TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Gabah Padi adalah biji

advertisement
3 TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Gabah
Padi adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine)
yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok manusia, pakan
ternak dan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku.
Terdapat juga jenis biji-bijian yang mengandung minyak, jagung merupakan jenis
biji-bijian yang mengandung minyak untuk bahan baku industri minyak nabati.
Biji-bijian yang tergolong dalam serealia antara lain padi (Oryza sativa), jagung
(Zea mays), gandum (Triticum sp), cantel (Sorghum sp), dan yang jarang dijumpai
di Indonesia adalah barley (Horgeum vulgare), rey (Secale cereale), oat (Avena
sativa). Satu sama lain mempunyai struktur kimia yang sangat mirip (Muchtadi,
1992).
Padi adalah salah satu tanaman penting dalam kehidupan manusia.
Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Platae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa L
Hasil panen padi dari sawah disebut gabah. Gabah tersusun dari 15-30%
kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% katul, 65-67% endosperm dan 2-3%
lembaga. Secara umum biji-bijian serealia terdiri dari tiga bagian besar yaitu kulit
biji, butir biji (endosperm) dan lembaga (embrio). Kulit biji padi disebut sekam,
sedangkan butir biji dan embrio dinamakan butir beras. Secara berurutan, lapisan
terluar disebut perikarp, kemudian lapisan aleuron dan bagian yang dalam adalah
endosperm. Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari:
4
a.
Aleuron : lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan
kulit.
b.
Endospermia : tempat sebagian besar pati dan protein beras berada.
c.
Embrio : merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh
lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Dalam bahasa seharihari, embrio disebut sebagai mata beras (Muchtadi, 1992).
Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperm dan
lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapisan sel. Tiap jenis padi mempunyai
variasi ketebalan. Beras yang berbentuk bulat cenderung mempunyai lapisan
aleuron yang lebih tebal dari pada beras yang lonjong. Lapisan aleuron terdiri dari
sel-sel parenkim dengan dinding tipis setebal 2 mm. Dinding sel aleuron bereaksi
positif dan terdapat zat pewarna untuk protein, hemiselulosa dan selulosa. Dalam
sitoplasma, aleuron berisi aluerin (butiran aleuron). Untuk lebih jelasnya dapat
terlihat pada Gambar dibawah ini (Muchtadi, 1992).
Kulit luar
Kulit ari
Aleuron
Endosperma
Lembaga
Gambar 1. Anatomi Gabah
Pada umumnya bentuk beras adalah lonjong, akan tetapi terdapat pula yang
berbentuk agak bulat. Sedangkan berdasarkan bentuknya (perbandingan antara
panjang dan lebar), beras dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu : lonjong (lebih
5 dari 3), sedang (4.0-3.0), agak bulat (2.0-2.39) dan bulat (< 2). Dalam standarisasi
mutu, dikenal empat tipe ukuran beras, yaitu sangat panjang (lebih dari 7 mm),
panjang (6-7 mm), sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (kurang dari 5 mm).
Menurut Potter (1973), panjang beras antara 5-10 mm, lebar beras antara 1.5-5
mm, berat beras 27 mg/biji, dan densitas kamba 575-600 kg/m3. Tinggi rendahnya
mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies, varietas, kondisi
lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu pemanenan, metode pengeringan dan cara
penyimpanan (Muchtadi, 1992).
B. Varietas Gabah
Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan
jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur,
tersebar di negara-negara beriklim tropis. Dari kelompok spesies padi yang telah
dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia
dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat.
Tanaman padi (Oryza sativa) diduga berasal dari Asia, terdapat sekitar
20.000 varietas padi di dunia. Tanaman padi tradisional di Asia yang beriklim
tropis bersifat tinggi dan lemah, dengan daun-daun yang melengkung ke bawah
dan masa dormansinya lama (Juliano dan Haryadi, 2008). Varietas tanaman padi
adalah golongan tanaman satu dengan yang lainnya memiliki sifat-sifat yang
sama. Varietas unggul adalah varietas padi yang mempunyai sifat-sifat yang lebih
daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya. Seperti daya hasil yang tinggi,
umur lebih pendek dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies
indica. Rasio panjang lebar paling rendah 2 ditunjukan oleh PB 36 dengan
panjang butiran sekitar 6.40 mm, sedangkan rasio panjang lebar yang tinggi
ditunjukan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran
6.50-7.50 mm (Patiwiri, 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang
dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Ciherang. Deskripsi
varietas tersebut seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Diskripsi varietas padi Ciherang
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bnetuk tananam
Tinggi tananam
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Teksur nasi
Kadar amilosa
Indeks Glikemik
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
hama penyakit
Anjuran tanam
Pemulia
Dilepas tahun
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
S3383-1D-PN-41-3-1
IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64
Cere
116-125 hari
Tegak
107-115 cm
14-17 batang
Hijau
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar pada sebelah bawah
Tegak
Tegak
Panjang ramping
Kuning bersih
Sedang
Sedang
Pulen
23%
54
28 g
6.0 t/ha
8.50 t/ha
: Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak
Tahan biotipe 3
Tahan terhadap hawar daun bakteri
strain III dan IV
: Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran
rendah sampai 500 m dpl
: Tarzat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan
Aan A. Daradjat
: 2000
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)
C. Sifat Fisik dan Kimia Beras
Sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang
berkaitan dengan perubahan karena pemanasan dengan air, yaitu suhu gelatinisasi
7 pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta dan konsistensi gel
pati (Haryadi, 2006). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada
saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok menurut suhu galatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC)
sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap
lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu galatinisasi tinggi membutuhkan
waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu galatinisasi
rendah.
Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.
Beras sebagai bahan makanan mengandung nilai gizi cukup tinggi yaitu
kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6.8 gram dan
kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0.8 mg
(Astawan, 2004).
Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara
pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung
berbagai unsur mineral dan vitamin (Lihat Tabel 2). Sebagian besar karbohidrat
beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosa, selulosa,
hemiselulosa, dan gula. Dengan demikian, sifat fisikokimia beras ditentukan oleh
sifat-sifat fisikokimia patinya (Astawan, 2004).
Tabel 2 Komposisi Gizi Beras Giling dan Nasi dari Beras Giling (dalam 100 gr
bahan)
Komposisi Gizi
Beras Giling
Nasi
Energi (Kal)
360
178
Protein (gr)
6.80
2.10
Lemak (gr)
0.70
0.10
Karbohidrat (gr)
78.90
40.60
Kalsium (mg)
6.00
5.00
Fosfor (mg)
140
22
Besi (mg)
0.80
0.50
Vitamin B1 (mg)
0.12
0.02
13
57
Air (gr)
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1992
8
D. Pengemasan Beras
Plastik adalah bahan kemasan yang penting didalam industri pangan,
kemasan plastik paling banyak digunakan karena harganya yang relatif murah,
lebih ringan daripada kemasan metal dan gelas, memerlukan lebih sedikit energi
dalam pembuatan, konversi dan pendistribusiannya. Selain sebagai pembungkus,
kemasan plastik dapat diperindah penampilan produk dan dapat menampung
cairan. Kemasan plastik dapat digunakan sebagai media promosi, karena dapat
disablon dan di print, bahkan dapat ditambahkan pewarna kedalam biji plastik
sebagai bahan dasar pembuatan plastik. Sebagai bahan pembungkus plastik dapat
digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan
bahan lain misalnya kertas atau alumunium foil. Kemasan plastik dapat digunakan
oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada
kemasan gelas dan metal, memerlukan energi yang kecil dalam pembuatan,
konversi, dan pendistribusianya. PE dan PP adalah jenis plastik yang biasa
digunakan dalam mengemas produk pertanian.
Tabel 3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film
plastik.
Permebilitas
Transmisi uap air
2
Jenis Film
(cc/hari-100 in -mil)
(g/hari-100 in2-mil)
O2
CO2
LDPE
550
2900
1.30
PVC
150
970
4.00
PP
240
800
0.70
PS
310
1050
8.00
Sumber : Buckle et al. (1985)
1. Plastik Polipropilen (PP)
Menurut Syarief et al. (1989), plastik polipropilen termasuk jenis plastik
olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utamanya yaitu:
a. Ringan (densitas 0.90 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan
jernih dalam bentuk film
b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan
rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku
9 c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek
d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang
e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC
f. Titik leburnya tinggi
g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
2. Plastik Low Density Polyethylen (LDPE)
Pada plastik polietilen jenis LDPE memiliki sifat bahan yang lemas dan
mudah di tarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, tidak cocok digunakan pada
bahan yang berlemak atau mengandung minyak, mempunyai transmisi gas cukup
tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma, memiliki
sifat kedap air dan uap air, berwarna buram, mudah di klim, tidak tahan terhadap
suhu tinggi (Syarief et al. 1989).
E. Beras Pratanak
Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap
pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi, 1974).
Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada prinsipnya melalui
tiga tahapan proses, yaitu perendaman (soaking), pengukusan (steaming), dan
pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih
awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga
diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat
fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih
karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al.,
2002).
Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas
terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak
adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai
gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses
pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta, 1981).
Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi
panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi lainnya dalam endosperm,
serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang
mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak
10
memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi serta kandungan minyak dan
lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak
lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni, 1980).
Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses
gelatinisasi pati terjadi pengembangan granula secara irreversible dan kompaknya
granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas
kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi, 1974).
Pada proses pratanak terjadi perubahan zat gizi (Tabel 4).
Haryadi (2006) menyatakan sifat-sifat fisik beras antara lain suhu
gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan,
dan kilap nasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai naik,
sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum
viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat
titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Menurut
Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan
penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut
suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi
(>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang
mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama
daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Suhu gelatinisasi
diawali dengan pembengkakan granula pati dalam air yang bersifat irreversible
dan diakhiri dengan hilangnya sifat kristal dari granula pati. Suhu gelatinisasi pati
berbeda untuk setiap jenis bahan, dimana suhu gelatinisasi umumnya dibagi
menjadi tiga tahap yaitu: suhu awal, suhu puncak dan suhu akhir (Winarno, 1997).
Jika suspensi pati dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, akan terjadi
peristiwa gelatinisasi. Proses ini meliputi pemutusan ikatan hidrogen dan
pengembangan granula pati. Gelatinisasi merupakan tahap awal perubahanperubahan sifat fisik pati. Granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun
dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu
gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan
pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur
mengalami perubahan yang bersifat irreversible, artinya tidak dapat kembali pada
11 kondisi
granula
semula.
Gelatinisasi
pati
ditandai
dengan
terjadinya
pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit,
hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan
pati. Secara mikroskopik perubahan granula pati pada saat pemanasan pada saat
suhu kamar berlangsung cepat dan meliputi tahap penyerapan air hingga 25-30%
yang bersifat dapat balik. Pada tahap selanjutnya, yaitu pada suhu sekitar 65oC,
granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak yang
bersifat tidak dapat balik. Akhirnya terjadi pengembangan yang lebih besar lagi,
terjadi pelarutan amilosa fraksi rendah dan selanjutnya terjadi pemecahan granula
pati yang kemudian tersebar merata (Haryadi, 2008).
Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler
dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut
sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni, 1980
dan De Datta, 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati
endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat
proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi
pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan
uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.
Tabel 4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan
Komponen
Kadar air
Energi
Kadar protein
Kadar lemak
Serat
Kadar abu
Satuan
(%bb)
(kkal)
(%bk)
(%bk)
(%bk)
(%bk)
Beras pecah kulit Beras Giling
12.00
12.00
360
363
7.50
6.70
1.90
0.40
0.90
0.30
1.20
0.50
Beras pratanak
10.30
369
7.40
0.30
0.20
0.70
Sumber : Adair et al (1973)
Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan
melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan
tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan
akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi
(Damardjati, 1981).
12
Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan
pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu
60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak
memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah
yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat
pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta, 1981).
Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14%
merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling.
Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai
tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan
hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir
(Garibaldi, 1974). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan.
Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga
warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan
pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena
suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang dan
cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak
(cracking).
Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan
dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah
kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh
beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan,
yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak.
Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses
penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang
melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat
sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya
bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni, 1980).
F. Indeks Glikemik
Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins,
seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu
menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet
13 bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini
menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang
tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).
Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni
adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan
bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan
tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004). Karbohidrat dalam pangan
yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi.
Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata
lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat
yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga
melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni
ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik
pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Berikut merupakan kategori pangan
menurut rentang indeks glikemik.
Tabel 5 kategori pangan menurut indeks glikemik
Kategori pangan
Indeks glikemik rendah
Indeks glikemik sedang
Indeks glikemik tinggi
Rentang indeks glikemik
< 55
55-70
> 70
Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara
lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan
amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat,
kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Berbagai faktor dapat
menyebabkan indeks glikemik pangan yang satu berbeda dengan pangan yang
lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang
berbeda dapat memiliki indeks glikemik yang berbeda, karena pengolahan dapat
menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman
yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pada indeks glikemik
(Rimbawan & Siagian 2004).
14
Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya
rantai sakarida, melainka oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat
sederhana tidak semuanya memiliki indeks glikemik lebih tinggi daripada
karbohidrat komplek. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi
indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki indeks glikemik sangat kecil
(IG=23), sedangkan sukrosa memiliki indeks glikemik sedang (IG=65). Selain itu,
kehadiran gula didalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara
mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi
oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat
menyebabkan indeks glikemik pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan &
Siagian 2004).
Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang
berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat
lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempuyai
struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan
sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga
mudah mengalami retrodagasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Mayer, 1973).
Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan
lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna
(Rimbawan & Siagian 2004).
Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar
gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikkan akan terjadi sekitar 15-45 menit
setelah dikonsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan
karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal
setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk
menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan
diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah.
Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langerhans pada pankreas. Hormon insulin
bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju perubahan
glukosa menjadi glikogen (Wardlay, 1999).
Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas,
diabetes dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002), pangan yang
15 memiliki indeks glikemik tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah
besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut
akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak
pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tipe II)
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik
rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi
makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan meningkatkan sensitivitas
insulin dalam pangkreas (Ragnhild et al. 2004).
G. Sorpsi Isotermis
Bahan makanan sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu
dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan sebaliknya dapat
melelepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorbsi). Istilah sorpsi
air dipakai untuk menunjukan semua proses saat padatan bergabung dengan
molekul air secara reversible (Adawiyah, 2006). Perilaku produk makanan
terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva yang
menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif
setimbang ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu
(Troller dan Christian, 1978). Kurva yang menggambarkan hubungan tersebut
disebut kurva isothermis (Syarief dan Halid, 1993).
Sorpsi isothermis suatu bahan pangan dapat digunakan dalam menentukan
jenis pengemas yang dibutuhkan, memprediksikan karakteristik kondisi
penyimpanan yang sesuai dan penentuan masa simpan (Mir dan Nath, 1995).
1. Kurva Sorpsi Isotermis
Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat
digambarkan oleh kurva sorpsi isothermis. Kurva sorpsi isotermis adalah kurva
yang menggambarkan hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan
dengan aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan (ERH) ruang
penyimpanan (De man, 2007). Menurut Winarno (2004), setiap jenis bahan
pangan memiliki bentuk kurva sorpsi isothermis yang khas. Perubahan kadar air
akan mempengaruhi mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola
penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya umur simpan suatu
16
produk pangan dapat ditentukan. Tipe-tipe kurva sorpsi isothermis bahan pangan
Kadar air
kesetimbangan
Kadar air
kesetimbangan
Kadar air
kesetimbangan
dapat dilihat pada Gambar 2.
Aktivitas air
Aktivitas air
Kadar air
kesetimbangan
Kadar air
kesetimbangan
Aktivitas air
Aktivitas air
Aktivitas air
Gambar 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis
Sumber: Hui et al. (2008)
Menurut Labuza dan Bilge (2007), secara umum ada tiga tipe bentuk kurva
isotermis. Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi isotermis yang khas untuk bahan
pangan antikempal. Tipe II adalah kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid
dan paling banyak ditemukan pada produk pangan. Produk pangan kering
umumnya memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Tipe III
mewakili kurva sorpsi isotermis untuk bahan kristal, misalnya sukrosa. Namun
menurut Arpah (2007), beberapa literatur membagi bentuk kurva sorpsi isotermis
menjadi lima tipe. Tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari tipe II. Tipe IV
memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III,
sedangkan tipe V memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dan
tipe I.
Berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, kurva sorpsi isotermis terbagi
kedalam tiga daerah. Daerah pertama mempunyai nilai aw sampai 0.3, Pada daerah
ini air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan air yang terikat sangat
kuat. Daerah kedua mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7. Pada daerah kedua, air
terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-lapisan yang disebut dengan air
multilayer. Air yang terdapat pada daerah ini berperan sebagai pelarut sehingga
aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga
17 merupakan daerah yang mempunyai nilai aw di atas 0,7. Daerah ini merupakan
daerah air bebas, dimana pada daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori
bahan. Keadaan air dalam kondisi bebas ini dapat mempercepat proses kerusakan
produk pangan (Arpah, 2007). Secara umum kurva sorpsi isotermis pada bahan
Kadar air kesetimbangan (% bk)
pangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Air terikat
sangat kuat
(Monolayer)
Air terikat kurang kuat
(multilayer)
Air bebas
Pelepasan
uap air
Penyerapan
uap air
Aktivitas air (aw)
Gambar 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum
Sumber: Chaplin (2009)
Pada umumnya kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid yaitu menyerupai
huruf S (Buckle et al., 2007). Kurva sorpsi isotermis adsorpsi dimulai dari kondisi
kering hingga kondisi basah, misalnya proses rehidrasi/penyerapan air.
Sedangkan, kurva sorpsi isotermis desorpsi dimulai dari kondisi basah ke kondisi
kering, misalnya proses dehidrasi/proses pengeringan. Pada jenis bahan pangan
yang sama grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva
adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva
desorpsi) tidak pernah berhimpit. Kadar air isotermis desorpsi lebih tinggi
nilainya dibandingkan dengan isotermis adsorpsi pada nilai aktivitas air (aw) yang
sama. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeria. Fenomena histeria
diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh
dari proses adsorpsi dan desorpsi. Bentuk kurva dan besarnya tingkat histeria
18
suatu produk pangan sangat beragam tergantung pada komposisi bahan
penyusunnya, suhu, dan waktu penyimpanan (Rahman, 2009).
2. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model matematika mengenai kadar air kesetimbangan atau sorpsi isotermis
telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang
dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi
isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu
dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Kesesuaian setiap model isotermis terhadap
isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan jenis bahan penyusun
produk pangan tersebut (Arpah, 2007).
Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk
menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie,
Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan
persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan
pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk
bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang
paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk
kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku
untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi
isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk
bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan
suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan
multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan
kelembaban relatif 10-81% (Chirife dan Iglesias, 1978 diacu dalam Arpah, 2007).
Adapun persamaan dari model-model tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan
Model
Henderson
Caurie
Oswin
Chen Clayton
Hasley
Persamaan
1-aw = exp(-KMen)
ln Me = ln P1-P2*aw
Me = P1[aw/(1- aw)] P2
aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]
aw = exp[-P1/(Me)P2]
Keterangan
• Me: kadar air kesetimbangan
• aw: aktivitas air
• K dan n: konstanta
• P1 dan P2 : konstanta
Sumber: Chirife dan Iglesias (1978) diacu dalam Arpah (2007)
19 3. Kadar Air Kesetimbangan
Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang
berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu
tertentu. Pada saat kadar air kesetimbangan tercapai bahan tidak menyerap
molekul-molekul air dari udara maupun melepaskan molekul-molekul air ke
udara, hal ini terjadi bila bahan berada pada lingkungan tertentu untuk waktu yang
lama (Brooker et al., 1992).
Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses
adsorpsi dan desorpsi (Buckle et al., 2007). Jika kelembaban relatif udara lebih
tinggi dari pada kelembaban relatif bahan, maka bahan akan menyerap air
(adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari pada
kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi)
(Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan akan meningkat dengan
menurunnya suhu pada kondisi aktivitas air yang konstan (Kapseu, 2006).
Menurut Brooker et al. (1992), penentuan kadar air kesetimbangan dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu metode statis dan dinamis. Pada metode
statis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan udara diam.
Metode statis umumnya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena
umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada metode
dinamis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan bergerak.
Metode dinamis biasanya digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan
menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.
Menurut Lievonen dan Ross (2002) diacu dalam Adawiyah (2006),
penentuan kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan melalui metode statis
akan tercapai yang ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan
dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut
tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH≤90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk
RH>90%. Kadar air kesetimbangan suatu bahan dapat digunakan untuk
menggambarkan kurva sorpsi isotermis bahan tersebut.
20
4. Aktivitas Air (aw)
Aktivitas air berhubungan erat dengan kandungan air dalam bahan pangan.
Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari
beberapa komponen. Secara umum bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas
dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila diuapkan atau
dikeringkan, sedangkan air terikat sulit hilang dengan cara tersebut. Kadar air
bebas dapat berubah secara signifikan selama penyimpanan pada suhu lingkungan
terutama untuk parameter higroskopisitas produk kering (Sithole, 2005).
Aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan
pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air
yang tidak terikat atau bebas dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air
berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan juga laju pertumbuhan mikroba
dalam bahan pangan (De man, 2007). Menurut Hui et al. (2008), pertumbuhan
mikroba, oksidasi lipid, aktivitas non enzimatis, aktivitas enzimatis, dan tekstur
suatu produk pangan sangat tergantung pada aktivitas air.
Aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan
produk pangan kering selama penyimpanan (Belitz et al., 2009). Menurut
Herawati (2008), aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya
dapat menggambarkan pertumbuhan bakteri, jamur, dan mikroba lainnya. Pada
umumnya semakin tinggi aktivitas air semakin banyak bakteri yang tumbuh,
sedangkan jamur sebaliknya tidak menyukai aktivitas air yang terlalu tinggi.
Adapun hubungan aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas
Nilai aw
0.7–0.75
>0.75
0.6-0.7
0.35-0.5
0.4-0.5
Mutu makanan
Produk mulai tidak aman untuk dikonsumsi
Mikroorganisme berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi
beracun
Jamur mulai tumbuh
Makanan ringan hilang kerenyahan
Produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh
selama dimasak atau karena goncangan mekanis
Sumber: Labuza (1982)
21 H. Umur Simpan
National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai
berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana
kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti
diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas
serta proteksi isi kemasan (Arpah, 2007). Penentuan umur simpan suatu produk
dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi
perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (Ellis, 1994).
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi
kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan
irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada
saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat
diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu
makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa.
Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa,
yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan
tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu
industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang di
distribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Floros (1993), umur simpan
produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya
dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan
Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvensional dan Accelerated
Storage Studies (ASS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara
konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara
menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan
pengamatan penurunan mutunya. Metode akselarasi diterapkan pada produk
pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau
intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya (Floros,
1993). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat,
tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.
22
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk
pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis
ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan
terjadinya perubahan mutu produk pangan selama distribusi, penyimpanan hingga
siap dikonsumsi (Herawati, 2008). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993).
Kriteria
kadaluarsa
beberapa
produk
pangan
dapat
ditentukan
dengan
menggunakan acuan titik kritisnya. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
No
Produk
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Teh kering
Susu bubuk
Susu bubuk
Makanan laut
kering beku
Makanan bayi
Makanan kering
Sayuran kering
Kol kering
Tepung biji kapas
Tepung tomat
Biji-bijian
Bawang kering
Buncis hijau
14
Keripik kentang
15
16
17
Mekanisme penurunan
mutu
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Oksidasi
Oksidasi dan
fotodegradasi
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
dan oksidasi
udang kering beku Oksidasi
Penyerapan uap air
Tepung gandum
dan oksidasi
Minuman ringan
Pelepasan CO2
Kriteria kadaluarsa
Peningkatan kadar air
Pencoklatan
Laju kosentrasi
aktivitas air
Kosentrasi asam askorbat
Off flavor-perubahan warna
Pencoklatan
Pencoklatan
Kosentrasi asam askorbat
Peningkatan kadar air
Pencoklatan
Konsentrasi klorofil
Laju oksidasi
Kosentrasi karoten dan laju
kosentrasi O2
Konsentrasi asam askorbat
Perubahan tekanan
Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993)
Perumusan model akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama adalah pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori
difusi, yaitu cara yang diterapkan untuk produk pangan kering dengan
23 menggunakan kadar air atau aw sebagai kriteria kadaluwarsa. Pendekatan kedua
adalah pendekatan empiris dengan bantuan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang
menggunakan Teori Kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordo nol
atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2007).
Nilai aw dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kerusakan
makanan atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk
pangan stabil. Menurut Labuza (1982), aw bahan pangan sangat menentukan
kondisi penerimaan atau kehilangan air dari bahan pangan. Faktor-faktor yang
menentukan waktu penerimaan air dari bahan pangan adalah isotermis sorpsi air,
permeabelitas film kemasan, ratio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan
kering, kadar air awal, kadar air kritis, RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza
(1982) telah mengembangkan model matematik yang dapat digunakan untuk
memperkirakan perubahan kadar air produk yang dikemas pada kondisi
lingkungan tetap, yaitu :
⎡ Me − Mi ⎤
ln ⎢
Me − Mc ⎥⎦
t = ⎣
……………………………………………………………..(1)
k A Po
x Ws b
Dimana Me= Kadar air bahan pangan pada keadaan setimbang (%bk), Mi= kadar
air awal (%bk), Mc= kadar air kritis (%bk), k/x= permeabilitas uap air kemasan
(g/m2.hari.mmHg), A= luas permukaan kemasan (m2), Ws= berat bahan (g), Po=
tekanan uap air murni/jenuh pada ruang penyimpanan (mmHg), b= slope kurva
sorpsi isotermis yang terpilih dan t= umur simpan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas
adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan
terhadap perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungan
dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana
kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kemasan
keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk
perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Penurunan mutu produk
terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut, oleh karena itu dalam
24
menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap
atribut mutu produk tersebut (Syarief dan Halid, 1993).
Labuza (1982) menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan
pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi
umur simpan produk. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan bahan
pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi. Penentuan umur simpan metode
Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini. Metode Arrhenius merupakan
metode simulasi dalam menduga umur simpan produk. Penurunan mutu dengan
metode simulasi memerlukan beberapa pengamatan yaitu adanya parameter
kuantitatif. Parameter tersebut harus dapat mencerminkan keadaan mutu yang
terjadi pada kondisi penyimpanan (Syarif dan Halid, 1993). Syarif dan Halid
(1993) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan akan lebih baik dari
suhu penyimpanan yang berubah-ubah. Pendugaan laju penurunan mutu dapat
dilakukan dengan persamaan Arrhenius berikut:
k = ko e -E/RT
………………………………………………………….............(2)
Keterangan:
k = konstanta penurunan mutu (per hari)
ko = konstanta laju absolut (tidak tergantung suhu)
E = energi aktivasi reaksi perubahan karakteristik mutu (kal/mol)
T = Suhu mutlak (oK)
R = Konstanta gas ideal (1,986 kal/moloK)
Download