BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep Teori Fraktur II.1.1 Defenisi Fraktur Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Chairudin Rasjad, 1998). Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. price, 1999). Pada beberapa keadaan trauma muskuloskeletal, sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplet/lengkap (Jeffrey M. spivak et al., 1999). Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut (Jeffrey M. Spivak et al., 1999). Disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh 7 8 trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma. II.1.2 Etiologi Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak (Arif muttaqin, 2008). Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause (Reeves, 2001). II.1.3 Manifestasi klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepituis, pembekakan lokal, dan perubahan warna (smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk. a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan 9 bentuk badai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cendrung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas normal.ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering Saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi). d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. II.1.4 Klasifikasi fraktur Fraktur diklasifikasikan dalam beberapa keadaan berikut. a. Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. b. Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah 10 karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik tumor primer maupun metastasis. c. Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu. Gambar 2.1 gambaran skematis secara klinis dari fraktur Klasifikasi jenis sangat umum digunakan dalam konsep fraktur pada beberapa sumber. Jenis-jenis fraktur tersebut adalah simple fraktur (fraktur tertutup), compound fracture (fraktur terbuka), transverse fraktur (fraktur transversal/sepanjang garis tengah tulang), spiral fraktur (fraktur yang memuntir seputar batang tulang), impact fraktur (fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lain), greenstick fraktur (salah satu tulang patah, sedangkan sisi lainnya membengkok), comminuted fraktur (tulang pecah menjadi beberapa fragmen). Secara umum, keadaan fraktur secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a. Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. 11 b. Fraktur terbuka (compound fraktur). Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from without (dari luar). Gambar A. B. C. 2.2. Beberapa gambaran radiologik konfigurasi fraktur Transversal D. Spiral dan Segmental E. Segmental F. II.1.5 Patofisiologi Spiral dan segmental Komunitif Depresi 12 13 II.1.6 Komplikasi Fraktur a. Komplikasi dini Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. 1) Pada Tulang a) Infeksi, terutama pada fraktur terbuka. b) Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi. 2) Pada Jaringan lunak a) Lepuh, Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik. b) Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol 3) Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon, 1993). 14 4) Pada pembuluh darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993) 5) Pada saraf Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993). b. Komplikasi lanjut Pada tulang dapat berupa mal union, delayed union atau non union. Pada pemeriksaaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjang. 1) Delayed union Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu). 15 2) Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, rosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. 3) Mal union Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi. 4) Osteomielitis Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot. 5) Kekakuan sendi Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993). 16 II.1.7 Faktor penyembuhan tulang Faktor-faktor yang menentukan lama penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut. a) Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktivitas proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta proses pembentukan tulang pada bayi sangan aktif. Apabila usia bertambah, proses tersebut semakin berkurang. b) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada fraktur diafisis. Di samping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak. c) Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteumnya tidak bergeser, penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan dengan fraktur yang bergeser. d) Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur memeiliki vaskularisasi yang jelek sehingga mengalami kematian, pembentukan union akan terhambat atau mungkin terjadi nonunion. e) Reduksi serta imoblisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang menggangu penyembuhan fraktur. f) Waktu imobilisasi. Bila imoblisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya nonunion sangat besar. 17 g) Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi jaringan, baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya akan mengahambat vaskularisasi kedua ujung fraktur. h) Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. i) Cairan sinovial. Cairan sinovial yang terdapat pada persendian merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur. j) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur. Akan tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan menggangu vaskularisasi. Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan. Secara kasar, waktu penyembuhan pada anak ½ waktu penyembuhan orang dewasa. Faktor lain yang mempercepat adalah penyembuhan fraktur adalah nutrisi yang baik, hormone-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolic, seperti kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan). II.1.8 Pemeriksaan Penunjang a. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang). b. Tomografi, CT Scan, MRI (jarang). c. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang terutama berguna ketika radiografi/ CT Scan memberikan hasil negatif pada kecurigaan fraktur secara klinis II.1.9 Prinsip Dan Metode Pengobatan Fraktur 1. Prinsip Penanganan Fraktur Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang 18 pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Ada kebanyakan kasus, reproduksi tertutupdilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan tehnik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskular, latihan isometrik, dan memotivasi klien intuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. 2. Prinsip-Prinsip Pengobatan Fraktur 1) Penatalaksanaan awal Sebelum dilakukan pengobatan defenitif pada satu fraktur, maka diperlukan: a) Pertolongan pertama 19 Pada penderita fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan napas, menutup luka dengan verban bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans. b) Penilaian klinis Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, pakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf ataukah trauma alat-alat dalam yang lain. c) Resusitasi Kebanyakan penderita fraktur multiple tiba di rumah sakit dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian transfuse darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri. 2) Prinsip umum pengobatan fraktur Ada enam prinsip pengobatan fraktur : a) Jangan membuat keadaan lebih jelek Beberapa komplikasi fraktur terjadi akibat trauma yang antara lain disebabkan karena pengobatan yang diberikan disebut sebagai iatrogenic. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena banyak kasus terjadi akibat penanganan dokter yang menimbulkan komplikasi atau memperburuk keadaan fraktur yang ada sehingga merupakan kasus malpraktek yang dapat menjadi kasus di pengadilan. Beberapa komplikasi yang bersifat iatrogenic, dapat dihindarkan apabila kita dapat mencegahnya dengan melakukan tindakan yang memadai seperti mencegah kerusakan jaringan lunak pada saat 20 transportasi penderita, serta luka terbuka dengan perawatan yang tepat. b) Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat Dengan melakukan diagnosis yang tepat pada fraktur, kita dapat menentukan prognosis trauma yang dialami sehingga dapat dipilih metode pengobatan yang tepat. Faktor-faktor yang penting dalam penyembuhan fraktur yaitu umur penderita, lokalisasi dan konfogurasi, pergeseran awal serta vaskularisasi dari fragmen fraktur. Perlu ditetapkan apakah fraktur ini memerlukan reduksi dan apabila perlu apakah bersifat tertutup atau terbuka. c) Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus (1) Menghilangkan nyeri Nyeri timbul karena trauma pada jaringan lunak termasuk periosteum dan endosteum. Nyeri bertambah bila ada gerakan pada daerah fraktur disertai spasme otot serta pembengkakan yang progresif dalam ruang yang tertutup. Nyeri dapat diatasi dengan imobilisasi fraktur dan pemberian analgetik. (2) Memperoleh posisi yang baik dari fragmen Beberapa fraktur tanpa pergeseran fragmen tulang atau dengan pergeseran yang sedikit saja sehingga tidak diperlukan reduksi. Reduksi tidak perlu akurat secara radiologic oleh karena kita mengobati penderita dan tidak mengobati gambaran radiologic. (3) Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang Umumnya fraktur yangtelah ditangani, dalam waktu singkat dapat terjadi proses penyembuhan. Pada fraktur tertentu, bila terjadi kerusakan yang hebat pada 21 periosteum/jaringan lunak sekitarnya, kemungkinan diperlukan usaha agar terjadi union misalnya dengan bone graft. (4) Mengembalikan fungsin secara optimal Penyembuhan fraktur dengan imobilisasi harus dipikirkan pencegahan atrofi pada anggota gerak, sehingga perlu diberikan latihan yang bersifat aktif dinamik (isotonik). Dengan latihan dapat pula dipertahankan kekuatan otot serta sirkulasi darah. (5) Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang realistik dan praktis. (6) Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi dan perlu pula dipertimbangkan keadaan sosial ekonomi penderita secara individual. Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitive, prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu: 1. Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radioogis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: a. Lokalisasi fraktur b. Bentuk fraktur c. Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan 22 d. Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan 2. Reduction; reduksi fraktur apabila perlu Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis di kemudian hari. Posisi yang baik adalah: a. Alignment yang sempurna b. Posisi yang sempurna Fraktur seperti fraktur klavikula, iga dan fraktur impaksi dari humerus tidak memerlukan reduksi angulasi < 5° pada tulang panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai 10° pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi fraktur. 3. Retention; Imobilisasi fraktur 4. Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin. 3. Metode-Metode Pengobatan Fraktur 1) Fraktur tertutup Metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam: a) Konservatif b) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi kutaneus 23 c) Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian proses a) Konservatif Terdiri atas (1) Proteksi semata-semata Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut misalnya dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah. Indikasi: Terutama diindikasikan pada fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil falangs dan metacarpal atau fraktur klavikula pada anak. Indikasi lain yaitu fraktur kompresi tulang belakang, impaksi fraktur pada humerus proksimal serta fraktur yang sudah mengalami union secara klinis, tetapi belum mencapai konsolidasi radiologik. (2) Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi) Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya memeberikan sedikit imobilisasi, biasanya mempergunakan plester of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau metal. Indikasi: Digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan. (3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi posisinya dalam proses penyembuhan. 24 Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan dengan baik dengan pembiusan umum ataupun lokal. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur, penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada tekhnik ini. Indikasi (a) Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama (b) Imobilisasi sebagai pengobatan defenitif pada fraktur (c) Diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser dan diharapkan dapat direduksi dengan cara tertutup dan dapat dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil atau bersifat komunitif akan bergerak di dalam gips sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis berulang-ulang. (d) Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis (e) Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang kuat (4) Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu traksi kulit dan traksi tulang. (5) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti bidai Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas dengan pearson knee flexion attachment. Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama berupa reduksi yang bertahap dan imobilisasi. Indikasi 25 (a) Bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan imoblisasi tidak memungkinkan serta untuk mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur batang femur, fraktur vertebra servikalis. (b) Bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur pada tulang tungkai bawah yang menarik fragmen dan menyebabkan angulasi, over-riding dan rotasi yang dapat menimbulkan malunion atau delayed union. (c) Bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik, fraktur spiral atau komunitif pada tulang panjang. (d) Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil. (e) Fraktur femur pada anak-anak (traksi Bryant = traksi Gallow). (f) Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat disertai dengan pergeseran yang hebat serta tidak stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humerus. (g) Jarang pada fraktur metakarpal. (h) Sekali-kali pada fraktur colles atau fraktur pada orang tua dimana reduksi tertutup dan imobilisasi eksterna tidak memungkinkan Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan: (a) Traksi kulit Traksi kulit dengan mempergunakan leukoplas yang melekat pada kulit disertai dengan pemakaian bidai Thomas atau bidai brown bohler. Traksi menurut Bryant (gallow) pada anak-anak di bawah 2 tahun dengan berat badan kurang dari 10 kg. Traksi juga dapat dilakukan pada fraktur suprakondiler humeri menurut Dunlop. 26 (b) Traksi menetap Traksi menetap juga mempergunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas dan bidai brown bohler yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang tidak bergeser. (c) Traksi tulang Traksi tulang dengan kawat Kirschner (K-wire) dan pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam tulang dan juga dilakukan traksi dengan mempergunakan berat beban dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk memasukkan pin, yaitu pada bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia, bagian distal tibia, trokanter mayor, bagian distal femur pada kondilus femur, kalkaneus (jarang dilakukan), prosesus olekranon, bagian distal metakarpal dan tengkorak. (d) Traksi berimbang dan traksi sliding Traksi berimbang dan traksi sliding terutama digunakan pada fraktur femur, mempergunakan traksi skeletal dengan beberapa katrol dan bantalan khusus, biasanya dipergunakan bidai Thomas an pearson attachment. 27 Gambar 2.3. macam-macam traksi A. Traksi dengan berat E. B. Traksi menetap C. Traksi Dunlop D. Traksi Hamilton Russel Traksi berimbang dengan bidai Thomas dan pegangan pearson Komplikasi dari traksi kontinu yaitu: (a) Penyakit trombo-emboli (b) Infeksi kulit superficial dan reaksi alergi (c) Leukoplas yang mengalami robekan sehingga fraktur mengalami pergeseran (d) Infeksi tulang akibat pemasangan pin (e) Terjadi distraksi diantara kedua fragmen fraktur (f) Dekubitus pada daerah tekanan bidai Thomas, misalnya pada tuberositas isiadikus. 28 b) Reduksi tertutup dengn fiksasi eksterna atau fiksasi perkutaneus dengan K-Wire Setelah dilakukan reduksi tertutuppada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka resuksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur colles. Juga dapat dilakukan pada fraktur leher femur dan pertrokanter dengan memasukkan batang metal, serta pada fraktur batang femur dengan teknik tertutup dan hanya membuat lubang kecil pada daerah proksimal femur. Teknik ini biasanya memerlukan bantuan alat rontgen image intensifier (C-arm). c) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan dilakukan oleh ahli bedah serta pembantunya yang berpengalaman dalam ruangan aseptic. Operasi harus dilakukan secepatnya (dalam satu minggu) kecuali bila ada halangan. Alat-alat uang dipergunakan dalam operasi yaitu kawat bedah, kawat Kirschner, Screw, Screw dan plate, pin Kuntscher intrameduler, pin rush, pin Steinmann, pin Trephine, (pin smith Peterson), plate dan screw smith Peterson, pin plate telekospik, pin Jewett dan protesis. 29 Gambar 2.4. Beberapa macam penggunaan implant pada tindakan operasi A. Kirschner wire D. Kuntscher nail B. Screw E. Interlock nail C. Plate dan screw F. Protesis Selain alat-alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan bone graft baik autograft/allograft, untuk mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nounion. Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur dan fragment direduksi secara akurat dengan penglihatan langsung. Saat ini teknik operasi pada tulang dikembangkan oleh grup ASIF (metode AO) yang dilakukan di Swiss dengan menggunakan peralatan yang secara biomekanik telah diteliti. Prinsip operasi teknik AO berupa reduksi akurat, reduksi rigid dan mobilisasi dini yang akan memberikan hasil fungsional yang maksimal. 30 (1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna Indikasi: (a) Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur maleolus,kondilus, olekranon, patella. (b) Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan misalnya fraktur radius dan ulna disertai malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak stabil. (c) Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen. (d) Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur leher femur. (e) Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara baik dengan reduksi tertutup misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennett. (f) Fraktur terbuka. (g) Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur pada orang tua. (h) Eksisi fragmen yang kecil. (i) Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis avaskuler misalnya fraktur leher femur pada orang tua. (j) Fraktur avulsi misalnya pada kondilus humeri (k) Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV (Salter – Harris) pada anak-anak (l) Fraktur multipel misalnya frakturpada tungkai atas dan bawah (m) Untuk mempermudah perawatan penderita misalnya fraktur vertebra tulang belakang yang disertai paraplegia. 31 (2) Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna dengan mempergunakan kanselosa screw dengan metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-jenis lain misalnya menurut AO atau inovasi sendiri dengan mempergunakan screw schanz Indikasi: (a) Fraktur terbuka grade II dan grade III (b) Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat (c) Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis (d) Fraktur yang miskin jaringan ikat (e) Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah penderita diabetes mellitus Komplikasi reduksi terbuka: (a) Infeksi (osteomielitis) (b) Kerusakan pembuluh darah dan saraf (c) Kekakuan sendi bagian proksimal dan distal (d) Kerusakan periosteum yang hebat sehingga terjadi delayed union atau nounion d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nounion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian yang nekrosis. Sebagai bahan tambahan sering dipergunakan metilmetakrilat. 32 2) Fraktur terbuka Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from without). Fraktur terbuka merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulangulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat. Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat (pusponegoro A.D., 2007), yaitu: Derajat I : terdapat luka tembus kecil seujung jarum, luka ini di dapat dari tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam. Derajat II : Luka lebih besar disertai dengan rusaknya kulit subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya bebda-benda asing di sekitar luka. Derajat III : luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi. 33 Tabel 2.1 Klasifikasi yang dianut menurut Gustilo, Merkow dan Templeman Grade Keadaan Klinis I Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus keluar kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, transversal, oblik pendek atau sedikit II komunitif Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat III kerusakan sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi dari fraktur. Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. III a Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi yang hebat III b ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat. Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat III c pendorongan (stripping) periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif 34 yang hebat. Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak. Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka ditutup setelah 5-6 hari (delayed primary suture). Untuk fiksasi tulang pada derajat II dan III paling baik menggunakian fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna yang sering dipakai adalah judet, roger anderson, dan methly metbacrylate. Pemakain gips masih dapat diterima, bila peralatan tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah perawatan yang lebih sulit. Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debridemen. Debridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debridemen dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yng mengalir. Pencucian ini memegang peranan penting untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada tulang. Untuk menentukan batasan jaringan yang vital dan nekrotik. Didaerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen yang lunak (missalnya physohek), sabun biasa dengan lamanya 10 35 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Dengan siraman air mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti aliran air. Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fisia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen tulang yang kecil dan tidak mempengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan. Komplikasi fraktur terbuka : a) Perdarahan, syok septic sampai kematian b) Septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik c) Tetanus d) Gangren e) Perdarahan sekunder f) Delayed union g) Nounion dan malunion h) Kekauan sendi II.2 Konsep mobilisasi dini Segala jenis aktivitas rutin yang biasa dilakukan individu dalam kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, menulis, dan lain-lain yang berhubungan dengan otot, dan hal tersebut merupakan rentang gerak/mobilisasi. Rentang gerak atau mobilisasi adalah kemampuan maksimal seseorang dalam melakukan gerakan. Merupakan ruang gerak atau batas-batas gerakan dari kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot memendek secara penuh atau tidak, atau memanjang secara penuh atau tidak. Latihan rentang gerak, dapat mencegah terjadinya kontraktur, atropi otot, meningkatkan peredaran darah ke ekstremitas, mengurangi kelumpuhan vascular, dan memberikan kenyamanan klien. Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan memberikan kenyamanan pada klien. 36 Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan mengajarkan klien untuk latihan rentang gerak yang meliputi semua sendi. II.2.1 Defenisi Mobilisasi Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien paska operasi dimulai dari bangun duduk dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002). II.2.2 Manfaat Mobilisasi Dini. Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan semakin sulit untuk memulai berjalan. Menurut beberapa literatur manfaat mobilisasi adalah: a. Menurunkan insiden komplikasi imobilisasi paskaoperasi meliputi: sistem kardiovaskular; penurunan curah jantung, peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatik, tromboplebitis/deep vein trombosis/DVT dan atelektasis. Sistem repirasi: penuran kapasitas vital, penurunan ventilasi/perfusi setempat. Mekanisme bentuk yang menurunkan. Embolisme pulmonari. Sistem perkemihan. Infeksi saluran kemih. Iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, sistem muskuloskeletal: atropy otot, hilangnya kekuatan otot, kontraktur, hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan osteoprosis. Sistem gastrointestinal: paralitik ileus, konstipasi, stress ulser, anoreksia dan gangguan metabolisme. b. Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi. c. Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi abdomen. d. Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi. 37 e. Mengurangi tekanan pada kulit/ dekubitus. f. Penurunan intensitas nyeri g. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal (asmadi, 2008; Craven & hirenle, 2009; kamel et al, 1990; Lewis et al, 2000; potter & perry, 1999; Brunner & suddart. 2002) Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan semakin sulit untuk mulai berjalan. Menurut beberapa literatur manfaat mobilisasi adalah : a. Gerakan tubuh yang teratur dapat meningkatkan kesegaran tubuh. b. Memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi ketegangan, dan meningkatkan relaksasi. c. Menjaga kebugaran (fitness) dari tubuh. d. Merangsang peredaran darah dan kelenturan otot. e. Menurunkan stress seperti hipertensi, kelebihan berat badan, kepala pusing, kelelahan, dan depresi. f. Merangsang pertumbuhan pada anak-anak II.2.3 Jenis Mobilisasi Jenis mobilisasi atau latihan rentang gerak terbagi menjadi dua, yaitu rentang gerak aktif dan rentang gerak Pasif. Rentang gerak aktif adalah kemampuan klien dalam melakukan pergerakan secara mandiri, sedangkan rentang gerak pasif adalah pergerakan yang dilakukan dengan bantuan orang lain, perawat atau alat bantu. II.2.4 Gerakan Mobilisasi Gerakan rentang gerak bisa dilakukan pada leher, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah. Latihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Reeves (2001) 38 rentang gerak (ROM) standar untuk ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, adalah sebagai berikut. Ekstremitas atas a. Bahu : abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi. b. Siku: fleksi dan ekstensi. c. Lengan depan : pronasi dan supinasi. d. Pergelangan tangan : fleksi pergelangan, fleksi radialis, fleksi ulnaris, hiperekstensi pergelangan. e. Ibu jari : fleksi, ekstensi, dan oposisi (ibu jari berhadapan dengan jari kelingking). f. Jari-jari : abduksi, adduksi, fleksi, dan ekstensi. Ekstremitas bawah a. Kaki: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal, dan rotasi eksternal. b. Lutut: fleksi dan ekstensi. c. Pergelangan kaki: dorso fleksi, dan plantar fleksi. d. Telapak kaki: supinasi, dan pronasi. 39 Tabel 2.2 Rentang gerak sendi Pergerakan Rentang Kelompok otot (cakupan) 1. Sendi temporomandibular (synovial joint) a. Membuka mulut. 1-2.5 inci Masseter, temporalis. b. Menutup mulut. Menutup rapat Pterigoid lateralis c. Protrusion. 0,5 inci Pterigoid medialis. d. Retrusion. 0,5 inci e. Lateral Motion. 0,5 inci 2. Tulang belakang (pivot joint) a. Fleksi. 45º setiap sisi Sternokleidomastoid b. Ekstensi. 45º Trapezius c. Hiperekstensi. 10º Trapezius d. Fleksi lateral. 45º Sternokleidomastoid e. Rotasi. 90º Sternokleidomastoid, trapezius. 3. Bahu (ball and socket joint) a. Fleksi. 80º Pektoralis mayor, korakobrakialis, deltoid, bisep brakii. b. Ekstensi. 180º Teres mayor c. Hiperekstensi. 50º Latissimus dorsi, deltoid, teres mayor. d. Abduksi. 180º Deltoid, suprasinatus. e. Abduksi. 230º Pektoralis mayor, teres mayor. f. Sirkumduksi. 360º Deltoid, 40 korakobrakialis, latissimus dorsi, teres mayor. g. Rotasi eksternal. 90º Subskapularis, pektoralis mayor, latissimus dorsi, teres mayor. h. Rotasi internal. 90º Bisep brakii, brakialis, brakioradialis. 4. Siku (hinge joint) a. Fleksi. 150º Trisep brakii b. Ekstensi. 150º Bisep brakii, supinator c. Rotasi untuk supinasi 70-90º Pronator teres, pronator d. Rotasi untuk pronasi 70-90º quadrates. 80-90º Fleksor 5. Pergelangan tangan (condyloid joint) a. Fleksi. karpiradialis, fleksor karpiulnaris. b. Ekstensi. 80-90º Fleksor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, ekstensor karpiulnaris. c. Hiperekstensi. 80-90º Fleksor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, ekstensor karpiulnaris. d. Fleksi radial. Hingga 20º Ekstensor longus, karpiradialis karpiradialis ekstensor brevis, 41 fleksor karpiulnaris. e. Fleksi ulna. 30-50º Ekstensor karpiulnaris, fleksor karpiulnaris. 6. Tangan dan jari-jari (condyloid and hinge joint) a. Fleksi. 90º Interoseus manus, dorsalis fleksor digitorum superfisialis. b. Ekstensi. 90º Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi. c. Hiperekstensi. 30-50º Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi. d. Abduksi. 25º Interoseus dorsalis manus. e. Adduksi. 25º Interoseus Palmaris. 90º Fleksor polisis brevis, 7. Ibu jari (sadle joint) a. Fleksi. oponen polisis. b. Ekstensi. 90º Ekstensor polisis brevis, ekstensor polisis longus. c. Abduksi. 30º Abductor polisis brevis, abduktor polisis longus. d. Adduksi. 30º Adductor polisis travensus, adductor polisis obliqus. e. Oposisi. Bersentuhan 8. Pinggul (ball and socket joint). a. Fleksi. 90º-120º Psoas mayor, iliakus, 42 iliopsoas. b. Ekstensi. 90º-120º Gluteus maksimus, adduktor magnus, semitendinosus, semimembranosus. c. Hiperekstensi. 30º-50º Gluteus maksimus, adduktor magnus, semitendinosus, semimembranosus. d. Abduksi. 40º-50º Gluteus medius, gluteus minimus. e. Adduksi. 20º-30º past Adductor magnus, midline adductor brevis, adductor longus. f. Sirkumduksi. 360º Psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius, adductor magnus. g. Rotasi internal. 90º Gluteus minimus, gluteus medius, tensor fascialata. h. Rotasi eksternal. 90º Obquadratus eksternus, obturator internus, quadrates femoris. 43 9. Lutut (hinge joint). a. Fleksi. 120º-130º Biseps femoris, semitendinosus, semimembranosus. b. Ekstensi. 120º-130º Rektus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius. 10. Ankle/mata kaki (hinge joint) a. Plantar fleksi. 45º-50º Gastroknemius, soleus. b. Dorso fleksi. 20º Peroneus, tertius, tibialis anterior. 11. Kaki. a. Eversi. 5º Peroneus longus, peroneus brevis. b. Inverse. 5º Tibialis posterior, tibialis interior. 12. Jari kaki a. Fleksi. 35º-60º Fleksor hallusis brebis, lumbrikalis pedis, fleksor digitorum brevis. b. Ekstensi. 35º-60º Ekstensor digitorum longus, ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus. 44 c. Abduksi. Hingga 15º Interoseus dorsalis pedis, abduktor hallusis. d. Adduksi. Hingga 15º Abduktor halllusis, interoseus plantaris. II.2.5 Persiapan Mobilisasi Dini. a. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal: (a) intruksikan pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha, tahan selama 10 detik lalu dilepaskan (b) intruksikan pasien mengkontraksikan otot-otot pada bokong bersama, tahan selama 10 detik lalu lepaskan, ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien (hoeman, 2001). b. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstermitas atas dan lingkar bahu: (a) bengkokan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil memegang berat traksi atau benda yang beratnya berangsur-angsur ditambah dan jumlah pengulangannya. Ini berguna untuk menambah kekuatan otot ekstermitas atas (b)menekan balon karet ini berguna untuk meningkatkan kekuatan genggaman (c) angkat kepala dan bahu dari tempat tidur kemidian rentangkan tangan sejauh mungkin (d) duduk di tempat tidur atau kursi (Asmadi, 2008). II.2.6 Alat Yang Digunakan Untuk Mobilisasi Alat bantu yang digunakan untuk mobilisasi adalah: a. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari logam dan kayu dan sering digunakan permanen, misalnya conventional, adjustable dan lofstrand. Kruk biasanya digunakan pada pasien fraktur hip dan ekstremitas bawah. Kedua lengan yang benar-benar kuat untuk keseimabngan yang bagus. menopang tubuh pasien dengan 45 b. Canes (tongkat) adalah alat yang ringan , mudah dipindahkan, setinggi pinggang terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan sehat, meliputi tongkat berkaki panjang lurus (single straight-legged) dan tongkat berkaki segi empat (Quad cane). c. Walkers adalah satu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat penyangga yang kokoh klien memegang pemegang tangan pada batang dibagian atas, melankah memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh usila, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan pasien dengan fraktur hip dan ekstermitas bawah (Gartland, 1987: potter dan perry, 1999). II.2.7 Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Mobilisasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa pasien memerlukan bantuan dari peraat untuk bergerak dengan aman (Hoeman, 2001). Berikut ini diuraikan beberapa tahapan mobilisasi yang diterapkan pada pasien: preambulation bertujuan mempersiapkan otot untuk berdiri dan bejalan yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari tempat tidur (Hoeman, 2001). Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur dengan bantuan yang diperlukan (Berger & Williams, 1992). Pasien dengan disfungsi ekstermitas bawah biasanya dimulai dari duduk ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kalli selama 10 sampai ddengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan kebutuhan pasien (Lewis at al, 1998). Jangan terlalu memaksakan pasien untuk 46 melakukan banyak pergerakan pada saat bangun untuk menghindari kelelahan standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan. Perhatiakn waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukan gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Dan tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostastik. Menurut (Berger & Williams, 1992) memperhatikan pusing sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat mempersiapkan pasien untuk mobilisasi. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan hipotensi ortostatik. Hipotensi ortosattik adalah komplikasi yang sering terjadi pada bedrest jangka panjang, meminta pasien duduk disisi tempat tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat sebentar, ukur denyut nadi (Asmadi, 2008). Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat dan perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien. Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa letih, lamanya periode mobilisasi beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien (Brunner & Suddarth, 2002). a. Mobilisasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan berjalan dengan menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan perawat harus tahu weight bearing ambulation, meliputi : Non weight bearing ambulation; tidak menggunakan alat bantu jalan sama sekali, berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan selama 3 minggu setelah paska operasi. 47 b. Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat bantu jalan pada sebagian aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6 minggu) setelah paska operasi. c. Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari memerlukan bantuan alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh dilakukan setelah 3 bulan paska operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi (lewis et al, 1998). Pasien paska operasi fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF dianjurkan untuk mobilisasi duduk dalam periode yang singkat pada hari pertama paska operasi. Menurut Oldmeadow et al (2006) mobilisasi dini dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien paska operasi fraktur hip. Berangsur-angsur lakukan mobilisasi dengan kruk (tongkat) no weight bearing selama 3 s/d 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi. Pasien dengan paska operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot kuadrisep dan gluetal untuk melatih kekauatan otot-otot ini penting untuk mobilisasi, proses penyembuhan 10 s/d 16 minggu, berangsurangsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full weight bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan mobilisasi weight bearing sesuai dengan kemampuan pasien setelah paska oeparsi dan lakukan latihan isometris otot kuadrisep dengan lutut berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan fibula lakukan mobilisasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan tingkat cedera yang dialami pasien. II.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini pasien paska operasi II.3.1 Kondisi kesehatan pasien Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi system muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi. 48 Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas. Nyeri paska bedah kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom dan spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan bahwa nyerinya lebih ringan disbanding sebelum pembedahan dan hanya memerlukan jumlah analgetik yang sedikit saja harus diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Tersedia berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap penatalaksanan nyeri analgesia dikontrol pasien (ADP) dan analgesia epidural dapat diberikan untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta pengobatan nyeri sebelum nyeri itu menjadi berat. Obat harus diberikan segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat diramalkan misalnya ½ jam sebelum aktivitas terencana seperti pemindahan dan latihan ambulasi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Brunner & Suddarth (2002) kebanyakan pasien merasa takut untuk bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Efek immoblisasi pada system kardivaskular adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi orthostatik adalah suatu kondisi ketidak mampuan berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika pasien berubah posisi horizontal ke vertical (posisi berbaring ke duduk atau berdiri), yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya <100 mmhg (Dingle, 2003 dalam Perry & Potter, 2006). Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energy, gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala dan leher, dan hampir pingsan atau pingsan (Gilden, 1993 dala Potter & Perry, 1999). Keadaan ini sering menyebabkan pasien kurang melakukan mobilisasi. Kelelahan dan kerusakan otot dan neuromuscular, kelelahan otot mungkin karena gaya hidup, bedrest dan penyakit, keterbatasan 49 kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot lelah menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot dapat menurunkan kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan pergerakan yang lambat. Kelelahan yang berlebihan bisa menyebabkan pasien jatuh atau mengalami ketidakseimbangan pada saat latihan. Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan kelainan. Peningkatan suhu badan pada hari pertama atau kedua mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan infeksi luka operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfuse darah juga sering menyebabkan demam, dan diperlukan kemungkinan adanya dehidrasi (sjamsuhidayat & Jong, 2005). Hipotermia pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap manggigil. Pasien yang telah menjalani pemajanan lama terhadap dingin dalam ruang operasi dan menerima banyak infus intravena dipantau terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipotermia lebih besar pada pasien yang berada diruang operasi untuk waktu yang lama (Brunner & suddarth, 2002). II.3.2 Emosi Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang dapat menurunkan kemampuan mobilisasi yang baik. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam mobilisasi. Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah, lelah karena mengeluarkan energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi (Potter & Perry, 1999). Hubungan antara nyeri dan takut bersifat kompleks. Perasaan takut 50 seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan takut. Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena mengeluarkan energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional (Potter & Perry, 1999). Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan mobilisasi. Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang menonjol keluar akan mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan, seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang sempurna, sehingga klien merasa cemas, dengan keadaannya dan tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak bangun dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Potter & Perry, 1999). II.3.3 Gaya hidup Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti, dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang teratur, isrtirahat yang cukup dan penanganan stress (Pender 1990 dalam berger & Williams, 1992). Menurut Oldmeadow et al (2006) tahapan 51 pergerakan dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau di rumah dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi. II.3.4 Dukungan sosial Mendefinisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dalam subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimannya. Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005). Keterlibatannya anggota keluarga dalam rencana asuhan keoerawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan, membantu pelaksanaan latihan mobilisasi atau memberi obat-obatan. Menurut penelitian yang dilakukan Oldmeadow et al (2006) dukungan sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien melaksanakan latihan mobilisasi. Menurut Olson (1996 dalam Hoeman, 2001) mobilisasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan berpartisipasi dalam latihan (Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001). II.3.6 Pengetahuan Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal akan mengalami peningkatan alternative penanganan. Informasi mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi eksternal, alat bantu mobilisasi (trapeze, walker, tongkat), latihan dan medikasiharus didikusikan dengan pasien (Brunner & suddarth, 2002). 52 Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi ketakutan pasien. II.4 Penelitian Terkait 1. Nova Mega Yanti (2009), dengan judul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi ekstremitas bawah di Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan. Desian penelitian menggunakan deskriptif observasi dengan jumlah sampel 24 responden paska operasi ekstremitas bawah. Hasil penelitian analisis uji regresi logistik menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan antara faktor kondisi kesehatan pasien; Hb terhadap pelaksanaan ambulasi dini dimana (P═0,026<0,005) dan faktor dukungan sosial sedangkan faktor dukungan sosial terhadap pelaksanaan ambulasi dini dimana (p═0,029<0,05). Sedangkan faktor kondisi kesehatan, suhu, hipotensi ortostatik, pernafasan dan nyeri, faktor emosi, faktor gaya hidup dan pengetahuan tidak terdapat pengaruh terhadap pelaksanaan ambulasi dini. 2. Salfitri Aruan dan Suryani (2004), dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi klien post operasi fraktur untuk mengikuti mobilisasi secara dini di RSUP Fatmawati. Jumlah responden adalah 30 orang. Dengan hasil faktor keinginan untuk sembuh/hidup optimal (93,3%), faktor eksternal stimulus lingkungan (83,3%), pengetahuan (66,7%), kondisi kesehatan (60%). faktor internal 53 II.5 Kerangka teori Faktor Predisposisi : A. Konsep Fraktur 1. Defenisi 2. Etiologi 3. Manifestasi klinis 4. Klasifikasi 5. Patofisiologi 6. Komplikasi 7. Faktor penyembuhan tulang 8. Pemeriksaan penunjang 9. Prinsip dan metode pengobatan Faktor pendukung Mobilisasi dini: 1. Manfaat mobilisasi 2. Jenis mobilisasi 3. Gerakan mobilisasi 4. Persiapan mobilisasi 5. Alat yang digunakan 6. Pelaksanaan mobilisasi Faktor pendorong 1. Kondisi kesehatan 2. Emosi 3. Gaya hidup 4. Dukungan sosial 5. Pengetahuan Menurut Green, dalam Notoadmojo (2005) Pelaksanaan mobilisasi dini