahwa pemahaman akan sebuah teks yang pada waktu dahulu hanya digunakan untuk sebuah kasus tertentu ternyata dalam sebuah forum majlis syawir dapat dipahami dengan lebih luas lagi. Makna syariat Islam yang luwes serta berlaku universal dapat kita lihat dari contoh penafsiran hukum air di atas. Melalui forum majlis syawir para musyawirin mencoba untuk tidak terbelenggu dengan pemaknaan pada sebuah kasus tertentu, tetapi juga untuk merelevansikan ibarat dengan problematika kontemporer umat manusia. Dari penjelasan di atas juga dapat dipahami bahwa syariat Islam walaupun memerintahkan seseorang untuk melaksanakan ibadah tetapi juga tetap memperhatikan aspek kesehatan bagi orang yang akan melakukannya. Sehingga pelaksanaan ibadah yang diperintahkan oleh syariat Islam tidak akan merugikan diri orang tersebut. Selain itu juga, kesimpulan dari pemahaman ibarat di atas juga sesuai dengan salah satu dari maqasidus syariah yaitu hifdhul badan dengan cara menjaga dan merawat tubuh seorang manusia. b. Perintah Untuk Melaksanakan Ibadah Tidak Boleh Dibarengi Dengan Pelanggaran Terhadap Hak Orang Lain Dalam ibarat kitab Fathul Qarib(Al-Jawy, 2013:21) dikatakan: وترؾ اؼبصنف قسما خامسا وىو اؼباء .... إذل أف قاؿ.... اؼبياه على أربعة أقساـ اؼبطهر اغبراـ كالوضوء دباء مغصوب أو مسبل للشرب Dalam ibarat di atas dijelaskan bahwa termasuk klasifikasi pembagian air yang kelima adalah air suci mensucikan yang haram digunakan untuk kegiatan apapun. Dalam hal ini dicontohkan menggunakan air suci tetapi hasil dari ghasab untuk wudhlu. Walaupun wudhlu orang tadi dapat dikatakan sah untuk melaksanakan ibadah, tetapi orang tersebut dikenakan dosa karena melakukan maksiat dengan menggunakan air yang bukan haknya untuk berwudhlu. Selain air suci hasil ghasab, termasuk yang diharamkan lagi adalah berwudhlu dengan air yang yang memang ditujukan untuk tujuan kemaslahatan tertentu selain berwudhlu atau bersuci seperti air yang dikhususkan untuk minum. Berdasarkan penjelasan di atas para musyawirin mengambil sebuah kesimpulan bahwa perintah untuk melaksanakan ibadah tidak boleh dibarengi dengan pelanggaran terhadap hak orang lain dan kepentingan umum. Inilah yang kemudian disepakati sebagai sebuah illatul hukmi atau wajhul ilhaq. Syariat Islam tidak pernah mengajarkan pelanggaran terhadap hak orang lain dan kepetingan umum. Bahkan perintah untuk beribadah kepada Tuhan pun tidak boleh sampai merugikan orang laindalam pelaksanaannya. Hak dan kepentingan seseorang dalam Islam sangatlah dijaga dan dihormati. Inilah yang juga menjadi tujuan dari agama Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan mengatur hubungan antara sesama manusia. Pelanggaran terhadap hak orang lain dan kepentingan umum dengan mengatasnamakan agama sangatlah tidak dibenarkan. Karena sejatinya agama tidak pernah mengajarkan seperti itu. Oleh karena itu musyawirin mencontohkan latihan rebana yang selama ini dilaksanakan oleh para santri agar selanjutnya tidak sampai melebihi waktu jam 10 malam. Hal tersebut dikarenakan akan dapat mengganggu waktu istirahat masyarakat atau tetangga sekitar pesantren. Melihat penjelasan hasil majlis syawir di atas maka peneliti dapat melihat bahwa teks ibarat yang menerangkan tentang pembagian macammacam air ternyata juga memuat tentang sebuah pemahaman dasar bagaimana seseorang itu seharusnya beragama dan bermasyarakat. Larangan penggunaan air yang bukan haknya walaupun untuk tujuan sebuah ibadah menunjukkan bahwa Allah pun sebenarnya tidak mau disembah dengan sebuah kemaksiatan, karena dalam ibadahnya orang tersebut melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain. Islam sebagai sebuah agama yang penuh kasih sayang tentunya menginginkan sebuah ibadah dijalankan dengan penuh kasih sayang tanpa menimbulkan kebencian terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu maqashid syariah, yaitu hifdzuddin yang maksudnya adalah untuk tidak mengatasnamakan agama dalam menjustifikasi kepentingan atau ambisi pribadi seseorang. BAB IV RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI INDONESIA Ahmad Baso (2013:230) mengatakan bahwa konstruksi orang-orang pesantren tentang pengetahuan mereka berorientasi pada faidah dalam proses istifadah (pengolahan pengetahuan). Hal itu bermaksud pada soal relevansi, kebermaknaan dan kebermanfaatan teks-teks dan pengetahuan tersebut bagi usernya, yakni bagi komunitasnya. Karena dari sini kemudian kita bisa melihat arah yang ingin dituju, yaitu terbentuknya suatu bentuk pengetahuan amali,pengetahuan yang tidak hanya bermanfaat bagi pemiliknya, tetapi juga dapat terpraktekkan bagi orang lain. Pengetahuan pesantren menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya, untuk berguru kepada para kiyai dan ulama‟, menjadi santri, atau minimal hanya sebatas sebagai mustami‟. Masyarakat melihat sesuatu yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka sehari-hari, untuk kepentingan kemaslahatan mereka di dunia ini dan dan untuk keselamatan di akhirat kelak. Pengolahan ilmu pengetahuan di pesantren ini pun melibatkan aktor-aktor dan partisipan yang luas. Bahkan dalam hal ini orang desa pun mempunyai hak untuk ikut bergabung (Baso, 2013:235). Dalam bab inilah diuraikan bagaimana kontruksi ilmu pengetahuan pesantren melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir diorientasikan oleh komunitasnya untuk sebuah kebermanfaatan bagi komunitasnya dan bagi masyarakatnya, bahkan negaranya. Kontruksi tersebut merupakan bentuk relevansi metode tersebut dalam menjawab tuntutan zaman dan dalam memecahkan problematika kontemporer dan permasalahan sosial yang ada. Dalam kontek ini, peneliti mengfokuskan relevansi dua metode tersebut kepada 6 pembahasan, yaitu: A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara Pengembangan ilmu pengetahuan oleh pesantren atau komunitas nahdliyyin dengan tradisi bahtsul masail dan majlis syawir merupakan kelanjutan dari pelestarian turats islamidalam bentuk tulisan dan lisan. Setelah melalui sebuah pengolahan maka ilmu pengetahuan tadi dimanfaatkan oleh siapapun untuk menjawab persoalan keagamaan dan kemasyarakatan melalui kelembagaan fatwa yang oleh pesantren dinamakan dengan LBM. Dalam konteks ini yang banyak bermain dalam berproses pengolahan dan konstruksi ilmu pengetahuan ini adalah komunitas santri dan ulama‟. Khazanah keilmuan melaui proses ini menjadi sebuah korpus (nushush) baru dalam dalam tradisi fiqih sosial (fiqih ijtima‟i) yang kemudian menjadi salah satu khazanah khas keilmuan Islam Nusantara (Baso, 2013:235). Khazanah keilmuan ini mempunyai ciri khas yang terletak pada kecenderungannya untuk merangkul pasrtisipasidari masyarakat (mustami‟). Dalam setiap proses pengolahan keilmuan ini oleh orang-orang pesantren dan komunitasnya kemudian dianalisa, disajikan, dibaca, diperdengarkan, dipertunjukkan hingga didesain ulang. Keilmuan tersebut selalu terbentuk secara baru dan konstekstual. Sehingga metode ini memang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat dan dapat bermanfaaat serta menjadi solusi bagi mereka. Dalam pesantren sangat terkenal sekali sebuah kaidah al muhafadzatu ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bil jadidi al-aslah, yaitu memelihara dan melestrasikan hal yang baik yang menjadi warisan ulama‟ dan mengambil hal-hal yang lebih baik yang terjadi setelahnya. Dalam proses pengolahan ilmu pengetahuan pesantren melaui bahtsul masail dan majlis syawir ini, ada unsur mukhafadzah yang dilakukan oleh para santri dan ulama yang mana mereka mengolah pengetahuan yang ada dalam kutub mu‟tabarah. Selain itu ada unsur alakhdzujuga yang diperankan oleh kalangan mustami‟, yang selalu setia menunggu akan pengetahuan pesantren yang selalu, aktual up to date, konstekstual dan inovatif. Tradisi bahtsul masail dan masjlis syawir ini lah yang membantu memperkaya pengolahan ilmu pesantren untuk selalu aktual dan berproses tiada henti (Baso, 2013:262). Kelebihan dari metode bahtsul masail dan majlis syawir adalah dalam proses pengolahan konstruksi pengetahuan yang mana para musyawirin dan mubahitsin mengajak pastsipasi masyarakat sebanyak-banyaknya untuk ikut memberikan pertanyaan dan masukan. Dengan demikian maka proses akhir dari pembahasan yang dilakukan memang tepat guna bagi masyarakat sehingga relevansi dari metode tersebut memang benar-benar terpenuhi untuk menjawab problematika kontemporer umat Islam. Tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat maka akan sulit mendapatkan informasi yang aktual dan konstektual, yang mana hal ini juga akan menyulitkan dalam pelaksanaan diskusinya. Dengan adanya halhal yang demikian maka metode ini menjadi sebuah metode tersendiri, dan menjadi ciri khas dari salah satu khazanah keilmuan di negara Indonesia ini. Partisispasi masyarakat seperti inilah yang selama ini sudah dapat diterapkan dalam pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. LBM di pesantren tersebut yang didirikan dengan tujuan utama untuk ikut menjawab berbagai problematika keagamaan dan memberikan solusinya telah mendorong masyarakat juga ikut berpartisipasi aktif dalam forum tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan yang ditanyakan oleh masyarakat baik itu melalui LBM sendiri, melalui pengasuh maupun alumni untuk kemudian didiskusikan. Selain itu juga, peran LBM ini tidak hanya terhadap masyarakat di lingkungan pesantren tetapi juga ikut berpartisipasi mendiskusikan permasalahan yang menjadi isu nasional maupun internasional. Partisipasi diatas dapat dilihat dengan melihat hasil produk hukum baik itu produk hukum bahtsul masail maupun majlis syawir. Produk hukum yang dihasilkan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin kebanyakan adalah hasil diskusi terhadap berbagai permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat, baik itu berkaitan dengan fiqih, sosial, ideologi, politik, dan lain sebagainya. Beberapa produk hukumnya juga ikut membahas terhadap berbagai isu-isu nasional baik dalam perkara pidana maupun perdata. Contoh dari produk hukum yang membahas isu nasional adalah terkait dengan penimbunan barang seperti yang telah peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya. Sisi lain dari keilmuan islam nusantara yang terdapat dalam metode tesebut adalah keikut sertaan pesantren lain dalam mendiskusikan berbagai persoalan yang ada dalam sebuah forum yang sama. Forum ilmiah yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin tersebut digunakan untuk menjalin tali silaturrahmi antar Pondok Pesantren. Dengan digelarnya event bahtsul masail diniyyah kubradimanfaatkan sebagai tempat untuk saling mengenal dan saling menyambung tali silaturrahmi antar pondok pesantren yang ada di belahan bumi Indonesia, utamanya di wilayah Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kota Salatiga, serta mempererat ukhuwah Islamiyah alaahlussunah wal jama‟ah diantara pondok pesantren yang ada. B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai yurisprudensi, fiqih memiliki sistematikanya sendiri.Fiqih tidak berdiri sendiri karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukum agama. Dari sanalah kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi halhal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaedahkaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih. Belum lagi ilmu-ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis serta ilmu-ilmu bahasa arab yang semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat keputusan hukum (Mahfudz, 1994:21-22). Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya memungkinkan dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau komponen Islam yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti (Mahfudz, 1994:2223). Hal di atas lah yang dipraktekkan oleh para santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin melalui LBM dalam membangun fiqih yang konseptual dan aktual serta dapat diaplikasikan oleh khalayak awam tanpa keresahan. Pembangun fiqih tersebut dilakukan melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir yang dilakukan para santri. Melalui kedua forum tersebut kemudian terjadilah ijtihad jama‟i atau ijtihad secara kolektif yang dilakukan oleh komunitas santri dan kiyai serta melibatkan masyarakat. Tetapi istilah ijtihad jama‟i untuk menghasilkan sebuah produk fiqih baru yang dilakukan didalam forum tersebut tidaklah terlalu banyak digunakan. Karena komunitas tersebut lebih sering menggunakan istilah istinbath al-ahkam. Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan nahdliyyin bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan al-Hadis. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbathlangsung dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama nahdliiyin masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama nahdliyyin yang telah mampu memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27). Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28). Pembangunan fiqih Indonesia yang aktual dan kontekstual diperlihatkan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin melalui proses pembentukan hukum baik itu dengan metode bahtsul masail atau majlis syawir, maupun yang diperlihatkan dalam produk-produk hukum yang dihasilkan. Proses pembentukan hukum yang diperlihatkan oleh LBM adalah dengan mengajak partsipasi aktif masyarakat dari berbagai kalangan. Partisipasi tersebut dimaksudkan agar permasalahan yang didiskusikan antinya adalah memang benar-benar menjadi solusi bagi masyarakat nantinya. Dengan demikian maka kontekstualitas dari hasil produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir memang benar-benar terjaga. Pembahasan berbagai permasalahan yang menjadi isu baik nasional maupun internasional melalui bahtsul masail dan majlis syawir merupakan bukti akan eksistensi LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dalam menangkap berbagai permasalahan yang aktual. Dengan memahami permasalahan yang ada maka produk hukum yang dibentuk memang tidak mengalami keterlambatan zaman. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat berbagai produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir yang aktual dan konstektual. Salah satu produk hukumnya adalah tentang pelaksanaan ibadah tidak boleh dibarengi dengan pelanggaran terhadap hak orang lain seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya. Produk hukum tersebut dapat digunakan untuk menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi di akhir-akhir ini dimana terdapat sebagian orang yaang mengatasnamakan agama untuk menjustifikasi kepentingan atau ambisi pribadinya. C. Sosial Problem Solving Fiqih yang dipahami nahdliyyin dalam pengertian terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil tafshili adalah fiqih yang diletakkan pembentukannya; oleh al-Qur‟an, para perintisnya al-Sunnah, (mujtahidin) Ijma‟ dan pada Qiyas. dasar Dalam pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbabun nuzul bagi ayat al-Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan muktamar nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas oleh syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga masalah tersebut dapat menjadi jelsa. Kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu, melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum (Mahfudz, 1994:30-33). Dari definisi fiqih yang dibahas di atas setidaknya terdapat tiga subtansi dasar yang sangat krusial. Pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu fiqih sangat rasional, mengingat ilmu fiqih adalah ilmu iktisabi (ilmu yang merupakan hasil kajian, analisis, penelitian, generalisasi dan konklusisasi). Disinilah terjadi kontak sinergis antara sumber transendental (adillah) dan rasionalitas (mujtahid). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, real action, atau biasa dikatakan amaliyyah, yaitu bersifat praktis sehari-hari (Asmani, 2007:55). Dari sini bisa dilihat bahwa fiqih sendiri adalah ilmu yang rasionalanalitis. Oleh sebab itu para pengkaji fiqih harus mengoptimalkan rasio dan analisanya, dengan tidak menjadikan fiqih hanya sebagai doktrin yang bersifat dogmatik, tidak bisa berubah, rigit, dan eksklusif atau tertutup. Fiqih juga harus berhubungan secara erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar sesuai dengan tuntunan agama. Perilaku manusia tidak hanya terbatas pada wilayah ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan, dan kebudayaan. Fiqih harus tampil menjadi solusi terhadap problem sosial tersebut. Dengan itulah fiqih menjadi aktual dan relevan dengan kebutuhan dan tantangan zaman (Asmani, 2007:55-56). Menurut KH. Sahal Mahfudz, dengan analisis dan kepekaan yang tinggi maka kitab kuning yang banyak mendokumentasikan produk-produk hukum fiqih dapat digunakan sebagai referensi utama untuk membaca realitas kekinian. Kitab kuning mampu dijadikan sebagai referensi karena ternyata juga banyak orangorang barat yang mengambil referensi dari kitab kuning, mengapa kemudian umat Islam sebagai pemegang warisan yang sah jutru menelantarkannya. Justru ini lah yang menurut beliau kemudian menjadi ironi dan menjadi fenomena akhir-akhir ini (Asmani, 2007:35). Aktualisasi dan kontekstualisasi fiqih dalam kitab kuning harus dilakukan sebagai bentuk keyakinan akan relevansi kitab kuning terhadap perkembangan zaman. Menurut beliau, kalau konsep yang ada dalam kitab kuning dikatakan out of date, tidak sesuai dengan perkembangan zaman sangat tidak bisa diterima. Dalam kitab kuning banyak sekali dijumpai referensi metodologis yang sangat potensial dikembangkan menjadi sebuah epistimologi dan metodologi ilmu pengetahuan. Hal ini seperti banyak sekali ditemukan dalam kitab kuning yang membahas tentang ilmu munadzarah, atau ilmu diskusi. Hal-hal semacam inilah yang secara serius untuk diaktualkan kembali menjadi sebuah konsep sosial yang up to date, tetap relevan dengan dinamika zaman (Asmani, 2007:35-36). Tentang pemahaman syariah agar dapat dipahami secara aktual kontekstual (muqtadha hal) ini memang memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara hal-hal yang konstektual. Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada, maupun di dalam mekanisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim yang dilahirkan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:43-45). Sehingga dengan demikian maka peneliti bisa menyimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul masail (LBM)yang berperan dalam aktualisasi dan kontekstualiasai syariat dapat berperan sebagai lembaga aduan hukum syar‟i. LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin dalam hal ini berperan sebagai media alternatif bagi masyarakat untuk mengadukan masalah syar‟i yang belum mereka pahami secara jelas. Seperti pengalaman LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang telah ada, kebanyakan pertanyaan yang masuk adalah seputar masalah yang kontemporer yang berasal dari masyarakat, sehingga memang harus dicarikan solusi hukumnya. Selain itu juga, menurut peneliti LBM telah berperan dalam melindungi dan mengayomi masyarakat. Peran utama yang telah dilakukan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Karena tanggung jawab lembaga ini sebagai sebuah organisasi yang mengurusi masalah umat dan berkompeten dalam hukum syar‟i, dituntut baginya harus selalu siap siaga dan menyajikan hukum syar‟i yang up to date yang diperlukan oleh masyarakat, agar masyarakat selalu berada pada jalan yang lurus yang diridhai oleh Allah SWT. Dan yang tidak kalah pentingnya, LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin telah berperan sebagai jaringan penghubung masyarakat dengan ulama‟. Terkadang masyarakat bingung ketika mereka menghadapi suatu masalah syar‟i dan harus diadukan kepada siapa. Dalam tataran hidup bermasyarakat yang berperan penting dalam menanggapi persoalan umat tersebut seharusnya adalah seorang tokoh ulama‟ (kiyai). Tetapi kebanyakan masyarakat beranggapan berbeda. Mereka beranggapan bahwa seorang kiai itu berkarisma tinggi dan berbeda kelas darinya, sehingga rasa canggung dan takut untuk mengadu itu muncul. Dengan adanya LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ini telah menjadi solusi bagi masyarakat untuk bisa mengutarakan masalahnya tanpa perlu adanya rasa canggung dan takut. Permasalahan tersebut akan ditampung dan akan dibahas serta dicarikan solusi hukumnya melalui forum bahtsul masail dan majlis syawir. Salah satu produk hukum dari LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang berkaitan dengan sosial problem solvingadalah tentang penggunaan ma‟ musyammasseperti yang telah peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya. Produk hukum dari metode majlis syawir tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari teks kitab fathul qarib untuk menjawab berbagai problem sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam produk hukum tersebut dijelaskan bagaimana seharusnya masyarakat harus hidup sehat dan bersih, serta kewajiban bagi manusia untuk menjaga lingkungan. Selain itu juga diberikan penjelasan bagaimana sebuah perintah untuk melaksanakan ibadah tidak akan pernah menimbulkan kerugian bagi orang yang melaksanakannya. D. Legislasi dan Formalisasi Syariat Islam Tasyri‟ Islami (legislasi hukum Islam) sebenarnya adalah usaha penetapan hukum yang berperadaban dan humanis dalam lingkup batas-batas hukum Allah. Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam kondisi tertentu hukum dapat diberlakukan tepat berada pada batas-batas tertentu. Meski demikian, mayoritas penetapan hukum akan berada di dalam atau di antara batas-batas hukum Allah. Kecenderungan inilah yang menjadikan tasyri‟ Islami bersifat lentur (hanifi) atau selalu berkembang mengikuti kecenderungan, perilaku, dan adat istiadat manusia serta tingkat peradaban mereka dalam sejarah, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik (Syahrur, 2012:211). Formalisasi ajaran Islam seperti yang dikatakan Gus Dur adalah “… membantu kemapanan masyarakat dimana kaum muslimin bisa melaksanakannya baik secara individual maupun kemasyarakatan” (Asmani, 2007:4). Sebagai ganti dari institusi-institusi politik, strategi ini bercita-cita membangun sebuah komunitas yang menjunjung tinggi tata hukum, bebas dari tekanan, membangun kerangka kenegaraan yang demokratis, pembagian kekayaan negara yang adil dan sebagainya. Tujuan-tujuan ini tidak dicapai melalui jaringan politik, melainkan kampanye kultural untuk membuat masyarakat sadar tentang kemampuan yang ada pada diri mereka untuk menentukan nasib. Institusi-intitusi sosial yang akan dibangun bersifat kultural, meskipun dengan wajah sosial ekonomi, ditambah dengan kesadaran politik tentang kekuatan masyarakat untuk mentransformasikan kehidupan mereka. Melalui forum bahtsul masail dan majlis syawir yang dilaksanakan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, peneliti melihat bahwa para santri dan kiyai berusaha melakukan legislasi dan formalisasi syariat Islam. Hal itu mereka mereka tunjukkan membentuk hukum syariat Islam yang humanis dan berperadaban seperti yang dapat dilihat dalam produk-produk hukumnya. Humanisme yang ditunjukkan disitu adalah dengan berpihak kepada masyarakat. Selain itu mereka berusaha untuk membantu kemapanan bagi kehidupan masyarakat. Sehingga dengan demikian makna legislasi dan formalisasi tidak melulu dimaknai sebagai Islamisasi sebuah perundang-undangan. Pengetahuan kaum santri seperti yang ditunjukkan dalam tradisi fiqihnya sangatlah membumi dan menghujam sampai ke akar-akar sosial masyarakatnya. Pengetahuan mereka mewakili darah dan keringat orang-orang bawah, yaitu suara masyarakatnya. Mereka memahami betul bahwa fiqih merupakan perpaduan antara suara ulama dan suara masyarakat. Sejarah fiqih adalah sejarah ulama dan orang-orang kebanyakan. Dalam praktiknya sehari-hari, fiqih adalah ilmu mustadl‟afiin yang menampilkan suara-suara mereka sebagai fail(pelaku). Sebagai fail, ada celah dan kesempatan bagi orang-orang kebanyakan untuk bersuara dan beroposisi. Kaum santri hadir sebagai jembatan untuk mempedengarkan suara-suara perih itu kepada penguasa dan kalangan elit. Fiqih pula yang memungkinkan suara-suara lirih dan perih itu diperdengarkan dari bawah ke atas. Bagi kaum santri, fiqih adalah jendela untuk melihat dunia ini, dan juga untuk mengkoreksinya. Tanpa fiqih, pemahaman dan pengetahuan mereka tentang kondisi sekitarnya dan konteksnya tidak akan bisa berarti(Baso, 2013:183). Dalam menghadapi eskalasi formalisasi dan Islamisasi, fiqh dapat digerakkan tampil kedepan untuk memberikan pencerahan kepada umat bahwa fiqh tidak mempunyai ambisi menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif negara, tapi sebagai etika sosial. Formalisasi dan Islamisasi berpotensi besar terjadinya politisasi syari‟at demi kepentingan segelintir elit. Selain itu, formalisasi Islam membutuhkan gerakan kolosal, berupa penyadaran psykologispersonal, kedalaman spiritualitas religiusitas, kecerdasan pendidikan masyarakat, kolektifitas, dan harmoni sosial. Artinya, gerakan formal harus didahului oleh gerakan kultural. Sebaik apapun Perda Syari‟at, kalau proses pembumiannya berjalan cepat, main paksa, serta melalui aparat kepolisian, maka aplikasinya tidak akan membawa penyadaran sosial, tidak berumur lama, dan justru masyarakat akan merasakan Perda Syari‟at sebagai „hantu‟ disiang bolong, menyeramkan, menakutkan, menghegemoni, dan terkesan anarkis-represif( Asmani, 2007:108109). Dalam konteks inilah, sangat mendesak untuk menggeserkan paradigma dari fiqh formalistik yang menekankan formalisasi, menjadi fiqh yang menjadi etika sosial, fiqh yang nilai-nilai dan ajaran-ajarannya terinternalisir dan terkulturalisasi dalam hidup keseharian masyarakat. Mencontoh Wali Songo yang sukses mengislamkan masyarakat Jawa dengan budayanya adalah contoh riil mengenai pentingnya menjadikan fiqh sebagai etika sosial lewat instrumeninstrumen budaya yang bisa diterima masyarakat secara tulus, tanpa paksaan struktural.Secara metodologis, hal ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum dalam illat hukum. Atau dengan kata lain sudah saatnya mengintegrasikan pola pemahaman qiyasi murni dengan pola pemahaman yang berorientasi pada maqasid al-syari‟ah( Asmani, 2007:110). Formalisasi dan legislasi syariat Islam yang bermakna sebagai pembentuk etika sosial seperti itulah yang selama ini telah diperankan oleh LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin melalui metode bahtsul masail dan majlis syawir. Hal ini dapat dilihat dari produk hukum yang telah peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya. Dalam produk-produk hukum tersebut terlihat jelas bagaimana LBM tidak hanya berusaha untuk memberikan sebuah jawaban dari sebuah permasalahan, tetapi juga berusaha untuk memberikan solusi dan arahan agar kehidupan dan etika masyarakat menjadi lebih baik. Contoh dari hal tersebut adalah dalam permasalahan ma‟ musyammas yang mana LBM mengarahkan msayarakat agar lebih beretika dengan alam dan lingkungannya. Selain itu, pembentukan etika sosial juga terlihat dalam pembahasan wudlu dengan menggunakan air yang bukan haknya. Etika sosial dalam permasalahan tersebut yang ingin dibangun adalah penghormatan kepada hak orang lain, dan larangan untuk melanggarnya walaupun itu untuk kepentingan ibadah pribadi seseorang. Selain pembentukan etika sosial, kedua metode tersebut juga berfungsi untuk menjembatani pemahaman antara legislasi yang dibuat oleh manusia dengan yang telah ditentukan oleh fiqih Islam. Hal ini bisa dilihat dalam pembahasan sidik jari sebagai salah satu pembuktian dalam perkara pidana. Walaupun pada mulanya sidik jari tidak bisa diterima sebagai alat pembuktian, tetapi kemudian dapat disepakati untuk menerimanya. Penerimaan tersebut dilakukan karena ada manfaat yang besar jika dilaksanakaan. Bahkan jika pembuktian dengan sidik jari tidak diterima maka akan dapat menimbulkan madharat yang lebih besar seperti yang peneliti jelaskan dalam bab sebelumnya. Peneliti berpandangan bahwa agar formalisasi dan legislasi seperti diatas dapat terwujud dengan baik, maka untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Formaslisasi dan legislasi bukan bermakna sebagai Islamisasi peraturan perundangan-undangan, tetapi bermakna untuk membentuk hukum syariat Islam yang humanis dan berperadaban. Selain itu mereka berusaha untuk membantu kemapanan bagi kehidupan masyarakat. 2. Formalisasi dan legislasi syariat Islam selain bertujuan untuk membentuk etika sosial agar menjadikan masyarakat yang lebih baik, tetapi juga bertujuan untuk mengintregasikan hikmah hukum dan illat hukum dalam pembentukan peraturan perundang-perundangan yang ada. 3. Metode pelaksanaan formalisasi syariat Islam harus dilakukan dengan cara humanisasi, yaitu penuh dengan kelembutan, kesopanan, ketinggian moral, dan mengedapankan keteladanan. Selain itu juga harus menghindari sikap fanatisme, primordial, ekstrem, fundamentalisme, dan gerakan teror radikal. 4. Bahtsul masail dan majlis syawir harus selalu memahami konteks zaman, budaya yang berkembang di dalam masyarakat serta tradisi dan ajaran yang berlaku di negara Indonesia ini agar kontektualitas dalam legislasi dan formalisasi syariat Islam dapat tercapai. 5. Mubahitsin dan musyawirin haruslah produktif dan kreatif dalam memberikan kajian-kajian mereka sehingga masyarakat dapat mengenal mereka dengan baik dan hasilnya banyak diterima dan diminati masyarakat. E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri Seperti yang dapat dilihat dari tujuan bahtsul masail dan majlis syawir serta metode pelaksanaan keduanya dalam bab sebelumnya, maka kedua metode tersebut sangat berperan sekali bagi para santri. Peran tersebut terlihat ketika bahtsul masail dan masjlis syawir dapat meningkatkan intelektualitas dan grafik santri tentang dunia ilmiah. Selain itu juga, kedua metode tersebut berperan dalam memacu mentalitas para santri dalam berbicara dan berargumentasi. Hal ini merupakan modal yang sangat penting untuk melatih para santri yang akan kembali ke masyarakat agar mereka tidak kesulitan dalam mendakwahkan syariat Islam. Bahtsul masail dan majlis syawir dapat mengasah kemampuan diri dalam berijtihad. Bagi santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, mereka dapat mengasah kemampun dirinya melalui forum ini. Selain itu, mereka juga dapat mengetahui sejauh mana diri mereka mampu untuk menelaah, memahami dan mencari hukum dari suatu kasus. Jadi, melalui forum ini dapat digunakan sebagai alat ukur atas keilmuan yang telah mereka dapatkan ketika di pesantren. Menurut KH. Sahal Mahfudz, dengan mengikuti bahtsul masail maka dapat menunjukkan kepada santri akan tantangan keilmuan masa depan pada level yang lebih tinggi. Dari forum itu santri akan introspeksi sejauh mana ilmu yang sudah diperoleh, kelemahan apa saja yang ada, kemudian berjuang habis-habisan bagaimana kelemahan dan kekurangan tersebut bisa dihilangkan dengan semangat belajar, membaca, dan mengkaji secara teliti dan mendalam. Karena dengan semangat yang tinggi itulah maka cita-cita seorang santri dapat dia raih (Asmani, 2007:29). Selain itu juga,melalui kegiatan tersebut para santri baik bagi santri tua maupun santri muda bisa saling bertukar fikiran ketika memecahkan masail yang disodorkan dalam forum Bahtsul Masail. Mereka yang dulunya mengetahui hukum suatu perkara hanya sebatas itu. Namun ketika telah bertemu dalam satu forum maka dapat saling melengkapi dan saling memberi tahu atas argumen yang mereka kemukakan. Disadari atau tidak disadari, melalui forum ini kemampuan berfikir kritis dari para santri akan tumbuh dan wawasan keilmuan yang mereka dapatkan juga akan semakin bertambah. M. Triyono Djablawi (19 Mei 2015), salah seorang alumni pesantren yang pernah mengikuti kegiatan tersebut sebagai peserta mengatakan bahwa bahtsul masail di suatu pesantren dapat memberikan peran bagi pesantren lain. Delegasi dari Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Susukan ini mengisahkan bahwa pada pada tahun 2005 pesantren tempat dia menempuh ilmu mendapatkan undangan bahtsul masail dari Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo. Kemudian dia dan temannya mewakili pesantrennya mengikuti kegiatan tersebut. Karena tertarik dengan sistem dan manfaat kegiatan tersebut maka dia bersama teman-temannya menerapkan progam bahtsul masail di pesantrennya. Yang mendasarinya mengadopsi kegiatan tersebut untuk diterapkan adalah kegiatan tersebut dapat melatih kemampuan para santri dalam memahami kajian kitab kuning. Selain itu, kegiatan seperti juga dapat melatih para santri untuk berani berargumentasi. Salah satu santri yang mengaku mendapat manfaat yang sangat banyak dari bahtsul masail dan majlis syawir adalah M. Nur Syaifullah Khuzain (11 Mei 2015). Mantan ketua LBM ini menjelaskan bahwa sebelum aktif di kegiatan bahtsul masail dia merasakan kesulitan dalam menganalisa dan memahami sebauh teks ibarat. Dari berbagai pejaran yang dia ikuti di madrasah belum banyak membantunya untuk memahami teks-teks kitab kuning. Tetapi setelah dia aktif di LBM maka kesempatan untuk bertukar fikiran antara para santri sangat terbuka lebar. Melalui forum-forum tersebut dia belajar bagaimana memahami dan menganalisa teks-teks kitab kuning. Bukan hanya itu, dia juga belajar bagaimana permasalahan yang berkembang di masyarakat serta belajar bagaimana mencarikan solusinya. Pelajaran seperti itu diakuinya sangat sulit difahami dari sekolah formal di madrasah. Lain lagi cerita Abdul Khamid (13 Mei 2015). Wakil ketua LBM bidang majlis syawir mengisahkan bahwa pada mulanya dia mempunyai kelemahan dalam kemampuan berbicara. Keberaniannya untuk berbicara di depan umum sangatlah kecil. Tetapi melalui forum bahstul masail dan majlis syawir tersebut dia mulai berlaltih diri untuk tampil bicara sedikit demi sedikit. Karena forum tersebut setiap minggunya selalu diagendakan maka kesempatannya untuk berbicara semakin banyak dan semakin sering. Akhirnya sekarang dia merasa sudah memiliki kemajuan dalam berdialektika dan beretorika serta berdebat di depan umum karena manfaat dari forum tersebut, sehingga akhirnya sekarang dia diangkat menjadi wakil ketua LBM. “… nggeh alhamdulillah bahtsul masail kaleh majlis syawir niku katah sanget mbantu kulo kagem saget ngomong teng ngajenge tiyang katah” kata Abdul Khamid di akhir wawancara. F. Forum Penyaluran Ilmu dari Para Ulama’ dan Cendikiawan Muslim Dalam pelaksanaan kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir tidak terlepas dari adanya para ulama‟ dan para cendikiawan yang notabene mereka adalah sebagai peserta diskusi. Melalui forum tersebut para ulama‟dan para cendikiawan yang ada bisa saling mengajukan argumentasinya dalam menanggapi suatu permasalahan antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan begitu sangatlah tampak fungsi ulama‟ antara yang satu dengan yang lain untuk saling melengkapi. Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015) mengungkapkan, bahwa bahtsul masail dan majlis syawir memberikan peran tersendiri bagi para ulama‟. Menurutnya, ilmu yang dimiliki oleh para ulama‟ dan cendikiawan dapat tersalurkan lewat kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Maka dengan ini baik para santri maupun para ulama‟ lain yang hadir dapat memberikan tambahan wawasan. Kemampuan salah satu ulama‟ dalam satu bidang ilmu dapat melengkapi dan membantu ulama‟ lain dalam memecahkan problematika umat. Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa forum bahtsul masail dan majlis syawir bisa berfungsi sebagai wahana untuk sharing keilmuan, karena tidak semua keilmuan stagnan. Maka dengan demikian antara satu ulama‟ dengan yang lainnya bisa saling melengkapi. Luqman Romadlon (17 Mei 2015), salah satu alumni dan kemudian sekarang menjadi tokoh masyarakat Kecamatan Bringin yang pernah mengikuti bahtsul masail mengungkapkan “...ternyata bahtsul masail sendiri bagi saya pribadi membuka beberapa bidang keilmuan yang belum pernah saya pelajari...”. Beliau menjelaskan bahwa bidang ilmu tersebut adalah sebuah sisi keilmuan tentang bagaimana menganalisis sebuah masalah dan kemudian mengkajinya dalam kitab-kitab para ulama‟ salaf. Menurutnya, hal ini merupakan tambahan ilmu yang merupakan modal penting bagi beliau dalam bermasyarakat. Senada dengan Luqman Ramadhan, Ustadz Muhadzib (16 Mei 2015) yang merupakan salah seorang ustadz sekaligus mushohih juga mengatakan bahwa dengan bahtsul masail dan majlis syawir maka kelimuan yang dia miliki dapat dia salurkan. Walaupun juga mengajar di sekolah formal pesantren, beliau mengakui bahwa ada beberapa keilmuan seperti ilmu munadzarah (debat) dan ilmu untuk menganalisa sebuah hukum sangat sulit untuk difahami di sekolah formal. Akan tetapi keilmuan tersebut dapat dia sampaikan dalam forum seperti bahtsul masail dan majlis syawir. Karena dalam kedua forum tersebut selain bisa memberikan teori, beliau juga bisa langsung mempraktekkannya dengan permasalahanpermasalahan konstektual yang dibahas. Salah satu santri yang merasa mendapatkan banyak manfaat dari adanya forum bahtsul masail adalah Ketua LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, M. Aris. M. Aris (11 Mei 2015) mengatakan bahwa dengan banyaknya para kiyai dan cendikiawan yang didatangkan pada forum bahtsul masail maka banyak ilmu yang dapat dia serap. Alasannya berkata demikian karena pada saat kegiatan bahtsul masail digelar baik para kiyai yang didatangkan untuk menjadi mushohih maupun para cendikiawan yang didatangkan sebagai muharrir atau tenaga ahli akan berbicara sesuai dengan konteks keilmuan mereka. Sehingga dengan demikian maka banyak macam ilmu yang dia dapatkan. “pokok‟e bahtsul masail katah sanget mafaate mas kagem kulo kaleh santri lintune” kata M. Aris untuk meyakinkan peneliti di akhir wawancara. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telahdilakukan, maka penelitimenyimpulkan hasil sebagai berikut: 1. Metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin adalah para mubahitsin (peserta bahtsul masail) menganalisa permasalahan yang disodorkan kepada mereka. Kemudian ibarat dari berbagai kitab yang dibawa oleh para mubahitsin dibahas satu persatu untuk dicari ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini adalah dengan cara memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang tidak memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama‟iatau taqrir jama‟iatau ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya taqrir jama‟i tadi juga dapat dilaksanakan setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih. pengambilan sebuah pendapat atau qaul juga harus memperhatikan apakah itu memberikan maslahat serta dapat menjadi sebuah solusi atau tidak. Dengan demikian maka selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Tentunya hal tersebut harus dibarengi dengan pemahaman syariah secara konstekstual. 2. Metode penalaran hukum dalam majlis syawir adalah dengan metode ilhaqul masail bi nadzairiha. Dalam hal ini qari‟ akan membacakan ibarat dari kitab fathul qarib dengan metode bacaan makna gandul pesantren yang tetap memperhatikan kaedah nahwiyyah dan shorfiyyahnya. Ibarat itu kemudian akan dijelaskan oleh qari‟ dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penjelasan yang diberikan oleh qari‟ ini harus memuat beberapa hal, yaitu: f. Penjelasan mengenai makna istilah fiqhiyyah. g. Penjelasan gramatikal arab (nahwu dan sharaf) yang berimplikasi dalam pemahaman ibarat. h. Penggambaran masalah yang dimaksudkan dari ibarat yang dibaca, dan dipraktekkan apabila memang diperlukan. i. Mencari illatul hukmiatau wajhul ilhaq dan hikmah hukum. j. Memberikan gambaran tentang permasalahan apa saja yang memungkinkan untuk dijawab dengan mempergunakan hukum dari ibarat ini. Hal-hal diatas lah yang kemudian menjadi bahan diskusi oleh para musyawirin dan kemudian dijadikan pegangan untuk melakukan penalaran hukum Islam. 3. Bahtsul masail dan Majlis syawir mempunyai relevansi dalam konteks kebermanfaatan dan kebermaknaan kedua metode tersebut di Indonesia. Relevansi kedua metede tersebut di Indonesia adalah: a. Khazanah kelimuan Islam Nusantara. b. Pembangunan fiqih Indonesia yang aktual dan konstektual. c. Sosial problem solving. d. Legislasi dan formalisasi syariat Islam. e. Peningkatan intelektualitasn dan grafik ilmiah bagi para santri. f. Forum penyaluran ilmu dari para ulama‟ dan cendikiawan muslim. B. Saran Setelah melakukan penelitian dan menganalisa hasil yang didapat dari data-data, peneliti bermaksud memberikan saran bagi obyekpenelitian. Dengan adanya saran ini peneliti berharap dapat menjadisebuah rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di masamendatang. Adapun beberapa saran dari peneliti adalah sebagai berikut: 1. Pondok pesantren agar memperhatikan tentang keberadaan kantor LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Dengan adanya kantor LBM maka diharapkan dapat memacu para pengurus dan anggota LBM untuk lebih maksimal dan fokus dalam menangani perkara dan permasalahan yang diajukan oleh masyarakat kepada LBM. 2. Dalam pelaksanaan bahtsul masail dan masjlis syawir diharapakan LBM juga mengundang akademisi untuk menghadiri kegiatan tersebut. Kehadiran akedemisi diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan dan warna yang berbeda dalam kegiatan tersebut. Sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memberikan solusi yang tepat bagi semua kalangan. 3. LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin diharapkan dapat mengkodifikasikan dan menerbitkan hasil-hasil produk hukum pasca pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir. Dengan demikian maka produk hukum tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat luas. 4. LBM Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ikut berperan aktif dalam mengsosialisasikan metode bahtsul masail dan majlis syawir sebagai metode ijtihad kolektif kepada perguruan tinggi danpesantren-pesantren lain. Dengan demikian maka khazanah keilmuan Islam Nusantara ini dapat diwarisi oleh segenap umat Islam di berbagai penjuru tanah air. 5. Media informasi pesantren lebih memperluas jangkauan informasinya tentang hasil produk bahtsul masail dan majlis syawir sehingga dapat memberikan peran yang lebih besar dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. DAFTAR PUSTAKA Al-Bakri, Abu Bakar Al-Masyhur Bissayyid. tt. Hasyiyah I‟anah At-Tholibin „Ala Khalli Alfadhzi Fathul Mu‟in. Surabaya: Darul Ilmi. Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika. Al-Jawy, Muhammad Nawawi Bin Umar. 2013. Quutul Habil Al-Gharib; Tausyih „Ala Fathul Qarib Al-Mujib. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Al-Mubarakfury, Abul Ala‟ Muhammad Abdurrahman Bin Abdurrahim. 1990. Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami‟ At-Tirmidzi. Beirut: Darul Kutub AlIlmiah. Al-Qardhawi, Yusuf. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Penerbit Risalah Gusti. An-Na‟im, Abdullah Ahmed. 2011. Dekontruksi Syariah. Yogyakarta: LkiS Group. An-Nawawi, Muhyiddin. 1994. Shohih Muslim Bi Syarhi Imam Muhyiddin AnNawawi Al-Musamma Al-Minhaj. Beirut: Darul Ma‟rifah. Asmani, Jamal Ma‟mur. 2007. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep Dan Implementasi. Surabaya: Khalista. As-Syatiri, Muhammad Bin Ahmad Bin Umar. 2007. Syarah Al-Yaqut An-Nafis Fi Madzhabi Ibni Idris. Jeddah: Dar Al-Minhaj. Ba‟lawy, Abdurrahaman Bin Muhammad Bin Husain Bin Umar Al-Masyhur. tt. Bughyatul Musytarsyidin Fi Talhisi Fatawi Ba‟dhil Aimmah Minal Ulama‟ Mutaakhirin. Surabaya: Darul Fikr. Baso, Ahmad, 2013. Pesantren Studies Buku II Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmpolitan-Kebangsaannya. Jakarta: Pustaka Afid Departemen Agama. 1995. Al-Qur‟an Dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama. LBM Sirojuth Tholibin. 2013. Presentasi Tentang Sistem Bathsul Masa‟il. Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan bahtsul Masail Di Susukan,.Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Susukan, 19 Mei. LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Khalista. Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. Mustofa & Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika. Said, Muhammad Ridlwan Qayyum. 2006. Rahasia Sukses Fuqaha. Kediri: Mitra Gayatri. Salam, Zarkasji Abdul & Oman Fathurohman. 1994. Pengantar Ilmu Usul Fiqih I. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. Suprayogo, Imam. 2003. Metodologi Penilitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Surachmad, Winarno. 1972. Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: CV Tarsito. Syahrur, Muhammad. 2012. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Elsaqq Press. Yusri, Muhammad. 2008. Audhohul Ibarat Fi Syarhi Al-Mahalli Ma‟a AlWaraqat. Al-Qahirah: Dar AL-Yousr. Wawancara dengan Kiyai Rozi Toha.Sabtu, 09 Mei 2015. Pukul 08.30-12.00 WIB. Di Dusun Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan Kiyai Ulin Nuha.Sabtu, 09 Mei 2015. Pukul 19.30-23.00 WIB. Di Dusun Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan M. Ja‟farin.Senin, 11 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan M. Aris.Senin, 11 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan M. Nur Syaifullah Khuzain.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.3023.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan Mahfudz Fauzi.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan M. Amirudin.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan Abdul Khamid.Rabu, 13 Mei 2015. Pukul 19.30-23.30 WIB. Di Kantor Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan Triyono Djablawi, Minggu. 17 Mei 2015. Pukul 08.30-10.00 WIB. Di Kantor Madrasah Diniyyah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan. Wawancara dengan Luqman Ramadlan, Minggu. 17 Mei 2015. Pukul 15.30-19.00 WIB. Di Desa Pucung Kecamatan Bringin . GLOSARY Ahlussunah Wal Jama‟ah : aqidah yang menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hanbali) dalam bidang fiqih dan menganut pendapat Imam Asy‟ari dan Imam Maturidy dalam bidang aqidah. Al-Kutub Al-Mu‟tabaroh: kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Asilah : pertanyaan yang dibahas dalam bahtsul masail Dalil Nash : dalil yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits. Fail : Pelaku atau subyek Ibarat : teks yang terdapat dalam kitab Ilhaq : menyamakan suatu kasus yang belum di jawab oleh suatu kitab dengan kasus serupa yang sudah dijawab oleh kitab tertentu. Infiradi : individual Istinbath : mengeluarkan hukum syara dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah. I‟tirodl : argumentasi sanggahan. Jama‟i : kolektif Maqoshid Al-Syari'ah : tujuan-tujuan diterapkannya syariat Islam yang berjumlah lima, yaitu menjaga agama, menjaga harta, menjaga diri atau kehormatan, menjaga keturunan, dan menjaga akal. Masail : permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masail Masail Fiqhiyyah Waqi‟iiyah: permasalahan yang berhubungan dengan fiqih yang benar-benar terjadi. Mauquf : masalah yang dihentikan pembahasannya karena tidak ditemukan dasar atau dalilnya. Mubahitsin : orang yang ikut melakukan pembahasan, peserta bahtsul masail. Muharir : tim perumus. Mujawib : peserta bahtsul masail yang memberikan jawaban. Mujtahid : orang yang mempunyai kompetensi untuk berijtihad. Mulhaq Alaih : peristiwa yang telah ditetapkan status hukumnya oleh suatu kitab. Mulhaq Bih : peristiwa yang belum ditetapkan status hukumnya oleh suatu kitab yang kemudian disamakan hukumnya dengan mulhaq bih. Mulhiq : orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ilhaq. Mushohih : lembaga terakhir yang memberikan legislasi atau pengesahan terhadap hasil rumusan bahtsul masail. Musyawirin : orang yang ikut mengadakan musyawarah atau diskusi, peserta bahtsul masail. Nguri-nguri : melestarikan Qath‟i : Hukum yang bersifat pasti yang tidak dapat lagi dilakukan panalaran atau ijtihad terhadapnya. Qauli : pendapat para Imam Madzhab. Sohibul Masalah : orang atau kelompok yang mempunyai problem untukdicarikan solusi stau status hukumnya. Tarjih : mengunggulkan satu pendapat dengan pendapat yang lain dengan memperhatikan qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah. Taqrir Jama‟i : upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul atau wajah. Ukuwah Islamiyah : ikatan persaudaraan Islam. Ubhudiyah : pembahasan yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Wajah : pendapat para Ulama Madzhab. Wajh Ilhaq : keserupaan illat hukum yang terdapat diantara mulhaq alaih dan mulhaq bih. LAMPIRAN-LAMPIRAN Biodata Peneliti Nama Lengkap : Agus M. Najmuddin Huda TTL : Kab. Semarang, 09 September 1989 Alamat : Pondok-Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis Gentan Kec. Susukan kab. Semarang Nomer HP : 085641105781 / 75ED260F Email : [email protected] Website : asatir-revolusi.blogspot.com Riwayat Pendidikan : 1. MI Tamrinul Ulum Jetis 2. MTsN Susukan 3. MA Tajul Ulum Brabo Tanggungharjo Grobogan 4. Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo 5. Al-Ahgaff University Hadhramaut Republik Yaman Fakultas Syariah Wal Qanun (hanya sampai semester 6) 6. IAIN Salatiga Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah Pengalaman Organisasi: 1. Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama (PC IPNU) Kabupaten Semarang 2014-2016 2. Departemen Advokasi & Bantuan Hukum PC GP Anshor Kabupaten Semarang 2015-2020 3. Sekjen Lajnah Lil Buhuts Wat Ta‟lif Al-Ilmiyah (LBTI)Solo Tahun 20112016 4. Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Kota Salatiga 5. Departemen Penelitian & Pengembangan (Litbang) DEMA IAIN Salatiga 2015 6. Direktur Jurnal LPM Dinamika 2014 7. Sekretaris HMJ Syariah STAIN Salatiga 2013 8. Departemen Tavsir JQH Al-Furqan STAIN Salatiga 2013 9. Departemen Penelitian & Pengembangan Jaringan Gerakan Masiswa Anti Korupsi (GEMAK) Kota Salatiga 10. Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) NU Republik Yaman 20092010. 11. Sekretaris Komisi A LBM Pondok Pesantren SirojuthTholibin Brabo 12. Muharir LBM Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis Pengalaman Penelitian 1. Peneliti di Center For Survey Reseach and Data bekerjasama dengan Rabitah Maahid Islam (RMI) Tahun 2013 Wilayah Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Purwodadi. 2. Peneliti & Pemantau Pemilu Governance Reform In Indonesia & LP3ES Tahun 2014 Wilayah Kabupaten Semarang. 3. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Tahun 2014 dengan judul “Pernikahan Dengan Tradisi Jawa Dalam Persepektif Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Dengan Adat Jawa Di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri)”. 4. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Tahun 2014 dengan judul “Tradisi Injak Telur Dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Di Desa Sruwen Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang”. 5. Ketua Tim Penelitian Kompetitif Kolektif Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Tahun 2013 dengan judul “Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad Kolektif Dalam Menjawab Problematika Kontemporer Umat Islam(Studi Kasus Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo Tangggungharjo Grobogan)”. 6. Peneliti Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN Salatiga Tahun 2015. 7. Peneliti Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi (GEMAK) Kota Salatiga. FOTO-FOTO MAJLIS SYAWIR FOTO-FOTO BAHTSUL MASAIL ALUMNI FOTO-FOTO PELATIHAN BAHTSUL MASAIL FOTO-FOTO BAHTSUL MASAIL KUBRO KEPUTUSAN KETUA LAJNAH BAHTSUL MASAIL (BMD) PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III NOMOR : 011/KP/BMD/PPRT/A/VIII/2015 TENTANG TATA TERTIB BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH (BMD) KETUA PENGURUS BAHTSUL MASAIL AD-DINIYAH (BMD) PP RAUDLATUT THOLIBIN I, II, & III Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam peraturan Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III, maka perlu dibuat tata tertib Musyawarah / Bahtsul Masail b. Bahwa tata tertib sebagaimana huruf a, untuk melengkapi ketentuan-ketentuan yang belum diatur secara terperinci dalam keputusan rapat musyawarah Pengurus Bahtsul Masail AdDiniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III tanggal ; 18 Syawal 1435 H / 14 Agustus 2014 M c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a dan b diatas, perlu ditetapkan dengan keputusan Pengurus Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III Mengingat : 1. Dasar ayat Al-Qur‟an surat Asy-Syura‟ ayat 38 َو اَّل ِذ ْي َو ا ْيا َو َو اُبلْي ااِذ َو اِّب ِذ ْي ا َو َو َو ُبالْي ا ا َّل ا.ل ٰول َوا َو َو ْيا ُب ُب ْي ا ُب لْي ٰو ااَو ْي َو ُب ْي ا َو ِذا َّل ا َو َو ْي ٰو َو ُب ْي ا ُب ْي ِذ ُبلْي َوا Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. 2. Dasar Al-Qur‟an Surat Al-Imron Ayat 159. َو ْيا ُب ا َوا ْي ُب ْي ا َو ْيا َو ْي ِذ ْي ااَو ُب ْي ا َو َو ِذ ْي ُب ْي ا ِذ ا ْي َو ْيا ِذا ص ا َو ِذ َوذ ا َوا َوز ْياتَو ا َو َو َول َّلكلْي ا َوا َو اهللاِذا ﺝا ِذ َّل ا ا.هللاَوا ُب ِذ ُّب ا ْيا ُب َو َول ِّبك ِذ ْي َوا Karena itu maafkanlah mereka, maka mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. 3. Hadits Nabi Saw : ”Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang bisa memegang amanat (jujur, ikhlas dan dapat menyimpan rahasia)”. (HR. At-Thabrani). 4. Rasulullah Saw bersabda : “Berlakulah lunak dan saling mengasihi. Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang mempunyai hak mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya pasti orang yang mempunyai tuntutan atas haknya akan lari menjauhi orang yang dituntutnya”. (HR. Buchori). Memutuskan : Menetapkan : Kesatu : Tata Tertib Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. Kedua : Tata Tertib Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III sebagaimana diktum kesatu hanya berlaku untuk Musyawarah/Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III Ketiga : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jetis, Pada tanggal 25 Syawal 1436 H 11 Agustus 2015 M Ketua BMD Muhammad Aris Munandar TATA TERTIB BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH (BMD) PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III TAHUN 1436-1437 HIJRIYAH / 2015-2016 MASEHI PASAL I PESERTA 1. Peserta terdiri dari Pengurus masing-masing Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III dan siswa-siswi „Ulya Madrasah Diniyyah Wustho „Ulya Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin. PASAL II PELAKSANAAN MUSYAWARAH 1. Musyawarah dilaksanakan pada Hari Selasa malam Rabu setiap D sekali dengan tempat pelaksanaan digilir antara Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin I, II & III. 2. Musyawarah dibuka oleh Pengurus Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (BMD) kemudian diserahkan kepada Pimpinan Musyawarah atau Moderator. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. PASAL III TUGAS MODERATOR Memimpin dan menjaga ketertiban musyawarah. Membagi waktu, memberi izin, dan menerima usulan atau pendapat dari peserta musyawarah. Menugaskan kepada pemilik ta‟bir untuk membacakan dan menerangkan kesimpulannya. Memberi tugas kepada pengurus untuk mengambil naskah jawaban dari masing-masing peserta. Mengambil kesimpulan jawaban-jawaban dari peserta musyawarah. Memohon pertimbangan pendapat kepada Dewan Muharrir. Jika masalah selesai, pembacaan Fatihah dan pengesahan diserahkan kepada Dewan Mushohih. Dalam keadaan terpaksa atau dianggap perlu, pemimpin musyawarah dapat menunjuk salah seorang untuk menggantikannya sementara waktu. Menyerahkan waktu kepada Pengurus setelah pelaksanaan musyawarah selesai. 1. 2. 3. 1. 2. PASAL IV KEWAJIBAN PESERTA Menempati tempat yang telah ditentukan 5 menit sebelum musyawarah dimulai. Mengeluarkan jawaban dengan ta‟birnya setelah diberi waktu oleh pemimpin musyawarah. Membaca dan menerangkan ta‟birnya masing-masing serta kesimpulannya. PASAL V TUGAS MUHARRIR Merumuskan dan memberi komentar tentang jawaban yang telah disampaikan oleh semua peserta. Merumuskan jawaban yang telah disepakati oleh peserta. PASAL VI TUGAS MUSHOHIH 1. Meneliti ta‟bir dan jawaban dari semua peserta. 2. Meneliti ta‟bir yang ada sesuai dengan keputusan masalah dan memberi bacaan fatihah atas ta‟bir yang menjadi kesepakatan dan di anggap benar. PASAL VII CARA MENGAMBIL KEPUTUSAN 1. Jawaban masalah dianggap selesai atau sah bila mendapat persetujuan dari semua peserta musyawarah dan Dewan Mushohih. 2. Masalah dianggap mauquf bila dibahas selama 50 menit tidak selesai. 3. Bila dianggap perlu, pembahasan dapat dilanjutkan dengan persetujuan separuh lebih dari peserta musyawarah. PASAL VIII HAK SUARA 1. Peserta dapat menolak jawaban peserta lain melalui pimpinan musyawarah. 2. Untuk mengajukan pendapat, setiap kelompok boleh menyampaikan pendapatnya. PASAL IX LARANGAN 1. Membuat gaduh suasana. 2. Perselisihan pendapat dalam kelompok masing-masing (debat kusir) 3. Merubah pokok masalah yang ada. PASAL X SANKSI 1. Bila peserta tidak mematuhi pasal yang telah ditentukan, dikenakan sanksi berupa peringatan. 2. Jika peserta melakukan pelanggaran lagi, peserta akan diberi sanksi sesuai kebijakan panitia. PASAL XI KETENTUAN TAMBAHAN Keputusan yang belum ditentukan, akan ditentukan kemudian secara sepihak. KEPUTUSAN MUSYAWARAH BAHTSUL MASAIL AD-DINIYYAH (BMD) PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THOLIBIN I, II & III TAHUN 1436-1437 HIJRIYAH / 2015-2016 MASEHI 1. Dewan Mushohih di PPRT I adalah Bapak Muh. Rozi Thoha dan Bapak Muhadzib, di PPRT II adalah Bapak M. Zaid Zuhdi dan PPRT III adalah Bapak Nur „Amrin. 2. Dewan Moderator dan Muharrir adalah segenap Mutakhorijin Madrasah Diniyyah Wustho „Ulya. 3. Petugas pelaksanaan pembukaan (MC) BMD dengan secara bergilir. 4. Memberikan undangan resmi pada setiap PPRT. 5. Pelaksanaan BMD adalah setiap dua minggu sekali dengan tempat bergilir antara PPRT I, II dan III. 6. Waktu pelaksanaan BMD adalah ba‟da isya‟ sampai pukul 23.00 Wist. 7. Setiap kelompok harus membuat soal BMD secara bergilir dan soal yang waqi‟iyyah (aktual) 8. Peserta BMD dikelompokkan dan setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga) orang. 9. Setiap 3 kelompok ada satu orang pembimbing 10. Setiap kelompok diberi soal BMD. 11. Diadakan daftar hadir / absensi setiap pelaksanaan BMD. 12. Jawaban BMD digandakan sebanyak 3 (tiga) lembar dengan perincian sebagai berikut : 1 (satu) untuk Dewan Mushohih, 1 (satu) untuk Muharrir/Moderator dan 1 (satu) untuk pegangan. 13. Dalam menjawab dibaca ma‟khotnya kemudian dimaknai ala pesantren (makna gandul utawi iki-iku) 14. Jawaban jadi BMD ditulis dalam buku besar sekretaris. 15. Final Jawaban BMD dimediakan/tempelkan di PPRT I, II dan III. 16. Diadakan pembukuan hasil bahtsul masail setiap ahir tahun. 17. Peserta yang tidak aktif dalam mengikuti pelaksanaan BMD akan mendapatkan teguran dari pengurus 18. Peserta harus bersungguh-sungguh dan ikut berperan aktif dalam pelaksanaan BMD. 19. Setiap peserta harus berangkat lebih awal dan menempati tempat yang disediakan sesuai dengan papan nama kelompok masing-masing khususnya seksi persiapan. 20. Santri yang Tahfidzul qur‟an ikut serta dalam mengikuti BMD. 21. Diadakan Mushofahah (berjabat tangan) setelah pelaksanaan BMD. 22. Konsumsi pelaksanaan BMD dengan anggaran sebesar Rp. 50.000,-. 23. Iuran Rp. 2.000,- per bulannya, selama 10 bulan. JAWABANBAHTSUL MASAIL AD_DINIYYAH ( BMD ) 2010/2011 PPRT 1. Deskripsi masalah Demi menjaga kelembutan kulit biasanya digunakan hand body, seperti menggunakan hand body placenta yang mana diantara bahan - bahan yang digunakan adalah placenta dari sapi. (bhs jawa. Ari – ari) Pertanyaan 1. Najis / tidak hand body tersebut ? 2. Bagaimana hukumnya menggunakan hand body tersebut ? Jawab Menyikapi pertanyaan ini ada dua pentafshilan, yaitu : 1. Tidak najis dan boleh menggunakannya, apabila ada keyakinan kalau bahan dari hand body placenta yang berupa placenta diambil dengan penyembelihan sapinya secara syar‟i / diambil dalam keadaan penyembelihan anaknya terlebih dahulu / diambil dari anaknya tanpa menyembelihnya kemudian dicampur dengan air yang lebih dari dua qullah. 2. Najis dan tidak boleh menggunakannya, apabila ada keyakinan kalau bahan dari hand body placenta yang berupa placenta diambil dari anak sapi tanpa menyembelihnya. Referensi 1. Al_Asybah Wannadzooir hal. 47 ( perc. Al_Haromain ) 2. I‟anatuth Tholibien juz 1 hal. 104 ( perc. Al_Haromain ) 3. I‟anatuth Tholibien juz 1 hal. 105 ( perc. Al_Haromain ) 4. Tausyih „Ala Ibni Qosim hal. 267 ( perc. Al_Haromain ) 5. Al_Hawasyilmadaniyyah juz 1 hal. 170 ( perc. Al_Hidayah ) ) ( اغبرمُت٤٧ أألشباه والنّظآئر صحيفة وضابطو أف يستند اإلحتماؿ إذل سبب ضعيف وأمثلتهال تكاد.األصص ( والثالث ) ما يرجع فيو األصل على ّ كأواين وثياب مدين اػبمر والقصابُت, ولكن الغالب فيو النجاسة,ربصر منها الشيئ الذى ال يتيقن بنجاستو كما ىف شرح,والكفار اؼبتدينُت هبا كاجملوس ومن ظهر اخطالتو بالنجاسة عدـ اخًتازه منها مسلما كاف أو كافرا إىػ.أصحهما اغبكم بالطهارة إستصحابا لألصل ّ وىف صبيع ذلك قوالف......... اؼبهذب عن اإلمامإذل أف قاؿ ) ( اغبرمُت۱۰٤ األوؿ صحيفة إعانة الطّالبُت اعبزء ّ هارة فيو قوالف معروفاف بقورل األصل,تنجسو لغلبة النّجاسة يف مثلو ن ظ ال على وغلب ّوىي أ ّف ما أصلو الط ّ ّّ ,عمال باألصل للتي ّقن ألنّو أصبط من الغالب اؼبختلف باألحواؿ واألزماف والظاىر أوالغالب أرجحهما أنّو طاىر إذل,صيب وجوخ وذلك كثياب ضبار وحآئض وصبياف وأواين متديُت بالنّجاسة وورؽ بعلب نثره على قبس ولعاب ,الصالح عن اعبوخ الذى اشتهر على ألسنة النّاس أ ّف فيو شحمّ اػبنزير ّ يف اؼبغٍت سئل ابن......... اف قاؿ اىػ. الحيكم بنجاستو إالّ بتحقيق النّجاسة: فقاؿ ) ( اغبرمُت۱۰٥ األوؿ صحيفة إعانة الطّالبُت ّ اعبزءأو اػبل أولنب و أ اؼباء من إناء معو كاف فلو . باليقُت ال إ اؿ ز فالي جاسة الن أو هارة ط ال أو اغبرمة اغبل إذا ثبت أصل ّ ّ ّ ّ ّأودىنويففشك اىػ.زبمره دل حيرـ التّناوؿ يف فشك العصَت من أو سو تنج يف اؼبأكوؿ ّ ّ ّ ّ ) ( اغبرمُت٢٦٧ توشيخ على ابن قاسم صحيفة السمك واعبراد طاىر وما ( وما قطع من حيواف حي ّ فهو ميّت ) اي فهو كميتتو طهارة وقباسة فما قطع من . ّ اىػ.الشاة قبس ّ قطع من كبو ) ( اؽبداية۱٧۰ اغبواشى اؼبدنية اعبزء األوؿ صحيفة األدمي ومشيمتو طاىرة خبالفهما من كبو الفرس ( واعبزء اؼبنفصل من اغبيواف كميتتو ) طهارة وقباسة فيدخل كبو ّ ." حي فهو ميّت ّ للخرب ّ الصحيص " ما قطع من 2. Deskripsi masalah Pada pemilihan Bupati, yang berhak memilih adalah orang yang sudah berumur 17 tahun keatas, dari sebagian yang mempunyai hak pilih, ada yang tidak menggunakannya (Golput ), serta dalam proses pemilihanan, ada dari Calon Bupati yang memberi uang dengan harapan untuk dipilih dan ada yang dengan perjanjian, misalnya : “ Apabila Warga Bakalan memilih Saya ( Calon Bupati ) dan nantinya menang, maka jalan Bakalan akan Saya bangun ”. Pertanyaan 1. Bagaimana hukumnya orang yang memberi & diberi uang serta perjanjian ? tersebut 2. Bagaimana hukumnya orang yang tidak menggunakan hak pilihnya seperti diatas ? 3. Bagaimana Hukumnya gaji yang diterima Bupati dgn cara pencalonannya seperti ?diatas Jawab 1. Hukum memberi dan menerima serta perjanjian seperti itu ada dua, yaitu : 1) Haram apabila dalam memberi serta perjanjian tersebut ada keinginan untuk dipilih 2) Tidak haram apabila sekedar menarik simpatik, tidak mempunyai harapan untuk dipilih. Referensi ) 1) Sullamuttaufieq hal. 74 ( perc. Al_Haromain ) 2) Is‟aadurrofiiq juz 2 hal. 100 ( perc. Al_Hidayah ) 3) Bujairomi „Alal Khotieb juz 3 hal. 218 ( perc. Daarul Ihyak )4) Bughyatul Mustarsyidien hal. 248 ( perc. Daarul Ihyak » سلم التوفيق صحيفة ( ٧٤اغبرمُت ) ( ومنها ) اي من معاصى اليدين ( الضرب بغَت حق ) ( وأخذ الرشوة ) بكسر الرآء وىو ما يعطيو الشخص غباكمأو غَته ليحكم لو أو حيملو على ما يريد ,كذا ىف اؼبصباح .وقاؿ صاحب التعريفات وىو ما يعطى إلبطاؿ حق أو إلحقاؽ باطل ( أو إعطاؤىا ) أى الرشوة لقولو صلى اهلل عليو وسلم :لعن اهلل الراشي واؼبرتشي ىف اغبكم .رواه اإلماـ أضبد والًتمذى » إسعاد الرفيق اعبزء الثّاىن صحيفة (۱۰۰اؽبداية ) فمن أعطى قاضيا أوحاكما رشوة او أىدى اليو ىدية فاف كاف ليحكم لو بباطل أو ليتوصل هبا لنيل ما اليستحقهأو ألذية مسلم فسق الراشى واؼبهدى باإلعطاء واؼبرتشى واؼبهدى اليو باألخذ والرائش بالسعي ،واف دل يقع حكم منو بعد ذلك أو ليحكم لو حبق أو لدفع ظلم أوليناؿ ما يستحقو فسق اآلخذ فقط ودل يأمث اؼبعطى الضطراره للتوصل غبقو بأي طريق كاف » البجَتمى على اػبطيب اعبزء ٣صحيفة ( ٢۱۸دار اإلحيآء) منها اؽببة ألرباب الواليات والعماؿ ألهنا رشوة ،والرشوة حراـ إذا كانت وسيلة احملرـ كإقامة باطالو ترؾ حق ,وإالّ فال ربرـ. » بغية اؼبسًتشدين صحيفة ( ٢٤۸دار اإلحيآء) اغبل والعقد من العلمآء والرؤسآء ووجوه الناس الذين يتيسر اجتماعهمأو باستخالؼ تنعقد اإلمامة إما ببيعة أىل إماـ قبلو أوباستيالءذى الشوكة ّواف ختلت فيو الشروط كلها فحينئذ من اجتمعت فيو الشروط الّىت ذكروىا ىف متوؿ بالشوكة فلو حكم اإلماـ األعظم ىف عدـ انعزالو بالفسق. اإلماـ األعظم فهو إماـ أعظم وإالّ فهو ّ 2. Boleh-boleh saja karena memilih pemimpin itu fardlu kifayah sekiranya sudah ada yang memilih maka yang lainnya tidak mengapa untuk tidak memilih. Referensi : ) 1) Al_ Ahkamussulthoniyyah hal. 04 ( perc. Al_Hidayah » األحكاـ السلطانيو.ص (.٤اؽبداية ) ( فصل ) فإذا ثبت وجوب اإلمامة ففرضها على الكفاية كاعبهاد وطلب العلم فإذا قاـ هبا منهو ِمن اىلها سقط لألمة. فرضها على الكفايةوإف دل يقم هبا احد خرج من الناس فريقاف :احدمها أىل اإلختيار ّ حىت خيتاروا إماما ّ األمة يف تأخَت اإلمامة والثاين أىل اإلمامة ّ حىت ينتصب احدىم لإلمامة وليس على من عداىذين الفريقُت من ّ حرج وال مأمث وإذا سبيّز ىذاف الفريفاف من األمة يف فرض اإلمامة وحج اف يعترب كل فريق منهما بالشروط اؼبعتربة فيو. 3. Hukum gaji yang diterima oleh Bupati dengan cara pencalonannya tersebut ada dua, yaitu : 1) Haram apabila bahwa dari pencalonan tersebut asalnya dengan cara yang haram maka gajinya pun juga haram. Referensi : 1. Tafsir jalalain 2. Al_Asybah Wannadzooir hal. 105 ( perc. Al_Haromain ) تفسَت جاللُت )كالسرقة والغصب (و) ال (تدلوا شرعا اـ ر اغب ) بالباطل ( بعض ماؿ بعضكم يأكل ال اى ) الكم و (والتأكلوا من أم تلقوا (هبا) اى حبكومتها او باألمواؿ رشوة اذل اغبكاـ لتأكلوا بالتجادل (فريقا) طائفة ّ(من أمواؿ الناس) متلبسُت .(باإلمث وأنتم تعلموف) انكم مبطلوف ) ( اغبرمُت۱۰٥ أألشباه والنّظآئر صحيفة . او خالف القواعد الكليّة، قاؿ القراضى.(خاسبة) ينقض قضاء القاضى إذا حالف نصا او اصباعا او قياسا جليّا . او كاف حكما ال دليل عليو،قاؿ اغبنفيّة 2). Boleh apabila antara keharoman suap tersebut tidak ada kaitannya dengan gaji. yang di contohkan antara sholat dengan perkara ( seperti baju ) yang hasil dari ghosob yang keduanya tidak ada kaitannya. Referensi : » Syarah Nawawi „Ala Shohihi Muslim. Hal. 58-59 ( perc. Al_Haromain ) ) ( اغبرمُت٥۹ -٥۸ شرح النواوى على صحيص مسلم صحيفة .ا ّف الصالة ىف الدار الغصوبة صحيحة يسقط هبا الفرض وال ثوب فيها 3. Deskripsi masalah Sebagaimana terdapat didalam sebagian kitab-kitab ditulis : ” Dilarang memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit, hak cipta dilindungi undang-undang ” / ” Hati-hati dengan buku bajakan, pengarang dan ahli warisnya tidak ridlo, akan dituntut didunia dan ahirat, ilmunya tidak bermanfaat” / ‟ Haram mencopy sebagian atau seluruhnya dari isi buku ini tanpa izin tertulis ”. Pertanyaan Bagaimana menyikapi adanya hal semacam itu, (boleh/tidak) kalau sekiranya tetap mengcopy /memperbanyak isi buku/kitab tersebut ? Jawab Boleh, dikarenakan buku/kitab tersebut sudah menjadi hak milik seseorang Referensi » Al_Fiqhu ‟Alal Madzaahibil Arba‟ah Juz 2 hal. 150 (perc. Darul Fikri) ۱٥۰الفقو على مذاىب االربعة اعبزء الثاىن ص .فإف متّ البيع ظهر أ ّف اؼبلك للمشًتى من حُت العقد 4. Deskripsi masalah. Ada dua sahabat karib akan tetapi berlainan agama (Anisa & Maiya). Pada Hari Raya Idul Fitri Disa bertemu Maya, dalam berinteraksi setiap hari Nisa banyak sekali kesalahan yang diperbuat. Dihari raya tersebut nisa mengucapkan kata “Minal „Aaidien Wal_Faaizien” kepada Maya dengan alasan dengan tetap menjaga tali persahabatan dan keduanya bisa saling memaafkan Pertanyaan : Menurut pandangan fiqih, bagaimana mengucapkan “Minal „Aaidien Wal_Faaizien” kepada lain agama sebagaimana alasan yang termaktub diatas ? Jawab : Boleh karena seperti itu berkenaan dengan hubungan untuk menjalin kebaikan persahabatan Referensi : Hasyiah Al_Qulyubi Juz 1 Hal. 267 ( Perc. Al_Haromain ) ) ( اغبرمُت٢٦٤األوؿ صحيفة حاشية القليوىب اعبزء ّ الكافر وجيوز الدعاء لو ولوباؼبغفرة والرضبة خالفا ؼبا ىف األذكار االّ مغفرة ذنب الكفر مع موتو جيوز اجابة دعاء على الكفر فالجيوز JAWABAN BAHTSUL MASAIL KUBRA 1. Deskripsi Masalah Musik bagi manusia bukanlah hal yang aneh,dengan mendengarkan musik baik secara lansung atau melalui alat elektronik seperti TV,Tape atau Radio adalah merupakan kenikmatan tersendiri. Pertanyaan Bagaimana hukum mendengarkan musik tersebut baik secara lansung atau tidak,yang di dalamnya terdapat alat-alat malahi ? (Majlis Syawir) Jawaban : Bila mendengarkannya secara langsung (Menghadirinya) : HARAM bila terdapat salah satu hal sebagai beikut : a. Semua alat malahi yang dimainkan adalah yang di kategorikan haram oleh Syara’. b. Dalam menontonnya terdapat hal yang melanggar Syara’ atau ada kemungkinan untuk itu (bersifat Dzhonniyah) seperti menimbulkan fitnah, bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan judi, minum minuman keras Dll. KHILAF ketika alat malahi yang dimainkan bercampur antara yang di kategorikan Haram dengan yang Mubah dan Makruh. MUBAH ketika Alat Malahinya yang dikategorikan yang Mubah dan Makruh. SUNNAH ketika mendengarkannya memang bias menambah ketaqwaan kita kepada Allah walaupun terdapat Alat Malahi yang dikategorikan Haram. Bila mendengarnya secara tidak langsung (lewat Tape Recordeer, TV, Hp Dll) : Mubah secara Mutlak Walaupun dalam pembuatan musiknya terdapat Alat Malahi yang dikategorikan HARAM, bahkan bisa Sunnah hukumnya ketika mendengarkannya bisa meningkatkan ketaqwaan. HARAM ketika mendengarkannya bisa menyebabkan Pelanggaran Syara’. Ibaratnya : Macam Alat Malahi 204 الحاوى الكابير الجزء الحادى وعشرون ص فالعود والطنبور واؼبعزفة والطبل: حراـ ومكروه وحالؿ فمأؿ اغبراـ:( فصل ) واما اؼبالىى فعلى ثالثة أضرب فما زاد بو الغناء طربا ودل يكن بانفر ده: واما اؼبكروه- اذل اف قاؿ-.واؼبزمار وما أؽبى بصوت مطروب ادا انفرد فما خرج: والقضيب فيكره مع الغناء لزيادة على اطرابو واليكره ادا انفرد لعدـ اطرابو واما اؼبباح,مطروبا كالفسخ عن الة اإلطراب إما اذل إندار كالبوؽ وطبل اغبرب او عبمع وإعالف كالدؼ ىف النكاح كما قاؿ صلوات اهلل عليو اىػ. "وسالمو " أعلنوا النكاح واضربوا عليو بالدؼ 314-312 احياء علوم الدين الجزء الثانى ص فإف قلت فهل لو حالة حيرـ فيها .فأقوؿ إنو حيرـ خبمسة عوارض عارض ىف اؼبسمع وعارض ىف الة اإلظباع وعارض ىف النظم الصوت وعارض ىف نفس اؼبستمع او ىف مواظبتو وعارض من كوف الشخص من عواـ اػبلق ألف أركاف السماع ىى اؼبسمع واؼبستمع وآلة اإلظباع العارض األواؿ :أف يكوف امراءة الحيل النظر اليو وزبشى الفتنة من ظباعها وىف معناىا الصى األمراد الدى زبشى فتنة وىدا حراـ ؼبا فيو من خوؼ الفتنة وليس دلك الجل الغناء –اذل اف قاؿ -العارض الثاىن :ىف آاللة بأف تكوف من شعار اىل شرب او اؼبخنثُت وىو اؼبزامَت وؿ األوتار وطبل الكوبة فهده ثالثة أنواع فبنوعة وما عدا على دلك يبقى على اصل اإلباحة كالدؼ وإف كاف فيو اعبالجل وكالطبل والشاىدين والضرب بالقضيب وسائر اآلت –اذل اف فاؿ -العارض الثالث :ىف نظم الصوت وىو الشعر قاف كاف فيو شيء من اػبنا والفخش واؽبجو اوما ىو كدب على اهلل تعاذل وعلى رسوؿ اهلل عليو وسلم أو على الصحابة رضى اهلل عنو.كما رتبو الروافض ىف ىجاء الصحابة وغَتىم,فسماع دلك حراـ بأغباف وغَت أغباف واؼبستمع شريك للقتاؿ –إذل اف قاؿ -العارض الرابع:ىف اؼبستمع اف تكوف الشهوة غالبة عليو وكنت ىف غرة الشباب وكانت ىده الصفة اغلب عليو من غَتىا فالسماع حراـ عليو سواء غلب على قلبو حب شخص معُت اـ دل يغلب -اذل اف قاؿ -العارض اػبامس :اف يكوف الشخص من عواـ اػبلق ودل يغلب عليو حب اهلل تعاذل فيكوف السماع ؿببوبا ,ولوغلبة عليو شهوة فيكوف ىف حقو ؿبظورا .ولكنو ابيص ىف حقو كسائر انواع للدات اؼباحة ,اال انو ادا ازبده ديدنو وىجَتاه وقصر عليو اكثر اوقاتو فهدا ىو السفيو الدى ترد شهادتو ,فاف اؼبواظبة على اللهو جناية –اذل اف قاؿ -ولو استوعبت اػبيالف الوجو لشوىتو فما اقبص دللك ! فيعود اغبسن قبحا بسبب الكثرة فيما كل حسن حيسن كثَتة وال كل مباح يباح كثَتة ,بل اػببز مباح واالستكثار منو حراـ .فهدا اؼبباح كسائر اؼبباحات. Alat MusikTabuh أحكام الفقهاء الجزء األول ص 20 وقاؿ أيضا :وهبده العلة حيرـ ضرب الكوبة وىو طبل مستطيل رقيق الوسط واسع الطرفُت وضرهبا عادة اؼبخنثُت, ولوال التشبيو لكاف مثل طبل اغبجيج والغزو. Kencreng فى كف الرعاع البن حجر الهيتمى صـ 296 ما نصه :القسم السادس :فى الضرب بالصفاقتين ،ومها دائرتاف من صفر تضرب احدامها على االخرى ويسمياف بالصنج ايضا . ) Alat musik petik (Gitar, Kecapi, Mandolin, Lute dll وفى بلغة السالك للشيخ احمد الصاوى المالكى ( 405/1دار الفكر ) ِ ِ ود وما جرى َْؾبراه ِمن ْاآلَال ِ ِ ِ ما نصه َ :و ْاعلَ ْم أ َّ ور م ْن ت الْ َم ْعُروفَة َذ َوات ْاأل َْوتَا ِر ; فَالْ َم ْش ُه َف الْ ُعلَماء ْ اختَػلَ ُفوا ِيف الْ ُع َ َ َ َ َ ُ ْ ُ َف الضَّرَبَ بِِو و َظباعو حراـ ,وذَىبت طَائَِفةٌ َإذل جوا ِزهِ ونُِقل َظباعو عن عب ِد اللَّ ِو ب ِن عمر ,وعبدِ ِ الْم َذ ِاى ِ ب ْاأل َْربػَ َعة أ َّ ْ َ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ َ َ ْ ْ ُ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ْ َْ َ ِ ِ ٍِ الزبػَ َِْت َ ,وُم َعا ِويَةَ بْ ِن أَِِب ُس ْفيَا َف َ ,و َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع ِ ُت اللَّ ِو بْ ِن َج ْع َف ٍر َ ,و َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن ُّ اص َو َغ َِْتى ْم َو َع ْن صبُْلَة م ْن التَّابِع َ وِمن ْاألَئِ َّم ِة الْمجت ِه ِدين ُ ,مثَّ اختػلَف الَّ ِذين َذىبوا َإذل َْرب ِرديِِو ,فَ ِقيل َ :كبَِتةٌ وقِيل ِ : َص ُّص الث ِ َّاين , صغ ََتةٌ َ ,و ْاأل َ َ َ َ َ ُ َْ َ ِ َْ َ َ َُ َ ْ َ ِ ٍ صنِي ٍع فَ َال تُػَرُّد بِِو َش َه َادةٌ . َو أ س ر ع يف ف ا ك ا ذ ي َع ْن ابْ ِن َعْبد ْ اغبَ َك ِم أَنَّوُ قَ َ َو َح َكى الْ َما ِزِر ُّ اؿ :إ َ َ َ ُ ْ ْ َ 2. Deskripsi Masalah Sebagaimana seorang Pegawai Negeri,dalam pekerjaannya tentu sudah ditentukan sebagaimana mestinya oleh pemerintah yang berwenang dan gajinya juga sudah ditentukan sebagaimana mestinya. Pertanyaan a. Bagaimana hukum gaji seorang pegawai yang tidak menjalankan tugas ? )sebagaimana mestinya(apakah termasuk gaji buta ? b. Bagaimana solusi hal itu )(PP.Al – Manar Jawaban : a. tidak termasuk gaji Buta karena dia melaksanakan tugas walupun tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan Hukum gajinya dapat di tafsil sebagai berikut : Haram bagi sebagian gaji yang seharusnya tidak di terima apabila PNS tadi tidak mengganti pekerjaannya/jam kerjanya di lain waktu Waupun PNS tadi meninggalkan pekerjaannya dengan alas an Udzur Syar’i (Dapat di prosentasekan). Mubah bagi sebagian gaji yang seharusnya tidak diterima PNS tadi tapi tidak mengetahui keharamannya. Ibarote : ?PNS itu الشروني الجزء العاشر ص 133 ويرزؽ اإلماـ أيضا من بيت اؼباؿ كل من كاف عملو مصلحة عامة للمسلمُت كاألمَت ,واؼبفيت ,واحملتسب , واؼبؤذف وإماـ الصالة ومعلم القرآف وغَته من العلوـ الشرعية ,والقاسم ,واؼبقوـ ,واؼبًتجم وكاتب الصكوؾ ,فإف دل يكن يف بيت اؼباؿ شيء دل يندب أف يعُت قاظبا وال كاتبا وال مقوما وال مًتصبا وال مسمعا وذلك ; لئال يغالوا باألجرة مغٍت وروض مع شرحو وكذا يف النهاية إال قوؽبما :وال جيوز لو إذل وال جيوز عقد اإلجارة قاؿ ع ش : قولو :وعيالو ىل اؼبراد منهم من تلزمو مؤنتهم ,أو كل من يف نفقتو ,وإف كاف ينفق عليهم مروءة كعمتو وخالتو مثال فيو نظر ,وقياس ما اعتمده يف قسم الصدقات بالنسبة ؼبن يأخذ الزكاة األوؿ ,وقد يقاؿ وىو األقرب :إنو يأخذ ما حيتاج إليو ولو ؼبن ال تلزمو نفقتو ,ويفرؽ بأف ىذا يف مقابلة عمل قد يقطعو عن الكسب خبالؼ الزكاة فإهنا حملض اؼبواساة .وقولو :وال جيوز أف يرزؽ إخل لعل اؼبراد أنو ال جيب على اإلماـ أف يعطي من خاص مالو وال اآلحاد ,أما لو دفع أحدمها تربعا دل ديتنع قبولو وقولو ,ويرزؽ اإلماـ إخل أي :وجوبا وإف وجد ما يكفيو قياسا على القاضيألف ما يأخذ يف مقابلة عملو فلو دل يعط ردبا ترؾ العمل فتتعطل مصاحل اؼبؤمنُت وقياس ما مر عن اؼباوردي أف ؿبلو يف اؼبكتفي إذا دل يوجد متطوع بالعمل غَته وقولو :من العلوـ الشرعية أي :اليت ؽبا تعلق بالشرع فيشمل الفقو ,واغبديث ,والتفسَت ,وما كاف آلة ؽبا .ا ىػ .كالـ ع ش وقولو :لعل اؼبراد إخل يعلم رده فبا مر عن اؼبغٍت ,واألسٌت آنفا نهاية المحتاج الجزء السادس ص 135 وينبغي أف يقاؿ مثلو يف األئمة واؼبؤذنُت وسائر من يشتغل عن كبو كسبو دبصاحل اؼبسلمُت – إذل أف قاؿ -وؿبل إعطاء اؼبدرسُت واألئمة وكبوىم يف مقابلة ذلك أف ال يكوف ؽبم مشروط يف مقابلة ذلك من غَت بيت اؼباؿ كالوظائف اؼبعينة لإلماـ واػبطيب وكبومها من الواقف للمسجد مثال ,فإف كاف ,ودل يواز تعبهم يف الوظائف اليت قاموا هبا دفع إليهم ما حيتاجوف إليو من بيت اؼباؿ زيادة على ما شرط ؽبم من جهة األوقاؼ Prosentase Gaji بغية المسترشدين ص 165 (مسألة ش) استأجر للعمل مدة معلومة فسلم نفسو إستحق كل األجرة دبضي وقت اإلجارة وإف دل يعمل لتلف اؼبنافع ربت يد اؼبستأجر فلو شرط ذلك يف صلب العقد دل يفسدىا إال إف شرط فيو استحقاؽ األجَت قبل سباـ اؼبدة أو شرط على األجَت أنو مىت عجز عن العماؿ أثناءه فليس لو شيء فحينئذ لو أجرة اؼبثل مادل يعمل بفاسج العقد وأف ال أجرة . b. Solusinya : Mengganti pekerjaannya diwaktu lain Kalo tidak bisa menggantinya maka membadalkannya Mengembalikan sebagian gaji yang seharusnya tidak dia terima yang telah diprosentasekan dengan waktu PNS tadi tidak masuk kerja حاشية الجمل على المنهج الجزء الثالث ص 545 ( فرع) لو استأجره غبفظ ؾذ ا من القراف ىل يفسد العقد ألف اغبفظ ليس بيده كمالو شرط الشفاء يف اؼبداواة أو يصص ألنو اؼبقصود من التعليم ويفرؽ فيو نظر اىػ سم على حج والتبعد الصحة ؼبا علل بو من أف اؼبقصودة من لتعليم اغبفظ وقولو ويفرؽ بُت اؼبداواة إ ذا كثَتا ما توجد فال يوجد الشفاء اىػ ع ش على ـ ر ولو استأجره لقدر معُت فعلم بعضو مث ترؾ فإف أمكن البناء على ما فعلو استحق القسط وإال كأف مات اؼبتعلم دل يستحق شيئا وه ذ ا جيري يف سائر اإلجاراة كالبناء واػبياطة. (تنبيو) تصص اإلجارة للخدمة مث إف عُت نوع تعُت وإالضبل على ما يليق باؼبؤجر واؼبستأجر وال تصص اإلجارة بالنفقة ألهنا ؾبهولة وال عادة فيها إال يف خادـ الزوجة ويف اغبج بالرزؽ كما مر. (فرع) يصص اإلستئجار للنساخة ويبُت كيفية اػبط ورقتو وغلظو وعدد األوراؽ وسطور أجرة لو وإال فلو األجرة وال أرش عليو ويلزمو اإلصالح ولضرب اللنب بكسر اؼبوحدة ويبُت طوؿ القالب بفتص الالـ وعرضو وظبكو وؾذ ا العدد إف قدر على احملل وللرعى ويبُت مدتو ونوع اغبيواف وعدده مطلقا ووصفو إف كاف ىف الدمة اىػ .ؽ ؿ على اعبالؿ. . 3. Deskripsi Masalah Beberapa pekan terakhir,masyarakat Indonesia dihebohkan dengan munculnya kembali gerakan NII(Negara Islam Indonesia). Gerakan ini muncul pertama kali pada 1949 dengan nama darul islam yang dipelopori oleh Kartosowiryo. Tujuan dari gerakan ini awalnya adalah mendirikan Negara dengan Konsep Islam yang mereka anut. Belakangan ini NII menjadi sorotan media masa setelah sejumlah orang dikabarkan menjdi korban penulikan dan pemerasan. Selain NII, di Indonesia sering muncul gerakan-gerakan yang lain yang ingin memisahkan atau mendirikan suatu pemerintahan sendiri karena menganggap sistem pemerintahan di Indonesia tidak sesuai dengan konsep Negara Islam ataupun dengan knsep yang mreka anut seperti GAM,RMS,AL Qaeda,Papua Merdeka, dll. Pertanyaan 1. Bagaimana pandangan Syara’ mengenai gerakan dan Ormas yang bergerak seperti NII dll? 2. Apakah sudah bisa dihukumi Bughot? Jawaban : a. Dalam deskripsi masalah diatas setidaknya terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan : Haram mendirikan Negara atau memisahkan diri karena Negara Indonesia sudah sah baik dalam pandangan Syara’ maupun Konstitusi. Penculikan dan pemerasan terhadap orang laen tidak bisa dibenarkan secara syara’ bahkan pelakunya bisa dianggap sebagai Qotiut Thoriq. Walaupun sistem pemerintahan Negara Indonesia tidak semuanya sesuai dengan Sistem pemerintahan didalam kitab fiqh, Negara indonesia sudah bisa disebut Negara Islam. Ibarotnya…. NKRI حاشية الجمل للشيخ سليمان الجمل مث رايت الرافعى وغَته دكروا نقال عن األصحاب أف دار االسالـ ثالثة أقساـ قسم يسكنو اؼبسلموف وقسم فتحوه وعدىم القسم الثاىن:وأقروه أىلو عليو جبزيو ملكوه اوال وقسم كانوا يسكنونو مث غلب عليو الكفار قاؿ الرافعى يبُت انو يكفى ىف كوهنا دار اسالـ كوهنا ربت استيالء االماـ واف دل يكن فيها مسلم قاؿ واما عدىم الثالث وقد .يوجد ىف كالمهم ما يشعر باف االستيالء القدًن يكفى الستمرار اغبكم 371 وفى حاشية البيجورى الجزء الثاني ص أوؽبا بيعة أىل اغبل والعقد أى حل األمور وعقدىا من العلماء ووجوه: وتنعقد اإلماـ بأحد أمور ثالثة: مانصه الناس اؼبتيسر اجتماعهم فال يعترب فيها عدؿ بل لو تعلق اغبل بواحد مطاع كفت بيعتو حبضرة شاىدين وال تكفى ثانيهما استخالؼ اإلماـ من عينو ىف , بيعة العامة ويشًتط اتصاؼ اؼببايعة بصفة الشهود من العدالة وغَتىا حياتو بشرط اف يكوف أىال لإلمامة حينئذ ليكوف خليفة بعد موتو ويصَت بدال عنو بعهده اليو كما عهد أبو بكر اذل عمر رضى اهلل عنهما ,كجعلو األمر شورى بُت صباعة فَتتضوف بعد موتو أوىف حياتو بإذنو واحدا منهم , كما جعل عمر رضى اهلل عنو األمر شورى بُت ستة -اذل أف قاؿ -ثالثها استالء شخص مسلم ذى شوكة متغلب على اإلمامة ولو غَت أىل ؽبا كصيب أو امرأة وفاسق وجاىل فتنعقد إمامتو لينتظم مشل اؼبسلمينوتنفذ أحكامو للضرورة . ? Tindakan NII Dkk gimana Gan الفقه اإلسالمي الجزءالسادس صـ 707-705 حدداؼباورديواجباتاؼبسلميننحواغباكمبأمرينومها - 1 :الطاعةفيغَتمعصية - 2 .النصرةماؼبيتغَتحالو .فقاؿ : « إذاقاماإلمامبماذكرنامهنحقوقاألمة،فقدأدىحقاللهتعالىفيماؽبموعليهم،ووجبلهعليهمحقاف . الطاعةوالنصرةماؼبيتغَتحالو» : 1 ػحقالطاعة : :إذابايعأكثريةاؼبسلمينإماماًوجبتطاعتهمنالكل،لقواللرسولصلّىاللهعليهوسلم «يداللهعلىاعبماعة»«ومنشذشذفيالنار»«منفارقاعبماعةشرباً،فقدخلعربقةاإلسالفبنعنقو» .وبذاللطاعةمشروطبقياماغباكمبواجباهتالتيذكرتسابقاً،ومضموهناالتزامأوامرالشريعة ( )2 - .إذل أف قاؿ- «علىاؼبرءاؼبسلمالسمعوالطاعةفيماأحبأوكره،إالأنيؤمردبعصية،فإنأمردبعصيةفالظبعوالطاعة» .والجيوزاػبروجعنالطاعةبسببأخطاءغَتأساسيةالتصادمنصاًقطعياً،سواءأكانتباجتهاد،أمبغَتاجتهاد،حفاظاًعلىوحدةاألـ ةوعدمتمزيقكياهناأوتفريقكلمتها - ،إذل أف قاؿ- وإذاأخطأاغباكمخطأغَتأساسيالديسأصواللشريعةوجبعلىالرعيةتقدديالنصحلهباللينواغبكمةواؼبوعظةاغبسنة،قالعليهالص الةوالسالـ « :الدينالنصيحةقلنا :ؼبنيارسوالهلل؟قاؿ :للهولرسوؽبولكتاهبوألئمةاؼبسلمينوعامتهم» -إذل أف قاؿ. - : فإنلمينتصحوجبالصربلقوؽبعليهالسالـ ( )3 «منرأىمنأمَتىشيئاً،فكرىفليصرب،فإهنليسأحديفارقاعبماعةشرباً،فيموتإالماسبيتةجاىلية» .ولكنالذببالطاعةعندظهورمعصيةتتنافىمعتعاليماإلسالمالقطعيةالثابتة،لقوؽبعليهالصالةوالسالـ «الطاعةألحدفيمعصيةاهلل،إمناالطاعةفياؼبعروؼ»«الطاعةؼبنلميطعاهلل» : ( - . )4إذل أف قاؿ- واستنبطبعضالكتاباحملدثُت ( )4مناغبديثينالسابقينمبادئأربعةبينفيهاحدودالطاعةوحالةجوازالثورةعلىاغبكم . وىي:أوالًػإنلألمَتالذييمثالغبكومةالشرعيةفيالدولةحقالطاعةمناؼبواطنينجميعاً،بغضالنظرعنأنفريقاًأوفرداًمنهمقدالحيبو،أو اليرضىأحياناًعنسياستهفيإدارةشؤونالدولة.ثانياًػإذاماأقدمتاغبكومةعلىإصدارقوانينأوأوامرتتضمنمعصيةصرحيةباؼبعنىالشرع ي،فإهنالظبعوالطاعةعلىاؼبواطنينبالنسبةؽبذىالقوانينواألوامر.ثالثاًػإذاماوقفتاغبكومةموقفاًتتحدىبهتحدياًصرحياًمتعمداًنص وصالقرآف،فإهنذااؼبوقفيعترب ( كفراًبواحاً ) األمرالذييستوجبنزعالسلطةمنيدىاوإسقاطها.رابعاًػإننزعالسلطةىذامنيداغبكومةفيغَتحالةإعالنالكفرصراحةجيبأاليتمعنطر يقثورةمسلحةمنجانبأقليةمناجملتمع؛ألنرسوالللهصلّىاللهعليهوسلمقدحذرنامناللجوءؽبذىالوسيلة،فقاؿ «منحملعليناالسالحفليسمنا» ( )1وقاؿ « :منسلعليناالسيففليسمنا» ( )2واؼبرادبذلكالبغاة : : ومهفئةمنالناسخارجةعنطاعةاإلماـ.ومناؼبقررفقهاًأنالسلطةالتيتملكالتعيينتملكحقالعزؿ.وىذايعنيأنأىاللشورىيقًتحونالعزؿ برباىينواضحة،شبتقومأكثريةاألمةبواسطةاستفتاءمثالًبالتصويتعلىعزالإلمافبنمنصبو. Statusnya……. التفسير الكبير لالمام فخر الدين الرازي الشافعي ( 108-107/16دار الكتب العلمية) (ياأيها النيب جاىد الكفار واؼبنافقُت) وىف اآلية سؤاؿ ،وىو اف اآلية تدؿ على وجوب ؾباىدة اؼبنافقُت وذلك غَت جائز ،فاف اؼبنافق ىو الذي يسًت كفره وينكر بلسانو ،ومىت كاف االمر كذلك دل جيز ؿباربتو وؾباىدتو .واعلم اف الناس ذكروا اقواال بسبب ىذا االشكاؿ ...اذل اف قاؿ ...والقوؿ الثالث وىو الصحيص :اف اعبهاد عبارة عن بذؿ اعبهد .وليس ىف اللفظ ما يدؿ على اف ذلك اعبهاد بالسيف او باللساف او بطريق آخر فنقوؿ :اف اآلية تدؿ على وجوب اعبهاد مع الفريقُت ،فاما كيفية تلك اجملاىدة فلفظ اآلية ال يدؿ عليها ،بل امنا يعرؼ من دليل آخر .واذا ثبت ىذا فنقوؿ :دلت الدالئل اؼبنفصلة على اف اجملاىدة مع الكفار جيب اف تكوف بالسيف ،ومع اؼبنافقُت بإظهار اغبجة تارة ،وبًتؾ الرفق ثانيا ،وباالنتهار ثالثا .قاؿ عبد اهلل ىف قولو (جاىد الكفار واؼبنافقُت) قاؿ تارة باليد وتارة باللساف ،فمن دل يستطع فليكشر ىف وجهو ،فمن دل يستطع فبالقلب . Sikap kita kepada mereka إحياء علوم الدين الجزء الثاني ص 308 اعلم أف األركاف يف اغبسبة اليت ىي عبارة شاملة لألمر باؼبعروؼ والنهي عن اؼبنكر أربعة احملتسب واحملتسب عليو واحملتسب فيو ونفس اإلحتساب فهذه أربعة أركاف ولكل واحد منها شروط – إذل اف قاؿ – الركن الرابع نفس اإلحتساب ولو درجات وآداب وأما الدرجات فأوؽبا التعريف مث التعريف مث النهي مث الوعظ والنصص مث السب والتعنيف مث التغيَت باليد مث التهديد بالضرب مث إيقاع الضرب وربقيقو مث شهر السالح مث اإلستظهار فيو باألعواف وصبع اعبنود – .إذل اف قاؿ – الدرجة اػبامسة التغيَت باليد وذلك ككسر اؼبالىي b. Sudah termasuk Bughot dan Imam wajib menindaknya فتح الوهاب لشيخ اإلسالم زكريا األنصاري الجزء الثاني ص ( 153ط/الهداية ) ( كتاب البغاة ) إذل أف قاؿ ( ...ىم ) مسلموف ( ـبالفو إماـ ) ,ولو جائرا بإف خرجوا عن طاعتو بعدـ انقيادىم لو أو منع حق توجو عليهم كزكاة ( عنو ؿ ) ؽبم يف ذلك ( باطل ظنا وشوكة ؽبم ) وىي ال ربصل إال دبطاع وإف دل يكن إماما ؽبم ( وجيب قتاؽبم ) إلصباع الصحابة عليو ,وىذا مع قورل باطل ظنا من زياديت وليسوا فسقة ; ألهنم إمنا خالفوا بتأويل جائز باعتقادىم لكنهم ـبطئوف فيو كتأويل اػبارجُت على علي رضي اهلل عنو بأنو يعرؼ قتلة عثماف رضي اهلل عنو ويقدر عليهم وال يقتص منهم ؼبواطأتو إياىم وتأويل بعض مانعي الزكاة من أِب بكر رضي اهلل عنو بأهنم ال يدفعوف الزكاة إال ؼبن صالتو سكن ؽبم وىو النيب صلى اهلل عليو وسلم فمن فقدت فيو الشروط اؼبذكورة بأف خرجوا بال تأويل كمانعي حق الشرع كالزكاة عنادا أو بتأويل يقطع ببطالنو كتأويل اؼبرتدين أو دل يكن ؽبم شوكة بأف كانوا أفرادا يسهل الظفر هبم أو ليس فيهم مطاع فليسوا بغاة النتفاء حرمتهم فَتتب على أفعاؽبم مقتضاه على تفصيل يف ذي الشوكة يعلم فبا يأيت حىت لو تأولوا بال شوكة وأتلفوا شيئا ضمنوه مطلقا كقاطع طريق. 4. Deskripsi Masalah Di dalam pemerintah islam tetu dilarang memilih pemimpin yang non muslim selama maih ada orang muslim yang mampu, namun ada juga yang bergabung antara orang muslim dengan non muslim entah posisinya sebagai ketua/wakil. Pertanyaan 1. Bagaimana hukumnya memilih pemimpin muslim yang koalisinya dengan non ?muslim 2. sampai dimanakah batasan orang muslim boleh bergabung dengan non ?muslim )(PP.Al – Manar Jawaban : a. Boleh memilih pemimpin Non muslim yang koalisi dengan Seorang muslim, dengan Syarat : Selama tidak ada orang muslim lainnya yang mampu untuk mendudukinya. Hanya menjadi Wakil. Yang di urusi bukanlah permasalahan yang Urgent baik dalam pemerintahan maupun Agama. Ada maslahat ketika dia menjadi pemimpin Merupakan strategi untuk memenangkan pemimpin yang muslim dari saingannya yang yang fasiq (ndak saingane menang marakke dadekke fitnah atau bahaya). وفى تحفة المحتاج العاشر ص 135 مانصو :ويندب اف يشاور اجملتهد ولو ىف الفتوى وغَته حيث ال معتمد متيقن ىف مذىبو ىف تلك الواقعة لسائر توابعها ومقاصدىا فيما يظهر عند تعارض األدلة واؼبدارؾ الفقهاء العدوؿ اؼبوافقُت واؼبخالفُت لقولو تعاذل وشاورىم ىف األمر ( قوؿ اؼبنت الفقهاء ) اؼبراد هبم كما قاؿ صبع من األصحاب الذين يقبل قوؽبم ىف اإلفتاء فيدخل األعمى والعبد واؼبرأة وخيرج الفاسق واعباىل قاؿ القاضى حسُت وإذا أشكل اغبكم تكوف اؼبشاورة واجبة وإال فمستحبة. قليوبى ( 298/4دار احياء الكتب) ( وشرط القاضي ) أي من يورل قاضيا ( مسلم مكلف ) أي بالغ عاقل ( حر ذكر عدؿ ظبيع بصَت ناطق كاؼ ) فال يواله رقيق وامرأة وفاسق نقصهم وال أصم وأعمى وأخرس ومغفل وـبتل النظر بكرب أو مرض ( .ؾبتهد وىو أف يعرؼ من القرآف والسنة ما يتعلق باألحكاـ ) ىو متعلق االجتهاد ( وخاصو وعامو ) –إذل أف قاؿ ( -فإف تعذر صبع ىذه الشروط ) يف رجل ( فوذل سلطاف لو شوكة فاسقا أو مقلدا نفذ ) باؼبعجمة ( قضاؤه للضرورة ) لئال تتعطل مصاحل الناس قالو يف الوسيط تفقها قاؿ يف الروضة كأصلها وىذا حسن . قواعد األحكام في مصالح األنام ألبي محمد عز الدين عبد العزيز بن عبد السالم الدمشق ي الجزء األول ص 86-85 قاعدة :إذا تعذرت العدالة يف الوالية العامة واػباصة حبيث ال يوجد عدؿ ,ولينا أقلهم فسوقا ولو أمثلة - : أحدىا :إذا تعذر يف األئمة فيقدـ أقلهم فسوقا عند اإلمكاف ,فإذا كاف األقل فسوقا يفرط يف ُع ْشر اؼبصاحل الع ُشر يفرط يف ُ يفرط يف اػبمس فما زاد عليو ,وجيوز تولية من ّ يفرط يف ُطبُسها دل ذبز تولية من ّ العامة مثال وغَته ّ ,وإمنا جوزنا ذلك ألف حفظ تسعة األعشار بتضييع العشر أصلص لأليتاـ وألىل اإلسالـ من تضييع اعبميع - , إلى أن قال -اؼبثاؿ اػبامس :إذا تفاوتت رتب الفسوؽ يف حق األئمة قدمنا أقلهم فسوقا ,مثل إف كاف فسق أحد األئمة بقتل النفوس وفسق اآلخر بانتهاؾ حرمة األبضاع ,وفسق اآلخر بالتضرع لألمواؿ ,قدمنا اؼبتضرع لألمواؿ على اؼبتضرع للدماء واألبضاع ,فإف تعذر تقدديو قدمنا اؼبتضرع لألبضاع على من يتعرض للدماء , وكذلك يًتتب التقدًن على الكبَت من الذنوب واألكرب والصغَت منها واألصغر على اختالؼ رتبها .فإف قيل : أجيوز القتاؿ مع أحدمها إلقامة واليتو وإدامة تصرفو مع إعانتو على معصيتو ؟ قلنا :نعم دفعا ؼبا بُت مفسديت الفسوقُت من التفاوت ودرءا لألفسد فاألفسد ,ويف ىذا وقفة وإشكاؿ من جهة أنا نعُت الظادل على فساد األمواؿ دفعا ؼبفسدة األبضاع وىي معصية .وكذلك نعُت اآلخر على إفساد األبضاع دفعا ؼبفسدة الدماء وىي معصية ,ولكن قد جيوز اإلعانة على اؼبعصية ال لكوهنا معصية بل لكوهنا وسيلة إذل ربصيل اؼبصلحة الراجحة وكذلك إذا حصل باإلعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت اؼبفسدة كما ,تبذؿ األمواؿ يف فدى األسرى األحرار اؼبسلمُت من أيدي الكفرة والفجرة .