3 TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Gabah Padi adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak dan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku. Terdapat juga jenis biji-bijian yang mengandung minyak, jagung merupakan jenis biji-bijian yang mengandung minyak untuk bahan baku industri minyak nabati. Biji-bijian yang tergolong dalam serealia antara lain padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), gandum (Triticum sp), cantel (Sorghum sp), dan yang jarang dijumpai di Indonesia adalah barley (Horgeum vulgare), rey (Secale cereale), oat (Avena sativa). Satu sama lain mempunyai struktur kimia yang sangat mirip (Muchtadi, 1992). Padi adalah salah satu tanaman penting dalam kehidupan manusia. Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Kingdom : Platae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Poales Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L Hasil panen padi dari sawah disebut gabah. Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% katul, 65-67% endosperm dan 2-3% lembaga. Secara umum biji-bijian serealia terdiri dari tiga bagian besar yaitu kulit biji, butir biji (endosperm) dan lembaga (embrio). Kulit biji padi disebut sekam, sedangkan butir biji dan embrio dinamakan butir beras. Secara berurutan, lapisan terluar disebut perikarp, kemudian lapisan aleuron dan bagian yang dalam adalah endosperm. Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari: 4 a. Aleuron : lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan kulit. b. Endospermia : tempat sebagian besar pati dan protein beras berada. c. Embrio : merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Dalam bahasa seharihari, embrio disebut sebagai mata beras (Muchtadi, 1992). Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperm dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapisan sel. Tiap jenis padi mempunyai variasi ketebalan. Beras yang berbentuk bulat cenderung mempunyai lapisan aleuron yang lebih tebal dari pada beras yang lonjong. Lapisan aleuron terdiri dari sel-sel parenkim dengan dinding tipis setebal 2 mm. Dinding sel aleuron bereaksi positif dan terdapat zat pewarna untuk protein, hemiselulosa dan selulosa. Dalam sitoplasma, aleuron berisi aluerin (butiran aleuron). Untuk lebih jelasnya dapat terlihat pada Gambar dibawah ini (Muchtadi, 1992). Kulit luar Kulit ari Aleuron Endosperma Lembaga Gambar 1. Anatomi Gabah Pada umumnya bentuk beras adalah lonjong, akan tetapi terdapat pula yang berbentuk agak bulat. Sedangkan berdasarkan bentuknya (perbandingan antara panjang dan lebar), beras dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu : lonjong (lebih 5 dari 3), sedang (4.0-3.0), agak bulat (2.0-2.39) dan bulat (< 2). Dalam standarisasi mutu, dikenal empat tipe ukuran beras, yaitu sangat panjang (lebih dari 7 mm), panjang (6-7 mm), sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (kurang dari 5 mm). Menurut Potter (1973), panjang beras antara 5-10 mm, lebar beras antara 1.5-5 mm, berat beras 27 mg/biji, dan densitas kamba 575-600 kg/m3. Tinggi rendahnya mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies, varietas, kondisi lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu pemanenan, metode pengeringan dan cara penyimpanan (Muchtadi, 1992). B. Varietas Gabah Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim tropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat. Tanaman padi (Oryza sativa) diduga berasal dari Asia, terdapat sekitar 20.000 varietas padi di dunia. Tanaman padi tradisional di Asia yang beriklim tropis bersifat tinggi dan lemah, dengan daun-daun yang melengkung ke bawah dan masa dormansinya lama (Juliano dan Haryadi, 2008). Varietas tanaman padi adalah golongan tanaman satu dengan yang lainnya memiliki sifat-sifat yang sama. Varietas unggul adalah varietas padi yang mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya. Seperti daya hasil yang tinggi, umur lebih pendek dan tahan terhadap hama dan penyakit. Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio panjang lebar paling rendah 2 ditunjukan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.40 mm, sedangkan rasio panjang lebar yang tinggi ditunjukan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran 6.50-7.50 mm (Patiwiri, 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Ciherang. Deskripsi varietas tersebut seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. 6 Tabel 1 Diskripsi varietas padi Ciherang Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bnetuk tananam Tinggi tananam Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Teksur nasi Kadar amilosa Indeks Glikemik Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap hama penyakit Anjuran tanam Pemulia Dilepas tahun : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : S3383-1D-PN-41-3-1 IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Cere 116-125 hari Tegak 107-115 cm 14-17 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar pada sebelah bawah Tegak Tegak Panjang ramping Kuning bersih Sedang Sedang Pulen 23% 54 28 g 6.0 t/ha 8.50 t/ha : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak Tahan biotipe 3 Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl : Tarzat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat : 2000 Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009) C. Sifat Fisik dan Kimia Beras Sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang berkaitan dengan perubahan karena pemanasan dengan air, yaitu suhu gelatinisasi 7 pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta dan konsistensi gel pati (Haryadi, 2006). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu galatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu galatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu galatinisasi rendah. Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Beras sebagai bahan makanan mengandung nilai gizi cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6.8 gram dan kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0.8 mg (Astawan, 2004). Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin (Lihat Tabel 2). Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Dengan demikian, sifat fisikokimia beras ditentukan oleh sifat-sifat fisikokimia patinya (Astawan, 2004). Tabel 2 Komposisi Gizi Beras Giling dan Nasi dari Beras Giling (dalam 100 gr bahan) Komposisi Gizi Beras Giling Nasi Energi (Kal) 360 178 Protein (gr) 6.80 2.10 Lemak (gr) 0.70 0.10 Karbohidrat (gr) 78.90 40.60 Kalsium (mg) 6.00 5.00 Fosfor (mg) 140 22 Besi (mg) 0.80 0.50 Vitamin B1 (mg) 0.12 0.02 13 57 Air (gr) Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1992 8 D. Pengemasan Beras Plastik adalah bahan kemasan yang penting didalam industri pangan, kemasan plastik paling banyak digunakan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal dan gelas, memerlukan lebih sedikit energi dalam pembuatan, konversi dan pendistribusiannya. Selain sebagai pembungkus, kemasan plastik dapat diperindah penampilan produk dan dapat menampung cairan. Kemasan plastik dapat digunakan sebagai media promosi, karena dapat disablon dan di print, bahkan dapat ditambahkan pewarna kedalam biji plastik sebagai bahan dasar pembuatan plastik. Sebagai bahan pembungkus plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau alumunium foil. Kemasan plastik dapat digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan gelas dan metal, memerlukan energi yang kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusianya. PE dan PP adalah jenis plastik yang biasa digunakan dalam mengemas produk pertanian. Tabel 3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik. Permebilitas Transmisi uap air 2 Jenis Film (cc/hari-100 in -mil) (g/hari-100 in2-mil) O2 CO2 LDPE 550 2900 1.30 PVC 150 970 4.00 PP 240 800 0.70 PS 310 1050 8.00 Sumber : Buckle et al. (1985) 1. Plastik Polipropilen (PP) Menurut Syarief et al. (1989), plastik polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utamanya yaitu: a. Ringan (densitas 0.90 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku 9 c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC f. Titik leburnya tinggi g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak 2. Plastik Low Density Polyethylen (LDPE) Pada plastik polietilen jenis LDPE memiliki sifat bahan yang lemas dan mudah di tarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, tidak cocok digunakan pada bahan yang berlemak atau mengandung minyak, mempunyai transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma, memiliki sifat kedap air dan uap air, berwarna buram, mudah di klim, tidak tahan terhadap suhu tinggi (Syarief et al. 1989). E. Beras Pratanak Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi, 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (soaking), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al., 2002). Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta, 1981). Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak 10 memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni, 1980). Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangan granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi, 1974). Pada proses pratanak terjadi perubahan zat gizi (Tabel 4). Haryadi (2006) menyatakan sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai naik, sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula pati dalam air yang bersifat irreversible dan diakhiri dengan hilangnya sifat kristal dari granula pati. Suhu gelatinisasi pati berbeda untuk setiap jenis bahan, dimana suhu gelatinisasi umumnya dibagi menjadi tiga tahap yaitu: suhu awal, suhu puncak dan suhu akhir (Winarno, 1997). Jika suspensi pati dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, akan terjadi peristiwa gelatinisasi. Proses ini meliputi pemutusan ikatan hidrogen dan pengembangan granula pati. Gelatinisasi merupakan tahap awal perubahanperubahan sifat fisik pati. Granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur mengalami perubahan yang bersifat irreversible, artinya tidak dapat kembali pada 11 kondisi granula semula. Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan pati. Secara mikroskopik perubahan granula pati pada saat pemanasan pada saat suhu kamar berlangsung cepat dan meliputi tahap penyerapan air hingga 25-30% yang bersifat dapat balik. Pada tahap selanjutnya, yaitu pada suhu sekitar 65oC, granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak yang bersifat tidak dapat balik. Akhirnya terjadi pengembangan yang lebih besar lagi, terjadi pelarutan amilosa fraksi rendah dan selanjutnya terjadi pemecahan granula pati yang kemudian tersebar merata (Haryadi, 2008). Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni, 1980 dan De Datta, 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah. Tabel 4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan Komponen Kadar air Energi Kadar protein Kadar lemak Serat Kadar abu Satuan (%bb) (kkal) (%bk) (%bk) (%bk) (%bk) Beras pecah kulit Beras Giling 12.00 12.00 360 363 7.50 6.70 1.90 0.40 0.90 0.30 1.20 0.50 Beras pratanak 10.30 369 7.40 0.30 0.20 0.70 Sumber : Adair et al (1973) Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Damardjati, 1981). 12 Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta, 1981). Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14% merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling. Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir (Garibaldi, 1974). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking). Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni, 1980). F. Indeks Glikemik Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet 13 bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004). Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004). Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Berikut merupakan kategori pangan menurut rentang indeks glikemik. Tabel 5 kategori pangan menurut indeks glikemik Kategori pangan Indeks glikemik rendah Indeks glikemik sedang Indeks glikemik tinggi Rentang indeks glikemik < 55 55-70 > 70 Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Berbagai faktor dapat menyebabkan indeks glikemik pangan yang satu berbeda dengan pangan yang lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang berbeda dapat memiliki indeks glikemik yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pada indeks glikemik (Rimbawan & Siagian 2004). 14 Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainka oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki indeks glikemik lebih tinggi daripada karbohidrat komplek. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki indeks glikemik sangat kecil (IG=23), sedangkan sukrosa memiliki indeks glikemik sedang (IG=65). Selain itu, kehadiran gula didalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan indeks glikemik pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan & Siagian 2004). Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempuyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrodagasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Mayer, 1973). Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna (Rimbawan & Siagian 2004). Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikkan akan terjadi sekitar 15-45 menit setelah dikonsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju perubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlay, 1999). Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002), pangan yang 15 memiliki indeks glikemik tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tipe II) dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan meningkatkan sensitivitas insulin dalam pangkreas (Ragnhild et al. 2004). G. Sorpsi Isotermis Bahan makanan sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan sebaliknya dapat melelepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorbsi). Istilah sorpsi air dipakai untuk menunjukan semua proses saat padatan bergabung dengan molekul air secara reversible (Adawiyah, 2006). Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif setimbang ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Troller dan Christian, 1978). Kurva yang menggambarkan hubungan tersebut disebut kurva isothermis (Syarief dan Halid, 1993). Sorpsi isothermis suatu bahan pangan dapat digunakan dalam menentukan jenis pengemas yang dibutuhkan, memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai dan penentuan masa simpan (Mir dan Nath, 1995). 1. Kurva Sorpsi Isotermis Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva sorpsi isothermis. Kurva sorpsi isotermis adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan (ERH) ruang penyimpanan (De man, 2007). Menurut Winarno (2004), setiap jenis bahan pangan memiliki bentuk kurva sorpsi isothermis yang khas. Perubahan kadar air akan mempengaruhi mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya umur simpan suatu 16 produk pangan dapat ditentukan. Tipe-tipe kurva sorpsi isothermis bahan pangan Kadar air kesetimbangan Kadar air kesetimbangan Kadar air kesetimbangan dapat dilihat pada Gambar 2. Aktivitas air Aktivitas air Kadar air kesetimbangan Kadar air kesetimbangan Aktivitas air Aktivitas air Aktivitas air Gambar 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis Sumber: Hui et al. (2008) Menurut Labuza dan Bilge (2007), secara umum ada tiga tipe bentuk kurva isotermis. Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi isotermis yang khas untuk bahan pangan antikempal. Tipe II adalah kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid dan paling banyak ditemukan pada produk pangan. Produk pangan kering umumnya memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Tipe III mewakili kurva sorpsi isotermis untuk bahan kristal, misalnya sukrosa. Namun menurut Arpah (2007), beberapa literatur membagi bentuk kurva sorpsi isotermis menjadi lima tipe. Tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari tipe II. Tipe IV memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III, sedangkan tipe V memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dan tipe I. Berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, kurva sorpsi isotermis terbagi kedalam tiga daerah. Daerah pertama mempunyai nilai aw sampai 0.3, Pada daerah ini air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan air yang terikat sangat kuat. Daerah kedua mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7. Pada daerah kedua, air terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-lapisan yang disebut dengan air multilayer. Air yang terdapat pada daerah ini berperan sebagai pelarut sehingga aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga 17 merupakan daerah yang mempunyai nilai aw di atas 0,7. Daerah ini merupakan daerah air bebas, dimana pada daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori bahan. Keadaan air dalam kondisi bebas ini dapat mempercepat proses kerusakan produk pangan (Arpah, 2007). Secara umum kurva sorpsi isotermis pada bahan Kadar air kesetimbangan (% bk) pangan dapat dilihat pada Gambar 3. Air terikat sangat kuat (Monolayer) Air terikat kurang kuat (multilayer) Air bebas Pelepasan uap air Penyerapan uap air Aktivitas air (aw) Gambar 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum Sumber: Chaplin (2009) Pada umumnya kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid yaitu menyerupai huruf S (Buckle et al., 2007). Kurva sorpsi isotermis adsorpsi dimulai dari kondisi kering hingga kondisi basah, misalnya proses rehidrasi/penyerapan air. Sedangkan, kurva sorpsi isotermis desorpsi dimulai dari kondisi basah ke kondisi kering, misalnya proses dehidrasi/proses pengeringan. Pada jenis bahan pangan yang sama grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Kadar air isotermis desorpsi lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan isotermis adsorpsi pada nilai aktivitas air (aw) yang sama. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeria. Fenomena histeria diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses adsorpsi dan desorpsi. Bentuk kurva dan besarnya tingkat histeria 18 suatu produk pangan sangat beragam tergantung pada komposisi bahan penyusunnya, suhu, dan waktu penyimpanan (Rahman, 2009). 2. Model Persamaan Sorpsi Isotermis Model matematika mengenai kadar air kesetimbangan atau sorpsi isotermis telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Kesesuaian setiap model isotermis terhadap isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut (Arpah, 2007). Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie, Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81% (Chirife dan Iglesias, 1978 diacu dalam Arpah, 2007). Adapun persamaan dari model-model tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan Model Henderson Caurie Oswin Chen Clayton Hasley Persamaan 1-aw = exp(-KMen) ln Me = ln P1-P2*aw Me = P1[aw/(1- aw)] P2 aw = exp[-P1/exp(P2*Me)] aw = exp[-P1/(Me)P2] Keterangan • Me: kadar air kesetimbangan • aw: aktivitas air • K dan n: konstanta • P1 dan P2 : konstanta Sumber: Chirife dan Iglesias (1978) diacu dalam Arpah (2007) 19 3. Kadar Air Kesetimbangan Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu tertentu. Pada saat kadar air kesetimbangan tercapai bahan tidak menyerap molekul-molekul air dari udara maupun melepaskan molekul-molekul air ke udara, hal ini terjadi bila bahan berada pada lingkungan tertentu untuk waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses adsorpsi dan desorpsi (Buckle et al., 2007). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dari pada kelembaban relatif bahan, maka bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari pada kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan akan meningkat dengan menurunnya suhu pada kondisi aktivitas air yang konstan (Kapseu, 2006). Menurut Brooker et al. (1992), penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode statis dan dinamis. Pada metode statis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan udara diam. Metode statis umumnya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada metode dinamis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan bergerak. Metode dinamis biasanya digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan. Menurut Lievonen dan Ross (2002) diacu dalam Adawiyah (2006), penentuan kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan melalui metode statis akan tercapai yang ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH≤90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk RH>90%. Kadar air kesetimbangan suatu bahan dapat digunakan untuk menggambarkan kurva sorpsi isotermis bahan tersebut. 20 4. Aktivitas Air (aw) Aktivitas air berhubungan erat dengan kandungan air dalam bahan pangan. Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen. Secara umum bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila diuapkan atau dikeringkan, sedangkan air terikat sulit hilang dengan cara tersebut. Kadar air bebas dapat berubah secara signifikan selama penyimpanan pada suhu lingkungan terutama untuk parameter higroskopisitas produk kering (Sithole, 2005). Aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan juga laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan (De man, 2007). Menurut Hui et al. (2008), pertumbuhan mikroba, oksidasi lipid, aktivitas non enzimatis, aktivitas enzimatis, dan tekstur suatu produk pangan sangat tergantung pada aktivitas air. Aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan kering selama penyimpanan (Belitz et al., 2009). Menurut Herawati (2008), aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya dapat menggambarkan pertumbuhan bakteri, jamur, dan mikroba lainnya. Pada umumnya semakin tinggi aktivitas air semakin banyak bakteri yang tumbuh, sedangkan jamur sebaliknya tidak menyukai aktivitas air yang terlalu tinggi. Adapun hubungan aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas Nilai aw 0.7–0.75 >0.75 0.6-0.7 0.35-0.5 0.4-0.5 Mutu makanan Produk mulai tidak aman untuk dikonsumsi Mikroorganisme berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi beracun Jamur mulai tumbuh Makanan ringan hilang kerenyahan Produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis Sumber: Labuza (1982) 21 H. Umur Simpan National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta proteksi isi kemasan (Arpah, 2007). Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (Ellis, 1994). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang di distribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselarasi diterapkan pada produk pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. 22 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk pangan selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi (Herawati, 2008). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993). Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat ditentukan dengan menggunakan acuan titik kritisnya. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan No Produk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Teh kering Susu bubuk Susu bubuk Makanan laut kering beku Makanan bayi Makanan kering Sayuran kering Kol kering Tepung biji kapas Tepung tomat Biji-bijian Bawang kering Buncis hijau 14 Keripik kentang 15 16 17 Mekanisme penurunan mutu Penyerapan uap air Penyerapan uap air Oksidasi Oksidasi dan fotodegradasi Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air Penyerapan uap air dan oksidasi udang kering beku Oksidasi Penyerapan uap air Tepung gandum dan oksidasi Minuman ringan Pelepasan CO2 Kriteria kadaluarsa Peningkatan kadar air Pencoklatan Laju kosentrasi aktivitas air Kosentrasi asam askorbat Off flavor-perubahan warna Pencoklatan Pencoklatan Kosentrasi asam askorbat Peningkatan kadar air Pencoklatan Konsentrasi klorofil Laju oksidasi Kosentrasi karoten dan laju kosentrasi O2 Konsentrasi asam askorbat Perubahan tekanan Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993) Perumusan model akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu cara yang diterapkan untuk produk pangan kering dengan 23 menggunakan kadar air atau aw sebagai kriteria kadaluwarsa. Pendekatan kedua adalah pendekatan empiris dengan bantuan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang menggunakan Teori Kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordo nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2007). Nilai aw dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kerusakan makanan atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk pangan stabil. Menurut Labuza (1982), aw bahan pangan sangat menentukan kondisi penerimaan atau kehilangan air dari bahan pangan. Faktor-faktor yang menentukan waktu penerimaan air dari bahan pangan adalah isotermis sorpsi air, permeabelitas film kemasan, ratio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan kering, kadar air awal, kadar air kritis, RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza (1982) telah mengembangkan model matematik yang dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan kadar air produk yang dikemas pada kondisi lingkungan tetap, yaitu : ⎡ Me − Mi ⎤ ln ⎢ Me − Mc ⎥⎦ t = ⎣ ……………………………………………………………..(1) k A Po x Ws b Dimana Me= Kadar air bahan pangan pada keadaan setimbang (%bk), Mi= kadar air awal (%bk), Mc= kadar air kritis (%bk), k/x= permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg), A= luas permukaan kemasan (m2), Ws= berat bahan (g), Po= tekanan uap air murni/jenuh pada ruang penyimpanan (mmHg), b= slope kurva sorpsi isotermis yang terpilih dan t= umur simpan. Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terhadap perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Penurunan mutu produk terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut, oleh karena itu dalam 24 menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut (Syarief dan Halid, 1993). Labuza (1982) menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi umur simpan produk. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi. Penentuan umur simpan metode Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini. Metode Arrhenius merupakan metode simulasi dalam menduga umur simpan produk. Penurunan mutu dengan metode simulasi memerlukan beberapa pengamatan yaitu adanya parameter kuantitatif. Parameter tersebut harus dapat mencerminkan keadaan mutu yang terjadi pada kondisi penyimpanan (Syarif dan Halid, 1993). Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan akan lebih baik dari suhu penyimpanan yang berubah-ubah. Pendugaan laju penurunan mutu dapat dilakukan dengan persamaan Arrhenius berikut: k = ko e -E/RT ………………………………………………………….............(2) Keterangan: k = konstanta penurunan mutu (per hari) ko = konstanta laju absolut (tidak tergantung suhu) E = energi aktivasi reaksi perubahan karakteristik mutu (kal/mol) T = Suhu mutlak (oK) R = Konstanta gas ideal (1,986 kal/moloK)